Anda di halaman 1dari 29

PRINSIP MANAJEMEN KEGAWATDARURATAN DALAM

KEPERAWATAN BENCANA

KELOMPOK II

1. Maslinda Goleng Sina 2117001


2. Stefani Kasim 2117010
3. Dhea Ananda Putri 2117004
4. Nuraya 2117034
5. Yeremias b. bullu 2117005
6. Dorkas Dina 2117008
7. Supriadi 2117029

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
GEMA INSAN AKADEMIK
MAKASSAR
2020

KATA PENGANTAR
 Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga
dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Prinsip Manajemen
Keperawatan Bencana”..
Kami menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun
demikian, kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan
pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik. Oleh
sebab itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik guna
penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat menambah
wawasan dan memberikan referensi yang bermakna bagi para pembaca.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di
dunia berdasar data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko
Bencana (UN-ISDR). Tingginya posisi Indonesia ini dihitung dari
jumlah manusia yang terancam risiko kehilangan nyawa bila bencana
alam terjadi. Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman
bahaya tsunami, tanah longsor, gunung berapi. Dan menduduki
peringkat tiga untuk ancaman gempa serta enam untuk banjir.1
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selama
Januari 2013 mencatat ada 119 kejadian bencana yang terjadi di
Indonesia. BNPB juga mencatat akibatnya ada sekitar 126 orang
meninggal akibat kejadian tersebut. kejadian bencana belum semua
dilaporkan ke BNPB. Dari 119 kejadian bencana menyebabkan 126
orang meninggal, 113.747 orang menderita dan mengungsi, 940
rumah rusak berat, 2.717 rumah rusak sedang, 10.945 rumah rusak
ringan. Untuk mengatasi bencana tersebut, BNPB telah melakukan
penanggulangan bencana baik kesiapsiagaan maupun penanganan
tanggap darurat. Untuk siaga darurat dan tanggap darurat banjir dan
longsor sejak akhir Desember 2012 hingga sekarang, BNPB telah
mendistribusikan dana siap pakai sekitar Rp 180 milyar ke berbagai
daerah di Indonesia yang terkena bencana.2
Namun, penerapan manajemen bencana di Indonesia masih
terkendala berbagai masalah, antara lain kurangnya data dan
informasi kebencanaan, baik di tingkat masyarakat umum maupun di
tingkat pengambil kebijakan. Keterbatasan data dan informasi spasial
kebencanaan merupakan salah satu permasalahan yang
menyebabkan manajemen bencana di Indonesia berjalan kurang
optimal. Pengambilan keputusan ketika terjadi bencana sulit
dilakukankarena data yang beredar memiliki banyak versi dan sulit
divalidasi kebenarannya.3
Dari uraian diatas, terlihat bahwa masih terdapat kelemahan
dalam sistem manajemen bencana di Indonesia sehingga perlu
diperbaiki dan ditingkatkan untuk menghindari atau meminimalisasi
dampak bencana yang terjadi.

1.2 Tujuan Penulisan


Mahasiswa mengerti tentang sistem manajemen bencana dan
dapat menambah wawasan masyarakat secara umum sehingga dapat
turut serta dalam upaya penanggulangan bencana.

1.3 Manfaat Penulisan


1. Menambah pengetahuan dan wawasan pembaca dan penulis
dalam hal menajemen bencana.
2. Pembaca dapat menerapkan upaya penanggulangan bencana,
terutama untuk para petugas kesehatan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Jenis Bencana
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana menyebutkan bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Definisi tersebut
menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam,
dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana
nonalam, dan bencana sosial. 4
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain
berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
angin topan, dan tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam
yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi.
dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atauserangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar
komunitas masyarakat, dan teror.5

2.2 Tahapan Bencana


Disaster atau bencana dibagi beberapa tahap yaitu : tahap pra-
disaster, tahap serangan atau saat terjadi bencana (impact), tahap
emergensi dan tahap rekonstruksi. Dari ke-empat tahap ini, tahap pra
disaster memegang peran yang sangat strategis. 6
a. Tahap Pra-Disaster
Tahap ini dikenal juga sebagai tahap pra bencana, durasi
waktunya mulai saat sebelum terjadi bencana sampai tahap
serangan atau impact. Tahap ini dipandang oleh para ahli sebagai
tahap yang sangat strategis karena pada tahap pra bencana ini
masyarakat perlu dilatih tanggap terhadap bencana yang akan
dijumpainya kelak. Latihan yang diberikan kepada petugas dan
masyarakat akan sangat berdampak kepada jumlah besarnya
korban saat bencana menyerang (impact), peringatan dini
dikenalkan kepada masyarakat pada tahap pra bencana.
b. Tahap Serangan atau Terjadinya Bencana (Impact phase)
Pada tahap serangan atau terjadinya bencana (Impact phase)
merupakan fase terjadinya klimaks bencana. Inilah saat-saat
dimana, manusia sekuat tenaga mencoba ntuk bertahan hidup.
Waktunya bisa terjadi beberapa detik sampai beberapa minggu
atau bahkan bulan. Tahap serangan dimulai saat bencana
menyerang sampai serang berhenti.
c. Tahap Emergensi
Tahap emergensi dimulai sejak berakhirnya serangan
bencana yang pertama.Tahap emergensi bisa terjadi beberapa
minggu sampai beberapa bulan. Pada tahap emergensi, hari-hari
minggu pertama yang menolong korban bencana adalah
masyarakat awam atau awam khusus yaitu masyarakat dari lokasi
dan sekitar tempat bencana.
Karakteristik korban pada tahap emergensi minggu pertama
adalah : korban dengan masalah Airway dan Breathing (jalan nafas
dan pernafasan), yang sudah ditolong dan berlanjut ke masalah
lain, korban dengan luka sayat, tusuk, terhantam benda tumpul,
patah tulang ekstremitas dan tulang belakang, trauma kepala, luka
bakar bila ledakan bom atau gunung api atau ledakan pabrik kimia
atau nuklir atau gas. Pada minggu ke dua dan selanjutnya,
karakteristik korban mulai berbeda karena terkait dengan
kekurangan makan, sanitasi lingkungan dan air bersih, atau
personal higiene. Masalah kesehatan dapat berupa sakit lambung
(maag), diare, kulit, malaria atau penyakit akibat gigitan serangga.

d. Tahap Rekonstruksi
Pada tahap ini mulai dibangun tempat tinggal, sarana umum
seperti sekolah, sarana ibadah, jalan, pasar atau tempat pertemuan
warga. Pada tahap rekonstruksi ini yang dibangun tidak saja
kebutuhan fisik tetapi yang lebih utama yang perlu kita bangun
kembali adalah budaya. Kita perlu melakukan rekonstruksi budaya,
melakukan re-orientasi nilai-nilai dan norma-norma hidup yang
lebih baik yang lebih beradab. Dengan melakukan rekonstruksi
budaya kepada masyarakat korban bencana, kita berharap
kehidupan mereka lebih baik bila dibanding sebelum terjadi
bencana. Situasi ini seharusnya bisa dijadikan momentum oleh
pemerintah untuk membangun kembali Indonesia yang lebih baik,
lebih beradab, lebih santun, lebih cerdas hidupnya lebih memiliki
daya saing di dunia internasional.

2.3 Definisi Manajemen Bencana


Penanggulangan bencana atau yang sering didengar dengan
manajemen bencana (disaster management) adalah serangkaian
upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko
timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat,
dan rehabilitasi.7
Konsep manajemen bencana saat ini telah mengalami
pergeseran paradigma dari pendekatan konvensional menuju
pendekatan holistik (menyeluruh). Pada pendekatan konvensial
bencana itu suatu peristiwa atau kejadian yang tidak terelakkan dan
korban harus segera mendapatkan  pertolongan, 
sehingga manajemen bencana lebih fokus pada hal yang bersifat
bantuan (relief) dan tanggap darurat (emergency response).
Selanjutnya paradigma manajemen bencana berkembang ke arah
pendekatan pengelolaan risiko yang lebih fokus pada upaya-upaya
pencegahan dan mitigasi, baik yang bersifat struktural maupun non-
struktural di daerah-daerah yang rawan terhadap bencana, dan upaya
membangun kesiap-siagaan.8
Sebagai salah satu tindak lanjut dalam menghadapi perubahan
paradigma manajemen bencana tersebut, pada bulan Januari tahun
2005 di Kobe Jepang, diselengkarakan Konferensi Pengurangan Benc
ana Dunia (World Conference on Disaster Reduction) yang menghasil
kan  beberapa substansi  dasar  dalam 
mengurangi kerugian akibat bencana, baik kerugian jiwa, sosial, ekono
mi dan lingkungan. Substansi dasar tersebut yang selanjutnya
merupakan lima prioritas kegiatan untuk tahun 2005‐2015 yaitu: 7
1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas
nasional maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung
oleh kelembagaan yang kuat.
2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta 
menerapkan sistem peringatan dini 
3. Memanfaatkan pengetahuan,inovasi dan pendidikan membangu
n kesadaran kesadaran keselamatan diri dan ketahanan
terhadap bencana pada semua tingkat masyarakat.
4. Mengurangi faktor‐faktor penyebab risiko bencana.
5. Memperkuat  kesiapan  menghadapi  bencana  pada  semua 
tingkatan masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif

2.4 Tahapan dan Kegiatan dalam Manajemen Bencana


1. Pencegahan (prevention)
Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana (jika
mungkin dengan meniadakan bahaya)
Misalnya :
 Melarang pembakaran hutan dalam perladangan
 Melarang penambangan batu di daerah yang curam
 Melarang membuang sampah sembarangan
2. Mitigasi Bencana (Mitigation)
Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU 24/2007) atau
upaya yang dilakukan untuk meminimalkan dampak yang
ditimbulkan oleh bencana
Bentuk mitigasi :
 Mitigasi struktural (membuat chekdam, bendungan, tanggul
sungai, rumah tahan gempa, dll.) Mitigasi non-struktural
(peraturan perundang-undangan, pelatihan, dll.)
3. Kesiapsiagaan (Preparedness)
Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang
tepat guna dan berdaya guna (UU 24/2007) Misalnya:Penyiapan
sarana komunikasi, pos komando, penyiapan lokasi evakuasi,
Rencana Kontinjensi, dan sosialisasi peraturan / pedoman
penanggulangan bencana.
4. Peringatan Dini (Early Warning)
Serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana
pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang (UU 24/2007)
atau Upaya untuk memberikan tanda peringatan bahwa bencana
kemungkinan akan segera terjadi.
Pemberian peringatan dini harus :
 Menjangkau masyarakat (accesible)
 Segera (immediate)
 Tegas tidak membingungkan (coherent)
 Bersifat resmi (official)
5. Tanggap Darurat (response)
Upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk
menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa
penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan
pengungsian.

6. Bantuan Darurat (relief)


Merupakan upaya untuk memberikan bantuan berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan dasar berupa :
 Pangan
 Sandang
  Tempat tinggal sementara
 kesehatan, sanitasi dan air bersih

7. Pemulihan (recovery)
Proses pemulihan darurat kondisi masyarakat yang terkena
bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana
pada keadaan semula. Upaya yang dilakukan adalah
memperbaiki prasarana dan pelayanan dasar (jalan, listrik, air
bersih, pasar puskesmas, dll).

8. Rehabilitasi (rehabilitation)
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai
pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.Upaya langkah yang diambil setelah kejadian
bencana untuk membantu masyarakat memperbaiki rumahnya,
fasilitas umum dan fasilitas sosial penting, dan menghidupkan
kembali roda perekonomian.
9. Rekonstruksi (reconstruction)
Program jangka menengah dan jangka panjang guna perbaikan
fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan
masyarakat pada kondisi yang sama atau lebih baik dari
sebelumnya. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua
prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah
pascabencana,  baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya
kegiatan  perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan
ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala
aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
Dengan melihat manajemen bencana sebagai sebuah
kepentingan masyarakat kita berharap berkurangnya korban
nyawa dan kerugian harta benda. Dan yang terpenting dari
manajemen bencana ini adalah adanya suatu langkah konkrit
dalam mengendalikan bencana sehingga korban yang tidak kita
harapan dapat terselamatkan dengan cepat dan tepat dan upaya
untuk pemulihan pasca bencana dapat dilakukan dengan
secepatnya.
Pengendalian itu dimulai dengan membangun kesadaran
kritis masyarakat dan pemerintah atas masalah bencana alam,
menciptakan proses perbaikan total atas pengelolaan bencana,
penegasan untuk lahirnya kebijakan lokal yang bertumpu pada
kearifan lokal yang berbentuk peraturan nagari dan peraturan
daerah atas menejemen bencana. Yang tak kalah pentingnya
dalam manajemen bencana ini adalah sosialisasi kehatian-hatian
terutama pada daerah rawan bencana.

Dalam melaksanakan penanggulangan bencana, maka 
Penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi tahap
prabencana, tahap tanggap darurat, dan tahap pascabencana.9
1. Pada Pra Bencana
Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu :
a. Situasi Tidak Terjadi Bencana
Situasi tidak ada potensi bencana yaitu kondisi suatu
wilayah yang berdasarkan analisis kerawanan bencana pada
periode waktu tertentu tidak menghadapi ancaman bencana
yang nyata. Penyelenggaraan penanggulangan bencana
dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi :
 perencanaan penanggulangan bencana;
 pengurangan risiko bencana;
 pencegahan;
 pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
 persyaratan analisis risiko bencana;
 pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
 pendidikan dan pelatihan; dan
 persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
b. Situasi Terdapat Potensi Bencana
Pada situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan:
 Kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui
langkah yang tepat guna dan berdaya guna.5
 Peringatan Dini. Peringatan dini adalah serangkaian
kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya
bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang
berwenang5.
 Mitigasi Bencana. Mitigasi adalah serangkaian upaya
untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman
bencana.5
Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas
sector dan multi stakeholder, oleh karena itu fungsi BNPB/BPBD
adalah fungsi koordinasi.
2. Tahap Tanggap Darurat
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan, pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.5
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat
tanggap darurat meliputi:9,5
a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan,
dan sumber daya dilakukan untuk mengidentifikasi cakupan
lokasi bencana, jumlah korban, kerusakan prasarana dan
sarana, gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta
pemerintahan, dan kemampuan sumber daya alam maupun
buatan.
b. penentuan status keadaan darurat bencana. Penetapan status
darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan
skala bencana.
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana,
dilakukan dengan memberikan pelayanan kemanusiaan yang
timbul akibat bencana yang terjadi pada suatu daerah melalui
upaya pencarian dan penyelamatan korban, pertolongan
darurat, dan/atau evakuasi korban.
d. pemenuhan kebutuhan dasar, meliputi bantuan penyediaan
kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan
kesehatan, pelayanan psikososial; dan penampungan dan
tempat hunian.
e. perlindungan terhadap kelompok rentan, dilakukan dengan
memberikan prioritas kepada kelompok rentan berupa
penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan,
dan psikososial. Kelompok rentan yang dimaksud terdiri atas
bayi, balita, anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau
menyusui;, penyandang cacat, dan orang lanjut usia.
f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Tahap tindakan dalam tanggap daruratdibagi menjadi dua
fase yaitu fase akut dan fase sub akut. Fase akut, 48 jam pertama
sejak bencana terjadi disebut fase penyelamatan dan pertolongan
medis darurat sedangkan fase sub akut terjadi sejak 2-3 minggu.
3. Pasca Bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca
bencana meliputi:
a. Rehabilitasi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan
semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai
tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara
wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan
masyarakat pada wilayah pascabencana.5
b. Rekonstruksi. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali
semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah
pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,
tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta
masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat
pada wilayah pascabencana.5
2.5 Prinsip-Prinsip Penanggulangan Bencana
Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana berdasarkan
pasal 3 UU No. 24 tahun 2007, yaitu: 5
1. Cepat dan tepat. Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan
tepat” adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus
dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan
keadaan.
2. prioritas. Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah
bahwa apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus
mendapat prioritas dan diutamakan pada kegiatan
penyelamatan jiwa manusia.
3. koordinasi dan keterpaduan. Yang dimaksud dengan “prinsip
koordinasi” adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan
pada koordinasi yang baik dan saling mendukung. Yang
dimaksud dengan “prinsip keterpaduan” adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor
secara terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan
saling mendukung.
4. berdaya guna dan berhasil guna. Yang dimaksud dengan
“prinsip berdaya guna” adalah bahwa dalam mengatasi
kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu,
tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang dimaksud dengan
“prinsip berhasil guna” adalah bahwa kegiatan penanggulangan
bencana harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi
kesulitan masyarakat dengan tidak membuang waktu, tenaga,
dan biaya yang berlebihan.
5. transparansi dan akuntabilitas. Yang dimaksud dengan “prinsip
transparansi” adalah bahwa penanggulangan bencana
dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
6. Kemitraan
7. Pemberdayaan
8. Nondiskriminatif. Yang dimaksud dengan “prinsip
nondiskriminasi” adalah bahwa negara dalam penanggulangan
bencana tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap
jenis kelamin, suku, agama, ras, dan aliran politik apa pun.
9. Nonproletisi. Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah
bahwa dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat
keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan
dan pelayanan darurat bencana.

Prinsip manajemen kegawatdaruratan yaitu :


a. Comando
Sistem Komando Tanggap Darurat Bencana adalah suatu
sistem penanganan darurat bencana yang digunakan oleh
semua instansi/lembaga dengan mengintegrasikan
pemanfaatan sumberdaya manusia, peralatan dan anggaran.
Komando Tanggap Darurat Bencana adalah organisasi
penanganan tanggap darurat bencana yang dipimpin oleh
seorang Komandan Tanggap Darurat Bencana dan dibantu oleh
Staf Komando dan Staf Umum, memiliki struktur organisasi
standar yang menganut satu komando dengan mata rantai dan
garis komando yang jelas dan memiliki satu kesatuan komando
dalam mengkoordinasikan instansi/lembaga/organisasi terkait
untuk pengerahan sumberdaya. Sistematika Pedoman
Komando Tanggap Darurat Bencana ini disusun dengan
sistematika sebagai berikut:
1. Pendahuluan
2. Tahapan pembentukan komando tanggap darurat
bencana
3. Organisasi dan tata kerja komando tanggap darurat
bencana
4. Pola penyelenggaran sistem komando tanggap darurat
bencana
5. Evaluasi dan pelaporan
6. Penutup.

Tahapan pembentukan komando tanggap darurat bencana


dibawah ini adalah:
1. Terbentuknya Komando Tanggap Darurat Bencana
meliputi tahapan yang terdiri dari:
a. Informasi Kejadian Awal
b. Penugasan Tim Reaksi Cepat (TRC)
c. Penetapan Status/Tingkat Bencana
d. Pembentukan Komando Tanggap Darurat Bencana

b. Coordinasi
Koordinasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah perihal mengatur suatu organisasi atau kegiatan
sehingga peraturan dan tindakan yang akan dilaksanakan tidak
saling bertentangan atau simpang siur. Dalam pengertian lain,
koordinasi merupakan usaha untuk mengharmoniskan atau
menserasikan seluruh kegiatan sehingga dapat mencapai
tujuan yang diharapkan. Keharmonisan dan keserasian selalu
diciptakan baik terhadap tugas-tugas yang bersifat teknis,
komersial, finansial, personalia maupun administrasi. Menurut
UU No. 24 tahun 2007 tentang bencana bahwa kegiatan
koordinasi merupakan salah satu fungsi Unsur Pelaksana
Penanggulangan Bencana. Unsur pelaksana juga
melaksanakan fungsi komando dan sebagai pelaksana dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Menurut
Handayaningrat (2005), koordinasi mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Bahwa tanggungjawab koordinasi adalah terletak pada
pimpinan. Koordinasi adalah merupakan tugas pimpinan.
Koordinasi sering disamakan dengan kata koperasi yang
sebenarnya mempunyai arti yang berbeda. Pimpinan
tidak mungkin mengadakan koordinasi apabila tidak
melakukan kerjasama. Kerjasama merupakan suatu
syarat yang sangat penting dalam membantu
pelaksanaan koordinasi.
2. Adanya proses (continues process). Karena koordinasi
adalah pekerjaan pimpinan yang bersifat
berkesinambungan dan harus dikembangkan sehingga
tujuan dapat tercapai dengan baik.
3. Pengaturan secara teratur usaha kelompok. Koordinasi
adalah konsep yang ditetapkan di dalam kelompok,
bukan terhadap usaha individu, sejumlah individu yang
bekerjasama, dengan koordinasi menghasilkan suatu
usaha kelompok yang sangat penting untuk mencapai
efisiensi dalam melaksanakan kegiatan organisasi.
Adanya tumpang tindih, kekaburan dalam tugas-tugas
pekerjaan merupakan pertanda kurang sempurnanya
koordinasi.
4. konsep kesatuan tindakan adalah merupakan inti dari
koordinasi. Kesatuan usaha, berarti bahwa harus
mengatur sedemikian rupa usaha-usaha tiap kegiatan
individu sehingga terdapat keserasian di dalam mencapai
hasil.
5. Tujuan koordinasi adalah tujuan bersama, kesatuan dari
usaha meminta suatu pengertian kepada semua individu,
agar ikut serta melaksanakan tujuan sebagai kelompok
kerja. Koordinasi adalah proses pengintegrasian
(penggabungan yang padu) dari semua tujuan dan
kegiatan anggota satuan-satuan letaknya boleh terpisah
berjauhan di lingkup organisasi masing-masing, dapat
menghasilkan suatu hasil optimal yang disetujui
bersama.

c. Control
Control dalam bencana berbentuk pengawasan dan
Pelaporan Penanggulangan Bencana.
1. Pengawasan Pengawasan terhadap seluruh proses
penanggulangan bencana dilakukan oleh Pemerintah
dan pemerintah daerah.
2. Pemantauan dan pelaporan dilakukan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah serta instansi terkait.
3. Setelah kegiatan selesai, yaitu setelah selesainya status
menimbang, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana. 32 keadaan darurat,
pengelola bantuan Dana Siap Pakai harus melaporkan
semua kegiatan dan laporan pertanggung jawaban
keuangan kepada Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana..
4. Kegiatan pengawasan yang dimaksud adalah kegiatan
yang bertujuan untuk mengurangi atau menghindari
masalah yang berhubungan dengan penyalahgunaan
wewenang dan segala bentuk penyimpangan lainnya,
yang dapat berakibat pada pemborosan keuangan
negara.
5. Badan Nasional Penanggulangan Bencana bersama
dengan instansi/lembaga terkait secara selektif
memantau pelaksanaan penggunaan Dana Siap Pakai
mulai dari proses pelaksanaan administrasi sampai
dengan fisik kegiatan.
6. Pemantauan terhadap penggunaan Dana Siap Pakai di
daerah dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Bencana bersama
dengan pejabat yang ditunjuk oleh Gubernur/Kepala
BPBD tingkat Provinsi dan Bupati/Walikota/Ketua Badan
Penanggulangan Bencana Daerah tingkat Kabupaten/
Kota

d. Comunication
Tahapan komunikasi dalam bencana:
1. Pada tahap sebelum kejadian bencana maka aspek
komunikasi akan mencakup informasi yang akurat,
koordinasi dan aspek kerjasama terutama kepada
masyarakat yang rentan atas peristiwa bencana.
2. Pada tahap kejadian bencana keempat aspek :
komunikasi, informasi, kerjasama dan koordinasi
merupakan kunci sukses penangana bencana, terutama
untuk penanganan korban dan menghindari resiko lebih
lanjut.
3. Pada tahap setelah bencana rekonstruksi dan pemulihan
pasca situasi bencana adalah tahap penting untuk
membangun kembali korban bencana dan memastikan
untuk mengurangi resiko apabila terjadi peristiwa serupa
dikemudian hari. Dan yang sangat penting adalah
mitigasi, dalam tahapan ini, seluruh potensi komunikasi
menjadi penting untuk memastikan pencegahan dan
pengurangan resiko, yang tentu pendekatan yang tepat
adalah konprehensif, sistemik dan terintegrasi antar
lembaga, komponen maupun stakeholder yang ada.
Secara lebih luas, selain lembaga yang menangani
bencana (BNPB), keterlibatan stakeholder seperti media,
industri, politisi dan berbagai komponen masyarakat/
lembaganya menjadi sangat penting. Sedemikan penting
agar keterlibatan mereka terutama pada peristiwa
bencana dan juga pada mitigasi, Komunikasi Bencana:
tahap pemulihan, tidak digunakan sebagai ajang
pencitraan yang akhirnya menjadikan bencana dan
korban bencana sebagai obyek semata, namun justru
secara substansial memang membantu korban bencana
dan meminimalisasi resiko yang ada/ yang akan terjadi.
Pada sisi lain pemberitaan di media atas bencana
letusan gunung Merapi, juga sempat menunjukkan
adanya tumpukan bantuan yang mubazir, karena
tumpang tindih dan system informasi yang tidak baik,
atau sebaliknya kejadian bencana gempa di Mentawai
dan b sebelum, selama dan pasca bencana Katrina
tersebut. Prizzia (hal 93 – 94) menambahkan mengenai
lemahnya koordinasi dengan sektor swasta/ perusahaan
dan juga media, yang pada dasarnya menjadi partner
penting dalam manajemen bencana.

2.6 Asas-asas Dalam Penanggulangan Bencana


Penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 Tahun
2007 berasaskan:5
1. kemanusiaan. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan”
termanifestasi dalam penanggulangan bencana sehingga
undang-undang ini memberikan perlindungan dan
penghormatan hak-hak asasi manusia, harkat dan martabat
setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
2. Keadilan. Yang dimaksud dengan”asas keadilan” adalah bahwa
setiap materi muatan ketentuan dalam penanggulangan
bencana harus mencerminkan keadilan secara proporsional
bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
3. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Yang
dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum
dan pemerintahan” adalah bahwa materi muatan ketentuan
dalam penanggulangan bencana tidak boleh berisi hal-hal yang
membedakan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial.
4. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Yang dimaksud
dengan “asas keseimbangan” adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan
keseimbangan kehidupan sosial dan lingkungan. Yang
dimaksud dengan “asas keselarasan” adalah bahwa materi
muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
mencerminkan keselarasan tata kehidupan dan lingkungan.
Yang dimaksud dengan ”asas keserasian” adalah bahwa materi
muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
mencerminkan keserasian lingkungan dan kehidupan sosial
masyarakat.
5. ketertiban dan kepastian hukum; Yang dimaksud dengan “asas
ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana harus dapat
menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
adanya kepastian hukum.
6. Kebersamaan. Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan”
adalah bahwa penanggulangan bencana pada dasarnya
menjadi tugas dan tanggung jawab bersama Pemerintah dan
masyarakat yang dilakukan secara gotong royong.
7. Kelestarian lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan “asas
kelestarian lingkungan hidup” adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan
kelestarian lingkungan untuk generasi sekarang dan untuk
generasi yang akan datang demi kepentingan bangsa dan
negara.
8. ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang dimaksud dengan “asas
ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah bahwa dalam
penanggulangan bencana harus memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi secara optimal sehingga
mempermudah dan mempercepat proses penanggulangan
bencana, baik pada tahap pencegahan, pada saat terjadi
bencana, maupun pada tahap pascabencana

2.7 Pertolongan Pertama Pada Korban Bencana


Peran penting bidang kesehatan juga sangat dibutuhkan dalam
penanggulangan dampak  bencana, terutama dalam penanganan
korban trauma baik fisik maupun psikis. Keberadaan tenaga kesehatan
tentunya akan sangat membantu untuk memberi pertolongan pertama
sebelum proses perujukan ke rumah sakit yang memadai.11
Pengelolaan penderita yang mengalami cidera parah
memerlukan penilaian yang cepat dan pengelolaan yang tepat agar
sedapat mungkin bisa menghindari kematian. Pada penderita trauma,
waktu sangatlah penting, karena itu diperlukan adanya suatu cara
yang mudah dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai Initial
assessment
(penilaian awal) dan Triase. Prinsip-prinsip ini diterapkan dalam pelaks
anaan pemberian bantuan hidup dasar pada penderita trauma (Basic
Trauma Life Support) maupun Advanced Trauma Life Support.11
Triage adalah tindakan mengkategorikan pasien menurut
kebutuhan perawatan dengan memprioritaskan mereka yang paling
perlu didahulukan. Paling sering terjadi di ruang gawat darurat,
namun triage juga dapat terjadi dalam pengaturan perawatan
kesehatan di tempat lain di mana pasien diklasifikasikan menurut
keparahan kondisinya. Tindakan ini dirancang untuk memaksimalkan
dan mengefisienkan penggunaan sumber daya tenaga medis dan
fasilitas yang terbatas.10
Triage dapat dilakukan di lapangan maupun didalam rumah sakit.
Proses triage meliputi tahap pra-hospital/lapangan dan hospital atau
pusat pelayana kesehatan lainnya. Triage lapangan harus dilakukan
oleh petugas pertama yang tiba ditempat kejadian dan tindakan ini
harus dinilai lang terus menerus karena status triage pasien dapat
berubah. Metode yang digunakan bisa secara Mettag (triage Tagging
System) atau sistem triage penuntun lapangan Star (Simple Triage
and Rapid Transportasi)
Penuntun Lapangan START berupa penilaian pasien 60 detik
yang mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental untuk
memastikan kelompok korban seperti yang memerlukan transport
segera atau tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan, atau mati. Ini
memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan korban
yang dengan risiko besar akan kematian segera atau apakah tidak
memerlukan transport segera. Star merupakan salah satu metode
yang paling sederhana dan umum. Metode ini membagi penderita
menjadi 4 kategori :
1. Prioritas 1 – Merah
Merupakan prioritas utama, diberikan kepada para penderita
yang kritis keadaannya seperti gangguan jalan napas,
gangguan pernapasan, perdarahan berat atau perdarahan
tidak terkontrol, penurunan status mental
2. Prioritas 2 – Kuning
Merupakan prioritas berikutnya diberikan kepada para
penderita yang mengalami keadaan seperti luka bakar tanpa
gangguan saluran napas atau kerusakan alat gerak, patah
tulang tertutup yang tidak dapat berjalan, cedera punggung.
3. Prioritas 3 – Hijau
Merupakan kelompok yang paling akhir prioritasnya, dikenal
juga sebagai ‘Walking Wounded” atau orang cedera yang
dapat berjalan sendiri.
4. Prioritas 0 – Hitam
Diberikan kepada mereka yang meninggal atau mengalami
cedera yang mematikan.
Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritisasikan tindakan
atas korban adalah yang dijumpai pada sistim METTAG. Prioritas
tindakan dijelaskan sebagai :
1. Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas
dan tidak mungkin diresusitasi.
2. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang
memerlukan tindakan dan transport segera (gagal nafas,
cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial
berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar berat).
3. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien dengan cedera yang
dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu
dekat (cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa
gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala
atau tulang belakang leher, serta luka bakar ringan).
4. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang
tidak membutuhkan stabilisasi segera (cedera jaringan lunak,
fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa
gangguan jalan nafas serta gawat darurat psikologis).
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Indonesia merupakan salah satu yang rawan bencana sehingga
diperlukan manajemen atau penanggulangan bencana yang tepat dan
terencana. Manajemen bencana merupakan serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi. Manajemen bencana di mulai dari tahap prabecana, tahap
tanggap darurat, dan tahap pascabencana.
Pertolongan pertama dalam bencana sangat diperlukan untuk
meminimalkan kerugian dan korban jiwa. Pertolongan pertama pada
keadaan bencana menggunakan prinsip triage.

3.2 Saran
Masalah penanggulangan bencana tidak hanya menjadi beban
pemerintah atau lembaga-lembaga yang terkait. Tetapi juga diperlukan
dukungan dari masyarakat umum. Diharapkan masyarakat dari tiap
lapisan dapat ikut berpartisipasi dalam upaya penanggulangan
bencana.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous.2011. Indonesia negara rawan bencana.
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/08/110810_i
ndonesia_tsunami.shtml. Diakses tanggal 11 januari 2014.
2. Ledysia, Septiana. 2013. Januari 2013, Indonesia Dirundung 119
Bencana.
http://news.detik.com/read/2013/02/02/002615/2159288/10/januari-
2013-indonesia-dirundung-119-bencana. Diakses tanggal 11
Januari 2014.
3.  Pusat Data, Informasi dan Humas. 2010. Sistem Penangulangan
Bencana. http://bnpb.go.id/page/read/7/sistem-penanggulangan-
bencana. Diakses tanggal 11 Januari 2014
4.  Pusat Data, Informasi dan Humas. 2012. Definisi dan Jenis
Bencana. http://www.bnpb.go.id/page/read/5/definisi-dan-jenis-
bencana. diakses tanggal 12 Januari 2014.
5. Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007. Jakarta: DPR RI dan
Presiden RI
6. Sudiharto.2011. Manajemen Disaster.
http://bppsdmk.depkes.go.id/bbpkjakarta/wp-
content/uploads/2011/06/ManajemenDisaster.pdf. Diakses tanggal
12 Januari.
7. Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana. 2007.
Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya Di
Indonesia. (2th ed). Jakarta: Direktorat Mitigasi.
8. Sinurat, Hulman., & Adiyudha, Ausi. 2012. Sistem Manajemen
Penanggulangan Bencana Alam Dalam Rangka Mengurangi
Dampak Kerusakan Jalan Dan Jembatan. Jakarta: Puslitbang Jalan
dan Jembatan
9. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun
2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan
Bencana. Jakarta: BNPB
10. Kamus Kesehatan. http://kamuskesehatan.com/arti/triage/. Diakses
tanggal 11 januari.
11. Udiyana, Nyoman Dwi Maha. Bencana datang Tanpa Rencana,
Namun Penanggulangan Harus terencana.
http://www.academia.edu/3716116/Bencana_datang_Tanpa_Renc
ana_Namun_Penanggulangannya_Harus_Terencana. diakses
tanggal 11 Januari 2014

Anda mungkin juga menyukai