Anda di halaman 1dari 10

“PERAN PERAWAT PADA FASE PASCA BENCANA”

Disusun Untuk memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester (UAS)


Mata Kuliah Keperawatan Bencana
Dosen Pengampuh: Wirmando, Ns., M.Kep.

DISUSUN OLEH:

NAMA : SINTIKE
NIM : C1814201149

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIK STELLA MARIS MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2021/2022
LEMBAR PERNYATAAN ORGINALITAS & BEBAS PLAGIARISME

Judul:
“Peran Perawat pada Fase Pasca Bencana”
Identitas Penulis:
Nama : Sintike
Nim : C1814201149

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa tugas yang saya kumpulkan ini
adalah hasil kerja saya sendiri. Tugas ini tidak:
1. Mengandung materi atau tulisan yang telah dipublikasikan oleh orang lain, kecuali yang
telah saya sitasi sesuai dengan aturan referensi yang telah ditetapkan.
2. Mengandung materi yang telah ditulis oleh saya atau orang lain yang telah dikumpulkan
sebelumnya untuk penilaian pada mata kuliah ini atau mata kuliah lain di institusi ini atau
institusi lainnya.
3. Bertentang dengan aturan akademik STIK Stella Maris Makassar.

Dengan pengumpulan tugas ini, saya juga memberikan izin kepada pemeriksa tugas ini untuk:
1. Memperbanyak tugas ini dan menyediakan salinannya untuk tim pemeriksa mata kuliah.
2. Mengambil Langkah untuk memeriksa originalitas tugas ini.

Makassar, 3 Desember 2021

Sintike
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan daerah yang rawan dan berisiko tinggi terhadap
bencana. Tidak sedikit bencana yang datang secara periodik, namun negara ini
selalu tidak siap menghadapi bencana. Bencana adalah rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan yang disebabkan baik oleh faktor alam,
faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis (Doondori & Paschalia, 2021).
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, 2021),
menyebutkan bahwa 87% wilayah Indonesia adalah rawan bencana alam,
sebanyak 383 kabupaten atau kotamadya merupakan daerah rawan bencana
alam di seluruh Indonesia. Selain itu kondisi Indonesia dengan jumlah penduduk
yang besar dan tidak merata, keanekaragaman suku, agama, adat istiadat, budaya
dan golongan menyebabkan Indonesia sangat rawan terhadap bencana alam.
Bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir, gunung meletus, tanah
longsor, dan angin topan yang sering terjadi di Indonesia tentu berdampak
kehancuran, juga menyebabkan penderitaan dan kerugian baik bagi masyarakat
maupun negara.
Penerapan kesiapsiagaan bencana tidak hanya melibatkan pemerintah,
tetapi juga melibatkan masyarakat, terutama bagi petugas kesehatan. Perawat
sebagai lini terdepan pada pelayanan kesehatan mempunyai tanggung jawab dan
peran besar dalam penanganan korban bencana alam. Saat ini kebutuhan tenaga
perawat untuk menangani korban bencana di masyarakat merupakan kebutuhan
terbesar yaitu sebanyak 33% dari seluruh tenaga kesehatan yang terlibat. Sebagai
salah satu komponen yang penting dalam respon penanganan bencana, perawat
memiliki peran yang sangat besar dalam mempersiapkan maupun menangani
masyarakat saat menghadapi bencana. Kegagalan peran dan tanggung jawab
perawat berdampak kegagalan dalam menangani korban bencana. Maka selain
perawat ahli dalam bidangnya, perawat juga harus mengetahui bagaimana
kesiapsiagaan bencana diterapkan sehingga bisa meminimalisir risiko bencana
dan memperbesar keberhasilan penanganan korban bencana (Dwitanta & Dahlia,
2020).

B. Rumusan Masalah
Apa-apa saja yang menjadi peran perawat pada fase pasca bencana?
C. Batasan Masalah
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka batasan masalah dalam
penulisan esai ini adalah peran perawat pada fase pasca bencana.

D. Metode
Penulisan essai ini menggunakan metode literature review yang meliputi
pencarian artikel di databased seperti PubMed dan Google Schoolar dengan kata
kunci “peran perawat pada fase pasca bencana”, “peran perawat pada tahap
bencana”, “peran perawat dalam tahap pemulihan/rehabilitasi” dan dipilih 10 artikel
dalam penulisan essai ini.

II. Pembahasan
Menurut WHO/EHA, (2002), bencana adalah setiap kejadian yang
menyebabkan kerusakan gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia atau
memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu
yang memerlukan respon dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena.
Manajemen bencana adalah proses yang sistematis dimana didalamnya termasuk
berbagai macam kegiatan yang memanfaatkan kemampuan dari kebijakan
pemerintah, juga kemampuan komunitas dan individu untuk menyesuaikan diri
dalam rangka meminimalisir kerugian. Tindakan-tindakan tersebut pada
umumnya meliputi kegiatan-kegiatan perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengarahan, pemantauan, evaluasi dan pengendalian yang dapat
teraktualisasi dalam bentuk sekumpulan kebijakan dan keputusan administrative
maupun aktivitas-aktivitas yang bersifat operasional (Putra et al., 2015).
Menurut Sinaga, (2015), bencana dibagi menjadi dua jenis yaitu:
1. Bencana alam (natural disaster), yaitu kejadian-kejadian alami seperti kejadia-
kejadian alami seperti banjir, genangan, gempa bumi, gunung meletus, badai,
kekeringan, wabah, serangga dan lainnya.
2. Bencana ulah manusia (man made disaster), yaitu kejadian-kejadian karena
perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan,
kebakaran, huru-hara, sabotase, ledakan, gangguan listrik, gangguan
komunikasi, gangguan transportasi dan lainnya.
Sedangkan berdasarkan cakupan wilayah, bencana terdiri dari:
1. Bencana lokal
Bencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah sekitarnya yang
berdekatan. Bencana terjadi pada sebuah gedung atau bangunan-bangunan
disekitarnya. Biasanya karena faktor manusia seperti kebakaran, ledakan,
terorisme, kebocoran bahan kimia dan lainnya.
2. Bencana regional
Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area geografis
yang cukup luas, dan biasanya disebabkan oleh faktor alam, seperti badai,
banjir, letusan gunung, tornado dan lainnya.
Manajemen penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Dalam
penanggulangan bencana, kegiatannya juga mengikuti siklus bencana yaitu: Fase
Pra Bencana, Fase Bencana, dan Fase Pasca Bencana. Fase Pasca Bencana,
disebut sebagai fase rekonstruksi yang terdiri dari fase pemulihan (recovery
phase) dan fase rehabilitasi/rekontruksi (rehabilitation/reconstruction phase)
(Madarina et al., 2017).
Fase pasca bencana/ rehabilitasi, adalah perbaikan dan pemulihan semua
aspek pelayanan public atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada
wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau
berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat
pada wilayah pasca bencana. Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan; perbaikan
lingkungan daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian
bantuan perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan
Kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan sosial ekonomi budaya,
pemulihan fungsi pelayanan publik (Munandar Khar, 2020).
Manajemen penanggulangan bencana pada fase pasca bencana, dibagi
menjadi dua tahap yaitu:
1. Pemulihan/Rehabilitasi
a. Pengertian Pemulihan/Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca
bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara
wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pasca bencana. Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan: perbaikan lingkungan
daerah bencana, perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan
perbaikan rumah masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan
kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan sosial ekonomi
budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban, pemulihan fungsi
pemerintahan, serta pemulihan fungsi pelayanan publik (Mahawati et al.,
2020). Dalam penentuan kebijakan rehabilitasi prinsip dasar yang digunakan
adalah sebagai berikut:
1) Menempatkan masyarakat tidak saja sebagai korban bencana, namun
juga sebagai pelaku aktif dalam kegiatan rehabilitasi.
2) Kegiatan rehabilitasi merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dan
terintregasi dengan kegiatan prabencana, tanggap darurat, dan
pemulihan dini serta kegiatan rekonstruksi.
3) “Early recovery” dilakukan oleh “Rapid Assessment Team” segera
setelah terjadi bencana.
4) Program rehabilitasi dimulai segera setelah masa tanggap darurat
(sesuai dengan Perpres tentang Penetapan Status dan Tingkatan
Bencana) dan diakhiri setelah tujuan utama rehabilitasi tercapai.
b. Ruang Lingkup
1) Perbaikan lingkungan daerah bencana
Perbaikan lingkungan fisik meliputi kegiatan: perbaikan lingkungan fisik
untuk kawasan pemukiman, kawasan industri, kawasan usaha dan
kawasan gedung. Indikator yang harus dicapai pada perbaikan
lingkungan adalah kondisi lingkungan yang memenuhi persyaratan
teknis, sosial, ekonomi, dan budaya serta ekosistem.
2) Perbaikan prasarana dan sarana umum
Sarana umum atau fasilitas sosial dan umum mencakup: fasilitas
kesehatan, fasilitas perekonomian, fasilitas pendidikan, fasilitas
perkantoran pemerintah, dan fasilitas peribadatan.
3) Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat
Yang menjadi target pemberian bantuan adalah masyarakat korban
bencana yang rumah/ lingkungannya mengalami kerusakan struktural
hingga tingkat sedang akibat bencana, dan masyarakat korban
berkehendak untuk tetap tinggal di tempat semula.
4) Pemulihan sosial psikologis
Kegiatan psikososial adalah kegiatan mengaktifkan elemen-elemen
masyarakat agar dapat kembali menjalankan fungsi sosial secara
normal. Pemulihan sosial psikologis bertujuan agar masyarakat mampu
melakukan tugas sosial seperti sebelum terjadi bencana, serta tercegah
dari mengalami dampak psikologis lebih lanjut yang mengarah pada
gangguan kesehatan mental. Perawat membantu masyarakat untuk
kembali pada kehidupan normal melalui proses konsultasi atau edukasi.
Membantu memulihkan kondisi fisik yang memerlukan penyembuhan
jangka waktu yang lama untuk normal kembali bahkan terdapat keadaan
dimana kecacatan terjadi.
5) Pelayanan Kesehatan
Pemulihan sistem pelayanan kesehatan adalah semua usaha yang
dilakukan untuk memulihkan kembali fungsi sistem pelayanan kesehatan
yang meliputi: SDM Kesehatan, sarana/prasarana kesehatan,
kepercayaan masyarakat.
2. Rekontruksi
a. Pengertian Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-
langkah nyata yang terencana baik, konsisten dan berkelanjutan untuk
membangun kembali secara permanen semua prasarana, sarana dan sistem
kelembagaan, baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat, dengan
sasaran utama tumbuh berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan
budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran dan partisipasi
masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat di wilayah
pasca bencana. Lingkup pelaksanaan rekonstruksi terdiri atas program
rekonstruksi fisik dan program rekonstruksi non fisik.
Dengan melihat manajemen bencana sebagai sebuah kepentingan
masyarakat kita berharap berkurangnya korban nyawa dan kerugian harta
benda. Dan yang terpenting dari manajemen bencana ini adalah adanya suatu
langkah konkrit dalam mengendalikan bencana sehingga korban yang tidak
kita harapan dapat terselamatkan dengan cepat dan tepat dan upaya untuk
pemulihan pasca bencana dapat dilakukan dengan secepatnya.
Pengendalian itu dimulai dengan membangun kesadaran kritis
masyarakat dan pemerintah atas masalah bencana alam, menciptakan proses
perbaikan total atas pengelolaan bencana, penegasan untuk lahirnya
kebijakan lokal yang bertumpu pada kearifan lokal yang berbentuk peraturan
nagari dan peraturan daerah atas menejemen bencana. Yang tak kalah
pentingnya dalam manajemen bencana ini adalah sosialisasi kehatian-hatian
terutama pada daerah rawan bencana (Bruno, 2019).
b. Ruang Lingkup Rekonstruksi
1) Rekonstruksi Fisik
Rekonstruksi fisik adalah tindakan untuk memulihkan kondisi fisik
melalui pembangunan kembali secara permanen prasarana dan sarana
permukiman, pemerintahan dan pelayanan masyarakat (kesehatan,
pendidikan dan lain-lain), prasarana dan sarana ekonomi (jaringan
perhubungan, air bersih, sanitasi dan drainase, irigasi, listrik dan
telekomunikasi dan lain-lain), prasarana dan sarana sosial (ibadah,
budaya dan lain-lain.) yang rusak akibat bencana, agar kembali ke kondisi
semula atau bahkan lebih baik dari kondisi sebelum bencana.
Cakupan kegiatan rekonstruksi fisik mencakup, tapi tidak terbatas
pada, kegiatan membangun kembali sarana dan prasarana fisik dengan
lebih baik dari hal-hal berikut:
• Prasarana dan sarana
• Sarana sosial masyarakat
• Penerapan rancang bangun dan penggunaan peralatan yang lebih
baik dan tahan bencana.
2) Rekonstruksi Non Fisik
Rekonstruksi non fisik adalah tindakan untuk memperbaiki atau
memulihkan kegiatan pelayanan publik dan kegiatan sosial, ekonomi serta
kehidupan masyarakat, antara lain sektor kesehatan, pendidikan,
perekonomian, pelayanan kantor pemerintahan, peribadatan dan kondisi
mental/sosial masyarakat yang terganggu oleh bencana, kembali ke
kondisi pelayanan dan kegiatan semula atau bahkan lebih baik dari kondisi
sebelumnya.
Cakupan kegiatan rekonstruksi non-fisik di antaranya adalah:
• Kegiatan pemulihan layanan yang berhubungan dengan kehidupan
sosial dan budaya masyarakat
• Partisipasi dan peran serta lembaga/organisasi kemasyarakatan,
dunia usaha, dan masyarakat
• Kegiatan pemulihan kegiatan perekonomian masyarakat
• Fungsi pelayanan publik dan pelayanan utama dalam masyarakat
• Kesehatan mental masyarakat.
Siklus penanganan bencana pada pase post/pasca bencana yaitu rehabilitasi
dan rekonstruksi dengan peran perawat pada pase post/pasca bencana (Tamura,
2016):
a. Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaaan fisik, sosial,
dan psikologis korban.
b. Stres psikologis yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi
post-traumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan sindrom
dengan tiga kriteria utama. Pertama, gejala trauma pasti dapat dikenali.
Kedua, individu tersebut mengalami gejala ulang traumanya melalui
flashback, mimpi, ataupun peristiwa-peristiwa yang memacunya. Ketga,
individu akan menunjukkan gangguan fisik. Selain itu, individu dengan
PTSD dapat mengalami penurunan konsentrasi, perasaan bersalah,
dan gangguan memori.
c. Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait
bekerja sama dengan unsur lintas sektor menangani masalah
kesehatan masyarakat pasca-gawat darurat serta mempercepat fase
pemulihan menuju keadaan sehat dan aman.

III. Kesimpulan
Bencana merupakan peristiwa yang destruktif (menghancurkan) yang dapat
merugikan orang-orang yang terkena dampaknya. Bencana sering
mengakibatkan berkurangnya akses obat-obatan, layanan, perumahan, air bersih,
dan makanan bergizi, serta daya/listrik yang dibutuhkan untuk menjalankan
peralatan penting yang membantu kehidupan. Meningkatnya kejadian bencana di
seluruh dunia membuat setiap negara untuk siap menghadapi hal yang tidak
terduga, termasuk bencana alam.
Karena itu, manajemen bencana yang tepat dalam kesiapsiagaan, respon
dan fase pemulihan sangat penting untuk dibentuk. Meskipun banyak disiplin ilmu
yang diperlukan untuk mendukung manajemen bencana, perawat dianggap
sebagai salah satu profesi kesehatan yang harus disiapkan untuk menghadapi
dan menangani bencana alam. Perawat memainkan peran penting dalam
respons/pemulihan dan evaluasi, terutama dalam mengurangi kerentanan dan
meminimalkan risiko dalam suatu bencana (Martono et al., 2019). Dengan
mempertimbangkan beberapa kondisi bencana perlu adanya peranan perawat
yang lebih dalam menghadapi situasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

BNPB. (2021). Geoportal Data Bencana Indonesi. https://gis.bnpb.go.id/


Bruno, L. (2019). Bencana. Journal of Chemical Information and Bruno, L. (2019) ‘Bencana’,
Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), Pp. 1689–1699.Modeling, 53(9),
1689–1699.
Doondori, A. K., & Paschalia, Y. P. M. (2021). Peran Perawat dalam Penanggulangan
Bencana. Jurnal Kesehatan Primer, 6(1), 63–70.
http://jurnal.poltekeskupang.ac.id/index.php/jkp
Dwitanta, S., & Dahlia, D. (2020). Peran Perawat dan Kesiapan Darurat dalam Menghadapi
Bencana pada Penderita Diabetes: Tinjauan Literatur. Indonesian Journal of Nursing
Health Science ISSN, 5(1), 48–60.
Madarina, Tahlil, T., & Yususf, R. (2017). Pengalaman Perawat Pendidik dalam Mengajar
Mata Kuliah Keperawatan Bencana. Jurnal Ilmu Keperawatan, 5(2), 42–50.
Mahawati, E., Sudra, R. I., Ulfiana, Q., Sinambela, M., Siregar, D., Dewi, R. K., Harsinal, &
Joanda, F. (2020). Surveilans Kesehatan Dalam Kondisi Bencana (A. Karim (ed.)).
Yayasan Kita Menulis.
Martono, M., Satino, S., Nursalam, N., Efendi, F., & Bushy, A. (2019). Indonesian nurses’
perception of disaster management preparedness. Chinese Journal of Traumatology -
English Edition, 22(1), 41–46. https://doi.org/10.1016/j.cjtee.2018.09.002
Munandar Khar. (2020). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelayanan Kesehatan Terhadap
Kepuasan Pasien di Puskesmas. Jurnal Keperawatan, 5(2), 178–184.
Putra, A., Juwita, R., Risna, Alfiandi, R., Arnita, Y., Iqbal, M., & Ervina. (2015). Peran Dan
Kepemimpinan Perawat Dalam Manajemen Bencana Pada Fase Tanggap Darurat. Idea
Nursing Journal, 6(1), 25–31. https://doi.org/10.52199/inj.v6i1.6635
Sinaga, S. N. (2015). Peran Petugas Kesehatan Dalam Manajamen Penanganan Bencana
Alam’, Jurnal ilmiah “INTEGRITAS. 1(1), 1,2.
Tamura, H. (2016). Pencegahan Dan Mitigasi Bencana. Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 287.
WHO/EHA. (2002). Disasters & Emergencies; Definitions Training Package. WHO/EHA
Training Package, March, 1–26. http://apps.who.int/disasters/repo/7656.pdf

Anda mungkin juga menyukai