Anda di halaman 1dari 30

A.

Bencana

Bencana adalah suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu masyarakat sehingga

menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia maupun dari segi materi,

ekonomi, atau lingkungan dan melampaui batas kemampuan masyarakat yang bersangkutan

untuk mengatasi dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri.

B. Manajemen Bencana

Menurut UU No. 24 Tahun 2007, Manajemen bencana adalah suatu proses dinamis,

berlanjut dan terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan

dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan

dini, penanganan darurat, rehabilitas dan rekonstruksi bencana.

C. Pengertian Manajemen Bencana Menurut Para Ahli

Menurut University of Wisconsin, Manajemen Bencana adalah serangkaian kegiatan yang

didesain untuk mengendalikan situasi bencana dan darurat untuk mempersiapkan kerangka

untuk membantu oang yang renta bencana untuk menghindari atau mengatasi dampak

bencana tersebut.

Menurut Universitas British Columbia, Manajemen Bencana adalah proses pembentukan

atau penetapan tujuan bersama dan nilai bersama (common value) untuk mendorong pihak-

pihak yang terlibat (partisipan) untuk menyusun rencana dan menghadapi baik bencana

potensial maupun akual.

D. Tujuan Manajemen Bencana

Menurut Warfield, manajemen bencana mempunyai tujuan:

1. Mengurangi, atau mencegah, kerugian karena bencana,


2. Menjamin terlaksananya bantuan yang segera dan memadai terhadap korban bencana,

dan

3. Mencapai pemulihan yang cepat dan efektif. Dengan demikian, siklus manajemen

bencana memberikan gambaran bagaimana rencana dibuat untuk mengurangi atau

mencegah kerugian karena bencana, bagaimana reaksi dilakukan selama dan segera

setelah bencana berlangsung dan bagaimana langkah-langkah diambil untuk pemulihan

setelah bencana terjadi.

Secara garis besar terdapat empat fase manajemen bencana, yaitu:

a. Fase Mitigasi: upaya memperkecil dampak negative bencana. Contoh: zonasi dan

pengaturan bangunan (building codes), analisis kerentanan; pembelajaran public.

b. Fase Preparadness: merencanakan bagaimana menaggapi bencana. Contoh:

merencanakan kesiagaan; latihan keadaan darurat, system peringatan.

c. Fase respon: upaya memperkecil kerusakan yang disebabkan oleh bencana. Contoh:

pencarian dan pertolongan; tindakan darurat,

d. Fase Recovery: mengembalikan masyarakat ke kondisi normal. Contoh: perumahan

sementara, bantuan keuangan; perawatan kesehatan.

Keempat fase manajemen bencana tersebut tidak harus selalu ada, atau tidak secara

terpisah, atau tidak harus dilaksanakan dengan urutan seperrti tersebut diatas. Fase-fase

sering saling overlap dan lama berlangsungnya setiap fase tergantung pada kehebatan

atau besarnya kerusakan yang disebabkan oleh bencana itu. Dengan demikian, berkaitan

dengan penetuan tindakan di dalam setiap fase itu, kita perlu memahami karakteristik dari

setiap bencana yang mungkin terjadi.

E. Mekanisme Manajemen Bencana


Manajemen bencana terdiri dari 2 mekanisme yaitu mekanisme internal atau informal dan

mekanisme eksternal atau informal.

a. Mekanisme internal atau informal,

Yaitu unsur-unsur masyarakat di lokasi bencana yang secara umum melaksanakan

fungsi pertama dan utama dalam manajemen bencana dan seringkali disebut

mekanisme manajemen bencana alamiah, ini terdiri dari keluarga, organisasi sosial

informal (pengajian, pelayanan kematian, kegiatan kegotong royongan, arisan dan

sebagainya) serta masyarakat lokal.

b. Mekanisme eksternal atau formal,

Yaitu organisasi yang sengaja dibentuk untuk tujuan manajemen bencana, contoh

organisasi manajemen bencana di Indonesia diantaranya seperti BAKORNAS PB,

SATKORLAK PB, SATLAK PB dan BNPB maupun BPBD

F. Siklus Manajemen Bencana

Siklus manajemen bencana terbagi menjadi 3 tahapan atau fase, 3 tahap atau fase

manajemen bencana yaitu:

1. Tahap Pra Bencana

Dalam fase pra bencana ini mencakup kegiatan, mitigasi, kesiapsagaan dan peringatan

dini.

a. Pencegahan (Prevention)

Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya bencana jika mungkin dengan

meniadakan bahaya. Contoh kegiatan pencegahan diantaranya melarang pembakaran

hutan dalam perladangan, melarang penambangan batu di daerah curam, melarang

membuang sampah sembarangan dan lain sebagainya.


b. Mitigasi Bencana (Mitigation)

Mitigasi adalah serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko

bencana baik melalui pembangunan fisik, maupun penyadaran dan peningkatan

kemampuan menghadapi ancaman bencana. Kegiatan mitigasi inidapat dilakukan

melalui pelaksanaan penataan ruangan; pengaturan pembangunan, pembangunan

infrastruktur, tata bangunan; dan penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, pelatihan

baik secara konvensional maupun modern.

c. Kesiapsiagaan (Preparedness)

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi

bancana melalui pengorganisasian dan langkah yang tepat guna dan berdaya guna.

d. Peringatan Dini (Early Warning)

Peringatan Dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera

mungkin pada masyarakat mengenai kemungkinan terjadinya bencana pada suatu

tempat oleh lembaga yang berwenang atau upaya untuk memberikan tanda peringatan

bahwa bencana kemungkinan akan segera terjadi.

Pemberian peringatan dini ini harus menjangkau masyarakat (accesible), segera

(immediate), tegas tidak membingungkan (coherent), bersifat resmi (official).

2. Tahap Saat Terjadi Bencana

Dalam tahap ini mencakup tanggap darurat dan bantuan darurat.

a. Tanggap Darurat (response)

Tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada

saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan . Ini

meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan


kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsian dan pemulihan sarana

prasarana. Berikut beberapa kegiatan yang dilakukan pada tahap tanggap darurat,

diantaranya yaitu:

 Pengkajian yang tepat terhadap lokasi, kerusakan dan sumberdaya

 Penentuan status keadaan darurat bencana

 Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana

 Pemenuhan kebutuhan dasar

 Perlindungan terhadap kelompok rentan

 Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital

b. Bantuan Darurat (relief)

Ini merupakan upaya untuk memberikan bantuan berkaitan dengan pemenuhan

kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, tempat tinggal sementara, kesehatan,

sanitasi dan juga air bersih.

3. Tahap Pasca Bencana

Dalam tahapan ini mencakup pemulihan, rehabilitasi dan juga rekonstruksi.

a. Pemulihan (Recovery)

Pemulihan adalah rangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat

dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali

kelembagaab, prasarana dan sarana dengan melakukan upata rehabilitasi.

b. Rehabilitasi (rehabilitation)

Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau

masyarakat hingga tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan
sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek

pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.

c. Rekonstruksi (reconstruction)

Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-langkah nyata

yang terencana dengan baik, konsisten dan berkelanjutan untuk membangun kembali

secara permanen semua prasarana, sarana dan sistem kelembagaan baik tingkat

pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh berkembangnya

kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban dan

bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan

bermasyarakat di wilayah pasca bencana. Lingkup pelaksanaan rekonstruksi terdiri

atas program rekonstruksi fisik dan program rekonstruksi non fisik.


A. Faktor-faktor penyebab bencana

Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh ulah

manusia (man-made dis aster). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana antaralain :

1. Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-madehazards)

yang menurut United Nations International Strategy for DisasterReduction (UN-ISDR)

dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geologicalhazards), bahaya

hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi(biological hazards),

bahaya teknologi (technological hazards) dan penurunankualitas lingkungan

(environmental degradation).

2. Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur sertaelemen-elemen

di dalam kota/ kawasan yang berisiko bencana.

3. Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat.

Bencana terdiri dari berbagai bentuk. UU No. 24 tahun 2007 mengelompokan bencana ke

dalam tiga kategori yaitu:

1. Bencana alam

adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang

disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,

kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.  

2. Bencana non-alam

adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam

yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

3. Bencana sosial
adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang

diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok  atau antar

komunitas masyarakat, dan teror.

Ethiopian Disaster Preparedness and Prevention Commission (DPPC)

mengelompokkan bencana berdasarkan jenis hazard, yang terdiri dari:

a. Natural hazard. Ini adalah hazard karena proses alam yang manusia tidak atau sedikit

memiliki kendali. Manusia dapat meminimalisir dampak hazard dengan

mengembangkan kebijakan yang sesuai, seperti tata ruang dan wilayah, prasyarat

bangunan, dan sebagainya. Natural hazard terdiri dari beragam bentuk seperti dapat

dilihat pada tabel berikut:

b. Human made hazard. Ini adalah hazard sebagai akibat aktivitas manusia yang

mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Hazard ini mencakup:

c. Technological hazard sebagai akibat kecelakaan industrial, prosedur yang

berbahaya, dan kegagalan infrastruktur. Bentuk dari hazard ini adalah polusi air dan

udara, paparan radioaktif, ledakan, dan sebagainya. 

d. Environmental degradation yang terjadi karena tindakan dan aktivitas manusia

sehingga merusak sumber daya lingkungan dan keragaman hayati dan berakibat lebih

jauh terganggunya ekosistem.

e. Conflict adalah hazard karena perilaku kelompok manusia pada kelompok yang lain

sehingga menimbulkan kekerasan dan kerusakan pada komunitas yang lebih luas.

B. Ancaman Bencana di Indonesia


Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Data bencanadari

BAKORNAS PB menyebutkan bahwa antara tahun 2003-2005 telah terjadi 1.429kejadian

bencana, di mana bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang palingsering terjadi

yaitu 53,3 persen dari total kejadian bencana di Indonesia. Dari totalbencana

hidrometeorologi, yang paling sering terjadi adalah banjir (34,1 persen daritotal kejadian

bencana di Indonesia) diikuti oleh tanah longsor (16 persen). Meskipunfrekuensi kejadian

bencana geologi (gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi)hanya 6,4 persen, bencana

ini telah menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yangbesar, terutama akibat gempa bumi

yang diikuti tsunami di Provinsi NAD dan Sumuttanggal 26 Desember 2004 dan gempa bumi

besar yang melanda Pulau Nias, Sumut pada tanggal 28 Maret 2005.

C. Dampak Bencana

Bencana mengakibatkan kerusakan di berbagai bidang.Menurut peraturan pemerintah

no.21 th.2008 bencana dapat mengakibatkan timbulnya  korban jiwa manusia, kerusakan

lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Dampak psikologis bencana secara umum pada masyarakat adalah kehilangan (loss),

separation, stress, dan trauma yang mempengaruhi cara coping dan behavioral outcome. Ada

kaitan yg sangat erat antara kejadian/event sosial dengan keadaan psikologis

seseorang/kelompok dalam lingkup bencana, dimana bencana tidak saja berdampak pada 1

orang tapi juga seluruh komunitas (Viemilawati, 2009)    

D. Stress Pasca Trauma

1. Definisi Stress

Stress adalah respon non-spesifik terhadap sesuatu yang menyenangkan  atau

berbahaya . Stress dapat timbul jika keinginan tidak terpenuhi. Lazarus (1976)
mengungkapkan stres bisa terjadi pada individu terdapat tuntutan yang melampaui

sumber daya yang dimiliki oleh individu untuk menyesuaikan diri. Hal ini berarti kondisi

stres terjadi bila terdapat ketidakseimbangan atau kesenjangan antara tuntutan dan

kemampuan. Sumber sress dapat berupa sesuatu yang kecil seperti yang biasa dialami

atau dapat juga sesuatu yang besar seperti perceraian, pengalaman bencana dll. Lazarus

(1976) mengunkapkan stress tidak hanya tergantung pada kondisi eksternal tapi juga

tergantung pada kerawanan konstitusional dari iindividu yang bersangkutan dan pada

mekanisme pengolahan kognitif terhadap kondisi yang dihadapi .

Stress akibat bencana tidak hanya dialami oleh individu yang mengalami bencana

secara langsung , melainkan juga mereka yang berada di luar daerah bencana, khususnya

mereka yang punya keluarga. 

2. Respons reaksi psikologis

Gejala adanya stress pasca trauma bisa terjadi bila seseorang :

a. Mengalami kembali

1) Saat-saat ketika seseoranng tampak memainkan kembali peristiwa itu dalam

benaknya

2) Gangguan-gangguan memori berulang atas peristiwa

b. Mimpi buruk

c. Pembangkitan

1) Perilaku tidak terarah dan tidak tenang

2) Marah atau berang

3) Gugup terhadap siapapun dan apapun yang berada di sekitarnya

4) Kaget dan cemas berlebihan bila mendengar suara yang keras


d. Penghindaran

1) Menghindari pemikiran, perasaan atau tempat-tempat yang mengingatkan atas

sebuah peristiwa

2) kaku

e. Perilaku-perilaku lain : Sulit tidur, konsentrasi, menjauh, penarikan sosial.

3. Koping stress

Dalam menghadapi stress tentu dibutuhkan koping, strategi, atau cara yang digunakan

untuk berdamai dengan stresor (dalam Auerbach & Gramling, 1998). Koping harus

segera dilakukan agar stress yang dialami tidak berkepanjangan tanpa penyelesaian.

Folkman (dalam Resick, 2001) mengartikan koping sebagai perubahan pemikiran dan

perilaku yang digunkaan oleh seseorang dalam menghadapi tekanan dari luar maupun

dalam yang disebabkan oleh transaksi antara seseorang dengan lingkungannya yang

dinilai sebagai stresor. Koping ini nantinya akan terdiri dari upaya-upaya yang dilakukan

untuk mengurangi keberadaan stresor.

Sheridan dan Radmacher (1992) telah mengklarifikasikan koping ke dalam dua jenis

yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problem-focused coping

adalah suatu penanganan stres dengan cara mengurangi atau memecahkan masalah yang

menjadi sumber stres. Moos dan Billings (dalam Goldberger & Brezwitz, 1982)

memberikan contoh problem-focused coping yaitu mencari info atau saran , berbicara

dengan pasangan atau kerabat lainnya mengenai permasalahan yang dihadapi, atau dapat

berupa permintaan jenis pertolongan yang spesifik seperti meminjam uang. Sedangkan

emotion-focused coping adalah penanganan stres dengan mengendalikan respon emosi


yang diakibatkan oleh stresor. Sebagai contoh adalah menunda untuk memikirkan

masalah atau mencoba untuk tidak disulitkan dengan permasalahan.

Emotion-focused coping mencoba menghilangkan perasaan yang tidak nyaman yang

diakibatkan oleh stressor, bisa dengan cara melihat sisi positif dari satu hal, mencari

hikmah dibalik kejadian atau bahkan tak jarang digunakan pengingkaran untuk

menenangkan hati. Penghindaran dan pengingkaran adalah cara yang umum digunakan

dalam emotion-focused coping. Penghindaran mengacu pada pemindahan diri dari situasi

yang menekan sedangkan pengingkaran meliputi melarikan diri dari stressor atau dapat

juga penyangkalan bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi.

Cara individu untuk menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh

sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik / energi, keyakinan, keterampilan

memecahkan masalah, keterampilan sosial, dukungan sosial dan materi. Keyakinan

menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting seperti keyakinan akan nasib yang

mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan yang akan menurunkan

kemampuan strategi koping individu.

4. Reaksi Psikologis Trauma setelah Benca Alam

Gangguan psikologi  dianggap masalah utama yang merupakan dampak peristiwa

ekstrim seperti bencana sebagai kondisi  yang  abnormal yang mengakibatkan respon

abnormal terhadap terjadinya bencana. Tanggapan manusia terhadap bencana alam

berhubungan dengan  cara orang berpikir, berperilaku dan berinteraksi dalam  lingkungan

(Guttman, 2000). Bencana yang tak terduga, terjadi tiba-tiba, dan kerusakan yang luas

dipahami sebagai traumatis dan terkait dengan resiko  tinggi gangguan psychological

(Bolin, 1989; Thoits, 1983). Yang paling sering terjadi adalah kondisi kehidupan yang
terganggu yang memerlukan periode panjang dalam pemulihan (Yates, 1992).  Ada

sedikit pertanyaan mengenai dampak potensial traumatis peristiwa bencana. Beberapa

studi menunjukkan bahwa gejala stres pasca trauma dan tingkat PTSD meningkat pada

kejadian bencana (Staab et al., 1999). Misalnya, orang yang menderita trauma akan

mengakibatkan  kerugian finansial yang signifikan dalam bencana alam cenderung

memiliki lebih banyak gejala

Tergantung pada beratnya dampak bencana , tingkat PTSD telah ditemukan bervariasi

dari sekitar 5 persen menjadi 22 persen (Green & Lindy, 1994) .Dalam beberapa tahun

terakhir, meningkat kesadaran akan dampak psikologis peristiwa bencana, post trauma

intervention telah menerima cukup perhatian. Model yang paling banyak digunakan

intervensi ofpsychological adalah Mitchell Kritis Insiden Tekanan Debriefing (CSID)

(Mitchell, 1983; Mitchell & Everly, 1996). Brifing digunakan sebagai intervensi

pencegahan, dan memberikan  asumsi bahwa memberikan dukungan  dengan kesempatan

untuk berbagi pengalaman mereka dalam lingkungan dan mendukung akan mengurangi

perasaan kelainan, menormalkan perasaan distress  dan perilaku, dan mengurangi

morbiditas kronis dengan memfasilitasi coping responses lebih adaptif (Raphael &

Wilson, 2000).  Hal ini tidak berarti bahwa bencana tidak memiliki dampak psikososial

yang signifikan. Hampir selalu menghasilkan aditif dan stressor interaktif yang dapat

berkontribusi untuk gejala bahaya gangguan psychological yang muncul dalam beberapa

minggu atau bulan setelah bencana. Namun, penting di sini untuk mengenal  bahwa

tekanan psikologis lebih sering mencerminkan kesulitan dan sulitnya selama pemulihan

dan pembangunan kembali, daripada karakteristik dampak bencana.

"Berurusan dengan badan-badan bantuan (terutama instansi pemerintah), kehilangan


pekerjaan, status kehilangan di lingkungan, atau campuran sosiokultural berubah di

masyarakat adalah semua pengalaman yang mungkin dapat terjadi setelah bencana dan

benar-benar mungkin lebih signifikan, dari waktu ke waktu, dari paparan agen bencana

sendiri "(Flynn, 1999: 111). Penelitian telah menunjukkan bahwa ketegangan yang terkait

dengan memulihkan perumahan dan pola hidup berdampak pada kesejahteraan psikologis

akut dan berpotensi menimbulkan peristiwa trauma penelitian Parker dari Darwin siklon

menunjukkan tingkat awal disfungsi antara korban terkait dengan 'stres kematian' takut

terjadinya  trauma  atau kematian), ketidakmampuan menyesuaikan diri setelah 10

minggu dikaitkan dengan kehilangan seperti  stres karena ditinggal dan harta benda yang

hilang dan gangguan dukungan komunitas atau dukungan keluarga. Demikian pula, Lima

et al. (1997) menemukan bahwa tingkat distress tujuh bulan setelah  Armero gunung

berapi in Colombia 1985 terkait kurang berdampak terjadinya  kekhawatiran  karena

beberapa karakteristik berkaitan dengan hilang harta, terganggu pekerjaan, ketidakpuasan

dengan kondisi hidup, dan perasaan tidak mempunyai apa-apa  secara memadai

disediakan atau difasilitasi  oleh pemerintah sehingga tidak berdambak terjadinya stress

pasca bencana.

5. Populasi Rentan Terkena

Di antara yang paling rentan terhadap dampak terjadinya bencana alam adalah

kelompok dengan ekonomi rendah dan daerah pinggiran . Pengalaman AS, daerah  yang

miskin secara ekonomi atau daerah yang kurang prioritas  untuk bencana cenderung

kehilangan lebih banyak selama proses pemulihan dan rekonstruksi pasca bencana (Dash

et al, 1997;. Phillips , 1993). Rumah tangga dengan berpenghasilan rendah umumnya

resiko tinggi terjadinya kehilangan yang lebih besar . Dalam hal bencana, rumah tangga
ini tidak hanya menimbulkan kerugian secara proporsional lebih tinggi, termasuk

kerusakan perumahan, tetapi lambatnya proses pemulihan atau lambatnya dalam proses

memperbaiki rumah (Bolin, 1993). Hal ini cenderung terjadi karena pendapatan yang

lebih rendah, tabungan lebih sedikit, pengangguran yang lebih besar, dan kurang asuransi.

Tidak seperti rumah tangga kelas atas dan menengah ke atas atas yang dapat keuntungan

relokasi atau biaya  konstruksi rumah, individu dengan pendapatan rendah mengalami

waktu yang lebih lama untuk pemulihan  rumah (Comerio, 1998).  Pengamatan serupa

telah dibuat untuk kelompok rentan lainnya. Sebagai contoh, orang tua memiliki

proporsional lebih banyak kehilangan dari orang yang lebih muda, tetapi mungkin

memiliki sumber daya sosial  dan economi lebih sedikit dan lebih enggan untuk meminta

bantuan formal (Butcher & Dunn, 1989).  Perempuan juga mengalami tingkat yang lebih

tinggi dari bahaya, tapi ini dikaitkan dengan pendidikan rendah, sumber daya pendapatan

yang terbatas, dan masalah kesehatan yang sudah ada (Shore et al. 1996). Brown dan

Harris (1993: 73) berpendapat bahwa perempuan kelas pekerja menjadi sangat rentan

terhadap tekanan psikologis setelah  krisis. Hal ini berhubungan dengan kualitas

emotional relationships mereka, jumlah anak-anak di rumah dan apakah wanita itu

mempunyai pekerjaan  luar rumah.

6. Mengenali tanda dan Gejala Trauma setelah bencana :

Pengalaman yang mengungsi dan kehilangan cara hidup untuk bencana dapat

traumatis bagi mereka yang juga harus berurusan dengan hilangnya keluarga dan teman-

teman. Tingkat kerusakan dapat menangkap orang-orang tidak siap dan meninggalkan

mereka pada kerugian tentang bagaimana untuk menangani dengan itu. Tanda-tanda dan

gejala trauma dapat terus lama setelah bencana berakhir, ketika korban telah dimukimkan
kembali ke tempat yang lebih aman. Secara garis besar, ada tiga tanda-tanda umum yang

sering terlihat pada orang yang menderita trauma:

a. Mengalami ulang peristiwa traumatik. Korban trauma sering mengalami kesulitan

berkonsentrasi, karena mereka terganggu oleh pikiran berulang atau gambar dari

peristiwa traumatik. Mereka mungkin merasa dan bertindak gelisah atau tertekan bila

terkena sesuatu yang mengingatkan mereka tentang tragedi itu. Kadang-kadang,

mereka berbicara tentang peristiwa masa lalu seolah-olah itu masih terjadi di masa

sekarang, seolah-olah mereka melihatnya dari dekat dan tepat di depan mata mereka.

Pada anak-anak, reexperiencing mungkin datang dalam bentuk mimpi buruk persisten

yang tidak dapat dijelaskan dan hari mengompol setelah acara telah terjadi, atau

terus-menerus, keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan (seperti sakit perut, pusing,

dan sakit kepala yang tidak dapat dikaitkan dengan penyebab fisik).

b. Menghindari kenangan trauma di biaya apapun. Korban trauma sering mencoba

untuk menutup bahkan pengingat paling terpencil insiden traumatis. Mereka mungkin

menghindari pergi ke tempat-tempat atau melakukan kegiatan yang membawa

kembali perasaan tertekan tentang acara tersebut. Mereka mungkin berusaha keras

untuk menghindari berbicara tentang insiden itu, atau bahkan berpikir tentang hal itu.

Banyak menjadi ditarik secara sosial. Secara fisik, mereka mungkin mulai merasa

mati rasa atas sebagian atau seluruh tubuh mereka setiap kali kenangan dari peristiwa

traumatis muncul kembali. Beberapa bahkan mungkin tidak mampu mengingat apa

yang terjadi, atau mereka mungkin lupa bahwa mereka pergi melalui pengalaman

sama sekali.
c. Menjadi menerus cemas dan / atau mudah gelisah. Kondisi ini, juga dikenal sebagai

hyper-arousal, menghasilkan orang yang mudah terkejut dan sering merespon dengan

cara yang berlebihan (misalnya, tiba-tiba melarikan diri saat mendengar sesuatu yang

mengingatkan mereka tentang trauma). Setelah peristiwa traumatik, orang mungkin

tidak bisa tidur atau tetap tertidur. Mereka mungkin lebih mudah marah dibandingkan

perubahan suasana hati biasa dan tampilan atau misbehaviors yang tidak khas. Anak-

anak mungkin melekat pada orang tua mereka, menolak untuk pergi ke sekolah, dan

menampilkan kekhawatiran terus-menerus berhubungan dengan bencana, seperti

takut kehilangan orang tua mereka.

7. Assesment

Aspek kesehatan mental perlu dipertimbangkan dalam langkah-langkah penanganan

pasca bencana. Untuk itu diperlukan informasi yang akurat tentang kondisi kesehatan

mental masyarakat yang terkena bencana beserta faktor yang mempengaruhi gangguan

psikologis pada masyarakat pasca bencana. Sehingga diperlukan :

a. Rapid Assesment

1) Menentukan besarnya populasi yang memerlukan bantuan psikologis

2) Sebaran populasi yang memerlukan bantuan psikologis

3) Jenis dan tingkat permasalahan psikologis

4) Mengumpulkan informasi tentang kerusakan fisik di lingkungan

5) Mengumpulkan informasi tentang hunian sementara dan serta bagaimana

kondisinya, bagaimana tingkat kenyamanannya

6) Mengumpulkan informasi tentang representasi mental korban yang dialaminya


b. Menentukan intervensi berdasarkan data yang didapat untuk menangani atau

menurunkan bahkan mencegah terjadinya gangguan psikologis pada korban bencana

c. Melaksanakan intervensi yang sudah disusun terutama memperhatikan kebutuhan

dasar korban bencana, mulai dari pemenuhan kebutuhan fisiologis, aman nyaman,

merasa dicintai, harga diri dan aktualisasi diri

d. Initial assessment

Langkah pertama untuk pengkajian pasien dengan masalah kesehatan mental

adalah memfokuskan untuk mengidentifikasi dengan memerlukan immediate care

pada pelayanan emergensi yang meliputi pengkajian :

1) Kesehatan mental di prehospital

2) Ide bunuh diri, adanya perilaku yang mengisyaratkan bunuh diri

3) Adanya ide pembunuhan

4) Berkurangnya perilaku dalam melakukan perawatan diri

5) Melukai diri sendiri

6) Penurunan kemampuan dalam mengontrol perilaku kekerasan

7) Adanya keganjilan pada perilaku

8) Penggunaan obat dan alcohol dengan gejala psikiatri

e. Secondary assessment

a) Penampilan dan gerakan tubuh secara umum

Apakah penampilan pasien berikut ini?

 Berantakan, tidak bersih

 Slumpedt, tegang, kaku

 Provokatif, mengancam
 Tidak tepat dalam berpakaian (misalnya, celana pendek di musim dingin)

b) Kemampuan untuk berpartisipasi dalam sebuah wawancara

Menilai pasien sebagai berikut:

 Tingkat kesadaran

 Orientasi ke orang, tempat, dan waktu

 Tingkat gangguan

 Kemampuan untuk koperasi vs resistensi

 Tingkat guardedness atau kecurigaan

 Tingkat agitasi atau permusuhan

c) Speech (rate, nada, kefasihan)

Apakah bicara  pasien ditandai dengan salah satu dari berikut?

 Sturred, gagap

 Peningkatan, Ioud

 Penurunan, lembut

 Ditekan

 Mood and Affect

Apakah suasana hati pasien ditandai dengan salah satu dari berikut?

 Tertekan

 Euphoric

 Manic

 labil

 Cemas
 Membenci

d) Cognition and thought control

Evaluasi apakah pasien memiliki karakteristik sebagai berikut:

 Penurunan Intelectual

 Berpikir teratur

 Flight of ideas

 Pelonggaran asosiasi

 Pemikiran tangensial

 Blocking 

 Delusi

 Disorientasi

 Halusinasi

e) Insight and judgment

Apakah pasien memiliki salah satu dari berikut ini?

 Pemahaman tentang masalah dan perlunya bantuan atau pengobatan

(wawasan)

 Kemampuan untuk membuat keputusan (penghakiman)

f) General Management Techniques

g) Identifikasi gejala umum dan tingkat keparahan

Dengan cepat mengidentifikasi sifat umum dan tingkat keparahan masalah

yang yang ditampilkan. Seringkali perawat emergensi harus bergantung pada


keluarga pasien atau teman-teman untuk informasi ini. Perawat emergensi harus

mengajukan pertanyaan dengan beberapa kunci tertentu , yaitu :

 Mengapa pasien datang untuk bantuan sekarang ?

 Apakah pasien membahayakan dirinya sendiri atau orang lain ?

 Apa kejadian yang mengarah ke kondisi ini ?

 Apakah ada beberapa peristiwa atau hal yang memicunya ?

 Siapa yang membawa pasien?

 Apakah pasien harapkan dari kunjungan ini ?

 Obat apa yang sedang dikonsumsi pasien ?

Selama wawancara pasien, lakukan hal berikut :

 Tetapkan batas tegas

 Tampil tenang dan tidak menghakimi

 Dorong pasien untuk tetap focus

 Pastikan bahwa bantuan sangat dibutuhkan dan  pasien akan menjadi

berbahaya secara fisik

 Jangan biarkan pasien untuk datang antara perawat dan pintu

 Cobalah untuk menurunkan tingkat kecemasan pasien

 Jangan berdebat dengan pasien atau mencoba untuk berbicara dari bagaimana

perasaan mereka

 Memberikan penjelasan yang jelas kepada pasien

 Bersikaplah jujur tentang rencana terapi

h) Pendekatan secara umum pada pasien dengan gangguan mental


Individu dengan psikiatri emergensi mungkin mengalami penurunan dalam

mengontrol diri sendiri dan melakukan kontak dengan dunia luar secara realita.

Perhatian yang paling utama pada pelayanan emergensi tidak spesifik pada

penyebab atau penampilan luar tetapi lebih pada evaluasi tingkat disfungsi dan

hilangnya secara luas kontak dengan realita. Treatmen melibatkan terapi yang

segera untuk mengurangi distres akut dan membantu pasien menciptakan kembali

sebuah pikiran dalam mengontrol diri sendiri. Untuk mencapai keadaan ini, dapat

dilakukan dengan pelayanan yang lebih ekstensif.

Beberapa hal yang dapat dilakukan pada pasien pasien yang mengalami

gagguan mental, yaitu :

a) Menciptakan hubungan yang baik

b) Gunakan kontak mata.

c) Rileks ketika berhadapan dengan pasien

d) Biarkan pasien mengetahui tentang pelayanan yang diberikan kepada pasien

sebagai perseorangan

e) Mendengarkan dengan baik yang disampaikan pasien, tetapi dengan lemah

lembut/perlahan mengalihkan perhatian percakapan pada fokus wawancara.

f) Menciptakan chief complaint

 Apakah pasien bertanya?

 Mengapa pasien bertanya untuk waktu ini?

 Apakah waktu pertemuan ini dipercepat?

 Apakah waktu pertemuan yang akan dating dipercepat?

 Apakah dibantu pada pertemuan yang akan datang?


g) Bicara dengan jelas dan tanpa menggunakan bahasa khusus.

h) Mengenali pasien yang mengalami kemunduran. Dorong kemandirian dan

partisipasi dalam pengambilan keputusan kapanpun.

i) Bersikap jujur

j) Selalu menjaga perilaku dan jelas

k) Antisipasi adanya perubahan emosional (seperti marah, menangis dan sedih)

l) Menjelaskan prosedur kepada pasien

m) Bersikap serius pada pasien

n) Validasi perasaan pasien

o) Jangan terhesa-gesa memberikan pertanyaan untuk membantu mengenali

perasaan pasien

p) Jangan takut mengakui ketidaktahuan

q) Libatkan keluarga atau pasien atau yang lainnya secara signifikan.

8. Intervensi PTSD

Terdapat 2 penyebab utama yang memicu PTSD yaitu dari aspek biologis dan

psikososial. Ditinjau dari aspek biologis, PTSD terjadi karena terdapat gangguan di otak,

khususnya bagian memori yang  kejadian trumatisnya terus berulang-ulang. Memori

tersebut bila dilahat secara anatomi terdapat hipokampus dan amigdala yang terjadi

gangguan (Schiraldi, 2009). Selain itu pada penderita PTSD juga mengalami derajat

hormon stress yang tidak normal. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan PTSD

memiliki hormn kortisol yang rendah jika dibandingan dengan pasien yang normal dan

hormn epinefrin dan norepinefrin dalam jumlah yang lebih dari rata-rata. Ketiga hormon

tersebut berperan penting dalam menciptakan respon “flight or fight terhadap situasi stres
(PTSD support service, 2009). Penyebab yang kedua dar sspek psikosial  yaitu

pengalaman hidup yang dialami oleh seserang sepanjang hidupnya juga merupakan salah

satu penyebab terjadinya PTSD. Pengalaman hidup ini mencangkup pengalaman yang

dialami dari masa kecil samapi dengan dewasa. Selain pengalaman hidup yang dialami,

jumlah  dan tingkat keparahan peristiwa traumatik yang dialami oleh individu tersebut

juga memberikan pengaruh (Mayo Clinic, 2009). Smith dan Segal (2005) menyebutkan

peristiwa traumatik yang dapat mengarah kepada munculnya PTSD termasuk perang,

pemerkosaa, bencana alam,  kecelakaan mobil, penculikan, penyerangan fisik, penyiksaan

seksual/ fisik, prosedur medikal terutama pada anak-anak.

Ada 3 kelompok tanda dan gejala PTSD berdasarkan APA (2000), yaitu :

a. Merasakan kembali peristiwa traumatik tersebut (re-experiencing symptoms)

Merasakan kembali kejadian traumatis dalam berbgai cara dan hal ini terjadi terus

menerus dan menetap. Menurut yehuda (2002), bahwa tanda dan gejala pada kelompoj

ini merupakan perwujudan dari kenangan tentang insiden yang tidak diinginkan,

muncul dalam bentuk bayangan atau imajinasi yang mengganggu, mimpi buruk dan

kilas balik. Tanda dan gejala yang timbul adalah:

1) Secara berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak menyenangkan

mengenai peristiwa traumatik.

2) Mengalami mimpi buruk yang terus menerus berulang.

3) Bertindak atau merasakan seakan-akan peristiwa traumatik tersebut akan berulang

kembali (flasback).

4) Memiliki perasaan menderita yang kuat ketika teringat kembali peristiwa

traumatik tersebut.
5) Terjadi respok fisikal, seperti jantung berdetang kencang atau berkeringat ketika

teringat akan peristiwa traumatik.

b. Menghindari (avoding symptoms)

Tanda dan gejala PTSD menurut kelompk ini meliputi penurunan respon individu

secara umum dan perilaku menghindar yang menetap terhadap segala hal yang

mengingatkan klien terhadap trauma. Tanda dan gejala pada kelompok ini adalah:

1) Berusaha kerasa untuk menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan

mengenai peristiwa traumatik.

2) Berusaha menghindari tempat atau orang-orang yang dapat mengingatkan kembali

akan peristiwa traumatik.

3) Sulit untuk mengingat kembli bagian penting dari peristiwa traumati.

4) Kehilangan ketertarikan atas aktifitas positif yang penting.

5) Merasakan seakan-akan hidup anda seperti terputus ditengah-tengah anda tidka

berharap untuk dapat kembali mengalami hidup dengan normal, emnikah, dan

memiliki akris

c. Waspada (hyper-arousal symptoms).

Individu yang menderita PTSD akan mengalami peningkatan pada mekanisme

fisilgis tubuh, yang akan timbul pada saat tubuh sedang istirahat. Hal ini terjadi sebagai

akibat dari reaksi yang berlebihan terhadapt stresor baik secara langsung atau tidak

yang merupakan lanjutan atau sisa-sisa dari trauma yang dirasakan. Tanda dan gejala

pada kelompok ini adalah:

1) Sulit untuk tidur atau tidur tapi dengan gelisah

2) Mudah/ lekas marah atau meledak=ledak


3) Memiliki kesulitan untuk berkonsentrais

4) Selalu merasa seperti diawasi atau merasa seakan-akan bahaya mengincar di

setiap sudut.

5) Menjadi gelisah tidak tenang atau mudah terpicu/ sangat waspada.

Seorang dikatakan menderita PTSD jika memebuhi kriteria berikut ini dalam waktu

minimal 1 bulan (NIMH, 2009, APA, 2000):

a. Mengalami kejadian atau peristiwa traumatis

b. Minimal memiliki 1 tanda re-experiencing symptoms

c. Minimal memiliki 3 tanda avoding symptoms

d. Minimal memiliki  2 tanda hyper-arousal smptoms.

e. Tanda dan gejala yang menyebabkan individu kesulitan dalam menjalani

kehidupan sehari-haru, sekolah atau bekerja, berinteraksi dengan teman,

menyelesaikan tugas-tugas penting laiannya.

Menurut APA (2000) dan Ross (1999) jenis-jenis PTSD terbagi atas tiga, yaitu:

1) PTSD akut

PTSD dikatakan akut tanda dan gejala PTSD berakhir dalam kurun waktu satu

bulan, sangat mempengaruhi kemampuan individu tersebut dalam menjalankan

fungsinya. Jadi rentang waktunya adalah 1-3 bulan dan jika dalam waktu lebih

dari satu bulan, individu tersebut masih merasakan tanda dan gejala PTSD dalam

skala berat, itu tandanya dia harus segera menghubungi pelayanan kesehatan

terdekat. 2) PTSD kronik, PTSD kronik timbul jika tanda dan gejalanya

berlangsung lebih dari 3 bulan. Jika sudah terdiagnosa dengan pTSD ada baiknya

segera menghubungi pelayanan kesehatan, karena jika tidak ada treatment yang
dilakukan makan tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik. 3) PTSD With

Delayed Onset, walaupun sebenarynya tanda dan gejala PTSD muncul pada saat

setelah trauma, ada kalanya tanda dan gejalanya baru muncul minimal enam bulan

bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa traumatic itu terjadi.

9. Penanganan untuk PTSD

PTSD merupakan salah satu dari gangguan kecemasan, oleh karena itu tindakan untuk

mengatasi PTSD hampir sama dengan cara untuk mengatasi kecemasan, yaitu:

a. Tindakan medis

Berdasarkan DSM-IV, PTSD masuk pada kelompok anxiety disorder, dengan

daignose medis post-traumatic stress disorder (APA, 2000). Jenis pengobatan yang

bisa digunakan pada pengobatan PTSD menurut Ross (1999):

1) SSRI antidepressant

Ada lima SSRI yang bisa digunakan :Zoloft (sertraline), Paxil (paroxetine),

prozac (fluoxetine), Luvox (fluvoxamine), Celexa (citalopram).

2) Antidepresan lain yang bisa digunakan jika SSRI antidepresan tidak efektif

mengatasi PTSD atau menimbulkan efek samping, yaitu Serzone(nefazone), dan

Effexor (venlafazine).

3) Antidepresant Trisiklik

Antidepresant Trisiklik yang bisa digunakan yaitu imipramine, amitriptyline

(Evavil).

4) Antiansietas
Benzodiazepine adalah obat yang digunakan untuk mengurangi ansietas,

biasanya digunakan untuk jangka pendek, yaitu valium (Diazepam), Xanax

(alprazolam), klonopoin (Clonazepam), dan Ativan (Lorazepam).

b. Tindakan Keperawatan

1) Pengkajian untuk klien dengan PTSD

Pengkajian untuk klien dengan PTSD meliputi empet aspek yang akan

bereaksi terhadap stress akibat pengalaman traumatis, yaitu (Cook & Fontaine,

2005) :

a) Pengkajian perilaku (behavioral assessment), yang dikaji adalah dalam

keadaan yang bagaimana klien mengalami perilaku agresif yang berlebihan,

dalam keadaan yang seperti apa klien mengalami kembali trauma yang

dirasakan,bagaimana cara klien untuk menghindari situasi atau aktivitas yang

akan mengingatkan klien terhadap trauma, seberapa sering klien mengalami

kesulitan dalam masalah pekerjaan semenjak kejadian traumatis.

b) Pengkajian afektif (affective assessment), berapa lama waktu dalam satu hari

klien merasakan ketegangan dan perasaan ingin cepat marah, apakah klien

pernah mengalami serangan panik, perasaan bersalah yang dialami yang

berkaitan dengan trauma, tipe aktivitas yang disukai untuk dilakukan, apa saja

sumber-sumber kesenangan dalam hidup klien, hubungan yang secara

emosional terasa akrab dengan orang lain

c) Pengkajian intelektual (intellectual assessment) yang dikaji adalah kesulitan

dalam hal konsentrasi, kesulitan dalam hal memori, berapa frekuensi dalam

satu hari tentang pikiran yang berulang yang berkaitan dengan trauma ,
apakah klien bisa mengontrol pikiran-pikiran berulang tersebut , mimpi buruk

yang dialami klien, apa yang disukai klien terhadap dirinya.

d) Pengkajian sosiokultural (sociocultural assessment) yang dikaji adalah

bagaimana cara keluarga dan teman klien menyampaikan tentang perilaku

klien yang menjauh dari mereka ,pola komunikasi  antara klien dengan

keluarga dan teman, apa yang terjadi jika klien kehilangan keluarganya, dan

apakah klien bercerai atau merasa terancam dengan situasi perceraian

tersebut.

2) Intervensi keperawatan

Intervensi keperawatan secara generalis menurut Wilkinson (2007) tujuan

umum pada masalah keperawatan PTSD adalah agar individu mampu mengatasi

stresor yang ada dengan semua kemampuan yang dia memiliki. Tindakan yang

bisa dilakukan adalah membantu klien mengurangi melakukan perasaan diri atau

perilaku kekerasan diri sendiri, meningkatkan kemampuan klien untuk

beradaptasi terhadap stresor, perubahan, atau ancaman yang akan ditemuinya

dlam kehidupan, mebantu dalam hal fokus terhadap kebutuhan, membantu dalam

hal fokus terhadap kebutuhan, masalah atau perasaa klien dan orang-orang

terdekat untuk meningkatkan koping, problem solving dan hubungan

interpersonal, dan hubungan interpersonal, membantu pasien memfasilitasi

tingkah laku impulsif memalui aplikasi pemecahan masalah.

c. Terapi Psikososial

Ada beberapa intervensi lanjut yang bisa diterapkan untuk mengatasi masalag

PTSD. Menurut pendapat para ahli, prakti intervensi lanjut untuk mengatsi PTSD
diantaranya: exposure therapy, trauma-fokused cgnitive-behavioral therapy, EMDR

(Eye movement desentisitation and reprcessingg), family therapy, couples therapy,

anxiety management, cognitive behavioral tehapy, cognitive tehrapy, dan

complementary adn alternative medicine (CAM)

Anda mungkin juga menyukai