Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN MANAJEMEN BENCANA

SISTEM PELAPORAN BENCANA DAN KLB

DISUSUN OLEH :

1. Eva Latifa (P1337420317003)


2. Aulia Ul Izzah (P1337420317007)
3. Ari Mirza Faradiansah (P1337420317010)
4. Fitri Utami (P1337420317015)
5. Nur Afiah Widya Ningrum (P1337420317022)
6. Yoga Tomi Prabowo (P1337420317033)
7. Labibatus Sikha (P1337420317034)
8. Zulfiyati Infitah Fuzana (P1337420317045)

3 REGULER A

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG


PRODI DIII KEPERAWATAN PEKALONGAN

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-

Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Sistem Pelaporan Bencana dan

KLB”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat

dan Manajemen Bencana, Program Studi DIII Keperawatan Pekalongan. Kami menyadari

dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak pada

kesempatan ini tim penyusun mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ns. M. Projo

Angkasa, S.Kp, M.Kes. Dosen mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan Manajemen

Bencana

Kami menyadari makalah ini masih memiliki banyak kekurangan.oleh karena itu,

kami mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini

bermanfaat bagi penyusun pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Pekalongan, 26 Agustus 2019

Kelompok IV

2
DAFTAR ISI

JUDUL................................................................................................................................... 1

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.......................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang ................................................................................................................... 4

B. Rumusan masalah .............................................................................................................. 4

C. Tujuan penulisan ............................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Bencana ....... ..................................................................................................................... 5

B. Sistem Pelaporan Bencana ........................................................................................... ..14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................................. ...32

B. Saran ............................................................................................................................... .32

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 33

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wilayah Indonesia Kesatuan Republik Indonesia secara geografis terletak pada
wilayah yang rawan terhadap bencana alam baik berupa tanah longsor, gempa bumi, letusan
guung api, tsunami, banjir, dan lain-lain.
Disamping bencana alam tersebut, akibat dari hasil pembangunan dan adanya sosio
kultural yang multi dimensi, Indonesia juga rawan terhadap bencana bencana ulah manusia
seperti kerusuhan sosial maupun politik, kecelakaan transportasi (pesawat terbang, kapal laut,
kereta api, mobil), kecelakaan industri dan kejadian luar biasa akibat wabah penyakit
menular
Kita mengetahui bencana dapat timbul secara mendadak (akut) yang ditandai dengan
jatuhnya korban manusia, rusaknya rumah serta bangunan penting lainnya, rusaknya saluran
air bersih dan air kotor, terputusnya aliran listrik, saluran telepon, jalan-jalan raya dan saluran
sistem lingkungan serta mengakibatkan ribuan orang harus mengungsi ke wilayah lain.
Disamping bencana yang akut, kita juga mengenal bencana yang mengakibatkan dampak
secra perlahan-lahan (slow onset disaster atau creeping disaster), misalnya perubahan
kehidupan masyarakat akibat menurunnya kemampuan memperoleh kebutuhan pangan atau
kebutuhan hidup pokok lainnya, atau akibat kekerigan yang berkepanjangan, kebakaran hutan
dengan akibat asap (Haze) yang menimbulkan masalah kesehatan dan lain-lain.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan pada berbagai bencana alam,
jajarannkesehatan telah memberikan pelayanan kesehatan dengan baik. Dari berbagai
pengalaman tersebut maka disusun Pedoman Penanggulangan Bencana dengan melibatkan
semua unsur terkait. Dengan adanya pedoman ini, diharapkan penanggulangan bencana pada
masa yang akan datang dan dapat dilaksanakan lebih baik, lebih cepat, dan tepat disemua
tingkatan jajaran kesehatan secara terpadu.
B. Rumusan Masalah

Bagaimana system pelaporan bencana dan kejadian luar biasa?

C. Tujuan dan Maksut


Makalah system pelaporan bencana dan KLB ini disusun dengan maksud untuk memberikan
gambaran tentang peran semua unit jajaran kesehatan, sedangkan tujuannya agar semua unit
jajaran kesehatan tersebut dapat mempelajari, memahami dan melaksanakan tugas
penanggulangan bencana dengan sebaik-baiknya sesuai dengan peran dan fungsi masing-
masing

4
BAB II

ISI

SISTEM PELAPORAN BENCANA DAN KLB

A. BENCANA
1. Pengertian
Bencana adalah suatu fenomena alam yang terjadi yang menyebabkan
kerugian baik materiil dan spiritual pada pemerintah dan masyarakat (Urata,
2008). Fenomena atau kondisi yang menjadi penyebab bencana disebut hazard (
Urata, 2008).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia bencana adalah peristiwa
pada suatu wilayah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian ekologi,
kerugian hidup bagi manusia serta menurunnya derajat kesehatan sehingga
memerlukan bantuan dari pihak luar (Effendy & Mahfudli, 2009). Disaster
menurut WHO adalah setiap kejadian, situasi, kondisi yang terjadi dalam
kehidupan ( Effendy & Mahfudli, 2009).

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bencana


a. Faktor alami
Faktor alami merupakan keadaan mudah terjadinya bencana atau kerentanan
tergantung kondisi alam seperti bentuk geografis, geologi, cuaca, iklim (Urata,
2008).
b. Faktor sosial
Faktor social adalah kerentanan akibat ulah manusia, contohnya:
pembangunan bangunan di daerah yang miring, meningkatnya angka
urbanisasi, kemiskinan, pengendalian bencana yang tidak tepat (Urata, 2008).

3. Peran Perawat Dalam Bencana


Peran perawat diharapkan dalam setiap bencana yang terjadi. Peran perawat
menurut fase bencana:
1. Fase pre impact
a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam
penanggulangan ancaman bencana untuk setiap fasenya.

5
b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai kegiatan pemerintahan, organisasi
lingkungan, Palang Merah Nasinal, maupun lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi memberikan
tanggap bencana.
c. Perawat terlibat dalam promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan
tanggap bencana, meliputi usaha pertolongan diri sendiri, pelatihan
pertolongan pertama dalam keluarga dan menolong anggota keluarga yang
lain, pembekalan informs cara menyimpan makanan dan minuman untuk
persediaan, perawat memberikan nomer telepon penting seperti nomer
telepon pemadam kebakaran, ambulans, rumah sakit, memberikan
informasi peralatan yang perlu dibawa (pakaian, senter).
2. Fase impact
a. Bertindak cepat.
b. Perawat tidak memberikan janji apapun atau memberikan harapan palsu
pada korban bencana.
c. Konsentrasi penuh pada hal yang dilakukan.
d. Berkoordinasi dengan baik dengan tim lain.
e. Bersama pihak yang terkait mendiskusikan dan merancang master plan
revitalizing untuk jangka panjang.
3. Fase post-impact
a. Memberikan terapi bagi korban bencana untuk mengurangi trauma.
b. Selama masa perbaikan perawat membantu korban bencana alam untuk
kembali ke kehidupan normal.
c. Beberapa penyakit dan kondisi fisik yang memerlukan pemulihan dalam
jangka waktu lama memerlukan bekal informasi dan pendampingan.

4. Permasalahan di Bidang Kesehatan


Berikut ini merupakan akibat – akibat bencana yang dapat muncul baik
langsung maupun tidak langsungterhadap bidang kesehatan.
1. Korban jiwa, luka, dan sakit ( berkaitan dengan angka kematian dan kesakitan)
2. Adanya pengungsi yang pada umumnya akan menjdai rentan dan beresiko
mengalami kurang gizi, tertular penyakit, dan menderita stress.
3. Kerusakan lingkungan sehingga kondisi menjadi darurat dan menyebabkan
keterbatasan air dan sanitasi serta menjadi tempat perindukan vector penyakit.

6
4. Seringkali system pelayanan kesehatan terhenti, selain karena rusak, besar
kemungkinan tenaga kesehatan setempat juga menjadi korban bencana.
5. Bila tidak diatasi segera, maka derajat kesehatan semakin menurun dan
berpotensi menyebabkan terjadinya KLB.
Penyakit penyakit yang sering kali diderita para pengungsi di
Indonesia tidak lepas dari kondisi kedaruratan lingkungan, antara lain diare,
ISPA, campak dan malaria. WHO mengidentifikasi empat penyakit tersebut
sebagai The Big Four. Kejadian penyakit spesifik sering muncul sesuai dengan
bencana yang terjadi. Banjir di Jakarta pada awal tahun 2007 selain
menimbulkan peningkatan kasus Diareyang tinggi, juga memunculkan kasus
leptospirosis yang relative besar, yaitu 248 kasus dengan 19 kematian (CFR
7,66 %). Sedangkan, gempa di DIY dan jateng pada tahun 2006
mengakibatkan 76 penduduk menderita tetanus dan 29 di antaranya meninggal
dunia.
Meskipun dapat dikatakan dengan sepatah kata, ada bermacam-macam
penyebab bencana, kondisi kerusakannya, serta massa-massa terkena dampak,
dan lain-lain. Biasanya dalam menanggulangi bencana, maka bencana tersebut
akan dibagi menjadi 4 fase, yaitu :
1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana ( prevention and
preparedne phase)
2. Fase tindakan ( response phase) yang terdiri dari fase akut ( acute phase)
dan fase sub akut (sub acute phase)
3. Fase pemulihan ( recovery phase)
4. Fase rehabilitasi / rekonstruksi.
Fase fase ini terjadi secara berurutan sebelum dan sesudah bencana,
dan tindakan terhadap bencana pertama berhubungan dengan kesiapsiagaan
untuk bencana selanjutnya, sehingga hal ini disebut siklus bencana.
1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana
Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan yang baik
dengan memikirkan berbagai tindakan untuk meminimalsisir berbagai
kerugian yang ditimbulkan akibat bencanadan menyusun perencanaan agar
dapat melakukan kegiatan pertolongan serta perawatan yang efektif pada
saat terjadi bencana. Tindakan terhadap bencana menurut PBB ada 9
kerangka, yaitu:

7
a. Pengkajian terhadap kerentanan
b.membuat perencanaan ( pencegahan bencana)
c. Pengorganisasian
d.Sistem informasi
e. Pengumpulan sumber daya
f. Sistem alarm
g.Mekanisme tindakan
h.Pendidikan dan pelatihan penduduk
i. Gladi resik.
2. Fase tindakan
Fase tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat yang
nyata untuk menjaga diri sendiri dan harta kekayaan. Aktivitas yang
dilakukan secara kongkret yaitu :
a. Instruksi pengungsian
b. Pencarian dan penyelamatan korban
c. Menjamin keamanan dilokasi bencana
d. Pengkajian terhadap kerugian akibat bencana
e. Pembagian dan penggunaan alat perlengkapan pada kondisi darurat,
f. Pengiriman dan penyerahan barang material
g. Menyediakan tempat pengungsian dan lain-lain.
Dari sudut pandang pelayanan medis, bencana lebih dipersempit lagi
dengan membaginya menjadi fase akut dan fase sub akut. Dalam fase
akut, 48 jam pertama sejak bencana terjadi disebut fase penyelamatan dan
pertolongan / pelayanan medis darurat terhadap orang orang yang terluka
pada saat mengungsi atau dievakuasi, serta dilakukan tindakan-tindakan
terhadap munculnya permasalahan kesehatan dalam pengungsian.
3. Fase pemulihan
Fase pemulihan dibedakan secara akurat dari dan sampai kapan, tetapi
fase ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan
kemampuannya sendiri dapat memulihkan fungsinya seperti sedia kala, (
sebelum terjadi bencana), orang-orang melakukan perbaikan darurat
tempat tinggalnya, pindah kerumah sementara, mulai masuk sekolah
ataupun bekerja kembali sambil memulihkan lingkungan tempat
tinggalnya. Kemudian mulai dilakukan rehabilitasi lifeline dan aktivitas

8
untuk membuka kembali usahanya. Institusi pemerintah juga memulai
memberikan kembali pelayanan seqqcara normal serta mulai menyusun
rencana-rencana untuk rekonstruksi sambil terus memberikan bantuan
kepada para korban. Fase ini bagaimanapun juga hanya merupakan fase
pemulihan dan tidak sampai mengembalikan fungsi-fungsi normal seperti
sebelum bencana terjadi. Dengan kata lain, fase ini merupakan masa
peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang.
4. Fase Rehabilitasi / Rekonstruksi.
Jangka waktu fase Rehabilitasi / Rekonstruksi juga tidak dapat
ditentukan, namun ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat
berusaha menegembalikan fungsi-fungsinya seperti sebelum bencana dan
merencanakan rehabilitasi terhadap seluruh komunitas. Tetapi, seseorang
atau masyarakat tidak dapat kembali pada keadaan yang sama seperti
sebelum mengalami bencana, sehingga dengan menggunaan
pengalamannya tersebut diharapkan kehidupan individu serta keadaan
komunitas pun dapat dikembangkan secara progresif.

5. Pelayanan Medis Bencana berdasarkan Siklus Bencana


Kehidupan dan kondisi fisik serta psikis orang banyak akan mengalami
perubahan saat berhdapan dengan setiap siklus bencana. Oleh karena itu,
pelayanan medis yang dibutuhkan adalah yang juga akan berubah dalam
menanggulangi setiapsiklus bencana. Secara singkat akan diuraikan seperti di
bawah ini.
1. Fase akut dalam siklus bencana
Dilokasi bencana, pertolongan terhadap korban luka dan evakuasi dari
lokasi berbahaya ke tempat yang aman adalah hal yang paling diprioritaskan.
Untuk menyelamatkan korban luka sebanyak mungkin, maka sangat
diperlukan lancarnya pelaksanaan Triage ( triase), Treatment ( pertolongan
pertama), dan transportation ( transportasi) pada korban luka, yang dalam
pelayanan medis bencana disebut dengan 3T. selain tindakan penyelamatan
secara langsung, dibutuhkan juga perawatan terhadap mayat dan keluarga
yang ditinggalkan, baik di rumah sakit, lokasi bantuan perawatan darurat
maupun ditempat pengungsian yang menerima korban bencana.

9
2. Fase menengah dan panjang pada siklus bencana.
Pada fase ini, terjadi perubahan pada lingkungan tempat tinggal yaitu dari
tempat pengungsiam ke rumah sementara dan rumah yang direhabilitasi. Hal-
hal yang dilakukan diantaranya adalah : memperhatikan segi keamanan
supaya dapat menjalankan aktivitas hidup yang nyaman dengan tenang,
membantu terapi kejiwaan korban bencana, membantu kegiatan-kegiatan
untuk memulihkan kesehatan hidup dan membangun kembali komunitas
social
3. Fase tenang pada siklus bencana
Pada fase tenang diman tidak terjadi bancana, diperlukan pendidikan
penanggulangan bencana sebagai antisipasi saat bencana terjadi, pelatihan
pencegahan bencana pada komunitas dengan melibatkan penduduk setempat,
pengecekan dan pemeliharaan fasilitas peralatan pencegahan bencana baik di
daerah-daerah maupun pada fasilitas medis, srta membangun sistem jaringan
bantuan.

6. Penanggulangan Bencana di Bidang Kesehatan


Dengan melihat faktor resiko yang terjadi akibat bencana, maka
penanggulangan bencana sector kesehatan bisa dibagi menjadi aspek medis dan
aspek kesehatan masyarakat. Pelaksanaanya tentu harus melakukan koordinasi
dan kloaborasi dengan sector dan program terkait. Berikut ini merupakan ruang
lingkup bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan, terutama saat
tanggap darurat dan pasca bencana.
1. Sanitasi darurat.
Kegiatannya adalah penyediaan serta pengawasan air bersih dan
jamban :kualitas tempat pengungsian, serta pengaturan limbah sesuai
standard. Kekurangan jumlah maupun kualitas sanitasi ini akan
meningkatkan resiko penularan penyakit.
2. Pengendalian vector.
Bila tempat pengungsian dikategorikan tidak ramah, maka
kemungkinan terdapat nyamuk dan vector lain disekitar pengungsi. Ini
termasuk timbunann sampah dan genagan air yang memungkinkan
tejadinya perindukan vector. Maka kegiatan pengendalian vector terbatas

10
saat diperlukan baik dalam bentuk spraying, atau fogging, larvasiding,
maupun manipulasi lingkungan.
3. Pengendalian penyakit.
Bila dari laporan pos pos kesehatan diketahui terdapat peningkatan
kasus penyakit, terutama yang berpotensi KLB, maka dilakukan
pengendalian melalui intensifikasi penatalaksanaan kasus serta
penanggulangan faktor resikonya. Penyakit yang memerlukan perhatian
adalah diare dan ISPA.
4. Imunisasi terbatas.
Pengungsi pada umumnya rentan terhadap penyakit, terutama orang
tua, ibu hamil, bayi dan balita. Bagi bayi dan balita perlu imunisasi
campak bila dalam catatan program daerah tersebut belum mendapatkan
crash program campak. Jenis imunisasi lain mungkin diperlukan ssuai
dengan kebutuhan setempat seperti yang dilakukan untuk mencegah kolera
bagi sukarelawan di Aceh pada tahun 2005 dan imunisasi tetanus toksoid
(TT) bagi sukarelawan di DIY dan jateng apda tahun 2006.
5. Surveilanse Epidemologi.
Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi epidemologi
penyakit potensi KLB dan faktor resiko.atas informasi inilah maka dapat
ditentukan pengendalian penyakit, pengendalian vector, dan pemberian
imunisasi, informasi epidemologi yang harus diperoleh melalui kegiatan
surveilens epidemologi adalah :
a. Reaksi social
b. Penyakit menular
c. Perpindahan penduduk
d. Pengaruh cuaca
e. Makanan dan gizi
f. Persediaan air dan sanitasi
g. Kesehatan jiwa
Menurut DepKes RI (2006a) manajemen siklus penanggulangan bencana
terdiri dari:
1. impact (saat terjadi bencana)
2. Acute Response (tanggap darurat)
3. Recovery (pemulihan)

11
4. Development (pembangunan)
5. Prevention (pencegahan)
6. Mitigation (Mitigasi)
7. Preparedness (kesiapsiagaan).
Aktivitas yang dilakukan untuk menangani masalah kesehatan dalam
siklus bencana dibagi menjadi 2 macam, yaitu pada fase akut untuk menyelamatkan
kehidupan dan fase sub-akut sebagai perawatan rehabilitatif. Menurut DepKes RI
(2006a) untuk mengetahui manajemen penanggulangan bencana secara
berkesinambungan, perlu dipahami siklus penanggulangan bencana dan peran tiap
komponen pada setiap tahapan, sebagai berikut:
1. Kejadian bencana (impact)
Kejadian atau peristiwa bencana yang disebabkan oleh alam atau ulah manusia,
baik yang terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, dapat menyebabkan
hilangnya jiwa manusia, trauma fisik dan psikis, kerusakan harta benda dan
lingkungan, yang melampaui kemampuan dan sumberdaya masyarakat untuk
mengatasinya.
2. Tanggap darurat (acute response)
Upaya yang dilakukan segera setelah kejadian bencana yang bertujuan untuk
menanggulangi dampak yang timbul akibat bencana, terutama
penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian.
3. Pemulihan (recovery)
Proses pemulihan kondisi masyarakat yang terkena bencana baik dampak fisik dan
psikis, dengan memfungsikan kembali sarana dan prasarana pada keadaan semula.
Hal ini dilakukan dengan memperbaiki prasaran dan pelayanan dasar (jalan,
listrik, air bersih, pasar, Puskesmas dll) dan memulihkan kondisi trauma
psikologis yang dialami anggota masyarakat.
4. Pembangunan (development)
Merupakan fase membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat
bencana. Pembangunan ini dapat dibedakan menjadi 2 tahapan. Tahapan yang
pertama yaitu rehabilitasi yang merupakan upaya yang dilakukan setelah
kejadian bencana untuk membantu masyarakat memperbaiki rumah,
fasilitas umum dan fasilitas sosial serta menghidupkan kembali roda
ekonomi. Tahapan yang kedua yaitu rekonstruksi, yang merupakan
program jangka menengah dan jangka panjang yang meliputi program

12
fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada
kondisi yang sama atau lebih baik.
5. Pencegahan (prevention)
Tindakan pencegahan yang harus dilaksanakan antara lain berupa
kegiatan untuk meningkatkan kesadaran/kepedulian mengenai bahaya
bencana. Langkah-langkah pencegahan difokuskan pada intervensi terhadap
gejala-gejala alam dengan tujuan agar menghindarkan terjadinya bencana dan
atau menghindarkan akibatnya dengan cara menghilangkan/memperkecil
kerawanan dan meningkatkan ketahanan/kemampuan terhadap bahaya.
6. Mitigasi (mitigation)
Upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, baik secara fisik
struktural dengan pembuatan bangunan-bangunan fisik maupun non- fisik
struktural melalui perundang-undangan dan pelatihan. Mitigasi merupakan
semua aktivitas yang dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi derajat
risiko jangka panjang dalam kehidupan manusia yang berasal dari kerusakan alam
dan buatan manusia itu sendiri (Stoltman et al., 2004).
7. Kesiapsiagaan (preparedness)
Upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana, melalui
pengorganisasian langkah-langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Persiapan
adalah salah satu tugas utama dalam disaster managemen, karena
pencegahan dan mitigasi tidak dapat menghilangkan vulnerability maupun
bencana secara tuntas

7. Kategori bencana dan korbannya


Keadaan bencana dapat digolongkan berdasarkan jumlah korban yang
mencakup:
 Mass patient incident (jumlah korban yang datang ke UGD kurang dari 10
orang).
 Multiple cassuality incident (jumlah korban yang datang ke UGD antara
10 dan 100 orang).
 Mass cassuality incident (jumlah korban yang datang ke UGD lebih dari
100 orang)

13
8. Prinsip-prinsip dalam penatalaksanaan bencana
Ada 8 prinsip penatalaksanaan bencana, yaitu:
1. Mencegah berulangnya kejadian.
2. Meminimalkan jumlah korban
3. Mencegah korban selanjutnya.
4. Menyelamatkan korban yang cedera
5. Memberikan pertolongan pertama.
6. Mengevakuasi korban yang cidera.
7. Memberikan perawatan definitive.
8. Memperlancar rekonstruksi atau pemulihan.

9. Pencegahan
Tercapainya suatu pelayanan kesehatan yang optimal, terarah dan terpadu bagi
setiap anggota masyarakat yang berada dalam keadaan gawat darurat. Upaya
pelayanan kesehatan pada penderita gawat darurat pada dasarnya mencakup suatu
rangkaian kegiatan yang harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu
mencegah kematian atau cacat yang mungkin terjadi. Cakupan pelayanan
kesehatan yang perlu dikembangkan meliputi:
1. Penanggulangan penderita ditempat kejadian
2. Transpotasi penderita gawat darurat dan tempat kejadian kesarana
kesehatan yang lebih memadai
3. Upaya penyediaan sarana komunikasi untuk menunjang kegiatan
penanggulangan penderita gawat darurat
4. Upaya rujukan ilmu pengetahuan, pasien dan tenaga ahli
5. Upaya penanggulangan pendereita gawat darurat ditempat rujukan (Unit
Gawat Darurat dan ICU)
6. Upaya pembiayaan penderita gawat darurat

B. SISTEM PELAPORAN KLB


1. Pengertian
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1501/MENKES/PER/X/2010, Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya atau
meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian yang bermakna secara

14
epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu dan merupakan
keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.
Selain itu, Mentri Kesehatan RI (2010) membatasi pengertian wabah sebagai
berikut: “Kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang
jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang
lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka”.
Istilah wabah dan KLB memiliki persamaan, yaitu peningkatan kasus yang
melebihi situasi yang lazim atau normal, namun wabah memiliki konotasi keadaan
yang sudah kritis, gawat atau berbahaya, melibatkan populasi yang banyak pada
wilayah yang lebih luas.

2. Kriteria kejadian luar biasa


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1501/MENKES/PER/X/2010, suatu derah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB
apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau
tidak dikenal pada suatu daerah.
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu
dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan
periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis
penyakitnya.
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per
bulan dalam tahun sebelumnya.
5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata
jumlah kejadian kesakitan perbulan pada tahun sebelumnya.
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu)
kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau
lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.

15
7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya
dalam kurun waktu yang sama.

3. Faktor yang mempengaruhi timbulnya kejadian luar biasa (KLB)


Menurut Notoatmojo (2003), faktor yang mempengaruhi timbulnya Kejadian
Luar Biasa adalah:
1. Herd Immunity yang rendah
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya KLB/ wabah
adalah herd immunity. Secara umum dapat dikatakan bahwa herd
immunity ialah kekebalan yang dimiliki oleh sebagian penduduk yang
dapat menghalangi penyebaran. Hal ini dapat disamakan dengan tingkat
kekebalan individu. Makin tinggi tingkat kekebalan seseorang, makin sulit
terkena penyakit tersebut.
2. Patogenesitas
Patogenesitas merupakan kemampuan bibit penyakit untuk
menimbulkan reaksi pada pejamu sehingga timbul sakit.
3. Lingkungan Yang Buruk
Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organism, tetapi
mempengaruhi kehidupan ataupun perkembangan organisme tersebut

4. Pembagian daerah kejadian


Di tempat kejadian atau musibah masal, selalu terbagi atas:
1. Area 1 : Daerah kejadian (Hot zone)
Daerah terlarang kecuali untuk tugas penyelamat(rescue) yang sudah memakai
alat proteksi yang sudah benar dan sudah mendapat ijin masuk dari komandan
di area ini.

2. Area 2 :Daerah terbatas (Warm zone)


Di luar area 1, hanya boleh di masuki petugas khusus, seperti tim kesehatan,
dekotanminasi, petugas atau pun pasien. Pos komando utama dan sektor
kesehatan harus ada pada area ini.

16
3. Area 3 : Daerah bebas (Cold zone)
Di luar area 2, tamu, wartawan, masyarakat umum dapat berada di zone ini
karena jaraknya sudah aman. Pengambilan keputusan untuk pembagian area
itu adakah komando utama

5. Penanggulangan KLB
Penanggulanagn dilakukan melalui kegiatan yang secara terpadu oleh
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, meliputi:
1. Penyelidikan epidemilogis
Penyelidikan epidemiologi pada Kejadian Luar Biasa adalah untuk
mengetahui keadaan penyebab KLB dengan mengidentifikasi faktor-faktor
yang berkontribusi terhadap kejadian tersebut, termasuk aspek sosial dan
perilaku sehingga dapat diketahui cara penanggulangan dan pengendaian
yang efektif dan efisien (Anonim, 2004 dalam Wuryanto, 2009).
2. Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita termasuk
tindakan karantina.
Tujuannya adalah:
a. Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar sembuh dan
mencegah agar mereka tidak menjadi sumber penularan.
b. Menemukan dan mengobati orang yang tampaknya sehat, tetapi
mengandung penyebab penyakit sehingga secara potensial dapat
menularkan penyakit (carrier).
3. Pencegahan dan pengendalian
Merupakan tindakan yang dilakukan untuk memberi perlindungan kepada
orang-orang yang belum sakit, tetapi mempunyai resiko terkena penyakit
agar jangan sampai terjangkit penyakit.
4. Pemusnahan penyebab penyakit
Pemusnahan penyebab penyakit terutama pemusnahan terhadap bibit
penyakit/kuman dan hewan tumbuh-tumbuhan atau benda yang
mengandung bibit penyakit.
5. Penanganan jenazah akibat wabah
Terhadap jenazah akibat penyebab wabah perlu penanganan secara khusus
menurut jenis penyakitnya untuk menghindarkan penularan penyakit pada
orang lain.

17
6. Penyuluhan kepada masyarakat
Penyuluhan kepada masyarakat, yaitu kegiatan komunikasi yang bersifat
persuasif edukatif tentang penyakit yang dapat menimbulkan wabah agar
mereka mengerti sifat-sifat penyakit, sehingga dapat melindungi diri dari
penyakit tersebut dan apabila terkena, tidak menularkannya kepada orang
lain. Penyuluhan juga dilakukan agar masyarakat dapat berperan serta aktif
dalam menanggulangi wabah.
7. Upaya penanggulangan lainnya
Upaya penanggulangan lainya adalah tindakan-tindakan khusus masing-
masing penyakit yang dilakukan dalam rangka penanggulangan wabah.
(Menteri Kesehatan RI, 2010)

6. Komponen yang disiapkan dalam menghadapi bencana


Persiapan masyarakat, triage lapangan, persiapan Rumah Sakit, dan persiapan
UGD.
1) Perencanaan menghadapi bencana akan mencakup banyak sumber daya:
a) Pejabat polisi, pemadam kebakaran, pertahanan sipil, pamong praja
terutama yang terlibat dalam penanganan bencana dan bahan berbahaya.
b) Harus sering dilatih dan di evaluasi.
c) Memperhitungkan gangguan komunikasi, misalnya karena jaringan
telepon rusak atau sibuk.
d) Mempunyai pusat penyimpanan perbekalan, tergantung dari jenis bencana
yang di duga dapat terjadi.
e) Mencakup semua aspek pelayanan kesehatan dari pertolongan pertama
sampai terapi definitip.
f) Mempersiapkan transportasi penderita apabila kemampuan local terbatas.
g) Memperhitungkan penderita yang sudah di rawat untuk kemudian di rujuk
karena masalah lain.

2) Perencanaan Pada Tingkat Rumah Sakit


Perencanaan bencana rumah sakit harus mulai dilaksanakan meliputi:
a) Pemberitahuan kepada semua petugas.
b) Kesiapan daerah triase dan terapi.

18
c) Klasifikasi penderita yang sudah di rawat, untuk penentuan sumber daya.
d) Pemeriksaan perbekalan (darah, cairan IV, medikasi) dan bahan lain
(makanan, air, listrik, komunikasi) yang mutlak di perlukan rumah sakit.
e) Persiapan dekontaminasi (bila diperlukan).
f) Persiapan masalah keamanan.
g) Persiapan pembentukan pusat hubungan masyarakat.

7. Yang bertanggung jawab adanya bencana


Tugas penyelenggaraan penanggulangan bencana ditangani oleh Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat Pusat dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat Daerah.
1) Tingkat Pusat
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan Lembaga
Pemerintah Nondepartemen setingkat menteri yang memiliki fungsi
perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan
pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan
pengoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu dan menyeluruh. Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) mempunyai tugas :
a. memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan
bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap
darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara;
b. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan;
c. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
d. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada
Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap
saat dalam kondisi darurat bencana;
e. menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan
nasional dan internasional;
f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
g. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-
undangan;

19
h. menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah. Tugas dan kewenangan Departemen Kesehatan adalah
merumuskan kebijakan, memberikan standar dan arahan serta
mengkoordinasikan penanganan krisis dan masalah kesehatan lain baik
dalam tahap sebelum, saat maupun setelah terjadinya.
Dalam pelaksanaannya dapat melibatkan instansi terkait baik
Pemerintah maupun non Pemerintah, LSM, Lembaga Internasional,
organisasi profesi maupun organisasi kemasyarakatan sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku. Selain itu Departemen Kesehatan
secara aktif membantu mengoordinasikan bantuan kesehatan yang
diperlukan oleh daerah yang mengalami situasi krisis dan masalah
kesehatan lain.
2) Daerah
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah perangkat daerah
yang dibentuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi penyelenggaraan
penanggulangan bencana di daerah. Pada tingkat provinsi BPBD dipimpin
oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib dan
pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah
bupati/walikota atau setingkat eselon IIa. Kepala BPBD dijabat secara
rangkap (ex-officio) oleh Sekretaris Daerah yang bertanggungjawab langsung
kepada kepala daerah. BPBD terdiri dari Kepala, Unsur Pengarah
Penanggulangan Bencana dan Unsur Pelaksana Penanggulangan Bencana.
BPBD mempunyai fungsi :
a. perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan
efisien
b. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu dan menyeluruh.

BPBD mempunyai tugas :

a. Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan


pemerintah daerah dan BNPB terhadap usaha penanggulangan bencana

20
yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi,
serta rekonstruksi secara adil dan setara.
b. Menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan
penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
c. Menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana
d. Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana
e. Melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada
wilayahnya
f. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala
daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat
dalam kondisi darurat bencana
g. Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang
h. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
i. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang –
undangan
3) Dinkes
Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai salah satu
anggota Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana merupakan
penanggungjawab dalam penanganan kesehatan akibat bencana dibantu oleh
unit teknis kesehatan yang ada di lingkup Provinsi dan Kabupaten Kota.
Pelaksanaan tugas penanganan kesehatan akibat bencana di lingkungan Dinas
Kesehatan dikoordinasi oleh unit yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan
dengan surat keputusan.
Tugas dan kewenangan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota
adalah melaksanakan dan menjabarkan kebijakan, memberikan standar dan
arahan serta mengkoordinasikan kegiatan penanganan kesehatan akibat
bencana di wilayah kerjanya.
Dalam hal memerlukan bantuan kesehatan karena ketidak seimbangan
antara jumlah korban yang ditangani dengan sumber daya yang tersedia di
tempat, dapat meminta bantuan ke Depkes cq Pusat Penanggulangan Krisis
maupun ke Pusat Bantuan Regional. Tingkat kabupaten/kota Kepala dinas
kabupaten/kota menerima berita tentang terjadinya bencana dar kecamatan,
melakukan kegiatan :

21
1. Berkoordinasi dengan anggota Satlak PB dalam penanggulangan bencana
2. Mengaktifkan pusdalops penanggulangan tingkat Kabupaten/Kota termasuk RS
Swasta Rumkit TNI dan POLRIu untuk mempersiapkan penerimaan penderita
yang dirujuk dari lokasi bencana dan tempat penanganan pengungsi
3. Berkoordinasi dengan RS Kabupaten/Kota termasuk RS Swasta Rumkit TNI dan
POLRI untuk mempersiapkan penerimaan penderita yang dirujuk dari lokasi
bencana dan tempat penampungan pengungsi.
4. Menyiapkan dan mengirim tenaga kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan ke
lokasi bencana
5. Menghubungi Puskesmas di sekitar lokasi bencana untuk mengirimkan dokter,
perawat dan peralatan yang diperlukan termasuk ambulans ke lokasi bencana
6. Melakukan penilaian kesehatan cepat terpadu (Integrated Rapid Health
Assessment)
7. Melakukan penanggulangan gizi darurat
8. Memberikan imunisasi campak di tempat pengungsian bagi anak-anak dibawah
usia 15 tahun
9. Melakukan surveilans epidemiologi terhadap penyakit potensial wabah,
pengendalian vector serta pengawasan kualitas air dan lingkungan
10. Apabila kejadian bencana melampaui batas wilayah Kabupaten/Kota, maka
sebagai penanggung jawab adalah Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
Direktur Rumah Sakit Kabupaten/Kota melakukan kegiatan :

1. Menghubungi lokasi bencana untuk mempersiapkan instalasi gawat darurat dan


fuang perawatan untuk menerima rujukan penderita dari lokasi bencana dan
tempat penampungan pengungsi
2. Menyiapkan instalasi gawat darurat dan instalasi rawat inap untuk menerima
rujukan penderita dari lokasi bencana atau tempat penampungan pengungsi dan
melakukan pengaturan jalur evakuasi
3. Menyiapkan dan mengirimkan tenaga dan peralatan kesehatan ke lokasi bencana
bila diperlukan

4) Unit Pelaksana Teknis Depkes


Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) dan Balai Teknis Kesehatan
Lingkungan Pemberantasan Penyakit Menular merupakan unit-unit pelaksana
teknis Depkes di daerah. KKP berperan dalam memfasilitasi penanganan
keluar masuknya bantuan sumber daya kesehatan melalui pelabuhan laut/udara

22
dan daerah perbatasan, karantina kesehatan. BTKL berperan dalam perkuatan
sistem kewaspadaan dini dan rujukan laboratorium

8. Kebijakan dalam penanganan krisis kesehatan


Kejadian bencana selalu menimbulkan krisis kesehatan, maka penanganannya
perlu diatur, Informasi penanganan krisis akibat bencana harus dilakukan dengan
cepat, tepat, akurat dan sesuai kebutuhan. Pada tahap pra, saat dan pasca bencana
pelaporan informasi masalah kesehatan akibat bencana dimulai dari tahap
pengumpulan sampai penyajian informasi dilakukan untuk mengoptimalisasikan
upaya penanggulangan krisis akibat bencana :
a. Setiap korban akibat bencana perlu mendapatkan pelayanan kesehatan
sesegera mungkin secara maksimal dan manusiawi.
b. Prioritas awal selama masa tanggap darurat adalah penanganan gawat darurat
medik terhadap korban luka dan identifikasi korban mati disarana kesehatan.
c. Prioritas berikutnya adalah kegiatan kesehatan untuk mengurangi risiko
munculnya bencana lanjutan, di wilayah yang terkena bencana dan lokasi
pengungsian.
d. Koordinasi pelaksanaan penanganan krisis kesehatan akibat bencana dilakukan
secara berjenjang mulai dari tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat.
e. Pelaksanaan penanganan krisis kesehatan dilakukan oleh Pemerintah dan dapat
dibantu dari berbagai pihak, termasuk bantuan negara sahabat, lembaga donor,
LSM nasional atau internasional, dan masyarakat.
f. Bantuan kesehatan dari dalam maupun luar negeri, perlu mengikuti standar
dan prosedur yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan.
g. Pengaturan distribusi bantuan bahan, obat, dan perbekalan kesehatan serta
SDM kesehatan dilaksanakan secara berjenjang.
h. Dalam hal kejadian bencana yang mengakibatkan tidak berjalannya fungsi
pelayanan kesehatan setempat, kendali operasional diambil alih secara
berjenjang ke tingkat yang lebih tinggi.
i. Penyampaian informasi yang berkaitan dengan penanggulangan kesehatan
pada bencana dikeluar-kan oleh Dinas Kesehatan setempat selaku anggota
Satkorlak/Satlak

23
j. Perlu dilakukan monitoring dan evaluasi berkala yang perlu diikuti oleh semua
pihak yang terlibat dalam pelaksanaan penanggulangan kesehatan, sekaligus
menginformasikan kegiatan masing-masing.

9. Pengelolaam data dan informasi penanganan krisis


1. Informasi pada Awal Terjadinya Bencana
a. Jenis Informasi dan Waktu Penyampaian
Informasi yang dibutuhkan pada awal terjadinya bencana (Lihat Lampiran 3
dan 6 untuk Form B-1 dan Form B-4) disampaikan segera setelah kejadian
awal diketahui dan dikonfirmasi kebenarannya, meliputi:
1) Jenis bencana dan waktu kejadian bencana yang terdiri dari tanggal,
bulan, tahun serta pukul berapa kejadian tersebut terjadi.
2) Lokasi bencana yang terdiri dari desa, kecamatan, kabupaten/kota dan
provinsi bencana terjadi.
3) Letak geografi dapat diisi dengan pegunungan, pulau/kepulauan, pantai
dan lain-lain.
4) Jumlah korban yang terdiri dari korban meninggal, hilang, luka berat,
luka ringan dan pengungsi.
5) Lokasi pengungsi.
6) Akses ke lokasi bencana meliputi akses dari: ▪ Kabupaten/kota ke
lokasi dengan pilihan mudah/sukar, waktu tempuh berapa lama dan
sarana transportasi yang digunakan. ▪ Jalur komunikasi yang masih
dapat digunakan. ▪ Keadaan jaringan listrik. ▪ Kemudian informasi
tanggal dan bulan serta tanda tangan pelapor dan lokasinya.
b. Sumber Informasi
Sumber informasi mengenai kejadian bencana dapat berasal:
1) Masyarakat
2) Sarana pelayanan kesehatan
3) Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota
4) Lintas sektor

Informasi disampaikan menggunakan:

1) Telepon
2) Faksimili

24
3) Telepon seluler
4) Internet
5) Radio komunikasi
6) Telepon satelit
c. Alur Mekanisme dan Penyampaian Informasi
Informasi awal tentang krisis pada saat kejadian bencana dari lokasi
bencana langsung dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau
Provinsi, maupun ke Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan
dengan menggunakan sarana komunikasi yang paling memungkinkan pada
saat itu. Informasi dapat disampaikan oleh masyarakat, unit pelayanan
kesehatan dan lain-lain. Unit penerima informasi harus melakukan
konfirmasi.
2. Informasi Penilaian Kebutuhan Cepat
a. Jenis Informasi dan Waktu Penyampaian
Penilaian kebutuhan cepat penanggulangan krisis akibat bencana dilakukan
segera setelah informasi awal diterima. Informasi yang dikumpulkan,
meliputi:
1) Jenis bencana dan waktu kejadian bencana.
2) Tingkat keseriusan dari bencana tersebut, misalnya banjir ketinggian
air mencapai 2 m, gempa bumi dengan kekuatan 7 Skala Richter.
3) Tingkat kelayakan yaitu luas dari dampak yang ditimbulkan dari
bencana tersebut.
4) Kecepatan perkembangan misalnya konflik antar suku disatu daerah,
bila tidak cepat dicegah maka dapat dengan cepat meluas atau
berkembang ke daerah lain.
5) Lokasi bencana terdiri dari dusun, desa/kelurahan, kecamatan,
kabupaten/kota dan provinsi.
6) Letak geografi terdiri dari pegunungan, pantai, pulau/kepulauan dan
lain-lain.
7) Jumlah penduduk yang terancam.
8) Jumlah korban meninggal, hilang, luka berat, luka ringan, pengungsi
(dibagi dalam kelompok rentan bayi, balita, bumil, buteki, lansia),
lokasi pengungsian, jumlah korban yang dirujuk ke Puskesmas dan
Rumah Sakit.

25
9) Jenis dan kondisi sarana kesehatan dibagi dalam tiga bagian yaitu
informasi mengenai kondisi fasilitas kesehatan, ketersediaan air bersih,
sarana sanitasi dan kesehatan lingkungan.
10) Akses ke lokasi bencana terdiri dari mudah/ sukar, waktu tempuh dan
transportasi yang dapat digunakan.
11) Kondisi sanitasi dan kesehatan lingkungan di lokasi penampungan
pengungsi.
12) Kondisi logistik dan sarana pendukung pelayanan kesehatan.
13) Upaya penanggulangan yang telah dilakukan.
14) Bantuan kesehatan yang diperlukan.
15) Rencana tindak lanjut.
16) Tanggal, bulan dan tahun laporan, tanda tangan pelapor serta diketahui
oleh Kepala Dinas Kesehatan.
b. Sumber Informasi
Informasi dikumpulkan oleh Tim Penilaian Kebutuhan Cepat yang
bersumber dari:
1) Masyarakat
2) Sarana pelayanan kesehatan
3) Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota
4) Lintas sektor
Informasi disampaikan melalui:
1) Telepon
2) Faksimili
3) Telepon seluler
4) Internet dan Radio komunikasi
c. Alur Mekanisme dan Penyampaian Informasi
Informasi penilaian kebutuhan cepat disampaikan secara berjenjang mulai
dari institusi kesehatan di lokasi bencana ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, kemudian diteruskan ke Dinas Kesehatan Provinsi, dari
Provinsi ke Departemen Kesehatan melalui Pusat Penanggulangan Krisis
Departemen Kesehatan dan dilaporkan ke Menteri Kesehatan.
3. Informasi Perkembangan Kejadian Bencana
a. Jenis Informasi dan Waktu Penyampaian

26
Informasi perkembangan kejadian bencana dikumpulkan setiap kali terjadi
perkembangan informasi penanggulangan krisis akibat bencana. Informasi
perkembangan kejadian bencana meliputi:
1) Tanggal/bulan/tahun kejadian.
2) Jenis bencana.
3) Lokasi bencana.
4) Waktu kejadian bencana.
5) Jumlah korban keadaan terakhir terdiri dari meninggal, hilang, luka
berat, luka ringan, pengungsi (dibagi dalam bayi, balita, bumil, buteki,
lansia) dan jumlah korban yang dirujuk.
6) Upaya penanggulangan yang telah dilakukan.
7) Bantuan segera yang diperlukan.
8) Rencana tindak lanjut.
9) Tanggal, bulan dan tahun laporan, tanda tangan pelapor serta diketahui
oleh Kepala Dinas Kesehatan.
b. Sumber informasi
Informasi disampaikan oleh institusi kesehatan di lokasi bencana
(Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Kesehatan). Informasi disampaikan
melalui:
1) Telepon
2) Faksimili
3) Telepon seluler
4) Internet
5) Radio komunikasi
6) Telepon satelit
c. Alur Mekanisme dan Penyampaian Informasi
Informasi perkembangan disampaikan secara berjenjang mulai dari institusi
kesehatan di lokasi bencana ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
kemudian diteruskan ke Dinas Kesehatan Provinsi, dari Provinsi ke
Departemen Kesehatan melalui Pusat Penanggulangan Krisis dan
dilaporkan ke Menteri Kesehatan.

27
1) Tingkat Puskesmas
- Menyampaikan informasi pra bencana ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
- Menyampaikan informasi rujukan ke Rumah Sakit
Kabupaten/Kota bila diperlukan.
- Menyampaikan informasi perkembangan bencana ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/ Kota.
2) Tingkat Kabupaten/Kota
- Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menyam-paikan informasi awal
bencana ke Dinas Kesehatan Provinsi.
- Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan penilaian kebutuhan
pelayanan di lokasi bencana Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
menyam-paikan laporan hasil penilaian kebutuhan pelayanan ke
Dinas Kesehatan Provinsi dan memberi respon ke Puskesmas dan
Rumah Sakit Kabupaten/Kota.
- Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menyam-paikan informasi
perkembangan bencana ke Dinas Kesehatan Provinsi.
- Rumah Sakit Kabupaten/Kota menyampaikan informasi rujukan
dan perkembangannya ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan
Rumah Sakit Provinsi bila diperlukan.
3) Tingkat Provinsi
- Dinas Kesehatan Provinsi menyampaikan informasi awal kejadian
dan perkembangannya ke Departemen Kesehatan melalui Pusat
Penang-gulangan Krisis. Dinas Kesehatan Provinsi melakukan
kajian terhadap laporan hasil penilaian kebutuhan pelayanan yang
dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
- Dinas Kesehatan Provinsi menyampaikan laporan hasil kajian ke
Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan dan memberi
respons ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Rumah Sakit
Provinsi.
- Rumah Sakit Provinsi menyampaikan informasi rujukan dan
perkembangannya ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Rumah Sakit
Rujukan Nasional bila diperlukan.

28
4) Tingkat Pusat
- Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan
menyampaikan informasi awal kejadian, hasil kajian penilaian
kebutuhan pelayanan dan perkembangannya ke Sekretaris
Jenderal Departemen Kesehatan, Pejabat Eselon I dan Eselon II
terkait serta tembusan ke Menteri Kesehatan.
- Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan melakukan
kajian terhadap laporan hasil penilaian kebutuhan pelayanan yang
dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi. ▪ Rumah Sakit Umum
Pusat Nasional menyampaikan informasi rujukan dan perkem-
bangannya ke Pusat Penanggulangan Krisis Departemen
Kesehatan bila diperlukan. ▪ Pusat Penanggulangan Krisis beserta
unit terkait di lingkungan Departemen Kesehatan merespons
kebutuhan pelayanan kesehatan yang diperlukan.
4. Pengelolaan Data
a. Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan mencakup:
1) Data bencana
2) Data sumber daya (sarana, tenaga dan dana)
3) Data sanitasi dasar
4) Data upaya kesehatan penanggulangan bencana
5) Data status kesehatan dan gizi
6) Data mengenai masalah pelayanan kesehatan

Peran institusi dalam pengumpulan data, antara lain:

1) Puskesmas mengumpulkan data bencana, sumber daya (sarana, tenaga


dan dana), sanitasi dasar, upaya kesehatan, penanggulangan bencana,
status kesehatan dan gizi serta data mengenai masalah pelayanan
kesehatan.
2) Rumah Sakit mengumpulkan data pelayanan kesehatan rujukan korban
bencana dan sumber daya kesehatan.
3) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengumpulkan data bencana,
masalah kesehatan dan sumber daya kesehatan dari Puskesmas dan
Rumah Sakit.

29
4) Dinas Kesehatan Provinsi mengumpulkan data bencana, masalah
kesehatan dan sumber daya kesehatan dari Dinas Kabupaten/Kota atau
dari Rumah Sakit.
b. Pengolahan Data
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengolahan data, antara lain:
1) Puskesmas melakukan pengolahan data mengenai masalah kesehatan
untuk melihat besaran dan kecenderungan permasalahan kesehatan
untuk peningkatan pelayanan.
2) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pengolahan data dari
Puskesmas dan Rumah Sakit mengenai masalah kesehatan untuk
melihat besaran dan kecenderungan permasalahan kesehatan,
kebutuhan sumber daya untuk pelayanan kesehatan dan sanitasi dasar
untuk merumuskan kebutuhan bantuan.
3) Dinas Kesehatan Provinsi melakukan pengolahan data dari Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dan Rumah Sakit Provinsi mengenai
masalah kesehatan untuk melihat besaran dan kecenderungan
permasalahan kesehatan, kebutuhan sumber daya untuk pelayanan
kesehatan untuk merumuskan kebutuhan bantuan.
4) Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan melakukan
pengolahan data dari Dinas Kesehatan Provinsi mengenai masalah
kesehatan untuk melihat besaran dan kecenderungan permasalahan
kesehatan, kebutuhan sumber daya untuk pelayanan kesehatan dan
merumuskan kebutuhan bantuan bersama dengan unit terkait.
c. Penyajian Data
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyajian data, antara lain :
1) Puskesmas menyiapkan data masalah kesehatan dalam bentuk tabel,
grafik, pemetaan, dll untuk dilaporkan kepada Dinas Kesehatan
kabupaten/Kota.
2) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan penyajian data dapat
dalam bentuk bentuk tabel, grafik, pemetaan, dll.
3) Dinas Kesehatan Provinsi melakukan penyajian data dapat dalam
bentuk tabel, grafik, pemetaan, dll.

30
4) Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan melakukan
penyajian data dalam bentuk tabel, grafik, Pemetaan dan dimuat dalam
web-site, dan lain-lain.
d. Penyampaian
Informasi yang diperoleh dapat disampaikan dengan menggunakan:
1) Kurir
2) Radio Komunikasi
3) Telepon
4) Faksimili
5) E-mail
10. EVALUASI, PENCATATAN, DAN PELAPORAN
1. Evaluasi
Evaluasi setiap kegiatan penanggulangan bencana dilakukan di tiap jenjang
administrasi
2. Pencatatan
a. Pelayanan kesehatan dasar dan rujukan
b. Penggunaan obat dan perbekalan kesehatan
c. Penerimaan dan pendistribusian bantuan yang diterima dari dalam dan
luar negri
d. Mobilisasi tenaga kesehatan dalam dan luar negri
3. Pelaporan
a. Pelaporan disampaikan pada kesempatan pertama dengan sarana
komunikasi yang ada. Periodisasi atau kala waktunya disesuaikan
dengan kebutuhan dan situasi serta kondisi dilapangan
b. Pelaporan dilakukan berjenjang mulai dari koordinator di lapangan
sampai ke tingkat Propinsi dan Pusat Penanggulangan Krisis (PPK)

31
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di beberapa daerah di Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana. Dengan
banyaknya bencana, kesiagaan dan pelaksanaan tanggap bencana harus dilakukan
dengan baik. Karena dampak yang ditimbulkan bencana tidaklah sederhana, maka
penanganan korban bencana harus dilakukan dengan terkoordinasi dengan baik
sehingga korban yang mengalami berbagai sakit baik fisik, sosial, dan emosional
dapat ditangani dengan baik dan manusiawi.
Perawat sebagai kaum yang telah dibekali dasar-dasar kejiwaan kebencanaan
dapat melakukan berbagai tindakan tanggap bencana. Seharusnya modal itu
dimanfaatkan oleh mahasiswa keperawatan agar secara aktif turut melakukan
tindakan tanggap bencana.

B. Saran
Perawat adalah tenaga kesehatan yang sangat berkompeten untuk melakukan
pelayanan kesehatan di daerah yang sedang mengalami bencana, oleh karena itu
diharapkan bagi mahasiswa keperawatan maupun perawat yang sudah berpengalaman
dalam praktik pelayanan kesehatan mau untk berperan dalam penanggulangan
bencana yang ada di sekitar kita. Karena ilmu yang didapat di bangku perkuliahan
sangat relevan dengan yang terjadi di masyarakat, yaitu fenomena masalah kesehatan
yang biasanya muncul di tempat yang sedang terjadi bencana.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. C. Long Barbara. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Yayasan Ikatan Alumni


Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung.
2. Nurjannah, dkk. 2013. Manajemen Bencana. Penerbit Alfa Beta, Bandung.
3. Bencana, Pujiono. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Penanggulangan Bencana Paragdima Penanggulangan.

33

Anda mungkin juga menyukai