Anda di halaman 1dari 23

Makalah

PENILAIAN SISTEM SEBELUM, SAAT, DAN SETELAH


BENCANA PADA KORBAN, SURVIVOR, POPULASI
RENTAN, DAN BERBASIS KOMUNITAS
Dosen Pengampuh : Ns. Pipin Yunus S.Kep, M.Kep

DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK 3

 Hendra Radjulani
 Moh. Adha Fadjeirin
 Viranti Desilia Pikoli
 Manda Pakaya
 Mianti Suleman
 Khairunisa Samarang

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
T.A 2021

Page 1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya.Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.Makalah ini kami susun
dengan tujuan untuk melengkapi tugas mata kuliah
“ Keperawatan Bencana ”

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman
sekalian.Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.Aamiin.

Limboto, 23 January 2021

Page 2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………….……………………..…………………...2

DAFTAR ISI………………………………………...………………….………..…………3

BAB I PENDAHULUAN …………….…………….………………………..…………4

1.1 Latar belakang…………………………………………………..………….………....4

1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………….6

1.3 Tujuan……………………………………….………………………………………..6

BAB II TINJAUAN TEORI……………..…..…………………..…………………...…..7

2.1 Penilaian sistematis sebelum,saat,dan setelah bencana pada korban ………………7

2.2 Peran Perawat Pada Bencana……………………..………………………………..10

2.3 Manajemen Penganggulangan Bencana Sesuai Siklus Bencana…………………..12

2.4 Tim Bantuan Kesehatan……………………………………………………………17

2.5 Keperawatan Bencana Pada Kelompok Rentan……………………………...…….18

2.6 Pertolongan Psikologis pada Survivor Bencana Alam…………………………….19

BAB III PENUTUP…………..….……….……............................................................22

3.1 Kesimpulan…………………………………………,,,………...……………………..22

3.2 Saran……………………………………………..………………………..………….22

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….…………………........23

Page 3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah kebencanaan seakan tidak akan lepas dari bangsa Indonesia ini. Masalah
kebencanaan di Indonesia menjadi permasalahan yang serius khususnya dalam
penanggulangannya. Penanggulangan kebencanaan di Indonesia memang sudah
berjalan dengan berbagai pelaksana,mulai dari lembaga pemerintahan maupun
swasta yang khusus bergerak dalam penanggulangan bencana ini.
Penanggulangan bencana menjadi perhatian khusus melihat banyaknya bencana
yang terjadi di Indonesia ini baik itu yang disebabkan oleh alam maupun akibat dari
ulah manusia itu sendiri. Konsep penanggulang bencana atau biasa disebut dengan
manajemen bencana berkembang melihat dari dampak yang dihasilkan oleh
bencana tersebut. Pada dasarnya konsep manajemen bencana ini adalah untuk
mengurangi resiko ataupun dampak yang di rasakan dari adanya bencana. Cara
bekerja manajemen bencana adalah melalui kegiatan-kegiatan yang ada pada tiap
kuadran atau siklus atau bidang kerja yaitu pencegahan, mitigasi dan
kesiapsiagaan, tanggap darurat, serta pemulihan. Sedangkan tujuannya secra umum
antara lain untuk melindungi masyarakat beserta harta bendanya dari ancaman
bencana.

Fenomena bencana alam sangat erat sekali dengan bangsa Indonesia ini.
Dengan kondisi geografisnya, Indonesia akan sangat sulit untuk lepas dari bencana.
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor
alam dan atau faktor non alam termasuk manusia itu sendiri (karena konflik
maupun teror) yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.Terkait dengan dampak
dari bencana alam, dibutuhkan penanggulangan bencana baik itu pra bencana atau
(mitigasi bencana), bencana, maupun pasca bencana. Sesuai dengan UU 24/2007,
Penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan
kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan
bencana, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Ketiga upaya tersebut
masing-masing memiliki fungsi dan tujuan terkait dengan penanggulangan bencana

Page 4
alam dan ketiga proses penanggulangan tersebut juga sangat penting dalam
menghadapi bencana alam. Masalah yang ada, dalam pelaksanaannya adalah
program-program penanggulangan terkadang hanya dalam program tanggap
darurat semata. Program penanggulangan bencana baik itu pra dan pasca kurang
diperhatikan oleh lembagalembaga pelayanan kebencanaan. Akibatnya dampak
yang terjadi akibat bencana akan lebih berat dan sulit dalam proses rehabilitasi fisik
maupun rehabilitasi dari korban bencana itu sendiri. Padahal tahap pra bencana dan
pasca bencana juga sangat penting dalam penanggulangan bencana alam. Pra
bencana menitik beratkan kepada proses pencegahan agar mengurangi risiko
bencana melalui upaya sistematis untuk menganalisa dan mengurangi faktor-faktor
penyebab bencana.

Sedangkan dalam pasca bencana menitik beratkan kepada rehabilitasi dan


rekonstruksi. Masalah lainnya adalah, walaupun tahap pasca bencana tetap
dilakukan, tetapi dalam pelasanaanya tidak tepat. Akibatnya dalam proses
rahabilitasi fisik maupun korban tidak berjalan dengan baik. Pada dasarnya,
bencana alam secara langsung akan menimbulkan dampak kepada masyarakat,
baik itu dalam infrastruktur maupun dampak psikologis korban bencana. Hal ini
akan berdampak kepada proses pemulihan trauma dari korban bencana akan
lambat. Timbulnya kesadaran akan pentingnya penanggulangan kebencanaan baik
itu pra, tanggap bencana , maupun pasca bencana pada dasarnya karena kondisi
Indonesia terkait dengan bencana. Melihat seringnya bencana di tanah Indonesia ini
membuat Indoensia tergolong sebagai Negara dengan rawan bencana. Terlihst
juga bahwa kerentanan masyarakat akan dampak bencana yang sangat tinggi
meneyebabkan timbulnya kesadaran akan pentingnya penanggulangan bencana
dengan baik dan benar. Pada dasarnya bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba
maupun melalui proses yang berlangsung secara perlahan. Beberapa jenis bencana
seperti gempa bumi, hampir tidak mungkin diperkirakan secara akurat kapan, di
mana akan terjadi dan besaran kekuatannya. Sedangkan beberapa bencana
lainnya seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, letusan gunung berapi, tsunami
dan anomali cuaca masih dapat diramalkan sebelumnya. Meskipun demikian
kejadian bencana selalu memberikan dampak kejutan dan menimbulkan banyak
kerugian baik jiwa maupun materi. Kejutan tersebut terjadi karena kurangnya
kewaspadaan dan kesiapan dalam menghadapi ancaman bahaya

Page 5
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Penilaian Sistematis Sebelum, Saat dan Setelah Bencana Pada Korban?
2. Bagaimana Peran Perawat Pada Bencana?
3. Bagaimana Manajemen Penanggulangan Bencana Sesuai Siklus Bencana?
4. Siapa Tim Bantuan Kesehatan?
5. Bagaimana Keperawatan Bencana Pada Kelompok Rentan?
6. Seperti apa Pertolongan Psikologis pada Survivor Bencana Alam?

1.3 Tujuan

Agar pembaca lebih memahami lagi dengan apa itu Keperawatan Bencana dengan
judul Penilaian sebelum, saat dan setelah, sehingga pembaca dapat mengerti salah satu
peran perawat bencana itu seperti apa

Page 6
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Penilaian Sistematis Sebelum, Saat dan Setelah Bencana Pada Korban

Pra Bencana
a) Pencegahan
Pencegahan ialah langkah-langkah yang dilakukan untuk menghilangkan sama
sekali atau mengurangi secara drastis akibat dari ancaman melalui pengendalian
dan pengubahsuaian fisik dan lingkungan. Tindakan-tindakan ini bertujuan untuk
menekan penyebab ancaman dengan cara mengurangi tekanan, mengatur dan
menyebarkan energi atau material ke wilayah yang lebih luas atau melalui waktu
yang lebih panjang (Smith, 1992). Cuny (1983) menyatakan bahwa pencegahan
bencana pada masa lalu cenderung didorong oleh kepercayaan diri yang berlebihan
pada ilmu dan teknologi pada tahun enam puluhan; dan oleh karenanya cenderung
menuntut ketersediaan modal dan teknologi. Pendekatan ini semakin berkurang
peminatnya dan kalaupun masih dilakukan, maka kegiatan pencegahan ini diserap
pada kegiatan pembangunan pada arus utama.
b) Mitigasi
Mitigasi ialah tindakan-tindakan yang memfokuskan perhatian pada
pengurangan dampak dari ancaman, sehingga dengan demikian mengurangi
kemungkinan dampak negatif pencegahan ialah langkah-langkah yang dilakukan
untuk menghilangkan sama sekali atau mengurangi secara drastis akibat dari
ancaman melalui pengendalian dan pengubahsuaian fisik dan lingkungan.
Tindakan-tindakan ini bertujuan untuk menekan penyebab ancaman dengan cara
mengurangi tekanan, mengatur dan menyebarkan energi atau material ke wilayah
yang lebih luas atau melalui waktu yang lebih panjang (Smith, 1992).
Kejadian bencana terhadap kehidupan dengan cara-cara alternatif yang lebih
dapat diterima secara ekologi (Carter, 1991). Kegiatan-kegiatan mitigasi termasuk
tindakantindakan non-rekayasa seperti upaya-upaya peraturan dan pengaturan,
pemberian sangsi dan penghargaan untuk mendorong perilaku yang lebih tepat, dan
upaya-upaya penyuluhan dan penyediaan informasi untuk memungkinkan orang
mengambil keputusan yang berkesadaran. Upaya-upaya rekayasa termasuk
pananaman modal untuk bangunan struktur tahan ancaman bencana dan/atau

Page 7
perbaikan struktur yang sudah ada supaya lebih tahan ancaman bencana (Smith,
1992).
c) Kesiapsiagaan
Fase Kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan yang baik dengan
memikirkan berbagai tindakan untuk meminimalisir kerugian yang ditimbulkan akibat
terjadinya bencana dan menyusun perencanaan agar dapat melakukan kegiatan
pertolongan serta perawatan yang efektif pada saat terjadi bencana. Tindakan terhadap
bencana menurut PBB ada 9 kerangka, yaitu :
 pengkajian terhadap kerentanan,
 membuat perencanaan (pencegahan bencana),
 pengorganisasian,
 sistem informasi,
 pengumpulan sumber daya,
 sistem alarm,
 mekanisme tindakan,
 pendidikan dan pelatihan penduduk,
 gladi resik.

Saat Bencana
Saat bencana disebut juga sebagai tanggap darurat. Fase tanggap darurat atau
tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat yang nyata untuk
menjaga diri sendiri atau harta kekayaan. Aktivitas yang dilakukan secara kongkret
yaitu:
 instruksi pengungsian,
 pencarian dan penyelamatan korban,
 menjamin keamanan di lokasi bencana,
 pengkajian terhadap kerugian akibat bencana,
 pembagian dan penggunaan alat perlengkapan pada kondisi darurat,
 pengiriman dan penyerahan barang material, dan
 menyediakan tempat pengungsian, dan lain-lain.
Dari sudut pandang pelayanan medis, bencana lebih dipersempit lagi dengan
membaginya menjadi “Fase Akut” dan “Fase Sub Akut”. Dalam Fase Akut, 48 jam
pertama sejak bencana terjadi disebut “fase penyelamatan dan pertolongan/pelayanan
medis darurat”. Pada fase ini dilakukan penyelamatan dan pertolongan serta tindakan

Page 8
medis darurat terhadap orang-orang yang terluka akibat bencana. Kira-kira satu
minggu sejak terjadinya bencana disebut dengan “Fase Akut”. Dalam fase ini, selain
tindakan “penyelamatan dan pertolongan/pelayanan medis darurat”, dilakukan juga
perawatan terhadap orang-orang yang terluka pada saat mengungsi atau dievakuasi,
serta dilakukan tindakan-tindakan terhadap munculnya permasalahan kesehatan
selama dalam pengungsian.

Setelah Bencana
a) Fase Pemulihan
Fase Pemulihan sulit dibedakan secara akurat dari dan sampai kapan, tetapi fase
ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan kemampuannya
sendiri dapat memulihkan fungsinya seperti sedia kala (sebelum terjadi bencana).
Orang-orang melakukan perbaikan darurat tempat tinggalnya, pindah ke rumah
sementara, mulai masuk sekolah ataupun bekerja kembali sambil memulihkan
lingkungan tempat tinggalnya. Kemudian mulai dilakukan rehabilitasi lifeline dan
aktivitas untuk membuka kembali usahanya. Institusi pemerintah juga mulai
memberikan kembali pelayanan secara normal serta mulai menyusun rencana-
rencana untuk rekonstruksi sambil terus memberikan bantuan kepada para korban.
Fase ini bagaimanapun juga hanya merupakan fase pemulihan dan tidak sampai
mengembalikan fungsi-fungsi normal seperti sebelum bencana terjadi. Dengan kata
lain, fase ini merupakan masa peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang.

b) Fase Rekonstruksi/Rehabilitasi
Jangka waktu Fase Rekonstruksi/Rehabilitasi juga tidak dapat ditentukan, namun
ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat berusaha mengembalikan
fungsifungsinya seperti sebelum bencana dan merencanakan rehabilitasi terhadap
seluruh komunitas. Tetapi, seseorang atau masyarakat tidak dapat kembali pada
keadaan yang sama seperti sebelum mengalami bencana, sehingga dengan
menggunakan pengalamannya tersebut diharapkan kehidupan individu serta
keadaan komunitas pun dapat dikembangkan secara progresif

Page 9
2.2 Peran Perawat Pada Bencana

Perawat sebagai bagian dari petugas kesehatan yang ikut dalam penanggulangan
bencana dapat berada di berbagai tempat seperti di rumah sakit, di pusat evakuasi, di klinik
berjalan atau di puskesmas. Berikut dibawah ini akan diuraikan peran perawat sesuai
dengan tempat tugasnya.

Peran Perawat di Rumah Sakit yang terkena Dampak Bencana Peran perawat di
rumah sakit yang terkena bencana (ICN, 2009) yaitu:
1) Sebagai manager, perawat mempunyai tugas antara lain: mengelola pelayanan
gawat darurat, mengelola fasilitas, peralatan, dan obat-obatan live saving,
mengelola administrasi dan keuangan ugd, melaksanakan pengendalian mutu
pelayanan gadar, melakukan koordinasi dengan unit RS lain.
2) Sebagai Leadership, memiliki tugas untuk: mengelola tenaga medis, tenaga
keperawatan dan tenaga non medis, membagi jadwal dinas.
 Sebagai pemberi asuhan keperawatan (care giver), perawat harus
melakukan pelayanan siaga bencana dan memilah masalah fisik dan
psikologis yang terjadi pada pasien
3) Peran Perawat di Pusat Evakuasi Di pusat evakuasi perawat mempunyai peran
sebagai :
 Koordinator, berwenang untuk: mengkoordinir sumberdaya baik
tenaga kesehatan, peralatan evakuasi dan bahan logistik,
mengkoordinir daerah yang menjadi tempat evakuasi
 Sebagai pelaksana evakuasi: perawat harus melakukan transportasi
pasien, stabilisasi pasien, merujuk pasien dan membantu penyediaan
air bersih dan sanitasi di daerah bencana seperti terlihat pada gambar
dibawah ini.
4) Peran Perawat di Klinik Lapangan (Mobile Clinic) Peran perawat di klinik
berjalan (mobile clinic) adalah melakukan: triage, penanganan trauma,
perawatan emergency, perawatan akut, pertolongan pertama, kontrol infeksi,
pemberian supportive, palliative.
5) Peran Perawat di Puskesmas Peran perawat di puskesmas saat terjadi bencana
adalah melakukan: perawatan pasien ringan, pemberian obat ringan, merujuk
pasien.

Page
10
Sedangkan fungsi dan tugas perawat dalam situasi bencana dapat dijabarkan
menurut fase dan keadaan yang berlaku saat terjadi bencana seperti dibawah ini

 Fase Pra-bencana:
a) Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam
penanggulangan ancaman bencana untuk setiap fasenya.
b) Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan, organisasi
lingkungan, palang merah nasional, maupun lembaga-lembaga
kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan
menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat.
c) Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk meningkatkan
kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yang meliputi hal-hal
berikut.
 Usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut).
 Pelatihan pertolongan pertama pada keluarga seperti menolong
anggota keluarga yang lain.
 Pembekalan informasi tentang bagaimana menyimpan dan
membawa persediaan makanan dan penggunaan air yang aman.
 Perawat juga dapat memberikan beberapa alamat dan nomor
telepon darurat seperti dinas kebakaran, rumah sakit, dan
ambulans.
 Memberikan informasi tempat-tempat alternatif penampungan dan
posko-posko bencana.
 Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa
seperti pakaian seperlunya, radio portable, senter beserta
baterainya, dan lainnya.
 Fase Bencana:
a) Bertindak cepat
b) Do not promise. Perawat seharusnya tidak menjanjikan apapun dengan
pasti, dengan maksud memberikan harapan yang besar pada para korban
selamat.
c) Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan.
d) Koordinasi danmenciptakan kepemimpinan.

Page
11
e) Untuk jangka panjang, bersama-sama pihak yang terkait dapat
mendiskusikan dan merancang master plan of revitalizing, biasanya
untuk jangka waktu 30 bulan pertama.
 Fase Pasa bencana
a) Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaaan fisik, sosial, dan
psikologis korban.
b) Stres psikologis yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi
posttraumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan sindrom dengan
tiga kriteria utama. Pertama, gejala trauma pasti dapat dikenali. Kedua,
individu tersebut mengalami gejala ulang traumanya melalui flashback,
mimpi, ataupun peristiwaperistiwa yang memacunya. Ketga, individu
akan menunjukkan gangguan fisik. Selain itu, individu dengan PTSD
dapat mengalami penurunan konsentrasi, perasaan bersalah, dan
gangguan memori.
c) Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait bekerja
sama dengan unsur lintas sektor menangani masalah kesehatan
masyarakat pascagawat darurat serta mempercepat fase pemulihan
menuju keadaan sehat dan aman.

2.3 Manajemen Penanggulanagan Bencana Sesuai Siklus Bencana

A. Manajemen Penanggulangan Bencana Pada Fase Bencana


Upaya penanggulangan bencana mengikuti tahapan/siklus bencana.
Penanggulangan bencana pada tahap pra bencana dimulai jauh sebelum terjadi
bencana; dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana. Penanggulangan
bencana lebih diprioritaskan pada fase prabencana yang bertujuan untuk mengurangi
resiko bencana. Sehingga semua kegiatan yang berada dalam lingkup pra bencana
lebih diutamakan.
Saudaraku, pada fase pra bencana, kegiatan penanggulangan bencana disebut
jugatahap kesiapsiagaan bencana. Kesiapsiagaan bencana (preparedness) adalah
aktivitasaktivitas dan langkah-langkah yang diambil sebelumnya untuk memastikan
respons yang efektif terhadap dampak bahaya, termasuk dengan mengeluarkan
peringatan dini yang tepat dan efektif dan dengan memindahkan penduduk dan harta
benda untuk sementara dari lokasi yang terancam (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007)
Dalam hal ini bisa diimplementasikan dengan adanya tim siaga, standar operasional

Page
12
tetap yang berkaitan dengan pengurangan risiko bencana dan rencana aksi komunitas
yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan pengurangan risiko bencana.
Kesiapsiagaan (preparedness) adalah aktivitas-aktivitas dan langkah-langkah
kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana
guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda dan berubahnya tata
kehidupan masyarakat. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai
teridentifikasi akan terjadi, kegiatan yang dilakukan antara lain:
Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya.
Pelatihan siaga/simulasi/gladi/teknis bagi setiap sektor penanggulangan
bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum).
Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan
Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik.
Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna
mendukung tugas kebencanaan.
Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early warning)
Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan)
Mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana/sarana peralatan)

Pada fase/tahap kesiapsiagaan ini, masanya panjang. Banyak sekali yang bisa
dilakukan dan batas waktunya tidak dapat ditentukan. Tahap kesiapsiagaan ini akan
berakhir atau berlanjut ke tahap berikutnya bila bencana terjadi. Karena itu pada fase
kesiapsiagaan ini, kita membagi menjadi dua fase yaitu pencegahan bencana dan
mitigasi. Mari kita simak uraian tentang pencegahan bencana dan mitigasi seperti
yang akan dipaparkan di bawah ini.

 Pencegahan Bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk


mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan
ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.
Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera
mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada
suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
 Mitigasi Mitigasi (mitigation) adalah langkah-langkah struktural dan non
struktural yang diambil untuk membatasi dampak merugikan yang
ditimbulkan bahaya alam, kerusakan lingkungan dan bahaya teknologi (ISDR,
2004 dalam MPBI, 2007). Mitigasi dapat dilakukan secara struktural yaitu

Page
13
pembangunan infrastruktur sabo, tanggul, alat pendeteksi atau peringatan dini,
dan dapat dilakukan secara non struktural seperti pelatihan dan peningkatan
kapasitas di masyarakat.Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya dapat
digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif.
Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah:
Penyusunan peraturan perundang-undangan
Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
Pembuatan pedoman/standar/prosedur
Pembuatan brosur/leaflet/poster
Penelitian/pengkajian karakteristik bencana
Pengkajian/analisis risiko bencana
Internalisasi penanggulangan bencana dalam muatan lokal pendidikan
Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam perencanaan
pembangunan Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong
dalam mitigasi aktif antara lain:
 Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya,
larangan memasuki daerah rawan bencana dan sebagainya.
 Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang
penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), danperaturan
lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana.
 Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
 Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke
daerah yang lebih aman.
 Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.
 Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur
evakuasi jika terjadi bencana.
 Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah,
mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh
bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan
tahan gempa dan sejenisnya. Adakalanya kegiatan mitigasi ini
digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat nonstruktural

Page
14
(berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang bersifat
struktural (berupa bangunan dan prasarana).

B. Manajemen Penanggulangan Bencana Pada Fase Bencana


Disebut sebagai fase tanggap darurat. Fase tanggap darurat merupakan tahap
penindakan atau pengerahan pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa
bencana, guna menghindari bertambahnya korban jiwa. Penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi: pengkajian secara cepat
dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber daya; penentuan status
keadaan darurat bencana; penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
pemenuhan kebutuhan dasar; perlindungan terhadap kelompok rentan; dan pemulihan
dengan segera prasarana dan sarana vital.
Fase tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat yang nyata untuk
menjaga diri sendiri atau harta kekayaan. Aktivitas yang dilakukan secara kongkret
yaitu: instruksi pengungsian, pencarian dan penyelamatan korban, menjamin
keamanan di lokasi bencana, pengkajian terhadap kerugian akibat bencana,
pembagian dan penggunaan alat perlengkapan pada kondisi darurat, pengiriman dan
penyerahan barang material, menyediakan tempat pengungsian, dan lain-lain.
Dari sudut pandang pelayanan medis, bencana lebih dipersempit lagi dengan
membaginya menjadi “fase akut” dan “fase sub akut”. Dalam fase akut, 48 jam
pertama sejak bencana terjadi disebut “fase penyelamatan dan pertolongan/pelayanan
medis darurat”. Pada fase ini dilakukan penyelamatan dan pertolongan serta tindakan
medis darurat terhadap orang-orang yang terluka akibat bencana. Kira-kira satu
minggu sejak terjadinya bencana disebut dengan “fase sub akut”. Dalam fase ini,
selain tindakan “penyelamatan dan pertolongan/pelayanan medis darurat”, dilakukan
juga perawatan terhadap orang-orang yang terluka pada saat mengungsi atau
dievakuasi, serta dilakukan tindakan-tindakan terhadap munculnya permasalahan
kesehatan selama dalam pengungsian.

C. Manajemen Penanggulangan Bencana Pada Fase Pasca Bencana


Setelah fase bencana /tanggap darurat teratasi, fase berikutnya adalah fase ‘pasca
bencana’. Manajemen penanggulangan bencana pada fase pasca bencana ini dibagi
menjadi dua tahap, yaitu fase pemulihan/recovery dan fase rekonstruksi/ rehabilitasi..

Page
15
 Fase Pemulihan
Fase pemulihan sulit dibedakan secara akurat dari dan sampai kapan, tetapi fase
ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan kemampuannya
sendiri dapat memulihkan fungsinya seperti sediakala (sebelum terjadi bencana).
Orang-orang melakukan perbaikan darurat tempat tinggalnya, pindah ke rumah
sementara, mulai masuk sekolah ataupun bekerja kembali sambil memulihkan
lingkungan tempat tinggalnya. Kemudian mulai dilakukan rehabilitasi lifeline dan
aktivitas untuk membuka kembali usahanya. Institusi pemerintah juga mulai
memberikan kembali pelayanan secara normal serta mulai menyusun rencana-
rencana untuk rekonstruksi sambil terus memberikan bantuan kepada para korban.
Fase ini bagaimanapun juga hanya merupakan fase pemulihan dan tidak sampai
mengembalikan fungsi-fungsi normal seperti sebelum bencana terjadi. Dengan kata
lain, fase ini merupakan masa peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang.
Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya yang
dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi daerah
yang terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih baik,
agar kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi:
 Perbaikan lingkungan daerah bencana
 Perbaikan prasarana dan sarana umum
 Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat
 Pemulihan sosial psikologis
 Pelayanan kesehatan
 Rekonsiliasi dan resolusi konflik
 Pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya
 Pemulihan keamanan dan ketertiban
 Pemulihan fungsi pemerintahan; dan Pemulihan fungsi pelayanan publik

 Fase Rekonstruksi
Setelah fase tanggap darurat terlewati, berikutnya adalah fase rekonstruksi/
rehabilitasi. Jangka waktu fase rehabilitasi/rekonstruksi juga tidak dapat ditentukan,
namun ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat berusaha mengembalikan
fungsifungsinya seperti sebelum bencana dan merencanakan rehabilitasi terhadap

Page
16
seluruh komunitas. Tetapi, seseorang atau masyarakat tidak dapat kembali pada
keadaan yang sama seperti sebelum mengalami bencana, sehingga dengan
menggunakan pengalamannya tersebut diharapkan kehidupan individu serta keadaan
komunitas pun dapat dikembangkan secara progresif.
Sedangkan tahap rekonstruksi merupakan tahap untuk membangun kembali sarana
dan prasarana yang rusak akibat bencana secara lebih baik dan sempurna. Oleh sebab
itu pembangunannya harus dilakukan melalui suatu perencanaan yang didahului oleh
pengkajian dari berbagai ahli dan sektor terkait.
 Pembangunan kembali prasarana dan sarana
 Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat
 Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat d. Penerapan
rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan
tahan bencana partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat
 Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya
 Peningkatan fungsi pelayanan publik; atau h. Peningkatan pelayanan utama
dalam masyarakat.

2.4 Tim Bantuan Kesehatan

Berdasarkan KEPMENKES 066/MENKES/SK/II/2006 :

 Tim yang Diberangkatkan Berdasarkan Kebutuhan setelah Tim Gerak Cepat dan Tim
RHA Kembali dengan Laporan Hasil Kegiatan Mereka di Lapangan
Dokter Spesialis
Dokter Umum
Apoteker & Asisten Apoteker
Perawat Mahir
Bidan (D3 Kebidanan)
Sanitarian (SKM/D3 Kesling)
Ahli Gizi (D3/D4 Gizi/SKM)
Tenaga Surveilans (D III/IV Kesehatan/SKM)
Entomolog (D III/IV Kesehatan/SKM/Sarjana Biologi)
 Jumlah Kebutuhan SDM Kesehetan Di Lapngan Untuk Jumblah Penduduk/pengungsi
10.000-20.000 Orang

Page
17
Dokter Umum = 4 orang
Perawat =10 - 20 orang
Bidan = 8 – 16 orang
Apoteker = 2 orang
Asisten Apoteker = 4 orang
Pranata Laboratorium = 2 orang
Epidemiolog = 2 orang
Entomolog = 2 orang
Sanitarian = 4 – 8 orang

2.5 Keperawatan Bencana Pada Kelompok Rentan

Bila terjadi bencana, maka kelompok rentan seperti ibu hamil dan bayi, anak, danlansia
mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami dampak buruk dari bencana dibanding
orang lain. Perawat mempunyai peran penting membantu mengatasi masalah yang
dialami oleh kelompok rentan ini pada penanggulangan bencana. Oleh karena itu, agar
dampak bencana dapat diminimalkan, diperlukan pemahaman tentang manajemen
keperawatan bencana pada kelompok rentan. Manajemen keperawatan bencana pada
kelompok rentan sesuai siklus bencana yaitu saat bencana, setelah bencana dan sebelum
bencana.

Manajemen keperawatan bencana pada kelompok rentan: ibu hamil dan bayi,
meliputi: dampak bencana pada ibu hamil dan bayi, keperawatan bencana pada
ibu hamil dan bayi saat bencana, manajemen keperawatan bencana pada ibu hamil
dan bayi setelah bencana, manajemen keperawatan bencana pada ibu hamil dan
Manajemen keperawatan bencana pada kelompok rentan: anak, meliputi: dampak
bencana pada anak, manajemen keperawatan bencana pada anak saat bencana,
manajemenkeperawatan bencana pada anak setelah bencana, manajemen
keperawatan bencana pada anak sebelum bencana.
Manajemen keperawatan bencana pada kelompok rentan: lanjut usia (lansia),
meliputi: dampak bencana pada lansia, manajemen keperawatan bencana pada
lansia saat bencana, manajemen keperawatan bencana pada lansia setelah
bencana, manajemen keperawatan bencana pada lansia sebelum bencana

Page
18
2.6 Psychological first aid : Pertolongan Psikologis Untuk Survivor Bencana Alam

Kerusakan infrastruktur seperti rumah, lapangan pekerjaan, dan lain-lain dapat


menjadi salah satu stressor (penyebab stres) yang kuat. Bencana alam membuat korban
yang selamat dapat mengalamiberbagai ketidaksimbangan psikis. Pemerinatah dan
berbagai lembaga besar lain telah banyak mengambil inisiatif untuk memberikan bantuan
kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan untuk korban bencana alam. Namun
juga tidak boleh dilupakan bahwa bantuan seharusnya tidak hanya diberikan ketika
bencana tersebut terjadi dan beberapa hari setelahnya. Bantuan harus terus disalurkan
hingga beberapa bulan pasca-kejadian bencana. Salah satu hal yang harusnya menjadi
sorotan penting bagi Badan Penanggulangan Bencana adalah keadaan psikis survivor
bencana pada tiga sampai enam bulan setelah kejadian. Pasalnya, jika hingga rentang
waktu tiga sampai enam bulan korban bencana masih mengalami depresi dan stres berat,
ditakutkan akan merambat kepada gangguan psikologis yang lebih berat.
Sedikit mengulas tentang data bencana, BNPB mencatat bahwa selama tahun 2018,
telah terjadi 1.601 kejadian di Indonesia selama bulan Januari hingga Juli 2018. Kejadian
bencana ini setidaknya telah menelan 170 korban jiwa yang meninggal dan hilang.
Sedangkan terdapat tiga juta orang lebih yang harus mengungsi dan terdampak bencana.
Jumlah ini bukanlah hal yang dapat dipandang sebelah mata. Hadirnya kejadian bencana
di setiap tahun membutuhkan berbagai solusi dan juga langkah preventif untuk
mempersiapkan kejadian bencana Indonesia.
Seperti yang telah disebutkan di atas. Selain menimbulkan dampak fisik yang buruk,
bencana juga dapat menimbulkan dampak ketidakseimbangan psikologis pada korbannya
terutama setelah kejadian bencana tersebut. Kehilangan harta dan benda, lapangan
pekerjaan, bahkan beberapa kehilangan anak istri atau suami menimbulkan goncangan
jiwa yang buruk. Trauma, depresi dan stress adalah beberapa dampak nyata bagi sebagian
atau bahkan seluruh korban bencana alam. Dampak yang paling kuat adalah trauma.

 PFA hadir sebagai salah satu bentuk kepedulian kita.


Berbagai kemungkinan dapat hadir dalam keadaan bencana. Dalam keadaan
psikis yang tidak stabil atau dalam keadaan ketidakseimbangan psikologis,
survivor bencana alam sangat dikhawatirkan akan terkena trauma berkelanjutan
dan post-traumatic stress disorder (PTSD). Dalam keadaan seperti itu, bisa jadi
bantuan fisik (sandang, pangan dan papan) yang diberikan oleh pemerintah tidak

Page
19
akan memberikan pertolongan cukup bagi mereka. Salah satu program yang
ditawarkan ilmu psikologi untuk menangani korban bencana pasca kejadian
adalah psychological first aid (PFA). PFA merupakan istilah yang berarti
pertolongan pertama psikologis. Fuady (2017) mengartikan PFA sebagai
keterampilan mengurangi dampat negatif dan mencegah timbulnya gangguan
mental menjadi lebih buruk yang disebabkan oleh situasi sulit seperti bencana
alam. Shapare (2011) dan IASC (2007) merumuskan PFA sebagai pemberian
dukungan untuk masyarakat yang terkena musibah dan yang membutuhkan
bantuan (WHO, 2011).
PFA meliputi beberapa hal berikut:
memberikan perawatan praktis serta dukungan yang tidak mengganggu
membantu orang untuk memenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan dan
papan)
mendengarkan keluhan orang tetapi tidak menekan mereka untuk
berbicara atau bercerita
menghibur orang dan membantu mereka untuk merasa dan menemukan
kebahagiaan
membantu korban untuk terhubung pada informasi, layanan dan dukungan
sosoal.
PFA bukanlah layanan konseling yang hanya dapat dilakukan oleh
professional, karena korban bencana mungkin tidak membutuhkan layanan
konseling, mereka mungkin akan merasa terganggu untuk konseling. PFA
dapat dilakukan oleh siapapun yang sudah mendapatkan pelatihan bagaimana
menangani masalah psikologi yang dialami oleh korban bencana alam.
Korban bencana dengan berbagai perasaan yang mereka rasakan
membutuhkan telinga yang kuat untuk mendengarkan kisahnya tanpa
memberi intervensi apapun. Menggali informasi pada mereka untuk
menceritakan kejadian bencana seperti yang banyak dilakukan dalam praktik
konseling, akan membuat mereka mengingat kembali hal-hal yang tidak
menyenangkan selama kejadian tersebut. Maka dari itu, walaupun PFA tidak
terbatas untuk profesional saja, tentunya sebelum menjadi relawan yang turun
ke lapangan, dibutuhkan perencanaan yang baik dengan melakukan berbagai
observasi kebutuhan dan program-program yang dapat diterapkan di lapangan
nantinya. Sebagai contoh. Penggunaan terapi bisa dikombinasikan dengan

Page
20
permainan-permainan tradisional untuk menangani anak-anak yang menjadi
korban bencana. Menurut penulis, tugas utama volunteer atau relawan korban
bencana yang berfokus pada PFA adalah untuk menghadirkan kebahagiaan-
kebahagiaan sebagai pengganti sementara kebahagiaan korban yang hilang.
Dengan hadirnya program PFA untuk penanggulangan gangguan psikis
korban bencana, diharapkan dampat meminimalisasi timbulnya gangguan
yang lebih berat dan menjadi langkah preventif timbulnya PTSD (Gangguan
stres pasca-trauma). Bekal utama yang harus dimiliki seorang relawan PFA
adalah memiliki pandangan bahwa setiap individu (korban bencana) memiliki
kemampuan melakukan hal sederhana untuk diri sendiri dan orang lain
menjadi lebih baik. PFA tidak harus dilakukan oleh orang-orang yang belajar
psikologi saja, namun semua kalangan masyarakat dapat menjadi relawan
PFA. Hal ini karena keterbatasan tenaga professional yang mau dan atau bisa
berkecimpung menjadi relawan. Persiapan yang matang untuk diri sendiri dan
untuk penanganan korban menjadi syarat utama juga untuk terjun menjadi
relawan PFA. dengan demikian, program PFA ini diharapkan menjadi salah
satu solusi dan sumbangsih ilmu psikologi untuk menangani korban bencana
alam

Page
21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pada dasarnya semua proses manajemen akan sangat penting dilakukan terkait dalam
penanggulangan bencana. Masalah selama ini adalah tidak banyak lembaga yang
bergerak penanggulangan bencana yang melakukan semua proses manajemen
bencana. Karena memang semua proses manajemen bencana mempunyai fungsi dan
tujuan yang berbedabeda.

1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi,


kesiapsiagaan, serta peringatan dini
2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk
meringankan penderitaan sementara, seperti search and rescue (SAR), bantuan
daruirat dan pengungsian
3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan
rekonstruksi.

3.2 Saran

Kesadaran sangat dibutuhkan dari perawat yang bekerja di daerah berisiko tinggi
dengan bencana. Disamping itu, perawat perlu mempersiapkan diri dengan memiliki
pengetahuan dasar serta keterampilan untuk menghadapi bencana.Dengan demikian,
perawat bertanggung jawab untuk mencapai peran dan kompetensi mereka dalam
semua tahap bencana, terutama pada fase respon atau tanggap darurat yang meliputi
peringatan, mobilisasi, dan evakuasi adalah tanggung jawab pertama yang dicapai.
Kemudian, menilai masalah kesehatan korban dan pelaporan data ke instansi
pemerintah terkait harus dilakukan dalam rangka untuk memberikan dan
menstabilkan kondisi kesehatan korban bencana.

Page
22
DAFTAR PUSTAKA

BUKU MATERI PEMBELAJARAN MANAJEMEN GAWAT DARURAT DAN


BENCANA Penulis:Ns.Erita. S.Kep., M.Kep Ns.Donny Mahendra. S.Kep Adventus
MRL.Batu, SKM.,M.Kes Tahun terbit 2019

BAKORNAS Penanggulangan Bencana. Rencana Nasional Penangulangan Bencana.


2014-2016

Idea Nursing Journal Ardia Putra, dkk PERAN DAN KEPEMIMPINAN PERAWAT
DALAM MANAJEMEN BENCANA PADA FASE TANGGAP DARURAT

Mepsa. P, (2017). Peran Mahasiswa Keperawatan Dalam Tanggap Bencana. Diunduh


dari http://fkep.unand.ac.id/images/peran_mahasiswa_keperawatan_dalam_tanggap
_bencana.docx.

Fitria, H., (2017). Tanggap Darurat Bencana (Studi Kasus:Tanggap Darurat Bencana
Gunung Api Merapi Kabupaten Sleman Tahun 2010) diunduh dari
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20271095-s466-tanggap%20daruratskripsi digital

Page
23

Anda mungkin juga menyukai