Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH MANAJEMEN BENCANA

“KONSEP DASAR MANAJEMEN BENCANA”

Disusun oleh :

Kelompok

HANA MULFAIZA 181040500130

HASNA ADIBA RAMBE 181040500096

ULAN 181040500101

NARGIS HAYDAR 181040500106

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT

STIKes KHARISMA PERSADA

TANGERANG SELATAN

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,
taufik, dan hidayah – Nya Saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik -
baiknya meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Sholawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada junjungan nabi besar kita, yaitu Nabi Muhammad
SAW yang telah menunjukan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama
islam yang sempurna dan menjadi rahmat dan anugrah bagi seluruh alam semesta.
Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada dosen yang sudah memberi tugas ini,
sehingga saya menjadi bertambah luas pengetahuannya, dan lebih kreatif dalam
proses belajar.
Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang
menjadi tugas Manajemen Bencana yang berjudul “Konsep Dasar Manajemen
Bencana”. Disamping itu, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga
terealisasikan makalah ini.

2
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia
berdasar data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR). Tingginya
posisi Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko
kehilangan nyawa bila bencana alam terjadi. Indonesia menduduki peringkat
tertinggi untuk ancaman bahaya tsunami, tanah longsor, gunung berapi. Dan
menduduki peringkat tiga untuk ancaman gempa serta enam untuk banjir.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) selama Januari 2013
mencatat ada 119 kejadian bencana yang terjadi di Indonesia. BNPB juga
mencatat akibatnya ada sekitar 126 orang meninggal akibat kejadian tersebut.
kejadian bencana belum semua dilaporkan ke BNPB. Dari 119 kejadian
bencana menyebabkan 126 orang meninggal, 113.747 orang menderita dan
mengungsi, 940 rumah rusak berat, 2.717 rumah rusak sedang, 10.945 rumah
rusak ringan. Untuk mengatasi bencana tersebut, BNPB telah melakukan
penanggulangan bencana baik kesiapsiagaan maupun penanganan tanggap
darurat. Untuk siaga darurat dan tanggap darurat banjir dan longsor sejak akhir
Desember 2012 hingga sekarang, BNPB telah mendistribusikan dana siap
pakai sekitar Rp 180 milyar ke berbagai daerah di Indonesia yang terkena
bencana. Namun, penerapan manajemen bencana di Indonesia masih
terkendala berbagai masalah, antara lain kurangnya data dan informasi
kebencanaan, baik di tingkat masyarakat umum maupun di tingkat pengambil
kebijakan. Keterbatasan data dan informasi spasial kebencanaan merupakan
salah satu permasalahan yang menyebabkan manajemen bencana di Indonesia
berjalan kurang optimal. Pengambilan keputusan ketika terjadi bencana sulit

3
dilakukankarena data yang beredar memiliki banyak versi dan sulit divalidasi
kebenarannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Konsep dasar manajemen bencana
2. Kebijakan manajemen bencana

1.3 Tujuan

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bencana
2.1.1 Definisi Bencana
Bencana adalah suatu peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan manusia yang disebabkan karena faktor alam, faktor non alam,
dan faktor manusia. Kejadian tersebut menyebabkan timbulnya korban
jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
(Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana). Bencana adalah sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan)
kesusahan, kerugian, atau penderitaan; kecelakaan; bahaya; dalam bahaya;
dalam kecelakaan; gangguan; godaan (Hasan, 2007). Bencana adalah
gangguan serius yang berdampak langsung terhadap hidup suatu
komunitas atau masyarakat seperti kerugian secara material, kerusakan
lingkungan dan kejadian bencana tersebut mempengaruhi kemampuan
masyarakat untuk mengatasi hal tersebut sesuai dengan sumber daya
sendiri(Asian Disaster Reduction, 2009).Fenomena bencana muncul
karena adanya komponen pemicu (trigger), ancaman (hazard), dan
kerentanan (vulnerability) yang saling berkaitan sehingga menyebabkan
munculnya risiko terhadap komunitas dalam suatu wilayah (United
Nations Development Programme and Government of Indonesia , 2012).

2.1.2 Tahapan Bencana


Disaster atau bencana dibagi beberapa tahap yaitu : tahap pra-
disaster,tahap serangan atau saat terjadi bencana (impact), tahap emergensi
dan tahaprekonstruksi. Dari ke-empat tahap ini, tahap pra disaster
memegang peranyang sangat strategis.

5
a. Tahap Pra-Disaster
Tahap ini dikenal juga sebagai tahap pra bencana, durasi waktunya
mulai saat sebelum terjadi bencana sampai tahap serangan atau impact.
Tahap ini dipandang oleh para ahli sebagai tahap yang sangat strategis
karena pada tahap pra bencana ini masyarakat perlu dilatih tanggap
terhadap bencana yang akan dijumpainya kelak. Latihan yang diberikan
kepada petugas dan masyarakat akan sangat berdampak kepada jumlah
besarnya korban saat bencana menyerang (impact), peringatan dini
dikenalkan kepada masyarakat pada tahap pra bencana.
b. Tahap Serangan atau Terjadinya Bencana (Impact phase)
Pada tahap serangan atau terjadinya bencana (Impact phase)
merupakan fase terjadinya klimaks bencana. Inilah saat-saat dimana,
manusia sekuat tenaga mencoba ntuk bertahan hidup. Waktunya bisa
terjadi beberapa detik sampai beberapa minggu atau bahkan bulan. Tahap
serangan dimulai saat bencana menyerang sampai serang berhenti.
c. Tahap Emergensi
Tahap emergensi dimulai sejak berakhirnya serangan bencana yang
pertama.Tahap emergensi bisa terjadi beberapa minggu sampai beberapa
bulan. Pada tahap emergensi, hari-hari minggu pertama yang menolong
korban bencana adalah masyarakat awam atau awam khusus yaitu
masyarakat dari lokasi dan sekitar tempat bencana.
Karakteristik korban pada tahap emergensi minggu pertama adalah :
korban dengan masalah Airway dan Breathing (jalan nafas dan
pernafasan), yang sudah ditolong dan berlanjut ke masalah lain, korban
dengan luka sayat, tusuk, terhantam benda tumpul, patah tulang
ekstremitas dan tulang belakang, trauma kepala, luka bakar bila ledakan
bom atau gunung api atau ledakan pabrik kimia atau nuklir atau gas. Pada
minggu ke dua dan selanjutnya, karakteristik korban mulai berbeda karena
terkait dengan kekurangan makan, sanitasi lingkungan dan air bersih, atau
personal higiene. Masalah kesehatan dapat berupa sakit lambung (maag),
diare, kulit, malaria atau penyakit akibat gigitan serangga.

6
d. Tahap Rekonstruksi
Pada tahap ini mulai dibangun tempat tinggal, sarana umum seperti
sekolah, sarana ibadah, jalan, pasar atau tempat pertemuan warga. Pada
tahap rekonstruksi ini yang dibangun tidak saja kebutuhan fisik tetapi yang
lebih utama yang perlu kita bangun kembali adalah budaya. Kita perlu
melakukan rekonstruksi budaya, melakukan re-orientasi nilai-nilai dan
norma-norma hidup yang lebih baik yang lebih beradab.

2.2.2 Tahapan dan Kegiatan dalam Manajemen Bencana

Dalam manajemen
bencana dikenal 4
tahapan kerja
penanggulangan
bencana yaitu;
1. Fase Pencegahan
dan Mitigasi;
dilakukan pada
situasi tidak terjadi
bencana

7
tujuannya untuk
memperkecil dampak
negatif bencana.
Dalam manajemen bencana dikenal 4 tahapan kerja
penanggulangan bencana yaitu;

1) Fase Pencegahan dan Mitigasi : Dilakukan pada situasi tidak


terjadi bencana tujuannya untuk memperkecil dampak negatif
bencana.
2) Fase Kesiapsiagaan (Preparadness) : Dilakukan pada situasi terdapat
potensi bencana dengan merencanakan bagaimana menanggapi
bencana.
3) Fase Tanggap Darurat (Emergency Response) : Dilakukan pada saat
terjadi bencana tujuannya untuk mengurangi dampak negatif pada saat
bencana.
4) Fase Pemulihan (Recovery) : Dilakukan setelah terjadi bencana
tujuannya untuk mengembalikan masyarakat pada kondisi normal.

Gambar 1.1

8
Tahapan penanggulangan bencana Meskipun dari gambar 1.1
terdapat kuadran-kuadran yang merupakan tahapan-tahapan dalam
penanggulan bencana bukan berarti bahwa dalam praktek tiap-tiap
kuadran dilakukan secara berurutan. Tanggap darurat misalnya dapat
dilakukan pada saat sebelum terjadi bencana atau dikenal dengan
istilah ‘’siaga darurat’’, ketika diprediksi bencana akan segera terjadi.
Meskipun saat kejadiaan bencana belum tiba, namun pada tahap
siaga darurat dapat dilaksanakan kegiatan tanggap darurat
(evakuasi penduduk, pemenuhan kebutuhan dasar berupa
penampungan sementara, pemberian pangan dan non-pangan,
layanan kesehatan dll). Perlu dipahami bahwa meskipun telah
dilakukan berbagai kegiatan pada tahapan siaga darurat, terdapat dua
kemungkinan situasi yaitu bencana benar-benar terjadi atau bencana
tidak terjadi. Berdasarkan pasal 33 UU 24/2007 hanya disebutkan 3
tahapan manajemen bencana yaitu; Pra bencana, saat tanggap darurat
dan pasca bencana. Kuadran ‘’pencegahan dan mitigasi’’ serta
‘’kesiapsiagaan’’ adalah sama dengan ‘’pra bencana’’.

2.2.3 Pembagian Peran pada Penanggulangan Bencana


Penanggulangan bencana dibagi menjadi 3 fase yaitu; Pra
Bencana, Tanggap Darurat dan Pasca Bencana. Contoh-contoh
penanggulangan bencana pada tiap fase sebagai berikut:

a) Fase Pra Bencana; pada fase ini meliputi pencegahan (prevention)


dan mitigasi dan kesiapsiagaan (preparedness). Pencegahan
(upaya yang dilakukan untuk mencegah bencana jika mungkin
dengan meniadakan bahaya). Misalnya; melarang pembakaran
hutan, melarang menambang batu di daerah yang curam, dll.
Mitigasi (upaya yang dilakukan untuk meminimalkan dampak
yang ditimbulkan oleh ben cana). Misalnya membuat
bendungan, dam, tanggul sungai, peraturan, tataruang,
pelatihan dll. Kesiapsiagaan (upaya yang dilakukan untuk

9
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian langkah-
langkah yang tepat, efektif dan siap siaga). Misalnya;
penyiapan sarkom, posko, lokasi pengungsian, peringatan dini
yang cepat, tidak membingungkan dan resmi.
b) Fase Tanggap Darurat; upaya yang dilakukan segera pada saat
kejadian bencana , untuk menanggulangi dampak yang
ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta
benda, evakuasi, pengungsian dan bantuan darurat berupa
pangan, sandang, tempat tinggal, sanitasi, kesehatan dan air bersih.
c) Fase Pasca Bencana; meliputi pemulihan baik sarana maupun
prasarana masyarakat, merehabilitasi dan merekontruksi kembali
pemukiman, tempat ibadah, jalan, listrik dll.

2.2.4 Pentingnya Pemetaan Bahaya dan Sumber daya


Sifat bencana yang cepat dan merusak memerlukan
penanganan berbagai pemangku kebijakan (stake holder). Bukan hanya
pemerintah (pusat, propinsi, kota/kabupaten) tapi juga LSM, Swasta,
ketua adat dan masyarakat itu sendiri. Jika suatu bencana telah dipetakan
maka akan mempermudah koordinasi dalam penanggulangan setiap
fasenya. Tapi jika belum maka perlu ada upaya dari pemerintah
daerah masing-masing untuk memetakan potensi bencananya. Selain
adanya peta bahaya perlu juga dibuat peta sumberdaya. Pemetaan
sumberdaya ini meliputi segala sumberdaya baik pemerintah, swasta,
maupun masyarakat pada daerah tersebut. Informasinya bisa berupa
jumlah personil yang siap dikerahkan jika terjadi bencana, jumlah
obat-obatan, pangan dan sebagainya. Sehingga pada saat terjadi bencana
maka kepala daerah (walikota/bupati atau gubernur) dapat
memobilisasi semua potensi sumberdaya itu untuk penanggulangan
bencana.

10
2.2.5 Prinsip-prinsip penanggulangan bencana
Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana berdasarkan pasal
3 UU No. 24 tahun 2007, yaitu:
1) Cepat dan tepat. Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat”
adalah bahwa dalam penanggulangan bencana harus dilaksanakan
secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan.
2) prioritas. Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah bahwa
apabila terjadi bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat
prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.
3) koordinasi dan keterpaduan. Yang dimaksud dengan “prinsip
koordinasi” adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan pada
koordinasi yang baik dan saling mendukung. Yang dimaksud dengan
“prinsip keterpaduan” adalah bahwa penanggulangan bencana
dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang didasarkan pada
kerja sama yang baik dan saling mendukung.
4) berdaya guna dan berhasil guna. Yang dimaksud dengan “prinsip
berdaya guna” adalah bahwa dalam mengatasi kesulitan masyarakat
dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang
berlebihan. Yang dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah
bahwa kegiatan penanggulangan bencana harus berhasil guna,
khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak
membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.
5) transparansi dan akuntabilitas. Yang dimaksud dengan “prinsip
transparansi” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara
terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan
“prinsip akuntabilitas” adalah bahwa penanggulangan bencana
dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik
dan hukum.
6) Kemitraan
7) Pemberdayaan

11
8) Nondiskriminatif. Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi”
adalah bahwa negara dalam penanggulangan bencana tidak
memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku,
agama, ras, dan aliran politik apa pun.
9) Nonproletisi. Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah bahwa
dilarang menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan
darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan
darurat bencana.

2.2.6 Asas-asas dalam penanggulangan bencana


Penanggulangan bencana berdasarkan pasal 3 UU No. 24 Tahun 2007
berasaskan:
1. kemanusiaan. Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan”
termanifestasi dalam penanggulangan bencana sehingga undang-
undang ini memberikan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia, harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.
2. Keadilan. Yang dimaksud dengan”asas keadilan” adalah bahwa setiap
materi muatan ketentuan dalam penanggulangan bencana harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara
tanpa kecuali.
3. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Yang dimaksud
dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan”
adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan
bencana tidak boleh berisi hal-hal yang membedakan latar belakang,
antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
4. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Yang dimaksud dengan
“asas keseimbangan” adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam
penanggulangan bencana mencerminkan keseimbangan kehidupan
sosial dan lingkungan. Yang dimaksud dengan “asas keselarasan”
adalah bahwa materi muatan ketentuan dalam penanggulangan

12
bencana mencerminkan keselarasan tata kehidupan dan lingkungan.
Yang dimaksud dengan ”asas keserasian” adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana mencerminkan keserasian
lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.
5. ketertiban dan kepastian hukum; Yang dimaksud dengan “asas
ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa materi muatan
ketentuan dalam penanggulangan bencana harus dapat menimbulkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian
hukum.
6. Kebersamaan. Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah
bahwa penanggulangan bencana pada dasarnya menjadi tugas dan
tanggung jawab bersama Pemerintah dan masyarakat yang dilakukan
secara gotong royong.
7. Kelestarian lingkungan hidup. Yang dimaksud dengan “asas
kelestarian lingkungan hidup” adalah bahwa materi muatan ketentuan
dalam penanggulangan bencana mencerminkan kelestarian lingkungan
untuk generasi sekarang dan untuk generasi yang akan datang demi
kepentingan bangsa dan negara.
8. ilmu pengetahuan dan teknologi. Yang dimaksud dengan “asas ilmu
pengetahuan dan teknologi” adalah bahwa dalam penanggulangan
bencana harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara
optimal sehingga mempermudah dan mempercepat proses
penanggulangan bencana, baik pada tahap pencegahan, pada saat
terjadi bencana, maupun pada tahap pascabencana

2.2.6 Pertolongan Pertama Pada Korban Bencana


Peran penting bidang kesehatan juga sangat dibutuhkan dalam
penanggulangan dampak  bencana, terutama dalam penanganan korban trauma
baik fisik maupun psikis. Keberadaan tenaga kesehatan tentunya akan sangat

13
membantu untuk memberi pertolongan pertama sebelum proses perujukan ke
rumah sakit yang memadai.11
Pengelolaan penderita yang mengalami cidera parah memerlukan
penilaian yang cepat dan pengelolaan yang tepat agar sedapat mungkin bisa
menghindari kematian. Pada penderita trauma, waktu sangatlah penting,
karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah dilaksanakan. Proses ini
dikenal sebagai Initial assessment (penilaian awal) dan Triase. Prinsip-prinsip
ini diterapkan dalam pelaksanaan pemberian bantuan hidup dasar pada
penderita trauma (Basic Trauma Life Support) maupun Advanced Trauma Life
Support.11
Triage adalah tindakan mengkategorikan pasien menurut kebutuhan
perawatan dengan memprioritaskan mereka yang paling perlu didahulukan.
Paling sering terjadi di ruang gawat darurat, namun triage juga dapat terjadi
dalam pengaturan perawatan kesehatan di tempat lain di mana pasien
diklasifikasikan menurut keparahan kondisinya. Tindakan ini dirancang untuk
memaksimalkan dan mengefisienkan penggunaan sumber daya tenaga medis
dan fasilitas yang terbatas.10
Triage dapat dilakukan di lapangan maupun didalam rumah sakit.
Proses triage meliputi tahap pra-hospital/lapangan dan hospital atau pusat
pelayana kesehatan lainnya. Triage lapangan harus dilakukan oleh petugas
pertama yang tiba ditempat kejadian dan tindakan ini harus dinilai lang terus
menerus karena status triage pasien dapat berubah. Metode yang digunakan
bisa secara Mettag (triage Tagging System) atau sistem triage penuntun
lapangan Star (Simple Triage and Rapid Transportasi)
Penuntun Lapangan START berupa penilaian pasien 60 detik yang
mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental untuk memastikan kelompok
korban seperti yang memerlukan transport segera atau tidak, atau yang tidak
mungkin diselamatkan, atau mati. Ini memungkinkan penolong secara cepat
mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar akan kematian segera
atau apakah tidak memerlukan transport segera. Star merupakan salah satu

14
metode yang paling sederhana dan umum. Metode ini membagi penderita
menjadi 4 kategori :
1. Prioritas 1 – Merah
Merupakan prioritas utama, diberikan kepada para penderita yang
kritis keadaannya seperti gangguan jalan napas, gangguan
pernapasan, perdarahan berat atau perdarahan tidak terkontrol,
penurunan status mental
2. Prioritas 2 – Kuning
Merupakan prioritas berikutnya diberikan kepada para penderita
yang mengalami keadaan seperti luka bakar tanpa gangguan saluran
napas atau kerusakan alat gerak, patah tulang tertutup yang tidak
dapat berjalan, cedera punggung.
3. Prioritas 3 – Hijau
Merupakan kelompok yang paling akhir prioritasnya, dikenal juga
sebagai ‘Walking Wounded” atau orang cedera yang dapat berjalan
sendiri.
4. Prioritas 0 – Hitam
Diberikan kepada mereka yang meninggal atau mengalami cedera
yang mematikan.
Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritisasikan tindakan atas
korban adalah yang dijumpai pada sistim METTAG. Prioritas tindakan
dijelaskan sebagai :
1. Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan
tidak mungkin diresusitasi.
2. Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan
tindakan dan transport segera (gagal nafas, cedera torako-abdominal,
cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat,
luka bakar berat).
3. Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien dengan cedera yang dipastikan
tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat (cedera
abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura

15
mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher, serta
luka bakar ringan).
4. Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak
membutuhkan stabilisasi segera (cedera jaringan lunak, fraktura dan
dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan
nafas serta gawat darurat psikologis).

BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Indonesia merupakan salah satu yang rawan bencana sehingga


diperlukan manajemen atau penanggulangan bencana yang tepat dan
terencana. Manajemen bencana merupakan serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Manajemen bencana di
mulai dari tahap prabecana, tahap tanggap darurat, dan tahap pascabencana.
Pertolongan pertama dalam bencana sangat diperlukan untuk
meminimalkan kerugian dan korban jiwa. Pertolongan pertama pada keadaan
bencana menggunakan prinsip triage.

16
DAFTAR PUSTAKA
1. http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/15608/f.
%20BAB%20II.pdf?sequence=7&isAllowed=y
2. https://www.academia.edu/36574695/MAKALAH_KONSEP_DASAR_MANAJ
EMEN_BENCANA
3. https://www.researchgate.net/publication/328230942_PENGETAHUAN_DA
N_MANAJEMEN_BENCANA

17

Anda mungkin juga menyukai