Anda di halaman 1dari 53

MAKALAH

PENGURANGAN RESIKO, PENCEGAHAN PENYAKIT, PROMOSI


KESEHATAN, KOMUNIKASI DAN PENYEBARAN INFORMASI
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Bencana

Dosen Pengampu :
Nuridha Fauziyah, S. Kep., Ners., M. Kep.

Disusun Oleh :
Kelompok 4 – Ilmu Keperawatan B

Ai Epa Nurhasanah Neng Riris Ariska


Deri Julian Rai Rima Ferdilla Ramadanty
Ida Sonia Sri Ayu Fujastuti
Iis Tarliah Kunaedi Wulan Yulianti Dewi
M. Abdul Hadi Via Febriyanti

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS SEBELAS APRIL
Jln. Cipadung No. 28 Kota Kaler, Sumedang Utara 45621
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala anugerah-Nya yang telah
dilimpahkan kepada penyusun, sehingga penyusun mampu menyelesaikan penyusunan
makalah ini dengan lancar dan baik. Makalah ini disusun dalam rangka untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Bencana.

Dalam penyusunan makalah ini penyusun tidak sedikit menemui kesulitan,


penyusun menyadari akan segala kekurangan karena kemampuan pengetahuan dan
pengalaman yang masih terbatas. Namun atas segala bantuan dari berbagai pihak
akhirnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu penyusun
mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Nuridha Fauziyah, S. Kep., Ners., M. Kep. Selaku dosen mata kuliah
Keperawatan Bencana
2. Orangtua yang telah mendukung dari segi materi maupun non materi.
3. Rekan kelompok 4 yang telah memberikan dukungan dan motivasi

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan di masa yang akan datang.
Demikianlah makalah ini disusun dengan harapan dapat bermanfaat khususnya
bagi penyusun dan pengguna makalah ini pada umumnya.

Sumedang, 29 November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 3
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................. 3

BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Konsep Pengurangan Resiko Bencana ................................................... 4
2.2 Pencegahan Penyakit .............................................................................. 18
2.3 Promosi Kesehatan ................................................................................. 26
2.4 Komunikasi dan Penyebaran Informasi ................................................. 29

BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 49
3.2 Saran ....................................................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi


bencana yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana.
Kondisi alam tersebut serta adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di
Indonesia menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana
ulah manusia dan kedaruratan kompleks, meskipun di sisi lain juga kaya akan
sumber daya alam. Pada umumnya risiko bencana alam meliputi bencana
akibat faktor geologi (gempabumi, tsunami dan letusan gunung api), bencana
akibat hidrometeorologi (banjir, tanah longsor, kekeringan, angin topan),
bencana akibat faktor biologi (wabah penyakit manusia, penyakit
tanaman/ternak, hama tanaman) serta kegagalan teknologi (kecelakan industri,
kecelakaan transportasi, radiasi nuklir, pencemaran bahan kimia). Bencana
akibat ulah manusia terkait dengan konflik antar manusia akibat perebutan
sumber daya yang terbatas, alasan ideologi, religius serta politik. Sedangkan
kedaruratan kompleks merupakan kombinasi dari situasi bencana pada suatu
daerah konflik.

Kompleksitas dari permasalahan bencana tersebut memerlukan suatu


penataan atau perencanaan yang matang dalam penanggulangannya, sehingga
dapat dilaksanakan secara terarah dan terpadu. Penanggulangan yang dilakukan
selama ini belum didasarkan pada langkah-langkah yang sistematis dan
terencana, sehingga seringkali terjadi tumpang tindih dan bahkan terdapat
langkah upaya yang penting tidak tertangani.

Menurut Undang-undang Republik Indonesia No.24 Tahun 2007


Tentang Penanggulangan Bencana pada pasal 1 diuraikan bahwa bencana
adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

1
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis. Selanjutnya pada pasal 2 disebutkan bahwa bencana
alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Dalam
Undang-undang tersebut pada ketentuan umum butir 9 tercantum bahwa
mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana.

Bencana harus ditangani secara menyeluruh setelah situasi darurat itu


direspons. Setiap akibat pasti punya sebab dan dampaknya, maka bencana
sebagai sebuah akibat pasti punya sebab dan dampaknya, agar penanganan
bencana tidak terbatas pada simpton simpton persoalan, tetapi menyentuh
substansi dan akar masalahnya. Dengan demikian kondisi darurat perlu
dipahami sebagai salah satu fase dari keseluruhan resiko bencana itu sendiri.
Penanganan kondisi darurat pun perlu diletakkan dalam sebuah perspektif
penanganan terhadap keseluruhan siklus bencana. Setelah kondisi darurat,
biasanya diikuti dengan kebutuhan pemulihan (rehabilitasi), rekonstruksi
(terutama menyangkut perbaikan-perbaikan infrastruktur yang penting bagi
keberlangsungan hidup komunitas), sampai pada proses kesiapan terhadap
bencana, dalam hal ini proses preventif.

2
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka disusunlah rumusan


masalah sebagai berikut :

a. Bagaimana perencanan dan pelaksanaan pengurangan resiko


bencana ?
b. Bagaimana pelaksanan pencegahan penyakit ?
c. Bagaimana pelaksanaan promosi kesehatan ?
d. Bagaimana pelaksanaan komunikasi dan penyebaran informasi ?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas maka disusunlah tujuan


penulisan sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui perencanan dan pelaksanaan pengurangan resiko


bencana
b. Untuk mengetahui pelaksanan pencegahan penyakit
c. Untuk mengetahui pelaksanaan promosi kesehatan
d. Untuk mengetahui pelaksanaan komunikasi dan penyebaran
informasi

3
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Pengurangan Resiko Bencana

Pengurangan Resiko Bencana didefinisikan sebagai konsep dan praktik


mengurangi risiko bencana melalui upaya sistematis untuk menganalisa dan
mengelola faktor-faktor penyebab dari bencana termasuk dengan dikuranginya
paparan terhadap ancaman, penurunan kerentanan manusia dan properti,
pengelolaan lahan dan lingkungan yang bijaksana, serta meningkatkan
kesiapsiagaan terhadap kejadian yang merugikan.

Tujuan pengurangan resiko bencana adalah untuk mencegah timbulnya


risiko baru dan mengurangi risiko yang sudah ada melalui implementasi
tindakan-tindakan ekonomi, strukrural, legal, sosial, kesehatan, kultural,
pendidikan, lingkungan, teknologi, politik dan kelembagaan, secara terintegrasi
dan inklusif, yang mencegah dan mengurangi paparan terhadap ancaman dan
kerentanan terhadap bencana, meningkatkan kesiapsiagaan dalam tanggap
bencana dan pemulihan, serta penguatan ketahanan

Konsep penanggulangan bencana mengalami pergeseran paradigma


dari konvensional menuju ke holistik. Pandangan konvensional menganggap
bencana itu suatu peristiwa atau kejadian yang tak terelakan dan korban harus
segera mendapatkan pertolongan, sehingga fokus dari penanggulangan bencana
lebih bersifat bantuan (relief) dan kedaruratan (emergency). Oleh karena itu
pandangan semacam ini disebut dengan paradigma relief atau bantuan darurat
yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan darurat berupa :pangan,
penampungan darurat, kesehatan dan pengatasan krisis. Tujuan
penanggulangan bencana berdasarkan pandangan ini adalah menekan tingkat
kerugian, kerusakan dan cepat memulihkan keadaan.

4
Paradigma yang berkembang berikutnya adalah paradigma mitigasi,
yang tujuannya lebih diarahkan pada identifikasi daerah-daerah rawan bencana,
mengenali pola-pola yang dapat menimbulkan kerawanan dan melakukan
kegiatan-kegiatan mitigasi yang bersifat struktural (seperti membangun
konstruksi) maupun non struktural seperti penataan ruang, building code dan
sebagainya.
Selanjutnya paradigma penanggulangan bencana berkembang lagi
mengarah kepada faktor- faktor kerentanan di dalam masyarakat yang disebut
dengan paradigma pembangunan. Upaya- upaya yang dilakukan lebih bersifat
mengintegrasikan upaya penangulangan bencana dengan program
pembangunan. Misalnya melalui pekuatan ekonomi, penerapan teknologi,
penegntasan kemiskinan dan sebagainya.
Paradigma yang terakhir adalah paradigma pengurangan resiko.
Pendekatan ini merupakan perpaduan dari sudut pandang teknis dan ilmiah
dengan perhatian kepada faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik dalam
perencanaan pengurangan bencana. Dalam paradigma ini penanggulangan
bencana bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
mengelola dan menekan resiko terjadinya bencana. Hal terpenting dalam
pendekatan ini adalah memandang masyarakat sebaga subyek dan bukan obyek
dari penanggulangan bencana dalam proses pembangunan.
Di Indonesia, masih banyak penduduk yang menganggap bahwa
bencana itu merupakan suatu takdir. Hal ini merupakan gambaran bahwa
paradigma konvensional masih kuat dan berakar di masyarakat. Pada umumnya
mereka percaya bahwa bencana itu adalah kutukan atas dosa dan kesalahan
yang telah diperbuat, sehingga seseorang harus menerima bahwa itu sebagai
takdir akibat perbuatannya. Sehingga tidak perlu lagi berusaha untuk
mengambil langkah-langkah pencegahan dan penaggulanganya.
Paradigma penanggulangan bencana sudah beralih dari paradigma
bantuan darurat menuju ke paradigma mitigasi/preventif dan sekaligus juga
paradigma pembangunan. Karena setiap upaya pencegahan dan mitigasi hingga

5
rehabilitasi dan rekonstruksinya telah diintegrasikan dalam program-program
pembangunan di berbagai sektor.
Dalam paradigma sekarang, pengurangan resiko bencana yang
merupakan rencana terpadu yang bersifat lintas sektor dan lintas wilayah serta
meliputi aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Dalam implementasinya
kegiatan pengurangan resiko bencana nasional akan disesuaikan dengan
rencana pengurangan risiko bencana pada tingkat regional dan internasional.
Dimana masyarakat merupakan subyek, obyek sekaligus sasaran utama upaya
pengurangan resiko bencana dan berupaya mengadopsi dan memperhatikan
kearifan lokal (local wisdom) dan pengetahuan tradisional (traditional
knowledge) yang ada dan berkembang dalam masyarakat. Sebagai suyek
masyarakat diharapkan dapat aktif mengakses saluran informasi formal dan
non-formal, sehingga upaya pengurangan risiko bencana secara langsung dapat
melibatkan masyarakat. Pemerintah bertugas mempersiapkan sarana, prasarana
dan sumber daya memadai untuk pelaksanaan kegiatan pengurangan risiko
bencana.
Dalam rangka menunjang dan memperkuat daya dukung setempat,
sejauh memungkinkan upaya-upaya pengurangan risiko bencana akan
menggunakan dan memberdayakan sumber daya setempat. Ini termasuk tetapi
tidak terbatas pada sumber dana, sumber daya alam, ketrampilan, proses-proses
ekonomi dan sosial masyarakat.

Jadi, ada tiga hal penting terkait dengan perubahan paradigma ini, yaitu :
a. Penanggulangan bencana tidak lagi berfokus pada aspek tanggap darurat
tetapi lebih pada keseluruhan manajemen risiko.
b. Perlindungan masyarakat dari ancaman bencana oleh pemerintah
merupakan wujud pemenuhan hak asasi rakyat dan bukan semata-mata
karena kewajiban pemerintah.
c. Penangulangan bencana bukan lagi hanya urusan pemerintah tetapi juga
masyarakat menjadi penanggung jawab utamanya.

6
Sebagai salah satu tindak lanjut dalam menghadapi perubahan paradigma
tersebut, pada bulan januari tahun 2005 di kobe – jepang, diselenggarakan
konferensi pengurangan bencana dunia (World Conference on Disaster
Reduction) yang menghasilkan beberapa substansi dasar dalam mengurangi
kerugian akibat bencana, baik kerugian jiwa, sosial, ekonomi dan lingkungan.
Substansi dasar tersebut yang selanjutnya merupakan lima prioritas kegiatan :
a. Meletakan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional
maupun daerah yang pelaksanaanya harus didukung oleh kelembagaan
yang kuat.
b. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta
menerapkan sistem peringatan dini.
c. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun
kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana pada semua
tingkatan masyarakat.
d. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana.
e. Memperkuat kesepian menghadapi bencana pada semua tingkatan
masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif.

Selama enam PELITA upaya penaggulangan bencana berjalan melalui


mekanisme yang sepenuhnya dikendalikan pemerintah, terutama pemerintah
pusat. Akibat dari dominasi pemerintah pusat di dalam upaya
penanggulangan bencana, maka dampak yang dirasakan adalah :
a. Ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat sangat tinggi,
sehingga setiap terjadi bencana betapapun kecilnya, daerah selalu
meminta bantuan kepada pusat.
b. Kemampuan daerah dalam menaggulangi bencana tidak meningkat,
sebagai akibat ketergantungan tersebut.

7
c. Keterlambatan dalam penaggulangan bencana, mengingat luasnya
wilayah negara indonesia dan sebagian besar masih mengandalkan
pada kemampuan pusat.

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, dimana kewenangan


penanggulangan bencana menjadi tanggungjawab daerah, maka sudah
selayaknya pemerintah pusat mulai meningkatkan kemampuan pemerintah
daerah dan masyarakatnya untuk dapat secara mandiri mengatasi
permasalahan bencana di daerahnya. Oleh karena itu, pendekatan melalui
paradigma pengurangan risiko merupakan jawaban yang tepat untuk
melakukan upaya penaggulangan bencana pada era otonomi daerah. Dalam
paradigma ini setiap individu, masyarakat di daerah diperkenalkan dengan
berbagai ancaman yang ada di wilayahnya, bagaimana cara mengurangi
ancaman (hazards ) dan kerentanan (vulnerability) yang dimiliki, serta
meningkatkan kemampuan (capacity) masyarakat dalam menghadapi
setiap ancaman.

A. Komponen Pengurangan Resiko Bencana


1. Kesadaran tentang dan penilaian risiko, termasuk di dalamnya analisis
ancaman serta analisis kapasitas dan kerentanan
2. Pengembangan pengetahuan termasuk pendidikan, pelatihan,
penelitian, dan informasi
3. Komitmen kebijakan, dan kerangka kelembagaan, termasuk organisasi,
kebijakan, legislasi, dan aksi komunitas (yang bisa diterjemahkan di sini
sebagai pengelolaan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK)
4. Penerapan ukuran-ukuran PRB seperti pengelolaan lingkungan, tata
guna lahan, perencanaan perkotaan, proteksi fasilitas-fasilitas sosial
(critical facilities), penerapan ilmu dan teknologi, kemitraan dan
jejaring, instrumen keuangan

8
5. Sistem Peringatan Dini termasuk di dalamnya prakiraan, sebaran
peringatan, ukuran-ukuran kesiapsiagaan, dan kapasitas respons
(UNISDR, 2004).

B. Komponen Bencana
1. Hazard (Bahaya)
Bahaya adalah suatu fenomena alam atau buatan yang mempunyai
potensi mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan
kerusakan lingkungan.
Berdasarkan United International Strategy for Disaster Reduction
(UN-ISDR), bahaya ini dibedakan menjadi lima kelompok yaitu :
a. Bahaya beraspek geologi antara lain gempa bumi, tsunami,
gunung api, gerakan tanah (mass movement) sering dikenal
sebagai tanah longsor.
b. Bahaya beraspek hidrometeorologi antara lain : banjir,
kekeringan, angin topan, gelombang pasang.
c. Bahaya beraspek bilogi antara lain : wabah penyakit, hama dan
penyakit tanaman dan hewan/ ternak.
d. Bahaya beraspek teknologi antara lain : kecelakaan transportasi,
kecelakaan industri, kegagalan teknologi.
e. Bahaya beraspek lingkungan antara lain : kebakaran hutan,
kerusakan lingkungan, pencemaran limbah.

2. Kerentanan (Vulnerability)
Kerentanan (vulnerability) merupakan kondisi dari suatu komunitas
atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan
dalam menghadapi ancaman bahaya. Jenis kerentanan ada 3 yaitu :
a) Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan suatu kondisi
fisik (infrastruktur) yang rawan terhadap faktor bahaya (hazard)
tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat dilihat dari berbagai

9
indikator sebagai berikut: presentase kawasan terbangun;
kepadatan bangunan; persentase bangunan konstruksi darurat;
jaringan listrik; rasio panjang jalan; jaringan telekomunikasi;
jaringan PDAM; dan jalan KA. Wilayah permukiman di
Indonesia dapat dikatakan berada pada kondisi yang sangat
rentan karena presentase kawasan terbangun, kepadatan
bangunan dan bangunan konstruksi darurat di perkotaan sangat
tinggi sedangkan persentase, jaringan listrik, rasio panjang jalan,
jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM, jalan KA sangat
rendah.
b) Kerentanan sosial menggambarkan kondisi tingkat kerapuhan
sosial dalam menghadapi bahaya (hazard). Pada kondisi sosial
yang rentan maka jika terjadi bancana dapat dipastikan akan
menimbulkan dampak kerugian yang besar. Beberapa indikatir
kerentanan sosial antara lain kepadatan penduduk, laju
pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia tua-balita dan
penduduk wanita. Kota-kota di Indonesia memiliki kerentanan
sosial yang tinggi karena memiliki persentase yang tinggi pada
indikator-indikator tersebut.
c) Kerentanan ekonomi menggambarkan suatu kondisi tingkat
kerapuhan ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya
(hazards). Beberapa indikator kerentanan ekonomi diantaranya
adalah persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan
(sektor yang rawan terhadap pemutusan hubungan kerja) dan
persentase rumah tangga miskin.

3. Resiko Bencana (Disaster Risk)


Dalam disiplin penanggulangan bencana (disaster management),
risiko bencana adalah interaksi antara tingkat kerentanan daerah dengan
ancaman bahaya (hazard) yang ada. Semakin tinggi bahaya, kerentanan

10
dan ketidakmampuan, maka semakin besar pula risiko bencana yang
dihadapi.
Berdasarkan potensi ancaman bencana dan tingkat kerentanan yang
ada, maka dapat diperkirakan risiko bencana yang akan terjadi di
wilayah Indonesia tergolong tinggi. Risiko bencana pada wilayah
Indonesia yang tinggi tersebut disebabkan oleh potensi bencana/hazards
yang dimiliki wilayah-wilayah tersebut yang memang sudah tinggi,
ditambah dengan tingkat kerentanan yang sangat tinggi pula.
Dalam kaitannya dengan pengurangan risiko bencana, maka upaya
yang dapat dilakukan adalah melalui pengurangan tingkat kerentanan,
karena hal tersebut relative lebih mudah dibandingkan dengan
mengurangi/memperkecil bahaya/hazard.

C. Tindakan Prioritas Dalam Pengurangan Resiko Bencana


1. Memahami resiko bencana
Kebijakan dan praktek harus didasarkan pada pemahaman
kerentanan, kapasitas, karakteristik bahaya dari lingkungan

2. Penguatan tata kelola resiko


Tata kelola yang diperlukan untuk mendorong kerjasama
kemitraan mekanisme, lembaga, untuk pelaksanaan PRB dan sumber
daya.
3. Investasi PRB untuk relisiensi
Investasi publik dan swasta dalam tindakan struktural dan non-
struktural untuk meningkatkan ketahanan sebagai pendorong inovasi,
pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja.
4. Meningkatkan manajemen resiko

11
D. Tahap Pengurangan Resiko Bencana

Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi dalam


kedalam tiga kegiatan utama, yaitu:

1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan,


mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini;
2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap
darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti
kegiatan Search And Rescue (SAR), bantuan darurat dan
pengungsian;
3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan,
rehabilitasi, dan rekonstruksi.

1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana


Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan
yang baik dengan memikirkan berbagai tindakan untuk meminimalsir
berbagai kerugian yang ditimbulkan akibat bencana dan menyusun
perencanaan agar dapat melakukan kegiatan pertolongan serta
perawatan yang efektif pada saat terjadi bencana. Tindakan terhadap
bencana menurut PBB ada 9 kerangka, yaitu :
a. Pengkajian terhadap kerentanan
b. Membuat perencanaan ( pencegahan bencana)
c. Pengorganisasian
d. Sistem informasi
e. Pengumpulan sumber daya
f. Sistem alarm
g. Mekanisme tindakan
h. Pendidikan dan pelatihan penduduk

2. Fase tindakan

12
Fase tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat
yang nyata untuk menjaga diri sendiri dan harta kekayaan. Aktivitas
yang dilakukan secara kongkret yaitu :
a. Instruksi pengungsian
b. Pencarian dan penyelamatan korban
c. Menjamin keamanan di lokasi bencana
d. Pengkajian terhadap kerugian akibat bencana
e. Pembagian dan penggunaan alat perlengkapan pada kondisi
darurat,
f. Pengiriman dan penyerahan barang material
g. Menyediakan tempat pengungsian dan lain-lain.

Dari sudut pandang pelayanan medis, bencana lebih dipersempit lagi


dengan membaginya menjadi fase akut dan fase sub akut. Dalam fase akut,
48 jam pertama sejak bencana terjadi disebut fase penyelamatan dan
pertolongan / pelayanan medis darurat terhadap orang orang yang terluka
pada saat mengungsi atau dievakuasi, serta dilakukan tindakan-tindakan
terhadap munculnya permasalahan kesehatan dalam pengungsian.
3. Fase pemulihan
Fase pemulihan dibedakan secara akurat dari dan sampai kapan, tetapi
fase ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan
kemampuannya sendiri dapat memulihkan fungsinya seperti sedia kala,
(sebelum terjadi bencana), orang-orang melakukan perbaikan darurat
tempat tinggalnya, pindah kerumah sementara, mulai masuk sekolah
ataupun bekerja kembali sambil memulihkan lingkungan tempat
tinggalnya. Kemudian mulai dilakukan rehabilitasi lifeline dan aktivitas
untuk membuka kembali usahanya. Institusi pemerintah juga memulai
memberikan kembali pelayanan secara normal serta mulai menyusun
rencana-rencana untuk rekonstruksi sambil terus memberikan bantuan
kepada para korban. Fase ini bagaimanapun juga hanya merupakan fase

13
pemulihan dan tidak sampai mengembalikan fungsi-fungsi normal seperti
sebelum bencana terjadi. Dengan kata lain, fase ini merupakan masa
peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang.
4. Fase Rehabilitasi / Rekonstruksi.
Jangka waktu fase Rehabilitasi / Rekonstruksi juga tidak dapat
ditentukan, namun ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat
berusaha menegembalikan fungsi-fungsinya seperti sebelum bencana dan
merencanakan rehabilitasi terhadap seluruh komunitas. Tetapi, seseorang
atau masyarakat tidak dapat kembali pada keadaan yang sama seperti
sebelum mengalami bencana, sehingga dengan menggunaan
pengalamannya tersebut diharapkan kehidupan individu serta keadaan
komunitas pun dapat dikembangkan secara progresif.

E. Pelayanan Medis Bencana Berdasarkan Siklus Bencana


1. Fase akut dalam siklus bencana
Di lokasi bencana, pertolongan terhadap korban luka dan evakuasi
dari lokasi berbahaya ke tempat yang aman adalah hal yang paling
diprioritaskan. Untuk menyelamatkan korban luka sebanyak mungkin,
maka sangat diperlukan lancarnya pelaksanaan Triage ( triase),
Treatment ( pertolongan pertama), dan transportation ( transportasi)
pada korban luka, yang dalam pelayanan medis bencana disebut dengan
3T. Selain tindakan penyelamatan secara langsung, dibutuhkan juga
perawatan terhadap mayat dan keluarga yang ditinggalkan, baik di
rumah sakit, lokasi bantuan perawatan darurat maupun ditempat
pengungsian yang menerima korban bencana.
2. Fase menengah dan panjang pada siklus bencana.
Pada fase ini, terjadi perubahan pada lingkungan tempat tinggal
yaitu dari tempat pengungsiam ke rumah sementara dan rumah yang
direhabilitasi. Hal-hal yang dilakukan diantaranya adalah :
memperhatikan segi keamanan supaya dapat menjalankan aktivitas

14
hidup yang nyaman dengan tenang, membantu terapi kejiwaan korban
bencana, membantu kegiatan-kegiatan untuk memulihkan kesehatan
hidup dan membangun kembali komunitas sosial
3. Fase tenang pada siklus bencana
Pada fase tenang dimana tidak terjadi bencana, diperlukan
pendidikan penanggulangan bencana sebagai antisipasi saat bencana
terjadi, pelatihan pencegahan bencana pada komunitas dengan
melibatkan penduduk setempat, pengecekan dan pemeliharaan fasilitas
peralatan pencegahan bencana baik di daerah-daerah maupun pada
fasilitas medis, srta membangun sistem jaringan bantuan.

F. Penanggulangan Bencana di Bidang Kesehatan


1. Sanitasi darurat
Kegiatannya adalah penyediaan serta pengawasan air bersih dan
jamban : kualitas tempat pengungsian, serta pengaturan limbah sesuai
standard. Kekurangan jumlah maupun kualitas sanitasi ini akan
meningkatkan resiko penularan penyakit.
2. Pengendalian vector
Bila tempat pengungsian dikategorikan tidak ramah, maka
kemungkinan terdapat nyamuk dan vector lain di sekitar pengungsi. Ini
termasuk timbunan sampah dan genangan air yang memungkinkan
tejadinya perindukan vector. Maka kegiatan pengendalian vector
terbatas saat diperlukan baik dalam bentuk spraying, atau fogging,
larvasiding, maupun manipulasi lingkungan.
3. Pengendalian penyakit
Bila dari laporan pos-pos kesehatan diketahui terdapat
peningkatan kasus penyakit, terutama yang berpotensi KLB, maka
dilakukan pengendalian melalui intensifikasi penatalaksanaan kasus
serta penanggulangan faktor resikonya. Penyakit yang memerlukan
perhatian adalah diare dan ISPA.

15
4. Imunisasi terbatas
Pengungsi pada umumnya rentan terhadap penyakit, terutama
orang tua, ibu hamil, bayi dan balita. Bagi bayi dan balita perlu
imunisasi campak bila dalam catatan program daerah tersebut belum
mendapatkan crash program campak. Jenis imunisasi lain mungkin
diperlukan ssuai dengan kebutuhan setempat seperti yang dilakukan
untuk mencegah kolera.
5. Surveilanse Epidemologi
Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh informasi
epidemologi penyakit potensi KLB dan faktor resiko.atas informasi
inilah maka dapat ditentukan pengendalian penyakit, pengendalian
vector, dan pemberian imunisasi, informasi epidemologi yang harus
diperoleh melalui kegiatan surveilens epidemologi adalah :
a. Reaksi sosial
b. Penyakit menular
c. Perpindahan penduduk
d. Pengaruh cuaca
e. Makanan dan gizi
f. Persediaan air dan sanitasi
g. Kesehatan jiwa
h. Kerusakan infrastruktur kesehatan.

Menurut DepKes RI (2006) manajemen siklus penanggulangan bencana


terdiri dari :
1. Impact (saat terjadi bencana)
2. Acute response (tanggap darurat)
3. Recovery (pemulihan)
4. Development (pembangunan)
5. Prevention (pencegahan)
6. Mitigation (mitigasi)

16
G. Peran Perawat Dalam Pengurangan Resiko Bencana
Aktivitas Keperawatan Pada Fase Pre Impact/Pra Bencana :
1. Berpartisipasi dalam penyusunan rencana PRB
2. Berpartisipasi dalam pengkajian risiko bencana, Analisis bahaya,
Pembuatan peta bahaya, Analisis kerentanan
3. Menginisiasi upaya pencegahan, Pencegahan/penghilangan bahaya,
Pemindahan kelompok risiko, Kampanye kesadaran masyarakat,
Pengembangan Early Warning System
4. Melakukan simulasi
5. Mengidentifikasi kebutuhan pendidikan dan pelatihan untuk semua
perawat
6. Pengembangan data base keperawatan bencana
7. Mengembangkan Evaluasi terhadap perencanaan yg meliputi semua
aspek disaster

H. Kompetensi Perawat Dalam Pengembangan Perencanaan


1. Menunjukkan pemahaman terhadap terminologi terkait bencana
2. Menjelaskan rentang fase-fase manajemen bencana
3. Menjelaskan peran pemerintah dan organisasi dalam perncanaan dan
respon
4. Memahami rencana penanggulangan bencana komunitas dan bagaiman
hubungannya dengan rencana nasional dan internasional
5. Mengetahui rencana penanggulangan bencana ditempat kerja dan peran
tiap-tiap orang ketika terjadi bencana
6. Berpartisipasi dalam pengembangan rencana dan kebijakan
penanganggulangan bencana
7. Berkontribusi dalam mengembangkan, mengevaluasi dan modifikasi
rencana
8. Memastikan bahwa kebutuhan kelompok rentan sudah terakomodasi
dalam perencanaan

17
9. Menginterpretasi peran perawat dalam hubungannya dengan anggota
tim lainnya
10. Berpartisipasi secara politis dan legislative dalam pengembangan
kebijakan kesiapsiagaan dan respon terhadap bencana

2.2 Pencegahan Penyakit

A. Koordinasi Kegiatan Program Kesehatan


Pada situasi darurat terdapat sebuah kecenderungan untuk membentuk
sistem pelayanan kesehatan khusus yang tidak lagi dibuat dalam skala lokal
ataupun nasional. Pada beberapa tingkatan, hal ini mungkin merupakan
waktu yang tepat untuk mendapatkan dukungan dari pihak luar tetapi
biasanya akan menyulitkan di kemudian hari. Bala bantuan dari pihak luar
harus beradaptasi dengan prosedur dan standar lokal. Penting bagi mereka
untuk mengenal budaya lokal, pola penyakit dan organisasi pelayanan
kesehatan.
Kajian harus dilaksanakan secepatnya setelah bencana terjadi selain
merespon kebutuhan yang mendesak. Beberapa hal yang perlu mendapatkan
perhatian dan kajian lebih lanjut pada pasca bencana adalah :
1. Perkiraan jumlah orang yang menjadi korban bencana (meninggal,
sakit, cacat) dan ciri–ciri demografinya.
2. Jumlah fasilitas kesehatan yang berfungsi milik pemerintah dan
swasta.
3. Ketersediaan obat dan alat kesehatan.
4. Tenaga kesehatan yang masih melaksanakan tugas.
5. Kelompok–kelompok masyarakat yang berisiko tinggi (bayi, balita,
ibu hamil, Ibu nifas dan manula)
6. Kemampuan dan sumberdaya setempat
Pelayanan kesehatan pada saat bencana bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa, mencegah atau mengurangi kecacatan
dengan memberikan pelayanan yang terbaik bagi kepentingan

18
korban. Untuk mencapai tujuan tersebut, penanganan krisis
kesehatan saat bencana dalam pelaksanaannya melalui lima tahap
pelaksanaan, yaitu tahap penyiagaan, upaya awal, perencanaan
operasi, operasi tanggap darurat dan pemulihan darurat serta tahap
pengakhiran misi. Semua tahapan kegiatan ini dilaksanakan oleh
Pusat Pengendali Kesehatan (Pusdalkes), Dinas Kesehatan setempat
yang merupakan organisasi komando tanggap darurat bencana.
Pusdalkes diaktivasi sesaat setelah informasi kejadian bencana
diterima.
Tahap Pencegahan Penyakit :
a. Tahap Penyiagaan
Tahap ini bertujuan untuk menyiagakan semua sumber daya baik
manusia maupun logistik yang sudah disiapkan pada masa sebelum terjadi
bencana. Tahap ini dimulai sejak informasi kejadian bencana diperoleh
hingga mulai tahap upaya awal. Tahap ini mencakup peringatan awal,
penilaian situasi dan penyebaran informasi kejadian.
b. Upaya Awal
Dilakukan oleh Tim Rapid Health Assesment (RHA) untuk mengetahui
besar masalah, potensi masalah kesehatan yang mungkin terjadi saat bencana
serta kebutuhan sumber daya yang harus segera dipenuhi agar penanganan
bencana dapat berdaya guna dan berhasilguna.
c. Perencanaan Operasi
Rencana operasi tanggap darurat dan pemulihan darurat harus merujuk
pada hasil rekomendasi RHA dan informasi penting lainnya dari sektor
terkait, seperti masalah keamanan, pencemaran bahan‐bahan berbahaya dan
lain‐lain.
d. Operasi Tanggap Darurat dan Pemulihan Darurat
Terdiri dari kegiatan pencarian dan penyelamatan, triase, pertolongan
pertama, proses pemindahan korban, perawatan di rumah sakit, dan evakuasi
pos medis sekunder.

19
Pengendalian penyakit dilaksanakan dengan pengamatan penyakit
(surveilans), promotif, preventif dan pelayanan kesehatan (penanganan
kasus) yang dilakukan di lokasi bencana termasuk di pengungsian. Baik
yang dilaksanakan di sarana pelayanan kesehatan yang masih ada maupun
di pos kesehatan yang didirikan dalam rangka penanggulangan bencana.
Tujuan pengendalian penyakit pada saat bencana adalah mencegah
kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular potensi wabah, seperti penyakit
diare, ISPA, malaria, DBD, penyakit‐penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (P3DI), keracunan dan mencegah penyakit‐penyakit yang spesifik
lokal.

B. Surveilens Penyakit

Permasalahan penyakit di pengungsian terutama disebabkan oleh :


1. Kerusakan lingkungan dan pencemaran
2. Jumlah pengungsi yang banyak, menempati suatu ruangan yang sempit,
sehingga harus berdesakan
3. Pada umumnya tempat penampungan pengungsi tidak memenuhi syarat
kesehatan
4. Ketersediaan air bersih yang seringkali tidak mencukupi jumlah maupun
kualitasnya
5. Diantara para pengungsi banyak ditemui orang‐orang yang memiliki
risiko tinggi, seperti balita, ibu hamil, berusia lanjut
6. Pengungsian berada pada daerah endemis penyakit menular, dekat
sumber pencemaran, dan lain‐lain
7. Kurangnya PHBS (Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat)
8. Kerusakan pada sarana kesehatan yang seringkali diikuti dengan
padamnya listrik yang beresiko terhadap kualitas vaksin.

20
Surveilans penyakit dan faktor risiko pada umumnya merupakan
suatu upaya untuk menyediakan informasi kebutuhan pelayanan kesehatan
di lokasi bencana dan pengungsian sebagai bahan tindakan kesehatan segera.
Secara khusus, upaya tersebut ditujukan untuk menyediakan informasi
kematian dan kesakitan penyakit potensial wabah yang terjadi di daerah
bencana; mengidentifikasikan sedini mungkin kemungkinan terjadinya
peningkatan jumlah penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB/wabah;
mengidentifikasikan kelompok risiko tinggi terhadap suatu penyakit
tertentu; mengidentifikasikan daerah risiko tinggi terhadap penyakit tertentu
dan mengidentifikasi status gizi buruk dan sanitasi lingkungan.

Langkah‐langkah surveilans penyakit di daerah bencana meliputi :


a. Pengumpulan Data
1) Data kesakitan dan kematian
Data kesakitan yang dikumpulkan meliputi jenis penyakit yang
diamati berdasarkan kelompok usia. Data kematian adalah setiap
kematian pengungsi, penyakit yang kemungkinan menjadi penyebab
kematian berdasarkan kelompok usia.
Data denominator (jumlah korban bencana dan jumlah
penduduk beresiko) diperlukan untuk menghitung pengukuran
epidemiologi, misalnya angka insidensi, angka kematian, dan
sebagainya.
2) Sumber data
Data dikumpulkan melalui laporan masyarakat, petugas pos
kesehatan, petugas Rumah Sakit, koordinator penanggulangan bencana
setempat.
3) Jenis form
form BA‐3: Register harian penyakit pada korban bencana
form BA‐4: Rekapitulasi harian penyakit korban bencana
form BA‐5: Laporan mingguan penyakit korban bencana

21
form BA‐6: Register harian kematian korban bencana
form BA‐7: Laporan mingguan kematian korban bencana
b. Pengolahan Dan Penyajian Data
Data surveilans yang terkumpul diolah untuk menyajikan informasi
epidemiologi sesuai kebutuhan. Data sebaiknya dipisahkan sesuai wilayah,
waktu dan kelompok pengungsi guna mendapatkan perhitungan yang tepat.
Sumber data juga harus selalu spesifik dan dapat dipercaya. Penyajian data
meliputi deskripsi maupun grafik data kesakitan penyakit menurut umur dan
data kematian menurut penyebabnya akibat bencana.
c. Analisis Dan Interpretasi
Merupakan kegiatan analisis dan interpretasi data epidemiologi yang
dilaksanakan oleh tim epidemiologi. Langkah‐langkah pelaksanaan analisis:
1) Menentukan prioritas masalah yang akan dikaji
2) Merumuskan pemecahan masalah dengan memperhatikan efektifitas
dan efisiensi kegiatan
3) Menetapkan rekomendasi sebagai tindakan korektif.
d. Penyebarluasan informasi
Penyebaran informasi hasil analisis disampaikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.

Proses kegiatan surveilans adalah sebagai berikut :


a. Kegiatan di pos kesehatan
Pos kesehatan di lokasi pengungsi adalah sarana kesehatan
sementara yang diberi tanggungjawab menyelenggarakan pelayanan
kesehatan dasar untuk masyarakat yang bertempat tinggal di lokasi
pengungsi dan sekitarnya. Pos kesehatan bertujuan untuk memulihkan dan
meningkatkan kesehatan masyarakat di lokasi pengungsi dan sekitarnya
serta terselenggaranya pelayanan rawat jalan, pelayanan kesehatan ibu dan
anak, kesehatan reproduksi Iainnya termasuk KB, pelayanan kesehatan
jiwa dan psikososial, pelayanan gizi, kesehatan Iingkungan dan

22
terselenggaranya pémantauan dan pencegahan penyakit menular di lokasi
pengungsi.
Kegiatan surveilans yang dilakukan di pos kesehatan, antara lain :
1) Pengumpulan data kesakitan penyakit yang diamati dan kematian
melalui pencatatan harian kunjungan rawat jalan.
2) Validasi data agar data menjadi tepat dan akurat, pengolahan data
kesakitan menurut jenis penyakit dan golongan umur per minggu.
3) Pembuatan dan pengiriman laporan. Dalam kegiatan pengumpulan
data kesakitan yang ditujukan pada penyakit‐penyakit yang
mempunyai potensi menimbulkan terjadinya wabah, dan masalah
kesehatan yang bisa memberikan dampak jangka panjang terhadap
kesehatan dan/atau memiliki fatalitas tinggi.
4) Jenis penyakit yang diamati antara lain diare berdarah, campak, diare,
Demam Berdarah Dengue, Pnemonia, lumpuh layuh akut (AFP), ISPA
non‐pneumonia, Difteri, suspek Hepatitis, malaria klinis, gizi buruk,
Tetanus, dan sebagainya.

b. Kegiatan di Puskesmas
Kegiatan surveilans yang dilakukan di puskesmas, antara lain :
1) Pengumpulan data kesakitan penyakit‐penyakit yang diamati dan
kematian melalui pencatatan harian kunjungan rawat jalan dan rawat
inap pos kesehatan yang ada di wilayah kerja (form ba‐3, ba‐6)
2) Validasi data agar data menjadi tepat dan akurat
3) Pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit, golongan usia dan
tempat tinggal per minggu (form ba‐4)
4) Pembuatan dan pengiriman laporan (form ba‐5 dan ba‐7).

c. Kegiatan di Rumah Sakit


Kegiatan surveilans yang dilakukan di rumah sakit, antara lain :

23
1) Pengumpulan data kesakitan penyakit yang diamati dan kematian
melalui pencatatan rujukan kasus harian kunjungan rawat jalan dan
rawat inap dari para korban bencana (form ba‐3, ba‐6)
2) Validasi data agar data menjadi tepat dan akurat
3) Pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit, golongan usia dan
tempat tinggal per minggu (form ba‐4)
4) Pembuatan dan pengiriman laporan (form ba‐5 dan ba‐7).

C. Program Imunisasi
Dalam situasi bencana atau di lokasi pengungsian, upaya imunisasi
harus dipersiapkan dalam mengantisipasi terjadinya KLB PD3I terutama
campak. Dalam melakukan imunisasi ini sebelumnya dilakukan penilaian
cepat untuk mengidentifikasi hal‐hal sebagai berikut :
1. Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat di wilayah
bencana/lokasi pengungsian terutama para pengungsi, lingkungan,
sarana imunisasi, sumber daya manusia (petugas
kesehatan/imunisasi)
2. Data cakupan imunisasi dan epidemiologi penyakit, sebelum bencana
dalam 3 tahun terakhir, untuk menentukan kebutuhan upaya imunisasi
berdasarkan analisa situasi dalam rangka pencegahan KLB PD3I
3. Sasaran imunisasi untuk mencegah KLB PD3I di daerah
bencana/lokasi pengungsian adalah :
a. Semua anak usia 9‐59 bulan diberi imunisasi campak tambahan.
Pemberian imunisasi campak tambahan diberikan sebanyak 1
dosis atau satu kali pemberian. Pemberian imunisasi ini
terintegrasi dengan pemberian Vit A untuk memberikan
peningkatan perlindungan pada anak. Apabila ditemukan kasus
campak pasca bencana, walaupun satu kasus, maka dinyatakan
sebagai Kejadian Luar Biasa pada daerah tersebut dan
penanggulangannya mengacu pada Pedoman Penatalaksanaan

24
KLB (diterbitkan oleh Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan).
Perkiraan jumlah anak usia 9‐59 bulan adalah sekitar 11% x
jumlah penduduk.
b. Kelompok populasi yang berisiko tinggi terhadap penyakit
tertentu, berdasarkan hasil penilaian cepat pasca bencana. Contoh
: imunisasi TT terhadap petugas kesehatan, sukarelawan, petugas
penyelamat, pengungsi dan lain-lain. Untuk mendapatkan
perlindungan, maka pemberian Imunisasi Tetanus diberikan 2 kali
dengan interval minimal 1 bulan. Bila tersedia dapat
dipertimbangkan menggunakan vaksin Td (Tetanus Difteri
Toxoid), agar memberikan perlindungan terhadap difteri selain
tetanus. Bagi penderita luka terbuka yang dalam, tertusuk
paku/benda tajam, segera berikan ATS (Anti Tetanus Serum).

Vaksin yang paling banyak digunakan dalam kondisi darurat


adalah vaksin campak, meningitis, polio, dan demam kuning. Imunisasi
campak sebaiknya diberikan sesegera mungkin pada kondisi bencana
tanpa menunggu adanya kasus jika cakupan imunisasi kurang dari 90%.
Polio bukan penyakit mematikan dalam kondisi darurat bencana tetapi
penyakit ini berhubungan dengan rendahnya sanitasi dan air bersih.

Peran Perawat Dalam Pencegahan Penyakit :

a. Menggunakan data epidemiologi untuk mengevaluasi risiko dan dampak


bencana tertentu di masyarakat dan populasi, serta implikasinya bagi
perawat
b. Berkolaborasi dengan Nakes lain, ormas, pemerintah, dan tokoh
masuarakat untuk megembangkan tindakan pengurangan risiko untukm
engurangi kerentanan penduduk

25
c. Berpartisipasi dalam perencanaan dalam pemenuhan yanken pada saat
bencana
d. Mengidentifikasi hambatan/tantangan dalam sistem yankes dan melakukan
mitigasi terhadap tantangan tersebut dengan tim multidisiplin.
e. Mengidentifikasi kelompok rentan dan mengkoordinir kegiatan untuk
pengurangan risiko
f. Memahami prinsip-prinsip dan proses isolasi, karantina, dekontaminasi,
pewadahan, dan membantu pengembangan rencana implementasi di
masyarakat
g. Kolaborasi dengan organisasi dan pemerintah untuk membangun kapasitas
masyarakat untuk kesiapsiagan dan respon terhadap suatu bencana

2.3 Promosi Kesehatan

Situasi bencana membuat kelompok rentan seperti ibu hamil, bayi,


anak-anak dan lanjut usia mudah terserang penyakit dan malnutrisi. Akses
terhadap pelayanan kesehatan dan pangan menjadi semakin berkurang. Air
bersih sangat langka akibat terbatasnya persediaan dan banyaknya jumlah orang
yang membutuhkan. Sanitasi menjadi sangat buruk, anak-anak tidak terurus
karena ketiadaan sarana pendidikan. Dalam keadaan yang seperti ini risiko dan
penularan penyakit meningkat.

Sehubungan dengan kondisi tersebut maka perlu dilakukan promosi


kesehatan agar:

a. Kesehatan dapat terjaga


b. Mengupayakan agar lingkungan tetap sehat
c. Memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada
d. Anak dapat terlindungi dari kekerasan
e. Mengurangi stress

26
Kegiatan promosi kesehatan yang dilakukan :

1. Kajian dan analisis data yang meliputi :


a. Sarana dan prasarana klaster kesehatan meliputi sumber air bersih, jamban, pos
kesehatan klaster, Puskesmas, rumah sakit lapangan, dapur umum, sarana umun
seperti mushola, posko relawan, jenis pesan dan media dan alat bantu KIE,
tenaga promkes/tenaga kesmas, kader, relawan dan lain sebagainya
b. Data sasaran : jumlah Ibu hamil, ibu menyusui, bayi, balita, remaja, lansia/
orangtua, orang dengan berkebutuhan khusus dan orang sakit
c. Jumlah titik pengungsian dan hunian sementara
d. Jumlah pengungsi dan sasaran di setiap titik pengungsian
e. Lintas program, lintas sektor, NGO, Universitas dan mitra lainnya yang
memiliki kegiatan promkes dan pemberdayaan masyarakat
f. Regulasi pemerintah setempat dalam hal melakukan upaya promotif dan
preventif
g. Dilanjutkan dengan analisis data berdasarkan potensi dan sumberdaya yang ada
diwilayah terdampak bencana.
2. Perencanaan
Berdasarkan kajian dan analisis data, akan menghasilkan berbagai program dan
kegiatan, dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada.
3. Implementasi kegiatan, yang mencakup :

a. Rapat koordinasi klaster kesehatan termasuk dengan pemerintah setempat,


NGOs, dan mitra potensial lainnya untuk memetakan programdan kegiatan yang
dapat diintegrasikan /kolaborasikan.
b. Pemasangan media promosi kesehatan berupa spanduk, poster, stiker
c. Pemutaran film kesehatan, religi, pendidikan, hiburan dan diselingi pesan
kesehatan,
d. Senam bersama (masyarakat umum) termasuk senam lansia
e. Konseling, penyuluhan kelompok, keluarga dan lingkungan dengan berbagai
pesan kesehatan (PHBS di pengungsian)

27
f. Penyelenggaraan Posyandu (darurat) integrasi termasuk Posyandu Lansia di
pengungsian atau di tempat hunian sementara.
g. Advokasi pelaksanaan gerakan hidup sehat kepada pemerintah setempat.
h. Pendekatan kepada tokoh agama/tokoh masyarakatuntuk menyebarluaskan
informasi kesehatan.
i. Penguatan kapasitas tenaga promkes daerah melalui kegiatan orientasi promosi
kesehatan paska bencana.
j. Kemitraan dengan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha melalui program
CSR, LSM kesehatan, kelompok peduli kesehatan, donor agency
k. Monitoring dan evaluasi program

Sasaran promosi kesehatan adalah :

1. Petugas kesehatan
2. Relawan
3. Tokoh masyarakat, tokoh agama
4. Guru
5. Lintas sektor
6. Kader
7. Kelompok rentan: ibu hamil, anak-anak, lanjut usia
8. Masyarakat
9. Organisasi masyarakat
10. Dunia usaha

Promosi kesehatan dalam kondisi darurat untuk meningkatkan pemahaman keluarga


dan masyarakat untuk melakukan PHBS di pengungsian , yaitu :

l. ASI terus diberikan pada bayi


2. Biasakan cuci tangan pakai sabun
3. Menggunakan air bersih
4. Buang air besar dan kecil di jamban

28
5. Buang sampah pada tempatnya
6. Makan makanan bergizi
7. Tidak merokok
8. Memanfaatkan layanan kesehatan
9. Mengelola strees
10. Melindungi anak
11. Bermain sambil belajar

Peran Perawat Dalam Promosi Kesehatan :

1. Berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan masyarakat terkait kesiapsiagaan


bencana
2. Melakukan pengkajain masyarakat menentukan isues kesehatan pre-existing
3. Bekerja sama dengan fihak lain untuk implementasi tindakan yang akan
mengurangi risiko tmbulnya penyakit yang ditularkan dari orang - ke - orang,
penyakit terkait sanitasi, dan penyakit yang ditularkan mellaui makanan
4. Berpartisipasi dalam pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat,
seperti program imunisasi dan pemberian pengobatan
5. Bekerja sama dengan masyarakat untuk memperkuat kemampuan sistem
pelayanan kesehatan dalam respon dan pemulihan dari bencana.

2.4 Komunikasi dan Penyebaran Informasi


A. Konsep Komunikasi Dalam Bencana
1. Prinsip Dalam Komunikasi Bencana

Mengkomunikasikan suatu informasi tentang bencana yang


berharga kepada publik merupakan hal yang utama dalam "Risk
Management". Publik perlu tahu tentang bahaya dan resiko yang akan
mereka hadapi, sehingga mereka bisa melakukan persiapan-persiapan
yang diperlukan bila tjadi suatu masalah. Tanpa pengetahuan yang
cukup, mereka sulit untuk melakukan persiapan-persiapan tersebut.

29
Oleh karena itu, seorang tenaga profesional hendaknya mengetahui
sudut pandang dan kebutuhan dari masyarakat di sekitarnya, sehingga
mereka bisa memberikan pertolongan dengan tepat.

Sudah banyak program-program yang ditawarkan untuk


mengatasi dampak suatu bencana, termasuk pemberian informasi dan
edukasi kepada publik, namun kenyataannya dibutuhkan suatu keahlian
yang tinggi untuk berkomunikasi secara efektif kepada masyarakat
agar dapat merubah sikap dan perilakunya. Namun hanya sedikit tenaga
profesional yang memahami hal ini. Seringkali masalah tehnik
penyampaian informasi dan edukasi ini hanya diselipkan begitu saja
dalam beberapa program, namun tidak diintegrasikan secara baik.
Sehingga proses komunikasinya jadi terhambat, dan masyarakat
kehilangan kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya. Hal inilah
yang menyebabkan banyak program/proyek yang kurang berhasil
dalam merubah sikap dan perilaku masyarakat.

2. Komunikasi yang Baik


Selama beberapa tahun, beberapa ahli berpendapat bahwa mereka
sanggup merangsang pertumbuhan sosial dan ekonomi dengan cara
memberikan informasi yang memadai kepada masyarakat miskin. Namun
ternyata ide-ide dan teknologi tersebut tidak mampu diserap oleh
masyarakat. Hal ini karena masyarakat kurang memahami informasi dan
ide-ide tersebut. Jadi harus ditemukan cara-cara yang lebih efektif untuk
menginformasikan hal tersebut kepada masyarakat. Walaupun banyak
perdebatan tentang bagaimana cara yang efektif untuk menyebarkan
informasi ini kepada masyarakat, namun baru sekitar tahun 1980-an hal
ini diseriusi. Karena ketika itu banyak program-program yang gagal
karena masalah komunikasi ini, dimana masyarakat tidak dapat
memahami ide-ide yang disampaikan oleh para ahli. Hal ini dikarenakan

30
para ahli tidak mengerti kebutuhan, prioritas, dan kemampuan
masyarakat, sehingga informasi dan ide yang diberikan tidak adekuat.
Akhir-akhir ini para ahli setuju bahwa mereka harus
mendengarkan aspirasi masyarakat, mengidentifikasi masalah, dan
mencari solusi terhadap masing-masing permasalahan tersebutt. Hal ini
merubah paradigma yang semula penyebaran informasi SATU ARAH
menjadi DUA ARAH antara para ahli dan masyarakat (misal dialog dan
pertukaran informasi). Untuk keberhasilan metode ini menuntut
partisipasi aktif dari masing-masing pihak. Dan cara ini nampaknya sudah
mulai banyak dianut dan berkembang pesat.
Untuk program penanggulangan dampak bencana masih agak
terbelakang, dan pendekatan dengan jalan dialog masih jarang dipakai.
Sebagian besar ahli bencana berasumsi bahwa masyarakat tidak
sepenuhnya tahu akan resiko yang mereka hadapi. Oleh karena itu
edukasi dan informasi yang akan disampaikan harus disesuaikan terlebih
dahulu agar masyarakat lebih mudah memahami. Masyarakat juga harus
diberikan edukasi tentang faktor-faktor resiko dan cara-cara
penanggulangannya.
Oleh karena itu sekarang digalakkan pelatihan dan penelitian
untuk masalah komunikasi ini, tidak hanya di masalah kesehatan namun
juga untuk masalah bencana. Berikut ini aspek penting dalam
berkomunikasi kepada masyarakat dan tenaga profesional yang lain :
1. Prinsip dalam berkomunikasi yang baik
2. Dasar-dasar metode dan pendekatan yang dapat digunakan
untuk edukasi dan meningkatkan kewaspadaan masyarakat.
3. Edukasi dan pelatihan untuk tenaga professional.
4. Penggunaan internet dalam penanggulangan dampak bencana.

Pendekatan dengan cara dialog tidaklah mudah, karena adanya


perbedaan kultur antara para ahli dengan masyarakat. Walapun untuk

31
itu sudah dibuatkan pedoman-pedoman tertentu. Kesulitan-kesulitan
yang sering dialami misalnya :

1. Para ahli cenderung lebih senang mewujudkan ide dalam


bentuk tulisan. Sedangkan masyarakat lebih mudah
memahami dengan cara mendengarkan dan memihat
langsung.
2. Para ahli lebih cenderung untuk menggunakan angka-angka
dalam menganalisa suatu hal, sedangkan masyarakat lebih
cenderung membandingkan dampaknya secara langsung
dalam kehidupan nyata.
3. Para ahli juga cenderung suka mendefinisikan dan
mengkualifikasikan suatu variabel, dimana kadang-kadang
hal ini bersifat subjektif. Dan hal tersebut membuat para ahli
kesulitan dalam memahami masalah di masyarakat dan
kompleks dinamis.

Tehnik dialog itu sendiri juga menyulitkan. Karena


disitu terjadi diskusi, debat, dan kadang perbedaan argumen
antara pihak-pihak pengambil keputusan. Belum tentu juga bisa
tercapai kata sepakat. Dialog juga memakan banyak waktu dan
tenaga. Dialog juga tidak menjamin bahwa pesertanya mampu
mendapatkan gambaran yang utuh tentang permasalahan yang
dihadapi. Sehingga perlu disadari oleh para ahli (selaku peserta
dialog) bahwa mereka tidak akan bisa memenuhi semua
kebutuhan masyarakat. Maka sebisa mungkin masyarakat
dilibatkan dalam dialog ini untuk menjabarkan sudut pandang
mereka dan kebutuhannya.

32
B. Komunikasi dan Koordinator

Kemampuan untuk berkomunikasi, berkoordinasi, dan bekerja secara


efektif sebagai suatu tim merupakan faktor utama dalam menentukan
keberhasilan suatu rencana. Dalam suatu bencana berskala besar, maka makin
banyak sumber daya yang dibutuhkan. Kemampuan masing-masing pihak
penolong untuk mendata permasalahan, menghitung sumber daya yang
dimiliki, dan berkomunikasi antar sesama akan menentukan keberhasilan
suatu program/proyek. Ada banyak anggota masyarakat yang akan bersedia
membantu, para penegak hukum, pemadam kebakaran, paramedis, dan lain-
lain akan dengan sukarela membantu Tim penanggulangan dampak bencana.
Namun kemampuan mereka berbeda-beda, sehingga tugas kita untuk mendata
hal tersebut, kemudian memberikan pelatihan dan perlengkapan yang
diperlukan. Kita juga harus meyakinkan mereka bahwa kita mampu memberi
bantuan yang diperlukan, sehingga mereka percaya pada kita.

Kemudian segera hubungi kepala dari pemadam kebakaran,


kepolisian, dan tenaga kesehatan setempat untuk mendiskusikan tentang
program yang akan dijalankan. Bila diperlukan evakuasi warga, maka
koordinasi dengan pihak penyedia transportasi lokal juga diperlukan. Selain
itu kita juga harus mendata kebutuhan lain apa yang kita perlukan untuk
menjamin keamanan misal: kantong pasir, truk besar, tim SWAT, atau tim
penjinak bom. Beri mereka keyakinan dan kepercayaan diri bahwa mereka
sanggup bertindak untuk menjamin keselamatan dan melindungi keamanan
warga karena banyak pemadam kebakaran, polisi, dan tenaga kesehatan yang
menggunakan sistem koordinasi berjenjang, maka kita harus melakukan
pendekatan ke semua pihak-pihak tersebut. Selain itu juga beritahukan mereka
tentang keuntungan dan resiko-resikonya. Dan jangan malu atau sungkan
untuk mengkritisi kinerja dari tim. Karena hal tersebut penting bagi
keberhasilan program dan menjamin keselamatan warga.

33
LEPC (Local Emergency Planning Committee) atau panitia lokal
penanggulangan bencana juga hrs dilibatkan dalam masalah ini. Serta SERC
(State Emergency Respon Commision) yang akan mengevaluasi perencanaan
yang kita buat. Mengingat bahwa banyak resiko yang akan kita hadapi, maka
kita harus menjalankan standar keamanan yang benar. Berikut adalah daftar
dari sumber daya yang dapat kita gunakan untuk mendukung pelaksanaan
program :

 Hotel dan sekolah


 Militer
 Ormas
 Palang Merah
 Pekerja Sukarela
 Perusahaan penyedia alat-alat berat
 Truk
 Kontraktor
 Perusahaan penyedia bahan
 Perusahaan penyedia foam U/ kebakaran
 Generator
 Perusahaan persewaan alat-alat
 Pompa
 Penghangat
 Bagian pekerjaan umum
 Perusahaan utilitas
 Rumah sakit
 Helikopter medis
 Forensik
 Tim Penjinak Bom
 SWAT
 Penjaga Pantai

34
 Badan meteorologi dan geofisika
 Badan penaggulangan narkoba
 FBI
 Badan penerbangan nasional
 Psikiater
 Perusahaan asuransi.

Selain itu, ukuran, cakupan, kondisi geologis, serta jarak dari masing -
masing resource ke tengah kota, danau, sungai, bandara, dan pelabuhan,
sangat berpengaruh besar terhadap peranan masing-masing resource tersebut.
Setelah mendata semua resource atau sumber daya yang kita miliki, maka kita
pilah mana sajakah dari sumber daya tersebut yang dapat segera kita gerakkan
bila ada keadaan darurat. Sehingga kita harus mengenali dengan baik masing
-masing sumber daya yang kita miliki. Karena masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangannya. Ini bagaikan suatu tim sepakbola, dimana
masing-masing saling bekerjasama dan memiliki keahlian/skill sendiri-
sendiri. Dimana kita bertindak sebagai pelatih yang mengkoordinasi tim
tersebut sehingga bisa menang mencapai tujuan yang diharapkan bersama.

Kemudian kita bagi-bagi sumber daya tersebut mejadi :

a. First Responder Operation Level


b. Hazardous Material Technisian
c. Hazardous Material Specialist

Mereka berkonsentrasi tentang bagaimana mencegah penyebaran dan


melindungi daerah yang steril. Tim yang bekerja di tingkat teknisi dan spesialis
memiliki peralatan pelindung dan pelatihan untuk memungkinkan mereka
berhasil memasuki daerah spills (zona panas) dan bekerja dengan aman untuk
membersihkan sisa–sisa bencana. Tingkat pelatihan dan peralatan yang
diperlukan meningkat sesuai dengan level kesulitannya. Teknisi yang bertugas

35
pada level operasi atau di atasnya harus diarahkan oleh seorang komandan yang
telah berhasil menyelesaikan Pelatihan manajer material berbahaya. Individu
yang dilatih pada masing-masing level memerlukan pelatihan penyegaran
untuk menjaga keahlian dan kompetensi. Sekali lagi, kita mungkin cukup
beruntung untuk memiliki tim Haz-Mat yang dilengkapi dengan peralatan yang
baik dan terlatih untuk melindungi fasilitas anda. Orang-orang ini akan dengan
senang hati mendapat kesempatan untuk belajar sebanyak mungkin tentang
fasilitas Anda karena mereka tahu mereka akan dipanggil untuk menanggulangi
bahaya apapun. Jika Anda tidak memiliki tim di tempat, Anda mungkin dapat
menyediakan dana untuk melatih dan melengkapi pemadam kebakaran di
tempat kerja anda.

Waktu adalah sumber daya yang terbatas. Manfaatkan sesi pertemuan,


pelatihan, dan perencanaan dengan sebaik-baiknya. Karena ini merupakan
lembaga tanggap darurat, harus diakui bahwa respon dari perusahaan lain
mungkin agak lambat. Jika Anda bergantung pada relawan, maka sebagian
besar perencanaan dan pelatihan mungkin harus dilaksanakan malam hari
ketika sebagian besar karyawan tidak bekerja.

Keberhasilan perencanaan yang telah dibuat dan masa depan potensi


fasilitas yang anda miliki bergantung pada kemampuan anda untuk memotivasi
dan mendorong anak buah anda . Upaya pembinaan yang anda lakukan harus
meliputi semua aspek mulai dari pendidikan, pelatihan, penelitian dan evaluasi
terhadap tiap-tiap kondisi yang ada di lapangan.

C. Alat komunikasi : Radio, Telepon, Pusat operator darurat dan


komunikasi internal
Tugas untuk mengelola komunikasi di lokasi yang mengalami kondisi
tidaklah mudah. Idealnya diharapkan kejadian berlangsung di tempat dimana
semua badan mampu menangkap berbagi frekuensi radio. Pada beberpa
kejadian ada juga yang kehabisan baterai untuk semua radio portabelnya.
Polisi, pemadam kebakaran, EMS, dan instansi pekerjaan umum tidak secara

36
rutin berbicara dengan satu sama lain, namun pada insiden tertentu
kemampuan untuk menentukan apakah orang tersebut harus ada di lokasi
dapat berarti perbedaan antara hidup dan mati. EOC tidak harus bermarkas di
tempat kejadian. Informasi dapat disampaikan melalui radio, telepon selular,
faks, dan pencitraan digital. kendaraan personil Komunikasi dapat mengatur
perintah komunikasi dan membantu komandan operasi dengan menetapkan
giliran kelompok dalam menggunakan jalur komunikasi. Hal ini dapat
meminimalkan chatter (gangguan) pada sinyal radio.
EOC dapat didirikan dalam kendaraan khusus komunikasi atau
bangunan dekat lokasi darurat, tetapi sering misi pengolahan informasi
(menerima, menyampaikan, perencanaan, logistik, keuangan, dan tugas
lainnya) dapat dilakukan di lokasi terpencil. Telepon panggilan masuk dapat
disaring dan diarahkan pada individu yang tepat atau, jika tidak bersifat
darurat dapat dihentikan sementara. Seperti sering terjadi pihak yang
merespon panggilan dapat melalui frekuensi radio yang berbeda. Ini harus
ditentukan dan diatur di awal tahap perencanaan, sehingga tidak terjadi
kekacauan pada system transmisi. Hal ini terutama penting pada kasus tindak
pidana kekerasan. Aparat kepolisian harus tahu mana pihak yang baik dan
mana pihak yang jahat. Ketidakmampuan untuk berkomunikasi
memungkinkan penjahat berbahaya untuk melarikan diri, mengambil sandera
tambahan, atau membunuh dan melukai lebih banyak orang. Petugas
pemadam Kebakaran dan EMS unit harus dapat memanggil bantuan dan
melakukan pencarian korban tanpa takut ditembak oleh sesama petugas. Hal
ini sangat penting untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman antar petugas
yang dapat berakibat kecelakaan maupun kematian di pihak-pihak yang tidak
bersalah.
Deteksi kebakaran dan sistem alarm harus diperiksa dan diuji. False
alarm harus dihindari sebisa mungkin. Pemilihan yang tepat, pemasangan,
perawatan, dan pengujian alarm kebakaran adalah langkah pertama yang
harus dilakukan. The NFPA 72 standard series menyediakan informasi

37
tentang alarm kebakaran. Kemampuan untuk menginterpretasikan sinyal
alarm kebakaran memungkinkan anggota tim untuk menangani kebakaran
pada fase awal sehingga tingkat keberhasilannya makin tinggi.
Aktifkan sistem tanggap darurat untuk mendapatkan bantuan secara
cepat di jalan. Selain mengirim seseorang ke tempat kejadian, pastikan bahwa
Anda mengirim seseorang ke ruang pompa dan ke ruang kontrol kebakaran.

D. Kontrol Dan Isi Media


Salah satu bidang penting yang sering terabaikan dalam penyusunan
program dan rencana persiapan bencana adalah kontrol informasi dan
pencitraan yang ditransfer kepada dunia melalui media. Pra-perencanaan yang
berkaitan dengan siapa, apa, kapan, dimana, dan bagaimana arus informasi
sangat penting untuk memastikan keakuratan informasi yang disebarkan
tentang perusahaan Anda dan situasi darurat serta gambar yang publik adalah
keputusan perusahaan anda dalam 30 detik.
Perhatikan contoh berikut: sebuah perusahaan publik mengalami ledakan
yang mengakibatkan kerusakan parah pada berbagai fasilitas, sepuluh korban
jiwa, dan sejumlah besar pekerja terluka. Setelah diberitahukan kepada
pemadam kebakaran, EMS, dan para penegak hukum lokal, maka media lokal
yang biasanya memantau transmisi radio, akan mengirim kru reporter atau
televisi ke TKP. Para awak televisi akan bekerja dalam tenggat waktu tertentu
untuk mendapatkan rekaman video dan informasi mengenai kejadian perkara
secepat mungkin dan dalam waktu tertentu untuk siaran di televisi. Rekaman
video harus menarik pemirsa, dan informasi didapatkan langsung dari
karyawan, pemadam kebakaran, atau siapa pun yang ada d tempat kejadian.
Informasi yang dikumpulkan di tempat kejadian akan sangat cepat
diperoleh oleh channel TV tertentu, misal CNN dan stasiun televisi global,
kemudian dipublikasikan melalui internet, dan melalui berita surat kabar.
Informasi yang diperoleh sering mengalami perubahan untuk menghasilkan

38
berita yang menarik Sehingga banyak fakta-fakta dan kebenaran situasi yang
hilang.
Masyarakat yang menonton berita di rumah atau membaca koran akan
dapat menilai perusahaan atau organisasi yang diberitakan tersebut. Masyarakat
ini mungkin merupakan pemegang saham, karyawan yang berpotensi,
pelanggan, atau bahkan semua orang. Mereka akan membuat penilaian
mengenai perusahaan atau organisasi Anda sejak 30 detik pertama. Rekaman
video dan komentar yang disampaikan oleh media, akan sangat mungkin
berpengaruh pada masa kerja pekerja di perusahaan Anda, pembelian produk
Anda, atau pembelian/penjualan saham Anda. Pada dasarnya, informasi yang
diberikan kepada masyarakat melalui televisi, internet, dan media lainnya akan
membantu dalam membentuk opini di publik tentang perusahaan anda atau
organisasi ,apakah baik atau buruk dan hal ini akan mempengaruhi interaksi
mereka dengan perusahaan atau organisasi di masa depan.
Kontrol terhadap penyebaran arus informasi adalah hal yang sangat
penting dan harus menjadi bagian yang komprehensif dari penanganan gawat
darurat dan rencana persiapan penanganan bencana. Pada intinya, saat ini
adalah penting untuk mengontrol arus informasi karean setiap informasi yang
disampaikan akan mempengaruhi kehidupan perusahaan kedepannya.
Sebagai bagian dari keseluruhan kegawatdaruratan dan upaya
kesiapsiagaan bencana, perlu dipikirkan :
 Darimana media akan mendapatkan informasi ?
 Siapa yang akan memberikan informasi kepada media?
 Gambar apa yang akan diberikan oleh narasumber?
 Apa background dari narasumber saat diwawancarai?
 Apakah rekaman video yang akan media dapatkan?
 Apa yang media ketahui tentang perusahaan Anda atau
organisasi selain situasi bencana?
 Apakah media akan memberikan dampak buruk terhadap upaya
kegawatdaruratan?

39
 Bagaimana penampilan narasumber?
 Apakah narasumber memiliki kapasitas yang baik dalam
mewakili perusahaan anda?
 Apakah informasi akan disaring oleh penasihat hukum sebelum
diberikan kepada media?
 Apa ada waktu tertentu saat media di lokasi ?

Pengendalian informasi sangat penting dalam rangka meminimalkan


dampak buruk setelah bencana. Langkah–langkah berikut dapat
dipertimbangkan untuk penanganan kegawatdaruratan secara keseluruhan dan
perencanaan penanganan bencana yaitu :

• Menyediakan satu area terentu di areal parkir yang jauh dari


area bencana
• Petugas keamanan ditugaskan di daerah media untuk melarang
perwakilan media masuk ke area bencana
• Memilih seseorang sebagai perwakilan perusahaan untuk
berbicara kepada media dan tidak ijinkan karyawan lain untuk
memberikan informasi kepada media.
• Juru bicara dipilih untuk memberikan platform yang tepat,
mikrofon, dan latar belakang perusahaan (misalnya, logo
perusahaan)
• Penampilan, nada suara, kemampuan untuk tetap tenang, dan
atribut lainnya adaah hal yang pentng dupertimabngkan untuk
memilih juru bicara
• Media diarahkan ke area yang tepat untuk mendapatkan
rekaman video.
• Sediakan paket informasi yang akan diberikan kepada media
• Semua informasi disaring oleh pengacara hukum sebelum
presentasi dan pertanyaan dari media dipertahankan seminimal
mungkin.

40
• Selalu memberikan informasi yang benar atau tidak ada
informasi sama sekali.
• Perlu diingat deadline media. Jika memungkinkan berikan
informasi kepada media karena bila tidak ada informasi yang
diterma maka media akan mendapatkan kabar angin.

Sebagai kesimpulan, media adalah fakta kehidupan hari ini. Media


harus dikelola dengan baik. Bila tidak dikelola dengan baik maka situasi
bencana akan memiliki dampak yang panjang terhadap perusahaan anda. Dan
haruslah diingat, semua yang telah disampaikan atau dilihat oleh media
disimpan dengan baik oleh mereka dan memiliki probabilitas tinggi bahwa
rekaman tersebut akan digunakan masa depan. Setiap aspek dari media yang
harus dikontrol dalam rangka untuk menempatkan yang terbaik pada situasi
yang buruk.

Ingatlah, ketika bencana terjadi situasi berubah menjadi panik banyak


individu yang terluka. Persiapan untuk menghandel media haruslah dilakukan
dengan tenang, kepala dingin, cara yang tepat dan melakukan majeman bencana
dengan baik.

E. SDM Bidang Komunikasi


a. EOC Manager
- Segera memberitahukan kepada CEO tentang situasi darurat yang mungkin
secara berpengaruh signifikan
- Ketika diarahkan oleh CEO, atau ketika keadaan mendesak, maka CEO
menugaskan untuk memberikan informasi dan mengarahkan mereka untuk
mengambil tindakan yang sesuai dengan SOP
- Aktifkan EOC ketika diarahkan oleh CEO atau keadaan mendesak
- Mengelola sumber daya dan langsung beroperasi.
- Tugasnya adalah menjamin bahwa semuanya berjalan sesuai rencana dan
pengolahan informasi (mengumpulkan, mengevaluasi, menampilkan, dan
menyebarluaskan informasi tentang situasi.

41
Tugas khusus meliputi:

- Mendokumentasi peristiwa-peristiwa penting


- Menggabungkan informasi yang salah dari semua sumber yang
tersedia
- Mengidentifikasi kebutuhan sumber daya
- Menyiapkan Laporan tentang kerusakan yang terjadi
- Mempersiapkan briefing pejabat manajemen senior
- Menampilkan informasi yang tepat dalam EOC
- Menyiapkan dan menyampaikan laporan penting ketika diperlukan
(laporan situasi, status sumber daya kritis, dan lain-lain)
- Mengkoordinasikan dukungan logistik untuk personil tanggap
bencana
- Ketika diarahkan oleh CEO, atau ketika kondisi mendesak, perlu
merelokasi staf untuk EOC alternatif yang akan melanjutkan operasi
tanggap bencana

Komunikasi

- Aktifkan sistem komunikasi di dalam EOC


- Terapkan prosedur komunikasi darurat
- Menjamin bahwa komunikasi oleh EOC memiliki kemampuan untuk
mempertahankan operasi sepanjang waktu

Peringatan

- Aktifkan bagian “early warning” di EOC


- Pastikan bahwa sistem peringatan darurat diaktifkan ketika ada instruksi

Komunikasi

- Ketika diberitahu tentang darurat, laporkan kepada EOC bila diperlukan


- Kelola bagian darurat komunikasi di EOC dan perintah langsung siapa
yang diberi tugas

42
- Perlu dukungan pusat operasi media komunikasi
b. Koordinator Evakuasi

Arah dan Pengendalian

- Ketika diberitahu tentang situasi darurat, laporkan kepada EOC bila


diperlukan
- Mengkoordinasikan pelaksanaan tindakan evakuasi bagi selurah orang
dengan organisasi yang bersangkutan.

Evakuasi

- Lakukan review tentang seluruh informasi yang diketahui dan


rekomendasikan kepada manajer program kegawatdaruratan untuk
tindakan evakuasi yang tepat
- Identifikasi alat angkut yang tepat untuk mengangkat orang-orang yang
tidak memiliki transportasi sendiri
- Identifikasi rute evakuasi
- Pilih rute utama dari daerah bencana untuk diguakan sebagai fasilitas
perawatan massal
- Menentukan daya tampung dari setiap rute utama
- Memeriksa akses ke rute utama dari setiap bagian dari daerah risiko
- Siapkan rencana kontrol terhadap gerakan evakuasi
- Membantu, mengevakuasi hewan dari daerah beresiko
c. Koordinator Perawatan Massal

Arah dan Pengendalian

- Ketika diberitahu tentang situasi darurat, laporkan kepada EOC bila


diperlukan
- Mengkoordinasikan pelaksanaan tindakan perawatan massal dengan
organisasi yang terkait.

43
Pengungsian

Tugaskan staf dan fasilitas perawatan massal terbuka di luar area


evakuasi ketika ada instruksi oleh pejabat yang berwenang

Perawatan massal

- Lakukan penilaian dan berikan rekomendasi kepada majer kegawatdaruratan


tentang jumlah dan lokasi untuk fasilitas perawatan masssal yang dibuka
- Review fasilitas pelayanan massal yang tersedia
- Beritahukan kepada orang dan organisasi tetang fasilitas massal yang
tersedia dan kemungkinan keperluan lain yang diperlukan
- Pilih tempat perawatan massal yang akan digunakan
- Analisa kemunginan Bahaya / kerentanan
- Lokasi yang berkaitan dengan rute evakuasi
- Pelayanan yang tersedia di fasilitas
- Ketika ada intruksi, segera koordinasikan tindakan yang diperlukan untuk
memastikan bahwa perawatan fasilitas massal dibuka dan ada staf yang
bertugas
- Beritahu manajer perawatan fasilitas massal untuk melakukan salah satu
dari berikut ini, bila diperlukan:
a. Bersiap untuk insruksi selanjutnya tentang kapan perawatan massal
dibuka
b. Ambil tindakan yang diperlukan untuk membuka fasilitas perawaatan
massal oleh mereka yang diberi tanggung jawab o
c. Pastikan bahwa setiap fasilitas perawatan massal mendapatkan
perlengkapannya
d. Berkoordinasi dengan staf EOC untuk memastikan bahwa komunikasi
telah diaktifkan, rute ke fasilitas perawatan massal ditandai dengan
jelas, dan kontrol terhadap sistem lalu lintas telah ditetapkan

44
e. Memastikan bahwa setiap fasilitas perawatan massal memiliki penanda
identitas yang dapat dilihat dengan jelas dan tanda untuk lokasi juga
harus jelas
f. Menyediakan fasilitas massal oleh setiap manajer perawatan dengan
daftar lokasi penampungan hewan yang telah dibuka
g. Membantu sebaik mungkin sesuai dengan Animal Care dan Control
Agency untuk memberi makan, tempat tinggal, dan perawatan medis
untuk hewan selama keadaan darurat bencana
h. Setelah keadaan darurat dinyatakan telah selesai, berikan pernyataan
mengenai perawatan massal

Manajer Fasilitas Perawatan Massal

Perawatan massal

- Ketika mendapatkan instruksi bersiaplah untuk petunjuk selanjutnya atau


membuat laporan ke pusat perawatan massal
- Hubungi tim anggota dan perintahkan mereka untuk mengambil tindakan yang
diperlukan
- Staffing dan operasikan fasilitas perawatan massal saat tiba di fasilitas, ambillah
tindakan yang diperlukan untuk memulainya, menerima pengungsi, dan
menyediakan pelayanan kesehatan dan kesejahteraan mereka
- Hubungi EOC saat fasilitas sudah siap dibuka
- Buka dan menjaga fasilitas tetap operasi selama diperlukan
- Melaksanakan pendaftaran dan penyelidikan untuk semua pengungsi yang da
dalam fasiitas perawatan massal
- Memastikan bahwa dukungan oang lain dan keluarga diberikan di fasilitas
perawatan massa
- Jika hewan peliharaan tidak diizinkan di dalam fasilitas tersebut, maka bantulah
pemiliknya untuk menempatkan mereka di tempat penampungan yang telah
dibuka sebagai tempat tingga dan yang merawat mereka

45
Setiap hari, laporankan kondisi berikut EOC:

- Jumlah orang yang tinggal di fasilitas


- Status persediaan barang
- Kondisi fasilitas dan setiap masalah yang terjadi
- Permintaan untuk kebutuhan khusus bila diperlukan
- Menulis catatan tentang persediaan barang yang dikeluarkan
- Mengatur pengungsi kembali ke rumah mereka atau menyediakan
- transportasi ke tempat penampungan sementara untuk jangka
- panjang bila diperlukan
- Jika memungkinkan, menghentikan pelayanan dan tutup fasilitas
- Bersihkan fasilitas pelayanan dan mengembalikannya kepada keadaan semula
- Kirimkan laporan mengenai fasilitas status kepada koordinator mengenai peralatan
dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk diisi kembali dan masalah lain yang
perlu diselesaikan sebelum fasilitas ini digunakan lagi

Koordinator Kesehatan Masyarakat

Arah dan Pengendalian

- Ketika diberitahu tentang situasi darurat, kirim perwakilan ke EOC jika diperlukan
- Mengkoordinasikan kegiatan pengobatan yang meliatkan semua organisasi yang
terlibat untuk memberikan bantuan medis bagi korban bencana
- Mengkoordinasikan layanan kamar mayat yang diperlukan, untuk melakukan
operasi “forensik” sementara, dan identifikasi korban
- Mengumpulkan informasi, melaporkan kerusakan, status kesehatan dan fasilitas
medis dan peralatan untuk EOC

Kesehatan dan Kedokteran

- Pastikan bahwa tim darurat medis telah bersiap di pos komando medis serta ada
satu coordinator

46
- Mengkoordinasikan penggunaan semua layanan kesehatan masyarakat sesuai
dengan hukum yang berlaku selama kondisi darurat
- Mengkoordinasikan kesehatan yang berhubungan dengan kegiatan diantara
lembaga umum setempat dan keperluan pribadi atau kelompok
- Melakukan koordinasi dengan daerah tetangga dan pejabat kesehatan masyarakat
tentang hal2 yang memerlukan bantuan hukum
- Melakukan pemantauan dan evaluasi risiko atau bahaya terhadap kesehatan
lingkungan untuk dapat mengambil tindakan perlindungan yang diperlukan
- Periksa kemurnian dan kegunaan bahan makanan, air, obat-obatan, dan bahan
habis pakai lainnya yang terkena bahaya
- Mendeteksi dan memeriksa sumber kontaminasi yang berbahaya bagi
kesehatanfisik dan mental masyarakat
- Periksa kerusakan bangunan yang berbahaya bagi kesehatan
- Menyediakan surveilans epidemiologi, case nvestigasi, dan follow up
- Memberikan pelayanan laboratorium untuk identifikasi dan pelayanan medis
darurat
- Melaksanakan tindakan untuk mencegah atau mengendalikan vektor seperti lalat,
nyamuk, dan tikus, yang bekerjasama dengan badan perawatan dan pengendalian
hewan untuk mencegah penyebaran penyakit oleh hewan
- Koordinasi imunisasi darurat umum atau prosedur karantina
- Menetapkan layanan kesehatan preventif, termasuk pengendalian penyakit
menular
- Berkoordinasi dengan PAPAAM, pekerjaan umum, atau departemen sanitasi,
untuk menjamin ketersediaan air minum dan sistem pembuangan kotoran yang
efektif, pembuangan sampah sanitasi, dan pemusnahan hewan yang mati
- Monitor penanganan makanan dan pelayanan sanitasi makanan di fasilitas darurat,
termasuk memberikan perhatian lebih untuk tempat yang menjadi makanan
komersial dan fasilitas yang digunakan untuk memberi makan korban bencana
- Melakukan koordinasi dengan Perawatan Hewan dan Badan Pengawasan untuk
membuang hewan mati dan bangkai yang terkontaminasi

47
- Memberikan saran kepada masyarakat mengenai masalah sanitasi umum. Kapan
saja bila memungkinkan semua informasi harus diberikan kepada masyarakat dan
media melalui PIO

48
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Di beberapa daerah di Indonesia merupakan daerah yang rawan
bencana. Dengan banyaknya bencana, kesiagaan dan pelaksanaan tanggap
bencana harus dilakukan dengan baik. Karena dampak yang ditimbulkan
bencana tidaklah sederhana, maka penanganan korban bencana harus dilakukan
dengan terkoordinasi dengan baik sehingga korban yang mengalami berbagai
sakit baik fisik, sosial, dan emosional dapat ditangani dengan baik dan
manusiawi.
Perawat sebagai kaum yang telah dibekali dasar-dasar kejiwaan
kebencanaan dapat melakukan berbagai tindakan tanggap bencana. Seharusnya
modal itu dimanfaatkan oleh mahasiswa keperawatan agar secara aktif turut
melakukan tindakan tanggap bencana.

3.2 Saran
Perawat adalah tenaga kesehatan yang sangat berkompeten untuk
melakukan pelayanan kesehatan di daerah yang sedang mengalami bencana,
oleh karena itu diharapkan bagi mahasiswa keperawatan maupun perawat yang
sudah berpengalaman dalam praktik pelayanan kesehatan mau untuk berperan
dalam penanggulangan bencana yang ada di sekitar kita. Karena ilmu yang
didapat di bangku perkuliahan sangat relevan dengan yang terjadi di
masyarakat, yaitu fenomena masalah kesehatan yang biasanya muncul di
tempat yang sedang terjadi bencana.

49
DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/document/432224749/Makalah-Keperawatan-Bencana-
Fix-1 Diakses pada tanggal 30 November 2021 Pukul 11.38

https://pdfcoffee.com/isi-makalah-keperawatan-bencana-pdf-free.html.
Diakses pada tanggal 30 November 2021 Pukul 11.38

Modul Peningkatan Kapasitas SDM dalam Penyusunan Rencana Rumah Sakit


dalam Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana.
Downloads/3.%20materi%20inti%203_modul%20sistim%20informasi%20dan%
20komunikasi%20dr.%20christrijogo_edit.pdf

Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan


Bencana

Anda mungkin juga menyukai