PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Menurut WHO (2002) disaster (bencana) adalah setiap kejadian yang menyebabkan
kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau memburuknya derajat kesehatan
atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau
wilayah yang terkena.
Menurut Asian Disaster Reduction Center (2003) yang dikutip Wijayanto (2012),
Bencana adalah suatu gangguan serius terhadap masyarakat yang menimbulkan kerugian secara
meluas dan dirasakan baik oleh masyarakat, berbagai material dan lingkungan (alam) dimana
dampak yang ditimbulkan melebihi kemampuan manusia guna mengatasinya dengan sumber
daya yang ada.
Secara geografis dan geologis Indonesia sebenarnya rawan terhadap bencana, seperti
gempa bumi, tanah longsor, tsunami, banjir, letusan gunung berapi, angin kencang bahkan
kebakaran hutan. Bencana ini menimbulkan kerugian dan kerusakan yang sangat parah.
Bencana, utamanya bencana alam sebagai fenomena geografis, geologis dan geofisis tidak dapat
dicegah terjadinya oleh manusia. Penanganan bencana pada dasarnya di tujukan sebagai upaya
untuk meredam dampaknya dan memperkecil korban jiwa, kerusakan dan kerugian yang
diakibatkan oleh bencana. Jadi penanganan bencana bukan mencegah untuk terjadinya
melainkan mencegah dampak atau akibat yang ditimbulkan oleh bencana dan memperkecil
korban jiwa, kerugian secara ekonomis dan kerusakannya. Sudah sejak lama masyarakat
tradisional bisa mengantisipasi terjadinya bencana karena mereka mampu melakukan prediksi,
previsi dan preservasi secara langsung. Masalahnya adalah pada era informasi dan teknologi
seperti sekarang ini apakah masih mengandalkan pengetahuan dan naluri tradisional dalam
penanganan bencana. Selain bencana alam ada juga bencana non alam seperti konflik sosial,
epidemi, wabah penyakit serta kegagalan teknologi. Kegagalan teknologi adalah semua kejadian
bencana yang diakibatkan oleh kesalahan desain, pengoperasian dan kelalaian serta kesengajaan
manusia dalam penggunaan teknologi dan/atau industri ( Sutanto, 2017)
1
Sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di wilayah yang rentan terhadap bencana
alam, termasuk gempa bumi. Bencana gempa yang diikuti dengan pengungsian berpotensi
menimbulkan masalah kesehatan; namun demikian, pelayanan kesehatan pada kondisi bencana
sering menghadapi kendala, antara lain akibat rusak atau tidak memadainya fasilitas kesehatan.
Tulisan ini mendiskusikan permasalahan kesehatan dalam kondisi bencana dan mengkaji peran
petugas kesehatan serta partisipasi masyarakat dalam penanggulangannya. Sebagian besar
informasi dalam tulisan ini disusun berdasarkan basil studi "Kajian Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Korban Gempa Bantul 2006" pada tahun 2010 serta penelusuran literatur terkait (desk review).
Hasil studi menunjukkan bahwa di sektor kesehatan, berbagai piranti legal (peraturan, standar)
telah menyebutkan peran penting petugas kesehatan dalam penanggulangan bencana. Bencana
tidak hanya menimbulkan korban meninggal dan luka serta rusaknya berbagai fasilitas
kesehatan, tetapi juga berdampak pada permasalahan kesehatan masyarakat, seperti munculnya
berbagai penyakit paskagempa, fasilitas air bersih dan sanitasi lingkungan yang kurang baik,
trauma kejiwaan serta akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan pasangan.
Petugas kesehatan bersama dengan masyarakat berperan dalam penanggulangan bencana gempa,
mulai dari sesaat setelah gempa (hari ke-1 hingga hari ke-3), masa tanggap darurat (hari ke-3
hingga sebulan) serta masa rehabilitasi dan rekonstruksi (sejak sebulan paskagempa). Beberapa
faktor turut mendukung kelancaran petugas Puskesmas dalam melakukan tindakan gawat darurat
pada saat gempa, termasuk partisipasi aktif masyarakat dan relawan dalam membantu
penanganan korban (Widayatun&Fatoni,2013)
Dalam proses penanggulangan bencana ada bebarapa kelompok yang dianggap beresiko
atau rentan, salah satunya kelompok ibu hamil. Ibu hamil merupakan salah satu kelompok rentan
pasca bencana. Beberapa penelitian menemukan bahwa tingkat depressi lebih tinggi ibu hamil
yang mengalami bencana dibanding dengan ibu hamil yang berada pada populasi umum (Tri
Astuti,dkk, 2018).
2
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
C. Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Defenisi Disaster
Bencana dapat didefinisikan dalam berbagai arti baik secara normatif maupun pendapat
para ahli. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan
dampak psikologis.
Manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut dan terpadu untuk
meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan observasi dan analisis
bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat,
rehabilitasi dan rekonstruksi bencana. (UU 24/2007).
4
Manajemen bencana menurut Nurjanah (2012:42) sebagai Proses dinamis tentang
bekerjanya fungsi-fungsi manajemen bencana seperti planning, organizing, actuating, dan
controling. Cara kerjanya meliputi pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan tanggap darurat dan
pemulihan.
Ibu Hamil adalah kondisi dimana seseorang wanita mengandung janin hasil hubungan
seksual antara pria dan wanita( Soewito,M. 2016)
Manjemen keperawatan bencana pada ibu hamil adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan
untuk mengendalikan bencana dan keadaan darurat pada ibu hamil sekaligus memberikan
kerangka kerja untuk menolong ibu hamil dalam keadaan beresiko tinggi agar dapt menghindari
ataupun pulih dari dampak bencana (Amalia, 2014)
1. Mencegah dan membatasi jumlah korban manusia serta kerusakan harta benda dan
lingkungan hidup
2. Menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan penghidupan korban
3. Mengembalikan korban bencana dari daerah penampungan/ pengungsian ke daerah asal
bila memungkinkan atau merelokasi ke daerah baru yang layak huni dan aman
4. Mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti komunikasi/ transportasi, air
minum, listrik, dan telepon, termasuk mengembalikan kehidupan ekonomi dan sosial
daerah yang terkena bencana
5. Mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut
6. Meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi dalam konteks pembangunan
5
Menurut (Amalia, 2014) tujuan manajemen bencana terdiri dari :
1. Mengurangi atau menghindari kerugian secara fisik, ekonomi maupun jiwa yang dialami
oleh perorangan, masyarakt negara.
3. Mempercepat pemulihan
Untuk tujuan diatas diperlukan beberapa tahap dalam upaya untuk menangani suatu bencana
1. Penanganan Darurat; yaitu upaya untuk menyelamatkan jiwa dan melindungi harta serta
menangani gangguan kerusakan dan dampak lain suatu bencana. Sedangkan keadaan darurat
yaitu kondisi yang diakibatkan oleh kejadian luar biasa yang berada di luar kemampuan
masyarakat untuk menghadapnya dengan sumber daya atau kapasitas yang ada sehingga
tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dan terjadi penurunan drastic terhadap
kualitas hidup, kesehatan atau ancaman secara langsung terhadap keamanan banyak orang di
dalam suatu kominitas atau lokasi.
2. Pemulihan (recovery);adalah suatu proses yang dilalui agar kebutuhan pokok terpenuhi.
Proses recovery terdiri dari:
6
banjir, biopori, penanaman tanaman keras di lereng bukit untuk menghindari banjir dsb.
Namun perlu disadari bahwa pencegahan tidak bisa 100% efektif terhadap sebagian besar
bencana.
4. Mitigasi (mitigation); yaitu upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak buruk dari
suatu ancaman. Misalnya : penataan kembali lahan desa agar terjadinya banjir tidak
menimbulkan kerugian besar.
7
perawat dapat dimulai sejak tahap mitigasi (pencegahan), tanggap darurat bencana dalam fase
prehospital dan hospital, hingga tahap recovery.
Terdapat individua tau kelompok kelompok tertentu dalam masyarkat yang lebih rentan
terhadap efek lanjut dari kejadian bencana yang memerlukan perhatian dan penanganan khususu
untuk mencegah kondisi yang lebih buruk pasca bencana. Kelompok kelompok ini diantaranya :
anak anak, perempuan, terutama ibu hamil dan menyusui, lansia, individu individu yang
menderita penyakit kronik dan kecacatan. Identifikasi dan pemetaan kelompok beresiko melalui
pengumpulan informasi dan data demografi akan mempermudah perencanaan tindakan
kesiapsiagaan dalam menghadapi kejadian bencana di masyarakat.
Wanita hamil, bayi baru lahir, dan bayi bisa tidak proporsional dirugikan oleh bencana
alam. Kurangnya sumber daya, seperti makanan dan air bersih, kurangnya akses ke perawatan
kesehatan dan obat-obatan, serta stres psikologis pasca bencana meningkatkan morbiditas yang
berhubungan dengan kehamilan. Setelah Badai Katrina, Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit menemukan bahwa 14 kabupaten Federal Emergency Management Agency yang
ditunjuk dan paroki terpengaruh oleh badai memiliki peningkatan yang signifikan dalam jumlah
wanita yang terlambat diterima atau tidak ada perawatan kehamilan. Di kabupaten yang ditunjuk
di Mississippi, persentase perawatan prenatal yang tidak memadai meningkat secara signifikan
dari 2,3% menjadi 3,3% (3). Di Louisiana, di antara wanita Hispanik, meningkat dari 2,3%
menjadi 3,9% (3). Bayi yang lahir dari ibu hamil yang tinggal dalam radius 2 mil dari World
Trade Center pada 9/11 ditemukan memiliki tingkat yang lebih tinggi dari pembatasan
pertumbuhan intrauterin, penurunan berat lahir, dan lingkar kepala kecil (4, 5). Dalam sebuah
studi yang dipantau kelahiran hasil sebagai berikut Badai Katrina, wanita yang mengalami tiga
atau lebih parah situasi traumatis selama badai, seperti merasa seolah-olah hidup seseorang
dalam bahaya, berjalan melalui air banjir, atau memiliki yang dicintai mati, ditemukan memiliki
tingkat yang lebih tinggi penerbangan kelahiran bayi berat badan dan peningkatan kelahiran
prematur
8
G . Tindakan yang sesuai untuk kelompok ibu hamil
Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam kondisi kita harus
cepat dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas harus ingat bahwa dalam merawat ibu
hamil adalah sama halnya dengan menolong janinnya sehingga meningkatkan kondisi fisik dan
dan mental wanita hamil dapat melindungi dua kehidupan, ibu hamil dan janinnya.
Perubahan fisiologi pada ibu hamil, seperti peningkatan sirkulasi darah, peningkatan
kebutuhan oksigen, dan lain lain sehingga lebih rentan saat bencana dan setelah bencana.
9
b. Petugas bencana harus memiliki kapassitass untuk menolong korban bumil dan
busui
3. Pasca bencana
a. Dukung ibu ibu menyusui dengan nutrisi adequate, cairab dan emosional
b. Melibatkan petugas petugas kesehatan reproduktif di rumah penampungan korban
bencana untuk menyediakan jasa konseling dan pemeriksaan kesehatan untuk ibu
hamil dan menyusui
c. Melibatkan petugas petugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi,
mengurangi resiko kejadian depresi pasca bencana
10
b. Membantu anak kembali melakukan aktivitas aktivitas regular sebagaimana sebelum
kjadian bencana seperti : penjagaan kebersihan diri, belajar/sekolah, dan bermain
c. Melibatkan lansia dlam aktivitas aktivitaas sosiao dan program lintas generasi
misalnya dengan remaja dan anak anak untuk mengurangi resiko isolasi social dan
depresi
d. Menyediakan informasi dan lingkungan yang kondusif untuk indiividu denga
keterbatasan fisik, misalnya area vakuasi yang dapat diakses oleh mereka
e. Adanya fasilitas fasilitas perawatan untuk korban bencana dengan penyakit dan
infeksi
J. Perbandingan Penatalaksanaan Manajemen Disaster pada Ibu Hamil Secara Lokal dan
Internasional
1. Di Indonesia
Manajemen bencana pada Ibu Hamil di Indonesia meliputi tahap - tahap sebagai berikut :
1. Sebelum bencana terjadi, meliputi langkah – langkah pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan dan kewaspadaan.
2. Pada waktu bencana sedang atau masih terjadi, meliputi langkah – langkah
peringatan dini, penyelamatan, pengungsian dan pencarian korban.
3. Sesudah terjadinya bencana, meliputi langkah penyantunan dan pelayanan,
konsolidasi, rehabilitasi, pelayanan lanjut, penyembuhan, rekonstruksi dan
pemukiman kembali penduduk. Tahapan diatas dalam kenyataannya tidak dapat
ditarik tegas antara tahapan satu ketahapan berikutnya.
11
keseimbangan yang kebutuhan individu (Grant, 2002). Oleh karena itu, pemahaman yang
lebih baik dari perawat kebutuhan belajar untuk menyusui bencana sangat penting untuk
mengembangkan kursus keperawatan bencana atau program yang memenuhi kebutuhan
(Loke & Fung 2014). Namun, pendidikan bencana di Thailand belum jelas dalam hal
integrasi konten dalam kurikulum keperawatan atau menawarkan pelatihan sebagai
tambahan. Ada juga sedikit konsensus mengenai isi keperawatan bencana.
Selain itu, kursus keperawatan bencana di Thailand memberikan pelatihan
keterampilan yang spesifik untuk triase, penjahitan dan CPR (resusitasi jantung paru-
paru) yang mungkin tidak cukup bagi perawat untuk mengelola semua tahap bencana.
Selanjutnya, persepsi perawat Thailand sendiri kebutuhan dalam menunjang efektivitas
dalam manajemen bencana pembelajaran belum dinilai. Menurut definisi kebutuhan
belajar dalam konteks peran perawat oleh Forbes, Sementara, dan Ullman (2006),
menyatakan kebutuhan mengacu pada persyaratan perawat peran keperawatan mereka
yang berubah menjadi tindakan dan kebutuhan normatif mengacu pada kebutuhan tim
atau layanan yang didefinisikan oleh organisasi keperawatan yang ingin perawat untuk
mempelajari lebih lanjut. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kemampuan perawat
Thailand dalam manajemen keperawatan bencana,termasuk pada ibu hamil.
Konten yang terkait dengan keperawatan bencana berasal dari konseptualisasi
Dewan Perawat Internasional Kerangka Kompetensi Keperawatan Bencana (WHO &
ICN, 2009). The ICN Kerangka Kompetensi Keperawatan Bencana dikembangkan untuk
perawat umum juga telah banyak digunakan pada tingkat internasional (Loke & Fung,
2014) karena membantu memperjelas peran perawat dalam bencana dan panduan
pengembangan pelatihan bencana dan pendidik. Isi utama ICN Kerangka Kompetensi
Keperawatan Bencana diselenggarakan di bawah empat kompetensi manajemen bencana
sebagai kompetensi, mitigasi / pencegahan dan kesiapsiagaan dalam fase pra-bencana,
kompetensi respon dalam fase bencana, kompetensi pemulihan / rehabilitasi pasca
bencana (ICN & WHO 2009). Untuk mencerminkan pembaruan profesional, kebutuhan
belajar perawat rumah sakit di Thailand mengenai keperawatan bencana di semua
tahapan akan signifikan untuk mengeksplorasi. Namun, penelitian ini berfokus pada
kebutuhan diungkapkan dan kebutuhan normatif untuk menjamin kesetaraan kebutuhan-
kebutuhan yang dilaporkan oleh perawat yang tidak perasaan oleh orang lain.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manjemen keperawatan bencana pada ibu hamil adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan
untuk mengendalikan bencana dan keadaan darurat pada ibu hamil sekaligus memberikan
kerangka kerja untuk menolong ibu hamil dalam keadaan beresiko tinggi agar dapt menghindari
ataupun pulih dari dampak bencana.
Manajemen bencana pada Ibu Hamil di Indonesia meliputi tahap - tahap sebagai berikut :
1. Sebelum bencana terjadi, meliputi langkah – langkah pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan dan
kewaspadaan.
2. Pada waktu bencana sedang atau masih terjadi, meliputi langkah – langkah peringatan dini,
penyelamatan, pengungsian dan pencarian korban.
3. Sesudah terjadinya bencana, meliputi langkah penyantunan dan pelayanan,
konsolidasi,rehabilitasi, pelayanan lanjut, penyembuhan, rekonstruksi dan pemukiman kembali
penduduk
Sedangkan manajemen keperawatan bencana di Thailand Kerangka Kompetensi
Keperawatan Bencana diselenggarakan di bawah empat kompetensi manajemen bencana sebagai
kompetensi, mitigasi / pencegahan dan kesiapsiagaan dalam fase pra-bencana, kompetensi
respon dalam fase bencana, kompetensi pemulihan / rehabilitasi pasca bencana.
B. Saran
Demikian makalah ini kami buat, sebagai penyusu kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun pada pembaca agar kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi.
13
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, R.T., Amin, K. dan Urborini, M., 2018, Manajemen Penanganan Postromautik Stress
Disorder (Ptsd), Pt Unimma Press, Magelang.
Phakdedchanuan, Kirana, dkk. Thai Nurses' Learning Needs Regarding Disaster Nursing: High
Needs? . Nurse Media Journal of Nursing, 5 (2), 2015, 56 – 66
Putra, A., Juwita, R., Krisna, Alfiandi, R., Arnita, Y., Ikbal, M. dan Erfina, 2019, Peran dan
Kepemimpinan Perawat dalam Manajemen Becana pada Fase Tanggap Darurat, Idea
Nursing Journal, 6(1), 1-7
14