Anda di halaman 1dari 25

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1.1 Deskripsi Teoritis

1.1.1 Bencana

a. Pengertian Bencana

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa

atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non

alam maupun faktor manusia maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan

timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan

dampak psikologis.

UN-ISDR dalam “Manajemen Bencana” untuk dapat disebut sebagai bencana

harus dipenuhi beberapa kriteria/kondisi sebagai berikut :

1. Ada peristiwa.

2. Terjadi karena faktor alam atau karena ulah manusia.

3. Terjadi secara tiba-tiba akan tetapi juga dapat terjadi secara perlahan.

4. Menimbulkan hilangnya jiwa manusia, harta benda, kerugian sosial ekonomi,

dan kerusakan lingkungan.

5. Berada diluar kemampuan masyarakat untuk menanggulanginya.

b. Pengklasifikasian Bencana

Neritarani (2019) mendefiniskan kejadian bencana secara umum dapat dibagi

menjadi tiga, yaitu :

1. Bencana alam

10
11

Merupakan bencana yang disebabkan oleh peristiwa atau serangkaian

peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain dapat berupa gempa bumi, tsunami,

tanah longsor, gunung meletus, banjir, kekeringan, dan angin topan.

2. Bencana nonalam

Merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian

peristiwa nonalam antara lain dapat berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, dan

wabah penyakit.

3. Bencana Sosial

Merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian

peristiwa yang diakibatkan oleh ulah manusia meliputi konflik sosial antar

kelompok atau antar masyarakat, dan teror.

Setyowati (2017:6) membagi klasifikasi bencana berdasarkan penyebabnya

dibedakan menjadi berikut :

1. Bencana alam Geologis

Bencana alam Geologis disebabkan oleh gaya-gaya yang berasal dari dalam

bumi atau disebabkan akibat bergeraknya lempeng bumi. Bencana alam geologis

termasuk bencana alam yang sangat banyak menelan korban jiwa, kerusakan

lingkungan dan mengakibatkan banyak kerugian. Contohnya, yaitu gempa bumi,

tsunami, letusan gunung berapi

2. Bencana alam Klimatologis

Bencana alam Klimatologis disebabkan oleh faktor cuaca dan iklim. Bencana

ini diakibatkan oleh perubahan iklim yang terjadi diseluruh dunia. Contohnya, yaitu

banjir, badai, puting beliung, kekeringan, kebakaran alami hutan, tanah longsor.
12

3. Bencana alam Ekstra-Terestrial

Bencana alam Ekstra-Terestrial merupakan bencana alam yang terjadi di luar

angkasa contohnya, yaitu hantanam meteor.

c. Model Manajemen Bencana

Terdapat lima model manajemen bencana (Anis, 2018:133) :

1. Disaster management continuum model. Model ini mungkin merupakan model

yang paling popular karena terdiri dari tahap-tahap yang jelas sehingga lebih

mudah diimplementasikan. Tahap-tahap manajemen bencana di dalam model ini

meliputi emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation,

preparedness, dan early warning.

2. Pre-during-post-disaster model. Model manajemen bencana ini membagi tahap

kegiatan di sekitar bencana. Terdapat kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan

sebelum bencana, selama bencana terjadi, dan setelah bencana. Model ini

seringkali digabungkan dengan disaster management continuum model.

3. Contract-expand model. Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-tahap yang ada

pada manajemen bencana (emergency, relief, rehabilitation, reconstruction,

mitigation, preparedness, dan early warning) semestinya tetap dilaksanakan pada

daerah yang rawan bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak bencana

adalah pada saat bencana tahap tertentu lebih dikembangkan (emergency dan

relief) sementara tahap yang lain seperti rehabilitation, reconstruction, dan

mitigation kurang ditekankan.


13

4. The crunch and release model. Manajemen bencana ini menekankan upaya

mengurangi kerentanan untuk mengatasi bencana. Bila masyarakat tidak rentan

maka bencana akan juga kecil kemungkinannya terjadi meski hazard tetap terjadi.

5. Disaster risk reduction framework. Model ini menekankan upaya manajemen

bencana pada identifikasi risiko bencana baik dalam bentuk kerentanan maupun

hazard dan mengembangkan kapasitas untuk mengurangi risiko tersebut.

2.1.2 Kesiapsiagaan

a. Definisi kesiapsiagaan

Kesiapsiagaan bencana merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan

untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang

tepat guna dan berdaya guna (Undang-Undang No.24 Tahun 2007 pasal 1 ayat 7).

Adaptasi kesiapsiagaan dapat dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan yang

dapat terjadi guna untuk menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda

dan berubahnya suatu tata kehidupan masyarakat.

Syarif dan Matura (2015) menyimpulkan kesiapsiagaan menghadapi bencana

merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan keselamatan hidup

saat terjadi bencana, seperti tindakan proteksi selama gempa bumi, tumpahan

material berbahaya, atau serangan teroritis

Kesiapsiagaan juga dapat didefinisikan sebagai suatu bagian dari proses

manajemen bencana dan dalam konsep tersebut terdapat suatu pengelolaan

bencana, peningkatan adaptasi kesiapsiagaan juga merupakan salah satu elemen

penting dari kegiatan pengurangan risiko bencna yang bersifat pro-aktif, sebelum

terjadinya sautu bencana (LIPI-UNESCO, 2006:6).


14

Bentuk aktivitas kesiapsiagaan yang dapat dilakukan (Rijanta dkk, 2014:38) :

1. Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana.

2. Pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini.

3. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar.

4. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap

darurat.

5. Penyiapan lokasi evakuasi.

6. Penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap

darurat bencana.

7. Penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan

pemulihan prasarana dan sarana.

b. Usaha Peningkatan Kesiapsiagaan

LIPI-UNESCO (2006:8) menyebutkan dalam mengembangkan

kesiapsiagaan dari suatu masyarakat, terdapat beberapa aspek yang memerlukan

perhatian yaitu :

1. Perencanaan dan organisasi : adanya arahan dan kebijakan, perencanaan

penanganan situasi darurat yang tepat dan selalu diperbaharui (tidak tertinggal),

struktur organisasi penanggulangan bencana yang memadai.

2. Sumberdaya : inventarisasi dari semua sumberdaya secara lengkap dan

pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas.

3. Koordinasi : unit organisasi antar lembaga/organisai serta menghilangkan friksi

dan meningkatkan kerjasama antar lembaga/organisasi terkait.


15

4. Kesiapan : unit organisai penanggulangan bencana harus bertanggung jawab

penuh untuk memantau dan menjaga standar kesiapan semua elemen.

5. Pelatihan dan Kesadaran Masyarakat : perlu adanya pelatihan yang memadai dan

adanya kesadaran masyarakat serta ketersediaan yang memadai dan akurat.

Untuk mendukung semua kegiatan peningkatan adaptasi kesiapsiagaan,

diperlukan adanya unsur-unsur sebagai berikut :

1. Kebijakan dan Peraturan yang memadai.

2. Instansi/Unit Penanggulangan Bencana yang permanen dan bersifat spesialis

untuk memantau dan menjaga tingkat adaptasi kesiapsiagaan.

3. Identifikasi, kajian dan pemantauan bentuk ancaman bencana.

4. Perencanaan keadaan darurat yang melibatkan berbagai organisasi

sumberdaya, kejelasan tugas serta tanggungjawab.

5. Pemanfaatan sumberdaya (perlu inventarisasi semua sumberdaya yang ada

secara uptodate).

Terkait dengan masalah adaptasi kesiapsiagaan masyarakat, beberapa

sumber mengatakan bahwa untuk menciptakan peningkatan adaptasi kesiapsiagaan

masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana, terdiri dari beberapa faktor kritis,

diantaranya (LIPI, 2006:3) :

1. Pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana.

2. Kebijakan dan panduan

3. Rencana untuk keadaan darurat bencana

4. Sistim peringatan bencana

5. Kemampuan untuk memobilisasi sumber daya


16

c. Tujuan Adaptasi kesiapsiagaan

Tujuan Kesiapsiagaan menurut IDEP (2007) yaitu :

1. Mengurangi Ancaman

2. Mengurangi Kerentanan Masyarakat

3. Mengurangi Akibat

4. Menjalin Kerjasama

Tabel 2. 1 Indeks kesiapsiagaan bencana


No Nilai Indeks (%) Kriteria
1 80-100 Sangat Siap
2 65-79 Siap
3 55-64 Hampir Siap
4 40-54 Kurang Siap
5 < 40 Belum Siap
Sumber : LIPI-UNESCO/ISDR

d. Parameter kesiapsiagaan Bencana

Terdapat 5 parameter adaptasi kesiapsiagaan menurut (LIPI-UNESCO/ISDR

2006, 13-14). Parameter adaptasi kesiapsiagaan bervariasi, sesuai dengan

kebutuhan dan spesifikasi masing-masing. Berikut parameternya :

1. Pengetahuan, sikap dan tindakan, terdiri dari empat variabel, yaitu :

a) Pemahaman tentang bencana alam.

b) Pemahaman tentang kerentanan lingkungan.

c) Pemahaman tentang kerentanan bangunan fisik dan fasilitas-fasilitas

penting untuk keadaan darurat bencana.

d) Sikap dan kepedulian terhadap risiko bencana.

e) Tindakan dalam pengurangan risiko bencana.

2. Kebijakan, peraturan dan panduan, dijabarkan kedalam tiga variabel, yaitu :


17

a) Jenis-jenis kebijakan adaptasi kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana

alam seperti organisasi pengelola bencana, rencana aksi untuk tanggap

darurat, sistem peringatan bencana, pendidikan masyarakat dan alokasi

dana.

b) Peraturan-peraturan yang relevan seperti Perda dan SK.

c) Panduan-panduan yang relevan.

3. Rencana untuk keadaan darurat diterjemahkan menjadi delapan variabel, yaitu:

a) Organisasi pengelola bencana, termasuk adaptasi kesiapsiagaan bencana.

b) Rencana evakuasi, termasuk lokasi dan tempat evakuasi, peta, jalur dan

rambu-rambu evakuasi.

c) Posko bencana dan prosedur tetap (protap) pelaksanaan.

d) Rencana pertolongan pertama, penyelamatan, keselamatan dan keamanan

ketika terjadi bencana.

e) Rencana pemenuhan kebutuhan dasar, termasuk makanan dan minuman,

pakaian, tempat/tenda pengungsian, air bersih, MCK dan sanitasi

lingkungan, kesehatan dan informasi tentang bencana dan korban.

f) Peralatan dan perlengkapan evakuasi.

g) Fasilitas-fasilitas penting untuk keadaan darurat (rumah sakit/posko

kesehatan, pemadam kebakaran, PDAM, Telkom, PLN, pelabuhan,

bandara).

h) Latihan dan simulasi evakuasi.

4. Sistem peringatan bencana dijabarkan kedalam tiga variabel, yaitu:


18

a) Sistem peringatan bencana secara tradisional yang telah

berkembang/berlaku secara turun temurun dan/atau kesepakatan lokal.

b) Sistem peringatan bencana berbasis teknologi yang bersumber dari

pemerintah, termasuk instalasi peralatan, tanda peringatan, diseminasi

informasi peringatan dan mekanismenya.

c) Latihan dan simulasi.

5. Kemampuan memobilisasi sumber daya terdiri dari variabel-variabel sebagai

berikut :

a) Pengaturan kelembagaan dan sistem komando.

b) Sumber daya manusia, termasuk ketersediaan personel dan relawan,

keterampilan dan keahlian.

c) Bimbingan teknis dan penyediaan bahan dan materi adaptasi kesiapsiagaan

bencana alam.

d) Memobilisasi dana.

e) Koordinasi dan komunikasi antar stakeholders yang terlibat dalam adaptasi

kesiapsiagaan bencana.

f) Pemantauan dan evaluasi kegiatan adaptasi kesiapsiagaan bencana.

2.1.3 Kekeringan

a. Definisi Kekeringan

Kekeringan merupakan salah satu masalah serius yang sering muncul ketika

musim kemarau tiba karena berkurangnya air ( Indarto dkk, 2014). Kekeringan pada

dasarnya diakibatkan oleh kondisi hidrologi daerah dalam kondisi air yang tidak

seimbang (Jamil, 2013). Menurut UN-ISDR (2009) kekeringan didefinisikan


19

sebagai kekurangan curah hujan dalam satu periode waktu, biasanya berupa sebuah

musim atau lebih, yang menyebabkan kekurangan air untuk kegiatan, kelompok,

atau sektor lingkungan. Selain itu, kekeringan merupakan fenomena yang merayap

pelan (Mazhar, 2015). Banyak ahli yang mengungkapkan tentang definisi

kekeringan.

Kekeringan adalah suatu kejadian jenis iklim berulang yang normal, dan

dapat terjadi diseluruh zona iklim dengan berbagai macam karakteristiknya

(Moreira dkk, 2012). Elza Sumarini (2016) mengatakan bahwa kekeringan adalah

suatu kejadian bencana alam yang disebabkan oleh defisit curah hujan dalam

periode waktu tertentu sehingga menyebabkan tidak cukupnya ketersediaan air

yang dapat digunakan untuk kegiatan manusia dan lingkungan.

Menurut Fadli Rahman (2017) kekeringan (drought) merupakan kejadian

iklim yang sering terjadi dan memberikan dampak negatif serta dapat berpengaruh

terhadap aktivitas makhluk hidup. Dari aspek sosial ekonomi, bencana kekeringan

berkaitan dengan kondisi dimana permintaan air melebihi kemampuan

memasoknya yang menyebabkan secara social, ekonomi dan lingkungan terkena

dampak buruknya ( Mehran. 2015). Wilhite (2000) berpendapat bahwa sebagai

bencana alam, kekeringan berbeda dari bahaya alam lainnya. Perbedaan tersebut

adalah 1) awal dan akhir kekeringan sulit ditentukan, dampak peningkatan

kekeringan terjadi secara perlahann; 2) kesulitan menetapkan batasan kekeringan

yang menyebabkan kebingungan karena tidak memiliki definisi kekeringan secara

umum; 3) dampak kekeringan bersifat non-struktural sehingga area menyebar lebih

luas dibandingkan dengan kerusakan yang disebabkan oleh bahaya alam lainnya.
20

Nurjannah (2013) mengemukakan definisi kekeringan sebagai berikut :

a) Kekeringan Meteorologis adalah kekeringan yang berhubungan dengan tingkat

curah hujan yang dapat terjadi di bawah kondisi normal dalam suatu musim.

Perhitungan tingkat kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama

terjadinya kondisi kekeringan. Intensitas kekeringan meteorologis dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

 Kering : apabila curah hujan antara 70%-80% dari kondisi normal.

 Sangat kering : apabila curah hujan antara 50%-70% dari kondisi normal.

 Amat sangat kering : apabila curah hujan di bawah 50% dari kondisi normal.

b) Kekeringan Hidrologis adalah kekeringan yang diakibatkan karena berkurangnya

pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari

ketinggian muka air waduk, danau dan air tanah. Ada jarak waktu antara

berkurangnya curah hujan dengan berkurangnya ketinggian muka air sungai,

danau dan air tanah, sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awal

terjadinya kekeringan. Intensitas kekeringan hidrologis dapat dikelompokkan

sebagai berikut :

 Kering : apabila debit sungai mencapai periode ulang aliran di bawah periode

5 tahunan.

 Sangat kering : apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran jauh di

bawah periode 25 tahunan.

 Amat sangat kering : Apabila debit air sugai mencapai periode ulang aliran

amat jauh di bawah periode 50 tahunan.


21

c) Kekeringan Pertanian berhubungan dengan berkurangnya kandungan air dalam

tanah sehingga tanah tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air bagi tanaman pada

suatu periode tertentu. Kekeringan ini terjadi setelah kekeringan meteorologis.

Intensitas kekeringan pertanian dapat dikelompokkan menjadi :

 Kering : apabila ¼ daun kering dimulai pada ujung daun (terkena ringan s/d

sedang).

 Sangat kering : apabila ¼ - 2/3 daun kering dimulai pada bagian ujung daun

(terkena berat).

 Amat sangat kering : apabila seluruh daun kering.

d) Kekeringan Sosial Ekonomi berhubungan dengan berkurangnya pasokam

komoditi yang bernilai ekononi dari suatu kebutuhan normal sebagai akibat dari

terjadinya kekeringan meteorologis, pertanian dan hidrologis. Intensitas

kekeringam sosial ekonomi dapat dikelompokkan berdasarkan ketersediaan air

minum atau air bersih sebagai berikut :

 Kering langka terbatas : apabila ketersediaan air (dalam liter/orang/hari) > 30

dan < 60, air mencukupi untuk minum, memasak, mencuci alat masak/makan,

sedangkan jarak dari sumber air 0,5 – 3,0 km.

 Kering langka : apabila ketersediaan air (dalam liter/orang/hari) > 10 dan < 30,

air hanya mencukupi untuk minum, memasak, dan menuci alat masak/makan,

sedangkan jarak dari sumber air 0,5 – 3,0 km.

 Kering kritis : apabila ketersediaan air (dalam liter/orang/hari) <10, air hanya

mencukupi untuk minum dan memasak, sedangkan jarak dari sumber air > 3,0

km.
22

e) Kekeringan Antropogenik terjadi karena ketidaktaatan aturan yang disebabkan

karena kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan sebagai akibat

ketidaktaatan pengguna terhadap pola tanam/pola penggunaan air, dan kerusakan

kawasan tangkapan air, sumber air sebagai akibat dari perbuatan manusia.

Intensitas kekeringan antropogenik diklasifikasikan menjadi :

 Rawan : apabila penutup tajuk 40%-50%

 Sangat Rawan : apabila penutup tajuk 20%-40%

 Amat sangat rawan : apabila penutup tajuk di DAS di bawah 20%.

b. Gejala terjadinya kekeringan ( Buku Pedoman Latihan Adaptasi kesiapsiagaan

Bencana Nasional : 2017)

Bahaya kekeringan dapat ditinjau dari beberapa gejala sebagai berikut :

1. Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan di bawah

normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan Meteorologis merupakan

indikasi pertama adanya kekeringan.

2. Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan pasokan air

permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air

sungai, waduk, danau dan air tanah.

3. Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah

(kandungan air di dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan

tanaman tertentu pada periode waktu tertentu ada wilayah yang luas yang

menyebabkan tanaman menjadi kering dan mengering.

c. Asesmen terhadap Risiko Kekeringan ( Buku Pedoman Latihan Adaptasi

kesiapsiagaan Bencana Nasional : 2017)


23

1. Penyebab terjadinya kekeringan adalah menurunnya curah hujan pada periode

yang lama dan disebabkan oleh interaksi atmosfer dan laut serta akibat

ketidakteraturan suhu permukaan laut seperti akibat yang ditimbulkan oleh

fenomena El Nino.

2. Kekeringan dapat juga disebabkan oleh berbagai faktor yang bersifat alamiah

dimana intervensi manusia atas bencana kekeringan sangat minimal.

3. Klasifikasi bersarnya penyimpangan curah hujan dari nilai normalnya yang

dapat dibagi menjadi tujuh kelas kategori:

Tabel 2. 2 Kategori Kering – Basah berdasarkan Nilai SPI


Nilai SPI Kategori
2.0 + Ekstream Basah
1.5 to 1.99 Sangat Basah
1.0 to 1.49 Agak Basah
-.99 to .99 Mendekati Normal
-1.0 to -1.49 Agak Kering
-1.5 to -1.99 Sangat Kering
< 2.0 Ekstream Kering
Sumber : Buku Pedoman Latihan Adaptasi kesiapsiagaan Bencana Nasional.

d. Beberapa hal yang dilakukan dalam menghadapi datangnya kekeringan, yaitu:

1. Menghimbau kepada petani agar mematuhi peraturan atau kesepakatan

penentuan pola tanam setempat, dengan memilih jenis tanaman yang kurang

membutuhkan air atau tahan kekeringan pada musim kemarau sehingga

kerugian akibat pertanaman mengalami kekeringan dapat diantisipasi.

2. Perbaikan saluran irigasi.

3. Melakukan pompanisasi dengan memanfaatkan air permukaan,

memanfaatkan embung, sumur pantek dan fasililitas lain penumpang air.


24

4. Memanfaatkan data/informasi cuaca/iklim dari BMKG untuk menentukan

pola tanam dan waktu tanam.

5. Melaksanakan Sekolah Lapang Iklim sebagai upaya pemberdayaan petani

dalam memahami informasi/data iklim dan cuaca untuk kepentingan

penetapan waktu tanam dan pola tanam.

e. Alternatif Pengelolaan Kawasan Resapan di Kabupaten Rembang

(Banowati, 2013:235)

Wilayah Pengelolaan Kawasan Resapan


1. Daerah Hutan Lindung  Dibuat waduk, cekdam, terasering
 Reboisasi dan Penghijauan
2. Hutan Produksi  Ditanami dengan tanaman sela
 Upaya tebang pilih, tebang dan
ditanami kembali
3. Perkebunan  Dibuat pola tanam tanaman tahunan
dengan jenis tanaman yang mampu
meresapkan air ke dalam tanah
4. Lahan Pertanian  Dibuat parit-parit sehingga air dapat
ditampung pada dan meresap ke dalam
tanah
 Dibuat terasering agar humus tidak
hilang
 Dibuat embung
 Dibuat cekdam dan tanggul
 Sistem pola tanam ganda
5. Sempadan Sungai  Ditanggu
 Rutinitas perbaikan dan pengerukan
sungai
6. Permukiman/Industri  Dibuat sumur resapan
 Dibuat drainase ramah lingkungan
 Kepadatan bangunan tertata dengan
tanam/resapan
7. Sempadan Pantai Dibuat polder, ditanggul
25

2.1.4 Konsep Penanggulangan Bencana Kekeringan

Konsep umum untuk menangani kekeringan dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan

yaitu penanganan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang (Adi ,

2011).

1. Metode Penanggulangan jangka pendek Kondisi yang dirasakan masyarakat

adalah :

a. Timbulnya kekurangan air bersih untuk keperluan rumah tangga.

b. Timbulnya kesulitan ekonomi bagi keluarga miskin yang usaha taninya

mengalami gagal panen akibat kekeringan.

c. Timbulnya wabah penyakit akibat kekeringan, seperti: diare, campak,

pneumonia, kulit dan cacar.

d. Menurunnya kualitas gizi balita di wilayah kekeringan.

Alternatif penanggulangan kekeringan :

a. Memenuhi dengan segera kebutuhan air bersih bagi masyarakat untuk

keperluan rumah tangga dengan droping air bersih.

b. Memberi bantuan pangan/sembako untuk masyarakat miskin yang usaha

taninya gagal panen.

c. Membantu menanggulangi penyakit menular akibat kekeringan.

d. Membantu peningkatan gizi balita di wilayah kekeringan Karena program-

progran tersebut tidak dapat direncanakan sebelumnya, maka diperlukan pos

dana tak tersangka (bencana) yang memadai.

2. Metode Penanggulangan Jangka Menengah


26

a. Kuantitas sumber air kurang untuk menyuplai air bersih bagi masyarakat di

musim kemarau.

b. Sarana dan prasarana penyedia air bersih, sehingga layanan air bersih bagi

masyarakat kurang optimal.

Alternatif penanggulangan Jangka Menengah adalah sebagai berikut :

a. Meningkatkan ketersediaan sumber air : Pembangunan sumur gali, sumur

pantek, sumur air tanah dalam, penampungan air hujan (PAH), Terminal air

di wilayah desa rawan kekeringan, embung.

b. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana air bersih.

c. Melaksanakan kegiatan penelitian dalam rangka mencari potensi sumber

sumber air.

3. Metode Penanggulangan Jangka Panjang

a. Menurunnya debit sumber mata air.

b. Kualitas lingkungan hidup sekitar sumber mata air dan waduk yang rusak.

c. Wilayah kawasan hutan rusak akibat penjarahan hutan.

d. Kawasan lahan kritis makin meluas.

Alternatif penanggulangan kekeringan jangka panjang yaitu:

a. Reboisasi di wilayah sekitar sumber mata air.

b. Reboisasi kawasan sabuk hijau sekitar waduk.

c. Rehabilitasi lahan dan konservasi tanah lahan kritis.

d. Pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM).

e. Pembangunan demplot sumur resapan di wilayah rawan kekeringan.

f. Pembangunan/pengembangan sistem IPA mini.


27

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu oleh Widdy Reynaldi, Puji Hardati, dan Satyanta Parman

dengan judul Distribusi keruangan daerah terkena bencana kekeringan dan adaptasi

kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana kekeringan di Kecamatan

Bringin Kabupaten Semarang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

seabaran keruangan daerah terkena bencana kekeringan, karakteristik rumah tangga

yang terkena bencana kekeringan, dan adaptasi kesiapsiagaan rumah tangga dalam

menghadapi bencana kekeringan di Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang.

Hasil dari penelitian ini adalah sebaran keruangan desa terkena kekeringan terdiri

dari tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi karena dipengaruhi oleh kondisi

wilayah masing-masing. Karakteristik rumah tangga terdampak kekeringan di Desa

Truko tergolong baik untuk mendukung adaptasi kesiapsiagaan kekeringan, Desa

Wiru karakteristik rumah tangganya tergolong cukup untuk mendukung adaptasi

kesiapsiagaan kekeringan, sedangkan desa Rembes tergolong belum baik. Tingkat

adaptasi kesiapsiagaan rumah tangga di Desa Truko termasuk kategori siap, rumah

tangga di Desa Wiru cukup siap, sedangkan rumah tangga di Desa Rembes (

Reynaldi, 2017).

Penelitian terdahulu oleh Sriyatmu Ningsih dengan judul adaptasi

kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana gempabumi di Desa Sumber

Kecamatan Trucuk Kabupaten Klaten. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk

mendeskripsikan pengetahuan masyarakat tentang bencana gempabumi Desa

Sumber Kecamatan Trucuk Kabupaten Klaten dalam menghadapi bencana

gempabumi dan untuk mendeskripsikan adaptasi kesiapsiagaan masyarakat Desa


28

Sumber Kecamatan Trucuk Kabupaten Klaten dalam menghadapi gempabumi.

Hasil dari penelitian ini yaitu pengetahuan masyarakat di Desa Sumber, Kecamatan

Trucuk, Kabupaten Klaten tentang bencana sudah sangat baik dengan nilai indeks

85,75 dan dapat dikatakan sangat siap dalam menghadapi bencana. Selain itu,

adaptasi kesiapsiagaan masyarakat di Desa Sumber, Kecamatan Trucuk, Kabupaten

Klaten terhadap bencana gempa bumi sudah baik dengan nilai indeks 72,22 dan

dapat dikatakan siap dalam menghadapi bencana gempabumi.

Penelitian dilakukan oleh Dzulfikar Habibi Jamil, Heri Tjahjono, Satya

Parman dengan judul Deteksi Potensi kekeringan berbasis penginderaan jauh dan

system informasi geografis di Kabupaten Klaten. Tujuan dari penelitian ini yaitu

untuk mengetahui sebaran daerah yang berpotensi kekeringan berdasarkan

parameter penginderaan jauh dan SIG serta untuk mengetahui kemampuan

penginderaan jauh dan SIG dalam mendeteksi derah yang berpotensi kekeringan

dengan menggunakan teknik analisis interpretasi digital. Hasil dari penelitian ini

yaitu daerah yang berpotensi kekeringan tertinggi terdapat pada kabupaten klaten

bagian selatan yaitu pada kecamatan bayat, cawa, dan sekitarnya serta pada

kabupaten klaten bagian tengah yaitu Kecamatan Klaten, Jogonalan dan sekitarnya

(Jamil dkk, 2013).

Penelitian terdahulu dilakukan oleh Erna Sri Adiningsih dengan judul

tinjauan metode deteksi parameter kekeringan berbasis data penginderaan jauh.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengalisis metodologi perhitungan index

secara teoritis dan filosofis. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan indeks

vegetasi sebagai indikator kekeringan yang dapat diterapkan dengan ketelitian


29

cukup baik pada keadaan lahan tertutup oleh vegetasi. Saat keadaan tanpa vegetasi,

penggunaan indeks kecerahan tanah dapat merepresentasikan kekeringan tanah

secara efektif. Namun, sementara itu indeks presipitasi yang diturunkan dari data

curah hujan dapat mengindikasikan kekeringan meteorologis (Adiningsih, 2014).

Chrisamtun Aji Pramesti (2011) dalam penelitian yang berjudul “Adaptasi

kesiapsiagaan Masyarakat Kawasan Teluk Pelabuhan Ratu dalam Menghadapi

Bencana Gempa Bumi dan Tsunami.” penelitian ini bertujuan mengetahui adaptasi

kesiapsiagaan masyarakat Kawasan Teluk Pelabuhan Ratu dalam menghadapi

bahaya bencana gempa bumi dan tsunami yang digambarkan melalui sikap dan

perilaku masyarakat terhadap ancaman bencana. Berdasarkan hasil studi diketahui

bahwa adaptasi kesiapsiagaan masyarakat di Kawasan Teluk Pelabuhan Ratu

terhadap bencana gempa bumi dan tsunami berada dalam kondisi tidak siap jika

dilihat dari parameter pengetahuan dan sikap, kebijakan, rencana tanggap darurat,

sistem peringatan bencana, dan mobilisasi sumber daya. Tidak siapnya masyarakat

dalam menghadapi ancaman bencana ini antara lain disebabkan banyak masyarakat

yang tidak mengetahui kerentanan wilayahnya terhadap bencana. Sementara itu

belum banyak upaya peningkatan adaptasi kesiapsiagaan bencana yang dilakukan

oleh pemerintah karena terbatasnya sumber daya. Namun demikian, kondisi

adaptasi kesiapsiagaan masyarakat di Kawasan Teluk Pelabuhan Ratu ini masih

dapat ditingkatkan sehingga resiko yang terjadi dapat ditekan (Pramesti,2011)

Chatarina Muryani, Sarwono dan Dwi Hastuti (2016) dalam penelitian yang

berjudul “Adaptasi Masyarakat terhadap Bencana Kekeringan di Kabupaten

Grobogan, Jawa Tengah”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran


30

kekeringan, dampak bencana kekeringan, dan adaptasi masyarakat terhadap

kekeringan di Kabupaten Grobogan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 19

kecamatan di Kabupaten Grobogan terdapat 14 kecamatan yang mengalami

kekeringan, bencana kekeringan berdampak terutama pada berkurangnya

pemenuhan air untuk domestik, berkurangnya produksi pertanian dan penurunan

pendapatan masyarakat serta adaptasi pemenuhan kebutuhan air domestik

dilakukan dengan pemenuhan sumur dalam dan pembuatan bak tampungan air,

adaptasi bidang pertanian dilakukan dengan pengaturan pola tanam, adaptasi

bidang ekonomi dilakukan dengan pengalokasian dana keluarga untuk antisipasi

terjadi kekeringan yaitu untuk pembelian air (Muryani dkk,2016)

Pada Penelitian terdahulu berkaitan kekeringan dan adaptasi kesiapsiagaan

masyarakat dalam menghadapi bencana, memberikan manfaat terhadap peneliti,

sebab dengan adanya beberapa penelitian tersebut yang telah dilakukan oleh

peneliti di kawasan masing – masing. Peneliti disini akan meneliti tentang adaptasi

kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi kekeringan tentu memiliki perbedaan

dimana peneliti mengambil parameter adaptasi kesiapsiagaan akan diukur melalui

pengetahuan dan sikap, kebijakanm rencana tanggap darurat, sistem peringatan

bencana, serta mobilisasi sumberdaya, dengan pendekatan kuantitatif. Peneliti akan

melakukan penelitian dengan mengetahui perbedaan adaptasi kesiapsiagaan

masyarakat dalam menghadapi kekeringan pada Desa Dadapan dan Desa

Lemahputih di Kecamatan Sedan Kabupaten Rembang.


31

2.3 Kerangka Berfikir

Masyarakat merupakan suatu kelompok manusia yang hidup disuatu tempat

tertentu. Manusia tidak dipisahkan dengan yang namanya kebutuhan. Contoh

kebutuhan yang sering digunakan adalah air. Air merupakan komponen lingkungan

hidup yang penting bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya

(Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001).

Bencana alam merupakan salah satu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa

alam. Salah satunya adalah kekeringan. Menurut data dari BPBD Kabupaten

Rembang, Kecamatan Sedan merupakan salah satu kecamatan yang terkena rawan

kekeringan yang tergolong tinggi. Bencana kekeringan yang terjadi di Kecamatan

Sedan, menurut BPBD Kabupaten Rembang yang paling parah yaitu Desa Dadapan

yang kemudian disusul Desa Lemahputih. Pasalnya dua desa itu yang hampir tiap

tahun selalu mengajukan bantuan air bersih. Bencana Kekeringan yang terjadi di

Desa Dadapan dan Desa Lemahputih tidak terlepas dari dampak yang ditimbulkan,

salah satunya yaitu kemunduran ekonomi dan terganggunya aktivitas sosial

masyarakat.

Oleh karena itu, maka perlu adanya upaya pencegahan untuk melindungi

bahaya dari kekeringan. Upaya yang dilakukan dalam proses pencegahan yaitu

adaptasi kesiapsiagaan bencana oleh masyarakat. Adaptasi kesiapsiagaan bencana

merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana

melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna

(Undang-Undang No.24 Tahun 2007 pasal 1 ayat 7). Setelah adaptasi kesiapsiagaan

sudah dilakukan, untuk mengukur adaptasi kesiapsiagaan masyarakat dalam


32

menghadapi kekeringan di gunakan parameter sebagai berikut. a) Pengetahuan dan

Sikap. b) Kebijakan. c) Rencana Tanggap Darurat. d) Sistim Peringatan Bencana.

e) Mobilisasi Sumberdaya
33

Musim Air semakin


kemarau berkurang

Bencana Kekeringan di Kecamatan Sedan

Desa Dadapan Desa Lemahputih

Mengganggu aktivitas sehari – hari.

Adaptasi Kesiapsiagaan masyarakat menghadapi


kekeringan

Perbedaan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi


kekeringan

Pengetahuan Sikap Kebijakan Rencana Tanggap Sistem Peringatan Mobilisasi


Darurat Bencana Sumberdaya
10

Anda mungkin juga menyukai