Anda di halaman 1dari 58

MAKALAH PERTOLONGAN KORBAN BENCANA DAN

PENANGGULANGAN BENCANA DENGAN


MEMPERHATIKAN KESELAMATAN KORBAN DAN
PETUGAS KESELAMATAN SERTA KEAMANAN
LINGKUNGAN
Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Bencana
Dosen : Eti Rohayati, SKM.,M.HKes

Disusun Oleh kelompok 4 :


Aditya Arizal Rian Alamsyah
Dea Silvia Febrianti Rino Ridwanulloh
Erlin Maulinda Siti Zulfah
Febria Enggar Sari Yuyum Yumita Dewi
Kina Septiani Zikri Azi Al-Ghifari
Pipit Fitriah Oktaviani

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YPIB MAJALENGKA


PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah dengan judul "Makalah Pertolongan pada Korban
Bencana dan Penanggulangan Bencana dengan Memperhatikan Keselamatan
Korban Bencana dan Pedugas Keselamatan, Serta Keamanan Lingkungan " pada
mata kuliah Keperawatan Bencana .

Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan motivasi berbagai pihak.
Untuk itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan
yang telah membantu.

Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan


kemampuan penulis. Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
konstruktif sehingga kami dapat menyempurnakan makalah ini.

Majalengka, 25 Septemberr 2021

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Bencana
B. Fase-Fase Bencana
C. Permasalahan Dalam Penanggulangan Bencana
D. Pengurangan Resiko Bencana

BAB III PERTOLONGAN KORBAN BENCANA DAN PENANGGULANGAN


BENCANA DENGAN MEMPERHATIKAN KESELAMATAN KORBAN DAN
PETUGAS KESELAMATAN SERTA KEAMANAN LINGKUNGAN
A. Pengelolaan Keperawatan Kegawatdaruratan (Command, Control, Coordination,
Comunication

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang
besar. Banyak korban yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat
kerja, ternak, dan peralatan menjadi rusak atau hancur. Korban juga
mengalami dampak psikologis akibat bencana, misalnya - ketakutan,
kecemasan akut, perasaan mati rasa secara emosional, dan kesedihan yang
mendalam. Bagi sebagian orang, dampak ini memudar dengan berjalannya
waktu. Tapi untuk banyak orang lain, bencana memberikan dampak
psikologis jangka panjang, baik yang terlihat jelas misalnya depresi ,
psikosomatis (keluhan fisik yang diakibatkan oleh masalah psikis) ataupun
yang tidak langsung : konflik, hingga perceraian.
Beberapa gejala gangguan psikologis merupakan respons langsung
terhadap kejadian traumatik dari bencana. Namun gejala-gejala yang
lain juga akan menyusul, ini adalah dampak tidak langsung dan bersifat
jangka panjang yang dapat mengancam berbagai golongan terutama kelompok
yang rentan yaitu anak-anak, remaja, wanita dan lansia.

Dalam banyak kasus, jika tidak ada intervensi yang dirancang dengan
baik, banyak korban bencana akan mengalami depresi parah, gangguan
kecemasan, gangguan stress pasca-trauma, dan gangguan emosi lainnya.
Bahkan lebih dari dampak fisik dari bencana, dampak psikologis dapat
menyebabkan penderitaan lebih panjang, mereka akan kehilangan semangat
hidup, kemampuan social dan merusak nilai-nilai luhur yang mereka miliki.

Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok


rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan
dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok
rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan
perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka
hadapi. Konteks kerentanan merujuk kepada situasi rentan yang setiap saat
dapat mempengaruhi atau membawa perubahan besar dalam penghidupan
masyarakat. Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan
berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya. Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang lanjut usia,
anak-anak, perempuan, dan penyandang cacat. Dalam konteks ini, kita akan
membicarakan lebih rinci mengenai perawatan kelompok rentan pra, saat dan
pasca terjadinya bencana dalam makalah kami yang berjudul ‘Perawatan
Pada Kelompok Rentan’.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah pertolongan korban bencana dan penanggulangan korban
bencana dengan memperhatikan keselamatan korban dan petugas
keselamatanserta keamanan lingkungan?

C.  Tujuan 
1. Menambah pengetahuan dan wawasan pembaca dan penulis
dalam hal pertolongan korban bencana dan penanggulangan korban
bencana dengan memperhatikan keselamatan korban dan petugas
keselamatanserta keamanan lingkungan
2. Pembaca dapat menerapkan upaya pemenuhan kebutuhan pada
penanggulangan bencana, terutama untuk para petugas kesehatan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Bencana
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
menyebutkan Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis. (http://www.bnpb.go.id)
Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam,
non alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan
bencana sosial.
1) Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor.
2) Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
3) Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik
sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
B. Fase-fese Bencana
Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana,
yaitu diantaranya :
1. Fase preimpact
Merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat dari
badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala
persiapan dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
2. Fase impact
merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana
manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini
terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan- bantuan darurat dilakukan.
3. Fase postimpact
adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat,
juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas
normal. Secara umum dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami
tahap respon psikologis mulai penolakan, marah, tawar- menawar, depresi
hingga penerimaan.
C. Permasalaahan Dalam Penanggulangan Bencana
Secara umum masyarakat Indonesia termasuk aparat pemerintah didaerah
memiliki keterbatasan pengetahuan tentang bencana seperti berikut :
1. Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya
2. Sikap atau prilaku yang mengakibatkan menurunnya kualitas SDA
3. Kurangnya informasi atau peringatan dini yang mengakibatkan ketidaksiapan
4. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya

D. Pengurangan Resiko Bencana


Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
1. Pra bencana, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan
penanggulangan bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan,
pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis risiko
bencana, penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan peletahihan serta
penentuan persyaratan standar teknis penanggulangan bencana
(kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana).
2. Tanggap darurat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap loksi,
kerusakan dan sumber daya; penentuan status keadan darurat; penyelamatan
dan evakuasi korban, pemenuhan kebutuhan dasar; pelayanan psikososial
dan kesehatan.
3. Paska bencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan
daerah bencana, prasaranan dan saran umum, bantuan perbaikan rumah,
social, psikologis, pelayanan kesehatan, keamanan dan ketertiban) dan
rekonstruksi (pembangunan, pembangkitan dan peningkatan sarana
prasarana termasuk fungsi pelayanan kesehatan

PERTOLONGAN KORBAN BENCANA DAN PENANGGULANGAN BENCANA


DENGAN MEMPERHATIKAN KESELAMATAN KORBAN DAN PETUGAS
KESELAMATAN SERTA KEAMANAN LINGKUNGAN MENCAKUP :

A. Pengelolaan Kegawatdaruratan Bencana 4Cs ( Command, Control, Coordination,


Comunicatian)
1. COMMAND
Sistem Komando Tanggap Darurat Bencana adalah suatu sistem penanganan
darurat bencana yang digunakan oleh semua instansi/lembaga dengan
mengintegrasikan pemanfaatan sumberdaya manusia, peralatan dan anggaran.
Komando Tanggap Darurat Bencana adalah organisasi penanganan tanggap
darurat bencana yang dipimpin oleh seorang Komandan Tanggap Darurat Bencana
dan dibantu oleh Staf Komando dan Staf Umum, memiliki struktur organisasi
standar yang menganut satu komando dengan mata rantai dan garis komando yang
jelas dan memiliki satu kesatuan komando dalam mengkoordinasikan
instansi/lembaga/organisasi terkait untuk pengerahan sumberdaya.
Sistematika Pedoman Komando Tanggap Darurat Bencana ini disusun
dengan sistematika sebagai berikut:
1. Pendahuluan
2. Tahapan pembentukan komando tanggap darurat bencana
3. Organisasi dan tata kerja komando tanggap darurat bencana
4. Pola penyelenggaran sistem komando tanggap darurat bencana
5. Evaluasi dan pelaporan
6. Penutup.
Tahapan pembentukan komando tanggap darurat bencana dibawah ini adalah:
1. Terbentuknya Komando Tanggap Darurat Bencana meliputi tahapan yang
terdiri dari:

a. Informasi Kejadian Awal

b. Penugasan Tim Reaksi Cepat (TRC)

c. Penetapan Status/Tingkat Bencana

d. Pembentukan Komando Tanggap Darurat Bencana

2. COORDINATION
Koordinasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perihal
mengatur suatu organisasi atau kegiatan sehingga peraturan dan tindakan yang
akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur. Dalam pengertian
lain, koordinasi merupakan usaha untuk mengharmoniskan atau menserasikan
seluruh kegiatan sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Keharmonisan dan keserasian selalu diciptakan baik terhadap tugas-tugas yang
bersifat teknis, komersial, finansial, personalia maupun administrasi.

Menurut UU No. 24 tahun 2007 tentang bencana bahwa kegiatan koordinasi


merupakan salah satu fungsi Unsur Pelaksana Penanggulangan Bencana. Unsur
pelaksana juga melaksanakan fungsi komando dan sebagai pelaksana dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana.

Menurut Handayaningrat (2005), koordinasi mempunyai ciri-ciri sebagai


berikut:

a. Bahwa tanggungjawab koordinasi adalah terletak pada pimpinan.


Koordinasi adalah merupakan tugas pimpinan. Koordinasi sering disamakan
dengan kata koperasi yang sebenarnya mempunyai arti yang berbeda.
Pimpinan tidak mungkin mengadakan koordinasi apabila tidak melakukan
kerjasama. Kerjasama merupakan suatu syarat yang sangat penting dalam
membantu pelaksanaan koordinasi.
b. Adanya proses (continues process). Karena koordinasi adalah
pekerjaan pimpinan yang bersifat berkesinambungan dan harus
dikembangkan sehingga tujuan dapat tercapai dengan baik.
c. Pengaturan secara teratur usaha kelompok. Koordinasi adalah konsep
yang ditetapkan di dalam kelompok, bukan terhadap usaha individu,
sejumlah individu yang bekerjasama, dengan koordinasi menghasilkan
suatu usaha kelompok yang sangat penting untuk mencapai efisiensi
dalam melaksanakan kegiatan organisasi. Adanya tumpang tindih,
kekaburan dalam tugas-tugas pekerjaan merupakan pertanda kurang
sempurnanya koordinasi.
d. konsep kesatuan tindakan adalah merupakan inti dari koordinasi.
Kesatuan usaha, berarti bahwa harus mengatur sedemikian rupa
usaha-usaha tiap kegiatan individu sehingga terdapat keserasian di
dalam mencapai hasil.
e. Tujuan koordinasi adalah tujuan bersama, kesatuan dari usaha meminta suatu
pengertian kepada semua individu, agar ikut serta melaksanakan tujuan
sebagai kelompok kerja.
Koordinasi adalah proses pengintegrasian (penggabungan yang padu) dari
semua tujuan dan kegiatan anggota satuan-satuan letaknya boleh terpisah
berjauhan di lingkup organisasi masing-masing, dapat menghasilkan suatu
hasil optimal yang disetujui bersama.
3. CONTROL
Control dalam bencana berbentuk pengawasan dan Pelaporan
Penanggulangan Bencana.
a. Pengawasan Pengawasan terhadap seluruh proses penanggulangan bencana
dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
b. Pemantauan dan pelaporan dilakukan Badan Nasional Penanggulangan
Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah serta instansi terkait.
c. Setelah kegiatan selesai, yaitu setelah selesainya status menimbang, Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. 32 keadaan
darurat, pengelola bantuan Dana Siap Pakai harus melaporkan semua kegiatan
dan laporan pertanggung jawaban keuangan kepada Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana.
d. Kegiatan pengawasan yang dimaksud adalah kegiatan yang bertujuan untuk
mengurangi atau menghindari masalah yang berhubungan dengan
penyalahgunaan wewenang dan segala bentuk penyimpangan lainnya, yang
dapat berakibat pada pemborosan keuangan negara.
e. Badan Nasional Penanggulangan Bencana bersama dengan instansi/lembaga
terkait secara selektif memantau pelaksanaan penggunaan Dana Siap Pakai
mulai dari proses pelaksanaan administrasi sampai dengan fisik kegiatan.
f. Pemantauan terhadap penggunaan Dana Siap Pakai di daerah dilakukan oleh
pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
bersama dengan pejabat yang ditunjuk oleh Gubernur/Kepala BPBD tingkat
Provinsi dan Bupati/Walikota/Ketua Badan Penanggulangan Bencana Daerah
tingkat Kabupaten/Kota.

4. COMMUNICATION
Tahapan komunikasi dalam bencana:
a. Pada tahap sebelum kejadian bencana maka aspek komunikasi akan mencakup
informasi yang akurat, koordinasi dan aspek kerjasama terutama kepada
masyarakat yang rentan atas peristiwa bencana.
b. Pada tahap kejadian bencana keempat aspek : komunikasi, informasi,
kerjasama dan koordinasi merupakan kunci sukses penangana bencana,
terutama untuk penanganan korban dan menghindari resiko lebih lanjut.
c. Pada tahap setelah bencana rekonstruksi dan pemulihan pasca situasi bencana
adalah tahap penting untuk membangun kembali korban bencana dan
memastikan untuk mengurangi resiko apabila terjadi peristiwa serupa
dikemudian hari. Dan yang sangat penting adalah mitigasi, dalam tahapan ini,
seluruh potensi komunikasi menjadi penting untuk memastikan pencegahan
dan pengurangan resiko, yang tentu pendekatan yang tepat adalah
konprehensif, sistemik dan terintegrasi antar lembaga, komponen maupun
stakeholder yang ada.
Secara lebih luas, selain lembaga yang menangani bencana (BNPB),
keterlibatan stakeholder seperti media, industri, politisi dan berbagai komponen
masyarakat/ lembaganya menjadi sangat penting. Sedemikan penting agar
keterlibatan mereka terutama pada peristiwa bencana dan juga pada mitigasi,
Komunikasi Bencana: tahap pemulihan, tidak digunakan sebagai ajang
pencitraan yang akhirnya menjadikan bencana dan korban bencana sebagai obyek
semata, namun justru secara substansial memang membantu korban bencana dan
meminimalisasi resiko yang ada/ yang akan terjadi. Pada sisi lain pemberitaan di
media atas bencana letusan gunung Merapi, juga sempat menunjukkan adanya
tumpukan bantuan yang mubazir, karena tumpang tindih dan system informasi
yang tidak baik, atau sebaliknya kejadian bencana gempa di Mentawai sebelum,
selama dan pasca bencana Katrina tersebut. Prizzia (hal 93 – 94) menambahkan
mengenai lemahnya koordinasi dengan sektor swasta/ perusahaan dan juga media,
yang pada dasarnya menjadi partner penting dalam manajemen bencana.
B. Perawatan Terhadap Individu Dan Komunitas Bencana

1. Definisi Keperawatan
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional, sebagai bagian
integral dari pelayanan kesehatan yang meliputi aspek bio-psiko-sosial-spiritual
yang komperehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik
sehat maupun sakit mencakup seluruh kehidupan manusia (lokakarya keperawatan
1983).
2. Bencana
Menurut departemen kesehatan republic Indonesia definisi bencana adalah
peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi,
kerugian kehidupan manusia serta memburuknya kesehatan dan pelayanan
kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar.
3. Dampak dari bencana alam dapat menimpa individu bahkan komunitas
Dampak bencana alam dapat dirasakan pada individu, keluarga, atau
komunitas yang mengalami paparan bencana alam secara langsung namun juga
tidak langsung.

Focus psychological first aid utamanya diberikan kepada individu atau


komunitas yang mengalami bencana alam dan berpotensi mengalami masalah
kesehatan fisik ataupun mental.
a. Individu
Individu merupakan unit terkecil pembentuk masyarakat. Dalam ilmu social,
individu berarti juga bagian terkecil dari kelompok masyarakat yang tidak
dapat dipisah lagi menjadi bagian yang lebih kecil. Sebagai contoh : suatu
keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak.
b. Komunitas
Komunitas adalah kelompok social yang nyata terdiri dari individu-individu
dengan berbagai latar belakang dan peran yang mempunyai satu tujuan tertentu.
4. Peran perawat komunitas dalam manajemen bencana
Perawat komunitas dalam asuhan keperawatan komunitas memiliki tanggung
jawab, peran dalam membantu mengatasi ancaman bencana baik secara tahap
preimpact, impact/emergency, dan postimpect. Peran perawat disini bisa dikatakan
multiple :
 Sebagai bagian dari penyusun rencana
 Pendidik
 Pemberi asuhan keperawatan
 Bagian dari tim pengkajian kejadian bencana.
a. Tujuan utama
Tujuan tindakan asuhan keperawatan komunitas pada bencana ini adalah untuk
mencapai kemungkinan tingkat kesehatan terbaik masyarakat yang terkena
bencana tersebut.
1) Peran perawat
Peran dalam pencegahan primer
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan perawat dalam masa pra bencana ini,
antara lain :
 Mengenali instruksi ancaman bahaya
 Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan saat fase emergency (makanan,
air, obat-obatan, pakaian dan selimut, serta tenda).
 Melatih penanganan pertama korban bencana
 Berkoordinasi berbagai dinas pemerintah, organisasi lingkungan, palang
merah nasional maupun lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam
memberikan penyuluhan dan simulasi persiapan menghadapi ancaman
bencana kepada masyarakat.
Pendidikan kesehatan diarahkan kepada :
 Usaha pertolongan diri sendiri ( pada masyarakat tersebut)
 Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong
anggota keluarga dengan kecurigaan fraktur tulang, perdarahan, dan
pertolongan pertyama pada luka bakar.
 Memberiian beberapa alamat dan nomor telepon darurat seperti dinas
kebakaran, RS dan ambulan.
 Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat dibawa
(missal pakaian seperlunya, portable, radio, baterai, senter).
 Memberikan informasi tempat-tempat alternative penampungan atau
posko-posko bencana.
2) Peran perawat dalam keadaan darurat (impact phase)
Biasanya pertolongan pertama pada korban bencana dapat dilakukan tepat
setelah keadaan stabil setelah bencana mulai stabil, masing-masing bidang
tim survey mulai melakukan pengkajian cepat terhadap kerusakan-
kerusakan, begitu juga perawat sebagai bagian dari tim kesehatan perawata
harus melakukan pengkajian serta cepat untuk memutuskan tindakan
pertolongan pertama saat dimana “seleksi” pasien untuk penanganan
(emergency) akan lebih efektif (triase).
3) Peran perawat dalam posko pengungsian dan posko bencana
 memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan cek kesehatan
sehari-hari
 tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan harian
 merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang memerlukan
penangana kesehatan di RS.
 Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian
 Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan, makanan khusus
bayi, peralatan kesehatan.
 Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan penyakit
menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga membahayakan diri
dan lingkungannya, berkoordinasi dengan perawat jiwa.
 Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada korban
(ansietas, depresi yang ditunjukan dengan seringnya menangis dan
mengisolasi diri) maupun reaksi psikosomatik (hilang nafsu makan,
insomnia, fatigue, mual-muntah, hingga kelemahan otot).
 Membantu terapi kejiwaan korban khusus nya anak-anak, dapat
dilakukan dengan memodifikasi lingkungan misal dengan terapi
bermain
 Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh para
psikolog dan psikeater
 Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai pemeriksaan
kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang tidak mengungsi.
4) Peran perawat dalam fase postimpact
 Bencana tentu memberikan bekas khusu bagi keadaan fisik, social dan
psikologis korban
 Selama masa perbaikan perawat membantu masyarakat untuk kembali
pada kehidupan normal
 Beberapa penyakit dan kondisi fisik mungkin memerlukan jangka
waktu yang lama untuk normal kembali bahkan terdapat keadaan
dimana kecacatan terjadi.

5) Domain komptensi perawat disaster


 Pengurangan resiko, pencegahan penyakit dan promosi kesehatan
 Pengembangan kebijakan dan perencanaan
 Komunikasi dan penyebaran informasi
 Pendidik dan kesiapsiagaan
 Bertindak etik, legal dan tanggung jawab.
 Memberikan pelayanan kepada masyarakat, individu dan keluarga
 Perawat psikologis
 Pelayanan kelompok rentan
 Pemulihan jangka panjang terhadap individu, keluarga dan masyarakat.
6) Komptensi : dalam pengurangan resiko dan pencehagan penyakit
 Menggunakan data epidemiologi untuk mengevaluasi resiko dan
dampak bencana
 Berkolaborasi dengan nakes lain (ormas, pemerintah, tokoh
masyarakat) untuk mengembangkan tindakan pengurangan resiko
 Berpartisipasi dalam perencanaan dalam pemenuhan pelayanan
kesehatan pada saat bencana
 Mengidentifikasi kelompok rentan dan mengkoordinir kegiatan untuk
mengurangi resiko.
C. Perawatan Psikososial dan Spiritual pada Korban Bencana
1. Dampak Bencana pada Aspek Psikososial
• Extreme peritraumatic stress reactions (reaksi stres & trauma) Gejala
ini muncul pada masa kurang dari 2 hari. Gejala ini ditandai dengan simptom-
simptom yang muncul setelah bencana, di antaranya:
a. Dissosiasi (depersonalisasi, derelisasi, amnesia).
b. Menghindar (menarik diri dari situasi sosial).
c. Kecemasan (cemas berlebihan, nervous, gugup, merasa tidak berdaya).
d. Intrusive re-experiencing (flashback, mimpi buruk).

• Acute stress disorder (ASD)


Gejala ini muncul pada masa 2 s.d 30 hari/4 minggu yang ditandai dengan:
a. Individu/korban mengalami peristiwa traumatik yang mengancam jiwa diri
sendiri maupun orang lain, atau menimbulkan kengerian luar biasa bagi
dirinya (horor).
b. Peningkatan keterbangkitan psikologis, misalnya kewaspadaan tinggi,
mudah kaget, sulit konsentrasi, sulit tidur, mudah tersinggung dan gelisah.
c. Gangguan efektifitas diri di area sosial dan pekerjaan.
• Post traumatic stress disorder (PTSD)
Gejala ini muncul di atas 30 hari/1 bulan yang ditandai dengan:
a. Gangguan muncul akibat suatu peristiwa hebat yang mengejutkan, bahkan
sering tidak terduga dan akibatnya pun tidak tertahankan oleh orang yang
mengalaminya.
b. Terulangnya bayangan mental akibat peristiwa traumatik yang pernah
dialami.
c. Ketidakberdayaan/ke-”tumpul”an emosional dan “menarik diri”.
d. Terlalu siaga/waspada yang disertai ketergugahan/keterbangkitan secara
kronis.
e. Terjadi gangguan yang menyebabkan kegagalan untuk berfungsi secara
efektif dalam kehidupan sosial (pekerjaan, rumah tangga, pendidikan, dll).
2. Pemulihan Korban Pasca Bencana

Penanganan korban stres akibat bencana memang tidak mudah.


Pengalaman traumatis karena bencana telah menggoncangkan dan melemahkan
pertahanan individu dalam menghadapi tantangan dan kesulitan hidup sehari- hari.
Apalagi kondisi trauma, kondisi fisik dan mental, aspek kepribadian masing-
masing korban tidak sama.
Masyarakat yang menjadi korban dari suatu bencana cenderung memiliki
masalah penyesuaian perilaku dan emosional. Perubahan mendadak sering
membawa dampak psikologis yang cukup berat. Beban yang dihadapi oleh para
korban tersebut dapat mengubah pandangan mereka tentang kehidupan dan
menyebabkan tekanan pada jiwa mereka.

Munculnya gejala-gejala stres, seperti rasa takut, cemas, duka cita yang
mendalam, tidak berdaya, putus asa, kehilangan kontrol, frustrasi sampai depresi
semuanya bermuara pada kemampuan individu dalam memaknai suatu musibah
secara lebih realistis. Gejala-gejala tersebut adalah reaksi wajar dari pengalaman
yang tidak wajar. Tentunya hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka
memerlukan cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang dialami
Dalam hal ini, konsep coping merupakan hal yang penting untuk
dibicarakan. Konsep coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun
perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan
suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan kata lain, coping
merupakan suatu proses di mana individu berusaha untuk menanggani dan
menguasai situasi yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya.
Beragam cara dilakukan. Namun, semua bermuara pada perubahan kognitif
maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya.
Ketika seseorang tertimpa suatu musibah, biasanya ia akan mendekat
kepada Tuhan dengan meningkatkan ibadah dan perbuatan baik lainnya.
Pengalaman tersebut menjadikan mereka semakin dekat kepada Tuhan. Idealnya,
mereka harus memaknai bencana sebagai sebuah musibah, bukan petaka atau
azab. Bencana gempa ditafsirkan sebagai peringatan keras Tuhan kepada manusia
yang telah lama berkubang dalam dosa dan dusta. Karena itu, sebagai sebuah
musibah, bencana bukan akhir segala-galanya. Bencana dapat diubah menjadi
sesuatu yang memiliki makna, bukan kesia-siaan apalagi keterkutukan.
Korban bencana yang tingkat spiritualitasnya tinggi akan menjadikan
mereka senantiasa hidup dalam nuansa keimanan kepada Tuhan. Mereka akan
memaknai aktivitasnya dalam kehidupan ini sebagai ibadah kepada Tuhan.
Mereka pun akan semakin tegas dan konsisten dalam sikap dan langkah
hidupnya serta semakin terikat dengan aturan Sang Pencipta dengan perasaan
ridha dan tenteram. Perasaan itu akan menjadikannya kuat dalam menghadapi
segala persoalan hidup. Mereka dapat mengambil hikmah atas musibah yang
menimpanya, tidak putus asa, dan menjadikan hambatan-hambatan yang ditemui
pasca-bencana sebagai tantangan untuk memulai kehidupan baru. Mereka
menganggap bahwa bencana bukan akhir dari segalanya. Bencana bisa diubah
menjadi suatu pengalaman positif yang memiliki makna.
Identitas spiritual dibutuhkan individu dalam mengkonstruksi makna atas
pengalaman hidup. Dengan adanya kepercayaan pribadi untuk memberikan
makna luar biasa kepada realitas kehidupan, agama akan mampu mengarahkan
individu untuk memberikan penerimaan tulus atas musibah yang terjadi. Kondisi
tersebut memungkinkan individu untuk memaknai kembali hidupnya dengan
membuat perencanaan atas setiap kemungkinan yang terjadi setelah mengalami
musibah untuk mencapai suatu tujuan tertentu pada masa yang datang.
Robert A. Emmons (2000) mengungkapkan bahwa spiritualitas
bermanfaat dalam upaya untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam
kehidupan. Spiritualitas dapat memprioritas-ulangkan tujuan-tujuan
(reprioritization of goals). Terlebih lagi, pribadi yang spiritual lebih mudah
menyesuaikan diri pada saat menangani kejadian-kejadian traumatis. Mereka pun
lebih bisa menemukan makna dalam krisis traumatis dan memperoleh panduan
untuk memutuskan hal-hal tepat apa saja yang harus dilakukan.
3. Terapi Psiko-Spiritual
Tuhan menciptakan manusia dengan segenap keunikan. Sejak ia dilahirkan,
manusia memiliki potensi yang meliputi sisi psikologis, sosial, dan spiritual.
Menurut Hanna Djumhana Bastaman (1995), untuk dapat memahami manusia
seutuhnya, baik dalam keadaan sehat maupun sakit, pendekatan yang digunakan
mestinya tidak lagi memandang manusia sebagai makhluk bio-psiko- sosial
(jasmani, psikologis, dan sosial), melainkan manusia sebagai makhluk bio-psiko-
sosio-spiritual (jasmani, psikologis, sosial, dan spiritual).

Secara eksplisit, Ralph L. Piedmont (2001) memandang spiritualitas sebagai


rangkaian karakteristik motivasional (motivational trait); kekuatan emosional
umum yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku
individu. Sementara itu, Susan Folkman, dkk (1999) mendefinisikan spiritualitas
sebagai suatu bagian dalam diri seseorang yang menghasilkan arti dan tujuan
hidup, yang terungkap dalam pengalaman-pengalaman transendental individu dan
hubungannya dengan ajaran-ajaran ketuhanan (universal order).

Inayat Khan dalam bukunya Dimensi Spiritual Psikologi menyebutkan


bahwa kekuatan psikis yang dimiliki oleh seseorang dapat dikembangkan melalui
olah spiritual yang dilakukan melalui beberapa tahapan.
a. Pertama, berlatih melakukan konsentrasi. Dengan konsentrasi, seseorang dapat
memiliki kekuatan dan inspirasi karena berada dalam kondisi terpusat serta
tercerahkan. Melalui konsentrasi pula, seseorang belajar dan berlatih untuk
menguasai dirinya.
b. Kedua, berlatih mengungkapkan hasil konsentrasi melalui pikiran. Artinya,
setelah seseorang mendapatkan hasil dalam konsentrasi, maka ia harus berani
mengungkapkan hasil konsentrasi tersebut dalam ungkapan- ungkapan yang
sederhana melalui kekuatan pikiran. Kekuatan pikiran ini nantinya akan
mempengaruhi kekuatan perasaan yang dimiliki. Ketahuilah, sesungguhnya
perasaan adalah ruh pemikiran, sebagaimana ucapan adalah ruh suatu tindakan.
Karena itu, konsentrasi merupakan hal penting untuk mengembangkan
kekuatan psikis seseorang.
c. Ketiga, agar dapat mengekspresikan kekuatan psikis, seseorang harus memiliki
kekuatan tubuh (kesehatan fisik). Artinya, orang yang sehat umumnya
memiliki pernafasan dan sirkulasi darah yang teratur dan lancar, sehingga memberikan
efek bagi kemampuan mengekspresikan dirinya.
d. Keempat, berlatih menjaga kestabilan dan ketenangan dalam berpikir. Artinya,
seseorang yang terbiasa mengembangkan kebiasaan-kebiasaan buruk dalam
berpikir, seperti khawatir, cemas, takut, atau ragu tentang sesuatu, akan
mengurangi daya kekuatan dalam mengekspresikan diri. Tentang hal ini, saya
teringat pada kata-kata yang diungkapkan oleh seorang pegiat pelatihan
manajemen diri di sebuah seminar yang pernah saya ikuti. Kata beliau,
“Pikiranmu adalah awal dari perkataanmu. Perkataanmu adalah awal dari
perbuatanmu. Perbuatanmu adalah awal dari kebiasaanmu. Kebiasaanmu
adalah awal dari karaktermu. Karaktermu adalah takdirmu.”
e. Kelima, berlatih mengumpulkan kekuatan psikis yang selanjutnya digunakan
untuk bertindak. Artinya, hasrat dan daya tarik kekuatan psikis yang dimiliki
seseorang harus ditunda sebelum betul-betul terkumpul dan berkembang
melimpah. Saat itulah kekuatan psikis mampu dimanfaatkan untuk menolong
diri sendiri maupun orang lain. Kekuatan psikis yang timbul dari energi
spiritual bagaikan mata air yang tercurah, melimpah secara konstan dan stabil.
Karna itu, tinggal pemanfaatannya tergantung pada kesediaan dan kemauan
seseorang untuk mengumpulkan dan mengembangkannya menjadi energi yang
bersifat menyembuhkan (terapeutik).
Sebuah penelitian bertajuk “Religion and Spirituality in Coping with Stress”
yang dipublikasikan oleh Journal of Counseling and Values beberapa tahun lalu,
menunjukkan bahwa semakin penting spiritualitas bagi seseorang, maka semakin
besar kemampuannya dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Penelitian ini
menyarankan bahwa spiritualitas bisa memiliki peran yang penting dalam
mengatasi stres. Spiritualitas bisa melibatkan sesuatu di luar sumber- sumber yang
nyata atau mencari terapi untuk mengatasi situasi-situasi yang penuh tekanan di
dalam hidup.
Dalam konteks ini, penting untuk diperhatikan bagaimana kondisi spiritualitas
para korban pasca-bencana. ada hubungan positif yang sangat signifikan antara
spiritualitas dengan proactive coping pada korban bencana . Semakin tinggi tingkat
spiritualitas, semakin baik pula proactive coping yang dilakukan oleh korban.
Konsep proactive coping diarahkan oleh sikap yang proaktif. Sikap tersebut
merupakan kepercayaan yang relatif terus menerus ada pada setiap individu. Di
mana apabila terjadi perubahan-perubahan yang berpotensi mengganggu
keseimbangan emosional individu, maka sikap tersebut mampu memperbaiki diri
dan lingkungannya
Terapi psiko-spiritual ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahapan penyadaran
diri (self awareness), tahapan pengenalan jati diri dan citra diri (self identification),
dan tahapan pengembangan diri (self development).
a) Pada fase penyadaran diri (self awareness),
para korban akan melalui proses pensucian diri dari bekasan atau hal- hal
yang menutupi keadaan jiwa melalui cara penyadaran diri, penginsyafan diri,
dan pertaubatan diri. Fase ini akan menguak hakikat persoalan, peristiwa, dan
kejadian yang dialami oleh para korban. Pun menjelaskan hikmah atau rahasia
dari setiap peristiwa tersebut.

b) Pada fase Pengenalan Diri (self identification),


Para korban akan dibimbing kepada pengenalan hakikat diri secara praktis
dan holistik dengan menanamkan nilai-nilai ketuhanan dan moral. Melalui
fase ini, individu diajak untuk menyadari potensi-potensi yang ada di dalam
dirinya. Setelah diidentifikasi, berbagai potensi itu perlu segera dimunculkan.
Kemudian mengelola potensi diri yang menonjol tersebut agar terus
berkembang dan dicoba untuk diaktualisasikan. Adalah sebuah riwayat yang
menyebutkan, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka dia pun akan mengenal
Tuhannya.”

c) Pada fase pengembangan diri (self development),


Para korban akan didampingi dan difasilitasi untuk tidak hanya sehat
fisikal, namun juga sehat mental dan spiritual. Kesehatan mental terwujud
dalam bentuk keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa,
serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi masalah yang terjadi, dan
merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya. Adapun
kesehatan spiritual mencakup penemuan makna dan tujuan dalam hidup
seseorang, mengandalkan Tuhan (The Higher Power), merasakan kedamaian,
dan merasakan hubungan dengan alam semesta.
Harapannya, terapi psiko-spiritual akan memberikan penerimaan yang
tulus atas musibah yang menimpa para korban gempa. Selain itu, terapi ini dapat
pula mengurangi kesedihan dan tekanan psikologis, serta membantu para korban
dalam menemukan makna yang positif.
D. Perawatan Untuk Populasi Rentan
1. Pengertian Kelompok Rentan

Menurut UU No 24/2007, pasal 55, ayat 2 Kelompok rentan dalam situasi


bencana adalah individu atau kelompok yang terdampak lebih berat diakibatkan
adanya kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya yang pada saat bencana
terjadi menjadi beresiko lebih besar, meliputi: bayi, balita, dan anak-anak; ibu yang
sedang mengandung / menyusui; penyandang cacat (disabilitas); dan orang lanjut
usia.

Pada dasarnya pengertian mengenai kelompok rentan tidak dijelaskan secara


rinci. Hanya saja dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 pasal 5 ayat 3 dijelaskan
bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Kelompok masyarakat yang rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir
miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights
Reference yang dikutip oleh Iskandar Husein disebutkan bahwa yang tergolong ke
dalam.

Kelompok Rentan adalah:

1) Refugees (pengungsi)
2) Internally Displaced Persons (IDPs) adalah orang-orang yang
terlantar/ pengungsi
3) National Minorities (kelompok minoritas)
4) Migrant Workers (pekerja migrant)
5) Indigenous Peoples (orang pribumi/ penduduk asli dari tempat
pemukimannya)
6) Children (anak)
7) Women (Perempuan)

Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan


adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam
menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum
bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat
didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai : (1)
mudah terkena penyakit dan, (2) peka, mudah merasa. Kelompok yang lemah ini
lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri, sehingga memerlukan bantuan
orang lain. Selain itu, kelompok rentan juga diartikan sebagai kelompok yang
mudah dipengaruhi. Pengertian kedua merupakan konsekuensi logis dari
pengertian yang pertama, karena sebagai kelompok lemah sehingga mudah
dipengaruhi.
Terdapat individu atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat yang
lebih rentan terhadap efek lanjut dari kejadian bencana yang memerlukan perhatian dan
penanganan khusus untuk mencegah kondisi yang lebih buruk pasca bencana.
Kelompok-kelompok ini diantaranya: anak-anak, perempuan, terutama ibu hamil dan
menyusui, lansia, individu-individu yang menderita penyakit kronis dan kecacatan.
Identifikasi dan pemetaan kelompok beresiko melalui pengumpulan informasi dan data
demografi akan mempermudah perencanaan tindakan kesiap-siagaan dalam
menghadapi kejadian bencana di masyarakat (Morrow, 1999; Powers & Daily, 2010;
World Health Organization (WHO) & International Council of Nursing (ICN), 2009).

a. Bayi dan Anak-anak

Bayi dan anak-anak sering menjadi korban dalam semua tipe bencana
karena ketidakmampuan mereka melarikan diri dari daerah bahaya. Ketika Pakistan
diguncang gempa Oktober 2005, sekitar 16.000 anak meninggal karena gedung
sekolah mereka runtuh. Tanah longsor yang erjadi di Leyte, Filipina, beberapa
tahun lalu mengubur lebih dari 200 anak sekolah yang tengah belajar di dalam kelas
(Indriyani 2014). Diperkirakan sekitar 70% dari semua kematian akibat bencana
adalah anak-anak baik itu pada bencana alam maupun bencana yang disebabkan
oleh manusia (Powers & Daily, 2010).

Selain menjadi korban, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua atau
wali mereka saat bencana terjadi. Diperkirakan sekitar 35.000 anak-anak Indonesia
kehilangan satu atau dua orang tua mereka saat kejadian tsunami 2004. Terdapat
juga laporan adanya perdagangan anak (Child-Trafficking) yang dialami oleh anak-
anak yang kehilangan orang tua/wali (Powers & Daily, 2010)

Pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami masalah-masalah kesehatan


jangka pendek dan jangka panjang baik fisik dan psikologis karena malnutrisi,
penyakit-penyakit infeksi, kurangnya skill bertahan hidup dan komunikasi,
ketidakmampuan melindungi diri sendiri, kurangnya kekuatan fisik, imunitas dan
kemampuan koping. Kondisi tersebut dapat mengancam nyawa jika tidak
diidentifikasi dan ditangani dengan segera oleh petugas kesehatan (Powers &
Daily, 2010; Veenema, 2007).

b. Perempuan

Diskriminasi terhadap perempuan dalam kondisi bencana telah menjadi isu


vital yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Oleh karena itu,
intervensi-intervensi kemanusiaan dalam penanganan bencana yang
memperhatikan standar internasional perlindungan hak asasi manusia perlu
direncanakan dalam semua stase penanganan bencana (Klynman, Kouppari, &
Mukhier, 2007).

Studi kasus bencana alam yang dilakukan di Bangladesh mendapati bahwa


pola kematian akibat bencana dipengaruhi oleh relasi gender yang ada, meski
tidak terlalu konsisten. Pola ini menempatkan perempuan, terlebih lagi yang
hamil, menyusui, dan lansia lebih berisiko karena keterbatasan mobilitas secara
fisik dalam situasi darurat (Enarson, 2000; Indriyani, 2014; Klynman et al, 2007).

Laporan PBB pada tahun 2001 yang berjudul "Women, Disaster


Reduction, and Sustainable Development" menyebutkan bahwa perempuan
menerima dampak bencana yang lebih berat. Dari 120 ribu orang yang meninggal
karena badai siklon di Bangladesh tahun 1991, korban dari kaum perempuan
menempati jumlah terbesar. Hal ini disebabkan karena norma kultural membatasi
akses mereka terhadap peringatan bahaya dan akses ke tempat perlindungan
(Fatimah, 2009 dikutip dalam Indriyani, 2014).

c. Lansia

Merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental, dan
ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan
kemampuan mobilitas fisik dan/atau karena mengalami masalah kesehatan kronis
(Klynman et al., 2007). Di Amerika Serikat, lebih dari 50% korban kematian
akibat dari badai Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1300 lansia yang
hidup mandiri sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat di pantai jompo
setelah bencana alam itu terjadi (Powers & Daily, 2010).
Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami
diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca
bencana. Hak-hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang
dapat memperparah masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut
(Klynman et al., 2007).

d. Individu dengan keterbatasan fisik (kecacatan) dan penyakit kronis

Menurut WHO, terdapat lebih dari 600 juta orang yang menderita
kecacatan di seluruh dunia atau mewakili sekitar 7-10% dari populasi global. 80%
diantaranya tinggal di negara berkembang. Angka ini terus meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk, angka harapan hidup dan kemajuan di
bidang kesehatan (Klynman et al., 2007).

Di Amerika Serikat, setelah kejadian banjir di Grand Forks, North Dakota


pada tahun 1997, barulah dibangun rumah perlindungan yang dapat diakses oleh
korban bencana yang menggunakan kursi roda. Pada saat terjadi bencana
kebakaran di California, tahun 2003, banyak individu-individu cacat pendengaran
tidak memahani level bahaya bencana tersebut karena kurangnya informasi yang
mereka fahami (Powers & Daily, 2010).

Orang cacat, karena keterbatasan fisik yang mereka alami berisiko sangat
rentan saat terjadi bencana, namun mereka sering mengalami diskriminasi di
masyarakat dan tidak dilibatkan pada semua level kesiapsiagaan, mitigasi, dan
intervensi penanganan bencana (Klynman et al., 2007).

2. Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Rentan


Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok- kelompok
rentan diatas, petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan
bencana perlu (Morrow, 1999 & Daily, 2010)
a. Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
kelompok-keompok rentan tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat
bantu untuk individu yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll.
b. Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan
c. Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi dan
komunikasi
d. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses
e. Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses

Adapun tindakan-tindakan spesifik untuk kelompok rentan akan diuraikan


pada pembahasan berikut (Enarson, 2000; Federal Emergency Management
Agency (FEMA), 2010; Klynman et al., 2007; Powers & Daily, 2010; Veenema
2007):

a. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada bayi dan anak
Pra bencana
1) Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan kesiagsiagaan
bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran atau gempa bumi

2) Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak pada
saat bencana
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas
kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok berisiko
Saat bencana
1) Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar yang
digunakan saat bencana
2) Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai
dengan tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan mempertimbangkan
aspek tumbuh kembangnya, misalnya menggunakan alat dan bahan khusus
untuk anak dan tidak disamakan dengan orang dewasa
3) Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian
pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua,
keluarga atau wali mereka
Pasca bencana
1) Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin
contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain dan
sekolah
2) Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
3) Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
4) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan emosional
5) Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi
evakuasi sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi, mengurangi
resiko kejadian depresi pada anak pasca bencana.
6) Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang
terpercaya serta lingkunganyang aman untuk mereka
b. Tindakan yang sesuai untuk kelompok beriiko pada ibu hamil dan menyusui

Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam kondisi kita


harus cepat dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas harus ingat bahwa
dalam merawat ibu hamil adalah sama halnya dengan menolong janinnya sehingga
meningkatkab kondisi fisik dan mental wanita hamil dapat melindungi dua
kehidupan, ibu hamil dan janinnya. Perubahan fisiologis pada ibu hamil, seperti
peningkatan sirkulasi darah, peningkatan kebutuhan oksigen, dan lain-lain
sehingga lebih rentan saat bencana dan setelah bencana (Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan
ibu hamil

1) Meningkatkan kebutuhan oksigen

Penyebab kematian janin adalah kematian ibu. Tubuh ibu hamil yang
mengalami keadaan bahaya secara fisik berfungsi untuk membantu
menyelamatkan nyawanya sendiri daripada nyawa si janin dengan
mengurangi volume perdarahan pada uterus.
2) Persiapan melahirkan yang aman

Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan informasi yang jelas dan
terpercaya dalam menentukan tempat melahirkan adalah keamanannya. Hal yang
perlu dipersiapkan adalah air bersih, alat-alat yang bersih dan steril dan obat-obatan,
yang perlu diperhatikan adalah evakuasi ibu ke tempat perawatan selanjutnya yang
lebih memadai.

Pra bencana
1) Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan penanganan
bencana
2) Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok rentan
3) Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh
anggota keluarga
4) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi
bencana

Saat bencana

1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko


kerentanan bumil dan busui, misalnya:
o Meminimalkan guncangan pada saat melakukan mobilisasi dan
transportasi karena dapat merangsang kontraksi pada ibu hamil
o Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi
2) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban bumil
dan busui

Pasca bencana

1) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan


emosional
2) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah
penampungan korban bencana untuk menyediakan jasa konseling dan
pemeriksaan kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui.

3) Melibatkan petugaspetugas konseling untuk mencegah,


mengidentifikasi, mengurangi risiko kejadian depesi pasca bencana
c. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia

Pra bencana

1) Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster plan di


rumah
2) Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan
bencana.

Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia sebelum bencana
yakni

a. Memfasilitasi rekonstruksi komunitas

Sejak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan antara


penduduk dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan setelah
itu pun berjalan secara sistematis. Sebagai hasilnya, dilaporkan bahwa
orang lansia dan penyandang cacat yang disebut kelompok rentan pada
bencana tidak pernah diabaikan, sehingga mereka bisa hidup di
pengungsian dengan tenang.

b. Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian

Diperlukan upaya untuk penyusun perencanaan pelaksanaan pelatihan


praktek dan pelatihan keperawatan supaya pemanfaatan yang realistis dan
bermanfaat akan tercapai. (Farida, Ida. 2013)

Saat bencana

1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan risiko


kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma pada saat
melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari trauma sekunder

2) Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursi roda,


tongkat, dll.

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah

a. Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan orang
lansia ke tempat yang aman. Orang lansia sulit memperoleh informasi
karena penuruman daya pendengaran dan penurunan komunikasi dengan
luar
b. Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada tanah dan
ruma sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun berkecenderungan
terlambat dibandingkan dengan generasi yang lain.
c. Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi indera orang
lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses menua, maka
skala rangsangan luar untuk memunculkan respon pun mengalami
peningkatan sensitivitas sehingga mudah terkena mati rasa

Pasca Bencana

1) Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas


dengan lansia dan mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya:

 Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan- kegiatan


sosial bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang
muda dan lansia (community awareness)
 Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator dalam
kegiatan bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency perlindungan
anak di posko perlindunga korban bencana
2) Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial yang
sehat di lokasi penampungan korban bencana
3) Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill
lansia.
4) Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri
5) Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan
kemandirian lansia.

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah bencana
adalah

a. Lingkungan dan adaptasi

Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai


ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh
fungsi fisik yang dibawa oleh setiap individu sebelum bencana dan
perubahan lingkungan hidup di tempat pengungsian. Kedua hal ini saling
mempengaruhi, sehingga mengakibtkan penurunan fungsi fisik orang
lansia yang lebih parah lagi.

b. Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder

Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak hanya


ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang lansia, tetapi
juga keadaan yang serius pada tubuh. Seperti penumpukan kelelahan
karena kurnag tidur dan kegelisahan

c. Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri

Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama membereskan


perabotannya di luar dan dalam rumah. Dibandingkan dengan generasi
muda, sering kali lansia tidak bisa memperoleh informasi mengenai
relawan, sehingga tidak bisa memanfaatkan tenaga tersebut dengan
optimal.
d. Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara
Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa
mengadaptasikan/menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan baru
(lingkungan hubungan manusia dan lingkungan fisik) dalam waktu yang
singkat
e. Mental Care
Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya
adaptasi, sehingga mudah terkena dampak secara fisik oleh stressor.
Namun demikian, orang lansia itu berkecenderungan sabar dengan diam
walaupun sudah terkena dampak dan tidak mengekspresikan perasaan
dan keluhan.

d. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan


kecacatan dan penyakit kronik

Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit kronis akan
memberi pegaruh besar pada kehidupan dan lingkungan bagi orang- orang dengan
penyakit kronik. Terutama dalam situasi yang terpaksa hidup di tempat
pengungsian dalam waktu yang lama atau terpaksa memulai kehidupan yang jauh
berbeda dengan pra-bencana, sangat sulit mengatur dan memanajemen penyakit
seperti sebelum bencana. Walaupun sudah berhasil selamat dari bencana dan
tidak terluka sekalipun manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan,
sehingga kemungkinan besar penyakit tersebut kambuh dan menjadi lebih parah
lagi ketika hidup di pengungsian atau ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi

Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya penyakit


kronis disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi orang-orang yang
memiliki resiko penyakit kronis, perubahan kehidupan yang disebabkan oleh
bencana akan menjadi pemicu meningkatnya penyakit kronis seperti diabetes
mellitus dan gangguan pernapasan

Pra bencana
1) Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan
berpenyakit kronis

2) Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan


keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll

3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan


bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban dengan
kebutuhan khusus (cacat dan penyakit kronis)

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum bencana
bagi korban dengan penyakit kronik

a. Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama pasien,


alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang merawat.
b. Membantu pasien membiasakan dii untuk mencatat mengenai isi dari obat
yang diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
c. Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai
penanganan bencana sejak masa normal

Saat bencana
1) Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat
dan berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya), alat bantu
berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll
2) Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal
precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan.

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat


yakni:

a. Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama untuk
mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam mengambil
keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi persiapan evakuasi dan
lain-lain perlu diberitahukan kepada penyandang cacat dan penolong evakuasi

b. Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat disesuaikan
dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet (email, sms, dll) dan
siaran televisi untuk tuna rungu; handphone yang dapat membaca pesan
masuk untuk tuna netra; HP yag dilengkapi dengan alat handsfree untuk tuna
daksa dan sebagainya.

Pertolongan pada penyandang cacat

o Tuna daksa
adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan mudah jatuh, serta
orang yang memiliki keterbatasan dalam perpindahan atau pemakai kursi roda
yang tidak dapat melangkah sendirian ketika berada di tempat yang jalannya
tidak rata dan menaiki tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti satu
bagian dari tubuh sehingga cara mendorongnya harus mengecek keinginan si
pemakai kursi roda dan keluarga
o Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena menyadari
suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan tentang kondisi sekitar
rumah dan tempat aman untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat yang
tidak familiar. Pada waktu menolong mereka untukpindah, peganglah siku
dan pundak, atau genggamlah secara lembut pergelangannya karena berkaitan
dengan tinggi badan mereka serta berjalanlah setengah langkah di depannya.
o Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena tidak dapat
menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada bahasa tulis,
bahasa isyarat, bahasa membaca gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi belum
tentu semuanya dapat menggunakan bahasa isyarat
o Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya karena
kurang mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan
seringkali mudah menjadi panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan
pertanyaan yang sama dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa
mereka belum mengerti sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah
dimengerti (Farida, Ida. 2013).

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada penyakit kronis saat bencana adalah

1. Pada fase akut bencana ini, bisa dikatakan bahwa suatu hal yang paling
penting adalah berkeliling antara orang-orang untuk menemukan masalah
kesehatan mereka dengan cepat dan mencegah penyakit mereka memburuk.
Perawat harus mengetahui latar belakang dan riwayat pengobatan dari orang-orang
yang berada di tempat dengan mendengarkan secara seksama dan memahami
penyakit mereka yang sedang dalam proses pengobatan, sebagai contoh diabetes dan
gangguan pernapasan. Pada fase akut yang dimulai sejak sesaat terjadinya bencana,
diperkirakan munculnya gejala khas, seperti gejala gangguan jantung, ginjal, dan
psikologis yang memburuk karena kurang kontrol kandungan gula di darah bagi
pasien diabetes, pasien penyakit gangguan pernapasan yang tidak bisa membawa
keluar peralatan tabung oksigen dari rumah.
2. Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk
memastikan apakah mereka diperiksa dokter dan minum obat dengan teratur.
Karena banyak obat-obatan komersial akan didistribusikan ke tempat
pengungsian, maka muncullah resiko bagi pasien penyakit kronis yang
mengkonsumsi beberapa obat tersebut tanpa memperhatikan kecocokan
kombinasi antara obat tersebut dan obat yang diberikan di rumah sakit.
Pasca bencana
1) Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat mengembalikan kemandirian
individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya:
kursi roda, tongkat, dll
2) Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu- individu
dengan keterbatasan fisik dan penyakit kronis
3) Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhannya.

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat:


a. Kebutuhan rumah tangga.

Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK (mandi,
cuci, kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan tempat tidur,
pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan adat.
b. Kebutuhan kesehatan
Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis (obat-obatan,
perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan kejiwaan
c. Tempat ibadah sementara
d. Keamanan wilayah
e. Kebutuhan air
f. Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti air bersih, MCK
untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi dalam masyarakat dan
pihak luar, penerangan/listrik, sekolah sementara, alat angkut/transport,
gudang penyimpanan persediaan, tempat pemukiman sementara, pos
kesehatan alat dan bahan-bahan.
e. Sumber Daya yang Tersedia Dilingkungan untuk Kebutuhan Kelompok
Beresiko.
Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap
kelompok – kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak jangka pendek
maupun jangka panjang, maka petugas kesehatan yang terlibat dalam penanganan
encana perlu mengidentifikasikan sumber daya apa saja yang tersedia di
lngkungan yang dapat digunakan saat bencana terjadi, diantaranya (Enarson, 2000;
Federal Emergency Management Agency (FEMA), 2010; Powers & Daily, 2010;
Veenema, 2007 ) :
a. Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang terus
mensosialisasikan kesiapsiagaan terhadap bencana terutama untuk area yang
rentan terhadap kejadian bencana.

b. Kesiapan rumah sakir atau fasilitas kesehatan menerima korban bencana dari
kelompok berisiko baik itu dari segi fasilitas maupun ketenagaan seperti :
beberapa jumlah incubator untuk bayi baru lahir, tempat tidur untuk pasien
anak, ventilator anak, fasilitas persalinan, fasilitas perawatan pasien dengan
penyakit kronis, dsb
c. Adanya symbol – symbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh individu-
individu dengan kecacatan tentang peringatan bencana, jalur evakuasi, lokasi
pengungsian dll.
d. Adanya system support berpa konseling dari ahli-ahli voluntir yang khusus
menangani kelompok beresiko untuk mencegah dan mengidentifikasi dini
kondisi depresi pasca bencana pada kelompok tersebut sehingga intervensi
yang sesuai dapat diberikan untuk merawat mereka.
e. Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah (NGO)
yang membantu korban bencana terutama kelompok-kelompok beresiko
seperti : agensi perlindungan anak dan perempuan, agency pelacakan keluarga
korban bencana ( tracking centre), dll.

Adanya website atau homepage bencana dan publikasi penelitian yang berisi
informasi – informasi tentang bagaimana perencanaan legawatdaruratan dan
bencana pada kelompok-kelompok dengan kebutuhan khusus dan beresiko.
E. Pemenuhan Kebutuhan Jangka Panjang
1. Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Kebutuhan dasar manusia merupakan kebutuhan utama yang harus diperhatikan
dalam mengatasi kekurangan dan keterbatasan korban bencana terutama pada
sekelompok pengungsi untuk menjaga kelangsungan hidup para pengungsi. Pemenuhan
kebutuhan dasar yang dimaksud telah diatur dalam Pasal 48 d meliputi yang bantuan
penyediaan kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan,
pelayanan psikososial, dan penampungan dan tempat hunian. Selanjutnya kebutuhan
dasar menurut UU No 24 Tahun 2007, pasal 48 huruf d, dan pasal 53, meliputi:
a. Pangan, antara lain:
1) Makanan anak, isinya: biskuit, susu, dan lainnya.
2) Kebutuhan air bersih, sanitasi, dan lainnya.
3) Makan dan minum yang cukup, dan lainnya.
4) Peralatan dapur, alat masak untuk makan, dan lainnya.

b. Sandang, antara lain:


1) Family kit, berisi: peralatan mandi, alat keluarga dan wanita lainnya.
2) Kit ware, isinya: pempers bayi, minyak telon, popok dan alat bayi lainnya.
3) Pakaian untuk anak, wanita, laki-laki, dan selimut.
4) Pelatan untuk mandi.
c. Papan, antara lain:
1) Tenda keluarga, tenda pleton, dan lainnya.
2) Barak sementara.
d. Kesehatan, antara lain:
1) Pelayanan kesehatan.
2) Obat-obatan.
3) Peralatan olah raga.
4) Tempat perawatan.
e. Kenyamanan, antara lain:
1) Disayang.
2) Diperhatikan.
3) Ditegur/disapa.
4) Kenyamanan.
f. Pendidikan, antara lain:
1) Pakaian seragam sekolah, sepatu sekolah, tas, perlatan tulis.
2) Biaya transportasi.
3) Sarana pendidikan.
4) Pelayanan pendidikan/proses pendidikan.

Kebutuhan dasar spesifik perempuan dan anak, antara lain: alat pembalut wanita,
pakaian dalam wanita, pempers untuk anak, dan lainnya.
Kemudian untuk mempermudah manajemen proses advokasi pemenuhan kebutuhan
dasar pengungsi maka harus melalui tahap- tahan yang sistematis sebagai berikut :

1. Langkah 1: Mengidentifikasi permasalahan kebutuhan dasar korban bencana alam


terutama kelompok rentan yang tidak terpenuhi dan dapat mengganggu
keberlangsungan hidupnya.
2. Langkah 2: Memahami dan mendalami masalah yang ada dan mengumpulkan bukti
yang relevan dalam rangka memperkuat pembelaan, disertai dengan dokumen
pendukung yang diperlukan.
3. Langkah 3: Mengidentifikasi target kunci yang menjadi penentu atau yang menjadi
sumber terjadinya masalah pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana alam
terutama kelompok rentan.
4. Langkah 4: Klarifikasi dan berikan batasan kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi
(bermasalah) dikaitkan dengan kewenangan yang ada pada pembela.
5. Langkah 5: Membangun komunikasi efektif dengan semua pihak yang dapat
mempengaruhi stakeholder yang terlibat.
6. Langkah 6: Rumuskan kesepakatan dan langkah yang harus dilakukan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana alam terutama kelompok rentan.
7. Langkah 7: Melaksanakan kesepakatan dan langkah yang telah dirumuskan dalam
point 6.
8. Langkah 8: Melakukan pemantauan dan evaluasi secara terus menerus terhadap
progres pemenuhan kebutuhan dasar kelompok sasaran terutama kelompok rentan.
2. Kategori, Paket Dan Standar Logistik Penanggulangan Bencana
Kategori, paket dan standar logistik penanggulangan bencana menurut peraturan
kepala badan nasional penanggulangan bencana nomor : 18 tahun 2009 tentang pedoman
standarisasi logistik penanggulangan bencana adalah sebagai berikut :
1. Kategori Logistik
Kategori bantuan logistik dalam penanggulangan bencana dapat dibedakan menjadi
beberapa kategori yaitu :
a. Pangan, yang termasuk dalam kategori ini adalah makanan pokok
(beras/sagu/jagung/ubi,dll), lauk-pauk, air bersih, bahan makanan pokok
tambahan seperti mi, susu, kopi, teh, perlengkapan makan (food ware) dan
sebagainya.
b. Sandang, yang termasuk dalam kategori ini adalah perlengkapan pribadi berupa
baju, kaos dan celana anak-anak sampai dewasa laki-laki dan perempuan, sarung,
kain batik panjang, handuk, selimut, daster, perangkat lengkap pakaian dalam,
seragam sekolah laki-laki dan perempuan (SD dan SMP), sepatu/alas kaki sekolah
dan turunannya.
c. Logistik lainnya, termasuk dalam kategori ini adalah, obat dan alat kesehatan
habis pakai, tenda gulung, tikar, matras, alat dapur keluarga, kantong tidur
(sleeping bag) dan sebagainya.
d. Paket kematian, termasuk dalam kategori ini adalah, kantong mayat, kain kafan
dan sebagainya.
2. Paket Logistik
Paket Logistik Penanggulangan Bencana adalah pengelompokkan jenis-jenis logistik
kedalam satu paket agar memudahkan pemberian bantuan logistik, terdiri atas:
a. Paket Pangan, terdiri atas: Beras 0,4 kg (bahan lain disesuaikan), lauk-pauk, mi
instan 3 (tiga) bungkus, kecap 150 ml, Air minum 4 liter, Paket pangan ini untuk
1 (satu) jiwa, untuk 1 (satu) hari, dan dapat disiapkan makanan siap saji.
b. Paket Sandang, terdiri atas:
1) Memiliki satu perangkat lengkap pakaian dengan ukuran yang tepat sesuai
jenis kelamin masing-masing, serta alas tidur yang memadai.
2) Perempuan dan anak-anak setidaknya memiliki dua perangkat lengkap
pakaian dengan ukuran yang tepat sesuai budaya, iklim dan musim.
3) Anak sekolah setidaknya memiliki 2 stel seragam sekolah lengkap termasuk
sepatu/ alas kaki dengan ukuran yang tepat sesuai jenis kelamin dan jenjang
sekolah yang diikuti.
4) Setiap orang memiliki pakaian khusus untuk beribadah sesuai agama dan
keyakinannya.
5) Setiap orang memiliki satu pasang alas kaki.
6) Bayi dan anak dibawah usia 2 tahun harus memiliki selimut dengan ukuran
(100 X 70) cm.
7) Setiap orang memiliki 250 gram sabun mandi setiap bulan.
8) Setiap orang memiliki 200 gram sabun cuci setiap bulan.
9) Setiap perempuan dan anak-anak gadis yang sudah menstruasi memiliki bahan
pembalut.
10) Setiap bayi dan anak-anak dibawah usia 2 tahun memiliki 12 popok cuci
sesuai kebiasaan di tempat yang bersangkutan.
11) Setiap orang memiliki sikat gigi dan pasta gigi sesuai kebutuhan.

3. Paket Logistik Lain terdiri atas: Paket obat dan alat kesehatan habis pakai, tenda
gulung, tikar dan matras, paket ini untuk satu Kepala Keluarga (empat jiwa).
4. Paket Kematian, terdiri atas: Kain kafan dan kelengkapannya dan kantong mayat,
paket ini untuk satu jiwa.
Adapun standar logistik penanggulangan bencana adalah sebagai berikut :
1. Tahap Kesiapsiagaan
Standar Logistik yang tersedia pada tahap kesiapsiagaan berfungsi sebagai ”buffer
stock”. Berdasarkan Provinsi dan jumlah penduduk, maka standar minimal logistik
yang tersedia dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Standar Umum
Secara umum setiap wilayah Provinsi disiagakan paket pangan, paket sandang,
paket logistik lainnya dan paket kematian. Standar minimal paket pangan yang
tersedia adalah 1% dari jumlah penduduk selama 3 (tiga) hari. Paket sandang dan
logistik lain untuk 1 (satu) Kepala keluarga. Khusus untuk paket kematian 1%
dari jumlah paket sandang.

a. Jenis Bantuan
Beberapa jenis bantuan yang diberikan kepada pengungsi menurut Peraturan Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Bencana nomor 7 tahun 2008 tentang pedoman tata
cara pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan dasar adalah sebagai berikut :

1. Bantuan Tempat Penampungan/Hunian Sementara


Bantuan penampungan/hunian sementara diberikan dalam bentuk tenda-tenda, barak,
atau gedung fasilitas umum/sosial, seperti tempat ibadah, gedung olah raga, balai
desa, dan sebagainya, yang memungkinkan untuk digunakan sebagai tempat tinggal
sementara.
Standar Minimal Bantuan :
a. Berukuran 3 (tiga) meter persegi per orang.
b. Memiliki persyaratan keamanan dan kesehatan.
c. Memiliki aksesibititas terhadap fasilitas umum.
d. Menjamin privasi antar jenis kelamin dan berbagai kelompok usia.
2. Bantuan Pangan
Bantuan pangan diberikan dalam bentuk bahan makanan, atau masakan yang
disediakan oleh dapur umum. Bantuan pangan bagi kelompok rentan diberikan dalam
bentuk khusus.
Standar Minimal Bantuan :
a. Bahan makanan berupa beras 400 gram per orang per hari atau bahan makanan
pokok lainnya dan bahan lauk pauk.
b. Makanan yang disediakan dapur umum berupa makanan siap saji sebanyak 2 kali
makan dalam sehari.
c. Besarnya bantuan makanan (poin a dan b) setara dengan 2.100 kilo kalori (kcal).
3. Bantuan Non Pangan

Bantuan non pangan diberikan kepada korban bencana dalam status pengungsi di
tempat hunian sementara pada pasca tanggap darurat, dalam bentuk :
a. Peralatan Memasak dan Makan
Masing-masing rumah tangga korban bencana dapat memperoleh bantuan peralatan
memasak dan perlengkapan untuk makan.
Standar Minimal Bantuan :
1) Tiap rumah tangga memiliki :
a) Piranti pokok berupa 1 panci besar dengan pegangan dan penutup, 1 panci
sedang dengan pegangan dan penutup, 1 baskom untuk penyiapan dan
penyajian, 1 pisau dapur, dan 2 centong kayu.
b) Sebuah ember tertutup dengan kapasitas 40 liter dan sebuah ember terbuka
dengan kapasitas 20 liter.
c) Sebuah jerigen dengan kapasitas 20 liter.
2) Tiap orang memiliki : 1 piring makan, 1 sendok makan, 1 cangkir atau gelas.
3) Pemberian bantuan botol susu bayi hanya untuk kasus-kasus tertentu.
b. Kompor, Bahan Bakar, dan Penerangan
Masing-masing rumah tangga korban bencana dapat memperoleh sarana
memasak, yaitu kompor dan pasokan bahan bakar dan lampu penerangan secara
memadai.
Standar Minimal Bantuan :
1) Kompor dan bahan bakar yang tersedia secara rutin.
2) Tersedianya tempat penyimpanan bahan bakar yang aman.
3) Alat penerangan seperti : lampu lentera, lilin, atau penerangan lain yang
memadai.
c. Alat-alat dan Perkakas
Korban bencana dapat memperoleh bantuan alat-alat dan perkakas untuk
memperbaiki hunian sementara.
Standar Minimal Bantuan :

1) Memperoleh kemudahan untuk mendapatkan bantuan alatalat dan perkakas


yang dibutuhkan, seperti martil, gergaji, cangkul, sekop, kapak, parang, dan
gerobak kayu.
2) Memperoleh pelatihan dan pembimbingan dalam penggunaan alat-alat dan
perkakas.
b. Bantuan Sandang
Secara spesifik bantuan sandang menurut Peraturan Kepala Badan Nasional

Penanggulangan Bencana nomor 7 tahun 2008 tentang pedoman tata cara


pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan dasar terdiri dari :

1. Perlengkapan Pribadi
Perlengkapan pribadi merupakan kebutuhan manusia yang sangat penting untuk
melindungi diri dari iklim, memelihara kesehatan serta mampu menjaga privasi dan
martabat.
Standar Minimal Bantuan :
a. Memiliki satu perangkat lengkap pakaian dengan ukuran yang tepat sesuai jenis
kelamin masing-masing, serta peralatan tidur yang memadai sesuai standar
kesehatan dan martabat manusia.
b. Perempuan dan anak-anak setidaknya memiliki dua perangkat lengkap pakaian
dengan ukuran yang tepat sesuai budaya, iklim, dan musim.
c. Perempuan dan anak-anak gadis setidaknya memiliki dua perangkat lengkap
pakaian dalam dengan ukuran yang tepat sesuai budaya, iklim, dan musim.
d. Anak sekolah setidaknya memiliki 2 stel seragam sekolah lengkap dengan ukuran
yang tepat sesuai jenis kelamin dan jenjang sekolah yang diikuti.
e. Anak sekolah memiliki satu pasang sepatu/alas kaki yang digunakan untuk
sekolah.
f. Setiap orang memiliki pakaian khusus untuk beribadah sesuai agama dan
keyakinannya.
g. Setiap orang memiliki satu pasang alas kaki.

h. Bayi dan anak-anak dibawah usia 2 tahun harus memiliki selimut dengan ukuran
100 X 70 cm.
i. Setiap orang yang terkena bencana harus memiliki alas tidur yang memadai, dan
terjaga kesehatannya.
j. Setiap kelompok rentan : bayi, anak usia dibawah lima tahun, anak-anak, ibu
hamil atau menyusui, penyandang cacat, orang sakit, dan orang lanjut usia,
memiliki pakaian sesuai ebutuhan masing-masing.
k. Setiap kelompok rentan, memiliki alat bantu sesuai kebutuhan, misalnya : tongkat
untuk lansia dan penyandang cacat.
2. Kebersihan Pribadi
Tiap rumah tangga memperoleh kemudahan mendapatkan bantuan sabun mandi dan
barang-barang lainnya untuk menjaga kebersihan, kesehatan, serta martabat manusia.
Standar Minimal Bantuan :
a. Setiap orang memiliki 250 gram sabun mandi setiap bulan.
b. Setiap orang memiliki 200 gram sabun cuci setiap bulan.
c. Setiap perempuan dan anak gadis yang sudah menstruasi memiliki bahan
pembalut.
d. Setiap bayi dan anak-anak di bawah usia dua tahun memiliki 12 popok cuci sesuai
kebiasaan di tempat yang bersangkutan.
e. Setiap orang memiliki sikat gigi dan pasta gigi sesuai kebutuhan.
c. Pengadaan Kebutuhan Sandang
Pengadaan kebutuhan sandang Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana nomor 6.a tahun 2011 tentang pedoman penggunaan dana siap pakai pada status
keadaan darurat bencana adalah sebagai berikut :
Penggunaan Dana Siap Pakai untuk pemenuhan kebutuhan sandang meliputi:
1. Pengadaan sandang, berupa pakaian umum dewasa dan anak, perlengkapan sandang
bayi, keperluan tidur, dan perlengkapan khusus wanita dewasa.
a. Yang dimaksud dengan pakaian umum dewasa dan anak antara lain celana,
daster, kaos, seragam dan sepatu anak sekolah, dan sejenisnya.
b. Yang dimaksud dengan sandang bayi antara lain popok, bedongan, selendang,
selimut bayi, kelambu untuk bayi dan sejenisnya
c. Yang dimaksud dengan keperluan tidur antara lain kain sarung, kain, selimut,
piyarna, dan sejenisnya.
d. Yang dimaksud dengan perkengkapan khusus wanita dewasa adalah pembalut
wanita dan sejenisnya.
2. Transportasi untuk distribusi bantuan sandang, berupa sewa sarana transportasi darat,
air, udara, dan atau pembelian BBM.
a. Sarana transportasi tersebut diperlukan untuk pengiriman bantuan sandang dari
tempat lain ke lokasi kejadian.
d. Standar Minimal Pemenuhan Kebutuhan Sandang
Standar minimal pemenuhan kebutuhan sandang menurut keputusan menteri
kesehatan republik indonesia nomor: 1357/menkes/sk/xii/2001 tentang standar minimal
penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan penanganan pengungsi menteri
kesehatan republik Indonesia.
1. Standar minimal sandang
Para pengungsi, termasuk masyarakat setempat, memiliki cukup selimut, pakaian,
dan alas kaki untuk melindungi mereka dari iklim dan menjamin martabat serta
kesejahteraan mereka.
Tolok ukur kunci :
a. Para pengungsi dan penduduk setempat memiliki akses guna memperoleh selimut
yang cukup.
b. Laki–laki dan anak–anak lelaki usia 14 tahun ke atas memiliki satu set sandang
lengkap, dengan ukuran yang cukup pas, cocok dengan budaya, cuaca, dan iklim
setempat.
c. Perempuan serta anak–anak perempuan usia 14 tahun ke atas memiliki 2 set
pakaian lengkap, termasuk pakaian dalam yang baru, dengan ukuran yang
cukup pas, cocok dengan budaya, iklim, dan cuaca setempat. Mereka memperoleh
pembalut yang cukup secara teratur setiap bulan.
d. Anak – anak usia 2 sampai 14 tahun memiliki satu set pakaian dengan ukuran
yang cukup pas, cocok dengan budaya, iklim, dan cuaca setempat, menurut jenis
kelamin masing–masing.
e. Anak –anak sampai usia 2 tahun memiliki 1 handuk badan, 1 handuk muka, 1 syal
bayi, 2 set pakaian lengkap, 6 popok dengan peniti, sabun bayi, minyak bayi, dan
3 celana plastik. Alternatifnya ini dipasok sebagi modul.
f. Perlengkapan yang sesuai dengan budaya setempat untuk memakamkan jenazah
disediakan.
g. Terdapat perencanaan untuk mengganti selimut dan pakaian dengan yang baru
sesudah masa pemakaian tiga tahun.
h. Semua orang memperoleh alas kaki bila perlu.
2. Standar kebutuhan rumah tangga
Tiap keluarga memiliki akses terhadap piranti rumah tangga, sabun untuk
menjaga kebersihan pribadi dan peralatan lain yang diperlukan.
Tolok ukur kunci :
a. Keluarga – keluarga pengungsi maupun tuan rumah memiliki piranti yang pokok:
1 panci tertutup, 1 baskom, 1 pisau dapur, 2 sendok kayu, 2 alat pengambil air
yang berkapasitas antara 1 sampai 20 liter, ditambah alat penyimpanan air
tertutup ukuran 20 liter.
b. Tiap orang memiliki : 1 piring makan, 1 sendok logam, 1 cangkir.
c. Tiap orang mendapatkan sabun ukuran 250 gram per bulan. Terdapat perencanaan
untuk mengganti alat – alat yang tahan lama dengan yang baru sesudah jangka
waktu pemakaian 3 bulan.
d. Tiap keluarga memperoleh akses terhadap alat–alat dan bahan–bahan yang sesuai
untuk kegiatan mencari nafkah, sesegera mungkin.
e. Alat–alat dan bahan–bahan yang dipasok dianggap pantas oleh penerimanya dan
mereka sudah terbiasa menggunakannya, dengan tingkat teknologis yang
setara dengan piranti mereka sebelum terlanda musibah. Barang–barang itu juga
sesuai dengan kondisi–kondisi pemanfaatannya.
3. Standar Prasarana dan perlengkapan
Tolok ukur kunci :
a. Setiap keluarga mempunyai dua alat pengambil air yang berkapasitas 10–20 liter,
dan tempat penyimpan air berkapasitas 20 liter. Alat–alat ini sebaiknya berbentuk
wadah yang berleher sempit dan/bertutup
b. Setiap orang mendapat sabun ukuran 250 gram per bulan.
c. Bila kamar mandi umum harus disediakan, maka prasarana ini harus cukup
banyak untuk semua orang yang mandi secara teratur setiap hari pada jam–jam
tertentu. Pisahkan petak–petak untuk perempuan dari yang untuk laki–laki.
d. Bila harus ada prasarana pencucian pakaian dan peralatan rumah tangga untuk
umum, satu bak air paling banyak dipakai oleh 100 orang.
e. Penyediaan pangan, air bersih dan sanitasi, pernaungan, sandang, dan
berbagai layanan kesehatan penting yang memadai
1. Selama dan setelah tahap darurat dari sebuah bencana, harus disediakan pangan, air
bersih dan sanitasi, pernaungan, sandang, dan berbagai layanan kesehatan penting
yang memadai untuk orang-orang yang terkena dampak bencana alam yang
memerlukan barang-barang dan jasa-jasa ini. Penyediaan barang-barang dan jasa- jasa
harus dilakukan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun berdasarkan ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik atau opini lainnya, asal- usul
kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran, usia, cacat fisik, atau status-status lainnya.
Kelayakan barang-barang dan jasa-jasa ini artinya bahwa mereka (i) tersedia, (ii)
mudah diakses, (iii) bisa diterima, dan (iv) bisa disesuaikan:
a. Tersedia berarti bahwa barang-barang dan jasa-jasa itu tersedia untuk populasi
yang terkena dampak dalam kuantitas dan kualitas yang memadai.
b. Mudah diakses berarti bahwa barang-barang dan jasa-jasa itu
1) Diberikan tanpa diskriminasi kepada semua orang yang membutuhkan,
2) berada dalam jangkauan yang aman dan secara fisik dapat diakses oleh
siapapun, termasuk kelompok-kelompok rentan dan terpinggirkan, dan
3) diketahui oleh para penerima bantuan;
c. Bisa diterima merujuk pada penyediaan barang-barang dan jasa-jasa yang bisa
diterima baik secara kultural maupun mempertimbangkan aspek gender dan usia;
d. Bisa disesuaikan mensyaratkan bahwa barang-barang dan jasa-jasa itu disediakan
melalui cara-cara yang cukup fleksibel untuk disesuaikan dengan perubahan
kebutuhan-kebutuhan dalam tahap-tahap berbeda yang mencakup tahap
pemberian bantuan darurat, tahap rekonstruksi, dan, dalam kasus pengungsi, tahap
kepulangan mereka. Selama tahap darurat awal, penyediaan pangan, air bersih
dan sanitasi, pernaungan, sandang, dan layanan-layanan kesehatan dianggap
memadai apabila bisa menjamin kelangsungan hidup semua orang yang
membutuhkannya.
2. Jika pangan, air bersih dan sanitasi, pernaungan, sandang, dan layanan-layanan
kesehatan tidak tersedia dalam jumlah yang mencukupi, barang-barang dan jasa- jasa
itu pertama-tama harus diberikan kepada mereka yang paling membutuhkan. Definisi
kebutuhan harus berdasarkan pada dan dinilai dari kriteria non- diskriminatif dan
obyektif.
3. Jika populasi tuan rumah, yang tidak secara langsung terkena dampak bencana-
bencana alam, juga mengalami kekurangan air bersih dan sanitasi, pernaungan,
sandang, dan layanan-layanan kesehatan yang penting seperti mereka yang terkena
dampak bencana alam, maka bantuan harus juga disediakan bagi mereka berdasarkan
kesetaraan.
4. Hak mendapat pernaungan harus dimengerti sebagai hak untuk tinggal di suatu
tempat dalam keadaan aman, damai, dan bermartabat. Kriteria-kriteria ini harus
dipakai sebagai patokan-patokan dalam perencanaan dan implementasi program-
program pernaungan, dengan mempertimbangkan keadaan-keadaan yang berbeda
selama dan setelah tahap darurat.
5. Mereka yang terkena dampak bencana alam jika diperlukan harus diberikan akses ke
bantuan psiko-sosial dan layanan-layanan sosial. Perhatian khusus harus diberikan
kepada kebutuhan kesehatan kaum perempuan, termasuk penyediaan sandang yang
layak dan pasokan barang-barang yang higenis, akses ke para penyedia barang-barang
kesehatan bagi perempuan dan layanan-layanan lainnya seperti alat-alat kesehatan
reproduksi.
6. Perhatian khusus harus diberikan kepada penyediaan layanan psiko-sosial bagi
korban-korban penganiayaan seksual dan penganiayaan-penganiayaan lainnya.
7. Perhatian khusus harus diberikan kepada pencegahan penyakit menular dan yang
menyebarkan infeksi, termasuk HIV/AIDS, yang menjangkiti populasi yang terkena
dampak, khususnya mereka yang kehilangan tempat tinggal karena bencana.
f. Penyelenggaraan Pemberian Bantuan
Penyelenggaraan pemberian bantuan menurut peraturan kepala badan nasional
penanggulangan bencana nomor 7 tahun 2008 tentang pedoman tata cara pemberian
bantuan pemenuhan kebutuhan dasar adalah sebagai berikut :
1. Pengorganisasian
Pengorganisasian atau tata cara pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan dasar
dikoordinasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) serta Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sesuai dengan tingkatan bencana, melalui
Sistem Komando Tanggap Darurat bencana. Negara donor atau NGO yang akan
memberikan bantuan kepada Indonesia harus menghubungi kantor kedutaan atau
kantor perwakilan. Selanjutnya, kedutaan atau kantor perwakilan akan berkoordinasi
dengan Departemen Luar Negeri perihal jenis bantuan.
Informasi tentang bantuan tersebut akan diteruskan kepada BNPB. Selanjutnya
berdasarkan hasil penilaian cepat atau rapid assessment, BNPB menentukan jenis dan
jumlah kebutuhan dasar yang diperlukan, untuk disampaikan kepada pihak yang akan
memberikan bantuan. Pihak imigrasi, bea cukai, Mabes POLRI dan TNI, serta
Departemen Perhubungan harus mempermudah prosedur tersebut.
a. Pemberi Bantuan dari Luar Negeri
Bantuan dari masyarakat/NGO luar negeri diberikan melalui BNPB atau BPBD
kepada korban bencana, atau langsung kepada korban bencana setelah
berkoordinasi dengan BNPB atau BPBD.
b. Pemberi dan Penyalur Bantuan
1) Tingkat pusat : BNPB/Departemen terkait.
Tugas : Menerima dan menyalurkan bantuan.
2) Tingkat Provinsi : BPBD Provinsi/Dinas tingkat Provinsi.
Tugas : Menerima dan menyalurkan bantuan.
3) Tingkat Kabupaten/Kota : BPBD Kabupaten/Kota dan Dinas tingkat
Kabupaten/Kota.
Tugas : Menerima dan menyalurkan bantuan.
c. Penerima bantuan : Korban bencana.

2. Pelaksana Pemberian Bantuan


a. Pemberian bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dilaksanakan oleh Tim Pelaksana
Pemberi Bantuan.
b. Tim Pelaksana Pemberi Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin
oleh seorang Koordinator Lapangan yang dibantu oleh :
1) Petugas Administrasi
2) Petugas Medis
3) Petugas Keamanan
4) Petugas Dapur Umum Lapangan
5) Pekerja Sosial
6) Psikolog
7) Petugas teknis sesuai kebutuhan, seperti teknisi pendirian tenda, teknisi air
bersih, teknisi sanitasi, teknisi penerangan, teknisi komunikasi.
8) Partisipan lain yang memiliki kepedulian dalam penanggulangan bencana.
c. Tim pelaksana pemberi bantuan dapat berasal dari :
1) Pemerintah daerah, desa/kelurahan
2) Instansi pemerintah

3) TNI / POLRI
4) LSM
5) PMI
6) Perguruan Tinggi
7) Anggota masyarakat lainnya
d. Tim Pelaksana Pemberi Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah
instansi, organisasi, kelompok, atau perorangan yang telah dilatih dalam
penanggulangan bencana atau memiliki ketrampilan sesuai kebutuhan.
3. Pelaksanaan Pemberian Bantuan
a. Penyusunan Daftar Penerima Bantuan
Agar bantuan yang diberikan tepat sasaran, maka perlu dilakukan identifikasi
penerima bantuan secara rinci sehingga tidak satu orangpun korban bencana yang
tertinggal dan tidak menerima bantuan. Mekanisme yang dilakukan pada kegiatan
pendaftaran penerima bantuan adalah sebagai berikut :
1) Langkah-langkah
a) Mengidentifikasi jumlah keluarga di setiap titik penampungan (Gunakan
lampiran - 1).
b) Berdasarkan identifikasi jumlah keluarga, disusun daftar penerima
bantuan secara keseluruhan sesuai dengan kelompok umur (Gunakan
lampiran - 2).
2) Teknik yang digunakan
Penyusunan daftar penerima bantuan dilakukan dengan menggunakan survey
di seluruh tempat penampungan melalui wawancara, observasi, dan studi
dokumentasi (jika ada). Keragaman penggunaan teknik dimaksudkan agar
data benar-benar valid.
3) Waktu pelaksanaan
Penyusunan daftar penerima bantuan dilakukan sesegera mungkin, agar
pengadaan bantuan dapat diupayakan dengan cepat dan pendistribusian
bantuan dapat segera dilakukan.
4) Pelaksana

Yang bertugas melakukan penyusunan daftar penerima bantuan adalah


petugas/tim pengumpul data yang telah terlatih atau memiliki pengalaman
dalam melakukan pengumpulan data. Pelaksana dapat ditetapkan oleh petugas
yang berwenang (koordinator lapangan).
b. Penilaian Kebutuhan (need assessment)
Agar bantuan yang diberikan pada korban sesuai dengan yang dibutuhkan, perlu
dilakukan penilaian dengan mempertimbangkan kelompok umur, jenis kelamin,
dan kelompok rentan lainnya. Susunan daftar penerima bantuan dapat dijadikan
data awal dalam mempertimbangkan kebutuhan penerima bantuan. Mekanisme
yang dilakukan pada kegiatan penilaian kebutuhan adalah sebagai berikut :
1) Langkah-langkah
a) Mengidentifikasi kebutuhan penerima bantuan (korban bencana).
 Mengidentifikasi kebutuhan penerima bantuan .
 Menentukan prioritas bantuan yang diperlukan.
 Menyusun daftar kebutuhan berdasarkan prioritas yang diperlukan.\

b) Mengidentifikasi sumber.
 Mengidentifikasi barang-barang/aset yang masih dimiliki
korban/penerima bantuan (Gunakan lampiran-3).
 Mengidentifikasi pihak-pihak yang mungkin dilibatkan dalam
penyediaan kebutuhan yang diperlukan penerima bantuan.
 Mengidentifikasi sumber-sumber lain di sekitar tempat
penampungan.
c) Menentukan jenis bantuan yang diperlukan penerima bantuan (korban
bencana).
 Berdasarkan identifikasi kebutuhan dan sumber, selanjutnya dapat
ditentukan jenis bantuan apa saja yang diperlukan penerima bantuan
(Gunakan lampiran - 4).
 Selain daftar jenis bantuan dan pihak yang dapat dilibatkan, perlu
disusun daftar kebutuhan yang diperlukan setiap hari, seminggu
sekali, atau sebulan sekali pada masa tanggap darurat (Gunakan
lampiran - 5).
2) Teknik yang digunakan
Kegiatan identifikasi kebutuhan dapat dilakukan dengan menggunakan teknik
wawancara, observasi dan diskusi dengan calon penerima bantuan.
Keterlibatan korban dalam kegiatan ini dimaksudkan agar bantuan yang akan
diberikan sesuai dengan prioritas kebutuhan mereka.
3) Waktu pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan identifikasi kebutuhan dapat dilakukan setelah daftar
penerima bantuan tersusun. Selanjutnya daftar penerima bantuan akan
dijadikan salah satu acuan dalam melakukan identifikasi kebutuhan.
4) Pelaksana
Pelaksanaan kegiatan ini dapat dilakukan oleh petugas/tim pengumpul
data/pendamping lapangan yang telah terlatih atau memiliki pengalaman
dalam melakukan penilaian kebutuhan.
c. Penentuan Jumlah Bantuan
Langkah berikutnya dari mekanisme pemberian bantuan adalah menentukan
jumlah bantuan yang harus didistribusikan pada seluruh penerima bantuan
(korban bencana).
1) Langkah-langkah
a) Menyiapkan daftar penerima bantuan dan daftar kebutuhan yang
diperlukan sesuai dengan prioritas.
b) Menghitung perkiraan jumlah yang harus didistribusikan pada setiap
hari/minggu/bulan (Gunakan lampiran - 6, 7, 8).
c) Menghitung jumlah bantuan tidak terduga (Gunakan lampiran - 9).
d) Menghitung jumlah keseluruhan bantuan yang diperlukan selama masa di
penampungan (Gunakan lampiran - 10)
2) Teknik yang digunakan
Penghitungan jumlah bantuan keseluruhan, dilakukan dengan teknik pengolahan
data sederhana (manual) atau jika data terlalu kompleks karena
melibatkan jumlah dan jenis bantuan yang banyak, maka pengolahan data
dapat menggunakan Statistical Package for Social Sciences (SPSS) atau
teknik pengolahan data lain yang paling memungkinkan.
3) Waktu penghitungan
Penghitungan jumlah bantuan dilakukan setelah daftar penerima bantuan dan
data jumlah setiap jenis bantuan terkumpul.
4) Pelaksana
Untuk dapat menghitung jumlah bantuan secara cermat, diperlukan orang-
orang yang memiliki pengalaman dan terlatih dalam melakukan pengolahan
data.
d. Pendistribusian Bantuan
Pendistribusian bantuan harus cepat dan tepat serta sesuai dengan kondisi
setempat, dengan melalui beberapa mekanisme:
1) Penerima bantuan pangan diidentifikasi dan menjadi sasaran berdasarkan
kebutuhan.
2) Metode distribusi dirancang melalui konsultasi dengan kelompok- kelompok
setempat, lembaga-lembaga mitra, dan melibatkan berbagai kelompok
penerima.
3) Titik-titik distribusi sedekat mungkin dengan hunian sementara penerima
untuk memastikan akses yang mudah dan aman.
4) Kualitas, jumlah jatah makanan/pangan dan rencana distribusi diinformasikan
jauh sebelumnya kepada penerima bantuan.
5) Kinerja dan efektifitas program bantuan pangan dimonitor dan dievaluasi
dengan semestinya.
e. Pencatatan dan Pelaporan
Kegiatan pencatatan dan pelaporan yang berkaitan dengan mekanisme pemberian
bantuan mulai dari setiap tahap didokumentasikan ataupun dicatat dalam suatu
dukumen sebagai bukti pertanggungjawaban sebagai berikut:
1) Pencatatan penerimaan bantuan meliputi: pemberi bantuan, jumlah, dan jenis
bantuan, serta waktu penyerahan bantuan.
2) Pencatatan penyaluran meliputi : penerima bantuan, jumlah, dan jenis
bantuan, waktu penyaluran, lokasi penyaluran bantuan, serta
penanggungjawab (contact persons).
3) Pencatatan persediaan logistik dan peralatan.
4) Pelaporan hasil penerimaan dan penyaluran bantuan disampaikan kepada
SATLAK PB/BPBD kabupaten/kota, SATKORLAK PB/BPBD provinsi atau
BNPB dengan tembusan lembaga/instansi yang memberi bantuan
BAB III
PRNUTUP

A. Kesimpulan
Indonesiamerupakan salah satu yang rawan bencana sehingga diperlukan manajemen
atau penanggulangan bencana yang tepat dan terencana. Manajemen bencana merupakan
serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Manajemen
bencana di mulai dari tahap prabecana, tahap tanggap darurat, dan tahap pascabencana.
Pertolongan pertama dalam bencana sangat diperlukan untuk meminimalkan kerugian
dan korban jiwa. Pertolongan pertama pada keadaan bencana menggunakan prinsip triage.
Serta pemenuhan kebutuhan dalam jangka panjang sangat diperlukan untuk penanggulangan
dalam bencana.

B. Saran
Masalah penanggulangan bencana tidak hanya menjadi beban pemerintah atau lembaga-
lembaga yang terkait. Tetapi juga diperlukan dukungan dari masyarakat umum. Diharapkan
masyarakat dari tiap lapisan dapat ikut berpartisipasi dalam upaya penanggulangan bencana.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.slideshare.net/mobile/sakurabakaoru/86991834-keperawatankomunitaspadabencana
http://id.scribd.com/presentation/443294565/8-PERAWATAN-TERHADAP-INDIVIDU-DAN
KOMUNITAS-YANG-TERKENA-BENCANA
http://altanwir.wordpress.com/2008/02/14/karakter-psikososial-korban-bencana/

http://dppm.uii.ac.id/dokumen/prosiding/2f_Artikel_rumiani.pdf.dppm.uii.ac.id.pdf

http://sururudin.wordpress.com/2011/04/13/penanganan-psikiatris-pada-korban-pasca-bencana/
Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar I: Keperawatan
Bencana pada Ibu dan Bayi. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.

Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar II: Keperawatan
Bencana pada Anak. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia,
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 10 Tahun 2012 Tentang
Pengelolaan Bantuan Logistik Pada Status Keadaan Darurat Bencana.

Anda mungkin juga menyukai