2. Tinjauan Teori
TINJAUAN TEORI
1
Model PAR merupakan kerangka konseptual yang digunakan untuk menganalisis
kerentanan dan kapasitas penanggulangan masyarakat yang terkena dampak bencana
(Aziz, 2018). Model ini terdiri dari dua elemen: model tekanan (pressure), yang
mengacu pada penyebab bencana untuk suatu bahaya tertentu, dan model pelepasan
(release), yang mengacu pada kapasitas masyarakat untuk mengatasi bencana. Model
PAR menekankan pentingnya mengatasi faktor-faktor mendasar yang berkontribusi
terhadap kerentanan dan meningkatkan risiko bencana (Sanderson, n.d.).
2
Gambar 2-2 Disaster Crunch Model (Hai & Smyth, 2012)
Tujuan dari manajemen bencana adalah untuk mencegah kehilangan jiwa, mengurangi
penderitaan manusia, dan mempercepat proses pemulihan pascabencana Berikut
adalah beberapa kegiatan yang dilakukan dalam manajemen bencana:
1) Pencegahan (Prevention): pemetaan daerah rawan bencana, analisis risiko bencana,
penataan ruang berbasis kerawanan bencana, membangun sistem informasi
bencana, menyusun landasan hukum dan peraturan-peraturan, menyusun protap,
3
juklak, juknis, dan juklap, sosialisasi kesiapsiagaan menghadapi bencana (dalam
kurikulum sekolah, pelatihan, penyuluhan, dan gladi lapangan).
2) Mitigasi: kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, seperti
membangun tanggul, memperkuat bangunan, dan sebagainya.
3) Kesiapsiagaan (Preparedness): mengadakan pelatihan, gladi lapangan, dan
sosialisasi, mengaktifkan ronda kampung atau siskamling, cek ulang kesiapan sistem
peringatan dini, mengevakuasi penduduk (balita, ibu-ibu hamil, manula),
menyiapkan masyarakat menghadapi bencana.
4) Tanggap darurat (Emergency Response): kegiatan yang dilakukan saat bencana
terjadi, seperti evakuasi, penyediaan makanan dan air bersih, dan sebagainya.
5) Pemulihan (Recovery): kegiatan yang dilakukan setelah bencana terjadi, seperti
rekonstruksi, rehabilitasi, dan sebagainya.
Manajemen bencana merupakan siklus yang terdiri dari empat fase, yaitu pencegahan,
mitigasi, kesiapsiagaan, dan tanggap darurat. Titik lemah dalam siklus manajemen
bencana adalah pada tahapan sebelum/pra bencana, sehingga perlu diperbaiki untuk
menghindari atau meminimalisasi dampak bencana yang terjadi. Oleh karena itu,
pemahaman tentang manajemen bencana perlu dimengerti dan dikuasai oleh seluruh
kalangan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta.
4
Gambar 2-3 Siklus Manajemen Bencana (Bosher et al., 2021)
5
yang tersedia, serta teknologi dan protokol yang aman dari kegagalan (Cormier, 2017).
Manajemen bencana juga melibatkan pemeriksaan dan pengelolaan faktor-faktor
penyebab, menilai sejauh mana masyarakat dapat bertahan terhadap bencana dan
menganalisis paparan terhadap kerugian. Kerentanan dan kapasitas penanggulangan
masyarakat yang terkena dampak bencana juga dianalisis menggunakan kerangka
konseptual seperti model Pressure and Release (PAR) dan model Disaster Crunch (Aziz,
2018).
2.4 Banjir
Banjir adalah salah satu jenis bencana alam yang paling sering terjadi dan terjadi ketika
luapan air merendam daratan yang biasanya kering (World Health Organization, 2023).
Banjir dapat menyebabkan kerusakan yang luas, mengakibatkan hilangnya nyawa dan
kerusakan pada harta benda pribadi serta infrastruktur kesehatan masyarakat yang
penting. Ada tiga jenis banjir yang umum, yaitu:
1) Banjir bandang: disebabkan oleh curah hujan yang cepat dan berlebihan sehingga
menaikkan ketinggian air dengan cepat, dan sungai, aliran sungai, saluran, atau jalan
dapat tersapu.
2) Banjir sungai: terjadi ketika hujan terus-menerus atau pencairan salju memaksa
sungai melebihi kapasitasnya.
3) Banjir pesisir: disebabkan oleh gelombang badai yang berhubungan dengan siklon
tropis dan tsunami.
Banjir biasanya disebabkan oleh hujan dan diperburuk oleh daya serap permukaan
yang buruk (VAIA, 2023). Namun, banjir juga dapat diperburuk oleh tindakan dan
kelambanan manusia, seperti penggundulan hutan, urbanisasi, dan perubahan iklim
(Glago, 2021). Penyebab umum banjir di pesisir pantai adalah peristiwa badai angin
yang hebat yang terjadi bersamaan dengan air pasang (gelombang badai) dan tsunami.
Menurut (UNISDR, 2017), banjir paling sering terjadi akibat curah hujan yang tinggi
ketika aliran air alami tidak mempunyai kapasitas untuk mengalirkan kelebihan air. Hal
ini juga dapat disebabkan oleh peristiwa lain, terutama di daerah pesisir, seperti
gelombang badai yang disebabkan oleh tsunami, siklon tropis, atau air pasang. Misalnya,
6
runtuhnya bendungan akibat gempa bumi akan menyebabkan banjir di daerah hilir
bahkan ketika cuaca kering. Banjir sungai, banjir bandang, banjir perkotaan, banjir
semburan danau glasial, dan banjir pesisir adalah salah satu dari banyak proses iklim
dan non-iklim yang dapat menyebabkan banjir.
Besaran banjir bervariasi tergantung pada intensitas, volume, waktu, dan fase curah
hujan, serta status sungai dan daerah aliran sungai sebelumnya (beku atau tidak, atau
jenuh dengan kelembaban tanah atau tidak jenuh). Curah hujan, angin topan,
gelombang badai, dan kenaikan permukaan air laut adalah beberapa parameter
klimatologi yang paling mungkin terkena dampak perubahan iklim. Seperti yang
dinyatakan dalam banyak dokumen dan pedoman hukum, perubahan iklim memainkan
peran penting dalam menilai risiko banjir. Namun, ketidakpastian tentang dampak
perubahan iklim terhadap bahaya dan kerentanan banjir terkadang membatasi
kemungkinan evaluasi langkah-langkah adaptasi dengan menggunakan metodologi
konvensional seperti analisis biaya-manfaat (UNISDR, 2017).
Tabel 2-1 Data yang Digunakan dalam Penilaian Bahaya Banjir
7
2.5 Gelombang Ekstrim dan Abrasi
Bencana gelombang ekstrim dan abrasi merupakan bencana alam yang dapat
menimbulkan kerusakan signifikan pada wilayah pesisir. Gelombang ekstrim adalah
gelombang besar yang ukurannya jauh lebih besar dari gelombang biasa di suatu daerah
dan dapat menimbulkan kerusakan yang signifikan terhadap infrastruktur pantai,
sedangkan abrasi adalah proses pengikisan pantai yang disebabkan oleh gelombang.
Untuk menilai tingkat ancaman yang ditimbulkan oleh bencana-bencana tersebut, para
peneliti menggunakan metode analisis deskriptif komparatif untuk melihat sebab akibat
dan kemungkinan terjadinya bencana (Jasmani et al., 2019). Selain itu, peneliti juga
menggunakan metodologi penilaian risiko untuk menilai secara kuantitatif dampak
bahaya yang disebabkan oleh gelombang terhadap infrastruktur pesisir (Ferná ndez-
Montblanc et al., 2022).
Perubahan iklim juga dapat berdampak pada kemungkinan dan tingkat keparahan
bencana gelombang dan abrasi yang ekstrem. Misalnya, sebuah penelitian menemukan
bahwa perubahan iklim dapat berdampak pada gelombang dekat pantai di pantai yang
dilindungi oleh terumbu penghalang, sehingga dapat meningkatkan risiko erosi dan
kerusakan pantai (de Lalouvière et al., 2020).
Bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai merupakan bencana alam yang dapat
menimbulkan kerusakan yang signifikan terhadap wilayah pesisir. Berikut beberapa
penyebab terjadinya bencana tersebut:
1) Penyebab Bencana Gelombang Ekstrim
Angin kencang: Angin kencang dapat menimbulkan gelombang besar yang dapat
menyebabkan kerusakan signifikan pada infrastruktur pesisir.
Gelombang badai: Gelombang badai dapat menyebabkan gelombang ekstrem
yang dapat membanjiri wilayah pesisir dan menyebabkan kerusakan parah.
Tsunami: Tsunami adalah gelombang besar yang disebabkan oleh gempa bumi
atau peristiwa seismik lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan signifikan
pada wilayah pesisir.
8
2) Penyebab Abrasi Pesisir:
Aksi gelombang: Aksi gelombang yang terus-menerus dapat menyebabkan erosi
pada garis pantai, yang menyebabkan abrasi pantai.
Kenaikan permukaan air laut: Ketika permukaan air laut naik akibat perubahan
iklim, garis pantai lebih banyak terkena gelombang, yang dapat meningkatkan
laju abrasi pantai.
Aktivitas manusia: Aktivitas manusia seperti penambangan pasir, pengerukan,
dan konstruksi bangunan pantai dapat mengganggu keseimbangan alami garis
pantai dan menyebabkan peningkatan abrasi pantai.
Ringkasnya, bencana gelombang ekstrim dan abrasi merupakan bencana alam yang
dapat menimbulkan kerusakan signifikan terhadap wilayah pesisir. Peneliti
menggunakan metode analisis deskriptif komparatif dan metodologi penilaian risiko
untuk menilai tingkat ancaman yang ditimbulkan oleh bencana tersebut. Setelah
bencana terjadi, kegiatan tanggap darurat dimulai untuk mengurangi kerusakan.
Perubahan iklim juga dapat berdampak pada kemungkinan dan tingkat keparahan
bencana-bencana tersebut.
2.6 Kekeringan
Kekeringan merupakan bencana alam yang terjadi akibat periode kemarau
berkepanjangan dalam siklus iklim alam. Ini adalah bencana yang terjadi secara
perlahan dan ditandai dengan kurangnya curah hujan, sehingga mengakibatkan
kekurangan air. Menurut (EPA, 2016), beberapa jenis kekeringan dan penyebabnya
adalah sebagai berikut:
Jenis Kekeringan:
Kekeringan meteorologi: Ini terjadi ketika curah hujan di bawah rata-rata
berlangsung dalam jangka waktu lama.
Kekeringan pertanian: Hal ini terjadi ketika kurangnya kelembaban di dalam tanah,
yang dapat menyebabkan kegagalan panen.
Kekeringan hidrologi: Hal ini terjadi ketika terjadi kekurangan air permukaan dan
air tanah, yang dapat berdampak pada pasokan air untuk konsumsi manusia dan
aktivitas lainnya.
9
Penyebab Kekeringan:
Variabilitas iklim: Kekeringan adalah kejadian cuaca normal yang terjadi berulang
kali dengan intensitas dan durasi yang berbeda-beda tergantung wilayah suatu
negara dan bahkan lokasi dalam suatu negara bagian. Variabilitas iklim, termasuk El
Niñ o dan La Niñ a, dapat berdampak pada kemungkinan dan tingkat keparahan
kekeringan.
Aktivitas manusia: Aktivitas manusia seperti penggundulan hutan, penggembalaan
berlebihan, dan penggunaan air secara berlebihan dapat mengganggu
keseimbangan alami ekosistem dan menyebabkan kekeringan.
Perubahan iklim: Perubahan iklim dapat berdampak pada pola curah hujan dan
meningkatkan kemungkinan serta tingkat keparahan kekeringan.
10
Ketika udara dingin bertemu dengan udara hangat, udara panas cenderung naik
dan membentuk pusaran udara yang mulai berputar. Inilah awal dari sebuah
angin puting beliung.
3) Topografi dan Relief:
Topografi atau kondisi geografis suatu wilayah juga dapat memainkan peran
dalam pembentukan angin puting beliung. Pegunungan, lembah, atau bukit-bukit
dapat mempengaruhi arus udara dan menciptakan kondisi yang mendukung
pembentukan pusaran udara.
Terowongan angin yang terbentuk di antara puncak-puncak bukit atau di lembah
dapat menjadi tempat di mana pusaran udara mulai berputar dan berkembang
menjadi angin puting beliung.
4) Interaksi Frontal:
Interaksi antara dua massa udara yang berbeda, seperti pertemuan antara massa udara
panas dan massa udara dingin dalam front cuaca, dapat menciptakan kondisi yang
mendukung pembentukan angin puting beliung.
5) Aktivitas Cuaca Ekstrem Lainnya:
Kejadian cuaca ekstrem lainnya, seperti badai petir atau badai supercell, dapat
menciptakan kondisi yang mendukung pembentukan angin puting beliung. Supercell
adalah tipe badai yang sering dikaitkan dengan angin puting beliung karena memiliki
rotasi yang kuat di dalamnya.
6) Faktor Lokal Lainnya:
Beberapa angin puting beliung dapat terbentuk secara tiba-tiba dan tanpa peringatan
yang jelas. Faktor-faktor lokal, seperti pola arus angin di daerah tertentu, juga dapat
mempengaruhi pembentukan angin puting beliung.
Faktor atmosfer utama yang menyebabkan potensi angin puting beliung adalah
ketidakstabilan - udara lembab hangat di dekat permukaan tanah, dengan udara kering
yang lebih dingin di atas dan pergeseran angin - perubahan kecepatan dan/atau arah
angin seiring dengan ketinggian. Massa udara yang tidak stabil mendorong
berkembangnya arus udara ke atas yang kuat, sedangkan geseran angin akan semakin
meningkatkan kekuatan arus ke atas, dan mendorong rotasi yang menghasilkan angin
puting beliung (National Weather Service, 2023). Angin puting beliung dapat
11
menyebabkan kerusakan signifikan pada bangunan, infrastruktur, dan pertanian. Hal ini
juga dapat menyebabkan hilangnya nyawa dan cedera.
Kunci PRB adalah mengelola risiko, bukan hanya bencana. Biaya dan manfaat
manajemen risiko bencana perlu dicantumkan sepenuhnya dalam investasi publik dan
swasta di semua tingkatan, ke dalam sistem keuangan, dan ke dalam rancangan
mekanisme pembagian risiko dan perlindungan sosial. Analisis biaya-manfaat dapat
diperluas untuk menyoroti trade-off yang tersirat dalam berbagai strategi manajemen
risiko.
12
Berikut beberapa contoh strategi pengurangan risiko bencana:
1) Pendekatan Sistem: Pendekatan sistem dapat membantu memahami dinamika
dalam konteks rentan dan terkena dampak konflik (FCAC) serta mengidentifikasi
dan lebih memahami ketahanan sistem lokal. Pemahaman ini dapat menjadi
masukan bagi intervensi yang mendukung berfungsinya intervensi tersebut dan
mengurangi risiko (Ginsberg, 2021).
2) Pengelolaan Adaptif: Pengelolaan adaptif adalah proses pembelajaran berulang dan
penyesuaian strategi pengelolaan sebagai respons terhadap informasi baru dan
perubahan kondisi. Hal ini dapat digunakan untuk mengelola risiko yang terkait
dengan bahaya alam dan perubahan iklim (Ginsberg, 2021).
3) Lokalisasi: Lokalisasi melibatkan keterlibatan dengan komunitas lokal dan
membangun pengetahuan dan kapasitas mereka untuk mengurangi risiko bencana.
Pendekatan ini mengakui bahwa masyarakat lokal sering kali menjadi pihak yang
pertama kali merespons suatu bencana dan dapat memainkan peran penting dalam
mengurangi risiko bencana (Ginsberg, 2021).
4) Membangun Kepercayaan: Membangun kepercayaan antara aktor internasional dan
masyarakat lokal sangat penting untuk pengurangan risiko bencana yang efektif
dalam konteks yang rentan dan terkena dampak konflik. Kepercayaan dapat
dibangun melalui proses pengambilan keputusan yang transparan dan akuntabel,
komunikasi yang efektif, dan saling menghormati (Ginsberg, 2021).
5) Pencegahan: Kegiatan-kegiatan pencegahan dan langkah-langkah untuk
menghindari risiko-risiko bencana yang ada dan yang baru sering kali lebih murah
dibandingkan dengan bantuan dan tanggap bencana. Misalnya, merelokasi orang-
orang dan aset-aset yang terpapar jauh dari daerah bahaya dapat membantu
mencegah hilangnya nyawa dan kerusakan harta benda (UNISDR, 2018).
6) Mitigasi: Mitigasi melibatkan pengurangan dampak bencana dengan mengambil
tindakan sebelum bencana itu terjadi. Misalnya, struktur bangunan yang tahan
terhadap angin kencang atau banjir dapat membantu mitigasi dampak bencana
(UNISDR, 2018).
13
7) Analisis biaya-manfaat: Analisis biaya-manfaat dapat digunakan untuk menyoroti
trade-off yang tersirat dalam setiap keputusan, termasuk manfaat hilir dan biaya
yang dapat dihindari dalam hal pengurangan kemiskinan dan risiko bencana
(UNISDR, 2018).
8) Perencanaan evakuasi yang efektif: Perencanaan evakuasi yang efektif dapat
membantu mengurangi dampak bencana dengan memastikan bahwa orang-orang
dievakuasi dengan aman dari daerah yang terkena dampak (Hawley, 2021).
9) Membangun infrastruktur yang berketahanan: Membangun infrastruktur yang
berketahanan dapat membantu mengurangi dampak bencana dengan memastikan
bahwa infrastruktur penting seperti rumah sakit, sekolah, dan sistem transportasi
mampu menahan dampak bencana (UNSDGs, 2015).
14
diri dengan baik terhadap berbagai jenis bencana, dan memasang serta memperkuat
sistem prediksi dan peringatan.
Strategi mitigasi struktural dan non-struktural memiliki efektivitas yang berbeda dalam
beberapa hal. Berikut beberapa hal yang perlu dipertimbangkan (Peacock, 2014):
1) Mitigasi struktural:
Mitigasi struktural melibatkan perubahan fisik atau tindakan yang diambil untuk
melindungi kehidupan dan harta benda dari bencana atau bahaya
Langkah-langkah mitigasi struktural seringkali lebih mahal untuk diterapkan
dibandingkan langkah-langkah non-struktural
Langkah-langkah mitigasi struktural dapat lebih efektif dalam mengurangi
dampak bencana dalam jangka panjang
Langkah-langkah mitigasi struktural bisa jadi lebih sulit diterapkan dalam
beberapa kasus, misalnya di gedung-gedung bersejarah atau di kawasan dengan
sumber daya terbatas
2) Mitigasi non-struktural:
Mitigasi non-struktural melibatkan tindakan yang tidak melibatkan konstruksi
fisik, seperti pendidikan, kesadaran, dan perubahan kebijakan
Langkah-langkah mitigasi non-struktural umumnya lebih murah untuk
diterapkan dibandingkan langkah-langkah struktural
Upaya mitigasi non-struktural dapat lebih efektif dalam mengurangi dampak
bencana dalam jangka pendek
Langkah-langkah mitigasi non-struktural bisa lebih mudah diterapkan dalam
beberapa kasus, misalnya di daerah dengan sumber daya terbatas atau di
masyarakat dengan tingkat modal sosial yang tinggi.
15
Tujuan dari mitigasi adalah untuk mengurangi potensi kerusakan dan penderitaan yang
diakibatkan oleh bencana, dan walaupun manajemen bencana tidak dapat mencegah
terjadinya bencana, namun manajemen bencana dapat mencegah bencana tersebut
menjadi lebih parah akibat dari pengabaian faktor-faktor penyebab dan risiko-risiko
yang dapat dikelola.
Setiap kumpulan data yang dapat didukung oleh GIS dibagi menjadi dua bagian utama:
informasi grafis (spasial) dan informasi tabular (atribut). Data spasial adalah data yang
memiliki referensi geografis atau spesifik lokasi dan ditampilkan secara grafis di layar
komputer. Setiap bagian informasi grafis disebut fitur. Fitur dapat berupa titik, garis,
atau bahkan polygon.
16
GIS harus dibuat dari peta yang tersedia dari berbagai lapisan tematik (tanah,
penggunaan lahan, suhu, dll). Petanya berbentuk dua dimensi sedangkan permukaan
bumi berbentuk ellipsoid 3 dimensi. Setiap peta memiliki proyeksi dan skala.
Untuk memahami bagaimana peta dibuat dengan memproyeksikan permukaan bumi 3
dimensi ke dalam bidang 2 dimensi pada peta analog, kita perlu memahami konsep
georeferensi. Georefencing melibatkan 2 tahap: menentukan sistem koordinat 3
dimensi yang digunakan untuk menemukan titik-titik di permukaan bumi yaitu Sistem
Koordinat Geografis (GCS) dan Sistem Koordinat Proyeksi yang digunakan untuk
memproyeksikan ke dalam dua dimensi untuk membuat peta analog.
Dalam format Vektor, realitas direpresentasikan sebagai titik, garis dan area, dan dalam
format raster, realitas direpresentasikan sebagai kisi-kisi sel/piksel. Format Vektor
didasarkan pada tampilan objek diskrit pada peta analog realitas) dan format raster
didasarkan pada tampilan bidang realitas yang berkesinambungan (foto, citra, dll). Pada
prinsipnya, setiap situasi dunia nyata dapat direpresentasikan dalam bentuk digital baik
raster maupun format vektor, pilihan ada di tangan pengguna, masing-masing format
mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing – masing.
17
Gambar 2-7 Perbandingan Representasi Vektor dan Raster
Sumber: (ESRI, 2023)
Sebagian besar perangkat lunak GIS standar dilengkapi dengan alat analisis dasar yang
memungkinkan overlay peta tematik, pembuatan buffer, dll., selain penghitungan
panjang dan luas. Operasi overlay memungkinkan overlay satu poligon di atas poligon
lainnya untuk menghasilkan peta baru dari perpotongannya yang merupakan
kombinasi poligon baru dengan sifat homogen yang diinginkan sehubungan dengan
atribut poligon tertentu.
GIS adalah alat yang ampuh untuk penilaian dan pengurangan risiko bencana. Berikut
adalah beberapa cara GIS digunakan dalam penilaian risiko bencana:
18
Menganalisis bencana masa lalu: Teknologi GIS dapat digunakan untuk
menganalisis dan memvisualisasikan lokasi bencana alam yang pernah terjadi
sebelumnya dan dampaknya terhadap lanskap. Informasi ini dapat digunakan
untuk memprediksi di mana kemungkinan besar terjadinya bencana di masa depan
(UNDRR, 2012).
Menghitung risiko bencana: GIS dapat digunakan untuk menghitung kerentanan,
kapasitas, dan risiko bencana. Berbagai model dan penelitian telah dikembangkan
untuk menghitung penilaian risiko bencana menggunakan GIS dan geodatabase
(Nur, 2018).
Memetakan bahaya dan demografi: GIS membantu masyarakat bersiap dan
beradaptasi dengan memetakan dan menganalisis bahaya dan demografi untuk
pendekatan ketahanan yang lebih adil yang dapat mengubah hasil di masa depan.
Mengidentifikasi populasi yang rentan: GIS dapat digunakan untuk
mengidentifikasi di mana masyarakat paling rentan terhadap bencana,
memprediksi dampak skenario kejadian, dan mendukung kebijakan reinvestasi
yang berbasis risiko.
Mengembangkan strategi pengurangan risiko: GIS dapat digunakan untuk
merancang kebijakan dan strategi pengurangan risiko yang efektif untuk
ketahanan terhadap bencana. GIS untuk mitigasi bahaya menyediakan alat
ketahanan bencana untuk menilai risiko dan kerentanan.
19