Anda di halaman 1dari 66

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN BENCANA

FASE BENCANA ATAU TAHAPAN BENCANA

…………………………………………………………………………………………………..

OLEH:

DESI ROFIQO KHOIROTUN NISA

(1714201148)

PRODI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERINTIS PADANG

T.A 2019/2020

1
LAPORAN PENDAHULUAN

FASE BENCANA ATAU TAHAPAN BENCANA

A. Pengertian Bencana Alam

Bencana diartikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam
dan/ atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
(BNPB, 2008).Bencana alam adalah suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang dapat
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis. Oleh karena itu, perlunya kesiapsiagaan perawat terlebih
khusus pada aspek psikologis disamping dari aspek fisik

Bencana alam atau musibah yang menimpa di suatu negara dapat saja datang secara
tiba-tiba, sehingga masyarakat yang berada di lokasi musibah bencana, tidak sempat
melakukan antisipasi pencegahan terhadap musibah tersebut. Secara geografis wilayah
Indonesia terletak di dalam jalur lingkaran bencana gempa (ring offire), dimana jalur
sepanjang 1.200 km dari Sabang sampai Papua merupakan batas-batas tiga lempengan besar
dunia yaitu; lempengan Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik akan berpotensi memicu
berbagai kejadian bencana alam yang besar. Indonesia juga berada pada tiga sistem
pegunungan (Alpine Sunda, Circum Pasifik dan Circum Australia). Indonesia memiliki lebih
500 gunung berapi di antaranya 128 statusnya masih aktif, dan merupakan negara kepulauan
karena 2/3 dari luas Indonesia adalah laut, memiliki hampir 5.000 sungai besar dan kecil dan
30% diantaranya melintasi wilayah padat penduduk (Paidi, 2012).

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang PenanggulanganBencana


menyebutkan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwayang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakatyang disebabkan, baik oleh faktor alam
dan/atau faktor nonalam maupunfaktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban
jiwa manusia,kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Definisitersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam,dan
manusia.

2
B. Tahapan Bencana

Disaster atau bencana dibagi beberapa tahap yaitu : tahap pra-disaster,tahap serangan
atau saat terjadi bencana (impact), tahap emergensi dan tahap rekonstruksi. Dari keempat
tahap ini, tahap pra disaster memegang peranyang sangat strategis.

1. Tahap Pra-Disaster
Tahap ini dikenal juga sebagai tahap pra bencana, durasi waktunyamulai saat
sebelum terjadi bencana sampai tahap serangan atau impact.Tahap ini dipandang oleh
para ahli sebagai tahap yang sangat strategis karena pada tahap pra bencana ini
masyarakat perlu dilatih tanggap terhadap bencana yang akan dijumpai nya kelak.
Latihan yang diberikan kepada petugas dan masyarakat akan sangat berdampak kepada
jumlah besarnya korban saat bencana menyerang (impact), peringatan dini dikenalkan
kepada masyarakat pada tahap pra bencana.
2. Tahap Serangan atau Terjadinya Bencana (Impact phase)
Pada tahap serangan atau terjadinya bencana (Impact phase)merupakan fase
terjadinya klimaks bencana. Inilah saat-saat dimana,manusia sekuat tenaga mencoba ntuk
bertahan hidup. Waktunya bias terjadi beberapa detik sampai beberapa minggu atau
bahkan bulan. Tahap serangan dimulai saat bencana menyerang sampai serang berhenti.
3. Tahap Emergensi
Tahap emergensi dimulai sejak berakhirnya serangan bencana yang
pertama.Tahap emergensi bisa terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan. Pada
tahap emergensi, hari-hari minggu pertama yang menolong korban bencana adalah
masyarakat awam atau awam khusus yaitu masyarakat dari lokasi dan sekitar tempat
bencana.Karakteristik korban pada tahap emergensi minggu pertama adalah :korban
dengan masalah Airway dan Breathing (jalan nafas dan pernafasan), yang sudah ditolong
dan berlanjut ke masalah lain, korban dengan luka sayat, tusuk, terhantam benda tumpul,
patah tulang ekstremitas dan tulang belakang, trauma kepala, luka bakar bila ledakan bom
atau gunung api atau ledakan pabrik kimia atau nuklir atau gas. Pada minggu kedua dan
selanjutnya, karakteristik korban mulai berbeda karena terkait dengan kekurangan makan,
sanitasi lingkungan dan air bersih, atau personal higiene. Masalah kesehatan dapat berupa
sakit lambung (maag), diare, kulit, malaria atau penyakit akibat gigitan serangga

3
4. Tahap rekonstruksi
Pada tahap ini mulai dibangun tempat tinggal, sarana umum seperti sekolah,
sarana ibadah, jalan, pasar atau tempat pertemuan warga.Pada tahap rekonstruksi ini yang
dibangun tidak saja kebutuhan fisik tetapi yang lebih utama yang perlu kita bangun
kembali adalah budaya.Kita perlu melakukan rekonstruksi budaya, melakukan reorientasi
nilai-nilai dan norma-norma hidup yang lebih baik yang lebih beradab.Dengan
melakukan rekonstruksi budaya kepada masyarakat korban bencana, kita berharap
kehidupan mereka lebih baik bila dibanding sebelum terjadi bencana.Situasi ini
seharusnya bisa dijadikan momentum oleh pemerintah untuk membangun kembali
Indonesia yang lebih baik, lebih beradab, lebihsantun, lebih cerdas hidupnya lebih
memiliki daya saing di dunia internasional.
C. Manajemen Bencana

Penanggulangan bencana atau yang sering didengar dengan manajemen bencana


(disastermanagement) adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan
pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap
darurat, dan rehabilitasi.

Konsep manajemen bencana saat ini telah mengalami pergeseran paradigma dari
pendekatan konvensional menuju pendekatan holistik(menyeluruh). Pada pendekatan
konvensial bencana itu suatu peristiwa ataukejadian yang tidak terelakkan dan korban harus
segeramendapatkan pertolongan, sehingga manajemen bencana lebih fokus padahal yang
bersifat bantuan (relief) dan tanggap darurat(emergency response). Selanjutnya paradigma
manajemen bencana berkembang ke arah pendekatan pengelolaan risiko yang lebih fokus
pada upaya-upaya pencegahan danmitigasi, baik yang bersifat struktural maupun non-
struktural di daerah-daerahyang rawan terhadap bencana, dan upaya membangun kesiap-
siagaan.

Sebagai salah satu tindak lanjut dalam menghadapi perubahan paradigma manajemen
bencana tersebut, pada bulan Januari tahun 2005 di Kobe-Jepang.Diselengkarakan
Konferensi Pengurangan Bencana Dunia (World Conferenceon Disaster Reduction) yang
menghasilkan beberapa substansi dasar dalammengurangi kerugian akibat bencana, baik

4
kerugian jiwa, sosial, ekonomi danlingkungan. Substansi dasar tersebut yang selanjutnya
merupakan lima prioritas kegiatan untuk tahun 2005‐2015 yaitu:

1. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasionalmaupun daerah yang


pelaksanaannya harus didukung olehkelembagaan yang kuat
2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencanaserta menerapkan sistem
peringatan dini.
3. Pengetahuan, inovasi dan pendidikan membangunkesadaran kesadaran keselamatan diri
dan ketahanan terhadap bencana pada semua tingkat masyarakat.
4. Mengurangi faktor‐faktor penyebab risiko bencana.
5. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatanmasyarakat agar
respons yang dilakukan lebih efektif

D. Tahapan dan Kegiatan dalam Manajemen Bencana

Dalam melaksanakan penanggulangan bencana, maka penyelenggaraan


penanggulangan bencana meliputi tahap prabencana, tahap tanggap darurat,dan tahap
pascabencana.

1. Pada Pra Bencana


Pada tahap pra bencana ini meliputi dua keadaan yaitu :
a. Situasi Tidak Terjadi Bencana Situasi tidak ada potensi bencana yaitu kondisi
suatu wilayah yang berdasarkan analisis kerawanan bencana pada periode waktu
tertentu tidak menghadapi ancaman bencana yang nyata.Penyelenggaraan
penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi :
 Perencanaan penanggulangan bencana;
 Pengurangan risiko bencana;
 Pencegahan;
 Pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
 Persyaratan analisis risiko bencana;
 Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;
 Pendidikan dan pelatihan; dan

5
 Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
b. Situasi Terdapat Potensi Bencana
Pada situasi ini perlu adanya kegiatan-kegiatan:
 Kesiapsiagaan. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatanyang dilakukan
untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui
langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
 Peringatan Dini. Peringatan dini adalah serangkaiankegiatan pemberian
peringatan sesegera mungkin kepadamasyarakat tentang kemungkinan
terjadinya bencana padasuatu tempat oleh lembaga yang berwenang
 Mitigasi Bencana. Mitigasi adalah serangkaian upaya untukmengurangi
risiko bencana, baik melalui pembangunanfisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuanmenghadapi ancaman bencana.

Kegiatan-kegiatan pra-bencana ini dilakukan secara lintas sector danmulti


stakeholder, oleh karena itu fungsi BNPB/BPBD adalah fungsikoordinasi.

2. Tahap Tanggap Darurat


Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yangdilakukan dengan
segera pada saat kejadian bencana untuk menanganidampak buruk yang ditimbulkan,
yang meliputi kegiatan penyelamatandan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan, pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan
prasarana dan sarana.Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap
darurat meliputi :
a. Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dansumber daya
dilakukan untuk mengidentifikasi cakupan lokasi bencana, jumlah korban,
kerusakan prasarana dan sarana, gangguanterhadap fungsi pelayanan umum serta
pemerintahan, dan kemampuansumber daya alam maupun buatan.
b. Penentuan status keadaan darurat bencana. Penetapan status darurat bencana
dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala bencana.
c. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, dilakukandengan
memberikan pelayanan kemanusiaan yang timbul akibat bencana yang terjadi

6
pada suatu daerah melalui upaya pencarian dan penyelamatan korban, pertolongan
darurat, dan/atau evakuasi korban.
d. Pemenuhan kebutuhan dasar, meliputi bantuan penyediaan kebutuhanair bersih
dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, pelayanan psikososial; dan
penampungan dan tempat hunian.
e. Perlindungan terhadap kelompok rentan, dilakukan denganmemberikan prioritas
kepada kelompok rentan berupa penyelamatan,evakuasi, pengamanan, pelayanan
kesehatan, dan psikososial.Kelompok rentan yang dimaksud terdiri atas bayi,
balita, anak-anak,ibu yang sedang mengandung atau menyusui;, penyandang
cacat, danorang lanjut usia.
f. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.

Tahap tindakan dalam tanggap daruratdibagi menjadi dua fase yaitu fase akut dan
fase sub akut. Fase akut, 48 jam pertama sejak bencanaterjadi disebut fase penyelamatan
dan pertolongan medis daruratsedangkan fase sub akut terjadi sejak 2-3 minggu.

3. Pasca Bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahap pasca bencanameliputi:
a. Rehabilitasi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semuaaspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yangmemadai pada wilayah pascabencana
dengan sasaran utama untuknormalisasi atau berjalannya secara wajar semua
aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
b. Rekonstruksi. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan
sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan
maupun masyarakat dengansasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan
perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban,dan bangkitnya
peran serta masyarakat dalam segala aspekkehidupan bermasyarakat pada wilayah
pascabencana.

E. Prinsip-Prinsip Penanggulangan Bencana

Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 tahun


2007, yaitu:

7
1. Cepat dan tepat. Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah bahwa dalam
penanggulangan bencana harus dilaksanakansecara cepat dan tepat sesuai dengan
tuntutan keadaan.
2. Prioritas.Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah bahwa apabila terjadi
bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan diutamakan pada
kegiatan penyelamatan jiwa manusia.
3. Koordinasi dan keterpaduan. Yang dimaksud dengan “prinsipkoordinasi” adalah bahwa
penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan saling mendukung.
Yang dimaksud dengan “prinsip keterpaduan” adalah bahwa penanggulangan bencana
dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan padakerja sama yang baik
dan saling mendukung.
4. Berdaya guna dan berhasil guna. Yang dimaksud dengan “prinsip berdaya guna” adalah
bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu,
tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah
bahwa kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna,khususnya dalam
mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidakmembuang waktu, tenaga, dan biaya yang
berlebihan.
5. Transparansi dan akuntabilitas. Yang dimaksud dengan “prinsiptransparansi” adalah
bahwa penanggulangan bencana dilakukan secaraterbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas” adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan
secara etikdan hukum.
6. Kemitraan
7. Pemberdayaan
8. Nondiskriminatif. Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi” adalah bahwa
negara dalam penanggulangan bencana tidakmemberikan perlakuan yang berbeda
terhadap jenis kelamin, suku,agama, ras, dan aliran politik apa pun.
9. Nonproletisi. Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah bahwa dilarang menyebarkan
agama atau keyakinan pada saat keadaandarurat bencana, terutama melalui pemberian
bantuan dan pelayanandarurat bencana.

8
F. Asas-asas Dalam Penanggulangan Bencana

Penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 Tahun 2007 berasaskan:

1. Kemanusiaan. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” termanifestasi dalam


penanggulangan bencana sehingga undang-undang ini memberikan perlindungan dan
penghormatan hak-hakasasi manusia, harkat dan martabat setiap warga negara dan
pendudukIndonesia secara proporsional.
2. Keadilan. Yang dimaksud dengan”asas keadilan” adalah bahwa setiapmateri muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana harusmencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga Negara tanpa kecuali.
3. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Yang dimaksud dengan “asas
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana tidak boleh berisi hal-hal yang membedakan
latar belakang,antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
4. Keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Yang dimaksud dengan “asas
keseimbangan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana
mencerminkan keseimbangan kehidupansosial dan lingkungan. Yang dimaksud dengan
“asas keselarasan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan
bencana mencerminkan keselarasan tata kehidupan dan lingkungan. Yang dimaksud
dengan ”asas keserasian” adalah bahwa materi muatanketentuan dalam penanggulangan
bencana mencerminkan keserasianlingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.
5. Ketertiban dan kepastian hukum; Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian
hukum” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus
dapat menimbulkanketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya
kepastianhukum.
6. Kebersamaan. Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah bahwa
penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas dantanggung jawab bersama
Pemerintah dan masyarakat yang dilakukansecara gotong royong.
7. Kelestarian lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan “asaskelestarian lingkungan
hidup” adalah bahwa materi muatan ketentuandalam penanggulangan bencana

9
mencerminkan kelestarian lingkungan untuk generasi sekarang dan untuk generasi yang
akan datang demikepentingan bangsa dan negara.
8. Ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang dimaksud dengan “asas ilmu pengetahuan dan
teknologi” adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi secaraoptimal sehingga mempermudah dan mempercepat
proses penanggulangan bencana, baik pada tahap pencegahan, pada saatterjadi bencana,
maupun pada tahap pascabencana

G. Pertolongan Pertama Pada Korban Bencana

Peran penting bidang kesehatan juga sangat dibutuhkan dalam penanggulangan


dampak bencana, terutama dalam penanganan korban trauma baik fisik maupun psikis.
Keberadaan tenaga kesehatan tentunya akan sangatmembantu untuk memberi pertolongan
pertama sebelum proses perujukan kerumah sakit yang memadai.

Pengelolaan penderita yang mengalami cidera parah memerlukan penilaian yang


cepat dan pengelolaan yang tepat agar sedapat mungkin bias menghindari kematian. Pada
penderita trauma, waktu sangatlah penting,karena itu diperlukan adanya suatu cara yang
mudah dilaksanakan. Proses inidikenal sebagai Initial assessment (penilaian awal) dan
Triase. Prinsip-prinsipini diterapkan dalam pelaksanaan pemberian bantuan hidup dasar pada
penderita trauma ( Basic Trauma Life Support ) maupun Advanced Trauma LifeSupport.

Triage adalah tindakan mengkategorikan pasienmenurut kebutuhan perawatan


dengan memprioritaskan mereka yang paling perlu didahulukan.Paling sering terjadi di
ruang gawat darurat, namun triage juga dapat terjadidalam pengaturan perawatan kesehatan
di tempat lain di mana pasiendiklasifikasikan menurut keparahan kondisinya. Tindakan ini
dirancang untukmemaksimalkan dan mengefisienkan penggunaan sumber daya tenaga
medisdan fasilitas yang terbatas.

Triage dapat dilakukan di lapangan maupun didalam rumah sakit. Prosestriage


meliputi tahap pra-hospital/lapangan dan hospital atau pusat pelayanan kesehatan lainnya.
Triage lapangan harus dilakukan oleh petugas pertamayang tiba ditempat kejadian dan
tindakan ini harus dinilai lang terus meneruskarena status triage pasien dapat berubah.

10
Metode yang digunakan bisa secara Mettag (triage Tagging System) atau sistem triage
penuntun lapangan Star(Simple Triage and Rapid Transportasi)

Penuntun Lapangan START berupa penilaian pasien 60 detik yang mengamati


ventilasi, perfusi, dan status mental untuk memastikan kelompokkorban seperti yang
memerlukan transport segera atau tidak, atau yang tidakmungkin diselamatkan, atau mati.
Ini memungkinkan penolong secara cepatmengidentifikasikan korban yang dengan risiko
besar akan kematian segeraatau apakah tidak memerlukan transport segera. Star merupakan
salah satumetode yang paling sederhana dan umum. Metode ini membagi penderitamenjadi
4 kategori :

1. Prioritas 1 – Merah
Merupakan prioritas utama, diberikan kepada para penderita yangkritis keadaannya
seperti gangguan jalan napas, gangguan pernapasan, perdarahan berat atau perdarahan
tidak terkontrol, penurunan status mental.
2. Prioritas 2 – Kuning
Merupakan prioritas berikutnya diberikan kepada para penderitayang mengalami keadaan
seperti luka bakar tanpa gangguan salurannapas atau kerusakan alat gerak, patah tulang
tertutup yang tidakdapat berjalan, cedera punggung
3. Prioritas 3 – Hijau
Merupakan kelompok yang paling akhir prioritasnya, dikenal jugasebagai ‘Walking
Wounded” atau orang cedera yang dapat berjalansendiri.
4. Prioritas 0 – Hitam
Diberikan kepada mereka yang meninggal atau mengalami cedera yang mematikan.

Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritisasikan tindakan ataskorban adalah


yang dijumpai pada sistim METTAG. Prioritas tindakandijelaskan sebagai :

1. Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dantidak mungkin
diresusitasi.
2. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukantindakan dan transport
segera (gagal nafas, cedera torako-abdominal,cedera kepala atau maksilo-fasial berat,
shok atau perdarahan berat,luka bakar berat).

11
3. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien dengan cedera yang dipastikantidak akan mengalami
ancaman jiwa dalam waktu dekat (cederaabdomen tanpa shok, cedera dada tanpa
gangguan respirasi, frakturamayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher,
sertaluka bakar ringan).
4. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidakmembutuhkan stabilisasi
segera (cedera jaringan lunak, fraktura dandislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial
tanpa gangguan jalannafas serta gawat darurat psikologis)

12
DAFTAR PUSTAKA

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 145/MENKES/SK/I/2007 Tentang Pedomana Penanggulangan Bencana Bidang
Kesehatan.

Presiden Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Penanggulangan Bencana.

Badan Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan


Bencana Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Penanggulangan Bencana.

13
LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN BENCANA

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD)

…………………………………………………………………………………………………..

OLEH:

DESI ROFIQO KHOIROTUN NISA

(1714201148)

PRODI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERINTIS PADANG

T.A 2019/2020

14
PTSD

A. PENGERTIAN

Posttraumatic Stress Disorder/PTSD adalah gangguan kecemasan yang dapat terjadi

setelah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatik (Nutt, 2009). Peristiwa

yang menimbulkan trauma termasuk fisik atau pelecehan seksual atau penganiayaan,

cedera, kekerasan di jalanan, kecelakaan lalulintas, trauma perang, luka bakar yang parah,

dan bencana alam lainnya (Nutt, 2009). Peristiwa ini dianggap traumatik karena dialami

oleh anak-anak dan remaja yang dirasakan kemampuannya untuk mengatasinya. Selama

peristiwa traumatik ada rekrutmen dari adaptif, stress mediating sistem syaraf (misalnya

hypothalamic adrenal pituitary dan sistem syaraf simpatik) yang pada gilirannya

menghasilkan adaptif fisiologis, emosional dan kognitif. Anak yang mengalami

Gangguan Stres Pasca Traumatik (PTSD) ini unik diantara gangguan yang sejenisnya

pada masa kanak-kanak dan remaja. Peristiwa yang menimbulkan trauma termasuk fisik

atau pelecehan seksual atau penganiayaan, cedera, kekerasan dijalan raya, trauma perang,

luka bakar yang parah, dan bencana alam.

Menurut Levers (2012) menyatakan bahwa PTSD ditandai oleh tiga set gejala inti,

yaitu reexperiencing, penghindaran, dan hyperarousal, yang bertahan selama lebih dari 1

bulan. Selama perawatan psikologis, atau dalam kinerja aktivitas sehari-hari, gejala inti

dapat menyebabkan kecemasan berlebihan, yang dapat menimbulkan hambatan dalam

mengekspresikan emosi perasaan, keyakinan, dan reaksi yang tidak bisa dilakukan secara

signifikan. Selain itu PTSD ditandai dengan sekelompok gejala yang mencakup pikiran

yang terus menerus terganggu, penghindaran, dan hyperarousal. Tanda-tanda ini dapat

ditunjukan melalui perilaku seperti impulsif, agresi, atau bahkan depresi (American

15
Psychiatric Association [APA], 2000; Davis, Inggris, Ambrose, & Petty, 2001dalam

Levers, 2012).

Klasifikasi umum jenis trauma sikologis atau fisik yang dapat menginduksi PTSD

mencakup penyalahgunaan (mental,fisik, seksual, atau lisan), bencana (kecelakaan,

bencana alam, atau terorisme), serangan kekerasan (kekerasan, perkosaan, atau baterai),

dan eksposur(obyek yang rentan terhadap resiko).Traumatis dan distres jangka pendek

kebnayakan terjadi pada anak-anak dan remaja.Ketahanan dalam menghadapi traumatic

tersebut biasanya menghasilkan penurunan baiksecara psikologis maupun gangguan

perkembangan yang normal ( APA, 2008 dalam JournalInternasionalAngie J. Smith

September 26, 2014).

B. FAKTOR PENYEBAB

Menurut Schiraldi (1999) ada tiga faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya GSPT,

yaitu :

1. Faktor kesengajaan manusia,

diantaranya :

a. Pertempuran, perang sipil, dan resistensi bertempur.

b. Pelecehan termasuk pelecehan seksual, pelecehan fisikal, pelecehan emosional.

c. Penyiksaan

d. Perbuatan kriminal seperti mutilasi, perampokan, kekerasan terhadap keluarga

e. Penyanderaan, tawanan perang, karantina, pembajakan.

f. Pelecehan pemujaan

g. Terorisme

h. Peristiwa ledakan bom

16
i. Menyaksikan pembunuhan

j. Ancaman, penyiksaan

k. Serangan penembak gelap

l. Menyaksikan reaksi ketakutan orang tua

m. Menyaksikan efek alkoholisme pada keluarga

n. Bunuh diri atau bentuk lain dari kematian mendadak; ancaman kematian, dan

o. Kerusakan atau kehilangan bagian tubuh.

2. Faktor ketidaksengajaan manusia, diantaranya :

a. Industrial

b. Kebakaran

c. Ledakan kendaraan bermotor, kapal karam

d. Bencana nuklir

e. Runtuhnya bangunan, dan

f. Kerusakan akibat operasi pada tubuh atau kehilangan bagian tubuh

3. Faktor bencana alam

a. Angin rebut

b. Angin topan

c. Tornado

d. Banjir

e. Gempa bumi

f. Salju longsor, dan

g. Tsunami.

17
Bagi sebagian orang pengalaman dramatis, tragis, mengenaskan, memilukan, pedih,

mengerikan, sebagai akibat faktor kesengajaan manusia, ketidak sengajaan manusia,

ataupun bencana alam merupakan pengalaman traumatik yang tak terlupakan.Secara

psikologis, pengalaman traumatis di atas dapat menjadikan setiap orang yang

mengalaminya menjadi sangat terpukul, meratapi nasibnya, kesedihan yang

mendalam, cemas, takut, tidak percaya dengan apa yang dialaminya, binggung tidak

tahu apa yang harus dilakukan, kehilangan jati diri, dan sebagainya. Kehidupannya

menjadi sangat kritis, tidak nyaman dan rentan terhadap munculnya berbagai bentuk

gangguan fisik maupun kejiwaan, seperti stress dan depresi.

C. DAMPAK PTSD

Wilson (Schiraldi, 1999) menjelaskan bahwa GSPT dapat berdampak kepada

kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan hubungan seseorang. Jika

tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan memberikan dampak munculnya

gangguan aspek fisik,emosi, mental, perilaku, spiritual. Symptom yang muncul pada

aspek fisik di antaranyaadalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil, badan lesu,

mual-mual, pening,, sesak napas, danpanic. Aspek emosidi antaranya iritasi, hilangnya

gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri.

Sedangka aspek mental di antaranya kebingungan, ketidakmampuan

menyelesaikan masalah, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mampu mengingat dengan

baik. Aspek perilakudi antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera makan, makan

berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar, sering menangis, tidak

mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin

bunuh diri, menggerakan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu

18
berlebihan, mengurung diri, menyalahkan orang lain. Aspek spiritualdi antaranya

adalah putus asa, hilang harapan, menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak

berdaya, meragukan keyakinan, tidak tulus, dll.

Pernyataan di atas senada dengan yang diungkapkan oleh Sara (2005) bahwa

GSPT ternyata dapat mengakibatkan sejumlah gangguan fisik, kognitif, emosi,

behavior (perilaku), dan social. Gejala gangguan fisik memiliki ciri pusing, gangguan

pencernaan, sesak napas, tidak bisa tidur, kehilangan selera makan, impotensi, dan

sejenisnya. Gangguan kognitif ditandai oleh gangguan pikiran seperti disorientasi,

mengingkari kenyataan, linglung, melamun berkepanjangan, lupa, terus menerus

dibayangi ingatan yang tak diinginkan, tidak focus dan tidak konsentrasi, tidak mampu

menganalisa dan merencanakan hal-hal yang sederhana, tidak mampu mengambil

keputusan. Pada kasus yang lebih berat mulai disertai halusinasi.

Gangguana emosi ditandai dengan gejala tertekan, depresi, mimpi buruk,

marah, merasa bersalah, malu, kesedihan yang berlarut-larut, kecemasan dan

ketakutan, menarik diri, tidak menaruh minat pada lingkungan, dan tidak mau diajak

bicara. Singkatnya, hidup dihayati sebagai kehampaan dan tidak bermakna.Gangguan

perilaku, ditandai menurunnya aktivitas fisik, seperti gerakan tubuh yang minimal.

Misal, duduk berjam-jam dan perilaku repetif (berulang-ulang). Sementara gangguan

sosial, yakni memisahkan diri dari lingkungan, menyepi, agresif, prasangka, konflik

dengan lingkungan, merasa ditolak atau sebaliknya sangat dominan.

D. MODEL INTERVENSI

Sesuai dengan keragaman dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi

penderita GSPT, maka dalam rangka penyembuhan hakekatnya membutuhkan model

19
intervensi yang eklektik, baik intervensi medis, psikologis, sosial, dan bila dipandang

perlu mungkin membutuhkan intervensi politis.

Namun demikian, dalam implementasinya sangat tergantung kepada karakteristik,

permasalahan, dan kebutuhan masing-masing kasus. Sementara itu, mengingat tingginya

tingkat kekritisan, luasnya cakupan dan dalamnya masalah yang dihadapi oleh individu

yang mengalami GSPT, Fairbank (2004, dalam Rusmana, dkk., 2007) mengusulkan

model intervensi yang komprhensif dan mendalam, yang meliputi empat tahap, yakni

tahap Societal, Community, Family, dan Individual. Cakupan intervensi pada tahap

societalberupa kebijakan umum dan keamanan umum; Cakupan intervensi pada tahap

masyarakat berupa pendidikan untuk masyarakatdan pemeliharaan kesehatan bagi

keluarga.Pada tahap keluarga cakupan intervensinya meliputi jejaring keluarga kelompok

penolong diri sendiri dan kesehatan mental. Sedangkan pada tahap individu cakupan

intervensinya meliputi pengobatan tradisional dan perawatan kesehatan mental.

Sedangkan menurut Baron, Jensen dan De Jong (2000) meliputi sembilan tahapan

intervensi, yakni:

1. intervensi survival,

2. intervensi politik;

3. Intervensi pemberdayaan masyarakat,

4. peningkatan kapasitas dan pelatihan;

5. keluarga dan peningkatan jejaring;

6. kelompok penolong diri sendiri;

7. konseling;

8. psikoterapi; dan

20
9. treatmen psikiatrik. Dalam kaitana dengan konseling menekankan pentingnya

konseling krisis, yang merupakan intervensi suportif bagi individu untuk

mengekpresikan perasaan tentang peristiwa trauma tanpa bersifat menghukum atau

menilai(Nandang Rusmana, dkk. , 2007).

Intervensi dalam Konseling

Dalam rangka penyembuhan penderita GSPT, hakekatnyamemerlukan pendekatan

atau model intervensi yang eklektik. Khusus dalam kaitan dengan konseling, intervensi

atau tretmen yang diberikan hendaknya memfokuskan kepada masalah-masalah

psikososial yang dihadapi penderita GSTP sebagai klien, serta melalui penggunaan

metode atau teknik yang bervariasi. Secara umum, dalam konseling traumatik atau

konseling krisis telah menawarkan berbagai metode intervensi yang dianggap tepat yang

dapat dipilih dan digunakan oleh konselor.

Beberapa metode yang secara umum dikenal dan diparktekkan di lapangan dalam

konseling traumatik, diantaranya terapi tingkah laku, art therapy,relaksasi,desentisisasi

sistematis, cognitive therapy, group support therapy, dan expressive therapy, play

tehrapy, reality therapy, defusing, dan debriefing, dan coping

stress.Metodedefusingmerupakan proses talking outatau proses pelepasan beban /

tekanan-tekanan pikiran dan emosional melalui situasi informal, sedang metode

debriefingadalah proses membuka atau menata ulang fakta, pikiran, dan perasaan para

korban sehingga dapat memahami dan menerimanya sebagai kenyataan yang harus

dihadapi serta mencari cara-cara mensikapinya secara tepat (Fahrudin, 2005).

21
Dalam kaitan dengan coping stress, Pitaloka (2005) menjelaskan bahwa dalam

proses konseling psikologis terhadap penderita GSPT memerlukan penekanan kepada

coping stres. Sedangkan agar dalam coping stressdapat lebih efektif, hendaknya

memasukkan agama dan spiritual atau religi, mengingat keduanya dapat memainkan

peranan yang sangat penting dalamupaya mengatasi stress.

Dengan mengutip pendapat Spika, Staver, dan Kirkpatrick (1985) dijelaskan lebih

lanjut bahwa tiga peran religi dalam coping process yaitu:

1. menawarkan makna kehidupan,

2. memberikan sense of controlterbesar dalam mengatasi situasi, dan

3. membangun self esteem.Adapun dua sumber coping yang biasa dilakukan adalah

prayer dan faith in God (berdoa dan berserah diri pada Tuhan).

Dalam kaitan dengan konseling krisis, Wright (1985) mengajukan delapan

langkah dasar yang harus diikuti dalam menolong seseorang yang sedang menghadapi

krisis. Langkah-langkah tersebut dapat diterapkan terhadap bermacam-macam jenis

krisis, namun harus peka dan luwes dalam penerapannya. Langkah-langkah tersebut,

meliputi :

1. Intervensi langsung, yaitu dengan memberikan pertolongan secepatnya melalui

dorongan semangat, dengan maksud untuk mengurangi kegelisahan, rasa bersalah,

dan ketegangan serta untuk memberikan dukungan emosi. Serta dalam mengatasi

rasa tak berdaya dan keputusasaannya.

22
2. Mengambil tindakan, yaitu dengan menggerakkan agar segera berperilaku yang

positif, sambil menemukan berbagai informasi yang dibutuhkan tentang

permasalahan yang dihadapi.

3. Mencegah suatu kehancuran, yaitu mencegah kehancuran dan berupaya

memulihkanmelalui sasaran-sasaran jangka pendek dan terbatas.

4. Membangun harapan dan kemungkinan masa depan yang positif. Jangan

memberikan harapan palsu dan dorong untuk menyelesaikan masalahnyaagar

kembali seimbang

5. Memberi dukungan, yaitu dengan membangun sistem dukungan baik melalui

komunikasi, doa, peran keluarga, dsb.

6. Pemecahan masalah yang terfokus, yaitu dengan membantu merencanakan dan

melaksanakan cara-cara untuk menyelesaikansatu masalah.

7. Membangun harga diri, dengan memberi harapan-harapan positif kepada klien dan

membantu pemecahannya secara bersama-sama.

8. Menanamkan rasa percaya diri, yaitu dengan mencegah rasa ketergantunagn klien

kepada konselor.

Sementara itu, mengingat kompleksitas permasalahan yang dihadapi GSPT, dalam

pelaksanaan konseling, Fairbank (2004, dalam Rusmana, dkk., 2007) menekankan

pentingnya kreativitas konselor untuk mengembangkan model intervensi dengan

memadukan antara indigenous culturdengan modern.Hal berarti ini menekankan

pentingnya konseling yang berbasis budaya bagi para individu yang mengalami GSPT.

23
DAFTAR PUSTAKA

Fahrudin, Andi. 2005. Dampak Psikososial Pasca Bencana : Makalah tidak diterbitkan,

Bandung : STKS Bandung.

Hasanuddin. 2004. Gangguan Jiwa Setelah Bencana Tsunami, Harian Media Indonesia, Senin,

10 Januari 2005.

Pitaloka, Ardaningtyas. 2005. Teror Management Theory : Religi dan Spiritualitas sebagai

Coping Stres dalam Penanganan Psikologis Korban Tsunami.

http://www.Kompascybermedia.com. Rabu, 19 Januari 2005. Tersedia.Membantu Korban

Trauma Pasca-tsunami. Harian Kompas, edisi 9 Januari 2005.

Rusmana, Nandang, dkk. . 2007. Konseling Pasca Trauma Melalui Terapi Permainan

Kelompok : Laporan Penelitian Hibang Bersaing, Bandung : FIP UPI.

24
LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN BENCANA

INITIAL ASSESSMENT

…………………………………………………………………………………………………..

OLEH:

DESI ROFIQO KHOIROTUN NISA

(1714201148)

PRODI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERINTIS PADANG

T.A 2019/2020

25
INITIAL ASSESMENT

A. PENGERTIAN
Initial Assessment adalah langkah2 yang dipakai untuk menilai hal2 yang mengancam
nyawa pasien pada kasus trauma serta bagaimana untuk menanganinya dengan benar &
cepat.
B. TUJUAN
Tujuannya mencegah semakin parahnya penyakit dan menghindari kematian korban
dengan penilaian yang cepat dan tindakan yang tepat.
C. INITIAL ASSESMENT
Pengelolaan penderita yang terluka parah memerlikan penilaian yang cepat dan
pengelolaan yang tepat guna menghindari kematian. Pada penderita trauma, waktu sangat
penting, karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini
dikenal sebagai Initial assesment (penilaian awal) dan meliputi :
1. Persiapan
Persiapan penderita sebaiknya berlangsung dalam 2 fase yang
berbeda.Fase pertama adalah fase pra-rumah sakit (prehospital), dimana seluruh
penanganan penderita sebaiknya berlangsung dalam koordinasi dengan dokter si
rumah sakit (hospital) dimana dilakukan persiapan untuk menerima penderita,
sehingga dapat dilakukan resusitasi dalam waktu cepat.
a. Fase Pra-Rumah Sakit
Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas
lapangan akan menguntungkan penderita. Sebaiknya rumah sakit sudah
diberitahukan sebelum penderita mulaidiangkut dari tempat
kejadian.Pemberitahuan ini memungkinkan rumah sakit mempersiapkan Tim
Trauma sehingga sudah siap saat penderita sampai di rumah sakit.Pada fase
pra-rumah sakit titik berat diberikan pada penjagaan airway, kontrol
perdarahan dan syok, imobilisasi penderita dan segera ke rumah sakit terdekat
yang fasilitas cocok dan sebaiknya ke suatu pusat trauma yang diakui.
Waktu di tempat kejadian (scene time) yang lama harus dihindari.Yang
juga penting adalah mengumpulkan keterangan yang nanti dibutuhkan di

26
rumah sakit seperti waktu kejadian, sebab kejadian dan riwayat
penderita.Mekanisme kejadian dapat menerangkan jenis dan berat perlukaan.
b. Fase Rumah Sakit
Harus dilakukan perencanaan sebelum penderita tiba.Sebaiknya ada
ruangan/daerah khusus resusitasi. Untuk pasien trauma, perlengkapan airway
(laringoskop, endotrakeal tube,dsb) sudah dipersiapkan, dicoba, dan
diletakkan di tempat yang mudah terjangkau. Cairan kristaloid (misalnya RL)
yang sudah dihangatkan disiapkan dan diletakkan pada tempat yang mudah
dicapai.Perlengkapan monitoring yang diperlukan sudah dipersiapkan.Suatu
sistem pemanggilan tenaga medik tambahan sudah harus ada, demikian juga
tenaga laboratorium dan radiologi. Juga dipersiapkan formulir rujukan ke
pusat trauma, serta proses rujukannya.
2. Triase
Triase adalah cara pemilahan penderita beedasarkan kebutuhan terapi dan
sumber daya yang tersedia. Terapi berdasarkan pada prioritas ABC (Airway
dengan kontrol vertebra servikal), Breathing dan Circulation dengan kontrol
perdarahan. Triase juga berlaku untuk pemilahan penderita di lapangan dan rumah
sakit yang akan di rujuk. Merupakan tanggung jawab bagi tenaga pra-rumah sakit
untuk mengirim ke rumah sakit yang sesuai. Triage adalah pengelompokan
korban/pasien berdasarkan berat ringannya trauma atau penyakit serta kecepatan
penanganan atau pemindahan. Tujuan triage adalah Dapat menangani
korban/pasien dengan cepat, cermat dan tepat sesuai dengan sumber daya yang
ada.
Dua jenis keadaan triase dapat terjadi :
a. Multiple Casualties
Musibah masal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak
melampaui kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini penderita dalam
masalah yang mengancam jiwa dan multitrauma akan dilayani trlebih dahulu.
Penggunaan protokol di pra-rumah sakit dan pengarahan oleh tenaga medis
pada petugas paramedik akan memperbaiki pelayanan sudah mulai saat awal.

27
Penilaian akan pelayanan yang telah diberikan secara multidisiplin mutlak
diperlukan.
b. Mass casualties
Musibah masal dengan jumlah penderita dan beratnya luka melampaui
kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini yang akan dilayani terlebih
dahulu adalah penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar serta
membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga paling sedikit.

Macam-macam korban :

a. Korban masal : lebih dari 1 orang harus ditolong lebih dari 1 penolong, bukan
Bencana.
b. Korban bencana : korban lebih besar dari korban masal

Prinsip-prinsip triage :

“Time Saving is Life Saving (respon time diusahakan sependek mungkin), The
Right Patient, to The Right Place at The Right Time serta melakukan yang terbaik
untuk jumlah terbanyak” dengan seleksi korban berdasarkan :

 Ancaman jiwa mematikan dalam hitungan menit


 Dapat mati dalam hitungan jam
 Trauma ringan
 Sudah meninggal

Prioritas : penentuan mana yang harus didahulukan mengenai penanganan dan


pemindahan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul.

Tingkat prioritas :

a. Prioritas I (prioritas tertinggi) warna merah untuk berat dan biru untuk sangat
berat. Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu resusitasi dan tindakan bedah
segera, mempunyai kesempatan hidup yang besar.Penanganan dan
pemindahan bersifat segera yaitu gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan
sirkulasi.Contohnya sumbatan jalan nafas, tension pneumothorak, syok

28
hemoragik, luka terpotong pada tangan dan kaki, combutio (luka bakar)
tingkat II dan III > 25%.
b. Prioritas II (medium) warna kuning. Potensial mengancam nyawa atau
fungsi vital bila tidak segera ditangani dalam jangka waktu singkat.
Penanganan dan pemindahan bersifat jangan terlambat. Contoh: patah tulang
besar, combutio (luka bakar) tingkat II dan III < 25 %, trauma
thorak/abdomen, laserasi luas, trauma bola mata.
c. Prioritas III(rendah) warna hijau. Perlu penanganan seperti pelayanan biasa,
tidak perlu segera. Penanganan dan pemindahan bersifat terakhir. Contoh luka
superficial, luka-luka ringan
d. Prioritas 0 warna Hitam. Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka sangat
parah. Hanya perlu terapi suportif. Contoh henti jantung kritis, trauma kepala
kritis.

Penilaian dalam triage :

a. Primary survey (A,B,C) untuk menghasilkan prioritas I dan seterusnya


b. Secondary survey (Head to Toe) untuk menghasilkan prioritas I, II, III,0 dan
selanjutnya
c. Monitoring korban akan kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan pada
A, B, C, derajat kesadaran dan tanda vital lainnya.
d. Perubahan prioritas karena perubahan kondisi korban
3. Primary survey (ABCDE)
a. Airway
dengan kontrol servikal
 Penilaian
o Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
o Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
 Pengelolaan airway
o Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol
servikal in-line immobilisasi

29
o Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan
alat yang rigid
o Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
o Pasang airway definitif sesuai indikasi
o Fiksasi leher
o Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada
setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan
kesadaran atau perlukaan diatas klavikula.
 Evaluasi
b. Breathing
dan Ventilasi-Oksigenasi
 Penilaian
o Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan
kontrol servikal in-line immobilisasi
o Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
o Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali
kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks
simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-
tanda cedera lainnya.
o Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
o Auskultasi thoraks bilateral
 Pengelolaan
o Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-
12 liter/menit)
o Ventilasi dengan Bag Valve Mask
o Menghilangkan tension pneumothorax
o Menutup open pneumothorax
o Memasang pulse oxymeter
 Evaluasi
c. Circulation dengan kontrol perdarahan

30
 Penilaian
o Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
o Mengetahui sumber perdarahan internal
o Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus
paradoksus. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar
merupakan pertanda diperlukannya resusitasi masif segera.
o Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
o Periksa tekanan darah
 Pengelolaan
o Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
o Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah
serta konsultasi pada ahli bedah.
o Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil
sampel darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes
kehamilan (pada wanita usia subur), golongan darah dan cross-
match serta Analisis Gas Darah (BGA).
o Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan
cepat.
o Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada
pasien-pasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa.
o Cegah hipotermia
 Evaluasi
d. Disability
 Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
 Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-
tanda lateralisasi
 Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
e. Exposure/Environment
 Buka pakaian penderita

31
 Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang
cukup hangat.
4. Resusitasi
 Re-evaluasi ABCDE
 Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa
dan 20 mL/kg pada anak dengan tetesan cepat
 Evaluasi resusitasi cairan
o Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal
o Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan produksi urin
) serta awasi tanda-tanda syok
 Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian
cairan awal.
o Respon cepat
 Pemberian cairan diperlambat sampai
kecepatan maintenance
 Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau
pemberian darah
 Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
 Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif
mungkin masih diperlukan
o Respon Sementara
 Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan
pemberian darah
 Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan
operatif
 Konsultasikan pada ahli bedah
o Tanpa respon
 Konsultasikan pada ahli bedah
 Perlu tindakan operatif sangat segera
 Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti
tamponade jantung atau kontusio miokard
32
 Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
a. Pasang EKG
 Bila ditemukan bradikardi, konduksi aberan atau ekstrasistole
harus dicurigai adanya hipoksia dan hipoperfusi
 Hipotermia dapat menampakkan gambaran disritmia
b. Pasang kateter uretra
 Kecurigaan adanya ruptur uretra merupakan kontra indikasi
pemasangan kateter urine
 Bila terdapat kesulitan pemasangan kateter karena striktur uretra
atau BPH, jangan dilakukan manipulasi atau instrumentasi, segera
konsultasikan pada bagian bedah
 Ambil sampel urine untuk pemeriksaan urine rutine
 Produksi urine merupakan indikator yang peka untuk menilai
perfusi ginjal dan hemodinamik penderita
 Output urine normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa,
1 ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam pada bayi
c. Pasang kateter lambung
 Bila terdapat kecurigaan fraktur basis kranii atau trauma
maksilofacial yang merupakan kontraindikasi pemasangan
nasogastric tube, gunakan orogastric tube.
 Selalu tersedia alat suction selama pemasangan kateter lambung,
karena bahaya aspirasi bila pasien muntah.
d. Monitoring hasil resusitasi dan laboratorium
 Monitoring didasarkan atas penemuan klinis; nadi, laju nafas,
tekanan darah, Analisis Gas Darah (BGA), suhu tubuh dan output
urine dan pemeriksaan laboratorium darah.
e. Pemeriksaan foto rotgen dan atau FAST
 Segera lakukan foto thoraks, pelvis dan servikal lateral,
menggunakan mesin x-ray portabel dan atau FAST bila terdapat
kecurigaan trauma abdomen.

33
 Pemeriksaan foto rotgen harus selektif dan jangan sampai
menghambat proses resusitasi. Bila belum memungkinkan, dapat
dilakukan pada saat secondary survey.
 Pada wanita hamil, foto rotgen yang mutlak diperlukan, tetap harus
dilakukan.
6. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis
a. Anamnesis
Anamnesis yang harus diingat :
 A : Alergi
 M : Mekanisme dan sebab trauma
 M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)
 P : Past illness
 L : Last meal (makan minum terakhir)
 E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian
perlukaan
b. Pemeriksaan fisik
7. Tambahan terhadap secondary survey
a. Sebelum dilakukan pemeriksaan tambahan, periksa keadaan penderita
dengan teliti dan pastikan hemodinamik stabil
b. Selalu siapkan perlengkapan resusitasi di dekat penderita karena
pemeriksaan tambahan biasanya dilakukan di ruangan lain
c. Pemeriksaan tambahan yang biasanya diperlukan :
 CT scan kepala, abdomen
 USG abdomen, transoesofagus
 Foto ekstremitas
 Foto vertebra tambahan
 Urografi dengan kontras
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan
a. Penilaian ulang terhadap penderita, dengan mencatat dan melaporkan
setiap perubahan pada kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi.

34
b. Monitoring tanda-tanda vital dan jumlah urin
c. Pemakaian analgetik yang tepat diperbolehkan

9. Penanganan definitive
TRANSFER KE PUSAT RUJUKAN YANG LEBIH BAIK

a. Pasien dirujuk apabila rumah sakit tidak mampu menangani pasien karena
keterbatasan SDM maupun fasilitas serta keadaan pasien yang masih
memungkinkan untuk dirujuk.
b. Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan dan kebutuhan penderita
selama perjalanan serta komunikasikan dengan dokter pada pusat rujukan
yang dituju.

35
Daftar pustaka

Tim Pengajar BTCLS.2018. Modul Basic Trauma Cardiac Life Support. Jakarta: Gadar
Medik Indonesia.
https://kampus-kedokteran.blogspot.com/2011/10/initial-assessment.html

36
LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN BENCANA

PEMBIDAIAN & TRANSPORTASI

…………………………………………………………………………………………………..

OLEH:

DESI ROFIQO KHOIROTUN NISA

(1714201148)

DOSEN PEMBIMBING:

Ns. ALDO YULIANO. MM.

PRODI ILMU KEPERAWATAN

37
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERINTIS PADANG

T.A 2019/2020

PEMBIDAIAN

A. PENGERTIAN

Pembidaian adalah tindakan memfixasi/imobilisasi bagian tubuh yang mengalami cedera, dengan
menggunakan benda yang bersifat kaku maupun fleksibel sebagai fixator/imobilisator.

Tipe-tipe bidai:

1. Bidai Rigid adalah bidai yang terbuat dari kayu, plastik, alumunium atau bahan lainyang
keras.
2. Bidai Soft adalah bidai dari bantal, selimut, handuk atau pembalut ataubahan yang lunak
lainnya.
3. Bidai Traksi
Digunakan untuk imobilisasi ujung tulang yang patah dari fraktur femur sehingga dapat
terhindari kerusakan yang lebih lanjut. Traksi merupakan aplikasi dari kekuatan yang
cukup untuk menstabilkan patah tulang yang patah, traksi bukanlah meregangkan atau
menggerakkan tulang yang patah sampai ujung-ujung tulang yang patah menyatu.
B. TUJUAN PEMBIDAIAN:
1. mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri;
2. mencegah gerakan patah tulang yang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak
sekitarnya seperti: pembuluh darah, otot, saraf dan lainnya.
C. INDIKASI PEMBIDAIAN

Pembidaian sebaiknya dilakukan jika didapatkan :

1. Adanya fraktur, baik terbuka maupun tertutup


2. Adanya kecurigaan terjadinya fraktur
3. Dislokasi persendian

Kecurigaan adanya fraktur bisa dimunculkan jika pada salah satu bagian tubuh ditemukan :

1. Pasien merasakan tulangnyaterasa patah atau mendengar bunyi “krek”.

38
2. Ekstremitas yang cedera lebih pendek dari yang sehat, atau mengalami angulasi abnormal
3. Pasien tidak mampu menggerakkan ekstremitas yang cedera
4. Posisi ekstremitas yang abnormal
5. Memar
6. Bengkak
7. Perubahan bentuk
8. Nyeri gerak aktif dan pasif
9. Nyeri sumbu
10. Pasien merasakan sensasi seperti jeruji ketika menggerakkan ekstremitas yang
mengalami cedera (Krepitasi)
11. Fungsiolesa
12. Perdarahan bisa ada atau tidak
13. Hilangnya denyut nadi atau rasa raba pada distal lokasi cedera
14. Kram ototdi sekitar lokasi cedera

Catatan: Jika mengalami keraguan apakah terjadi fraktur atau tidak, maka perlakukanlah pasien
seperti orang yang mengalami fraktur.

D. KONTRA INDIKASI PEMBIDAIAN:

Pembidaian baru boleh dilaksanakan jika kondisi saluran napas, pernapasan dan sirkulasi
penderita sudah distabilisasi. Jika terdapat gangguan sirkulasi dan atau gangguan persyarafan
yang berat pada distal daerah fraktur, jika ada resiko memperlambat sampainya penderita ke
rumah sakit, sebaiknya pembidaian tidak perlu dilakukan.

E. PRINSIP PEMBIDAIAN :
1. Lakukan pembidaian pada bagian badan yang mengalamai cedera
2. Lakukan juga pembidaian pada kecurigaan patah tulang, jadi tidak perlu harus dipastikan
dulu ada atau tidaknya patah tulang
3. Melewati minimal 2 sendi yang berbatasan.
F. HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN SAAT PEMBIDAIAN:
1. Bebaskan area pembidaian dari benda-benda (baju, cincin, jam, gelang dll)

39
2. Periksalah denyut nadi distal dan fungsi saraf sebelum dan sesudah pembidaian dan
perhatikan warna kulit ditalnya.
3. Pembidaian minimal meliputi 2 sendi (proksimal dan distal daerah fraktur). Sendi yang
masuk dalam pembidaian adalah sendi di bawah dan di atas patah tulang. Sebagai contoh,
jika tungkai bawah mengalami fraktur, maka bidai harus bisa mengimobilisasi
pergelangan kaki maupun lutut.
4. Luruskan posisi korban dan posisi anggota gerak yang mengalami fraktur maupun
dislokasi secara perlahan dan berhati-hati dan jangan sampai memaksakangerakan. Jika
terjadi kesulitan dalam meluruskan, maka pembidaian dilakukan apa adanya. Pada trauma
sekitar sendi, pembidaian harus mencakup tulang di bagian proksimal dan distal.
5. Fraktur pada tulang panjang pada tungkai dan lengan, dapat terbantu dengan traksi atau
tarikan ringan ketika pembidaian. Jika saat dilakukan tarikan terdapat tahanan yang kuat,
krepitasi, atau pasien merasakan peningkatan rasa nyeri, jangan mencoba untuk
melakukan traksi. Jika anda telah berhasil melakukan traksi, jangan melepaskan tarikan
sebelum ekstremitas yang mengalami fraktur telah terfiksasi dengan baik, karena kedua
ujung tulang yang terpisah dapat menyebabkan tambahan kerusakan jaringan dan
beresiko untuk mencederai saraf atau pembuluh darah.
6. Beri bantalan empuk dan penopang pada anggota gerak yang dibidai terutama pada
daerah tubuh yang keras/peka(lutut,siku,ketiak,dll), yang sekaligus untuk mengisi sela
antara ekstremitas dengan bidai.
7. Ikatlah bidai di atas dan bawah luka/fraktur. Jangan mengikat tepat di bagian yang
luka/fraktur. Sebaiknya dilakukan sebanyak 4 ikatan pada bidai, yakni pada beberapa titik
yang berada pada posisi :
a. superior dari sendi proximal dari lokasi fraktur,
b. diantara lokasi fraktur dan lokasi ikatan pertama,
c. inferior dari sendi distal dari lokasi fraktur ,
d. diantara lokasi fraktur dan lokasi ikatan ketiga (point c)
8. Pastikan bahwa bidai telah rapat, namun jangan terlalu ketat sehingga mengganggu
sirkulasi pada ekstremitas yang dibidai.
9. Pastikan bahwa pemasangan bidai telah mampu mencegah pergerakan atau peregangan
pada bagian yang cedera.Pastikan bahwa ujung bidai tidak menekan ketiak atau pantat.

40
10. Jika mungkin naikkan anggota gerak tersebut setelah dibidai;
11. Harus selalu diingat bahwa improvisasi seringkali diperlukan dalam tindakan
pembidaian. Sebagai contoh, jika tidak ditemukan bahan yang sesuai untuk membidai,
cedera pada tungkai bawah seringkali dapat dilindungi dengan merekatkan tungkai yang
cedera pada tungkai yang tidak terluka. Demikian pula bisa diterapkan pada fraktur jari,
dengan merekatkan pada jari disebelahnya sebagai perlindungan sementara.
G. ALAT DAN BAHAN
1. Bidai
2. Sendok es krim/ belahan bambu yang kecil
3. Kassa gulung
4. Kapas
5. Plester lakban
6. Elastic perban
7. Mitela/ kain
H. PROSEDUR
1. Mempersiapkan penderitaa.
a. Ingat prosedur BLS: D R A B C.
b. Tenangkan penderita. Jelaskanlah bahwa anda akan memberikan pertolongan kepada
penderita.
c. Cari tanda adanya fraktur atau dislokasi(ingat 14 tanda kecurigaan fraktur di atas).
d. Menjelaskan secara singkat dan jelas kepada penderita tentang prosedur tindakan
yang akandilakukan.
e. Minimalkan gerakan daerah luka. Jangan menggerakkan atau memindahkan korban
sampai daerah yang patah tulang distabilkan kecuali jika keadaan mendesakdan
berbahaya.
f. Robek/ guntinglah bagian pakaian di sekitar area fraktur. Jika diperlukan, kainnya
dapat dimanfaatkan untuk proses pembidaian.
g. Jika pada bagian ekstremitas yang cedera mengalami edema, maka jelaskan pada
penderitabahwa sebaiknya perhiasan yang dipakai pada lokasi itu dilepaskan.
h. Jika luka terbuka maka tangani dulu luka dan perdarahannya. Bersihkan luka dengan
cairan antiseptik dan tekan perdarahan dengan kasa steril(Pressure bandage). Jika

41
luka tersebut mendekati lokasi fraktur, maka anggappatah tulang terbuka. Balutlah
luka terbuka atau fragmen tulang yang menyembul dengan bahan yang se-steril
mungkin.Pada fraktur terbuka, kecepatan penanganan merupakan hal yang esensial.
Jangan pernah menyentuh tulang yang tampak keluar, jangan pernah pula mencoba
untuk membersihkannya. Manipulasi terhadap fraktur terbuka tanpa sterilitas hanya
akan menambah masalah.
- Periksalah sirkulasi distal dari lokasi frakturi.Periksa nadi di daerah distal dari
fraktur, normal, melemah, ataukah bahkan mungkin menghilang?
- Periksa kecepatan pengisian kapiler. Tekanlah kuku jari pada ekstremitas yang
cedera dan ekstremitas kontralateral secara bersamaan. Lepaskan tekanan secara
bersamaan. Periksalah apakah pengembalian warna kemerahan terjadi bersamaan
ataukah terjadi keterlambatan pada ekstremitas yang mengalami fraktur.
- Jika terdapat gangguan pulsasi atau sensasi raba boleh dilakukan tindakan
meluruskan ekstremitas yang mengalami deformitas. Proses pelurusan ini harus
hati-hati agar tidak makin memperberat cedera.
- Jika ditemukan gangguan sirkulasi, maka penderita harus langsung dibawa ke
rumah sakit secepatnya.
2. Persiapan alat
a. Gunakan alat bidai standar yang telah dipersiapkan, namun juga bisa dibuat sendiri
dari berbagai bahan sederhana, misalnya ranting pohon, papan kayu.
b. Panjang bidai harus melebihi panjang tulang dan sendi yang akan dibidai.Ukur pada
bagian tubuh yang sehat.
c. Jika menggunakan bidai yang terbuat dari benda keras (kayu,dll) sebaiknya
dibungkus/dibalut terlebih dahulu dengan bahan yang lebih lembut (kain, kassa, dll).
Sebelum dipasang lapisi bidai yang telah dibalut dengan kapas.
d. Siapkan elastic perbanuntuk fraktur clavicula.
e. Siapkan plester lakban untuk fraktur costae.
3. Pelaksanaan Pembidaian
a. Fraktur calvicula, lakukan imobilisasi dengan cara:
- Minta pasien meletakkan kedua tangan pada pinggan
- Minta pasien membusungkan dada, tahan

42
- Gunakan perban elastik, lingkarkan membentuk angka 8 (Ransel perban).
b. Fraktur humerus bagian medial
- Kalau ada berikan analgetik/ kompres es
- Gunting mitella jadi 2/ 4 tapi tidak putus
- Rapatkan lengan pada dinding dada, pasang bidai pada sisi luar
- Ikat dan balut dengan mitela/kain
c. Fraktur humerus bagian distal
- Siku sukar dilipat (nyeri), luruskan saja
- Pasang dua buah bidai dari ketiak sampai pergelangan tangan
- Ikat dengan kain 4 tempat. (ingat teori di atas)
d. Fraktur antebrachii
- Pasang dua buah bidai sepanjang siku sampai ujung jari
- Ikat bidai mengelilingi ekstremitas, tapi jangan terlalu keras
- Gantung bidai dengan mitela/kain ke pundak-leher
e. Fraktur digiti
- Pasang bidai dari sendok es krim,bambu, spuit yang dibelah atau gunakan jari
sebelahnya, contoh, bila jari tengan yang fraktur, gunakan jari telunjuk dan jari
manis sebagai pengganti bidai, kemudian ikat dengan plester.
f. Fraktur costae, lakukan imobilisasi dengan cara:
- Bersihkan dinding dada
- Minta penderita menarik napas dan menghembuskan napas sekuatnya.
- Pasang plester stripping pada saat ekspirasi maksimal tersebut.
- Plester dipasang sejajar iga mulai dari iga terbawah.
- Ulangi prosedur sampai plester terpasang
g. Fraktur tulang panggul( os simfisis pubis)
- Rapatkan kedua kaki
- Pasang bantal dibawahlutut dan sisi kiri kanan panggul
- Ikat kedua kaki pada 3 tempat (lihat gambar)
h. Fraktur femur
- Pasang bidai dibagian dalam dan luar paha
- Jika patah paha bagian atas,bidai sisi luar harus sampai pinggang

43
i. Fraktur patella
- Pasang bidai pada bagian bawah
- Pasang bantal lunak dibawah lutut dan pergelangan kaki
j. Fraktur tungkai bawah
- Pasang bidai melewati 2 sendi, luar dan dalam
- Pasang padding
k. Fraktur tulang telapak kaki
- pasang bantalan (kassa/kain)pada telapak kaki
- pasang bidai di telapak kaki, kemudian ikat.
I. KOMPLIKASI PEMBIDAIAN

Jika dilakukan tidak sesuai dengan standar tindakan, beberapa hal berikut bisa ditimbulkan oleh
tindakan pembidaian :

1. Cedera pembuluh darah, saraf atau jaringan lain di sekitar fraktur oleh ujung fragmen
fraktur, jika dilakukan upaya meluruskan atau manipulasi lainnya pada bagian tubuh yang
mengalami fraktur saat memasang bidai.
2. Gangguan sirkulasi atau saraf akibat pembidaian yang terlalu ketat
3. Keterlambatan transport penderita ke rumah sakit, jika penderita menunggu terlalu lama
selama proses pembidaian

44
DAFTAR PUSTAKA

Lynn S. Bickley. Bate's guide to physical examination.

Swartz. 2007. Textbook of physical diagnosis. Ed 5. Elsevier.

Burnside-Mc Glynn. 1995. Adams Diagnosis Fisik. Edisi 17. Jakarta: EGC.

Saputra Oktadoni. Hanriko Rizki. 2016. Buku Panduan Clinical Skill Lab (CSL). Ed. 3.
Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

45
LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN BENCANA

TRANSPORTASI

…………………………………………………………………………………………………..

OLEH:

DESI ROFIQO KHOIROTUN NISA

(1714201148)

PRODI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERINTIS PADANG

46
T.A 2019/2020

TRANSPORTASI

1. Pengertian
Transportasi Pasien adalah sarana yang digunakan untuk mengangkut
penderita/korban dari lokasi bencana kesarana kesehatan yang memadai dengan aman
tanpa memperberat keadaan penderita kesarana kesehatan yang memadai.
Seperti contohnya alat transportasi yang digunakan untuk memindahkan korban dari
lokasi bencana ke RS ataudari RS yang satuke RS yang lainnya. Pada setiap
alat transportasi minimal terdiri dari 2 orang paramedik dan 1 pengemudi (bila
memungkinkan ada 1 orang dokter).
1. Tujuan
Untuk memindahkan penderita/korban bencana dengan aman tanpa memperberat
keadaan penderita kesarana kesehatan yang memadai.
2. Jenis-jenis Transportasi
a. Transportasi gawat darurat
Setelah penderita diletakan diatas tandu (atau Long Spine Board bila diduga patah
tulang belakang) penderita dapat diangkut kerumah sakit. Sepanjang perjalanan
dilakukan Survey Primer. Resusitasi jika perlu mekanikan saat mengangkat tubuh
gawat darurat. Tulang yang paling kuat ditubuh manusia adalah tulang
panjang dan yang paling kuat diantaranya adalah tulang paha (femur). Otot-otot yang
beraksi pada tulang tersebut juga paling kuat.
Dengan demikian maka pengangkatan harus dilakukan dengan tenaga terutama
pada paha dan bukan dengan membungkuk angkatlah dengan paha, bukan dengan
punggung.
Panduan dalam mengangkat penderita gawat darurat :
1) Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan kita

47
2) Nilai beban yang akan di angkat secara bersama dan bila tak mampu jangan di
paksakan
3) Kedua kaki berjarak sebahu kita, satu kaki sedikit didepan kaki sedikit
sebelahnya
4) Berjongkok, jangan membungkuk, saat mengangkat
5) Tangan yang memegang menghadap kedepan
6) Tubuh sedekat mungkin ke beban yang akan di angkat. Bila terpaksa jarak
maksimal tangan dengan tubuh kita adalah 50 cm
7) Jangan memutar tubuh saat mengangkat

b. Transportasi Pasien Kritis :
Definisi: pasien kritis adalah pasien dengan disfungsi atau gagal pada satu atau
lebih system tubuh, tergantung  pada penggunaan peralatan monitoring dan terapi.
Transport intra hospital pasien kritis harus mengikuti beberapa aturan, yaitu:
1) Koordinasi sebelum transport
Informasi bahwa area tempat pasien akan dipindahkan telah siap untuk
menerima pasien tersebut serta membuat rencana terapi. Dokter yang
bertugas harus menemani pasien dan komunikasi antar dokter dan perawat
juga harus terjalin mengenai situasi medis pasien. Tuliskan dalam rekam
medis kejadian yang berlamgsung selama transport dan evakuasi kondisi
pasien.
2) Profesional beserta dengan pasien
Profesional (dokter dan perawat) harus menemani pasien dalam kondisi
serius. Salah satu profesional adalah perawat yang bertugas, dengan
pengalaman CPR atau khusus terlatih pada transport pasien kondisi kritis.
Profesioanl kedua dapat dokter atau perawat. Seorang dokter harus
menemani pasien dengan instabilitas fisiologik dan pasien yang
membutuhkan urgent action
3) Peralatan untuk menunjang pasien
Transport monitor
Blood pressure reader

48
Sumber oksigen dengan kapasitas prediksi transport, dengan
tambahan cadanagan 30 menit.
Ventilator portable, dengankemampuanuntukmenentukan
volume/menit, pressure FiO2 of 100% and PEEP with
disconnection alarm and high airway pressure alarm.
Mesin suction dengan kateter suction
Obat dengan resusitasi : adrenaline, lignocaine, atropine, dan
sodium bicarbonat
Cairan intravena dan infus obat dengan syringe atau pompa infus
dengan baterai
Pengobatan tambahan sesuai dengan resep obat pasien tersebut

4) Monitoring selama transport


Tingkat monitoring dibagi sebagai berikut :
Level 1 = wajib
Level 2 = rekomendasi kuat
Level 3 = ideal
Monitor kontinu : EKG, Pulse oximetry ( level 1)
Monitor intermitten : tekanan darah, nadi, respiratory rate ( level 1 pada
pasien pediatri, dan level 2 pada pasien lain)
4. Teknik Pemindaian Pada Pasien
Teknik pemindahan pada klien termasuk dalam transport pasien,seperti
pemindahan pasien dari satu tempat ketempat lain, baik menggunakan alat transport
seperti ambulance, dan branker yang berguna sebagai pengangkut pasien gawat darurat.
1) Pemindahan klien dari tempat tidur ke brankar
Memindahkan klien dari tempat tidur kebrankar oleh perawat membutuhkan
bantuan klien. Pada pemindahan klien kebrankar menggunakan penarik atau kain
yang ditarik untuk memindahkan klien dari tempat tidur ke branker.
Brankar dan tempat tidur di tempatkan berdampingan sehingga klien dapat
dipindahkan dengan cepat dan mudah dengan menggunakan kain pengangkat.
Pemindahan pada klien membutuhkan tiga orang pengangkat

49
2) Pemindahan klien dari tempat tidur ke kursi
Perawat menjelaskan prosedur terlebih dahulu pada klien sebelum pemindahan.
Kursi ditempatkan dekat dengan tempat tidur dengan punggung kursi sejajar
dengan bagian kepala tempat tidur. Memindahan yang aman adalah prioritas
pertama, ketika memindahkan klien dari tempat tidur kekursi roda perawat harus
menggunakan mekanika tubuh yang tepat.
3) Pemindahan pasien ke posisi lateral atau prone ditempat tidur
a. Pindahkan pasien dari ke posisi yang berlawanan
b. Letakkan tangan pasien yang dekat dengan perawat ke dada dan tangan yang
jauh dari perawat, sedikit kedepan badan pasien
c. Letakan kaki pasien yang terjauhdenganperawatmenyilang di atas kaki yang
terdekat
d. Tempatkandiriperawatsedekatmungkindengan pasien
e. Tempatkantanganperawat di bokong dan bantu pasien
f. Tarik badan pasien
g. Beri bantal pada tempat yang diperlukan.
3. Prosedur Transport Pasien
a. Lakukan pemeriksaan menyeluruh
Pastikan bahwa pasien yang sadar bisa bernafas tanpa kesulitan setelah diletakan di
atas usungan. Jika pasien tidak sadar dan menggunakan alat bantu jalan nafas
(airway).
b. Amankan posisi tandu di dalam ambulans
Pastikan selalu bahwa pasien dalam posisi aman selama perjalanan kerumah sakit.
c. Posisikan dan amankan pasien
Selama pemindahan keambulans, pasien harus diamankan dengan kuat keusungan.
d. Pastikan pasien terikatdenganbaikdengantandu. Taliikatkeamanandigunakan
ketika pasien siap untuk dipindahkan keambulans, sesuai kan kekencangan tali
pengikat sehingga dapat menahan pasien dengan aman.
e. Persiapan jika timbul komplikasi pernafasan dan jantung
Jika kondisi pasien cenderung berkembang kearah henti jantung, letakkan spinal
board pendek atau papan RJP di bawah matras sebelum ambulans dijalankan.

50
f. Melonggarkan pakaian yang ketat
g. Periksa perbannya
h. Periksa bidainya
i. Naikkan keluarga atau teman dekat yang harus menemani pasien
j. Naikkan barang-barang pribadi
k. Tenangkan pasien
DAFTAR PUSTAKA
Perry &Potter .2006 . Fundamental Keperawatan Volume II .Indonesia :Penerbit Buku
Kedokteran EGC
John A Boswick, Ir., MD. Perawatan Gawat Darurat : Pene
SuparmiYulia, dkk .2008 . Panduan Praktik Keperawatan . Indonesia : PT Citra Aji Parama
Perry, Petterson, Potter. 2005. Keterampilan Prosedur Dasar. Indonesia. Penerbit Buku
Kedokteran: EGC.

51
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)
“KESIAPSIAGAAN DALAM MENGHADAPI BENCANA KEBAKARAN”

DISUSUN OLEH:
DESI ROFIQO KHOIROTUN NISA
1714201128

DOSEN PEMBIMBING:
Ns. MAIDALIZA, M. Kep.

52
PRODI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERINTIS PADANG
T.A 2019/2020

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)


“KESIAPSIAGAAN DALAM MENGHADAPI BENCANA KEBAKARAN”

Mata Ajar :Keperawatan Bencana 2


Pokok Bahasan :Pra Bencana
Sub Pokok Bahasan :Kesiapsiagaan Dalam Menghadapi Bencana Kebakaran
Sasaran : Masyarakat Kelurahan Gulai Bancah
Waktu : 30 menit
Hari/Tanggal : Senin, 30 Maret 2020
Penyaji : Desi Rofiqo Khoirotun Nisa

A. LATAR BELAKANG
Bencana merupakan serangkaian kejadian atau peristiwa yang berdampak pada
masalah fisik maupun psikologis dan dapat menyebabkan kerusakan serius sehingga
mengganggu fungsi atau sistem pada komunitas dan sosial tertentu serta menimbulkan
kerugian pada manusia dan lingkungan (Peraturan Pemerintah RI, No.21 Tahun 2008).
Kota Bukittinggi secara geografis merupakan salah satu daerah yang rawan terkena
bencana, karena berada di patahan semangka dan sianok, sehingga menyebabkan banyak
nya terjadi bencana alam dan juga merupakan kota padat penduduk yang tidak menutup
kemungkinan terjadinya bencana non alam seperti kebakaran.
Berdasarkan data dari Dinas Kebakaran Bukittinggi jumlah kebakaran di Bukittinggi
dalam kurun waktu lima tahun terakhir mengalami peningkatan. Selain disebabkan
korsleting listrik, penyebab lain kebakaran adalah kelalaian masyarakat yang menyebabkan
kerugian mencapai milyaran rupiah.

53
Kebakaran yang terjadi di bukittinggi pada tahun 2014 tercatat sebanyak 98 kasus
dengan kerugian mencapai Rp. 4.491.000.000, pada tahun 2015 terjadi 112 kebakaran
dengan kerugian mencapai Rp. 1 milyar lebih, pada tahun 2016 terjadi 120 kasus dengan
kerugian mencapai Rp. 4,5 milyar, pada tahun 2017 terjadi 121 kasus kebakaran dengan
kerugian mencapai Rp. 4 miliyar lebih. Sedangkan pada tahun 2018 angka kejadian
kebakaran di Bukittinggi mengalami penurunan yang cukup drastic yaitu sebanyak 77
kejadian dengan kerugian mencapai Rp 315.677.950. Angka kejadian kebakaran ini tersebar
di setiap daerah di kota Bukittinggi.
Salah satunya adalah di RT 07 RW 02 Gulai Bancah yang dalam kurun waktu dua
tahun, telah mengalami dua kali kasus kebakaran dengan kerugian mencapai kurang lebih 50
– 100 juta per KK yang terkena dampak kebakaran.
B. RENCANA KEGIATAN
1. Masalah keperawatan
- Kesiapan untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana kebakaran
2. Tujuan Umum
Setelah dilakukan penyuluhan tentang kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana
kebakaran selama 1 x 30 menit masyarakat dapat memahami tentang kesiapsiagaan
sebelum terjadi bencana
3. Tujuan Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan selama 1x30 menit masyarakat mampu
menjelaskan kembali tentang:
a. Mengetahui apa yang dimaksud dengan definisi dari kebakaran
b. Mengetahui apa penyebab-penyebab kebakaran
c. Mengetahui apa klasifikasi kebakaran
d. Mengetahui apa peralatan pemadam kebakaran
e. Mengetahui tindakan yang harus dilakukan jika terjadi kebakaran
f. Mengetahui kesiapsiagaan saat terjadi kebakaran
g. Mengetahuitips mencegah kebakaran.

4. SASARAN
Masyarakat Keperawatan Gulai Bancah Bukittinggi

54
5. STRATEGI PELAKSANAAN
Hari dan Tanggal Pelaksanaan : Senin, 30 Maret 2020
Waktu : 30 menit
Tempat : Pelataran STIKes Perintis Padang

NO TAHAP WAKTU KEGIATAN AUDIENCE


1. Pembukaan 5 menit o Salam -Menjawab
perkenalan salam
o Menjelaskan -Mendengar
kontrak dan kan dan
tujuan menjawab
pertemuan salam
o Menyebutkan
materi yang
akan diberikan
o Kontrak waktu
dan bahasa
yang diberikan
2. Isi 20 menit Menjelaskan -Menjawab
tentang : pertanyaan
a. Mengetahui apa penyuluhan
yang dimaksud -Mendengar
dengan definisi kan dan
dari kebakaran memperhatikan
b. Mengetahui apa
penyebab-
penyebab
kebakaran
c. Mengetahui apa

55
klasifikasi
kebakaran
d. Mengetahui apa
peralatan
pemadam
kebakaran
e. Mengetahui
tindakan yang
harus dilakukan
jika terjadi
kebakaran
f. Mengetahui
kesiapsiagaan
saat terjadi
kebakaran
g. Mengetahui tips
mencegah
kebakaran.
3. Penutup 5 menit Evaluasi: -Menjawab
 Menanyakan pertanyaan dari
kepada peseta penyuluhan
tentang materi -Bertanya
yang telah -Mendengar
diberika Kan
 Memberikan
kesempatan
kepada peserta
untuk bertanya
 Menjawab
pertanyaan
yang diajukan

56
peserta
Terminasi : -Mendengar
 Mengucapkan Kan
terimakasih atas -Menjawab
peran serta salam
peserta
 Megucapkan
salam dan
terima kasih

6. Strategi pelaksanaan ( rencana kegiatan)


a. Topic : kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana kebakaran
b. Waktu dan tempat : 30 menit/ di pelataran STIKes Perintis Padang
c. Daerah dan lokasi : Kelurahan Gulai Bancah
d. Sasaran dan target : Masyarakat Gulai Bancah
e. Metode :
- Ceramah
- Tanya jawab
f. Media :
- Leaflet
- Power point
- Materi terlampir.
7. EVALUASI
1. Evaluasi Struktur
a. Kesiapan materi
b. Kesiapan materi penyaji : power point, leaflet, materi terlampir
c. Masyarakat hadir ditempat penyuluhan
d. Pelaksanaan penyuluhan dilaksanakan sesuai dengan tempat dan waktu.
2. Evaluasi Proses
a. Fase dimulai sesuai dengan waktu yang ditentukan

57
b. Masyarakat antusias terhada materi penyuluhan
c. Masyarakat mengikuti jalannya penyuluhan sampai selesai
d. Masyarakat dapat mengulang materi yang diberikan d
e. Masyarakat mengajukan pertanyaan dan menjawab dengan benar
f. Masyarakat menjawab pertanyaan dengan benar

3. Evaluasi Hasil
a. 60% peserta aktif mendengarkan materi yang disampaikan
b. 20% peserta mengajukan pertanyaan mengenai materi yang diberikan.
c. Setelah penyuluhan diharapkan sekitar 80% peserta penyuluhan mampu mengerti
dan memahami penyuluhan yang diberikan sesuai dengan tujuan khusus.

58
LAMPIRAN 1
KEBAKARAN

A. Definisi
Kebakaran adalah api yang tidak dikehendaki, boleh jadi api itu kecil tetapi tidak
dikehendaki adalah termasuk kebakaran (Anonym),
Kebakaran adalah situasi dimana bangunan pada suatu tempat seperti
rumah/pemukiman, pabrik, pasar, gedung dan lain-lain dilanda api yang menimbulkan
korban dan/atau kerugian. (UU No. 24 Tahun 2007)
Kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan di mana hutan dan lahan
dilanda api, sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan lahan yang menimbulkan
kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan. Kebakaran hutan dan lahan seringkali
menyebabkan bencana asap yang dapat mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat
sekitar. (UU No.24 Tahun 2007)

B. Penyebab Kebakaran
1) Terdapat bahan mudah terbakar
2) Membuang puntung rokok sembarangan
3) Bahaya listrik

59
Akibat penangganan listrik yang salah dapat menimbulkan panas dan kebakaran,
seperti misalnya :

 Stop kontak bertumpuk-tumpuk.


 Penggantian sekering secara sembarangan atau tidak sesuai ukurannya.
 Sambungan kabel atau stop kontak yang tidak baik atau kendor.
 Pemakaian kabel yang ukurannya tidak sesuai dengan bebannya
 Hubungan pendek
 Penggunaan arus listrik tidak sesuai dengan ketentuan pada peralatannya
4) Gas Elpiji (LPG)
Kondisi yang jelek dari peraltan kompor yang menggunakan gas elpiji dapat
membahayakan, dapat mengakibatkan kebakaran

60
 Kebakaran karena sifat kelalaian manusia, seperti : kurangnya pengertian
pengetahuan penanggulangan bahaya kebakaran; kurang hati menggunakan alat
dan bahan yang dapat menimbulkan api; kurangnya kesadaran pribadi atau tidak
disiplin.
 Kebakaran karena peristiwa alam, terutama berkenaan dengan cuaca, sinar
matahari, letusan gunung berapi, gempa bumi, petir, angin dan topan. 
Kebakaran karena penyalaan sendiri, sering terjadi pada gudang bahan kimia di
mana bahan bereaksi dengan udara, air dan juga dengan bahan-bahan lainnya
yang mudah meledak atau terbakar.
 Kebakaran karena kesengajaan untuk tujuan tertentu, misalnya sabotase, mencari
keuntungan ganti rugi klaim asuransi, hilangkan jejak kejahatan.
C. Klasifikasi Kebakaran
Berdasarkan Permenaker Nomor : 04/MEN/1980 penggolongan atau pengelompokan
jenis kebakaran yaitu :
 Kebakaran kelas (tipe) A, yaitu kebakaran bahan padat kecuali logam, seperti :
kertas, kayu, tekstil, plastik, karet, busa dll. yang sejenis dengan itu.
 Kebakaran kelas (tipe) B, yaitu kebakaran bahan cair atau gas yang mudah terbakar,
seperti : bensin, aspal,gemuk, minyak, alkohol, LPG dll. yang sejenis dengan itu.
 Kebakaran kelas (tipe) C, yaitu kebakaran listrik yang bertegangan
 Kebakaran kelas (tipe) D, yaitu kebakaran bahan logam, seperti : aluminium,
magnesium, kalium, dll. yang sejenis dengan itu

61
D. Peralatan Pemadam Kebakaran
Untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran perlu disediakan peralatan pemadam
kebakaran yang sesuai dan cocok untuk bahan yang mungkin terbakar di tempat yang
bersangkutan.
1. Perlengkapan dan alat pemadam kebakaran sederhana
 Air, bahan alam yang melimpah, murah dan tidak ada akibat ikutan (side effect),
sehingga air paling banyak dipakai untuk memadamkan kebakaran. Persedian air
dilakukan dengan cadangan bak-bak air dekat daerah bahaya, alat yang diperlukan
berupa ember atau slang/pipa karet/plastik.
 Pasir, bahan yang dapat menutup benda terbakar sehingga udara tidak masuk
sehingga api padam. Caranya dengan menimbunkan pada benda yang terbakar
menggunakan sekop atau ember.
2. APAR adalah alat yang ringan serta mudah dilayani oleh satu orang untuk
memadamkan api pada awal terjadinya kebakaran. Tabung APAR harus diisi ulang
sesuai dengan jenis dan konstruksinya. Jenis APAR meliputi : jenis air (water), busa
(foam), serbuk kering (dry chemical) gas halon dan gas CO2, yang berfungsi untuk
menyelimuti benda terbakar dari oksigen di sekitar bahan terbakar sehingga suplai
oksigen terhenti. Zat keluar dari tabung karena dorongan gas bertekanan.

E. Tindakan Yang Harus Kita Lakukan Jika Terjadi Kebakaran


Tetap tenang saat menghadapi kebakaran.
 Jika kebakaran kecil dan masih bisa diatasi, segera padamkan dengan alat pemadam
yang ada seperti APAR (Alat Pemadam Api Ringan) atau dengan karung goni yang
dibasahi air.
 Jika kebakaran disebabkan oleh korsleting listrik segera matikan listrik di rumah atau
gedung.
 Tutup ruangan yang terjadi kebakaran agar tidak menjalar ke ruang lain tetapi jangan
dikunci, untuk memudahkan jika akan memadamkan kobaran api.
 Jika kebakaran besar, segera keluar rumah dan ajak semua keluarga meninggalkan
rumah segera. Jangan sibukkan sendiri untuk mengumpulkan barang di dalam rumah.
F. Kesiapsiagaan Saat Terjadi Kebakaran

62
1. Periksa Pintu
Api dapat timbul dari balik pintu yang tertutup tanpa terlihat. Maka, hati –
hatilah dalam melewati pintu untuk menyelamatkan diri. Pastikan untuk memeriksa
setiap pintu sebelum membukanya, caranya dengan menempatkan punggung tangan
Anda pada permukaan pintu dan gagang pintu. Jika Anda merasa panas, jangan buka
pintu. Sebaliknya, temukan rute alternatif untuk melarikan diri, seperti jendela atau
melewati ruangan lainnya. Jika pintu ruangan tak terasa panas, buka pintu secara
perlahan-lahan dan pastikan tidak ada awan tebal asap sepanjang rute Anda melarikan
diri.
2. Beritahu Orang Lain
Segera beritahu orang lain di rumah jika tanda – tanda kebakaran terlihat di
rumah Anda, misalnya ada percikan api yang membersar. Jangan tunggu hingga
alarm pada detektor asap berbunyi. Saat api mulai membesar, usahakan untuk
bergerak keluar dan bukan mencoba untuk lari ke kamar atau ruangan lain dalam
rumah yang dipenuhi asap atau api.
3. Menelepon Pemadam Kebakaran
Jika Anda berhasil melarikan diri keluar rumah, mintalah tolong pada tetangga
Anda untuk menelepon pusat pemadam kebakaran. Nomor pemadam kebakaran
biasanya berbeda di beberapa wilayah di Indonesia. Pastikan Anda melakukan
panggilan darurat ke pemadam kebakaran ini saat Anda sudah berada di luar rumah,
dan bukan di dalam rumah. Untuk itu, penting untuk mengetahui nomer telepon
penting yang bisa dihubungi saat keadaan darurat melanda di rumah, seperti
kebakaran ini.
4. Biarkan hewan peliharaan dan barang-barang berharga tertinggal dan fokuslah untuk
menyelamatkan diri Anda
Jangan pernah menunda melarikan diri dari rumah yang terbakar demi mencari
dan mengambil barang-barang berharga atau hewan peliharaan yang Anda tidak tahu
pasti di mana lokasinya. Hal ini justru akan membahayakan keselamatan jiwa Anda.
Sebaiknya, segera keluar dari rumah tersebut, dan beritahukan pada petugas pemadam
kebakaran bahwa ada hewan peliharaan yang tertinggal dan perlu diselamatkan.
5. Berhenti dan berguling saat pakaian terkena api

63
Jika pakaian Anda terbakar, jangan berusaha berlari. Bila mungkin, lepas
pakaian Anda. Jika tidak mungkin untuk melepaskannya, segera padamkan apai
dengan berguling – guling di lantai untuk memadamkan api.
6. Berjalan merangkak atau merunduk, tidak berdiri
Asap dan panas bisa naik dengan cepat dan memasuki seluruh area dalam kamar.
Oleh karena itu, tetap berjalan dengan rendah dan sedikit merunduk atau bahkan
merangkan di tanah. Hal ini adalah cara paling aman untuk menjauhkan diri
kebakaran di rumah, terutama dari suhu tinggi api serta asap. Tetaplah berjalan
merunduk atau merangkak sampai Anda sukses melarikan diri dari rumah yang
terbakar.
7. Menutup wajah Anda
Menutup wajah dengan baju yang Anda kenakan atau dengan handuk basah
selama terjadi kebakaran rumah perlu dilakukan guna menghalau asap yang pekat
agar tak terhirup hidung. Dengan menutup rongga hidung dengan kain tersebut, hal
ini membantu mencegah asap memasuki paru-paru Anda. Sembari menutup wajah
atau hidup dengan kain, perlahan berjalanlah keluar.
8. Menutup pintu
Setelah Anda berhasil menerobos keluar dari ruangan, tutup pintu di belakang
Anda. Menutup pintu dapat mencegah api menyebar ke ruangan lain.
9. Tetap berada di luar
Setelah Anda berhasil keluar dari rumah, tetaplah menunggu di luar hingga api
benar – benar padam. Bahkan jika Anda meninggalkan hewan peliharaan atau barang-
barang di rumah, jangan pernah mencoba kembali masuk ke rumah. Beritahu petugas
kebakaran jika masih ada hewan peliharaan yang masih di rumah. Cukup beritahu
mereka di mana posisi hewan peliharaan Anda.
10. Berlindung di tempat pengungsian
Paska kebakaran, petugas setempat biasanya akan mempersiapkan tempat
pengungsian yang bisa digunakan untuk tempat tinggal sementara korban kebakaran.
Tetap di sana hingga semua anggota kelarga telah tiba dan dinyatakan kondisinya
dalam keadaan baik.
G. Tips Mencegah Kebakaran

64
 Hindari meninggalkan puntung rokok
 Jangan merokok sambil tiduran
 Tidak membakar sampah di sembarang tempat
 Memasang lampu dan lilin tempel di tempat yang aman
 Menyalakan obat nyamuk di tempat aman
 Bersihkan kompor minyak secara berkala
 Tidak mengisi minyak saat kompor menyala
 Dilarang menyimpan benda mudah terbakar dengan sumber api
 Jangan tinggalkan kompor saat menyala
 Periksa instalasi listrok secara berkala
 Sambungan steker listrik tidak boleh menumpuk

DAFTAR PUSTAKA

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 145/MENKES/SK/I/2007 Tentang Pedomana Penanggulangan Bencana Bidang
Kesehatan.

Presiden Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Penanggulangan Bencana.

Badan Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan


Bencana Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Penanggulangan Bencana.

65
Anonym. strategi pencegahan, kawalan dan pekepasan http://www.scribd.com/4994877/Good-
huus-keeping

66

Anda mungkin juga menyukai