Anda di halaman 1dari 46

V.

SINTESIS

1. PROMOSI KESEHATAN

Definisi Promosi Kesehatan:

Promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan


masyarakat melalui pembelajaran diri oleh dan untuk masyarakat agar
dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang
bersumber daya masyarakat sesuai sosial budaya setempat dan didukung
oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Kemenkes, 2011).

Sedangkan WHO memberi pengertian bahwa promosi kesehatan


merupakan “the process of enabling individuals and communities to
increase control over the determinants of health and thereby improve their
health” (proses mengupayakan individu-individu dan masyarakat untuk
meningkatkan kemampuan dalam mengendalikan faktor-faktor yang
mempengaruhi kesehatan, dengan demikian meningkatkan derajat
kesehatan).

Tujuan Promosi Kesehatan:

Promosi kesehatan merupakan suatu proses yang bertujuan


memungkinkan individu meningkatkan kontrol terhadap kesehatan dan
meningkatkan kesehatannya berbasis filosofi yang jelas mengenai
pemberdayaan diri sendiri. Proses pemberdayaan tersebut dilakukan dari,
oleh, untuk dan bersama masyarakat serta sesuai dengan sosial budaya
setempat. Demi mencapai derajat kesehatan yang sempurna, baik dari
fisik, mental maupun sosial, masyarakat harus mampu mengenal dan
mewujudkan aspirasi dan kebutuhannya, serta mampu mengubah atau
mengatasi lingkungannya (Kemenkes, 2011)

Jenis Promosi Kesehatan:

Menurut Maulana (2009), pelaksanaan promosi kesehatan dikenal memiliki 3


jenis sasaran yaitu sasaran primer, sekunder dan tersier.
a) Sasaran primer

Sasaran primer kesehatan adalah pasien, individu sehat dan keluarga


(rumah tangga) sebagai komponen dari masyarakat. Masyarakat
diharapkan mengubah perilaku hidup mereka yang tidak bersih dan tidak
sehat menjadi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Akan tetapi
disadari bahwa mengubah perilaku bukanlah sesuatu yang mudah.
Perubahan perilaku pasien, individu sehat dan keluarga (rumah tangga)
akan sulit dicapai jika tidak didukung oleh sistem nilai dan norma sosial
serta norma hukum yang dapat diciptakan atau dikembangkan oleh para
pemuka masyarakat, baik pemuka informal maupun pemuka formal.
Keteladanan dari para pemuka masyarakat, baik pemuka informal
maupun formal dalam mempraktikkan PHBS. Suasana lingkungan sosial
yang kondusif (social pressure) dari kelompok-kelompok masyarakat dan
pendapat umum (public opinion). Sumber daya dan atau sarana yang
diperlukan bagi terciptanya PHBS, yang dapat diupayakan atau dibantu
penyediaannya oleh mereka yang bertanggung jawab dan berkepentingan
(stakeholders), khususnya perangkat pemerintahan dan dunia usaha
(Maulana, 2011).
b) Sasaran Sekunder

Sasaran sekunder adalah para pemuka masyarakat, baik pemuka informal


(misalnya pemuka adat, pemuka agama dan lain-lain) maupun pemuka
formal (misalnya petugas kesehatan, pejabat pemerintahan dan lain-lain),
organisasi kemasyarakatan dan media massa. Mereka diharapkan dapat
turut serta dalam upaya meningkatkan PHBS pasien, individu sehat dan
keluarga (rumah tangga) dengan cara: berperan sebagai panutan dalam
mempraktikkan PHBS. Turut menyebarluaskan informasi tentang PHBS
dan menciptakan suasana yang kondusif bagi PHBS. Berperan sebagai
kelompok penekan (pressure group) guna mempercepat terbentuknya
PHBS (Maulana, 2011).
c) Sasaran Tersier

Sasaran tersier adalah para pembuat kebijakan publik yang berupa


peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan dan bidang lain yang
berkaitan serta mereka yang dapat memfasilitasi atau menyediakan
sumber daya. Mereka diharapkan turut serta dalam upaya meningkatkan
PHBS pasien, individu sehat dan keluarga (rumah tangga) dengan cara:
1. Memberlakukan kebijakan/peraturan perundang-undangan yang tidak
merugikan kesehatan masyarakat dan bahkan mendukung terciptanya
PHBS dan kesehatan masyarakat.
2. Membantu menyediakan sumber daya (dana, sarana dan lain-lain) yang
dapat mempercepat terciptanya PHBS di kalangan pasien, individu sehat
dan keluarga (rumah tangga) pada khususnya serta masyarakat luas pada
umumnya (Maulana, 2011)

Indikator Keberhasilan Promosi Kesehatan:

Indikator keberhasilan perlu dirumuskan untuk keperluan pemantauan dan


evaluasi Promosi Kesehatan (Notoadmodjo, 2007). Indikator keberhasilan
mencakup indikator masukan (input), indikator proses, dan indikator (output).
1. Indikator Masukan

Masukan yang perlu diperhatikan adalah yang berupa komitmen,


sumber daya manusia, sarana/peralatan, dan dana dengan sasaran
individu, kelompok, dan masyarakat. Oleh karena itu, indikator
masukan ini perlu diperhatikan secara detail sebelum melakukan
Promosi Kesehatan.
2. Indikator Proses

Proses yang dipantau adalah proses pelaksanaan Promosi Kesehatan


yang akan mempengaruhi orang lain. Hal ini bisa merupakan media dan
metode yang digunakan dalam Promosi Kesehatan.
3. Indikator Keluaran

Keluaran yang diharapkan dari Promosi Kesehatan yaitu perilaku


kesehatan yang kondusif untuk meningkatkan dan memelihara
kesehatan yang terbagi atas:
a. Perubahan perilaku, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-
nilai kesehatan dirubah.
b. Pembinaan perilaku, yaitu perilaku masyarakat yang sudah sehat
tetap dilanjutkan.
c. Pengembangan perilaku, yaitu membiasakan perilaku hidup sehat
dimulai bagi anak-anak.

Maulana (2011), mengidentifikasi tujuan area kegiatan Promosi Kesehatan


yaitu :

1. Progam Pendidikan Kesehatan: Program pendidikan kesehatan adalah


kesempatan yang direncanakan untuk belajar tentang kesehatan, dan
melakukan perubahan-perubahan secara sukarela dalam tingkah laku.
2. Pelayanan Kesehatan Preventif: Maulana (2011), mengungkapkan 3 tahap
pencegahan yang dikenal dengan teori five levels of prevention, yaitu:

Pencegahan Primer Dilakukan saat individu belum menderita sakit,


meliputi:
a. Promosi Kesehatan (health promotion).

Kegiatan pada tahap ini ditujukan untuk meningkatkan daya tahan


tubuh terhadap masalah kesehatan.
b. Perlindungan Khusus (specific protection).

Berupa upaya spesifik untuk mencegah terjadinya penularan


penyakit tertentu, misalnya melakukan imunisasi, dan peningkatan
keterampilan remaja untuk mencegah ajakan menggunakan
narkotik, dan penanggulangan stress.
Pencegahan Sekunder

a. Diagnosis dini dan pengobatan segera.

b. Pembatasan kecacatan
1) Pencegahan Tersier

Pada tahap ini upaya yang dilakukan adalah mencegah agar cacat yang
diderita tidak menjadi hambatan sehingga indiviu yang menderita dapat
berfungsi optimal secara fisik, mental, dan sosial.
Kegiatan Berbasis Masyarakat

Promosi kesehatan menggunakan pendekatan “dari bawah”, bekerja


dengan dan untuk penduduk, dengan melibatkan masyarakat dalam
kesadaran kesehatan.
Pengembangan Organisasi

Pengembangan organisasi berhubungan dengan pengembangan dan


pelalaksanaan kebijakan dalam oranisasi-organisasi yang berupaya
meningkatkan kesehatan para staf dan pelanggan.
Kebijakan Publik yang Sehat

Upaya ini melibatkan badan resmi atau sukarela, kelompok profesional,


dan masyarakat umum yang bekerja sama mengembangkan perubahan-
perubahan dalam situasi dan kondisi kehidupan.

Pelaksanaan Promosi dan Preventif Puskesmas Terhadap Penayakit Menular


Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah upaya yang dilaksanakan
oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi
pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.
Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh kesinambungan antar
upaya program dan sektor, serta kesinambungan dengan upaya-upaya yang telah
dilaksanakan oleh periode sebelumnya.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan


Pembangunan Nasional (SPPN) mengamanatkan bahwa setiap kementerian perlu
menyusun Rencana Strategis (Renstra) yang mengacu pada Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Selanjutnya Menteri Kesehatan
mengamanahkan bahwa Renstra Kementerian Kesehatan harus dijabarkan dalam
Rencana Aksi Program Unit Eselon I.

Pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 adalah Program Indonesia


Sehat dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat
melalui melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung
dengan perlindungan finansial dan pemeratan pelayanan kesehatan. Program
Indonesia dituangkan dalam sasaran pokok RPJMN 2015-2019 yaitu:

1. Meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak


2. Meningkatnya pengendalian penyakit
3. Meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar dan rujukan
terutama di daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan
4. Meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan universal melalui Kartu
Indonesia Sehat dan kualitas pengelolaan SJSN Kesehatan,
5. Terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan, obat dan vaksin

Program Indonesia Sehat dilaksanakan dengan 3 pilar utama yaitu


paradigma sehat, penguatan pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan nasional.
Pilar paradigma sehat di lakukan dengan strategi pengarusutamaan kesehatan dalam
pembangunan, penguatan promotif preventif dan pemberdayaan masyarakat. Pilar
penguatan pelayanan kesehatan dilakukan dengan strategi peningkatan akses
pelayanan kesehatan, optimalisasi sistem rujukan dan peningkatan mutu pelayanan
kesehatan, menggunakan pendekatan continuum of care dan intervensi berbasis
risiko kesehatan. Sementara itu pilar jaminan kesehatan nasional dilakukan dengan
strategi perluasan sasaran dan benefit serta kendali mutu dan kendali biaya.

Program Indonesia Sehat dilaksanakan melalui Pendekatan Keluarga dan


GERMAS. Pendekatan Keluarga adalah salah satu cara Puskesmas untuk
meningkatkan jangkauan sasaran dan mendekatkan/meningkatkan akses pelayanan
kesehatan di wilayah kerjanya dengan mendatangi keluarga. Program Indonesia
Sehat melalui Pendekatan Keluarga dilaksanakan oleh Puskesmas dengan
pendekatan siklus kehidupan atau life cycle approach, mengutamakan upaya
promotif-preventif, disertai penguatan upaya kesehatan berbasis masyarakat
(UKBM). Kunjungan Keluarga dilakukan Puskesmas secara aktif untuk peningkatan
outreach dan total coverage. Melalui kunjungan keluarga, tim Puskesmas sekaligus
dapat memberikan intervensi awal terhadap permasalah kesehatan yang ada di setiap
keluarga. Kondisi kesehatan keluarga dan permasalahannya akan dicatat pada Profil
Kesehatan Keluarga (Prokesga), yang akan menjadi acuan dalam melakukan
evaluasi dan intervensi lanjut.

Dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular dan tidak


menular, pendekatan keluarga dan GERMAS diarahkan pada upaya to detect
(deteksi) yang merupakan upaya deteksi dan diagnosis dini penyakit; to prevent
(mencegah) yang merupakan upaya untuk untuk mengendalikan faktor risiko
terjadinya penyakit; upaya to response (merespon) yang dilakukan dengan
menangani kejadian penyakit, penggerakan masyarakat, dan pelaporan kejadian
penyakit; to protect (melindungi) yang merupakan upaya untuk melindungi
masyarakat dari risiko terpapar penyakit menular dan tidak menular; dan to promote
(meningkatkan) yang merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas kesehatan
masyarakat sehingga tidak mudah terpapar penyakit menular dan tidak menular.

1.1 Penyakit Menular

Prioritas pencegahan dan pengendalian penyakit menular tertuju pada pencegahan


dan pengendalian penyakit HIV/AIDS, tuberculosis, pneumoni, hepatitis, malaria,
demam berdarah, influenza, flu burung dan penyakit neglected diseases antara lain
kusta,frambusia, filariasis, dan chsitosomiasis. Selain penyakit tersebut, penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) seperti polio, campak, difteri, pertusis,
hepatitis B, dan tetanus baik pada maternal maupun neonatal juga tetap menjadi
perhatian walaupun pada tahun 2014 Indonesia telah dinyatakan bebas polio dan
tahun 2016 sudah mencapai eliminasi tetanus neonatorum. Termasuk prioritas dalam
pengendalian penyakit menular adalah pelaksanaan Sistim Kewaspadaan Dini
Kejadian Luar Biasa, Kekarantinaan Kesehatan untuk mencegah terjadinya Kejadian
Kesehatan yang Meresahkan (KKM) dan pengendalian panyakit infeksi emerging.
1.2 Penyakit Menular Langsung

1. HIV AIDS dan IMS:


Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai Maret 2015, HIV-AIDS tersebar di
390 kab/kota dari 514 Kabupaten/Kota di seluruh provinsi di Indonesia. Jumlah
kumulatif infeksi HIV sampai dengan Maret 2015 dilaporkan sebanyak 167.350
kasus dan jumlah AIDS yang dilaporkan sebanyak 66.835 orang. Sedangkan jumlah
ODHA yang mendapatkan ARV sampai bulan Maret 2015 sebanyak 53.233 orang.
Kecenderungan prevalensi kasus HIV pada penduduk usia 15 - 49 meningkat.
Pada awal tahun 2009, prevalensi kasus HIV pada penduduk usia 15 - 49 tahun
hanya 0,16% namun meningkat menjadi 0,30% pada tahun 2011, meningkat lagi
menjadi 0,32% pada 2012, dan terus meningkat menjadi 0,36% pada 2015.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menemukan ODHA, diantaranya dengan
memberikan pengobatan dan perawatan ODHA untuk mencegah penularan kepada
orang yang belum terinfeksi, mengedukasi masyarakat untuk meningkatkan
pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap HIV AIDS, pemberian Layanan
Komprehensif Berkesinambungan (LKB) di beberapa kabupaten/kota di Indonesia
serta penerapan SUFA (Strategic Use of ARV) dalam upaya pencegahan dan
pengobatan untuk mendukung akselerasi upaya pencegahan dan penanggulangan
HIV AIDS. Selain upaya tersebut, pelaksanaan tes pada populasi kunci dan upaya
lain juga terus dilakukan. Pada tahun 2010 telah dilakukan tes pada 300.577 orang
dan pada tahun 2015 meningkat menjadi 1.264.871 tes. Sampai Maret 2015 tercatat
terdapat 1.377 Layanan Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS), 500 Layanan PDP
(Perawatan, Dukungan dan Pengobatan) yang aktif melakukan pengobatan ARV
yang terdiri dari 352 RS Rujukan dan 148 Satelit, 91 Layanan PTRM (Program
Terapi Rumatan Metadon), 1.082 Layanan IMS (Infeksi Menular Seksual), 131
Layanan PPIA (Pencegahan Penularan Ibu ke Anak) dan 223 Layanan yang mampu
melakukan Layanan TB-HIV
Pelaksanaan berbagai upaya tersebut juga didukung oleh tersedianya tata laksana
penanganan pasien, tenaga kesehatan, pelayanan kesehatan (khususnya Rumah
Sakit), dan laboratorium kesehatan. Setidaknya terdapat empat laboratorium yang
sudah terakreditasi dengan tingkat keamanan biologi 3 (BSL 3), yakni Laboratorium
Badan Litbang Kesehatan, Institute of Human Virology and Cancer Biology
(IHVCB) Universitas Indonesia, Institut Penyakit Tropis Universitas Airlangga, dan
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.

2. TB

Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab utama kematian dimana sebagian besar
infeksi terjadi pada orang antara usia 15 dan 54 tahun yang merupakan usia paling
produktif, hal ini menyebabkan peningkatan beban sosial dan keuangan bagi
keluarga pasien.

Studi pada tahun 2013 The Economic Burden of TB in Indonesia, memberikan


gambaran bahwa peningkatan jumlah kasus memiliki dampak yang besar pada beban
ekonomi. Sebagai gambaran, pada tahun 2011 angka penemuan kasus TB adalah
72,7% dan TB MDR adalah 6,7% maka beban ekonomi yang diakibatkan adalah
Rp.27,7 triliu, tetapi jika angka penemuan kasus TB ditingkatkan menjadi 92,7%
dan TB MDR 31,4% maka beban ekonomi diturunkan menjadi Rp. 17,4 triliun.
Dengan penambahan investasi untuk biaya pengobatan sebesar Rp. 455 miliar untuk
peningkatan penemuan kasus maka akan didapat pengurangan beban ekonomi
sebesar Rp. 10,4 triliun, dan adanya penurunan jumlah kematian terkait TB akan
berkurang sebesar 37%, dari 95.718 ke 59.876. Dari gambaran tersebut terlihat
bahwa langkah pencegahan penularan di masyarakat harus menjadi prioritas utama
dalam program Pengendalian TB.

Untuk mengatasi permasalahan TB, diperlukan kerja sama lintas sektor


karena prevalensi/beban TB disebabkan oleh multisektor seperti kemiskinan,
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan disparitas yang terlalu besar, masalah
sosial penganguran dan belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB
khususnya di Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK).

Permasalahan tersebut memacu Kementerian Kesehatan untuk terus melakukan


intensifikasi, akselerasi, eketensifikasi dan inovasi melalui Strategi Nasional
Penanggulangan TB antara lain :
1. Peningkatan Akses layanan TOSS (Temukan Obati Sampai Sembuh) -TB
bermutu melalui Peningkatan jejaring layanan TB (public-private mix),
penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat, penemuan intensif melalui
kolaborasi (TB-HIV, TB-DM, PAL, TB-KIA, dll) dan investigasi kontak,
serta inovasi deteksi dini dengan rapid tes TB.
2. Penguatan Kepemimpinan program dan dukungan sistem melalui advokasi
dan fasilitasi dalam perumusan Rencana Aksi Daerah Eliminasi TB dan
Regulasi
3. Pengendalian faktor risiko TB
4. Membangun kemitraan dan kemandirian program
5. Pemanfaatan Informasi Strategis dan Penelitian.

3. Diare

3.1 Pengertian Diare

Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan
konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dengan frekuensi lebih
sering dari biasanya (tiga kali atau lebih) dalam satu hari (Ditjen PP&PL, Kemenkes
RI, 2011).

3.2 Penyebab Diare

Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam 6 golongan besar


yaitu infeksi (disebabkan oleh bakteri, virus atau infestasi parasit), malabsorpsi,
alergi, keracunan, imunodefisiensi dan sebab-sebab lainnya. Penyebab yang sering
ditemukan di lapangan ataupun secara klinis adalah diare yang disebabkan infeksi
dan keracunan (Kemenkes RI, 2011).

3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Diare

a. Penyebaran kuman yang menyebabkan diare Kuman penyebab diare biasanya


menyebar melalui fecal oral antara lain melalui makanan/minuman yang
tercemar tinja atau kontak langsung dengan tinja penderita.
b. Faktor penjamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare
c. Faktor penjamu dapat meningkatkan insiden. Faktor-faktor tersebut ialah tidak
memberikan ASI esklusif, kurang gizi, campak dan imunodefesiensi
d. Faktor lingkungan dan perilaku

Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua
faktor yang dominan yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Apabila faktor
lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan
perilaku manusia yang tidak sehat yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat
menimbulkan kejadian penyakit diare ( Kemenkes RI, 2011).

3.4 Program Pengendalian Penyakit Diare

Program merupakan rangkaian kegiatan yang disusun dan dilaksanakan oleh


perorangan,lembaga,organisasi,dan institusi. Program dapat berjalan baik harus diatur
dan dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan dan pengawasan yang artinya
mengintegrasikansumber-sumber yang tidak berhubungan menjadi system total untuk
menyelesaikan suatu tujuan (Setyoko, 2014).

3.5 Tujuan Pengendalian Penyakit Diare


a. Tujuan Umum: Menurunkan angka kesakitan dan kematian karena diare bersama
lintas program dan sektor terkait.
b. Tujuan Khusus
1. Tercapainya penurunan angka kesakitan
2. Terlaksananya tatalaksana diare sesuai standar
3. Diketahuinya situasi epidemologi dan besarnya masalah penyakit diare di masyarkat,
sehingga dapat dibuat perencanaan dalam pencegahan, penanggulangan maupun
pemberantasannya pada semua jenjang pelayanan.
4. Terwujudnya masyarakat yang mengerti, menghayati dan melaksanakan hidup sehat
melalui promosi kesehatan kegiatan pencegahan sehingga kesakitan dan kematian
karena diare dapat dicegah
5. Tersusunnya rencana kegiatan pengendalian penyakit diare di suatu wilayah kerja
yang meliputi target, kebutuhan logistic dan pengelolaannya (Kemenkes RI, 2011).
3.6 Kebijakan Pengendalian Penyakit Diare
1. Melaksanakan tatalaksana diare sesuai standar, baik disarana kesehatan maupun
dirumah tangga/ masyarakat
2. Melaksanakan SKD (Sistem Kewaspadaan Dini) diare
3. Melaksanakan Surveilans epidemologi dan penanggulangan kejadian luar biasa
4. Mengembangkan pedoman pengendalian penyakit diare
5. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petugas dalam pengelolaan program
aspek managerial dan teknis medis
6. Mengembangkan jejaring lintas program dan sector
7. Pembinaan teknis dan monitoring pelaksanaan pengendalian penyakit diare
3.7 Strategi Pengendalian Penyakit Diare
1. Meningkatkan tatalaksana diare di tingkat rumah tangga
2. Melaksanakan tatalaksana diare yang standar di sarana kesehatan melalui LINTAS
DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare)
3. Penguatan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) diare dan penanggulangan Kejadian Luar
Biasa (KLB)
4. Meningkatkan upaya kegiatan pencegahan yang efektif
5. Peningkatan SDM (Sumber Daya Manusia)
6. Melaksanakan monitoring dan evaluasi (Kemenkes RI, 2011).

3. 8 Pencegahan Diare

Kegiatan pencegahan penyakit diare bertujuan untuk mencegah penyakit


(mengurangi morbiditas) dan mencegah komplikasi (mengurangi mortalitas).
Kegiatan pencegahan penyakit diare yang benar dan efektif yang dapat dilakukan
adalah:

1. Perilaku Sehat
 Pemberian ASI
 Makanan Pendamping ASI
 Menggunakan Air Bersih yang Cukup
 Mencuci Tangan
 Menggunakan Jamban
 Membuang Tinja Bayi yang Benar
 Sarana Pembuangan Air Limbah
 Pemberian Imunisasi Campak
2. Penyehatan Lingkungan
 Penyediaan Air Bersih
 Pengelolaan Sampah

3. PENANGGULANGAN PENYAKIT MENULAR

a. PENYELENGGARAAN:
Penanggulangan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya
merupakan tanggung jawab dari pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Penyelenggaraan Penanggulangan Penyakit Menular dilaksanakan melalui upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan. Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dapat menetapkan program penanggulangan sebagai prioritas
nasional atau daerah dengan kriteria:
a. Penyakit endemis local
b. Penyakit menular potensial wabah
c. Fatalitas yang ditimbulkan tinggi/angka kematian tinggi
d. Memiliki dampak sosial, ekonomi, politik, dan ketahan yang luas
e. Menjadi sasaran reduksi, eliminasi
Program Penanggulangan Penyakit Menular diselenggarakan melalui upaya
kesehatan dengan mengutamakan kesehatan masyarakat. Pemerintah dalam
menyelenggarakan program penanggulangan Penyakit Menular dapat membentuk
satuan kerja/unit pelaksana teknis yang memiliki tugas dan fungsi meliputi:
a. Penyiapan penetapan dan rekomendasi jenis penyakit menular yang
memerlukan karantina
b. Focal point Kementerian Kesehatan di daerah; dan
c. Investigasi terhadap tempat atau lokasi yang dicurigai sebagai sumber
penyebaran Penyakit Menular.
Program Penanggulangan Penyakit Menular yang diselenggarakan oleh satuan
kerja/unit pelaksana teknis harus dikelola oleh Pejabat Kesehatan Masyarakat.

Berdasarkan prevalensi/kejadian kesakitan dan karakteristik Penyakit


Menular, target program Penanggulangan Penyakit Menular meliputi:
a. Reduksi: upaya pengurangan angka kesakitan dan/atau kematian
terhadap Penyakit Menular tertentu agar secara bertahap penyakit
tersebut menurun sesuai dengan sasaran atau target operasionalnya.
b. Eliminasi: upaya pengurangan terhadap penyakit secara
berkesinambungan di wilayah tertentu sehingga angka kesakitan
penyakit tersebut dapat ditekan serendah mungkin agar tidak menjadi
masalah kesehatan di wilayah yang bersangkutan.
c. Eradikasi: upaya pembasmian yang dilakukan secara berkelanjutan
melalui pemberantasan dan eliminasi untuk menghilangkan jenis
penyakit tertentu secara permanen sehingga tidak menjadi masalah
kesehatan masyarakat secara nasional.
Menteri dalam menetapkan reduksi, eliminasi, dan/atau eradikasi sebagai
target program Penanggulangan Penyakit Menular tertentu harus berdasarkan
pertimbangan dari komite ahli penyakit menular. Komite ahli penyakit menular
terdiri atas unsur organisasi profesi, akademisi, Kementerian Kesehatan, dan
lintas sektor terkait. Komite ahli penyakit menular ditetapkan oleh Menteri.

3.2.1 Kegiatan:
Penanggulangan Penyakit Menular dilakukan melalui upaya pencegahan,
pengendalian, dan pemberantasan.
o Upaya pencegahan dilakukan untuk memutus mata rantai penularan,
perlindungan spesifik, pengendalian faktor risiko, perbaikan gizi
masyarakat dan upaya lain sesuai dengan ancaman Penyakit Menular.
o Upaya pengendalian dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan
faktor risiko penyakit dan/atau gangguan kesehatan.
o Upaya pemberantasan dilakukan untuk meniadakan sumber atau agen
penularan, baik secara fisik, kimiawi dan biologi.

Upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan dalam Penanggulangan


Penyakit Menular dilakukan melalui kegiatan:
a. Promosi Kesehatan:
o Promosi kesehatan dilakukan dengan metode komunikasi, informasi
dan edukasi secara sistematis dan terorganisasi.
o Promosi kesehatan dilakukan untuk tercapainya perubahan perilaku
pada masyarakat umum yang dilakukan oleh masyarakat di bawah
koordinasi Pejabat Kesehatan Masyarakat di wilayahnya.
o Promosi kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki
kompetensi di bidang pengendalian Penyakit Menular.
o Tenaga kesehatan dapat melibatkan kader melalui pendekatan upaya
kesehatan berbasis masyarakat dan/atau tokoh masyarakat melalui
pendekatan kemitraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
o Promosi kesehatan dilakukan melalui: penyuluhan; konsultasi,
bimbingan dan konseling; intervensi perubahan perilaku;
pemberdayaan; pelatihan; atau pemanfaatan media informasi.
o Promosi kesehatan diarahkan untuk peningkatan perilaku hidup bersih
dan sehat guna memelihara kesehatan dan pencegahan penularan
penyakit.
Perilaku hidup bersih dan sehat paling sedikit berupa:
1. Cuci tangan pakai sabun,
2. Pemberantasan jentik nyamuk,
3. Menggunakan air bersih untuk keperluan rumah tangga
4. Mengkonsumsi makanan gizi seimbang
5. Melakukan aktivitas fisik setiap hari
6. Menggunakan jamban sehat; menjaga dan memperhatikan kesehatan
reproduksi; dan mengupayakan kondisi lingkungan yang sehat.

b. Surveilans kesehatan:
Surveilans kesehatan dilakukan untuk:
o Tersedianya informasi tentang situasi, kecenderungan penyakit, dan
faktor risikonya masalah kesehatan masyarakat dan factor-faktor yang
mempengaruhinya sebagai bahan pengambilan keputusan dalam
rangka pelaksanaan program penanggulangan secara efektif dan
efisien.
o Terselenggaranya kewaspadaan dini terhadap kemungkinan terjadinya
KLB/wabah dan dampaknya.
o Terselenggaranya investigasi dan penanggulangan KLB/wabah; dan
o Dasar penyampaian informasi kesehatan kepada para pihak yang
berkepentingan sesuai dengan pertimbangan kesehatan.
o Surveilans kesehatan diselenggarakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

c. Pengendalian Faktor Risiko:


Pengendalian faktor risiko ditujukan untuk memutus rantai penularan
dengan cara:
1. Perbaikan kualitas media lingkungan: meliputi perbaikan kualitas air,
udara, tanah, sarana dan bangunan, serta pangan agar tidak menjadi
tempat berkembangnya agen penyakit. Perbaikan kualitas media
lingkungan dilaksanakan melalui upaya penyehatan dan pengamanan
terhadap media lingkungan.
2. Pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit: dilakukan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Rekayasa lingkungan: dilakukan paling sedikit dengan kegiatan
rehabilitasi lingkungan secara fisik, biologi maupun kimiawi.
4. Peningkatan daya tahan tubuh: dilakukan dengan perbaikan gizi
masyarakat.
3.2.2 KLB atau Wabah:
Berdasarkan pada pertimbangan epidemiologis, sosial budaya, keamanan,
ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dampak malapetaka yang
ditimbulkan di masyarakat, Menteri menetapkan beberapa dari jenis Penyakit
Menular sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sebagai Penyakit Menular yang
dapat menimbulkan Wabah.
Dalam hal kejadian Penyakit Menular mengalami peningkatan yang
mengarah pada KLB atau Wabah, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat
wajib melakukan kewaspadaan dan kesiapsiagaan serta Penanggulangan Penyakit
Menular sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka penyelenggaraan Penanggulangan Penyakit Menular pada
KLB atau Wabah, dibentuk Tim Gerak Cepat di tingkat pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota. Tim Gerak Cepat memiliki tugas dan fungsi:
a. Melakukan deteksi dini KLB atau Wabah,
b. Melakukan respon KLB atau Wabah, dan
c. Melaporkan dan membuat rekomendasi penanggulangan.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi, Tim Gerak Cepat berhak
mendapatkan akses untuk memperoleh data dan informasi secara cepat dan tepat
dari fasilitas pelayanan kesehatan dan masyarakat.

3.2.3 Strategi:
1. Strategi dalam penyelenggaraan Penanggulangan Penyakit Menular
meliputi:
a. Mengutamakan pemberdayaan masyarakat,
b. Mengembangkan jejaring kerja, koordinasi, dan kemitraan serta kerja
sama lintas program, lintas sektor, dan internasional,
c. Meningkatkan penyediaan sumber daya dan pemanfaatan teknologi,
d. Mengembangkan sistem informasi, dan
e. Meningkatkan dukungan penelitian dan pengembangan.

3.2.4 Mitigasi Dampak:


Untuk mengurangi dampak kesehatan, sosial, dan ekonomi akibat Penyakit
Menular, Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan mitigasi dampak
melalui:
a. Penilaian status kesehatan masyarakat berdasarkan penyelidikan
epidemiologis
b. Memberikan jaminan kesehatan,
c. Menghilangkan diskriminasi dalam memberikan layanan dan dalam
kehidupan bermasyarakat,
d. Menyelenggarakan program bantuan untuk meningkatkan pendapatan
keluarga,
e. Pemberdayaan masyarakat.

3.2.5 SUMBER DAYA KESEHATAN


- Sumber daya manusia dalam penyelenggaraan Penanggulangan Penyakit
Menular meliputi tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan yang
memiliki kompetensi yang sesuai dengan kegiatan penanggulangan.
- Kemampuan teknis sumber daya manusia diperoleh melalui pendidikan
dan/atau pelatihan yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Pejabat Kesehatan Masyarakat yang mengelola program Penanggulangan
Penyakit Menular harus memiliki kompetensi di bidang epidemiologi
kesehatan, entomologi kesehatan, dan/atau kesehatan lingkungan.
- Pejabat Kesehatan Masyarakat harus mampu dalam perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan penilaian, bimbingan teknis dan
rekomendasi tindak lanjut Penanggulangan Penyakit Menular.
- Pejabat Kesehatan Masyarakat pada satuan kerja Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dalam rangka menyelenggarakan program
Penanggulangan Penyakit Menular memiliki tugas:
a. Melakukan penyelidikan epidemiologi terhadap tempat-tempat
yang diduga sebagai sumber penyebaran penyakit
b. Menetapkan status karantina dan isolasi
c. Mengambil dan mengirim sampel dan/atau spesimen untuk
keperluan konfirmasi laboratorium
d. Memperoleh informasi dan data status kesehatan masyarakat dari
fasilitas pelayanan kesehatan yang melakukan Penanggulangan
Penyakit Menula, dan
e. menyampaikan laporan dan rekomendasi tindak lanjut
penanggulangan secara berjenjang.

Dalam hal situasi Penyakit Menular menunjukkan gejala ke arah KLB atau
wabah, Pejabat Kesehatan Masyarakat wajib segera menyampaikan laporan
kewaspadaan dini dan kesiapsiagaan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
1. Pendanaan
Penanggulangan Penyakit Menular bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, swasta,
dan/atau lembaga donor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Teknologi
- Dalam penyelenggaraan Penanggulangan Penyakit Menular Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat harus memanfaatkan dan
mengembangkan teknologi yang diperlukan untuk upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perorangan.
- dan pengembangan teknologi didukung oleh penelitian, penapisan
teknologi, dan pengujian laboratorium
- Pemanfaatan dan pengembangan dilaksanakan dengan tidak menimbulkan
dampak negatif pada manusia dan lingkungan.

3.2.6 KOORDINASI, JEJARING KERJA, DAN KEMITRAAN


Dalam rangka penyelenggaraan Penanggulangan Penyakit Menular, dibangun
dan dikembangkan koordinasi, jejaring kerja, serta kemitraan antara instansi
pemerintah dan pemangku kepentingan, baik di pusat, provinsi, maupun
kabupaten/kota. Koordinasi, jejaring kerja, dan kemitraan diarahkan untuk:
a. Pemberian advokasi
b. Pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan Penyakit Menular
c. Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia, kajian, penelitian, serta
kerja sama antar wilayah, luar negeri, dan pihak ketiga
d. Peningkatan komunikasi, informasi, dan edukasi, dan meningkatkan
kemampuan kewaspadaan dini dan kesiapsiagaan serta penanggulangan
KLB/wabah
3.2.7 PERAN SERTA MASYARAKAT
Masyarakat berperan aktif baik secara perorangan maupun terorganisasi dalam
penyelenggaraan Penanggulangan Penyakit Menular untuk mencegah kesakitan,
kematian, dan kecacatan. Peran serta masyarakat dilaksanakan melalui:
a. Proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, penilaian, dan pengawasan
b. Pemberian bantuan sarana, tenaga ahli, dan finansial
c. Pemberian bimbingan dan penyuluhan serta penyebaran informasi dan
d. Sumbangan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan
kebijakan teknis dan/atau pelaksanaan perlindungan terhadap Penyakit
Menular.

3.3.1 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN


Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan
Penanggulangan Penyakit Menular, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat melakukan penelitian dan pengembangan yang berbasis bukti di
bidang:
a. Epidemiologi penyakit
b. Pencegahan penyakit
c. Pengendalian faktor risiko
d. Manajemen perawatan dan pengobatan
e. Dampak sosial dan ekonomi, dan
f. Teknologi dasar dan teknologi terapan.
Penelitian dan pengembangan dapat dilakukan pada bidang lain sesuai
dengan kebutuhan. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan dapat bekerjasama
dengan institusi dan/atau peneliti asing sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.

3.3.2 PEMANTAUAN DAN EVALUASI


Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pemantauan dan evaluasi
penyelenggaraan Penanggulangan Penyakit Menular pada masyarakat. Pemantauan
dan evaluasi dilaksanakan berdasarkan hasil surveilans kesehatan.

Pemantauan dilakukan terhadap upaya:


a. Pencegahan, dengan indikator tidak ditemukan kasus baru pada wilayah
tertentu
b. pengendalian, dengan indikator tidak ada penambahan kasus baru; dan/atau
c. pemberantasan, dengan indikator mengurangi atau menghilangkan
penyakit.

3.3.3 PENCATATAN DAN PELAPORAN


1. Fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan
kasus Penyakit Menular dan upaya penanggulangannya kepada dinas
kesehatan/kabupaten kota.Dinas kesehatan kabupaten/kota melakukan
kompilasi pelaporan, dan melakukan analisis untuk pengambilan kebijakan
dan tindak lanjut serta melaporkannya ke dinas kesehatan provinsi.
2. Dinas kesehatan provinsi melakukan kompilasi pelaporan dan melakukan
analisis untuk pengambilan rencana tindak lanjut serta melaporkannya ke
Menteri dengan tembusan Direktur Jenderal yang memiliki tugas dan
fungsi di bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.
3. Direktur Jenderal yang memiliki tugas dan fungsi di bidang pengendalian
penyakit dan penyehatan lingkungan melakukan kompilasi pelaporan, dan
melakukan analisis untuk pengambilan kebijakan dan tindak lanjut serta
memberikan umpan balik ke dinas kesehatan provinsi dan menyampaikan
laporan kepada Menteri.
4. Pelaporan dilakukan secara rutin dan berkala.
5. Dalam hal Penyakit Menular menimbulkan KLB/wabah, pelaporan wajib
disampaikan selambat-lambatnya dalam waktu 1x24 jam.

3.3.4 PEMBINAAN DAN PENGAWASAN


Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Penanggulangan
Penyakit Menular berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi.
Pembinaan dan pengawasan diarahkan untuk:
a. Mencegah risiko lebih buruk bagi kesehatan
b. Peningkatan kemampuan pemantauan wilayah setempat, dan
c. Peningkatan kemampuan penanggulangan KLB/wabah.

Pembinaan dalam penyelenggaraan Penanggulangan Penyakit Menular


dilakukan melalui:
a. Pemberdayaan masyarakat
b. Pendayagunaan tenaga kesehatan, dan
c. Pembiayaan program.
Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan cara:
a. Advokasi dan sosialisasi;
b. Membangun dan meningkatkan jejaring kerja atau kemitraan; dan/atau
c. Pemberian penghargaan.
Pendayagunaan tenaga kesehatan dilakukan dengan cara:
a. Pendidikan dan pelatihan teknis
b. Pemberian penghargaan; dan/atau
c. Promosi jabatan
Menteri, gubernur, dan bupati/walikota melakukan pengawasan terhadap
masyarakat dan setiap pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab program
Penanggulangan Penyakit Menular. Menteri, gubernur, dan bupati/walikota dalam
melaksanakan pengawasan dapat:
a. Mendelegasikan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di
bidang Penanggulangan Penyakit Menular; dan/atau
b. Mengangkat pejabat pengawas Penanggulangan Penyakit Menular yang
merupakan pejabat fungsional.

4. KESEHATAN LINGKUNGAN DAN DEMOGRAFI

4.1 Pekerjaan Pemecah Batu

Pemotong batu mengolah batu mentah menjadi massa dan balok (dengan
memotong, membentuk, memecahkan, memproses, memoles, penghapusan bagian,
dll.) ke dalam ukuran, pola, dan tingkat penyelesaian yang diinginkan; ini dilakukan
dengan menggunakan manual dan alat kerja mekanis, untuk tujuan bangunan,
dekorasi, pembuatan patung dan tujuan serupa.

Hazard yang mungkin timbul dari pekerjaan penduduk sebagai pemecah batu

1. Accident Hazard
- Jatuh, baik dari ketinggian atau karena runtuhnya perancah
- Tergelincir, tersandung dan jatuh pada level di tempat kerja
- Cidera yang disebabkan oleh benda jatuh, alat kerja, balok batu, dll.
- Overexertion atau gerakan tegang di sepanjang pengangkatan beban berat
- Cedera akibat bekerja dengan peralatan mekanis dan pneumatik, atau dari dipukul
oleh alat kerja manual
- Cidera mata akibat penetrasi ricochets dan serpihan batu ke dalam mata
2. Physical Hazard
- Gangguan pendengaran yang parah sebagai akibat dari kebisingan berlebihan yang
dihasilkan saat memecahkan dan memproses batu
- Paparan terhadap faktor lingkungan, termasuk panas atau dingin yang ekstrem yang
bisa menyebabkan dermatitis
- Potensi paparan radiasi laser saat menggunakan mesin laser untuk ukiran prasasti di
batu nisan atau patung.
3. Chemical Hazard
- Peradangan kulit (dermatitis dan eksim) dan reaksi alergi sebagai akibatnya kontak
langsung dengan debu, lem, bahan pemoles, plester, pelarut, kapur, semen, minyak,
dll.
- Pigmentasi dan peradangan kulit sebagai akibat dari paparan ricocheting partikel
- Sklerosis sistemik lanjut sebagai hasil dari paparan debu kuarsa silika gratis
- Bahaya berkembangnya silikosis sebagai hasil dari paparan yang berkepanjangan
terhadap silikat bebas debu
- Paparan debu berbahaya, esp. untuk partikel tersuspensi
- Paparan debu mineral dapat menyebabkan pneumoconiosis
- Paparan lem yang mengandung pelarut organik; dan / atau memimpin (ini relevan
untuk pekerja batu yang memasang patung dan mengukir prasasti, ke mana kadang-
kadang timah cair dilemparkan).
4. Biological Hazard
Tidak ada bahaya khusus, kecuali kemungkinan tertular penyakit parasit, dan / atau
reaksi alergi yang disebabkan oleh gigitan kutu dan / atau serangga lain yang
tumbuh di lokasi pekerjaan batu (tergantung pada geografi dan topografi wilayah).
5. Ergonomic, psychosocial and organizational factors
- Nyeri punggung dan masalah muskuloskeletal lainnya yang disebabkan oleh
aktivitas berlebihan dan postur tubuh yang salah saat mengangkat dan
memindahkan benda berat
- Membawa beban berat dapat menyebabkan sakit punggung dan cedera pada disk di
antara tulang belakang
- Perasaan kelelahan total, sebagai akibat dari melakukan pekerjaan fisik di tempat
yang bising
- Gangguan sistem muskuloskeletal dan nyeri pinggang, yang disebabkan oleh
bekerja di posisi jongkok dan / atau postur tidak nyaman lainnya saat mengerjakan
batu
- Pengembangan sindrom getaran tangan-lengan [HAVS].

Partikel tersuspensi dengan diameter kurang dari 10 mikron (PM <10


mikron) dan semua partikel dengan diameter kurang dari 2,5 mikron merupakan
potensi bahaya kesehatan. Partikel-partikel ini dapat menumpuk di dalam sistem
pernapasan manusia dan menyebabkan masalah kesehatan yang serius: esp.
pernapasan, iritasi, reaksi alergi, batuk dan sesak napas, penurunan fungsi paru-
paru, asma dan pneumonia.

6. MCK, STBM, Jamban

Lima Pilar STBM terdiri dari:

1. Stop Buang air besar Sembarangan (SBS):


Suatu kondisi ketika setiap individu dalam komunitas tidak buang air besar
sembarangan. Perilaku SBS diikuti dengan pemanfaatan sarana sanitasi yang saniter
berupa jamban sehat. Saniter merupakan kondisi fasilitas sanitasi yang memenuhi
standar dan persyaratan kesehatan yaitu:
a. tidak mengakibatkan terjadinya penyebaran langsung bahan-bahan yang
berbahaya bagi manusia akibat pembuangan kotoran manusia; dan
b. dapat mencegah vektor pembawa untuk menyebar penyakit pada pemakai
dan lingkungan sekitarnya.
2. Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS):
CTPS merupakan perilaku cuci tangan dengan menggunakan sabun dan air bersih
yang mengalir.
3. Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga (PAMM-RT):
PAMM-RT merupakan suatu proses pengolahan, penyimpanan, dan
pemanfaatan air minum dan pengelolaan makanan yang aman di rumah tangga.
Tahapan kegiatan dalam PAMM-RT, yaitu:
a. Pengelolaan Air Minum Rumah Tangga
1) Pengolahan air baku
- Apabila air baku keruh perlu dilakukan pengolahan awal dengan endapan
dan gravitasi alami
- Penyaringan dengan kain
- Pengendapan dengan bahan kimia/tawas
2) Pengolahan air untuk minum
Pengolahan air minum di rumah tangga dilakukan untuk mendapatkan air
dengan kualitas air minum. Cara pengolahan yang disarankan, yaitu: Air
untuk minum harus diolah terlebih dahulu untuk menghilangkan kuman
dan penyakit melalui :
- Filtrasi (penyaringan), contoh : biosand filter, keramik filter, dan
sebagainya.
- Klorinasi, contoh : klorin cair, klorin tablet, dan sebagainya.
- Koagulasi dan flokulasi (penggumpalan), contoh : bubuk koagulan
- Desinfeksi, contoh : merebus, sodis (Solar Water Disinfection)
Hal penting dalam PAMM-RT:
- Cucilah tangan sebelum menangani air minum dan mengolah makanan siap
santap.
- Mengolah air minum secukupnya sesuai dengan kebutuhan rumah tangga.
- Gunakan air yang sudah diolah untuk mencuci sayur dan buah siap santap
serta untuk mengolah makan siap santap.
- Tidak mencelupkan tangan ke dalam air yang sudah diolah menjadi air
minum.
- Secara periodik meminta petugas kesehatan untuk melakukan pemeriksaan
air guna pengujian laboratorium.

Contoh perubahan perilaku SBS :


Gambar 1.1

Gambar 1.2

SYARAT JAMBAN YANG SEHAT:

Jamban sehat efektif untuk memutus mata rantai penularan penyakit. Jamban sehat
harus dibangun, dimiliki, dan digunakan oleh keluarga dengan penempatan (di dalam
rumah atau di luar rumah) yang mudah dijangkau oleh penghuni rumah.

Bangunan Bawah
Merupakan bangunan penampungan, pengolah, dan pengurai kotoran/tinja yang berfungsi
mencegah terjadinya pencemaran atau kontaminasi dari tinja melalui vektor pembawa
penyakit, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Terdapat 2 (dua) macam bentuk bangunan bawah jamban, yaitu:
- Tangki Septik, adalah suatu bak kedap air yang berfungsi sebagai penampungan
limbah kotoran manusia (tinja dan urine). Bagian padat dari kotoran manusia
akan tertinggal dalam tangki septik, sedangkan bagian cairnya akan keluar dari
tangki septik dan diresapkan melalui bidang/sumur resapan. Jika tidak
memungkinkan dibuat resapan maka dibuat suatu filter untuk mengelola cairan
tersebut.
- Cubluk, merupakan lubang galian yang akan menampung limbah padat dan cair
dari jamban yang masuk setiap harinya dan akan meresapkan cairan limbah
tersebut ke dalam tanah dengan tidak mencemari air tanah, sedangkan bagian
padat dari limbah tersebut akan diuraikan secara biologis.
- Bentuk cubluk dapat dibuat bundar atau segi empat, dindingnya harus aman dari
longsoran, jika diperlukan dinding cubluk diperkuat dengan pasangan bata, batu
kali, buis beton, anyaman bambu, penguat kayu, dan sebagainya.
Berdasarkan Permenkes no. 3 Tahun 2014 tentang STBM menyatakan bahwa
standar dan persyaratan bangunan jamban terdiri dari:

1. Bangunan atas jamban (dinding dan/atau atap)


Bangunan atas jamban harus berfungsi untuk melindungi pemakai dari
gangguan cuaca dan gangguan lainnya.

2. Bangunan tengah jamban


Terdapat 2 (dua) bagian bangunan tengah jamban, yaitu:
 Lubang tempat pembuangan kotoran (tinja dan urine) yang saniter dilengkapi
oleh konstruksi leher angsa. Pada konstruksi sederhana (semi saniter), lubang
dapat dibuat tanpa konstruksi leher angsa, tetapi harus diberi tutup.
 Lantai Jamban terbuat dari bahan kedap air, tidak licin, dan mempunyai saluran
untuk pembuangan air bekas ke Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL).
3. Bangunan bawah jamban
Merupakan bangunan penampungan, pengolah, dan pengurai kotoran/tinja yang
berfungsi mencegah terjadinya pencemaran atau kontaminasi dari tinja melalui
vektor pembawa penyakit, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Terdapat 2 (dua) macam bentuk bangunan bawah jamban, yaitu:
 Tangki Septik, adalah suatu bak kedap air yang berfungsi sebagai penampungan
limbah kotoran manusia (tinja dan urine). Bagian padat dari kotoran manusia
akan tertinggal dalam tangki septik, sedangkan bagian cairnya akan keluar dari
tangki septik dan diresapkan melalui bidang/sumur resapan. Jika tidak
memungkinkan dibuat resapan maka dibuat suatu filter untuk mengelola cairan
tersebut.
 Cubluk, merupakan lubang galian yang akan menampung limbah padat dan cair
dari jamban yang masuk setiap harinya dan akan meresapkan cairan limbah
tersebut ke dalam tanah dengan tidak mencemari air tanah, sedangkan bagian
padat dari limbah tersebut akan diuraikan secara biologis. Bentuk cubluk dapat
dibuat bundar atau segi empat, dindingnya harus aman dari longsoran, jika
diperlukan dinding cubluk diperkuat dengan pasangan bata, batu kali, buis
beton, anyaman bambu, penguat kayu, dan sebagainya.

Jamban sehat adalah jamban yang memiliki kriteria sebagai berikut:

 Tidak mencemari sumber air minum, letak lubang penampung berjarak 10-15
meter dari sumber air minum
 Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus
 Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok sehingga tidak
mencemari tanah di sekitarnya
 Mudah dibersihkan dan aman penggunaannya
 Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna
 Cukup penerangan
 Lantai kedap air
 Ventilasi cukup baik
 Tersedia air dan alat pembersih

5. ODGJ
Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara
fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan
sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan
kontribusi untuk komunitasnya.

Orang Dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang
yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi
dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai
manusia.
Pemasungan adalah segala bentuk pembatasan gerak ODGJ oleh keluarga atau
masyarakat yang mengakibatkan hilangnya kebebasan ODGJ, termasuk hilangnya hak atas
pelayanan kesehatan untuk membantu pemulihan.
Penanggulangan Pemasungan adalah upaya pencegahan, penanganan, dan
rehabilitasi bagi ODGJ dalam rangka penghapusan Pemasungan.
Rehabilitasi adalah bagian dari rangkaian proses terapi untuk pemulihan ODGJ
melalui pendekatan secara fisik, psikologis dan sosial. Gangguan mental menurut WHO,
terdiri dari berbagai masalah, dengan berbagai gejala. Namun, mereka umumnya dicirikan
oleh beberapa kombinasi abnormal pada pikiran, emosi, perilaku dan hubungan dengan
orang lain. Contohnya adalah skizofrenia, depresi, cacat intelektual dan gangguan karena
penyalahgunaan narkoba, gangguan afektif bipolar, demensia, cacat intelektual dan
gangguan perkembangan termasuk autisme.
Pada konteks kesehatan jiwa, dikenal dua istilah untuk individu yang mengalami
gangguan jiwa. Pertama, Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) merupakan orang
yang memiliki masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau
kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Kedua, Orang dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku,
dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/ atau perubahan
perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam
menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Konsep upaya kesehatan mental di Indonesia yaitu kegiatan untuk mewujudkan
derajat kesehatan mental yang optimal bagi setiap individu, keluarga dan masyarakat
dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan
secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan oleh pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat. Pelaksanaan upaya kesehatan jiwa berdasarkan asas keadilan,
perikemanusiaan, manfaat, transparansi, akuntabilitas, komprehensif, perlindungan, serta
non diskriminasi.

Upaya promotif kesehatan jiwa bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan


derajat kesehatan jiwa masyarakat, menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggaran hak
asasi ODGJ, serta meningkatkan pemahaman, keterlibatan, dan penerimaan masyarakat
terhadap kesehatan jiwa. Oleh karena itu penting untuk melaksanakan upaya promotif di
lingkungan keluarga, lembaga pendidikan, tempat kerja, masyarakat, fasilitas pelayanan
kesehatan, media massa, lembaga keagamaan dan tempat ibadah, serta lembaga
pemasyarakatan dan rumah tahanan.

Upaya preventif kesehatan jiwa bertujuan untuk mencegah terjadinya masalah kejiwaan,
mencegah timbul dan/atau kambuhnya gangguan jiwa, mengurangi faktor risiko akibat
gangguan jiwa pada masyarakat secara umum atau perorangan, serta mencegah timbulnya
dampak masalah psikososial yang dilaksanakan di lingkungan keluarga, lembaga dan
masyarakat.
Upaya kuratif dilaksanakan melalui kegiatan pemberian pelayanan kesehatan terhadap
ODGJ yang mencakup proses diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat sehingga ODGJ
dapat berfungsi secara wajar di lingkungan keluarga, lembaga dan masyarakat. Tujuan
upaya kuratif adalah untuk penyembuhan dan pemulihan, pengurangan penderitaan,
pengendalian disabilitas, dan pengendalian gejala penyakit. Kegiatan penatalaksanaan
kondisi kejiwaan pada ODGJ dilaksanakan di fasilitas pelayanan bidang kesehatan jiwa.

Selanjutnya upaya rehabilitatif kesehatan jiwa bertujuan untuk mencegah dan


mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi sosial, memulihkan fungsi okupasional,
mempersiapkan dan mempersiapkan dan memberi kemampuan ODGJ agar mandiri di
masyarakat. Upaya rehabilitatif ini meliputi rehabilitatif psikiatrik, psikososial, serta
rehabilitatif sosial (dapat dilaksanakan dalam keluarga, masyarakat, dan panti sosial).9

Secara keseluruhan, tujuan (goal) rencana aksi kesehatan mental ini adalah untuk
mempromosikan kesehatan mental, mencegah gangguan mental, menyediakan pelayanan,
meningkatkan pemulihan, mempromosikan Hak Asasi Manusia dan menurunkan
kematian, kesakitan, dan kecacatan pada orang dengan gangguan mental..

Target global yang ditetapkan untuk setiap tujuan memberikan dasar bagi tindakan
keseluruhan dan pencapaian yang terukur terhadap tujuan global. Rencana aksi bergantung
pada enam prinsip dan pendekatan lintas sektoral berikut:1

1. Cakupan kesehatan universal (Universal Health Coverage): Tanpa memandang usia,


jenis kelamin, status sosial ekonomi, ras, etnis atau orientasi seksual, dan mengikuti
prinsip keadilan, orang dengan gangguan mental harus dapat mengakses, tanpa
risiko memiskinkan diri mereka sendiri, layanan sosial dan kesehatan esensial yang
memungkinkan mereka mencapai pemulihan dan standar kesehatan tertinggi yang
dapat dicapai.
2. Hak asasi manusia (Human Rights) : Strategi kesehatan mental, tindakan dan
intervensi untuk pengobatan, pencegahan dan promosi harus dilakukan sesuai
dengan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas dan instrumen hak asasi manusia
regional dan internasional lainnya.
3. Praktik berbasis bukti (Evidence-Based Practice): Strategi kesehatan mental dan
intervensi untuk pengobatan, pencegahan, dan promosi harus dilakukan berdasarkan
bukti ilmiah dan/atau praktik terbaik, dengan mempertimbangkan budaya.
4. Pendekatan perjalanan kehidupan (Life Course Approach): Kebijakan, rencana, dan
layanan untuk kesehatan mental perlu mempertimbangkan kebutuhan kesehatan dan
sosial di semua tahapan perjalanan hidup, termasuk masa bayi, masa kanak-kanak,
masa remaja, dewasa dan usia yang lebih tua.
5. Pendekatan multisektoral (Multisectoral Approach): Respons yang komprehensif
dan terkoordinasi untuk kesehatan mental membutuhkan kemitraan dengan berbagai
sektor publik seperti kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, yudisial, perumahan,
sosial dan sektor lain yang relevan termasuk sektor swasta.
6. Pemberdayaan orang dengan gangguan mental dan cacat psikososial: Orang dengan
gangguan mental dan cacat psikososial harus diberdayakan dan dilibatkan dalam
advokasi kesehatan mental, kebijakan, perencanaan, legislasi, penyediaan layanan,
pemantauan, penelitian, dan evaluasi.

5.1 Penanggulangan Pemasungan dilakukan melalui:

a. pencegahan Pemasungan;
b. penanganan Pemasungan; dan
c. Rehabilitasi.

5.2 Pencegahan Pemasungan dilakukan melalui kegiatan:

a. advokasi dan sosialisasi;


b. fasilitasi kepesertaan jaminan kesehatan;
c. penyediaan pelayanan kesehatan yang bermutu, aman, dan terjangkau;
d. pemberian tata laksana untuk mengontrol gejala melalui terapi medikasi maupun
non medikasi; dan
e. pengembangan layanan rawat harian (day care).

5.3 Penanganan Pemasungan

a. advokasi dan sosialisasi;


b. fasilitasi kepesertaan jaminan kesehatan;
c. pemeriksaan dan tata laksana awal di komunitas;
d. rujukan ke rumah sakit umum (RSU) atau rumah sakit jiwa (RSJ);
e. kunjungan rumah (home visit) atau layanan rumah (home care);
f. pengembangan layanan di tempat kediaman (residensial) termasuk layanan rawat
harian (day care); dan
g. pengembangan kapasitas tenaga kesehatan dan kader.

5.4 Rehabilitasi

Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan:

a. advokasi dan edukasi;


b. fasilitasi kepesertaan jaminan kesehatan;
c. penyediaan akses ke layanan kesehatan termasuk jaminan keberlanjutan terapi baik
fisik maupun jiwa;
d. tata laksana untuk mengontrol gejala melalui terapi medikasi dan non medikasi;
e. kunjungan rumah (home visit) atau layanan rumah (home care);
f. Rehabilitasi vokasional dan okupasional;
g. fasilitasi ODGJ dalam memperoleh modal usaha mandiri atau lapangan pekerjaan;
h. pengembangan layanan di tempat kediaman (residensial) termasuk layanan rawat
harian (day care);
i. pengembangan kelompok bantu diri serta organisasi konsumen dan keluarga; dan
j. fasilitasi proses kembali (reintegrasi) ke keluarga dan masyarakat.

6. Covid-19

Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai dari gejala
ringan sampai berat. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru
yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab COVID-19
ini dinamakan Sars-CoV-2.

Tanda dan gejala


- Demam
- Batuk
- Sesak napas
- Pada kasus berat dapat terjadi pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal,
bahkan kematian.
- Hasil rontgen menunjukkan infiltrat pneumonia luas di kedua paru.

Masa inkubasi virus rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari.

Pasien Dalam Pengawasan (PDP)

1) Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam (≥38oC)
atau riwayat demam; disertai salah satu gejala/tanda penyakit pernapasan seperti:
batuk/sesak nafas/sakit tenggorokan/pilek/pneumonia ringan hingga berat DAN
tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan DAN
pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau
tinggal di negara/wilayah yang melaporkan transmisi lokal*.
2) Orang dengan demam (≥380C) atau riwayat demam atau ISPA DAN pada 14 hari
terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi
COVID-19.
3) Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat** yang membutuhkan perawatan di
rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang
meyakinkan.

Orang Dalam Pemantauan (ODP)

1) Orang yang mengalami demam (≥380C) atau riwayat demam; atau gejala
gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk DAN tidak ada
penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan DAN pada 14 hari
terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di
negara/wilayah yang melaporkan transmisi lokal*.
2) Orang yang mengalami gejala gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit
tenggorokan/batuk DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki
riwayat kontak dengan kasus konfirmasi COVID-19.
Orang Tanpa Gejala (OTG)

Seseorang yang tidak bergejala dan memiliki risiko tertular dari orang konfirmasi COVID-
19. OTG merupakan kontak erat dengan kasus konfirmasi COVID-19.

Kontak Erat adalah seseorang yang melakukan kontak fisik atau berada dalam ruangan
atau berkunjung (dalam radius 1 meter dengan kasus pasien dalam pengawasan atau
konfirmasi) dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus
timbul gejala.

Termasuk kontak erat adalah:

a. Petugas kesehatan yang memeriksa, merawat, mengantar dan membersihkan


ruangan di tempat perawatan kasus tanpa menggunakan APD sesuai standar.
b. Orang yang berada dalam suatu ruangan yang sama dengan kasus (termasuk
tempat kerja, kelas, rumah, acara besar) dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala
dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.
c. Orang yang bepergian bersama (radius 1 meter) dengan segala jenis alat
angkut/kendaraan dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari
setelah kasus timbul gejala.

Kasus Konfirmasi

Pasien yang terinfeksi COVID-19 dengan hasil pemeriksaan tes positif melalui
pemeriksaan PCR.
Gambar 2.1

Pencegahan penularan

• Jarak sosial (Social distancing): Jarak sosial adalah jarak interaksi sosial minimal 2
meter, tidak berjabat tangan, dan tidak berpelukan sehingga penularan virus dapat dicegah.
Jarak sosial ini sepertinya membuat interaksi menjadi semakin jauh, rasa sepi dan
terisolasi. Hal ini dapat diatasi dengan meningkatkan intensitas interaksi sosial melalui
media sosial yang tidak berisiko terkena percikan ludah.

• Jarak fisik (Physical distancing): Jarak fisik

adalah jarak antar orang dimanapun berada minimal 2 meter, artinya walaupun tidak
berinteraksi dengan orang lain jarak harus dijaga dan tidak bersentuhan. Tidak ada
jaminan baju dan tubuh orang lain tidak mengandung virus COVID-19 sehingga jarak
fisik dapat mencegah penularan.
• Cuci tangan dengan sabun pada air yang mengalir sebelum dan sesudah memegang
benda. Tangan yang memegang benda apa saja mungkin sudah ada virus COVID-19,
sehingga cuci tangan pakai sabun dapat menghancurkan kulit luar virus dan tangan bebas
dari virus. Hindari menyentuh mulut, hidung dan mata, karena tangan merupakan cara
penularan yang paling berbahaya.

• Pakai masker kain yang diganti setiap 4 jam. Pada situasi pandemi tidak diketahui
apakah orang lain sehat atau OTG (yang tidak memperlihatkan tanda dan gejala pada hal
sudah mengandung virus corona), jadi pemakaian masker kain bertujuan tidak menularkan
dan tidak ketularan.

• Setelah pulang ke rumah. Pada situasi yang terpaksa harus ke luar rumah, maka saat
pulang ke rumah upayakan meninggalkan sepatu di luar rumah, lalu segera mandi dan
pakaian segera dicuci. Oleh karena itu setiap orang diminta tinggal di rumah (stay at
home) artinya bekerja dari rumah, belajar dari rumah, beribadah dari rumah, dan semua
aktifitas dilakukan di rumah. Hindari pertemuan-pertemuan seperti pesta ulang tahun,
pesta perkawinan, ibadah berjamaah, dan kerumunan orang banyak

Peran Kesmas Pada Masyarakat/Komunitas Sehat & Orang Dengan Gejala (ODP),
sbb :

a) Melakukan upaya promosi kesehatan yaitu peningkatan imunitas fisik dan ketahanan
mental, serta pencegahan penularan dan pencegahan masalah kesehatan jiwa dan
psikososial melalui media sosial pada komunitas dan masyarakat umum

b) Memandu masyarakat/komunitas mempraktek kan dan menjadikan kebiasaan upaya


promosi kesehatan dan pencegahan tersebut melalui media sosial pada komunitas dan
masyarakat umum.

c) Memantau dan cek anggota masyarakat/ komunitas yang tidak melakukan upaya
promosi kesehatan dan pencegahan

d) Memantau dan cek anggota masyarakat/ komunitas yang menunjukkan gejala terjadi
penularan COVID-19 dan/atau gejala masalah kesehatan jiwa dan psikososial.
e) Melakukan Psychological First Aid (PFA) dan follow up PFA 1x pada anggota
masyarakat/ komunitas yang membutuhkan (bagi tenaga kesmas yang telah mendapat
pelatihan PFA). Setelah follow up dan gejala belum membaik, maka perlu dirujuk

f) Membantu menghubungkan antar berbagai dukungan psikososial dan jejaring yang


tersedia, dengan masyarakat/komunitas yang membutuhkan, antara lain ketersediaan
bahan pangan, sarana kesehatan, support group lokal (a.l. RT/RW, dasa wisma, posyandu)

g) Mengetahui informasi prosedur rujukan di wilayah kerja tentang penanganan lebih


lanjut COVID-19 dan masalah kesehatan jiwa dan psikososial.

Tabel 1.1 Kegiatan Deteksi Dini dan Respon di Wilayah puskesmas

DETEKSI Respon
PDP ODP OTG
 Melakukan  Tatalaksana  Tatalaksanasesua  Melakukan
surveilans sesuai kondisi: i kondisi pasien pendataan
Influenza Like kontak erat
 -  Ringan: Isolasi  Notifikasikasusda
Illness (ILI) (OTG)
diri di rumah lam waktu 1x24
dan pneumonia menggunakan
jam ke Dinkes
melalui Sistem formulir
 -  Sedang: Rujuk
Kab/Kota
Kewaspadaan
ke RS Darurat
menggunakan  Notifikasi
Dini dan
formulir kasus dalam
Respon  -  Berat: Rujuk ke
waktu 1x24
(SKDR) RS Rujukan
 Melakukanpenyel
jam ke Dinkes
termasuk
idikan
 Saat melakukan Kab/Kota
kluster
epidemiologi
rujukan menggunakan
pneumonia
berkoordinasi
berkoordinasi dengan formulir
dengan Dinkes
 Melakukan RS
Kab/Kota  Melakukan
surveilans
 Rujukan pasien pemantauan
aktif/pemantau
 Melakukanpeman
memperhatikan (cek kondisi
an terhadap
tauan (cek
kasus setiap
pelaku
perjalanan dari prinsip PPI kondisi kasus hari, jika
wilayah/negara setiap hari, jika terjadi
 Notifikasi 1x24
terjangkit terjadi perburukan
jam secara berjenjang
selama 14 hari perburukan segera rujuk
menggunakan
sejak segera rujuk RS RS
formulir
kedatangan ke darurat/rujukan) darurat/rujuka
wilayah n)
 Melakukan
 Mencatatdanmela
berdasarkan
penyelidikan
porkan hasil  Mencatat
informasi dari
epidemiologi
pemantauan dan
Dinkes
berkoordinasi dengan
secara rutin melaporkan
setempat
Dinkes Kab/Kota
menggunakan hasil
(menunjukkan
formulir pemantauan
HAC)  Mengidentifikasi
secara rutin
kontak erat yang
 Edukasipasienunt
 Melakukan menggunakan
berasal dari
uk isolasi diri di
komunikasi formulir
masyarakat maupun
rumah. Bila
risiko termasuk
petugas kesehatan
gejala mengalami  Edukasi
penyebarluasan
perburukan pasien untuk
media KIE  Melakukan
segera ke isolasi diri di
mengenai pemantauan PDP
fasyankes rumah.
COVID- 19 yang isolasi rumah
kepada
 Melakukankomu  Bila gejala
 Mencatat dan
masyarakat
nikasi risiko, mengalami
melaporkan hasil
keluarga dan perburukan
 Membangu pemantauan kontak
masyarakat segera ke
n dan secara rutin
fasyankes
memperkuat menggunakan
 Pengambilanspes
jejaring kerja formulir
imen dan  Melakukan
surveilans
berkoordinasi komunikasi
 Edukasi PDP
dengan
dengan Dinkes risiko,
ringan untuk isolasi
pemangku
setempat terkait keluarga dan
kewenangan, diri di rumah. Bila pengiriman masyarakat
lintas sektor gejala mengalami spesimen.
 Pengambil
dan tokoh perburukan segera ke
an spesimen
masyarakat fasyankes
dan
 Melakukan berkoordinasi
komunikasi risiko dengan Dinkes
baik kepada pasien, setempat
keluarga dan terkait
masyarakat pengiriman
spesimen.
 Pengambilan
spesimen pada PDP
ringan berkoordinasi
dengan Dinkes
setempat terkait
pengiriman spesimen

Peran Institusi Kesehatan (4c)

1. Puskesmas

a. Melakukan komunikasi terkait COVID-19 kepada masyarakat

b. Melakukan surveilans aktif/pemantauan terhadap OTG, ODP dan PDP di wilayahnya

c. Melakukan pemeriksaan Rapid Test dan pengambilan spesimen untuk konfirmasi RT-
PCR d. Membangun dan memperkuat kerja sama surveilans dengan tokoh masyarakat dan
lintas sektor

e. Memberitahukan kepada RT/RW apabila ada keluarga yang menjalani karantina rumah
agar mereka mendapatkan dukungan dari masyarakat di sekitarnya.
f. Memonitor keluarga yang memiliki anggota keluarga yang lanjut usia atau memiliki
penyakit komorbid.

g. Mengajak para tokoh masyarakat agar melakukan disinfeksi tempat-tempat umum yang
banyak dikunjungi masyarakat.

h. Notifikasi/pelaporan kasus 1x24 jam secara berjenjang ke Dinkes Kab/Kota/Provinsi


dan PHEOC.

Berikut adalah daftar Protokol Kesehatan Penanganan COVID-19, sebagaimana


dilansir dari Instagram Kemenkes RI;

1. Jika Merasa Tak Sehat Masyarakat yang merasa tidak sehat dan mengalami gejala
seperti demam, batuk/pilek, sakit tenggorokan, gangguan pernapasan, diimbau untuk
beristirahat atau bila keluhan berlanjut, maka segera berobat ke fasilitas pelayanan
kesehatan (fasyankes). Yang harus dilakukan saat ke fanyankes yaitu: gunakan masker,
ikuti etika batuk/bersin yang benar serta tidak menggunakan transportasi massal atau
umum.

2. Tenaga Kesehatan di Fasyankes Melakukan Screening Pasien Dalam Pengawasan


(PDP) COVID-19

- Jika tidak memenuhi kriteria Pasien Dalam Pengawasan (PDP) COVID-19, maka akan
dirawat inap atau rawat jalan tergantung diagnosa dan keputusan dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan.

- Jika memenuhi kriteria Pasien Dalam Pengawasan (PDP) COVID-19, maka akan dirujuk
ke salah satu rumah sakit rujukan yang siap untuk penanganan didampingi oleh nakes
yang menggunakan alat pelindung diri (ADP). (4d)

3. Di RS Rujukan, Spesimen PDP Diambil untuk Pemeriksaan LAB dan Pasien Berada di
Ruang Isolasi Spesimen akan dikirim ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(Balitbangkes) di Jakarta. Hasil pemeriksaan pertama akan keluar dalam 24 jam. Jika
Negatif Jika hasilnya negatif, akan dirawat sesuai dengan penyebab penyakit. Jika Positif
Dinyatakan sebagai penderita COVID-19 - Sampel akan diambil setiap hari. Akan
dikeluarkan dari ruang isolasi jika pemeriksaan sampel 2 kali berturut-turut hasilnya
negatif.
Gambar 2.2 Alur rujukan ke RS penanganan COVID-19

DAFTAR PUSTAKA:
 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020. Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Coronavirus Disease.
 World Health Organization (WHO). 2020. Global surveillance for human infection
with novelcoronavirus (2019-ncov). https://www.who.int/publications-
detail/global-surveillance-forhuman-infection-with-novel-coronavirus-(2019-
ncov). Diakses pada 19 Mei 2020.
 Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2014 Penanggulangan Penyakit Menular.
(diakses melalui https://katigaku.top/wp-content/uploads/2018/12/6.-
PMK_No._82_2014_ttg_Penanggulangan_Penyakit_Menular_.pdf pada tanggal 19
Mei 2020).
 Direktorat Jenderal Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit. 2018. Rencana Aksi
Program Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit 2015-2019 (Revisi I - 2018). Jakarta:
Bakti Husada.
 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020. Promotif Dan Preventif Dalam Bidang
Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit (P2P). [artikel] (diakses melalui
http://p2p.kemkes.go.id/rakontek-2020-promotif-dan-preventif-dalam-bidang-pencegahan-
dan-pengendalian-penyakit-p2p/ pada tanggal 18 Mei 2020)
 Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2014 Penanggulangan Penyakit Menular.
(diakses melalui https://katigaku.top/wp-content/uploads/2018/12/6.-
PMK_No._82_2014_ttg_Penanggulangan_Penyakit_Menular_.pdf pada tanggal 19
Mei 2020).
 Direktorat Jenderal Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit. 2018. Rencana Aksi
Program Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit 2015-2019 (Revisi I - 2018). Jakarta:
Bakti Husada.

Anda mungkin juga menyukai