KEPERAWATAN BENCANA
KELOMPOK II
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga
dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Prinsip Manajemen
Keperawatan Bencana”..
Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun
demikian, kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan
pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik. Oleh
sebab itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik guna
penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat menambah
wawasan dan memberikan referensi yang bermakna bagi para pembaca.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di
dunia berdasar data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko
Bencana (UN-ISDR). Tingginya posisi Indonesia ini dihitung dari
jumlah manusia yang terancam risiko kehilangan nyawa bila bencana
alam terjadi. Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman
bahaya tsunami, tanah longsor, gunung berapi. Dan menduduki
peringkat tiga untuk ancaman gempa serta enam untuk banjir.1
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selama
Januari 2013 mencatat ada 119 kejadian bencana yang terjadi di
Indonesia. BNPB juga mencatat akibatnya ada sekitar 126 orang
meninggal akibat kejadian tersebut. kejadian bencana belum semua
dilaporkan ke BNPB. Dari 119 kejadian bencana menyebabkan 126
orang meninggal, 113.747 orang menderita dan mengungsi, 940
rumah rusak berat, 2.717 rumah rusak sedang, 10.945 rumah rusak
ringan. Untuk mengatasi bencana tersebut, BNPB telah melakukan
penanggulangan bencana baik kesiapsiagaan maupun penanganan
tanggap darurat. Untuk siaga darurat dan tanggap darurat banjir dan
longsor sejak akhir Desember 2012 hingga sekarang, BNPB telah
mendistribusikan dana siap pakai sekitar Rp 180 milyar ke berbagai
daerah di Indonesia yang terkena bencana.2
Namun, penerapan manajemen bencana di Indonesia masih
terkendala berbagai masalah, antara lain kurangnya data dan
informasi kebencanaan, baik di tingkat masyarakat umum maupun di
tingkat pengambil kebijakan. Keterbatasan data dan informasi spasial
kebencanaan merupakan salah satu permasalahan yang
menyebabkan manajemen bencana di Indonesia berjalan kurang
optimal. Pengambilan keputusan ketika terjadi bencana sulit
dilakukankarena data yang beredar memiliki banyak versi dan sulit
divalidasi kebenarannya.3
Dari uraian diatas, terlihat bahwa masih terdapat kelemahan
dalam sistem manajemen bencana di Indonesia sehingga perlu
diperbaiki dan ditingkatkan untuk menghindari atau meminimalisasi
dampak bencana yang terjadi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Jenis Bencana
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana menyebutkan bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Definisi tersebut
menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam,
dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana
nonalam, dan bencana sosial. 4
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain
berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
angin topan, dan tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam
yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi.
dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atauserangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar
komunitas masyarakat, dan teror.5
d. Tahap Rekonstruksi
Pada tahap ini mulai dibangun tempat tinggal, sarana umum
seperti sekolah, sarana ibadah, jalan, pasar atau tempat pertemuan
warga. Pada tahap rekonstruksi ini yang dibangun tidak saja
kebutuhan fisik tetapi yang lebih utama yang perlu kita bangun
kembali adalah budaya. Kita perlu melakukan rekonstruksi budaya,
melakukan re-orientasi nilai-nilai dan norma-norma hidup yang
lebih baik yang lebih beradab. Dengan melakukan rekonstruksi
budaya kepada masyarakat korban bencana, kita berharap
kehidupan mereka lebih baik bila dibanding sebelum terjadi
bencana. Situasi ini seharusnya bisa dijadikan momentum oleh
pemerintah untuk membangun kembali Indonesia yang lebih baik,
lebih beradab, lebih santun, lebih cerdas hidupnya lebih memiliki
daya saing di dunia internasional.
7. Pemulihan (recovery)
Proses pemulihan darurat kondisi masyarakat yang terkena
bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana
pada keadaan semula. Upaya yang dilakukan adalah
memperbaiki prasarana dan pelayanan dasar (jalan, listrik, air
bersih, pasar puskesmas, dll).
8. Rehabilitasi (rehabilitation)
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai
pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.Upaya langkah yang diambil setelah kejadian
bencana untuk membantu masyarakat memperbaiki rumahnya,
fasilitas umum dan fasilitas sosial penting, dan menghidupkan
kembali roda perekonomian.
9. Rekonstruksi (reconstruction)
Program jangka menengah dan jangka panjang guna perbaikan
fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan
masyarakat pada kondisi yang sama atau lebih baik dari
sebelumnya. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua
prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah
pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan
ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala
aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
Dengan melihat manajemen bencana sebagai sebuah
kepentingan masyarakat kita berharap berkurangnya korban
nyawa dan kerugian harta benda. Dan yang terpenting dari
manajemen bencana ini adalah adanya suatu langkah konkrit
dalam mengendalikan bencana sehingga korban yang tidak kita
harapan dapat terselamatkan dengan cepat dan tepat dan upaya
untuk pemulihan pasca bencana dapat dilakukan dengan
secepatnya.
Pengendalian itu dimulai dengan membangun kesadaran
kritis masyarakat dan pemerintah atas masalah bencana alam,
menciptakan proses perbaikan total atas pengelolaan bencana,
penegasan untuk lahirnya kebijakan lokal yang bertumpu pada
kearifan lokal yang berbentuk peraturan nagari dan peraturan
daerah atas menejemen bencana. Yang tak kalah pentingnya
dalam manajemen bencana ini adalah sosialisasi kehatian-hatian
terutama pada daerah rawan bencana.
Dalam melaksanakan penanggulangan bencana, maka
Penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi tahap
prabencana, tahap tanggap darurat, dan tahap pascabencana.9
1. Pada Pra Bencana
Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu :
a. Situasi Tidak Terjadi Bencana
Situasi tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu
wilayah yang berdasarkan analisis kerawanan bencana pada
periode waktu tertentu tidak menghadapi ancaman bencana
yang nyata. Penyelenggaraan penanggulangan bencana
dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi :
perencanaan penanggulangan bencana;
pengurangan risiko bencana;
pencegahan;
pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
persyaratan analisis risiko bencana;
pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
pendidikan dan pelatihan; dan
persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
b. Situasi Terdapat Potensi Bencana
Pada situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan:
Kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui
langkah yang tepat guna dan berdaya guna.5
Peringatan Dini. Peringatan dini adalah serangkaian
kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya
bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang
berwenang5.
Mitigasi Bencana. Mitigasi adalah serangkaian upaya
untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman
bencana.5
Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas
sector dan multi stakeholder, oleh karena itu fungsi BNPB/BPBD
adalah fungsi koordinasi.
2. Tahap Tanggap Darurat
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan, pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.5
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat
tanggap darurat meliputi:9,5
a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan,
dan sumber daya dilakukan untuk mengidentifikasi cakupan
lokasi bencana, jumlah korban, kerusakan prasarana dan
sarana, gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta
pemerintahan, dan kemampuan sumber daya alam maupun
buatan.
b. penentuan status keadaan darurat bencana. Penetapan status
darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan
skala bencana.
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana,
dilakukan dengan memberikan pelayanan kemanusiaan yang
timbul akibat bencana yang terjadi pada suatu daerah melalui
upaya pencarian dan penyelamatan korban, pertolongan
darurat, dan/atau evakuasi korban.
d. pemenuhan kebutuhan dasar, meliputi bantuan penyediaan
kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan
kesehatan, pelayanan psikososial; dan penampungan dan
tempat hunian.
e. perlindungan terhadap kelompok rentan, dilakukan dengan
memberikan prioritas kepada kelompok rentan berupa
penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan,
dan psikososial. Kelompok rentan yang dimaksud terdiri atas
bayi, balita, anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau
menyusui;, penyandang cacat, dan orang lanjut usia.
f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Tahap tindakan dalam tanggap daruratdibagi menjadi dua
fase yaitu fase akut dan fase sub akut. Fase akut, 48 jam pertama
sejak bencana terjadi disebut fase penyelamatan dan pertolongan
medis darurat sedangkan fase sub akut terjadi sejak 2-3 minggu.
3. Pasca Bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca
bencana meliputi:
a. Rehabilitasi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan
semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai
tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara
wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan
masyarakat pada wilayah pascabencana.5
b. Rekonstruksi. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali
semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah
pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,
tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta
masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat
pada wilayah pascabencana.5
2.5 Prinsip-Prinsip Penanggulangan Bencana
Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana berdasarkan
pasal 3 UU No. 24 tahun 2007, yaitu: 5
1. Cepat dan tepat. Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan
tepat” adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus
dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan
keadaan.
2. prioritas. Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah
bahwa apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus
mendapat prioritas dan diutamakan pada kegiatan
penyelamatan jiwa manusia.
3. koordinasi dan keterpaduan. Yang dimaksud dengan “prinsip
koordinasi” adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan
pada koordinasi yang baik dan saling mendukung. Yang
dimaksud dengan “prinsip keterpaduan” adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor
secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan
saling mendukung.
4. berdaya guna dan berhasil guna. Yang dimaksud dengan
“prinsip berdaya guna” adalah bahwa dalam mengatasi
kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu,
tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang dimaksud dengan
“prinsip berhasil guna” adalah bahwa kegiatan penanggulangan
bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi
kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga,
dan biaya yang berlebihan.
5. transparansi dan akuntabilitas. Yang dimaksud dengan “prinsip
transparansi” adalah bahwa penanggulangan bencana
dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
6. Kemitraan
7. Pemberdayaan
8. Nondiskriminatif. Yang dimaksud dengan “prinsip
nondiskriminasi” adalah bahwa negara dalam penanggulangan
bencana tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap
jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apa pun.
9. Nonproletisi. Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah
bahwa dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat
keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan
dan pelayanan darurat bencana.
b. Coordinasi
Koordinasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah perihal mengatur suatu organisasi atau kegiatan
sehingga peraturan dan tindakan yang akan dilaksanakan tidak
saling bertentangan atau simpang siur. Dalam pengertian lain,
koordinasi merupakan usaha untuk mengharmoniskan atau
menserasikan seluruh kegiatan sehingga dapat mencapai
tujuan yang diharapkan. Keharmonisan dan keserasian selalu
diciptakan baik terhadap tugas-tugas yang bersifat teknis,
komersial, finansial, personalia maupun administrasi. Menurut
UU No. 24 tahun 2007 tentang bencana bahwa kegiatan
koordinasi merupakan salah satu fungsi Unsur Pelaksana
Penanggulangan Bencana. Unsur pelaksana juga
melaksanakan fungsi komando dan sebagai pelaksana dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Menurut
Handayaningrat (2005), koordinasi mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Bahwa tanggungjawab koordinasi adalah terletak pada
pimpinan. Koordinasi adalah merupakan tugas pimpinan.
Koordinasi sering disamakan dengan kata koperasi yang
sebenarnya mempunyai arti yang berbeda. Pimpinan
tidak mungkin mengadakan koordinasi apabila tidak
melakukan kerjasama. Kerjasama merupakan suatu
syarat yang sangat penting dalam membantu
pelaksanaan koordinasi.
2. Adanya proses (continues process). Karena koordinasi
adalah pekerjaan pimpinan yang bersifat
berkesinambungan dan harus dikembangkan sehingga
tujuan dapat tercapai dengan baik.
3. Pengaturan secara teratur usaha kelompok. Koordinasi
adalah konsep yang ditetapkan di dalam kelompok,
bukan terhadap usaha individu, sejumlah individu yang
bekerjasama, dengan koordinasi menghasilkan suatu
usaha kelompok yang sangat penting untuk mencapai
efisiensi dalam melaksanakan kegiatan organisasi.
Adanya tumpang tindih, kekaburan dalam tugas-tugas
pekerjaan merupakan pertanda kurang sempurnanya
koordinasi.
4. konsep kesatuan tindakan adalah merupakan inti dari
koordinasi. Kesatuan usaha, berarti bahwa harus
mengatur sedemikian rupa usaha-usaha tiap kegiatan
individu sehingga terdapat keserasian di dalam mencapai
hasil.
5. Tujuan koordinasi adalah tujuan bersama, kesatuan dari
usaha meminta suatu pengertian kepada semua individu,
agar ikut serta melaksanakan tujuan sebagai kelompok
kerja. Koordinasi adalah proses pengintegrasian
(penggabungan yang padu) dari semua tujuan dan
kegiatan anggota satuan-satuan letaknya boleh terpisah
berjauhan di lingkup organisasi masing-masing, dapat
menghasilkan suatu hasil optimal yang disetujui
bersama.
c. Control
Control dalam bencana berbentuk pengawasan dan
Pelaporan Penanggulangan Bencana.
1. Pengawasan Pengawasan terhadap seluruh proses
penanggulangan bencana dilakukan oleh Pemerintah
dan pemerintah daerah.
2. Pemantauan dan pelaporan dilakukan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah serta instansi terkait.
3. Setelah kegiatan selesai, yaitu setelah selesainya status
menimbang, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana. 32 keadaan darurat,
pengelola bantuan Dana Siap Pakai harus melaporkan
semua kegiatan dan laporan pertanggung jawaban
keuangan kepada Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana..
4. Kegiatan pengawasan yang dimaksud adalah kegiatan
yang bertujuan untuk mengurangi atau menghindari
masalah yang berhubungan dengan penyalahgunaan
wewenang dan segala bentuk penyimpangan lainnya,
yang dapat berakibat pada pemborosan keuangan
negara.
5. Badan Nasional Penanggulangan Bencana bersama
dengan instansi/lembaga terkait secara selektif
memantau pelaksanaan penggunaan Dana Siap Pakai
mulai dari proses pelaksanaan administrasi sampai
dengan fisik kegiatan.
6. Pemantauan terhadap penggunaan Dana Siap Pakai di
daerah dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Bencana bersama
dengan pejabat yang ditunjuk oleh Gubernur/Kepala
BPBD tingkat Provinsi dan Bupati/Walikota/Ketua Badan
Penanggulangan Bencana Daerah tingkat Kabupaten/
Kota
d. Comunication
Tahapan komunikasi dalam bencana:
1. Pada tahap sebelum kejadian bencana maka aspek
komunikasi akan mencakup informasi yang akurat,
koordinasi dan aspek kerjasama terutama kepada
masyarakat yang rentan atas peristiwa bencana.
2. Pada tahap kejadian bencana keempat aspek :
komunikasi, informasi, kerjasama dan koordinasi
merupakan kunci sukses penangana bencana, terutama
untuk penanganan korban dan menghindari resiko lebih
lanjut.
3. Pada tahap setelah bencana rekonstruksi dan pemulihan
pasca situasi bencana adalah tahap penting untuk
membangun kembali korban bencana dan memastikan
untuk mengurangi resiko apabila terjadi peristiwa serupa
dikemudian hari. Dan yang sangat penting adalah
mitigasi, dalam tahapan ini, seluruh potensi komunikasi
menjadi penting untuk memastikan pencegahan dan
pengurangan resiko, yang tentu pendekatan yang tepat
adalah konprehensif, sistemik dan terintegrasi antar
lembaga, komponen maupun stakeholder yang ada.
Secara lebih luas, selain lembaga yang menangani
bencana (BNPB), keterlibatan stakeholder seperti media,
industri, politisi dan berbagai komponen masyarakat/
lembaganya menjadi sangat penting. Sedemikan penting
agar keterlibatan mereka terutama pada peristiwa
bencana dan juga pada mitigasi, Komunikasi Bencana:
tahap pemulihan, tidak digunakan sebagai ajang
pencitraan yang akhirnya menjadikan bencana dan
korban bencana sebagai obyek semata, namun justru
secara substansial memang membantu korban bencana
dan meminimalisasi resiko yang ada/ yang akan terjadi.
Pada sisi lain pemberitaan di media atas bencana
letusan gunung Merapi, juga sempat menunjukkan
adanya tumpukan bantuan yang mubazir, karena
tumpang tindih dan system informasi yang tidak baik,
atau sebaliknya kejadian bencana gempa di Mentawai
dan b sebelum, selama dan pasca bencana Katrina
tersebut. Prizzia (hal 93 – 94) menambahkan mengenai
lemahnya koordinasi dengan sektor swasta/ perusahaan
dan juga media, yang pada dasarnya menjadi partner
penting dalam manajemen bencana.
3.1 Simpulan
Indonesia merupakan salah satu yang rawan bencana sehingga
diperlukan manajemen atau penanggulangan bencana yang tepat dan
terencana. Manajemen bencana merupakan serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi. Manajemen bencana di mulai dari tahap prabecana, tahap
tanggap darurat, dan tahap pascabencana.
Pertolongan pertama dalam bencana sangat diperlukan untuk
meminimalkan kerugian dan korban jiwa. Pertolongan pertama pada
keadaan bencana menggunakan prinsip triage.
3.2 Saran
Masalah penanggulangan bencana tidak hanya menjadi beban
pemerintah atau lembaga-lembaga yang terkait. Tetapi juga diperlukan
dukungan dari masyarakat umum. Diharapkan masyarakat dari tiap
lapisan dapat ikut berpartisipasi dalam upaya penanggulangan
bencana.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonymous.2011. Indonesia negara rawan bencana.
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/08/110810_i
ndonesia_tsunami.shtml. Diakses tanggal 11 januari 2014.
2. Ledysia, Septiana. 2013. Januari 2013, Indonesia Dirundung 119
Bencana.
http://news.detik.com/read/2013/02/02/002615/2159288/10/januari-
2013-indonesia-dirundung-119-bencana. Diakses tanggal 11
Januari 2014.
3. Pusat Data, Informasi dan Humas. 2010. Sistem Penangulangan
Bencana. http://bnpb.go.id/page/read/7/sistem-penanggulangan-
bencana. Diakses tanggal 11 Januari 2014
4. Pusat Data, Informasi dan Humas. 2012. Definisi dan Jenis
Bencana. http://www.bnpb.go.id/page/read/5/definisi-dan-jenis-
bencana. diakses tanggal 12 Januari 2014.
5. Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007. Jakarta: DPR RI dan
Presiden RI
6. Sudiharto.2011. Manajemen Disaster.
http://bppsdmk.depkes.go.id/bbpkjakarta/wp-
content/uploads/2011/06/ManajemenDisaster.pdf. Diakses tanggal
12 Januari.
7. Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana. 2007.
Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya Di
Indonesia. (2th ed). Jakarta: Direktorat Mitigasi.
8. Sinurat, Hulman., & Adiyudha, Ausi. 2012. Sistem Manajemen
Penanggulangan Bencana Alam Dalam Rangka Mengurangi
Dampak Kerusakan Jalan Dan Jembatan. Jakarta: Puslitbang Jalan
dan Jembatan
9. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun
2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan
Bencana. Jakarta: BNPB
10. Kamus Kesehatan. http://kamuskesehatan.com/arti/triage/. Diakses
tanggal 11 januari.
11. Udiyana, Nyoman Dwi Maha. Bencana datang Tanpa Rencana,
Namun Penanggulangan Harus terencana.
http://www.academia.edu/3716116/Bencana_datang_Tanpa_Renc
ana_Namun_Penanggulangannya_Harus_Terencana. diakses
tanggal 11 Januari 2014