Anda di halaman 1dari 22

TATA KELOLA PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA

SEMESTER GANJIL 2021/2022

MATA KULIAH MANAJEMEN BENCANA

Dosen Pengampu

H. Dr. Indra Utama, M.Si

Disusun Oleh

Nama : Aditya Wardhana

Npm : 198520204

PRODI ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS MEDAN AREA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

Tata Kelola Penanggulangan Bencana di Indonesia

A. Latar Belakang

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik

oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga

mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,

kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia telah mencapai

berbagai kemajuan. Kemajuan tersebut terlihat pada terbangunnya komitmen

nasional, perkembangan peran kelembagaan, meningkatnya kesiapsiagaan

seiring dengan terbangunnya ketangguhan komunitas dan kemitraan antar

pihak untuk menghadapi risiko bencana. Seluruh capaian ini juga diakui oleh

dunia internasional hingga memperkuat posisi Indonesia dalam kancah

penanggulangan bencana internasional.

Di sisi lain, berbagai bencana juga melanda Indonesia dan menimbulkan

kerugian dan korban yang cukup besar. Terakhir adalah dikeluarkannya status

bencana nasional untuk bencana non-alam akibat pandemi corona virus disease

yang terdeteksi pada akhir Tahun 2019 (lebih dikenal sebagai Covid-19). Pandemi

Covid-19 menyerang seluruh negara di dunia. Pandemi Covid-19 di Indonesia,

berdampak pada hampir seluruh sektor pembangunan. Hingga akhir proses


penyusunan dokumen ini, Indonesia masih berada pada kondisi status darurat

bencana nasional.

Beberapa kendala yang ditemukan saat penanganan darurat bencana Covid-

19 di Indonesia memperlihatkan beberapa peluang untuk memperbaiki sistem

nasional. Oleh karena itu Presiden Republik Indonesia memerintahkan untuk

melaksanakan Reformasi Sistem Kesehatan Nasional, Reformasi Sistem

Perlindungan Sosial dan Reformasi (Penguatan) Sistem Ketahanan Bencana.

Reformasi (Penguatan) Sistem Ketahanan Bencana diarahkan kepada

pemutakhiran untuk dapat mengatasi bencana non-alam skala nasional tanpa

mengurangi ketahanan menghadapi bencana alam lain yang tetap berisiko

terjadi bersamaan dengan bencana non-alam.

Tujuan Makalah

Mengetahui bagaimana penanggulangan bencana di Indonesia, bagaimana

proses penanggulangan berbagai macam bencana dan secara umum mengetahui

peran pemerintah dalam penanggulangan bencana serta menjadi pengetahuan

semua pihak dalam persiapan menghadapi bencana.

BAB II

PEMBAHASAN

Tata Kelola Penanggulangan Bencana di Indonesia

Penanganan Bencana

Dalam upaya menerapkan manajemen penanggulangan bencana, dilaksanakan

melalui 3 (tiga) tahapan sebagai berikut:


1. Tahap pra-bencana yang dilaksanakan ketika sedang tidak terjadi bencana dan

2 ketika sedang dalam ancaman potensi bencana

3 Tahap tanggap darurat yang dirancang dan dilaksanakan pada saat sedang

terjadi

bencana.

4. Tahap pasca bencana yang dalam saat setelah terjadi bencana.

TAHAP PRA BENCANA

Tahap Pencegahan dan Mitigasi

Tahap pencegahan dan mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi serta

menanggulangi resiko bencana. Rangkaian upaya yang dilakukan dapat berupa

perbaikan dan modifikasi lingkungan fisik maupun penyadaran serta

peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Tahap pencegahan

dan mitigasi bencana dapat dilakukan secara struktural maupun kultural (non

struktural). Secara struktural upaya yang dilakukan untuk mengurangi

kerentanan (vulnerability) terhadap bencana adalah rekayasa teknis bangunan

tahan bencana. Sedangkan secara kultural upaya untuk mengurangi kerentanan

(vulnerability) terhadap bencana adalah dengan cara mengubah paradigma,

meningkatkan pengetahuan dan sikap sehingga terbangun masyarakat yang

tangguh. Mitigasi kultural termasuk di dalamnya adalah membuat masyarakat

peduli terhadap lingkungannya untuk meminimalkan terjadinya bencana.

Kegiatan yang secara umum dapat dilakukan pada tahapan ini adalah:membuat

peta atau denah wilayah yang sangat rawan terhadap bencana, pembuatan
alarm bencana, membuat bangunan tahan terhadap bencana tertentu, memberi

penyuluhan serta pendidikan yang mendalam terhadap masyarakat yang berada

di wilayah rawan bencana.

Tahap Kesiapsiagaan

Tahap kesiapsiagaan dilakukan menjelang sebuah bencana akan terjadi. Pada

tahap ini alam menunjukkan tanda atau signal bahwa bencana akan segera

terjadi. Maka pada tahapan ini, seluruh elemen terutama masyarakat perlu

memiliki kesiapan dan selalu siaga untuk menghadapi bencana tersebut. Pada

tahap ini terdapat proses Renkon yang merupakan singkatan dari Rencana

Kontinjensi. Kontinjensi adalah suatu keadaan atau situasi yang diperkirakan

akan segera terjadi, tetapi mungkin juga tidak akan terjadi. Rencana Kontinjensi

berarti suatu proses identifikasi dan penyusunan rencana yang didasarkan pada

keadaan kontinjensi atau yang belum tentu tersebut. Suatu rencana kontinjensi

mungkin tidak selalu pernah diaktifkan, jika keadaan yang diperkirakan tidak

terjadi.

Secara umum, kegiatan pada tahap kesiapsiagaan antara lain:

1. menyusun rencana pengembangan sistem peringatan, pemeliharaan

persediaan dan pelatihan personil.

2. menyusun langkah-langkah pencarian dan penyelamatan serta rencana

evakuasi untuk daerah yang mungkin menghadapi risiko dari bencana berulang.

3. melakukan langkah-langkah kesiapan tersebut dilakukan sebelum peristiwa

bencana terjadi dan ditujukan untuk meminimalkan korban jiwa, gangguan

layanan, dan kerusakan saat bencana terjadi.


TAHAP TANGGAP DARURAT

Tahap tanggap darurat dilakukan saat kejadian bencana terjadi. Kegiatan pada

tahap tanggap darurat yang secara umum berlaku pada semua jenis bencana

antara lain:

1. Menyelamatkan diri dan orang terdekat.

2. Jangan panik.

3. Untuk bisa menyelamatkan orang lain, anda harus dalam kondisi selamat.

4. Lari atau menjauh dari pusat bencana tidak perlu membawa barang-barang

apa pun.

5. Lindungi diri dari benda-benda yang mungkin melukai diri.

TAHAP REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI

Tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi biasa dilakukan setelah terjadinya

bencana. Kegiatan inti pada tahapan ini adalah:

1. Bantuan Darurat

2. Mendirikan pos komando bantuan

3. Berkoordinasi dengan Satuan Koordinator Pelaksana Penanggulangan

Bencana (SATKORLAK PBP) dan pemberi bantuan yang lain.

4. Mendirikan tenda-tenda penampungan, dapur umum, pos kesehatan dan pos

koordinasi.
5. Mendistribusikan obat-obatan, bahan makanan dan pakaian.

6. Mencari dan menempatkan para korban di tenda atau pos pengungsian.

7. Membantu petugas medis untuk pengobatan dan mengelompokan korban.

8. Mencari, mengevakuasi, dan makamkan korban meninggal.

Inventarisasi kerusakan

Pada tahapan ini dilakukan pendataan terhadap berbagai kerusakan yang

terjadi, baik bangunan, fasilitas umum, lahan pertanian, dan sebagainya.

Evaluasi kerusakan

Pada tahapan ini dilakukan pembahasan mengenai kekurangan dan kelebihan

dalam penanggulangan bencana yang telah dilakukan. Perbaikan dalam

penanggulangan bencana diharapkan dapat dicapai pada tahapan ini.

Pemulihan (Recovery)

Pada tahapan ini dilakukan pemulihan atau mengembalikan kondisi lingkungan

yang rusak atau kacau akibat bencana seperti pada mulanya. Pemulihan ini tidak

hanya dilakukan pada lingkungan fisik saja tetapi korban yang terkena bencana

juga diberikan pemulihan baik secara fisik maupun mental.

Rehabilitasi (Rehabilitation)

Mulai dirancang tata ruang daerah (master plan) idealnya dengan memberi

kepercayaan dan melibatkan seluruh komponen masyarakat utamanya korban

bencana. Termasuk dalam kegiatan ini adalah pemetaan wilayah bencana.


1. Mulai disusun sistem pengelolaan bencana yang menjadi bagian dari sistem

pengelolaan lingkungan

2. dan penyiapan lahan untuk permukiman tetap

3. Relokasi korban dari tenda penampungan

4. Mulai dilakukan perbaikan atau pembangunan rumah korban bencana

5. Pada tahap ini mulai dilakukan perbaikan fisik fasilitas umum dalam jangka

menengah

6. Mulai dilakukan pelatihan kerja praktis dan diciptakan lapangan kerja

7. Perbaikan atau pembangunan sekolah, sarana ibadah, perkantoran, rumah

sakit dan pasar mulai dilakukan

8. Fungsi pos komando mulai dititikberatkan pada kegiatan fasilitasi atau

pendampingan.

Rekonstruksi

Kegiatan rekonstruksi dilakukan dengan program jangka menengah dan jangka

panjang guna perbaikan fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan

kehidupan masyarakat pada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya

Melanjutkan pemantauan

Wilayah yang pernah mengalami sebuah bencana memiliki kemungkinan besar

akan mengalami kejadian yang sama kembali. Oleh karena itu perlu dilakukan

pemantauan terus-menerus untuk meminimalisir dampak bencana tersebut.


Dalam keseluruhan tahapan Penanggulangan Bencana tersebut, ada 3 (tiga)

manajemen yang dipakai yaitu :

Manajemen Risiko Bencana

Adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada

faktor-faktor yang mengurangi risiko secara terencana, terkoordinasi, terpadu

dan menyeluruh pada saat sebelum terjadinya bencana dengan fase-fase antara

lain :

Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya

untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencan. Mitigasi adalah

serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui

pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan

menghadapi ancaman bencana

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang

tepat guna dan berdaya guna. Dalam fase ini juga terdapat peringatan dini yaitu

serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada

masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh

lembaga yang berwenang

Manajemen Kedaruratan

Adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada

faktor-faktor pengurangan jumlah kerugian dan korban serta penanganan

pengungsi secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh pada saat

terjadinya bencana dengan fase nya yaitu :


Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan

segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang

ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta

benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,

penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana

Manajemen Pemulihan

Adalah pengaturan upaya penanggulangan bencana dengan penekanan pada

faktor-faktor yang dapat mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan

hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan,

prasarana, dan sarana secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh

setelah terjadinya bencana dengan fase-fasenya nya yaitu

Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik

atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana

dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua

aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana

Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,

kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan

maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya

kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan

bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan

bermasyarakat pada wilayah pascabencana.

Tata Kelola Penanggulangan Bencana Oleh BNPB


Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) harus diperkuat sesuai misinya

dalam kebencanaan, dari perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring

penanggulangan bencana. Hal yang mengundang tanda tanya saat ini adalah

hilangnya narasi BNPB dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam usulan

perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana (PB) yang sedang dibahas DPR. Pertanyaannya, mengapa pemerintah

begitu ngotot menggeser tata kelembagaan pengelolaan bencana pada level

peraturan presiden (perpres) dan tidak mau menaikkannya setingkat undang-

undang? Kita semua mesti mencermati, bahwa peran BNPB sedang ingin diubah

menjadi sebatas urusan kedaruratan. Padahal, kalau pemerintah memahami

kebencanaan, pengelolaan bencana sudah menjadi sebuah sistem industri yang

sangat besar efek dan kontribusinya terhadap pembangunan.

Tiga aspek sistem penanggulangan bencana

Menurut BNPB, sistem nasional penanggulangan bencana mencakup tiga aspek,

yaitu:

1. Aspek Legislasi

Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007

tentang Penanggulangan Bencana. Selain itu, terdapat produk hukum lain di

bawah UU tersebut antara lain Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,

Peraturan Kepala Badan serta peraturan daerah.

UU Penanggulangan Bencana

Undang-undang terkait penanggulangan bencana di Indonesia antara lain:

UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.


UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau

kecil.

Peraturan Presiden tentang Penanggulangan Bencana

Terdapat beberapa Peraturan Presiden (Perpres) terkait penanggulangan

bencana, antara lain:

Perpres No. 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan

Bencana

Perpres No. 3 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 83

Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana.

Perpres No. 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 54 Tahun

2010 tentang Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah.

Peraturan Pemerintah tentang Penanggulangan Bencana

Berikut ini beberapa Peraturan Pemerintah tentang penanggulangan bencana:

PP No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

PP No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana.

PP No. 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga

Asing Non Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana.

Keputusan Presiden terkait Penanggulangan Bencana


Keppres No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Penanggulangan Bencana

dan Penanganan Pengungsi.

Keppres No. 111 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Kepres No. 3 Tahun 2001

tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan

Pengungsi.

Keppres No. 59 Tahun 2009 tentang Anggota Unsur Pengarah Penanggulangan

Bencana dari Instansi Pemerintah

Peraturan Kepala BNPB

Terdapat banyak sekali Peraturan Kepala (Perka) BNPB sejak pertama kali

terbentuk. Berikut ini beberapa Perka BNPB di antaranya:

Perka BNPB No. 1 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Pegawai Pemerintah Non

Pegawai Negeri.

Perka BNPB No. 2 Tahun 2019 tentang kode etik dan perilaku pegawai BNPB.

Perka BNPB No. 4 Tahun 2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Nasional

Penanggulangan Bencana.

2. Aspek Kelembagaan

Dalam penanganan bencana, kelembagaan dapat ditinjau dari sisi formal dan

non formal. Secara formal, focal point lembaga pemerintah di tingkat pusat

untuk penanggulangan bencana adalah Badan Nasional Penanggulangan

Bencana (BNPB).Sedangkan focal point penanggulangan bencana di tingkat

provinsi dan kabupaten atau kota adalah Badan Penanggulangan Bencana

Daerah (BPBD).
Dari sisi non formal, forum-forum baik di tingkat nasional dan lokal dibentuk

untuk memperkuat penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia. Di

tingkat nasional, terbentuk Platform Nasional (Planas) yang terdiri dari unsur

masyarakat sipil, dunia usaha, perguruan tinggi, media dan lembaga

internasional. Pada tingkat lokal, dikenal Forum PRB Yogyakarta dan Forum PRB

Nusa Tenggara Timur.

3. Aspek Pendanaan

Saat ini kebencanaan bukan hanya dilihat sebagai isu lokal atau nasional saja

tetapi juga melibatkan internasional. Komunitas internasional mendukung

pemerintah Indonesia dalam membangun manajemen penanggulangan bencana

menjadi lebih baik. Di sisi lain, kepedulian dan keseriusan pemerintah Indonesia

terhadap masalah bencana sangat tinggi.

Keseriusan pemerintah Indonesia terhadap bencana dibuktikan melalui

penganggaran yang signifikan khususnya untuk pengarusutamaan pengurangan

risiko bencana dalam pembangunan.

Berikut ini beberapa pendanaan yang terkait denan penanggulangan bencana di

Indonesia:

Dana DIPA (APBN atau APBD)

Dana Kontijensi

Dana On-call

Dana Bantuan Sosial Berpola Hibah

Dana yang bersumber dari masyarakat


Dana dukungan komunitas internasional

Penyelenggaraan penanggulangan bencana

Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dibagi menjadi 3 tahap yaitu

prabencana, tanggap darurat dan pascabencana. Berikut ini penjelasannya:

1. Prabencana

Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan dalam dua kondisi, yaitu

situasi daat tidak ada bencana dan situasi terdapat potensi bencana. Saat situasi

tidak ada bencana, dilakukan perencanaan, pencegahan, pengurangan risiko,

pendidikan, pelatihan penelitian dan penataan ruang. Saat situasi terdapat

potensi bencana dilakukan mitigasi, peringatan dini, kesiapsiagaan.

2. Saat tanggap darurat

Saat tanggap darurat dilakukan kajian cepat, status keadaan darurat,

penyelamatan dan evakuasi, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan dan

pemulihan.

3. Pascabencana

Saat pasca bencana dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya rehabilitasi

dan rekonstruksi meliputi prasarana dan sarana, sosial, ekonomi, kesehatan,

keamanan dan ketertiban hingga lingkungan.

Peran BNPB justru harus diperkuat mulai dari sebelum kejadian bencana

(mitigasi), saat bencana (emergency), maupun setelah kejadian bencana

(recovery). Untuk itu, lembaga tersebut membutuhkan berbagai macam

kepakaran, instrumen, dan pendekatan serta inovasi. Tata kelola kebencanaan

sudah bergeser dari sekadar pertolongan saat bencana (emergency) menjadi


sebuah pendekatan yang transdisiplin yang memerlukan perencanaan yang

matang dan terukur.

Jadi, upaya penanggulangan bencana adalah sebuah sistem yang terdiri dari

subsistem pengurangan risiko, subsistem penanggulangan keadaan darurat

bencana dan subsistem pemulihan pascabencana. Ketiga subsistem tersebut

memerlukan beragam pendekatan agar risiko dan bahaya dapat diminimalkan.

Pendekatan yang dipilih tentu harus didukung oleh keilmuan yang berbeda,

pihak yang beragam, serta kebijakan yang juga tidak sama.

Dalam konteks kekinian pendekatan tersebut dikenal dengan transdisciplinary

approach. Transdisiplin meliputi keilmuan, kelembagaan, pendekatan dan

teknik, teknologi dan inovasi yang mendukungnya, serta keberpihakan kebijakan

sektoral.

Transdisiplin Sains

Pada forum diskusi yang diadakan di kantor CSIS pada 11 Desember 2018,

Surono, ahli vulkanologi berpendapat, “Jika ada seorang yang akan menjadi

profesor gunung api, maka harus pernah meneliti di Indonesia.” Pesan pertama

yang ingin disampaikan adalah Indonesia merupakan negara paling kaya

gunung api di dunia, termasuk yang tergolong aktif. Pesan kedua adalah bahwa

masih sangat terbatas ahli yang mau menekuni dan mempelajari setiap karakter

gunung api tersebut.

Jika dicermati, makna dari pesan “Mbah Rono” tersebut adalah kita butuh

banyak orang dengan beragam ilmu dalam mengungkap informasi tentang

gunung api, sehingga dengan begitu bisa diupayakan mitigasi yang baik dengan

aneka inovasi. Secara holistis, luas sekali dimensi ilmu yang diperlukan untuk
mitigasi bencana, dari geologi, oseanografi, vulkanologi, topografi dan sosial

budaya, serta meteorologi. Dalam hal kebencanaan, yang diperlukan adalah

sense terhadap upaya mitigasi bencana. Begitu juga kebutuhan ilmu dan

teknologi untuk adaptasi agar dampak dan risiko bencana dapat diminimalkan.

Begitu juga saat kejadian dan pascabencana, perlu ilmu tentang struktur

ekosistem, bangunan yang tahan bencana, serta kemampuan masyarakat

memulihkan trauma pascagempa. Belum lagi potensi bencana sosial akibat

teknologi informasi, akibat keterbatasan pendidikan, dan kekurangan gizi akibat

ketimpangan penghasilan, akibat akses yang jauh dan pendapatan. Kompleksitas

ini cukup untuk menggambarkan bahwa kebencanaan bukan sekadar tanggap

darurat, tapi satu kesatuan sistem yang memerlukan beragam ilmu, beragam

tingkat lembaga dan jenis teknologi dan inovasi, beragam pendekatan dan

beragam kepakaran.

Perlu dipahami bahwa keberhasilan kita dalam meminimalkan risiko, dampak,

bencana akan memberikan rasa aman bagi investor dalam berinvestasi. Untuk

itu, penting dan sangat mendesak melakukan penguatan kelembagaan BNPB,

bukan mengerdilkannya. Penulis berpandangan seharusnya kelembagaan BNPB

harus dinaikkan setingkat menteri, bukan melalui perpres.

Afirmasi Kebijakan

Masa kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo seharusnya dimanfaatkan

untuk meyakinkan masyarakat bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh apabila

risiko dan dampak bencana bisa diminimalkan. Meminimalisasi risiko dan

dampak bencana harus dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi.

Kegagalan deteksi tsunami Palu dan Selat Sunda adalah bagian dari
pembelajaran yang tidak boleh lagi terjadi. Setiap lembaga atau badan merasa

benar dengan data dan mekanisme serta gaya kerja masing-masing.

Untuk itu, penulis yakin hal penting yang diperlukan adalah pertama, perlu

sistem satu komando dari semua badan, dan lembaga terkait kebencanaan,

termasuk badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) dalam manajemen

data kebencanaan. Kedua, perlu kebijakan pengembangan sains dan teknologi

berbasis bencana. Ketiga, perlu kebijakan keuangan dan tata kelola manajemen

kebencanaan.

Pertama, mengapa penting menempatkan sistem data sebagai ruh manajemen

kebencanaan? Sebagai sektor basis yang diperlukan untuk mendukung sektor

ekonomi, maka data kebencanaan harus dalam satu komando dan satu ruang

kendali. Informasi iklim, oseanografi, geologi bekerja serentak dalam satu sistem

data terintegrasi (Big Data). Perubahan iklim dalam ruang spasial dinamik,

termasuk darat dan laut menjadi data realtime dari pusat data. Begitu juga

informasi curah hujan yang berpotensi menyebabkan longsor, banjir, dan angin

kencang. Kemudian juga peta rawan kering dan bencana kebakaran. Satu

komando dalam perencanaan, mitigasi, tindakan penanggulangan dan perbaikan

menjadi penting dalam manajemen bencana.

Kedua, afirmasi kebijakan pengembangan sains, ilmu pengetahuan dan teknologi

kebencanaan. Sains kebencanaan adalah sebuah berkah sebagai sumber ilmu

pengetahuan yang dapat diandalkan Indonesia. Keberadaan gunung api, palung

dan lempeng laut, sungai, posisi di dua lintang, struktur batuan, sejarah dan

budaya menjadi laboratorium alam bagi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)

kebencanaan.
Afirmasi ketiga adalah keuangan dalam manajemen kebencanaan. Alokasi dana

dalam skema pooling fund sebesar Rp1 triliun dan usulan Rp15 triliun untuk

Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) harus dirancang sesuai

kebutuhan dan kemanfaatan. Kelembagaan yang terlibat dan aktif dalam riset

kebencanaan dan penanggulangan bencana sangat banyak. Dengan keberadaan

satu ruang manajemen kebencanaan, maka secara otomatis akan memperkuat

sistem kerja kebencanaan dengan dana tersebut.

Dalam konteks rencana perubahan koordinasi fungsi lembaga BNPB, penulis

melihat ada upaya untuk melemahkan dan mengecilkan peran dan fungsi

lembaga kebencanaan karena akan muncul dualisme. Peran BNPB seharusnya

tidak hanya ke dalam ruang tanggap darurat, tetapi juga jaminan keselamatan

dari risiko dan kejadian bencana. Trandisiplin manajemen kata kuncinya adalah

sistem manajemen yang kuat, dari mitigasi, aksi cepat tanggap dan rehab

rekonstruksi. Ini harus diemban lembaga setingkat menteri. Penunjukan Letjen

Doni Monardo menjadi Kepala BNPB akan sangat tepat dengan kualitas dan

kapasitasnya jika yang bersangkutan menjalankan kelembagaan setingkat meteri

daripada lembaga teknis di bawah kementerian koordinator. Investor juga akan

merasa aman berinvestasi jika kelembagaan urusan kebencanaan setingkat

meteri. Tata ulang pengelolaan bencana memerlukan penguatan BNPB, bukan

justru mengerdilkannya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada umumnya risiko bencana alam meliputi bencana akibat faktor geologi

(gempabumi, tsunami dan letusan gunung api), bencana akibat hydrometeorologi

(banjir, tanah longsor, kekeringan, angin topan), bencana akibat faktor biologi

(wabah penyakit manusia, penyakit tanaman/ternak, hama tanaman) serta

kegagalan teknologi (kecelakan industri, kecelakaan transportasi, radiasi nuklir,

pencemaran bahan kimia). Bencana akibat ulah manusia terkait dengan konflik

antar manusia akibat perebutan sumberdaya yang terbatas, alasan ideologi,

religius serta politik. Sedangkan kedaruratan kompleks merupakan kombinasi

dari situasi bencana pada suatu daerah konflik.

Kompleksitas dari permasalahan bencana tersebut memerlukan suatu

penataan atau perencanaan yang matang dalam penanggulangannya, sehingga

dapat dilaksanakan secara terarah dan terpadu. Penanggulangan yang dilakukan

selama ini belum didasarkan pada langkah-langkah yang sistematis dan

terencana, sehingga seringkali terjadi tumpang tindih dan bahkan terdapat

langkah upaya yang penting tidak tertangani.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

mengamanatkan pada pasal 35 dan 36 agar setiap daerah dalam upaya

penanggulangan bencana, mempunyai perencanaan penanggulangan bencana.

Secara lebih rinci disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun

2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

B. Saran
Rekomendasi pertama adalah mengimplementasikan penanggulangan bencana

yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2019. Luhut

juga meminta peningkatan ketahanan pada Perpres Nomor 18 Tahun 2020

tentang RPJMN 2020-2024, serta peningkatan kolaborasi kementerian lembaga

dan pemerintah daerah dalam penanganan bencana. Saran kedua adalah

penguatan jaringan komunikasi dan informasi modern hingga tradisional yang

mengacu pada kearifan lokal harus dijalankan secara sistematis, intensif dan

berkelanjutan hingga tingkat kabupaten kota dengan potensi rawan bencana

tsunami tingkat tinggi.

Ketiga, masyarakat Indonesia harus mengetahui informasi mengenai potensi dan

tingkat kerawanan gempa dan tsunami pada tiap daerah yang bersumber dari

lempengan megathrust 13 segmen dan sesar aktif 295 segmen. Keempat,

penanggulangan bencana tak lepas dari peran serta pemerintah di daerah. Selain

itu, kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam penanganan teknis

kebencanaan juga harus ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA

https://bpbd.ntbprov.go.id/pages/penanganan-bencana

https://fiskal.kemenkeu.go.id/strategi-drfi/parb

https://bnpb.go.id/definisi-bencana

https://sistemkesehatan.net/tata-kelola-bencana-dan-penguatan-bnpb/

http://bpbd.pamekasankab.go.id/penanggulangan/
http://bpbd.grobogan.go.id/berita/Mitigasi-Bencana

https://bpbd.kotabogor.go.id/edukasi/detail/9

Anda mungkin juga menyukai