Anda di halaman 1dari 26

PEMERIKSAAN FISIK PADA KONDISI KEGAWATDARURATAN

(Initial Assesment)
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat
dan Management Bencana
Program Studi DIII Keperawatan
Dosen Pengampu : Triana Dewi Safariah, S.Kp., M.Kep

KELOMPOK 4
Arin Riwanna Fitriani 20.107
Arini Pangesti 20.108
Aulia Fitri Nur’aeni 20.109
Dea Isnaeni Soleha 20.122
Oktaviandi Nurjaman 20.133
Putri Rizkya Ananda 20.134
Tingkat 3C
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RS. DUSTIRA

CIMAHI

2022

KATA PENGANTAR
Assalamu’allaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami berhasil menyelesaikan
Makalah ini tentang Initial Assesment. Dalam menyusun Makalah ini, ada sedikit
kesulitan dan hambatan yang kami alami, namun berkat dukungan, dorongan dan
semangat dari orang terdekat, sehingga kami mampu menyelesaikannya.
Kami menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan Makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir, Semoga
Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Aamiin.
Wassalamu’allaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
30 Agustus 2022

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2

DAFTAR ISI......................................................................................................................3

BAB I.................................................................................................................................4

PENDAHULUAN.............................................................................................................4

1.1 Latar Belakang.........................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................5

1.3 Tujuan......................................................................................................................5

1.3.1 Tujuan Umum...................................................................................................5

1.3.2 Tujuan Khusus..................................................................................................5

BAB II...............................................................................................................................6

PEMBAHASAN................................................................................................................6

2.1 Pengertian................................................................................................................6

2.2 Tahapan Penanganan Penderita................................................................................6

2.2.1 Fase Pra-Rumah Sakit.......................................................................................6

2.2.3 Fase Rumah Sakit..............................................................................................7

2.3 Pengkajian Primary Survey......................................................................................7

2.4 Pengkajian Secondary Survey................................................................................15

2.5 Penanganan Definitif..............................................................................................23

BAB III............................................................................................................................24

PENUTUP.......................................................................................................................24

3.1 Kesimpulan............................................................................................................24

3.2 Saran......................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................26
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan
tugas yang menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem
Pelayanan Tanggap Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini (early)
karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam
sejak cedera (kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat trauma.
Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat resiko kecacatan dan
bahkan kematian. Hal ini bisa saja terjadi karena trauma yang terjadi dalam
beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma tidak mendapatkan
penanganan yang optimal. Berdasarkan kasus diatas, penilaian awal
merupakan salah satu item kegawatdaruratan yang sangat mutlak harus
dilakukan untuk mengurangi resiko kecacatan, bahkan kematian. Pada
penelitian Canadian selama 5 tahun yang diakui oleh unit trauma, 96,3%
mendukung terjadinya trauma tumpul, sisanya 3,7% cedera dengan
mekanisme penetrasi. Penyebab trauma tumpul berhubungan dengan
kecelakaan lalu lintas (70%), bunuh diri (10%), jatuh (8%), pembunuhan
(7%), dan lain-lain (5%). Banyak kejadian tersebut yang akhirnya menuju
kedalam kegawatdaruratan. Berdasarkan penelitian diatas, seorang tenaga
kesehatan harus mampu melakukan tindakan medis yang tepat dan cepat
untuk mengatasinya. Melalui protocol-protokol yang berlaku, seorang tenaga
kesehatan harus mampu melakukan penilaian awal, sehingga mampu
memberikan tindakan yang tepat sesuai dengantujuan penilaian awal. Tujuan
penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera /
kelainan pengancam jiwa dan untuk memulai tindakan sesuai, serta untuk
mengatur kecepatan dan efisiensi tindakan definitif atau transfer kefasilitas
sesuai. Oleh karena itu tenaga medis, khususnya dalam system pelayanan
tanggap darurat harus mengenal konsep penilaian awal untuk meningkatkan
keberhasilan penanganan kasus gawat darurat.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang diatas dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa definisi dari initial assesment?
2. Bagaimana tahapan penanganan penderita pada fase pra-rumah sakit
dan fase rumah sakit?
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan primary survey?
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan secondary survey?
5. Jelaskan bagaimana alogritma initial assesment?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah Gawat Darurat Dan Manajemen
Bencana serta untuk menambah pengetahuan tentang keperawatan
khususnya keperawatan kegawatdaruratan dan yang termasuk
didalamnya adalah konsep initial assesment.
1.3.2 Tujuan Khusus
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari pembahasan makalah
ini adalah :
1) Untuk mengetahui pengertian initial assesment
2) Untuk mengetahui alur penanganan penderita baik pada fase pra-
rumah sakit dan fase rumah sakit
3) Untuk mengetahui primary survey
4) Untuk mengetahui secondary survey
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Initial Assesment
Initial assessment adalah untuk memprioritaskan pasien dan menberikan
penanganan segera. Informasi digunakan untuk membuat keputusan
tentangintervensi kritis dan waktu yang dicapai. Ketika melakukan
pengkajian, pasienharus aman dan dilakukan secara cepat dan tepat dengan
mengkaji tingkatkesadaran (Level Of Consciousness) dan pengkajian ABC
(Airway, Breathing,Circulation), pengkajian ini dilakukan pada pasien
memerlukan tindakan penanganan segera dan pada pasien yang terancam
nyawanya. (John Emory Campbell, 2004 : 26).
Initial Assessment adalah proses penilaian awal pada penderita trauma
disertai pengelolaan yang tepat guna untuk menghindari kematian. Pengertian
lain initial assessment adalah proses evaluasi secara tepat pada penderita
gawat darurat yang langsung diikuti dengan tindakan resusitasi. Waktu
berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah, cepat
dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan initial assessment (penilaian awal).
Initial assesment meliputi :
a. Persiapan
b. Triage
c. Survey primer
d. Resusitasi
e. Survey Sekunder
f. Pengawasan dan evaluasi ulang
g. Terapi definitive
2.2 Tahapan Penanganan Penderita
2.2.1 Fase Pra-Rumah Sakit
Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas
di lapangan akan menguntungkan penderita. Pada fase pra rumah sakit,
hal yang perlu diperhatikan adalah penjagaan airway, kontrol
pendarahan dan syok, imobilisasi penderita dan segera dibawa ke rumah
sakit terdekat dengan fasilitas yang memadai. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan meliputi :
a) Koordinasi dengan rumah sakit tujuan yang disesuaikan dengan
kondisi dan jenis perlukaannya.
b) Penjagaan jalan nafas, kontrol perdarahan dan imobilisasi penderita.
c) Koordinasi dengan petugas lapangan lainnya
Yang harus dilakukan oleh seorang paramedik adalah :
a) Menjaga airway dan breathing.
b) Kontrol perdarahan dan syok.
c) Imobilisasi penderita.
d) Pengiriman ke rumah sakit terdekat yang cocok.
Waktu di tempat kejadian (scene time) yang lama harus dihindari.
Selain itu juga penting mengumpulkan keterangan yang nanti
dibutuhkan di rumah sakit, seperti waktu kejadian, sebab kejadian,
mekanisme kejadian, serta riwayat penderita. Sehingga dapat
ditentukan jenis dan berat dari trauma.
2.2.3 Fase Rumah Sakit
Pada fase rumah sakit perlu dilakukan perencanaan sebelum
penderita tiba, sebaiknya ada ruangan khusus resusitasi serta
perlengkapan airway (laringoskop, endotracheal tube) yang sudah
dipersiapkan. Selain itu, perlu dipersiapkan cairan kristaloid (mis : RL)
yang sudah dihangatkan, perlengkapan monitoring serta tenaga
laboratorium dan radiologi. Semua tenaga medik yang berhubungan
dengan penderita harus dihindarkan dari kemungkinan penularan
penyakit menular dengan cara penganjuran menggunakan alat-alat
protektif seperti masker/face mask, proteksi mata/google, baju kedap
air, sepatu dan sarung tangan kedap air.
2.3 Pengkajian Primary Survey
Survey primer atau primary survey adalah pemeriksaan secara cepat fungsi
vital pada penderita dengan cedera berat dengan prioritas pada ABCD, fase
ini harus dikerjakan dalam waktu singkat dan kegawatan pada penderita
sudah harus dapat ditegakkan pada fase ini. Pada primary survey dilakukan
usaha untuk mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu
dengan berpatokan pada urutan berikut :
1. Pengkajian Airway
Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal
ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan
oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maxilla,
fraktur laring/trakhea. Usaha untuk membebaskan airway harus
melindungi vertebra servikal (servical spine control), dimulai dengan
melakukan chin lift atau jaw trust. Jika dicurigai ada kelainan pada
vertebra servikalis berupa fraktur maka harus dipasang alat immobilisasi
serta dilakukan foto lateral servikal. Pemasangan airway definitif
dilakukan pada penderita dengan gangguan kesadaran atau GCS
(Glasgow Coma Scale) ≤ 8, dan pada penderita dengan gerakan motorik
yang tidak bertujuan. Obstruksi terbagi menjadi 2 :
a. Obstruksi airway totalis : yaitu penghambatan jalan nafas secara
total, biasanya karena tersedak. Jika pasien tidak sadar, bisa terjadi
sianosis, dan resistensi terhadap nafas buatan. Jika pasien sadar,
pasien akan terlihat berusaha bernafas dan memegang lehernya
dalam keadaan sangat gelisah, bisa ditemukan sianosis.
b. Obstruksi airway parsial : yaitu penghambatan jalan nafas karena :
1) Cairan seperti darah, cairan serosa.
2) Terdengar bunyi gurgling atau seperti orang berkumur-kumur
3) Lidah jatuh ke belakang, terdengar bunyi “snoring” atau seperti
organ mengorok
4) Penyempitan laring/trakea biasanya karena edema leher.
5) Terdengar bunyi ‘crowing’ atau bunyi highpitched karena
penyempitan tersebut.
a) Pengelolaan Jalan Napas (Airway Management) Tanpa Alat
Pengertian : tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan
napas dengan tetap memperhatikan kontrol servikal
Tujuan : membebaskan jalan napas untuk menjamin jalan masuknya
udara ke paru secara normal sehingga menjamin kecukupan
oksigenase tubuh.
b) Pemeriksaan Jalan Napas :
L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya
retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan
menggunakan pipi penolong
c) Cara ini dilakukan untuk memeriksa jalan nafas dan pernafasan.
Dilakukan secara simultan.
1) Tindakan Membuka jalan nafas dengan proteksi cervikal
a. Chin Lift maneuver (tindakan mengangkat dagu)
b. Jaw thrust maneuver (tindakan mengangkat sudut rahang
bawah)
c. Head Tilt maneuver (tindakan menekan dahi)
2) Tanda-tanda adanya sumbatan (ditandai adanya suara nafas
tambahan) :
a. Mendengkur (snoring), berasal dari sumbatan pangkal
lidah. Cara mengatasi : chin lift, jawthrust, pemasangan
pipa orofaring/nasofaring, pemasangan pipa endotrakeal.
b. Berkumur (gargling), penyebab : ada cairan di daerah
hipofaring. Cara mengatasi : finger sweep,
pengisapan/suction.
c. Stridor (crowing), sumbatan di plika vokalis. Cara
mengatasi : cricotirotomi, trakeostomi.
3) Tanda-tanda adanya sumbatan (ditandai adanya suara nafas
tambahan) :
a. Mendengkur (snoring), berasal dari sumbatan pangkal
lidah. Cara mengatasi : chin lift, jawthrust, pemasangan
pipa orofaring/nasofaring, pemasangan pipa endotrakeal.
b. Berkumur (gargling), penyebab : ada cairan di daerah
hipofaring. Cara mengatasi : finger sweep,
pengisapan/suction.
c. Stridor (crowing), sumbatan di plika vokalis. Cara
mengatasi : cricotirotomi, trakeostomi.
d) Membersihkan jalan nafas
Dengan cara : Sapuan jari (finger sweep) Dilakukan bila jalan nafas
tersumbat karena adanya benda asing pada rongga mulut belakang
atau hipofaring seperti gumpalan darah, muntahan, benda asing
lainnya sehingga hembusan nafas hilang. Cara melakukannya :
a. Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang
leher) kemudian buka mulut dengan jaw thrust dan tekan dagu
ke bawah bila otot rahang lemas (maneuver emaresi).
b. Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau
dibungkus dengan sarung tangan/kassa/kain untuk
membersihkan rongga mulut dengan gerakan menyapu.
e) Mengatasi sumbatan nafas parsial, dapat digunakan teknik manual
thrust:
a. Abdominal thrust
b. Chest thrust
c. Back blow
f) Jika sumbatan tidak teratasi, maka penderita akan :
a. Gelisah oleh karena hipoksia
b. Gerak otot nafas tambahan (retraksi sela iga, tracheal tug)
c. Gerak dada dan perut paradoksal
d. Sianosis
e. Kelelahan dan meninggal
2. Pengkajian Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi
yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan
diafragma. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi
pernafasan dan dilakukan auskultasi untuk memastikan masuknya udara
ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah
dalam rongga pleura. Sedangkan inspeksi dan palpasi dapat
memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu
ventilasi.
Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat
adalah tension pneumothoraks, flail chest dengan kontusio paru dan open
pneumotoraks. Sedangkan trauma yang dapat mengganggu ventilasi
dengan derajat lebih ringan adalah hematothoraks, simple
pneumothoraks, patahnya tulang iga, dan kontusio paru.
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan
jalan nafas danckeadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan
pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus
dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi
buatan (Wilkinson& Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien
antara lain :
a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
1) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada
tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail
chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu
pernafasan.
2) Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutan eousemphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks
3) Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
b. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika
perlu.
c. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut
mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
d. Penilaian kembali status mental pasien.
e. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
f. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
oksigenasi:
1) Pemberian terapi oksigen
2) Bag-Valve Masker
3) Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan
yang benar), jika diindikasikan
4) Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
 Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan
berikan terapisesuai kebutuhan
3. Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan
oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum
pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi,
takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan
capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan
adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup
aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung
mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan.
Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah:
tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan
anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi
melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik
(Wilkinson &Skinner, 2000).
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien,
antara lain :
a) Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b) CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk
digunakan.
c) Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan
pemberian penekanan secara langsung.
d) Palpasi nadi radial jika diperlukan:
1) Menentukan ada atau tidaknya
2) Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
3) Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
4) Regularity
e) Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau
hipoksia (capillary refill).
f) Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
4. Disability / neurologic evaluation
Pada tahapan ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat atau level cedera spinal.
GCS / Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat
meramal outcome penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh
penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak, atau
disebabkan trauma langsung.
Menilai adanya gangguan fungsi otak dan kesadaran (penurunan
suplai oksigen ke otak). Bertujuan untuk dapat mengetahui fungsi otak/
kesadaran dengan metode AVPU dan GCS.
Metode AVPU :
1. Penilaian sederhana ini dapat digunakan secara cepat
A = Alert/Awake : sadar penuh
V = Verbal stimulation :ada reaksi terhadap perintah
P = Pain stimulation : ada reaksi terhadap nyeri
U = Unresponsive : tidak bereaksi
2. Dan penilaian ukuran serta reaksi pupil :
a) Ukuran dalam millimeter
b) Respon terhadap cahaya / reflek pupil : ada / tidak, cepat atau
lambat
c) Simetris / anisokor.
d) Exposure/environmental
e) Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan
cara menggunting dengan tujuan memeriksa dan mengevaluasi
penderita. Setelah pakaian dibuka penderita harus diselimuti agar
tidak kedinginan.
3. Resusitasi
Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang
mengancam nyawa merupakan hal yang mutlak bila ingin penderita
tetap hidup.
A : Airway
Pada penderita yang masih sadar dapat dipakai nasofaringeal
airway. Bila penderita tidak sadar dan tidak ada refleks batuk (gag
refleks) dapat dipakai orofaringeal airway.
B : Breathing
Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena
faktor mekanik, ada gangguan ventilasi dan atau ada gangguan
kesadaran, dicapai dengan intubasi endotrakheal baik oral maupun
nasal. Surgical airway / krikotiroidotomi dapat dilakukan bila
intubasi endotrakheal tidak memungkinkan karena kontraindikasi
atau karena masalah teknis.
C : Circulation
Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang minimal dua IV line.
Kateter IV yang dipakai harus berukuran besar. Pada awalnya
sebaiknya menggunakan vena pada lengan. Selain itu bisa juga
digunakan jalur IV line yang seperti vena seksi atau vena sentralis.
Pada saat memasang kateter IV harus diambil contoh darah untuk
pemeriksaan laboratorium rutin serta pemeriksaan kehamilan pada
semua penderita wanita berusia subur.
Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 2-3 liter cairan
kristaloid, sebaiknya Ringer Laktat. Bila tidak ada respon, berikan
darah segulungan atau (type specific). Jangan memberikan infus RL
dan transfusi darah terus menerus untuk terapi syok hipovolemik.
Dalam keadaan harus dilakukan resusitasi operatif untuk
menghentikan perdarahan.
2.4 Pengkajian Secondary Survey
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya
dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami
syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat
pasien yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien.
Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan
sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem.
(Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien
secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan
dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang
terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga, orang
terdekat,atau orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis
yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran
mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk
pengaman: cedera wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks,
abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial,
fraktur servikal atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat
dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti
sedang menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis,
jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti
penyakit yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya,
penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode
menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera
(kejadian yang menyebabkan adanya keluhan utama)
Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan
penderita. Jenis perlukaan dapat diramalkan dari mekanisme kejadian
perlukaan itu. Trauma biasanya dibagi menjadi beberapa jenis:
1. Trauma tumpul
Dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, terjatuh dan
kegiatan rekreasi atau pekerjaan. Keterangan yang penting yang
dibutuhkan kecelakaan lalu lintas mobil adalah pemakaian sabuk
pengaman, deformasi kemudi, arah tabrakan, kerusakan
kendaraan baik kerusakan major dalam bentuk luar atau hal – hal
yang berhubungan dengan perlengkapan penumpang, dan
terlemparnya keluar penumpang. Pola perlukaan pada pasien
dapat diramalkan dari mekanisme traumanya. Trauma perlukaan
juga sangat dipengaruhi usia dan aktivitas.
2. Trauma tajam
Trauma tajam akibat pisau atau benda tajam dan senjata api
semakin sering ditemukan. Faktor yang menentukan jenis dan
berat perlukaan adalah daerah tubuh yang terluka, organ yang
terkena dan velositas / kecepatan. Dengan demikian maka
velositas, caliber, arah dan jarak dari senjata merupakan informasi
yang sangat penting diketahui.
3. Trauma termal
Luka bakar dapat terjadi sendiri atau dalam kombinasi
dengan trauma tumpul atau trauma tajam akibat mobil terbakar,
ledakan, benda yang terjatuh, usaha penyelamatan diri ataupun
serangan pisau dan senjata api. Cedera dan keracunan monoksida
dapat menyertai luka bakar. Secara khusus perlu ditanyakan
tempat terjadinya kejadian perlukaan (ruang tertutup / terbakar)
atau bahan yang ikut terbakar (bahan kimia, plastik, dsb) dan
perlukaan lain yang menyerta.
Hipotermia akut atau kronik dapat menyebabkan
kehilangan panas umum atau local. Kehilangan panas dalam
jumlah besar dapat terjadi walaupun tidak dalam suhu yang
terlalu dingin (15-20O c) yaitu bila penderita memakai pakaian
yang basah, tidak bergerak aktif atau minum alcohol, sehingga
tubuh tidak bisa menyimpan panas.
4. Trauma kimia, toksin dan radiasi
Kontak dengan bahan kimia, toksin atau radiasi perlu
diketahui karena dua sebab. Pertama disebabkan karena bahan –
bahan ini dapat mengakibatkan berbagai macam kelainan pada
jantung, paru atau organ tubuh lainnya. Kedua, bahan ini dapat
berbahaya bagi tenaga kesehatan yang merawat pasien tersebut.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita
yang datang dengancedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai
yang berasal dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan
inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya
pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal,
ruam, perdarahan, nyeritekan serta adanya sakit kepala (Delp &
Manning. 2004)
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan
kanan dan kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan
lalai memeriksa mata, karena pembengkakan dimata akan
menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re
evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS
1) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah
pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman
mata (macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya
anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis,
exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia
2) Hidung : periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri,
penyumbatan penciuman, apabila ada deformitas
(pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi
dari suatu fraktur.
3) Telinga : periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan,
penurunanatau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter
mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya
hemotimpanum
4) Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur,
warna, kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna,
kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekandaerah
pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan
dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang atau tidak
(tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri
c. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas
tulang atau krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa ,kaji adanya
keluhan disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak harus
diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan
pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas,
pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada
leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan
proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi.
Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.
d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan
belakang untuk adanya trauma tumpul/tajam, luka, lecet, memar,
ruam, ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,
kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan
tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace
maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan
keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing,
rales) dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub).
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis,
misalnya pada keadaan cedera kepala dengan penurunan
kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak
sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri
tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan
belakang, untuk adanya trauma tajam,tumpul dan adanya
perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet,
memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis,
bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen,
untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk
mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,
splenomegali, defans muskuler nyeri lepas yang jelas atau uterus
yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal,
dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage,
ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasiorgan berlumen
misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan
segera karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali.
Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang operasi bila
diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).
f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada
pemeriksaan fisik (pelvismenjadi stabil), pada cedera berat ini
kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan syok, yang
harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk
mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118,
2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi ,
ruam, lesi, edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan
uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter
uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen
rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya
rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan
colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau
laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan
jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang
penuh memegang 20sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn
tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang
ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun
jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila
terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut
jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler
ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang
dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan
kemih harus ditanya tentang rasasakit atau terbakar dengan buang
air kecil, frekuensi, hematuria, kencing berkurang, Sebuah sampel
urin harus diperoleh untuk analisis. (Diklat RSUP Dr. M.Djamil,
2006).
g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat
inspeksi, jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah
fraktur (fraktur terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk
memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan,
jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen
(tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas meninggi
sehingga membahayakan aliran darah), mungkin luput
terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau
kelumpuhan (Tim YAGD118, 2010). Inspeksi pula adanya
kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasiharus
diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur,
sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat
adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada
pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan
vaskular. Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa
disertai fraktur. Kerusakan ligament dapat menyebabakan sendi
menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu
pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan
kontraksi otot dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia.
Adanya fraktur torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan
fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin
menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan
ini hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan
muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan
punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah:
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol,
sehingga terjadi syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi
penderita dalam keadaan tidak sada. Apabila kemudian
kesadaran pulih kembali barulah kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru
dikenal setelah penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP
Dr. M.Djamil, 2006).
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll,
memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh.
Pada saat ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung (Tim
YAGD 118, 2010). Periksa adanya perdarahan, lecet, luka,
hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu
pula pada kolumna vertebra periksa adanya deformitas.
i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan
tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik
dan sendorik. Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal
dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh
kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi
penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan
alat imobilisasi dilakukan sampai terbukti tidak ada fraktur
servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk
melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja,
sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai
sumbu. Jelaslah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan
imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi
neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena
merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi
penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti
ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya
tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau fraktur
kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (DiklatRSUP Dr. M.
Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang,
twitching, parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan
pergerakan), distaksia (kesukaran dalam mengkoordinasi otot),
rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan respon
sensori.
3. Tambahan terhadap secondary survey
Dalam melakukan secondary survey, dapat dilakukan pemeriksaan
diagnostic yang lebih spesifik seperti misalnya foto tambahan dari
tulang belakang serta ekstremitas, CT-Scan kepala, dada, abdomen
dan spine, urografi dan angiografi, USG transesofageal, bronkoskopi,
esofagoskopi dan prosedur diagnostic lain.
4. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan
Penurunan keadaan dapat dikenali apabila dilakukan evaluasi ulang
secara terus menerus, sehingga gejala yang baru timbul, segera dapat
dikenali dan dapat ditangani secepatnya. Monitoring tanda vital dan
produksi urin sangat penting. Produksi urin pada orang dewasa
sebaiknya dijaga ½ cc/kgBB/jam, pada anak 1cc/kgBB/jam.
Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Rasa nyeri dan
ketakuatan akan timbul pada penderita trauma, terutama pada
perlukaan muskulo-skeletal. Golongan opiat atau anxiolitika harus
diberikan secara intravena dan sebaiknya jangan intra-muskular.
2.5 Penanganan Definitif
Untuk keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage
Criteria. Kriteria ini memakai data fisiologis penderita, cedera anatomis,
mekanisme perlukaan, penyakit penyerta serta faktor – faktor yang dapat
mempengaruhi prognosis.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Initial Assesment adalah proses penilaian yang cepat dan pengelolaan
yangtepat guna menghindari kematian pada pasien gawat darurat. Initial
assessment secaraluas adalah proses evaluasi secara cepat pada penderita
gawat darurat yang langsung diikuti dengan tindakan resusitasi. Penilaian dan
resusitasi dilakukan berdasarkan prioritas kegawatan pada penderita
berdasarkan adanya gangguan pada jalan napas (Airway), pernapasan
(Breathing) dan sirkulasi (circulation). Proses penilaian awal, pada dasarnya
meliputi:
1. Primary survey
Primary survey adalah penanganan yang dilakukan pertama, yang telah
di bakukan menurut ATLS yang mencakup konteks bahasan ABCDE.
ABCDE adalah Airway, Breathing, Circulation, Disability, exposure.
2. Secondary Survey
Meliputi penanganan pemeriksaan fisik head to toe, bila menemukan
pasien yang saatsecondary survey mengalami progress yang buruk, maka
kembali lakukan primary survey.
3. Penanganan Definitif (menetap) Adalah penanganan yang diberikan
kepada klien yang telah melewati masa yang akut,setelah primary survey
dan secondary survey.
3.2 Saran
Penanganan awal (initial assesment) adalah hal mutlak yang harus
dipahami olehtenaga kesehatan kegawatdaruratan. Oleh sebab itu, para
tenaga kesehatan, dimanapun berada, harus memahami konsep
kegawatdaruratan ini. Karena, apabila kita telah mengerti mengenai konsep
initial assesment, maka kita tidak akan bingung apabila mendapatkan kasus
kegawatdaruratan yang seperti kita tahu bahwa kasus kegawatdaruratan
memerlukan tidak hanya tindakan yang cepat namun juga tindakan tepat
guna mendapatkan hasil yang maksimal, yaitu menurunkan resiko kecacatan
atau bahkan kematian.
DAFTAR PUSTAKA

Campbell, N.A., Reece, J.B., & Mitchell, L.G. (2004). Biologi


College Of Emergency Nursing Association, (2007). Standard practice emergency
nursing specialist. College of emergency nursing association Australia.
downloaded on February, 6, 2017
Delp & manning 2004, Major diagnosis fisik, EGC, Jakarta.
Emergency Nurses Association. (2014). Standards of emergency nursing practice
5th ed., USA: lippincot Comp., pp 56-60
Lombardo M.C.,2006. Gangguan Kejang. Dalam: Price SA Dan Wilson LM.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC,
Pp:1157- 1161

Anda mungkin juga menyukai