Masalah
Pendampingan sosial
hadir sebagai agen perubahan yang turut terlibat membantu memecahkan persoalan
yang dihadapi oleh masyarakat. Pendampingan masyarakat dapat diartikan sebagai
interaksi dinamis antara kelompok masyarakat dan pendamping untuk secara
bersama-sama menghadapi beragam tantangan seperti; merancang program perbaikan
kehidupan sosial ekonomi, pendidikan, memobilisasi sumber daya masyarakat setempat,
memecahkan masalah sosial, menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan
kebutuhan, menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan dengan konteks
pemberdayaan masyarakat.
Pendampingan sosial
memiliki peran yang sangat menentukan keberhasilan program pemberdayaan
masyarakat. Sesuai dengan prinsip pemberdayaan, pemberdayaan masyarakat sangat
perlu memperhatikan pentingnya partisipasi publik. Dalam konteks ini, peranan
seorang pekerja sosial atau pendamping masyarakat seringkali diwujudkan dalam
kapasitasnya sebagai pendamping, bukan sebagai penyembuh atau pemecah masalah (problem solver)
secara langsung. Program
tersebut biasanya termanisfestasi dalam bentuk penguatan partisipasi rakyat
dalam proses perencanaan, implementasi, maupun monitoring serta evaluasi
program kegiatannya.
Para pendamping
memungkinkan warga masyarakat mampu mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang ada
pada diri mereka, maupun mengakses sumber-sumber kemasyarakatan yang berada di
sekitarnya. Pendamping juga biasanya membantu membangun dan memperkuat jaringan
dan hubungan antara komunitas setempat dan kebijakan-kebijakan pembangunan yang
lebih luas. Para pendamping masyarakat harus memiliki pengetahuan dan kemampuan
mengenai bagaimana bekerja dengan individu-individu dalam konteks masyarakat
lokal, maupun bagaimana mempengaruhi posisi-posisi masyarakat dalam konteks
lembaga-lembaga sosial yang lebih luas.
Sebagaimana diuraikan
oleh Suharto (2004: 61-62) bahwa ketika masyarakat miskin ditanya mengenai
kriteria pendamping yang diharapkan, mereka menjawab bahwa selain memiliki
kapasitas profesional, seperti memiliki pengetahuan dan keterampilan mengenai program
dan penanganan permasalahan masyarakat setempat, pendamping juga dituntut
memiliki beberapa sikap humanis, seperti sabar dan peka terhadap situasi,
kreatif, mau mendengar dan tidak mendominasi, terbuka dan mau menghargai
pendapat orang lain, akrab, tidak menggurui, berwibawa, tidak menilai dan
memihak, bersikap positif dan mau belajar dari pengalaman. Ada beberapa peran
pendamping dalam pendampingan masyarakat. Empat peran di bawah ini sangat
relevan diketahui:
1.
Fasilitator. Dalam literatur pekerjaan sosial, peranan fasilitator sering
disebut sebagai pemungkin (enabler).
Keduanya bahkan sering dipertukarkan satu-sama lain. Seperti dinyatakan
Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994:188), The traditional role of enabler in social work implies
education,
facilitation, and promotion of interaction and action. Selanjutnya Barker
(1987) memberi definisi pemungkin atau fasilitator sebagai tanggungjawab untuk
membantu masyarakat menjadi mampu menangani tekanan situasional atau
transisional. Strategi-strategi khusus untuk mencapai tujuan tersebut meliputi:
pemberian harapan, pengurangan penolakan dan ambivalensi, pengakuan dan
pengaturan perasaan-perasaan, pengidentifikasian dan pendorongan
kekuatan-kekuatan personal dan asset-asset sosial, pemilahan masalah menjadi
beberapa bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan pemeliharaan sebuah fokus
pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya.
3.
Pembela. Seringkali pendamping masyarakat harus berhadapan dengan sistem
politik dalam rangka menjamin kebutuhan dan sumber yang diperlukan oleh klien
atau dalam melaksanakan tujuan-tujuan pendampingan sosial. Manakala pelayanan
dan sumber-sumber sulit dijangkau oleh klien, pendamping harus memainkan
peranan sebagai pembela (advokat). Peran pembelaan atau advokasi bersentuhan
dengan kegiatan politik. Peran pembelaan dapat dibagi dua: advokasi kasus (case advocacy) dan
advokasi kelas (class advocacy) (DuBois dan Miley, 1992;
Parsons, Jorgensen dan Hernandez, 1994). Apabila pendamping melakukan pembelaan
atas nama seorang klien secara individual, maka ia berperan sebagai pembela
kasus. Pembelaan kelas terjadi manakala klien yang dibela bukanlah individu
melainkan sekelompok anggota masyarakat.
4.
Mediator. Peran mediator diperlukan
terutama pada saat terdapat perbedaan yang mencolok dan mengarah pada konflik
antara berbagai pihak. Lee dan Swenson (1986) memberikan contoh bahwa
pendamping dapat memerankan sebagai fungsi kekuatan ketiga untuk menjembatani
antara anggota kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam melakukan peran mediator meliputi
kontrak perilaku, negosiasi, pendamai pihak ketiga, serta berbagai macam
resolusi konflik. Dalam mediasi, upaya-upaya yang dilakukan pada hakekatnya
diarahkan untuk mencapai solusi menang-menang (win-win solution) dengan strategi
lobby atau negosiasi. Hal ini berbeda dengan peran sebagai pembela, dimana
bantuan pendamping diarahkan untuk memenangkan kasus klien melalui strategi
kontes.
B. Analisis situasi
Jika
mengacu pada program kebijakan Pemerintah Daerah Pacitan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun
mendatang akan mewujudkan tiga belas
tujuan strategi pembangunan melalui beberapa kebijakan umum serta penetapan
sasaran yang akan dicapai. Kebijakan umum dan sasaran pembangunan yang akan
dicapai untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sampai tahun 2011
mendatang antara lain bertujuan:
b. Meningkatnya
kuantitas dan kualitas hasil peternakan sebagai pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat
d. Terwujudnya potensi
ekonomi sumberdaya hutan
b. Meningkatnya
fasilitasi kemitraan perdagangan
c. Meningkatnya lembaga
UMKM yang sehat dan berdaya saing
d. Meningkatnya
tenaga kerja yang berkualitas
4. Meningkatnya kualitas dan kuantitas
insfrastruktur perekonomian, ditempuh melalui kebijakan peningkatan prasarana dan sarana
perekonomian dengan sasaran:
a. Meningkatnya kualitas
sarana dan prasarana transportasi
c. Meningkatnya pelayanan
LITDES
6. Meningkatnya
kualitas kehidupan masyarakat pedesaan dan penyandang masalah kesejahteraan sosial, ditempuh
melalui kebijakan penanggulangan
kemiskinan dan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), dengan sasaran:
a. Meningkatnya kualitas
pendidikan anak usia dini
b. Meningkatnya pemenuhan
wajib belajar 9 tahun
e. Berkurangnya
buta aksara dan meningkatnya wajib belajar melalui pendidikan non formal
f. Meningkatnya wawasan
dan ketrampilan pemuda dan prestasi olah raga.
2).
Meningkatnya mutu pelayanan kesehatan
3).
Meningkatnya mutu pelayanan Rumah Sakit
b. Pengendalian pertumbuhan penduduk, dengan sasaran menurunnya pasangan usia subur yang tidak
terlayani pemenuhan KB-nya dan menurunnya angka kelahiran.
1). Meningkatnya
kualitas kinerja pemerintahan
2) Meningkatnya
kualitas perencanaan dan pengendalian pembangunan
3) Tersusunnya
dan meningkatnya peran rencana tata ruang dalam pelaksanaan pembangunan
4) Meningkatnya
tata kearsipan daerah
5) Meningkatnya
ketersediaan sarana penyelenggaraan pemerintahan
Walaupun
telah memiliki beberapa Rencana Strategi (RENSTRA) tahunan atau program
pembangunan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat setempat tetap masih
mengalami berbagai kendala. Kendala tersebut antara lain:
Dalam
upaya percepatan pembangunan di segala bidang masih terdapat beberapa kendala,
antara lain masih tingginya angka penduduk miskin, walaupun selama empat tahun
terakhir jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sekitar 19,51% dari jumlah
penduduk miskin tahun 2001 yaitu sebanyak 164.125 jiwa. Dari penurunan jumlah
penduduk miskin tersebut sampai pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin
masih sebanyak 132.125 jiwa atau 24,28 %.
c. Rendahnya Pertumbuhan
Ekonomi dan Investasi.
C. Masalah Pokok
Berangkat
dari analisis di atas, beberapa permasalahan yang di hadapi masyarakat adalah:
Secara
akademis kegiatan pemberdayaan dan pengabdian masyarakat menjadi salah satu
rohnya suatu Perguruan Tinggi, sehingga tujuan kegiatan ini merupakan realisasi
Catur Darma Perguruan Tinggi khususnya kegiatan Pemberdayaan dan Pengabdian
kepada Masyarakat. Sementara itu kegiatan ini sangat bermanfaat bagi masyarakat
khususnya di wilayah tertinggal, sehingga dapat bermanfaat secara praktis.
Secara sosial kegiatan ini setidaknya adalah bagian dari realisasi dari konsep kesalehan
sosial.
II. RUANG
LINGKUP KEGIATAN
a. Keadaan Wilayah
Mengenai
batas-batas wilayah administrasi, Kabupaten Pacitan
berbatasan dengan antara lain; sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Trenggalek, sebelah Selatan dengan Samudera
Indonesia, sebelah Barat dengan
Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah) dan sebelah Utara adalah berbatasan dengan
Kabupaten Ponorogo. Terkait dengan l