Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan nikmat, taufik serta hidayah-Nya yang sangat besar sehingga kami
pada akhirnya dapat menyelesaikan makalah dengan judul “ASUHAN PRE
OPERATIF BEDAH MINOR PADA KASUS BARTHOLINITIS ” tepat pada
waktunya.

Rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada Dosen Pembimbing Ibu Suprapti
,SST., M.Kes yang selalu memberikan dukungan serta bimbingannya dan kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini, sehingga
makalah ini dapat disusun dengan baik. Semoga makalah yang telah kami susun ini
turut memperkaya khazanah ilmu Ginekologi serta bisa menambah pengetahuan dan
pengalaman para pembaca.

Selayaknya kalimat yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang


sempurna. Kami juga menyadari bahwa makalah ini juga masih memiliki banyak
kekurangan. Maka dari itu kami mengharapkan saran serta masukan yang
membangun dari para pembaca sekalian demi penyusunan makalah ini yang lebih
baik lagi.

Malang, 21 Maret 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Tujuan......................................................................................................................1
1.3 Manfaat....................................................................................................................1
BAB II TINJAUAN TEORI..................................................................................................2
2.1 Konsep Teori Pre-Operatif.......................................................................................2
2.2 Konsep Teori Kista dan Abses Kelenjar Bartholin...................................................4
2.2.1 Definisi.............................................................................................................4
2.2.2 Bakteri Penyebab..............................................................................................5
2.2.3 Patofisiologi.....................................................................................................6
2.3.4 Faktor predisposisi...........................................................................................7
2.2.5 Tanda dan gejala...............................................................................................7
2.2.6 Teknik diagnostik.............................................................................................7
2.2.8 Komplikasi.......................................................................................................9
2.2.9 Prognosis..........................................................................................................9
2.3 Konsep Manajemen Kebidanan dari Kista dan Abses Kelenjar Bartholin..............10
BAB III TINJAUAN KASUS..............................................................................................13
3.1 Subjektif.................................................................................................................13
3.2 Objektif..................................................................................................................14
3.3 Assessment.............................................................................................................15
3.4 Penatalaksanaan.....................................................................................................16
BAB IV PENUTUP..............................................................................................................17
4.1 Kesimpulan............................................................................................................17
4.2 Saran......................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................18

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Tujuan

1.3 Manfaat

1.3.1 Bagi Mahasiswa


1.3.2 Bagi Masyarakat
1.3.3 Bagi siapa lagi, terserah wkwkwk

1
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Teori Pre-Operatif

Tahap Preoperatif

Merupakan tahap dimana mulainya diambil keputusan untuk dilakukan operasi


sampai ke ruang operasi. Pada tahap ini akan dilakukan pengkajian secara umum
untuk mengetahui riwayat kesehatan pasien, sehingga intervensi yang dilakukan oleh
perawat sesuai. Secara umum pengkajian pada tahap preoperatif meliputi : pengkajian
umum, riwayat kesehatan dan pengobatan, pengkajian psiko sosio spiritual,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan diagnostik (Muttaqin and Kumala 2009).

Selama periode perioperatif pasien akan mengalami respon fisiologis seperti,


takikardi, hipertensi, aritmia, hiperventilasi dan 25 nyeri akan memperburuk kondisi
pasien, hal ini disebabkan beberapa pemeriksaan yang dilakukan pasien untuk
persiapan operasi. Saat pasien menunggu diruang operasi, mereka akan mengalami
situasi yang asing dengan lingkungan, kehilangan kontrol akan emosi karena terpisah
dari keluarga dan teman, serta harus bergantung pada orang asing. Kecemasan
sebelum operasi bisa terjadi dan ini juga akan berhubungan dengan tingginya
kecemasan setelah operasi (Davis-Evans 2013). Komunikasi teraupetik dalam tahap
ini penting untuk dilakukan oleh perawat, yaitu untuk memberikan ketenangan pada
pasien, memberikan informasi yang pasien butuhkan, dan mengelola cemas pada
pasien, memberikan informasi yang pasien butuhkan, dan mengelola cemas pada
pasien. Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Huber et al. 2012)

Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk


menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman
pembedahan pasien. Istilah perioperatif adalah suatu istilah gabungan yang mencakup
tiga fase pengalaman pembedahan, yaitu preoperatif phase, intraoperative phase dan
postoperative phase. Masing-masing fase dimulai pada waktu tertentu dan berakhir

2
pada waktu tertentu pula dengan urutan peristiwa yang membentuk pengalaman
bedah dan masing-masing  mencakup rentang perilaku dan aktivitas keperawatan
yang luas dan dilakukan oleh perawat dengan menggunakan proses keperawatan dan
standar praktik keperawatan.

Pembedahan dibagi atas tiga fase atau tahap, yaitu preoperatif, intraoperatif, dan
pasca operatif. Ketiga tahap ini disebut dengan periode perioperatif:

1.  Fase preoperatif 

dimulai ketika keputusan diambil untuk melaksanakan intervensi


pembedahan. Termasuk dalam kegiatan perawatan dalam tahap ini adalah
pengkajian pre operasi mengenai status fisik, psikologis, dan sosial pasien,
rencana keperawatan mengenai persiapan pasien untuk pembedahannya, dan
implementasi intervensi keperawatan yang telah direncanakan. Tahap ini
berakhir ketika pasien diantar ke kamar operasi dan diserahkan ke perawat
bedah untuk perawatan selanjutnya.

2. Fase Intraoperatif

dimulai ketika pasien dipindahkan ke meja operasi. Tahap ini berakhir ketika
pasien dipindahkan ke postanesthesia care unit (PACU) atau yang dahulu
disebut ruang pemulihan (recovery room, RR). Dalam tahap ini, tanggung
jawab perawat terfokus pada kelanjutan dari pengkajian fisiologis, psikologis,
merencanakan dan mengimplementasikan intervensi untuk keamanan dan
privasi pasien, mencegah infeksi luka, dan mempercepat penyembuhan.
Termasuk intervensi keperawatan yang spesifik adalah memberi dukungan
emosional ketika anesthesia dimulai (induksi anestesia) dan selama prosedur
pembedahan berlangsung, mengatur dan mempertahankan posisi tubuh yang
fungsional, mempertahankan asepsis, melindungi pasien dari bahaya arus
listrik (dari alat-alat yang dipakai seperti electrocautery), membantu
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, menjamin ketepatan

3
hitungan kasa dan instrument, membantu dokter bedah, mengadakan
komunikasi dengan keluarga pasien dan anggota tim kesehatan yang lain.

3. Fase Pasca Operatif

dimulai dengan pemindahan pasien ke PACU dan berakhir pada waktu pasien
dipulangkan dari rumah sakit. Termasuk dalam kegiatan perawatan adalah
mengkaji perubahan fisik dan psikologis; memantau kepatenan jalan napas,
tanda-tanda vital, dan status neurologis secara teratur; mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit; mengkaji secara akurat serta haluaran dari
semua drain.

2.2 Konsep Teori Kista dan Abses Kelenjar Bartholin

2.2.1 Definisi

Kista Bartholin merupakan pembesaran duktus bagian distal akibat suatu


penyumbatan. Kista Bartholin terinfeksi dapat berkembang menjadi abses. Penyakit
ini umumnya terjadi pada wanita usia reproduktif. Penanganan ideal terhadap
penyakit ini masih kontroversial.

Kelenjar Bartholin atau the greater vestibular glands adalah kelenjar pada
perempuan yang homolog dengan kelenjar bulbouretralis (kelenjar Cowper) pada
laki-laki. Kelenjar mulai berfungsi pada masa pubertas dan berfungsi memberikan
kelembaban untuk vestibulum. Kelenjar Bartholin berkembang dari tunas di epitel
daerah posterior vestibulum. Kelenjar Bartholin terletak bilateral pada dasar labia
minora, masing-masing berukuran sekitar 0,5 cm dan mensekresikan mukus ke dalam
duktus yang memiliki panjang 2-2,5 cm. Kelenjar biasanya tidak akan teraba kecuali
penyakit infeksi atau pada wanita yang sangat kurus. Kista Bartholin adalah
penyumbatan duktus kelenjar bagian distal berupa pembesaran berisi cairan dan
mempunyai struktur seperti kantong bengkak (swollen saclike structure). Jika lubang
pada kelenjar Bartholin tersumbat, lendir yang dihasilkan oleh kelenjar akan

4
terakumulasi sehingga terjadi dilatasi kistik duktus proksimal dan obstruksi. Kista
Bartholin yang mengalami obstruksi dan terinfeksi dapat berkembang menjadi abses.

Kista dan abses Bartholin merupakan penyakit terkait kelenjar Bartholin yang
paling sering terjadi. Penyakit terjadi pada 2-3% wanita. Abses hampir tiga kali lebih
umum daripada kista. Kista Bartholin rata-rata memiliki ukuran kecil yaitu 1-3 cm,
biasanya unilateral dan asimtomatik. Kista yang lebih besar dapat menimbulkan
ketidaknyamanan terutama saat berhubungan seksual, duduk, atau jalan. Pasien
dengan abses Bartholin biasanya mengeluhkan nyeri vulva yang akut, berkembang
secara cepat, dan progresif. Diagnosis kista dan abses Bartholin ditegakkan
berdasarkan temuan klinis serta pemeriksaan fisik. Manajemen kista dan abses
Bartholin dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain medikamentosa, insisi dan
drainase, pemasangan word catheter, marsupialisasi, ablasi silver nitrate, terapi laser,
dan eksisi. Kista dan abses Bartholin umumnya terjadi pada wanita usia reproduktif,
usia 20-29 tahun tetapi penanganan yang ideal terhadap penyakit ini masih
kontroversial.

2.2.2 Bakteri Penyebab

Menurut Lee et al. (2014), kista bartholin yang terinfeksi menjadi abses dapat
disebabkan oleh invasi bakteri berikut.

Bacterial agents: aerob Bacterial agents: anaerob

Brucella melitensis Bacteroides species


Chlamydia trachomatis Pasteurella bettii
Escherichia coli Salmonella panama
Hypermucoviscous Klebsiella pneumonia Neisseria gonorrhoeae
Neisseria sicca
Pseudomonas aeruginosa
Staphylococcus aureus: Panton-Valentine

5
Leukocidin production
Streptococcus species

Selain itu, menurut penelitian Saeed dan Al-Jufairi (2013), ditemukan peningkatan
infeksi bakteri yang berasal dari saluran pernafasan, seperti S. Pneumoniae dan
Haemophilus influenzae dari abses kelenjar Bartholin. 

2.2.3 Patofisiologi

Akibat saluran Bartholin yang tersumbat, maka cairan yang dihasilkan oleh
kelenjar Bartholin menjadi terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan
membentuk suatu kista.  Karena kelenjar terus menerus menghasilkan cairan, maka
lama kelamaan kista semakin membesar dan tekanan di dalamnya semakin
meningkat. Dinding kista akan mengalami peregangan dan mengakibatkan penekanan
pada jaringan saraf sekitar, sehingga memicu mediator inflamasi. Akibat peregangan
pada dinding kista ini juga, pembuluh darah pada dinding kista akan terjepit dan
mengakibatkan bagian yang lebih dalam mengalami penurunan perfusi darah
sehingga dapat terjadi nekrosis.
Menurut Lee et al. (2015), kista adalah komplikasi umum dari kelenjar
Bartholin, mempengaruhi daerah duktus karena penyumbatan. Ketika lubang duktus
kelenjar Bartholin tersumbat, kelenjar menghasilkan penumpukan lendir.
Penumpukan ini menyebabkan pelebaran kistik pada saluran dan pembentukan kista.
Infeksi kista ini kemungkinan besar menyebabkan abses kelenjar Bartholin. Namun,
perkembangan abses tidak selalu diawali oleh adanya kista. Abses hampir tiga kali
lebih umum daripada kista duktus. Kultur abses Bartholin sering menunjukkan
infeksi polimikroba. 
Proporsi besar abses kelenjar Bartholin adalah kultur bakteri positif dengan
Escherichia coli sebagai patogen umum. Saat menentukan pilihan pengobatan
antibakteri, penting untuk menghubungkan temuan mikrobiologi dengan antibiotik
gram mereka.

6
Sedangkan patofisiologi abses kelenjar Bartholin apabila infeksi yang
berkepanjangan membuat terjadinya pembusukan, sehingga cairan dalam kista
menjadi nanah dan menimbulkan rasa sakit. Karena letaknya di vagina bagian luar,
kista akan terjepit terutama saat duduk dan berdiri menimbulkan rasa nyeri yang
terkadang disertai dengan demam.

2.3.4 Faktor predisposisi

Kista Bartholin disebabkan oleh tersumbatnya saluran kelenjar Bartholin. Saat


saluran tersumbat, cairan akan tertampung di dalam saluran atau kembali masuk ke
dalam kelenjar. Lama-kelamaan, hal itu akan menyebabkan saluran atau kelenjar
membengkak dan membentuk kista. Luka, cedera, iritasi yang berulang, dan
menjalani operasi, pada vagina bisa meningkatkan risiko tersumbatnya kelenjar
Bartholin.

Pada beberapa kasus kista Bartholin juga dikaitkan dengan infeksi menular
seksual yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae atau Chlamydia trachomatis.
Selain itu, infeksi Escherichia coli juga sering dikaitkan dengan munculnya kista
Bartholin.  

Kista Bartholin dapat timbul pada semua usia. Namun, kondisi ini lebih sering
terjadi pada wanita berusia antara 20–30 tahun yang aktif secara seksual. Kista jarang
terjadi pada wanita yang telah menopause karena kelenjar Bartholin telah menyusut.

2.2.5 Tanda dan gejala

Tanda kista Bartholin yang terinfeksi menjadi abses berupa penonjolan yang
nyeri pada salah satu sisi vulva, disertai kemerahan atau pembengkakan yang
fluktuatif pada daerah vulva. Jika kista terinfeksi, gejala klinik berupa nyeri saat
berjalan, duduk, beraktivitas fisik atau berhubungan seksual, umumnya tidak disertai
demam, biasanya ada sekret di vagina dan dapat terjadi ruptur spontan.

7
2.2.6 Teknik diagnostik

Menurut Male dan Giri (2019), penegakkan diagnosis dilakukan berdasarkan


anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. 
a. Anamnesis
Pada pasien penderita kista bartholin yang terinfeksi menjadi abses terdapat keluhan
berupa rasa nyeri di daerah vulva saat berjalan, duduk, beraktivitas fisik, atau
berhubungan seksual dan disertai demam (Radhakrishna et al. 2017). Pengumpulan
data subyektif juga harus mencakup riwayat infeksi menular seksual, rasa gatal,
terdapat cairan purulen, dan atau perdarahan pervaginam.
b. Pemeriksaan fisik
Pengumpulan data yang objektif mencakup pemeriksaan yang cermat pada
vulva. Pada penderita bartolinitis, akan terdapat penonjolan pada salah satu
sisi vulva, disertai kemerahan atau pembengkakan yang fluktuatif pada daerah
vulva (Radhakrishna et al. 2017). Palpasi massa dengan lembut untuk
menentukan ukuran dan konsistensi. Kista duktus Bartholin biasanya
unilateral, kecil (1-3 cm), konsistensi seperti spons, tidak empuk atau agak
empuk. Kista duktus bartholin cenderung tumbuh perlahan, mengisi sebentar-
sebentar, dan mengalir secara spontan, dan cairan di dalamnya. Pemeriksaan
wanita dengan duktus atau kelenjar Bartholin abses sering menampakkan kista
yang empuk, kenyal, atau berfluktuasi massa di situs saluran Bartholin.
Jaringan di sekitarnya mungkin hangat, lembut, dan eritematik.
c. Pemeriksaan penunjang
Jika kista terinfeksi atau pada abses Bartholin, dibutuhkan pemeriksaan kultur
jaringan dari hasil swab, untuk mengidentifikasikan jenis bakteri penyebab,
seperti Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae. Hasil kultur
biasanya dapat dilihat setelah 48 jam kemudian, namun jangan menunda
pengobatan antibiotik.

Kultur Swab

8
Dilakukan swab pada cairan abses atau daerah sekitar vagina untuk mengidentifikasi
bakteri penyebab, sehingga dapat diberikan antibiotik yang tepat.
Biopsi
Prosedur ini dilakukan pada wanita dengan usia diatas 40 tahun atau ketika ada
kecurigaan mengarah ke keganasan untuk menyingkirkan karsinoma kelenjar
Bartholin.
MRI dan CT Scan
Magnetic resonance imaging (MRI) dan computed tomography (CT) dapat digunakan
untuk pemeriksaan kista Bartholin yang besar. Kista asimptomatik juga dapat
diketahui melalui pemindaian MRI atau melalui ultrasound high definition.

2.2.7 Profilaksis
Pasien perlu diedukasi untuk pola gaya hidup seksual yang sehat, menghabiskan
antibiotik yang diberikan, asupan gizi yang baik.

2.2.8 Komplikasi

Dinding kista akan mengalami peregangan dan mengakibatkan penekanan pada


jaringan saraf sekitar, sehingga memicu mediator inflamasi. Akibat peregangan pada
dinding kista ini juga, pembuluh darah pada dinding kista akan terjepit dan
mengakibatkan bagian yang lebih dalam mengalami penurunan perfusi darah
sehingga dapat terjadi nekrosis. Ruptur spontan juga dapat terjadi jika terdapat
penumpukan sekret di vagina (Radhakrishna et al. 2017).
Komplikasi lain dari kista Bartholin adalah terbentuknya abses, jika proses infeksi
terus berlangsung. Jika abses telah terbentuk, proses infeksi bisa menyebar secara
sistemik hingga menyebabkan sepsis. 

2.2.9 Prognosis

Prognosis kista dan abses Bartholin memiliki angka rekurensi tinggi, terutama bila
diberikan tata laksana dengan prosedur pembedahan tradisional.
2.2.10 Penatalaksanaan

9
a. Penatalaksanaan medikamentosa
Kondisi khusus membutuhkan penatalaksanaan medis dengan antibiotik.
Antibiotik diindikasikan untuk salah satu situasi berikut: 
1. Duktus bartholin atau abses kelenjar yang sedang sampai parah, 
2. Sebagai tambahan untuk perawatan bedah, 
3. Bukti imunosupresi,
4. Risiko MRSA,
5. Infeksi sistemik (misalnya demam, sepsis),
6. Selulitis, 
7. Tidak ada perbaikan klinis setelah insisi dan drainase, dan 
8. Kehamilan.
b) Penatalaksanaan Operatif
1. Fistulisasi (membuat saluran baru terbuka melalui sayatan dan
drainase, dengan penempatan kateter Word
2. Marsupialisasi (membuat lesi terbuka untuk mempercepat
penyembuhan),
3. Pengangkatan atau penghancuran kelenjar Bartholin menggunakan
terapi laser CO2. 
Fistula dapat dilakukan oleh bidan dan praktisi perawat kesehatan wanita.
Marsupialisasi dan pengangkatan atau penghancuran kelenjar Bartholin
membutuhkan rujukan ke ahli bedah.

2.3 Konsep Manajemen Kebidanan dari Kista dan Abses Kelenjar Bartholin

Manajemen kebidanan adalah sebuah metode dengan pengorganisasian,


pemikiran dan tindakan-tindakan dengan urutan yang logis dan menguntungkan baik
bagi klien maupun bagi tenaga kesehatan. Proses ini menguraikan bagaimana perilaku
yang diharapkan dari pemberi asuhan. Proses manajemen ini bukan hanya terdiri dari
pemikiran dan tindakan saja, melainkan juga perilaku pada setiap langkah agar
pelayanan yang komprehensif dan aman dapat tercapai. Manajemen kebidanan adalah

10
proses pemecahan masalah yang digunakan sebagai metode untuk mengorganisasikan
pikiran dan tindakan berdasarkan teori ilmiah, penemuan-penemuan, keterampilan
dalam rangkaian tahapan logis untuk pengambilan keputusan yang berfokus pada
klien.

Proses manajemen harus mengikuti urutan yang logis dan memberikan pengertian
yang menyatukan pengetahuan, hasil temuan dan penilaian yang terpisah pisah
menjadi satu kesatuan yang berfokus pada manajemen klien. Sistem
pendokumentasian tersebut antara lain :

1.      Data Subjektif

Data subjektif berhubungan dengan masalah dari sudut pandang klien.


Ekspresi klien mengenai kekhawatiran dan keluhannya yang dicatat
sebagai kutipan langsung atau ringkasan yang akan berhubungan langsung
dengan diagnosis. Pada klien yang menderita tuna wicara, di bagian data
di bagian data di belakang huruf “S”, diberi tanda huruf “O” atau”X”.
Tanda ini akan menjelaskan bahwa klien adalah penderita tuna wicara.
Data subjektif ini nantinya akan menguatkan diagnosis yang akan disusun.

2.       Data Objektif

Data objektif merupakan pendokumentasian hasil observasi yang jujur,


hasil pemeriksaan fisik klien, hasil pemeriksaan laboratorium. Catatan
medik dan informasi dari keluarga atau orang lain dapat dimasukkan
dalam data objektif ini sebagai data penunjang. Data ini akan memberikan
bukti gejala klinis klien dan fakta yang berhubungan dengan diagnosis.

3.      Analisis

Langkah ini merupakan pendokumentasian hasil analisis dan interpretasi


(kesimpulan) dari data subjektif dan objektif. Karena keadaan klien yang
setiap saat bisa mengalami perubahan, dan akan ditemukan informasi baru

11
dalam data subjektif maupun data objektif, maka proses pengkajian data
akan menjadi sangat dinamis. Di dalam analisis menuntut bidan untuk
sering melakukan analisis data yang dinamis tersebut dalam rangka
mengikuti perkembangan klien. Analisis yang tepat dan akurat mengikuti
perkembangan data klien akan menjamin cepat diketahuinya perubahan
pada klien, dapat terus diikuti dan diambil keputusan/tindakan yang tepat.
Analisis data adalah melakukan interpretasi data yang telah dikumpulkan,
mencakup diagnosis, masalah kebidanan, dan kebutuhan.

4.      Penatalaksanaan

Penatalaksanaan adalah mencatat seluruh perencanaan dan


penatalaksanaan yang sudah dilakukan seperti tindakan antisipatif,
tindakan segera, tindakan secara komprehensif; penyuluhan, dukungan,
kolaborasi, evaluasi/follow up dan rujukan. Tujuan penatalaksanaan untuk
mengusahakan tercapainya kondisi pasien seoptimal mungkin dan
mempertahankan kesejahteraannya.

12
BAB III
TINJAUAN KASUS

Seorang perempuan, 25 tahun, datang ke Instalasi Gawat Darurat Kebidanan


Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu dengan keluhan adanya benjolan besar di
daerah kelamin yang dialami sejak dua minggu sebelum masuk Rumah Sakit.
Awalnya benjolan berukuran kecil dan lama kelamaan semakin membesar, serta
mengeluarkan nanah dan darah terutama dalam tiga hari terakhir. Pasien merasakan
nyeri pada benjolan saat pasien duduk dan beraktivitas. Tidak ada riwayat trauma.
Riwayat berhubungan seksual dengan suami terakhir satu bulan yang lalu. Pasien
tidak pernah mengalami keluhan ini sebelumnya. Hasil pemeriksaan fisik umum
didapatkan kesadaran pasien compos mentis, dengan tekanan darah 110/80 mmHg,
nadi 80x/menit, pernapasan 20 x/menit, suhu 36,7ºC. Pada pemeriksaan genetalia
tampak benjolan pada daerah labia minora sinistra dengan ukuran 9 cm x 5 cm, massa
kistik, hiperemis, fluktuasi, serta nyeri. Pemeriksaan laboratorium terdapat
peningkatan WBC 13.95 x 103 / µL, sedangkan yang lainnya normal seperti RBC
3,07 x 106 /µL, Platelet 259 x 103 /µL, Hemoglobin 10,1 g/dL, Hematokrit 36,7%,
Clotting time 7 menit, dan Bleeding time 3 menit. 
Pasien di diagnosa abses Bartholin sinistra. Diagnosis banding Bartholinitis
dan kista Bartholin. Pasien dirawat inap dan direncanakan operasi dengan prosedur
Marsupialisasi. Prosedur dimulai dengan melakukan insisi pada benjolan dengan
panjang ± 5 cm di labia minora sinistra. Dilakukan drainase dengan mengeluarkan
cairan kista berwarna coklat, lalu mencuci kantung kista dengan NaCl 0,9% dan
larutan povidone iodine. Kontrol perdarahan dan menjahit kantong kista dengan kulit
menggunakan benang 3.0 dengan metode interrupted. Luka ditutup dengan kasa steril
dan povidone iodine.

13
3.1 Subjektif

 Alasan Kunjungan:
Pasien merasakan nyeri pada benjolan saat pasien duduk dan beraktivitas.
 Keluhan Utama:
Pasien mengeluh adanya benjolan besar di daerah kelamin yang dialami sejak
dua minggu sebelum masuk Rumah Sakit. Awalnya benjolan berukuran kecil
dan lama kelamaan semakin membesar, serta mengeluarkan nanah dan darah
terutama dalam tiga hari terakhir.
 Riwayat Trauma:
Pasien mengatakan tidak ada riwayat trauma.
 Riwayat berhubungan seksual dengan suami terakhir satu bulan yang lalu.

3.2 Objektif

1. Keadaan umum ibu : Compos Mentis


2. Tanda-tanda Vital
 TD : 110/80
 Nadi : 80x/menit
 Suhu : 36,7 °C
 Pernapasan : 20x/menit

3.Pemeriksaan Genetalia

1)      Vulva Vagina

a.       Varices                         : Tidak ada

b.      Luka                               : Tidak ada

c.       Pembengkakan             : Ada, di labia minora sinistra

d.      Kemerahan           : Ada, warna kemerahan di labia


minora sinistra

14
e.      Nyeri                             : Ada nyeri

f.        Kelenjar Bartholini       : Ada pembengkakan kelenjar


bartholini dengan ukuran 9 cm x 5 cm pada labia minora sinistra

g.       Pengeluaran                  : terdapat pengeluaran darah

4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

a.       WBC         : 13.95 x 103 / µL

b.      RBC           : 3,07 x 106 /µL

c.       Platelet            : 259 x 103 /µL

d.      Hemoglobin   : 10,1 g/Dl

e.      Hematokrit     :36,7%

f.        Clotting time  : 7 menit

3.3 Assessment

 Pasien memerlukan antibiotik spektrum luas, yaitu ceftriaxone karena


penyakit ini disebabkan oleh polimikroba
 Marsupialisasi adalah tindakan operatif yang dilakukan dengan pembedahan,
sehingga memungkinkan pasien untuk merasakan ketakutan. Sebelum operasi
dimulai, bidan perlu untuk menginformasikan kepada pasien terkait tindakan
apa saja yang nantinya akan dilakukan dokter dan menyampaikan bahwa
pasien akan baik baik saja, dokter akan memberikan usaha yang terbaik.

15
 Clotting time dibawah normal, yaitu 7 menit (normalnya 8-15 menit), dan
hematokrit rendah, yaitu 36,7% (normalnya 38-46%), maka diperlukan cairan
pengganti, yaitu Ringer Laktat.
 Pasien mengalami Pasien merasa nyeri dan memerlukan obat pereda rasa
nyeri, yaitu Ketorolac.
 Sebagian besar anti nyeri berpotensi menimbulkan efek samping berupa iritasi
lambung, termasuk Ketorolac. Maka, pasien juga memerlukan obat anti iritasi
lambung, yaitu Ranitidine.

3.4 Penatalaksanaan

1. Informasikan kepada ibu tentang hasil diagnosis yang diperoleh.


2. Beri tahu ibu tindakan apa yang akan dilakukan kepadanya.
3. Diberikan terapi untuk mengobati infeksi dan gejalanya, yaitu dengan
memberikan antibiotik yang berspektrum luas untuk mengobati infeksi
polimikroba dan analgesik untuk mengurangi keluhan nyeri.
4. Sebelum operasi, pasien diberikan pengobatan pemberian cairan infus Ringer
Laktat 28 tetes per menit, injeksi intravena Ceftriaxone 1 gram per 12 jam,
injeksi intravena Ketorolac 30 mg per 8 jam, dan injeksi intravena Ranitidine
50 mg per 8 jam.

16
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

4.2.1 Bagi mahasiswa


4.2.2 Bagi masyarakat
4.2.3 Bagi siapa aja terserah

17
DAFTAR PUSTAKA

Lee, M.Y., Dalpiaz, A., Schwamb, R., Miao, Y., Waltzer, W. and Khan, A., 2014.
Clinical pathology of Bartholin's glands: a review of the literature. Current
urology, 8(1), pp.22-25. https://doi.org/10.1159/000365683 
Mary Baradero, SPC dkk. 2009. Keperawatan Perioperatif: Prinsip dan Praktik.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Radhakrishna, V., Goel, R., Parashar, G., Santhanakrishnan, R., 2017. Bartholin’s
gland abscess in a prepubertal female: A case report. Ann. Med. Surg. 24, 1–
2. https://doi.org/10.1016/j.amsu.2017.09.01 7 
Saeed, N., Al-Jufairi, Z., 2013. Bartholin′s gland abscesses caused by Streptococcus
pneumoniae in a primigravida. J. Lab. Physicians 5, 130.
https://doi.org/10.4103/0974-2727.119870

18

Anda mungkin juga menyukai