Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

2. Tinjauan Teori
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Bencana


Bencana adalah gangguan serius terhadap keberfungsian suatu komunitas yang
melampaui kapasitasnya untuk mengatasinya dengan menggunakan sumber dayanya
sendiri. Bencana dapat disebabkan oleh bahaya alam, ulah manusia, dan teknologi, serta
berbagai faktor yang mempengaruhi keterpaparan dan kerentanan suatu masyarakat
(School of Public Health and Tropical Medicine, 2021). Bencana dapat terjadi dalam
berbagai bentuk, termasuk bencana yang disebabkan oleh manusia akibat kesalahan
manusia, bencana alam yang disebabkan oleh fenomena fisik, dan bencana kompleks
yang dapat mencakup epidemi atau konflik bersenjata (UNDRR, 2020).
Konsep bencana telah berkembang hingga mencakup bencana teknologi dan sosial,
yang mencerminkan keadaan evolusioner masyarakat kontemporer (Kim & Sohn,
2018). Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan bencana sebagai peristiwa apa pun
yang secara serius mengganggu suatu komunitas atau kemampuan masyarakat untuk
berfungsi, dan dampaknya dapat berdampak pada manusia, ekonomi, atau ekologi.
Menurut (Undang-Undang 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, 2007),
bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan manusia serta ekosistemnya dan dapat menimbulkan
kerusakan, kerugian, dan dampak yang luas. Bencana dapat disebabkan oleh faktor
alam seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, tsunami, erupsi gunung berapi, cuaca
ekstrem, serta faktor manusia seperti kebakaran, ledakan, kecelakaan industri, dan lain
sebagainya.
Dalam menjelaskan kejadian bencana, ada dua model yang sering digunakan oleh para
ahli. Kedua model tersebut adalah Pressure and Release (PAR) model dan Disaster
Crunch model. Berikut penjelasan masing-masing model:
1) Pressure and Release (PAR) model:

1
Model PAR merupakan kerangka konseptual yang digunakan untuk menganalisis
kerentanan dan kapasitas penanggulangan masyarakat yang terkena dampak bencana
(Aziz, 2018). Model ini terdiri dari dua elemen: model tekanan (pressure), yang
mengacu pada penyebab bencana untuk suatu bahaya tertentu, dan model pelepasan
(release), yang mengacu pada kapasitas masyarakat untuk mengatasi bencana. Model
PAR menekankan pentingnya mengatasi faktor-faktor mendasar yang berkontribusi
terhadap kerentanan dan meningkatkan risiko bencana (Sanderson, n.d.).

Gambar 2-1 PAR Model (Wisner et al., 2014)

2) Disaster Crunch Model:


Model Disaster Crunch mengusulkan kerangka untuk memahami penyebab bencana
(Nojavan et al., 2003). Model tersebut menyatakan bahwa bencana hanya terjadi ketika
suatu bahaya berdampak pada masyarakat yang rentan. Bencana terjadi ketika kedua
elemen ini bersatu (Hai & Smyth, 2012). Model Disaster Crunch didasarkan pada
keyakinan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kerentanan terhadap
bencana (Nojavan et al., 2003). Model Disaster Crunch membantu para praktisi untuk
memahami dan bereaksi terhadap kerentanan masyarakat terhadap bencana (Hai &
Smyth, 2012). Struktur model dibentuk dengan persamaan sebagai berikut:
Risiko Bencana = Bahaya x Kerentanan (Nojavan et al., 2003)

2
Gambar 2-2 Disaster Crunch Model (Hai & Smyth, 2012)

Ringkasnya, model PAR menekankan pentingnya mengatasi faktor-faktor mendasar


yang berkontribusi terhadap kerentanan dan meningkatkan risiko bencana, sedangkan
model Disaster Crunch berfokus pada hubungan antara bahaya dan masyarakat rentan.
CRED EM-DAT mengklasifikasikan bencana berdasarkan jenis bahaya yang memicunya.
Dua kelompok bencana utama adalah bencana alam dan teknologi. Ada enam
subkelompok bencana alam, antara lain geofisika, meteorologi, hidrologi, klimatologi,
biologi, dan luar bumi (Severin & Jacobson, 2020).

2.2 Manajemen Bencana


Manajemen bencana adalah suatu proses mempersiapkan dan merespons bencana
secara efektif. Hal ini melibatkan pengorganisasian sumber daya secara strategis untuk
mengurangi dampak buruk yang disebabkan oleh bencana dan mengelola tanggung
jawab pencegahan, kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan bencana (School of Public
Health and Tropical Medicine, 2021). Manajemen bencana adalah serangkaian kegiatan
yang dilakukan untuk mengelola bencana dengan baik dan aman. Manajemen bencana
meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana pada sebelum, saat, dan
sesudah terjadi bencana.

Tujuan dari manajemen bencana adalah untuk mencegah kehilangan jiwa, mengurangi
penderitaan manusia, dan mempercepat proses pemulihan pascabencana Berikut
adalah beberapa kegiatan yang dilakukan dalam manajemen bencana:
1) Pencegahan (Prevention): pemetaan daerah rawan bencana, analisis risiko bencana,
penataan ruang berbasis kerawanan bencana, membangun sistem informasi
bencana, menyusun landasan hukum dan peraturan-peraturan, menyusun protap,

3
juklak, juknis, dan juklap, sosialisasi kesiapsiagaan menghadapi bencana (dalam
kurikulum sekolah, pelatihan, penyuluhan, dan gladi lapangan).
2) Mitigasi: kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, seperti
membangun tanggul, memperkuat bangunan, dan sebagainya.
3) Kesiapsiagaan (Preparedness): mengadakan pelatihan, gladi lapangan, dan
sosialisasi, mengaktifkan ronda kampung atau siskamling, cek ulang kesiapan sistem
peringatan dini, mengevakuasi penduduk (balita, ibu-ibu hamil, manula),
menyiapkan masyarakat menghadapi bencana.
4) Tanggap darurat (Emergency Response): kegiatan yang dilakukan saat bencana
terjadi, seperti evakuasi, penyediaan makanan dan air bersih, dan sebagainya.
5) Pemulihan (Recovery): kegiatan yang dilakukan setelah bencana terjadi, seperti
rekonstruksi, rehabilitasi, dan sebagainya.

Manajemen bencana merupakan siklus yang terdiri dari empat fase, yaitu pencegahan,
mitigasi, kesiapsiagaan, dan tanggap darurat. Titik lemah dalam siklus manajemen
bencana adalah pada tahapan sebelum/pra bencana, sehingga perlu diperbaiki untuk
menghindari atau meminimalisasi dampak bencana yang terjadi. Oleh karena itu,
pemahaman tentang manajemen bencana perlu dimengerti dan dikuasai oleh seluruh
kalangan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta.

Menurut (Warfield, 2015), manajemen bencana dimaksudkan untuk mengurangi atau


menghindari kerugian yang dapat disebabkan oleh bahaya, memberikan bantuan yang
cepat dan tepat kepada mereka yang terkena bencana, dan memastikan pemulihan yang
cepat dan efektif. Siklus manajemen bencana adalah proses berkelanjutan di mana
pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil merencanakan dan mengurangi dampak
bencana, bertindak selama dan segera setelah bencana, dan melakukan pemulihan
setelah bencana. Tindakan yang tepat di setiap titik siklus akan meningkatkan
kesiapsiagaan, peringatan, kerentanan, dan pencegahan bencana pada siklus
berikutnya. Siklus manajemen bencana yang lengkap mencakup membuat kebijakan
dan rencana publik untuk mengubah sumber bencana atau memitigasinya terhadap
manusia, properti, dan infrastruktur.

4
Gambar 2-3 Siklus Manajemen Bencana (Bosher et al., 2021)

2.3 Komponen Bencana


Komponen bencana dapat dipecah menjadi beberapa elemen kunci, antara lain bahaya,
kerentanan, paparan, dan risiko (UNDRR, 2015). Berikut penjelasan masing-masing
komponen:
1) Bahaya: Bahaya adalah peristiwa alam atau buatan manusia yang berpotensi
menyebabkan kerugian atau kerusakan pada manusia, harta benda, atau lingkungan.
Contoh bahaya termasuk gempa bumi, banjir, angin topan, dan pandemi.
2) Kerentanan: Kerentanan mengacu pada kerentanan orang, komunitas, atau sistem
terhadap dampak negatif suatu bahaya. Kerentanan dipengaruhi oleh berbagai
faktor, termasuk kemiskinan, kesenjangan, dan infrastruktur yang tidak memadai.
3) Paparan: Paparan mengacu pada jumlah orang, aset, atau sistem yang berisiko
terkena dampak suatu bahaya. Paparan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
kepadatan penduduk, penggunaan lahan, dan infrastruktur.
4) Risiko: Risiko adalah kemungkinan hilangnya nyawa, cedera, atau kerusakan akibat
suatu bencana dalam jangka waktu tertentu. Risiko dipengaruhi oleh interaksi
antara bahaya, kerentanan, dan keterpaparan.
Selain komponen-komponen ini, manajemen bencana yang efektif memerlukan
komunikasi yang jelas, pelatihan yang komprehensif, pengetahuan tentang sumber daya

5
yang tersedia, serta teknologi dan protokol yang aman dari kegagalan (Cormier, 2017).
Manajemen bencana juga melibatkan pemeriksaan dan pengelolaan faktor-faktor
penyebab, menilai sejauh mana masyarakat dapat bertahan terhadap bencana dan
menganalisis paparan terhadap kerugian. Kerentanan dan kapasitas penanggulangan
masyarakat yang terkena dampak bencana juga dianalisis menggunakan kerangka
konseptual seperti model Pressure and Release (PAR) dan model Disaster Crunch (Aziz,
2018).

2.4 Banjir
Banjir adalah salah satu jenis bencana alam yang paling sering terjadi dan terjadi ketika
luapan air merendam daratan yang biasanya kering (World Health Organization, 2023).
Banjir dapat menyebabkan kerusakan yang luas, mengakibatkan hilangnya nyawa dan
kerusakan pada harta benda pribadi serta infrastruktur kesehatan masyarakat yang
penting. Ada tiga jenis banjir yang umum, yaitu:
1) Banjir bandang: disebabkan oleh curah hujan yang cepat dan berlebihan sehingga
menaikkan ketinggian air dengan cepat, dan sungai, aliran sungai, saluran, atau jalan
dapat tersapu.
2) Banjir sungai: terjadi ketika hujan terus-menerus atau pencairan salju memaksa
sungai melebihi kapasitasnya.
3) Banjir pesisir: disebabkan oleh gelombang badai yang berhubungan dengan siklon
tropis dan tsunami.

Banjir biasanya disebabkan oleh hujan dan diperburuk oleh daya serap permukaan
yang buruk (VAIA, 2023). Namun, banjir juga dapat diperburuk oleh tindakan dan
kelambanan manusia, seperti penggundulan hutan, urbanisasi, dan perubahan iklim
(Glago, 2021). Penyebab umum banjir di pesisir pantai adalah peristiwa badai angin
yang hebat yang terjadi bersamaan dengan air pasang (gelombang badai) dan tsunami.

Menurut (UNISDR, 2017), banjir paling sering terjadi akibat curah hujan yang tinggi
ketika aliran air alami tidak mempunyai kapasitas untuk mengalirkan kelebihan air. Hal
ini juga dapat disebabkan oleh peristiwa lain, terutama di daerah pesisir, seperti
gelombang badai yang disebabkan oleh tsunami, siklon tropis, atau air pasang. Misalnya,

6
runtuhnya bendungan akibat gempa bumi akan menyebabkan banjir di daerah hilir
bahkan ketika cuaca kering. Banjir sungai, banjir bandang, banjir perkotaan, banjir
semburan danau glasial, dan banjir pesisir adalah salah satu dari banyak proses iklim
dan non-iklim yang dapat menyebabkan banjir.

Besaran banjir bervariasi tergantung pada intensitas, volume, waktu, dan fase curah
hujan, serta status sungai dan daerah aliran sungai sebelumnya (beku atau tidak, atau
jenuh dengan kelembaban tanah atau tidak jenuh). Curah hujan, angin topan,
gelombang badai, dan kenaikan permukaan air laut adalah beberapa parameter
klimatologi yang paling mungkin terkena dampak perubahan iklim. Seperti yang
dinyatakan dalam banyak dokumen dan pedoman hukum, perubahan iklim memainkan
peran penting dalam menilai risiko banjir. Namun, ketidakpastian tentang dampak
perubahan iklim terhadap bahaya dan kerentanan banjir terkadang membatasi
kemungkinan evaluasi langkah-langkah adaptasi dengan menggunakan metodologi
konvensional seperti analisis biaya-manfaat (UNISDR, 2017).
Tabel 2-1 Data yang Digunakan dalam Penilaian Bahaya Banjir

Sumber: (UNISDR, 2017)

7
2.5 Gelombang Ekstrim dan Abrasi
Bencana gelombang ekstrim dan abrasi merupakan bencana alam yang dapat
menimbulkan kerusakan signifikan pada wilayah pesisir. Gelombang ekstrim adalah
gelombang besar yang ukurannya jauh lebih besar dari gelombang biasa di suatu daerah
dan dapat menimbulkan kerusakan yang signifikan terhadap infrastruktur pantai,
sedangkan abrasi adalah proses pengikisan pantai yang disebabkan oleh gelombang.

Untuk menilai tingkat ancaman yang ditimbulkan oleh bencana-bencana tersebut, para
peneliti menggunakan metode analisis deskriptif komparatif untuk melihat sebab akibat
dan kemungkinan terjadinya bencana (Jasmani et al., 2019). Selain itu, peneliti juga
menggunakan metodologi penilaian risiko untuk menilai secara kuantitatif dampak
bahaya yang disebabkan oleh gelombang terhadap infrastruktur pesisir (Ferná ndez-
Montblanc et al., 2022).

Perubahan iklim juga dapat berdampak pada kemungkinan dan tingkat keparahan
bencana gelombang dan abrasi yang ekstrem. Misalnya, sebuah penelitian menemukan
bahwa perubahan iklim dapat berdampak pada gelombang dekat pantai di pantai yang
dilindungi oleh terumbu penghalang, sehingga dapat meningkatkan risiko erosi dan
kerusakan pantai (de Lalouvière et al., 2020).

Bencana gelombang ekstrim dan abrasi pantai merupakan bencana alam yang dapat
menimbulkan kerusakan yang signifikan terhadap wilayah pesisir. Berikut beberapa
penyebab terjadinya bencana tersebut:
1) Penyebab Bencana Gelombang Ekstrim
 Angin kencang: Angin kencang dapat menimbulkan gelombang besar yang dapat
menyebabkan kerusakan signifikan pada infrastruktur pesisir.
 Gelombang badai: Gelombang badai dapat menyebabkan gelombang ekstrem
yang dapat membanjiri wilayah pesisir dan menyebabkan kerusakan parah.
 Tsunami: Tsunami adalah gelombang besar yang disebabkan oleh gempa bumi
atau peristiwa seismik lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan signifikan
pada wilayah pesisir.

8
2) Penyebab Abrasi Pesisir:
 Aksi gelombang: Aksi gelombang yang terus-menerus dapat menyebabkan erosi
pada garis pantai, yang menyebabkan abrasi pantai.
 Kenaikan permukaan air laut: Ketika permukaan air laut naik akibat perubahan
iklim, garis pantai lebih banyak terkena gelombang, yang dapat meningkatkan
laju abrasi pantai.
 Aktivitas manusia: Aktivitas manusia seperti penambangan pasir, pengerukan,
dan konstruksi bangunan pantai dapat mengganggu keseimbangan alami garis
pantai dan menyebabkan peningkatan abrasi pantai.

Ringkasnya, bencana gelombang ekstrim dan abrasi merupakan bencana alam yang
dapat menimbulkan kerusakan signifikan terhadap wilayah pesisir. Peneliti
menggunakan metode analisis deskriptif komparatif dan metodologi penilaian risiko
untuk menilai tingkat ancaman yang ditimbulkan oleh bencana tersebut. Setelah
bencana terjadi, kegiatan tanggap darurat dimulai untuk mengurangi kerusakan.
Perubahan iklim juga dapat berdampak pada kemungkinan dan tingkat keparahan
bencana-bencana tersebut.

2.6 Kekeringan
Kekeringan merupakan bencana alam yang terjadi akibat periode kemarau
berkepanjangan dalam siklus iklim alam. Ini adalah bencana yang terjadi secara
perlahan dan ditandai dengan kurangnya curah hujan, sehingga mengakibatkan
kekurangan air. Menurut (EPA, 2016), beberapa jenis kekeringan dan penyebabnya
adalah sebagai berikut:
Jenis Kekeringan:
 Kekeringan meteorologi: Ini terjadi ketika curah hujan di bawah rata-rata
berlangsung dalam jangka waktu lama.
 Kekeringan pertanian: Hal ini terjadi ketika kurangnya kelembaban di dalam tanah,
yang dapat menyebabkan kegagalan panen.
 Kekeringan hidrologi: Hal ini terjadi ketika terjadi kekurangan air permukaan dan
air tanah, yang dapat berdampak pada pasokan air untuk konsumsi manusia dan
aktivitas lainnya.

9
Penyebab Kekeringan:
 Variabilitas iklim: Kekeringan adalah kejadian cuaca normal yang terjadi berulang
kali dengan intensitas dan durasi yang berbeda-beda tergantung wilayah suatu
negara dan bahkan lokasi dalam suatu negara bagian. Variabilitas iklim, termasuk El
Niñ o dan La Niñ a, dapat berdampak pada kemungkinan dan tingkat keparahan
kekeringan.
 Aktivitas manusia: Aktivitas manusia seperti penggundulan hutan, penggembalaan
berlebihan, dan penggunaan air secara berlebihan dapat mengganggu
keseimbangan alami ekosistem dan menyebabkan kekeringan.
 Perubahan iklim: Perubahan iklim dapat berdampak pada pola curah hujan dan
meningkatkan kemungkinan serta tingkat keparahan kekeringan.

2.7 Cuaca Ekstrim


Mengacu kepada (Perka BNPB No 02 Th 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian
Risiko Bencana, 2012), cuaca ekstrim yang dikaji di Dallam kajian risiko bencana adalah
bencana angin puting beliung. Angin puting beliung adalah bencana alam yang sangat
kuat dan destruktif yang terjadi karena adanya rotasi angin di sekitar pusatnya, yang
biasanya membentuk kolom udara yang naik dan memutar. Penyebab angin puting
beliung melibatkan faktor-faktor atmosfer dan geografis yang memungkinkan
terbentuknya kondisi yang mendukung fenomena ini. Beberapa penyebab utama angin
puting beliung meliputi:
1) Perbedaan Tekanan Udara:
Angin puting beliung seringkali terbentuk ketika ada perbedaan tekanan udara yang
signifikan antara dua area di dekat permukaan bumi. Perbedaan ini dapat tercipta
akibat adanya perbedaan suhu atau kelembaban udara di dua daerah yang bertemu.
Ketika udara di daerah berbeda mulai bergerak satu sama lain, hal ini dapat
menciptakan kondisi yang mendukung pembentukan pusaran angin.
2) Kelembaban dan Suhu Udara:
 Perbedaan suhu dan kelembaban di udara dapat menciptakan kondisi yang
mendukung perkembangan angin puting beliung. Udara hangat dan lembab yang
bertemu dengan udara dingin dan kering dapat menciptakan instabilitas
atmosfer yang diperlukan.

10
 Ketika udara dingin bertemu dengan udara hangat, udara panas cenderung naik
dan membentuk pusaran udara yang mulai berputar. Inilah awal dari sebuah
angin puting beliung.
3) Topografi dan Relief:
 Topografi atau kondisi geografis suatu wilayah juga dapat memainkan peran
dalam pembentukan angin puting beliung. Pegunungan, lembah, atau bukit-bukit
dapat mempengaruhi arus udara dan menciptakan kondisi yang mendukung
pembentukan pusaran udara.
 Terowongan angin yang terbentuk di antara puncak-puncak bukit atau di lembah
dapat menjadi tempat di mana pusaran udara mulai berputar dan berkembang
menjadi angin puting beliung.
4) Interaksi Frontal:
Interaksi antara dua massa udara yang berbeda, seperti pertemuan antara massa udara
panas dan massa udara dingin dalam front cuaca, dapat menciptakan kondisi yang
mendukung pembentukan angin puting beliung.
5) Aktivitas Cuaca Ekstrem Lainnya:
Kejadian cuaca ekstrem lainnya, seperti badai petir atau badai supercell, dapat
menciptakan kondisi yang mendukung pembentukan angin puting beliung. Supercell
adalah tipe badai yang sering dikaitkan dengan angin puting beliung karena memiliki
rotasi yang kuat di dalamnya.
6) Faktor Lokal Lainnya:
Beberapa angin puting beliung dapat terbentuk secara tiba-tiba dan tanpa peringatan
yang jelas. Faktor-faktor lokal, seperti pola arus angin di daerah tertentu, juga dapat
mempengaruhi pembentukan angin puting beliung.

Faktor atmosfer utama yang menyebabkan potensi angin puting beliung adalah
ketidakstabilan - udara lembab hangat di dekat permukaan tanah, dengan udara kering
yang lebih dingin di atas dan pergeseran angin - perubahan kecepatan dan/atau arah
angin seiring dengan ketinggian. Massa udara yang tidak stabil mendorong
berkembangnya arus udara ke atas yang kuat, sedangkan geseran angin akan semakin
meningkatkan kekuatan arus ke atas, dan mendorong rotasi yang menghasilkan angin
puting beliung (National Weather Service, 2023). Angin puting beliung dapat

11
menyebabkan kerusakan signifikan pada bangunan, infrastruktur, dan pertanian. Hal ini
juga dapat menyebabkan hilangnya nyawa dan cedera.

2.8 Pengurangan Risiko Bencana


Pengurangan risiko bencana (PRB) adalah konsep dan praktik pengurangan risiko
bencana melalui upaya sistematis untuk menganalisis dan mengurangi faktor penyebab
bencana. PRB merupakan bagian integral dari pembangunan sosial dan ekonomi dan
sangat penting jika pembangunan ingin berkelanjutan untuk jangka panjang. masa
depan.
Tujuan kebijakan untuk mengantisipasi dan mengurangi risiko disebut pengurangan
risiko bencana (DRR). Meskipun sering digunakan secara bergantian dengan PRB,
manajemen risiko bencana (DRM) adalah proses penggunaan keputusan administratif,
organisasi, keterampilan operasional, dan kapasitas untuk menerapkan kebijakan,
strategi, dan kapasitas penanggulangan masyarakat dan komunitas untuk mengurangi
dampak bencana alam.

Kunci PRB adalah mengelola risiko, bukan hanya bencana. Biaya dan manfaat
manajemen risiko bencana perlu dicantumkan sepenuhnya dalam investasi publik dan
swasta di semua tingkatan, ke dalam sistem keuangan, dan ke dalam rancangan
mekanisme pembagian risiko dan perlindungan sosial. Analisis biaya-manfaat dapat
diperluas untuk menyoroti trade-off yang tersirat dalam berbagai strategi manajemen
risiko.

Gambar 2-4 Kurva Inovasi: Dari Pendekatan Destruktif ke Regeneratif


Sumber: UNISDR, 2019

12
Berikut beberapa contoh strategi pengurangan risiko bencana:
1) Pendekatan Sistem: Pendekatan sistem dapat membantu memahami dinamika
dalam konteks rentan dan terkena dampak konflik (FCAC) serta mengidentifikasi
dan lebih memahami ketahanan sistem lokal. Pemahaman ini dapat menjadi
masukan bagi intervensi yang mendukung berfungsinya intervensi tersebut dan
mengurangi risiko (Ginsberg, 2021).
2) Pengelolaan Adaptif: Pengelolaan adaptif adalah proses pembelajaran berulang dan
penyesuaian strategi pengelolaan sebagai respons terhadap informasi baru dan
perubahan kondisi. Hal ini dapat digunakan untuk mengelola risiko yang terkait
dengan bahaya alam dan perubahan iklim (Ginsberg, 2021).
3) Lokalisasi: Lokalisasi melibatkan keterlibatan dengan komunitas lokal dan
membangun pengetahuan dan kapasitas mereka untuk mengurangi risiko bencana.
Pendekatan ini mengakui bahwa masyarakat lokal sering kali menjadi pihak yang
pertama kali merespons suatu bencana dan dapat memainkan peran penting dalam
mengurangi risiko bencana (Ginsberg, 2021).
4) Membangun Kepercayaan: Membangun kepercayaan antara aktor internasional dan
masyarakat lokal sangat penting untuk pengurangan risiko bencana yang efektif
dalam konteks yang rentan dan terkena dampak konflik. Kepercayaan dapat
dibangun melalui proses pengambilan keputusan yang transparan dan akuntabel,
komunikasi yang efektif, dan saling menghormati (Ginsberg, 2021).
5) Pencegahan: Kegiatan-kegiatan pencegahan dan langkah-langkah untuk
menghindari risiko-risiko bencana yang ada dan yang baru sering kali lebih murah
dibandingkan dengan bantuan dan tanggap bencana. Misalnya, merelokasi orang-
orang dan aset-aset yang terpapar jauh dari daerah bahaya dapat membantu
mencegah hilangnya nyawa dan kerusakan harta benda (UNISDR, 2018).
6) Mitigasi: Mitigasi melibatkan pengurangan dampak bencana dengan mengambil
tindakan sebelum bencana itu terjadi. Misalnya, struktur bangunan yang tahan
terhadap angin kencang atau banjir dapat membantu mitigasi dampak bencana
(UNISDR, 2018).

13
7) Analisis biaya-manfaat: Analisis biaya-manfaat dapat digunakan untuk menyoroti
trade-off yang tersirat dalam setiap keputusan, termasuk manfaat hilir dan biaya
yang dapat dihindari dalam hal pengurangan kemiskinan dan risiko bencana
(UNISDR, 2018).
8) Perencanaan evakuasi yang efektif: Perencanaan evakuasi yang efektif dapat
membantu mengurangi dampak bencana dengan memastikan bahwa orang-orang
dievakuasi dengan aman dari daerah yang terkena dampak (Hawley, 2021).
9) Membangun infrastruktur yang berketahanan: Membangun infrastruktur yang
berketahanan dapat membantu mengurangi dampak bencana dengan memastikan
bahwa infrastruktur penting seperti rumah sakit, sekolah, dan sistem transportasi
mampu menahan dampak bencana (UNSDGs, 2015).

2.9 Mitigasi Bencana


Mitigasi bencana mengacu pada upaya yang dilakukan untuk mengurangi korban jiwa
dan harta benda dengan mengurangi dampak bencana dan keadaan darurat. Sendai
Framework mendefinisikan mitigasi bencana sebagai upaya yang diarahkan untuk
mengurangi risiko bencana yang diakibatkan oleh pemanfaatan berlebihan dari
lingkungan alam atau perilaku manusia yang merugikan, termasuk infrastruktur yang
tidak tahan terhadap bencana. Menurut (Undang-Undang 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana, 2007), mitigasi bencana merupakann serangkaian upaya
yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan sektor swasta
dalam mengurangi risiko dan dampak bencana. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan
ketahanan dan kesiapsiagaan Indonesia dalam menghadapi bencana alam maupun
bencana yang disebabkan oleh aktivitas manusia.

Mitigasi bencana melibatkan langkah-langkah struktural dan non-struktural yang


diambil untuk membatasi dampak bencana dan keadaan darurat (Pancasilawan, 2020).
Tindakan mitigasi struktural mengubah karakteristik bangunan atau lingkungan,
seperti proyek pengendalian banjir, meninggikan ketinggian bangunan, dan
membersihkan area di sekitar bangunan. Mitigasi non-struktural sering kali mencakup
penerapan atau perubahan peraturan bangunan, dan juga dapat mencakup peningkatan
kesadaran tentang potensi bahaya, mendidik masyarakat tentang cara mempersiapkan

14
diri dengan baik terhadap berbagai jenis bencana, dan memasang serta memperkuat
sistem prediksi dan peringatan.
Strategi mitigasi struktural dan non-struktural memiliki efektivitas yang berbeda dalam
beberapa hal. Berikut beberapa hal yang perlu dipertimbangkan (Peacock, 2014):
1) Mitigasi struktural:
 Mitigasi struktural melibatkan perubahan fisik atau tindakan yang diambil untuk
melindungi kehidupan dan harta benda dari bencana atau bahaya
 Langkah-langkah mitigasi struktural seringkali lebih mahal untuk diterapkan
dibandingkan langkah-langkah non-struktural
 Langkah-langkah mitigasi struktural dapat lebih efektif dalam mengurangi
dampak bencana dalam jangka panjang
 Langkah-langkah mitigasi struktural bisa jadi lebih sulit diterapkan dalam
beberapa kasus, misalnya di gedung-gedung bersejarah atau di kawasan dengan
sumber daya terbatas
2) Mitigasi non-struktural:
 Mitigasi non-struktural melibatkan tindakan yang tidak melibatkan konstruksi
fisik, seperti pendidikan, kesadaran, dan perubahan kebijakan
 Langkah-langkah mitigasi non-struktural umumnya lebih murah untuk
diterapkan dibandingkan langkah-langkah struktural
 Upaya mitigasi non-struktural dapat lebih efektif dalam mengurangi dampak
bencana dalam jangka pendek
 Langkah-langkah mitigasi non-struktural bisa lebih mudah diterapkan dalam
beberapa kasus, misalnya di daerah dengan sumber daya terbatas atau di
masyarakat dengan tingkat modal sosial yang tinggi.

Secara keseluruhan, langkah-langkah mitigasi struktural dan non-struktural diperlukan


dalam meminimalkan risiko dan melindungi nyawa dan harta benda dari bencana.
Efektivitas setiap jenis tindakan bergantung pada konteks spesifik dan jenis bencana
yang ditangani. Kombinasi tindakan struktural dan non-struktural seringkali
merupakan pendekatan yang paling efektif dalam mitigasi bencana (Peacock, 2014).

15
Tujuan dari mitigasi adalah untuk mengurangi potensi kerusakan dan penderitaan yang
diakibatkan oleh bencana, dan walaupun manajemen bencana tidak dapat mencegah
terjadinya bencana, namun manajemen bencana dapat mencegah bencana tersebut
menjadi lebih parah akibat dari pengabaian faktor-faktor penyebab dan risiko-risiko
yang dapat dikelola.

2.10 Sistem Informasi Geografis


Sistem Informasi Geografis (GIS) adalah sistem aplikasi komputer yang dapat digunakan
untuk menampilkan, memanipulasi, dan menganalisis informasi yang bervariasi secara
spasial dari berbagai sumber, semuanya dalam satu tempat . Seringkali, kumpulan data
yang digunakan dalam GIS dikategorikan ke dalam beberapa kategori untuk
memudahkan penyimpanan dan penggunaan.

Gambar 2-5 Konsep Dasar SIG/GIS


Sumber: (ESRI, 2023)

Setiap kumpulan data yang dapat didukung oleh GIS dibagi menjadi dua bagian utama:
informasi grafis (spasial) dan informasi tabular (atribut). Data spasial adalah data yang
memiliki referensi geografis atau spesifik lokasi dan ditampilkan secara grafis di layar
komputer. Setiap bagian informasi grafis disebut fitur. Fitur dapat berupa titik, garis,
atau bahkan polygon.

16
GIS harus dibuat dari peta yang tersedia dari berbagai lapisan tematik (tanah,
penggunaan lahan, suhu, dll). Petanya berbentuk dua dimensi sedangkan permukaan
bumi berbentuk ellipsoid 3 dimensi. Setiap peta memiliki proyeksi dan skala.
Untuk memahami bagaimana peta dibuat dengan memproyeksikan permukaan bumi 3
dimensi ke dalam bidang 2 dimensi pada peta analog, kita perlu memahami konsep
georeferensi. Georefencing melibatkan 2 tahap: menentukan sistem koordinat 3
dimensi yang digunakan untuk menemukan titik-titik di permukaan bumi yaitu Sistem
Koordinat Geografis (GCS) dan Sistem Koordinat Proyeksi yang digunakan untuk
memproyeksikan ke dalam dua dimensi untuk membuat peta analog.

Gambar 2-6 Sistem Proyeksi Peta


Sumber: (ESRI, 2023)
Pengambilan Data Spasial (mewakili lokasi dalam database) dapat dilakukan dalam dua
format dasar, yaitu:
a. Format vector
b. Format raster

Dalam format Vektor, realitas direpresentasikan sebagai titik, garis dan area, dan dalam
format raster, realitas direpresentasikan sebagai kisi-kisi sel/piksel. Format Vektor
didasarkan pada tampilan objek diskrit pada peta analog realitas) dan format raster
didasarkan pada tampilan bidang realitas yang berkesinambungan (foto, citra, dll). Pada
prinsipnya, setiap situasi dunia nyata dapat direpresentasikan dalam bentuk digital baik
raster maupun format vektor, pilihan ada di tangan pengguna, masing-masing format
mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing – masing.

17
Gambar 2-7 Perbandingan Representasi Vektor dan Raster
Sumber: (ESRI, 2023)
Sebagian besar perangkat lunak GIS standar dilengkapi dengan alat analisis dasar yang
memungkinkan overlay peta tematik, pembuatan buffer, dll., selain penghitungan
panjang dan luas. Operasi overlay memungkinkan overlay satu poligon di atas poligon
lainnya untuk menghasilkan peta baru dari perpotongannya yang merupakan
kombinasi poligon baru dengan sifat homogen yang diinginkan sehubungan dengan
atribut poligon tertentu.

Gambar 2-8 Ilustrasi Map Layer Overlay


Sumber: (ESRI, 2023)

GIS adalah alat yang ampuh untuk penilaian dan pengurangan risiko bencana. Berikut
adalah beberapa cara GIS digunakan dalam penilaian risiko bencana:

18
 Menganalisis bencana masa lalu: Teknologi GIS dapat digunakan untuk
menganalisis dan memvisualisasikan lokasi bencana alam yang pernah terjadi
sebelumnya dan dampaknya terhadap lanskap. Informasi ini dapat digunakan
untuk memprediksi di mana kemungkinan besar terjadinya bencana di masa depan
(UNDRR, 2012).
 Menghitung risiko bencana: GIS dapat digunakan untuk menghitung kerentanan,
kapasitas, dan risiko bencana. Berbagai model dan penelitian telah dikembangkan
untuk menghitung penilaian risiko bencana menggunakan GIS dan geodatabase
(Nur, 2018).
 Memetakan bahaya dan demografi: GIS membantu masyarakat bersiap dan
beradaptasi dengan memetakan dan menganalisis bahaya dan demografi untuk
pendekatan ketahanan yang lebih adil yang dapat mengubah hasil di masa depan.
 Mengidentifikasi populasi yang rentan: GIS dapat digunakan untuk
mengidentifikasi di mana masyarakat paling rentan terhadap bencana,
memprediksi dampak skenario kejadian, dan mendukung kebijakan reinvestasi
yang berbasis risiko.
 Mengembangkan strategi pengurangan risiko: GIS dapat digunakan untuk
merancang kebijakan dan strategi pengurangan risiko yang efektif untuk
ketahanan terhadap bencana. GIS untuk mitigasi bahaya menyediakan alat
ketahanan bencana untuk menilai risiko dan kerentanan.

19

Anda mungkin juga menyukai