Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MANAJEMEN BENCANA GUNUNG MELETUS

Dosen Pengampu : Beni Hari Susanto, S.KL., M.KL

Disusun oleh:

Putri Larasati (201413251401)


Fandi Achmad A (201413251392)
Zaidan Mahdi M (201413251391)

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN LINGKUNGAN


STIKES WIDYAGAMA HUSADA
MALANG
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang secara geografis dan antropo sosial rawan
bencana, baik bencana alam maupun bencana karena ulah manusia (Depkes, 2009). Dalam
rentang waktu lima tahun terakhir, Indonesia mengalami paling sedikit kerugian lima miliar
dolar US, lebih dari 175.000 jiwa meninggal dan lebih dari 2 juta penduduk terkena dampak
langsung, angka ini hanya dihitung dari “top 10” kejadian bencana sejak 2004 (Priyatno et
al., 2017)
Posisi wilayah geografis Indonesia yang dihimpit oleh tiga lempeng bumi, lempeng
Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik menjadikan wilayah Indonesia paling
rawan gempa bumi dan tsunami. Dari berbagai bentuk bencana alam seperti gempa bumi,
tsunami, tanah longsor, banjir dan letusan gunung, maka bencana gunung meletus merupakan
tantangan yang cukup besar dihadapi masyarakat akhir-akhir ini. Belum lagi banyak gunung
berapi yang mengitari wilayah Indonesia, hingga tersemat julukan ring of fire (cincin api).
(WARDYANINGRUM, 2015)
Bencana merupakan rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda
dan dampak psikologis. Salah satu jenis bencana alam antara lain berupa gunung meletus.
Gunung meletus atau merapi menjadi bahaya karena dapat merugikan secara fisik, non fisik
dan korban jiwa (Sudiharto, 2011).
Bencana gunung meletus muncul ketika ancaman gunung berapi bertemu dengan
masyarakat yang rentan yang mempunyai kemampuan rendah untuk menanggapi ancaman
itu. Oleh karena itu, perlu adanya persiapan atau managemen bencana gunung berapi untuk
mengurangi terjadinya korban jiwa dan kerugian harta dan benda (Pitang et al., 2020)
Kesadaran akan bencana yang dapat terjadi di Indonesia harus terus ditingkatkan,
peningkatan kapasitas dari segi pengetahuan-pengetahuan terbaru juga harus terus dibuka,
agar bencana yang dapat terjadi kapan saja tidak berdampak signifikan mengganggu
kehidupan maupun penghidupan masyarakat. Perluasan riset serta kajian-kajian ilmiah
mengenai bencana harus selaras dengan luasnya konsep bahwa berbicara bencana adalah
berbicara tentang bagaimana manusia dahulu, kita sekarang, dan generasi mendatang
menghadapi suatu peristiwa yang dinamakan bencana. Karena bencana akan selalu ada, sikap
siap kita menghadapinya harus lebih besar daripada dampak yang dapat ditimbulkan (Studi et
al., 2020)

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Apa yang disebut bencana gunung Meletus?
1.2.2. Bagaimana cara menanggulangi bencana gunung Meletus?

1.3. Tujuan
1.3.1. Mengetahui definisi bencana gunung Meletus.
1.3.2. Mengetahui cara penanggulangan bencana gunung Meletus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Bencana


Bencana adalah kehancuran ekologis yang luas baik secara fisik maupun hubungan
fungsional antara manusia dengan lingkungannya, yang disebabkan oleh alam atau manusia,
berbentuk kejadian yang serius atau tidak nampak (atau lambat, seperti pada kekeringan),
dalam skala yang tidak dapat ditangani oleh sumberdaya yang ada, dan komunitas yang
terdampak membutuhkan upaya yang luar biasa untuk menangani kerusakan yang terjadi,
bahkan membutuhkan bantuan dari masyarakat internasional(Bencana, 2020).
Berdasarkan penyebabnya bencana dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu bencana yang
disebabkan oleh alam atau natural disaster), bencana akibat teknologi atau technological-
caused disaster dan bencana akibat manusia atau human-caused disaster (Etkin, 2016).
a. Bencana alam (natural disaster)
Kejadian bencana alam diperkirakan akan terus meningkat yang disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu
1. variasi dari siklus alam seperti solar maxima, gempa bumi dan aktivitas vulkanik
2. pemanasan global yang minimal dapat meningkatkan aktivitas badai yang
mematikan dan kekeringan di beberapa wilayah
3. Bertambahnya variasi jenis penyakit dan penyakit akibat vector akibat pemanasan
global
4. Perubahan musim, kondisi cuaca serta suhu dan kelembaban ambient yang
menyebabkan dampak buruk pada cadangan makanan, produksi zat allergen dan
isu kesehatan pada manusia
b. Bencana akibat industri
Bencana akibat industri atau industrial-induced disaster merupakan bencana yang
terjadi karena proses atau kegiatan industri termasuk dalam penciptaan, uji coba,
penerapan, atau kegagalan dalam penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pengembangan teknologi menghasilkan hazard (bahaya) industri seperti limbah dan
radiasi industri serta bencana kimia.
c. Bencana akibat manusia
Bencana akibat manusia disebut juga manmade disaster atau natural-induced disaster.
Bencana ini merupakan hasil dari kesalahan yang dibuat manusia atau niat jahat dan
kejadian apapun yang ketika itu terjadi ditinggalkan oleh pelakunya dengan anggapan
bahwa ketika bencana terjadi lagi masyarakat dapat mencegahnya.

2.2. Faktor-fakto Yang Mempengaruhi Bencana


Bencana merupakan hasil interaksi berasal dari potensi bahaya dan faktor kerentanan,
pertemuan antara bahaya dan kerentanan akan menghasilkan terjadinya bencana. Adapun
pengertian dari masing-masing faktor tersebut adalah:
1. Risiko Bencana
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbukan akibat bencana pada suatu
wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, serta jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, jumlah orang mengungsi, kerusakan atau kehilangan
harta dan infrastruktur, dan gangguan kegiatan masyarakat secara sosial dan ekonomi.
2. Bahaya (Hazard)
Bahaya (Hazard) adalah situasi atau kejadian yang mempunyai potensi dapat
menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, atau kerusakan lingkungan.
3. Kerentanan
Kerentanan merupakan suatu kondisi yang ditentukan oleh faktorfaktor atau proses-
proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mengakibatkan menurunnya
kemampuan dalm menghadapi bahaya.
4. Kapasitas
Kapasitas merupakan penguasaan terhadap sumber daya, teknologi, cara dan kekuatan
yang dimiliki masyarakat yang memungkinkan mereka mempersiapkan diri,
menjinakkan, menanggulangi, mempertahankan diri dalam menghadapi ancaman
bencana serta dengan cepat memulihkan diri akibat bencana
2.3. Managemen Bencana
Penanganan dan penanggulangan bencana meliputi 3 fase yaitu:
1. Sebelum bencana
Kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi kerugian harta dan korban manusia
yang disebabkan oleh bahaya dan memastikan bahwa kerugian yang ada juga minimal
ketika terjadi bencana.
a. Kesiapsiagaan
Mencakup penyusunan rencana pengembangan system peringatan, pemeliharaan
persediaan dan pelatihan personil. Langkah-langkah kesiapan tersebut dilakukan
sebelum peristiwa bencana terjadi dan ditujukan untuk meminimalkan korban
jiwa, gangguan layanan dan kerusakan saat bencana terjadi.
b. Mitigasi
Mencakup semua langkah yang diambil untuk mengurangi skala bencana dimasa
mendatang, baik efek maupun kondisi rentan terhadap bahaya itu sendiri. Oleh
karena itu kegiatan mitigasi lebih difokuskan pada bahaya itu sendiri atau unsur-
unsur terkena ancaman tersebut.
2. Saat Bencana
Serangkaian kegiatan yang dilakuakan segera pada saat kejadian bencana yang bertujuan
untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan. Meliputi kegiatan sebagai berikut:
a. Penyelamatan dan evakuasi korban maupun harta benda
b. Pemenuhan kebutuhan dasar
c. Perlindungan
d. Pengurusan pengungsi
e. Penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
3. Pasca bencana (recovery)
Penanggulangan pasca bencana meliputi 2 tindakan utama yaitu rehabilitasi dan
rekonstruksi.
a. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan public atau
masyarakat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secar wajar semua aspek pemerintahdan kehidupan
msyarakat pada wilayah pasca bencana.
b. Rekonstruksi
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintah maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan
perekonomian, social dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban dan bangkitnya
peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah
pasca bencana.
BAB III
PEMBAHASAN

Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana yang


menyebutkan bahwa penanggulangan bencana di antaranya memiliki tujuan untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana dan menciptakan perdamaian dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu implementasi dari Undang-
Undang tersebut adalah memberikan rasa aman kepada masyarakat dari ancaman bencana baik
alam maupun non alam. Dalam mencegah dan juga menanggulangi sebuah bencana, diperlukan
proses manajerial agar kegiatan yang dilakukan dapat terlaksana secara tepat dan cepat serta
tetap terstruktur. Proses ini dinamakan manajemen bencana alam (Zagarino et al., 2021).
Kabupaten Lumajang adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang memiliki
tingkat ancaman bencana yang sangat beragam. Berdasarkan keterangan ketua Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Lumajang, Kabupaten Lumajang ini menghadapi
10 ancaman bencana. Salah satu ancaman bencana yang ada di Kabupaten Lumajang adalah
erupsi Gunung Semeru. Gunung Semeru mengalami erupsi pada 16 Januari 2021. Pada saat
terjadi erupsi, peran Badan Penanggulangan Bencana Daerah sangat diperlukan. Peran Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Lumajang dalam erupsi Gunung Semeru adalah
dengan melakukan upaya sesuai SOP yang berlaku. Dalam SOP terdapat 3 tahap dalam
menangani bencana, yaitu pra bencana, saat terjadi bencana, dan pasca bencana. Salah satu peran
dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah adalah untuk berkoordinasi dengan berbagai pihak
mengenai bermacam keperluan terkait tanggap darurat bencana yang sedang terjadi. Griffin
dalam (Pratiwi et al., 2019) memberikan suatu definisi yang lebih singkat tentang koordinasi
yaitu suatu proses menghubungkan (linking) semua kegiatan dari berbagai-bagai bagian kerja
(department) pada lingkup organisasi.
Bencana gunung api dapat terjadi apabila suatu daerah pemukiman dan tata guna lahan
lainnya terlanda oleh hasil-hasil letusan gunung api, seperti: awan panas, aliran lava, lontaran
batu pijar, hujan abu, gas beracun, ataupun banjir lahar. Bahaya primer letusan gunung Semeru
adalah berupa batu, kerikil, pasir, dan debu panas yang dimuntahkan saat terjadi letusan.
Panasnya mencapai suhu di atas 600 derajat celcius. Sedangkan bahaya sekundernya berupa
aliran lahar dingin atau material piroklastik lainnya seperti pasir, kerikil, ataupun batu-batuan.
Bila timbunan material ini terbawa arus air akan berpotensi menimbulkan bencana banjir
bandang yang dapat membahayakan penduduk sekitarnya. Kemudian menurut tingkat kerawanan
bencananya, kawasan bahaya di bagi menjadi 3 kawasan, yaitu: Kawasan Rawan Bencana
(KRB) I, Kawasan Rawan Bencana (KRB) II, dan Kawasan Rawan Bencana (KRB) III. Untuk
dapat memahami pembagian Kawasan rawan bencana tersebut diatas perlu kami uraikan sebagai
berikut: KRB I merupakan sangat berpotensi menimbulkan korban jiwa, kerusakan infrastruktur,
dan kerugian harta benda akibat landaan lahar terutama sepanjang aliran sungai yang berhulu di
kawasan puncak sehingga kawasan ini sangat berisiko tinggi untuk pemukiman dan aktivitas
manusia. Masyarakat di sepanjang aliran sungai yang berhulu di kawasan puncak harus
meningkatkan kewaspadaan erhadap landaan lahar, ketika terjadi hujan lebat dikawasan gunung
api. KRB II juga berpotensi menimbulkan korban jiwa, kerusakan infrastruktur, kerugian harta
benda, sehingga kawasan ini sangat berisiko tinggi untuk pemukiman dan aktivitas manusia.
(Purba et al., 2022)
Dari kejadian erupsi Gunung Semeru pemerintah melalui BPBD Jawa Timur telah
melaporkan kejadian Awan Panas Guguran (APG) Gunung Semeru yang dirasakan di 2
Kab/Kota yakni kabuten lumajang dan kota Malang dengan Koordinat : - 8,151761, 112,902557
dan total Pengungsi : 4.019 Jiwa, korban jiwa meninggal sebanyak 62 jiwa, dengan dampak
kerugian yang dialami masyarakatsetempat yakni kehilangan/ kerusakan rumah sebanyak 1.107
unit, hewan ternak 3.026 ekor, jembatan Gladak Perak putus dan kerusakan-kerusakan lain
berupa sarana Pendidikan, sarana Kesehatan dan tempat ibadah sebanyak 47 unit dari laporan
tersebut diatas merupakan akumulasi yang tercatat hingga tanggal 31 Januari 2022.
Masyarakat atau setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan sosial dan rasa
aman, khususnya kelompok masyarakat rentan bencana, mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan
keterampilan, mendapatkan informasi secara tertulis dan atau lisan, tentang kebijakan
penanggulangan bencana, berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan
program penyediaan bantuan, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan khususnya yang
berkaitan dengan diri dan komunitasnya, melakukan pengawasan, mendapatkan bantuan
pemenuhan kebutuhan dasar dan memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana. Dalam
bencana erupsi Semeru masyarakat dilibatkan dalam pengambilan keputusaan saat menentukan
letak pendirian Huntara dan Huntap, meski ada beberapa keluarga yang kurang menyetujuinya
dengan pertimbangan terhadap pekerjaan mereka kedepan yang agak jauh tapi dengan
pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah ahirnya seluruh masyarakat dapat menerima untuk
dilakukan relokasi pada jarak tujuh kilometer dari tempat mereka terkena musibah, dari beberapa
pengungsi yang kami temui mengaku senang dengan lokasi yang baru karna mereka cukup
merasa trauma dengan apa yang menimpa mereka.
Berdasarkan dari kasus letusan gunung semeru, tahapan-tahapan tanggap darurat bencana
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pra bencana
Dalam tahap pra bencana, penanggulangan bencana dibagi menjadi situasi saat
tidak terjadi bencana dan situasi potensi terjadinya bencana. Dalam situasi tidak terjadi
bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri dari perencanaan
penanggulangan bencana; pengurangan risiko bencana; pencegahan; pemanduan
perencanaan pembangunan; pelaksanaan serta penegakan rencana tata ruang; pendidikan
dan pelatihan; persyaratan analisis risiko bencana; dan persyaratan standar teknis
penanggulangan bencana. Sedangkan dalam situasi potensi terjadinya bencana,
penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri dari kesiapsiagaan, peringatan dini dan
mitigasi bencana. Peran masyarakat pada saat pra bencana antara lain : berpartisipasi
dalam pengurangan risiko bencana, melakukan sosialisasi terkait kebencanaan, membuat
rencana aksi komunitas, aktif dalam forum Penganggulangan Risiko Bencana (PRB),
melakukan upaya pencegahan bencana, bekerjasama dengan pemerintah dalam upaya
mitigasi, mengikuti pendidikan, pelatihan dan penyuluhan untuk upaya PRB, dan bekerja
sama mewujudkan desa/kelurahan tangguh bencana.
2. Saat bencana
Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, tanggap darurat bencana
merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan pada saat terjadi bencana untuk
menangani dampak yang ditimbulkan dari adanya bencana tersebut. Dalam tahap saat
tanggap darurat, penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi pengkajian secara
cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, sumber daya, perlindungan terhadap
kelompok rentan, penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana, penentuan
status keadaan darurat bencana, pemenuhan kebutuhan dasar, dan pemulihan dengan
segera prasarana dan sarana vital.
Peran masyarakat pada saat bencana antara lain memberikan informasi kejadian
bencana ke BPBD atau instansi terkait, melakukan evakuasi mandiri, melakukan kaji
cepat dampak bencana, berpartisipasi dalam respon tanggap darurat sesuai bidang
keahliannya. Langkah-langkah yang dilakukan oleh BPBD Kabupaten Lumajang dalam
menangani masalah meletusnya Gunung Semeru yaitu: Pertama, Membuat Posko untuk
tempat evakuasi bagi para pengungsi yang terdampak erupsi guguran awan panas
Gunung Semeru. Kedua, BPBD Bagian Administrasi secara otomatis membuat surat
darurat bencana yang harus ditandatangani oleh Bupati Kabupaten Lumajang. Ketiga,
membuat Surat Komando Tanggap Darurat (SKTT). Dengan adanya SKTT, lintas
sektoral baik vertikal dan horizontal sesuai dengan 3 pilar yaitu pemerintah, dunia usaha
atau swasta, dan masyarakat yang saling bahu membahu, Kemudian akan dilakukan
pembagian tugas kepada pihak-pihak yang bersangkutan seperti menggeser tempat
sampah dan toilet portable, sedangkan TNI dan Polri bergerak untuk evakuasi korban
bencana.
3. Pasca bencana
Pada tahap ini, penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan dengan cara
rehabilitasi dan rekonstruksi. Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, Rehabilitasi
merupakan upaya perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran
utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Sedangkan, Rekonstruksi merupakan
pembangunan kembali seluruh sarana dan prasarana, kelembagaan pada wilayah pasca
bencana, baik yang terdapat pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan
sasaran utama yaitu tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, tegaknya
hukum dan ketertiban, sosial dan budaya, serta bangkitnya peran serta masyarakat dalam
segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
Peran masyarakat pada saat bencana adalah berpartisipasi dalam pembuatan
rencana aksi rehabilitasi dan konstruksi dan berpartisipasi dalam upaya pemulihan dan
pembangunan sarana dan prasarana umum. Peran BPBD Kabupaten Lumajang dalam
erupsi Gunung Semeru adalah dengan melakukan upaya sesuai SOP yang berlaku. Dalam
SOP terdapat 3 tahap dalam menangani bencana, yaitu pra bencana, ketika terjadi
bencana, dan pasca bencana. Salah satu peran dari BPBD adalah untuk berkoordinasi
dengan berbagai pihak mengenai bermacam keperluan terkait tanggap darurat bencana
yang sedang terjadi.
A. Penyediaan Air Bersih
Bencana selalu menimbulkan permasalahan. Salah satunya bidang kesehatan. Timbulnya
masalah ini berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada buruknya kebersihan diri
dan sanitasi lingkungan. Akibatnya berbagai jenis penyakit menular muncul.
Dalam situasi bencana mungkin saja air untuk keperluan minumpun tidak cukup, dan
dalam hal ini pengadaan air yang layak dikunsumsi menjadi paling mendesak. Namun
biasanya problema–problema kesehatan yang berkaitan dengan air muncul akibat kurangnya
persediaan dan akibat kondisi air yang sudah tercemar sampai tingkat tertentu. Tolok ukur
kunci untuk mendapatkan air bersih antara lain:
1. Persediaan air harus cukup untuk memberi sekurangkurangnya 15 liter per orang per hari.
2. Volume aliran air ditiap sumber sedikitnya 0,125 liter perdetik.
3. Jarak pemukiman terjauh dari sumber air tidak lebih dari 500 meter
4. 1 (satu) kran air untuk 80 – 100 orang
Air di sumber–sumber harus layak diminum dan cukup volumenya untuk keperluan
keperluan dasar (minum, memasak, menjaga kebersihan pribadi dan rumah tangga) tanpa
menyebabkan timbulnya risiko–risiko besar terhadap kesehatan akibat penyakit–penyakit
maupun pencemaran kimiawi atau radiologis dari penggunaan jangka pendek. Adapun
syarat-syaratnya antara lain;
1. Di sumber air yang tidak terdesinfektan (belum bebas kuman), kandungan bakteri dari
pencemaran kotoran manusia tidak lebih dari 10 coliform per 100 ml.
2. Hasil penelitian kebersihan menunjukkan bahwa resiko pencemaran semacam itu sangat
rendah.
3. Untuk air yang disalurkan melalui pipa–pipa kepada penduduk yang jumlahnya lebih dari
10.000 orang, atau bagi semua pasokan air pada waktu ada resiko atau sudah ada kejadian
perjangkitan penyakit diare, air harus didesinfektan lebih dahulu sebelum digunakan
sehingga mencapai standar yang bias diterima (yakni residu klorin pada kran air 0,2–0,5
miligram perliter dan kejenuhan dibawah 5 NTU)
4. Konduksi tidak lebih dari 2000 jS / cm dan airnya biasa diminum
5. Tidak terdapat dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan pengguna air, akibat
pencemaran kimiawi atau radiologis dari pemakaian jangka pendek, atau dari pemakaian
air dari sumbernya dalam jangka waktu yang telah direncanakan, menurut penelitian yang
juga meliputi penelitian tentang kadar endapan bahan-bahan kimiawi yang digunakan
untuk mengetes air itu sendiri. Sedangkan menurut penilaian situasi nampak tidak ada
peluang yang cukup besar untuk terjadinya masalah kesehatan akibat konsumsi air itu.

B. Sarana Pembuangan Tinja


Masyarakat korban bencana harus memiliki jumlah jamban yang cukup dan jaraknya
tidak jauh dari pemukiman mereka, supaya bisa diakses secara mudah dan cepat kapan saja
diperlukan, siang ataupun malam. Adapun syarat dari pembuangan tinja antara lain :
1. Tiap jamban digunakan paling banyak 20 orang
2. Penggunaan jamban diatur perumah tangga dan/menurut pembedaan jenis kelamin
(misalnya jamban persekian KK atau jamban laki–laki dan jamban perempuan).
3. Jarak jamban tidak lebih dari 50 meter dari pemukiman (rumah atau barak di kamp
pengungsian). Atau bila dihitung dalam jam perjalanan ke jamban hanya memakan waktu
tidak lebih dari 1 menit saja dengan berjalan kaki.
4. Jamban umum tersedia di tempat–tempat seperti pasar, titik– titik pembagian sembako,
pusat – pusat layanan kesehatan dan sebagainya.
5. Letak jamban dan penampung kotoran harus sekurang– kurangnya berjarak 30 meter dari
sumber air bawah tanah. Dasar penampung kotoran sedikitnya 1,5 meter di atas air tanah.
Pembuangan limbah cair dari jamban tidak merembes ke sumber air mana pun, baik
sumur maupun mata air, suangai dan sebagainya.

C. Sarana Pengelolaan Sampah


Masyarakat harus memiliki lingkungan yang cukup bebas dari pencemaran akibat limbah
padat, termasuk limbah medis. Adapun syaratnya sebagai berikut:
1. Sampah rumah tangga dibuang dari pemukiman atau dikubur di sana sebelum sempat
menimbulkan ancaman bagi kesehatan.
2. Tidak terdapat limbah medis yang tercemar atau berbahaya (jarum suntik bekas pakai,
perban–perban kotor, obat–obatan kadaluarsa,dsb) di daerah pemukiman atau tempat–
tempat umum.
3. Dalam batas–batas lokasi setiap pusat pelayanan kesehatan, terdapat tempat pembakaran
limbah padat yang dirancang, dibangun, dan dioperasikan secara benar dan aman, dengan
lubang abu yang dalam.
4. Terdapat lubang–lubang sampah, keranjang/tong sampah, atau tempat–tempat khusus
untukmembuang sampah di pasar– pasar dan pejagalan, dengan system pengumpulan
sampah secara harian.
5. Tempat pembuangan akhir untuk sampah padat berada dilokasi tertentu sedemikian rupa
sehingga problema–problema kesehatan dan lingkungan hidup dapat terhindarkan.
6. 2 (dua) drum sampah untuk 80 – 100 orang.
Masyarakat memiliki cara-cara untuk membuang limbah rumah tangga sehari–hari secara
nyaman dan efektif. Dengan syarat:
1. Tidak ada satupun rumah/barak yang letaknya lebih dari 15 meter dari sebuah bak
sampah atau lubang sampah keluarga, atau lebih dari 100 meter jaraknya dar lubang
sampah umum.
2. Tersedia satu wadah sampah berkapasitas 100 liter per 10 keluarga bila limbah rumah
tangga sehari–hari tidak dikubur ditempat.

D. Pengendalian Vektor
Adapun vector yang paling dominan pada Kawasan berdampak bencana gunung Meletus
yaitu Lalat. Pada bencana gunung meletus biasanya lalat menjadi vector yang dominan
karena pada tempat penampungan korban pasti akan banyak persediaan makanan mulai dari
makanan basah maupun makanan kering, hal tersebut yang dapat mengundang lalat untuk
datang. Lalatadalah vektor mekanik dari bakteri patogen, protozoa serta telur dan
larvacacing, Luasnya penularan penyakit oleh lalat di alam sukar ditentukan. Lalatdianggap
sebagai vektor penyakit disentri, diare, typhoid cholera. Usaha pemberantasan lalat dapat
dilakukan dengan cara :
1. Tindakan penyehatan lingkungan
Tindakan ini bertujuan untuk menghilangkan semua tempat-tempat pembiakanlalat
maupun tempat-tempat yang berpotensi sebagai tempat pembiakan lalat,serta sebagai
tindakan-tindakan yang perlu diambil meliputi :
 Melenyapkan atau memperbaiki semua kakus-kakus dan cara-cara
pembuangan ekskreta manusia yang tidak memenuhi syarat-syaratkesehatan,
terutama yang memungkinkan adanya kontak langsungantara lalat dengan
tinja.
 Garbage harus dibuang dalam tempat sampah yang tertutup. Cara
pembuangan sampah harus tidak memungkinkan sampah menjadi sarang lalat
2. Usaha pencegahan transmisi penyakit, dengan cara:
 Menghilangkan tempat-tempat pembiakan lalat
 Melindungi makanan terhadap kontaminasi oleh lalat

E. Sarana Tempat Penampungan


Sudah ada standar pengungsian yang ditetapkan oleh PBB untuk menjamin hak asasi para
pengungsi, yaitu prinsip-prinsip panduan bagi pengungsi Internal. Dalam prinsip tersebut
pengungsi disebut juga sebagai internally displaced person (IDPs), yang didefinisikan
sebagai orang-orang atau kelompok orang yang telah dipaksa atau terpaksa melarikan diri
atau meninggalkan rumah mereka atau tempat mereka dulu biasa tinggal. Terutama sebagai
akibat dari, atau dalam rangka menghindarkan diri dari dampakdampak konflik bersenjata,
situasi-situasi rawan yang ditandai oleh maraknya tindak kekerasan secara umum,
pelanggaranpelanggaran hak-hak asasi manusia, bencana-bencana alam atau bencana-
bencana akibat ulah manusia dan yang tidak melintasi perbatasan negara yang diakui secara
internasional. Prinsip-prinsip tersebut mengidentifikasi hak-hak dan jaminan-jaminan yang
berkaitan dengan perlindungan terhadap orang-orang dari paksaan untuk mengungsi,
perlindungan dan bantuan terhadap mereka selama masa pengungsian, serta perlindungan
dan bantuan selama mereka pulang kembali atau selama proses permukiman di tempat lain,
dan selama proses reintegrasi dengan masyarakat pada masa pascapengungsian.
Wanita, anak-anak, orang yang berusia lanjut, ataupun orang cacat adalah kelompok yang
harus diperhatikan secara khusus dalam masa pengungsian. Hal ini karena rawannya
pelanggaran terhadap hak asasi mereka selama tinggal di pengungsian, misalnya, pelecehan
seksual, diskriminasi, dan pembatasan akses. Dengan demikian, sangat penting pemerintah
menjamin perlindungan atas diri mereka dan memberi kesempatan bagi mereka untuk
berpartisipasi dalam mengelola tempat dan sarana pengungsian sehingga mampu memenuhi
dan melindungi hak asasi mereka.(Priyatno et al., 2017)
BAB IV
PENUTUP
4. 1. Kesimpulan
Bencana merupakan rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan
masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda dan dampak psikologis. Salah satu jenis bencana alam antara lain berupa gunung
meletus. Bencana gunung meletus muncul ketika ancaman gunung berapi bertemu dengan
masyarakat yang rentan yang mempunyai kemampuan rendah untuk menanggapi ancaman
itu. Oleh karena itu, perlu adanya persiapan atau managemen bencana gunung berapi untuk
mengurangi terjadinya korban jiwa dan kerugian harta dan benda.
Masyarakat atau setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan sosial dan rasa
aman, khususnya kelompok masyarakat rentan bencana, mendapatkan pendidikan,
pelatihan, dan keterampilan, mendapatkan informasi secara tertulis dan atau lisan, tentang
kebijakan penanggulangan bencana, berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan
pemeliharaan program penyediaan bantuan, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya, melakukan pengawasan,
mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar dan memperoleh ganti kerugian karena
terkena bencana. Adapun tahapan tanggap darurat bencana meliputi pra bencana, saat
bencana, dan pasca bencana.
Permasalahan yang terdapat pada penampungan korban bencana gunung Meletus antara
lain penyediaan air bersih yang kurang, terbatasnya sarana pembuangan tinja, sulitnya
memperoleh lahan untuk pembuangan sampah dan terbatasnya tenaga pengelola sampah,
terdapat vector yang akan menganggu Kesehatan korban bencana, serta terbatasnya sarana
tempat penampungan.
DAFTAR PUSTAKA
Etkin, D. (2016). Disaster Theory: An Interdisciplinary Approach to Concepts and Causes.
Oxford: Elsevier Ltd.
Pratiwi, D. S., Hidayat, E. R., & Widjaja, W. (2019). Manajemen Penanganan Anak Di
Pengungsian Korban Bencana Erupsi Gunung Sinabung Di Provinsi Sumatera Utara.
Jurnal Manajemen Bencana (Jmb), 5(1).
Sudiharto. 2011. Manajemen Disaster. Badan Penegmbangan dan Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia dan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI.
Bencana, P. D. A. N. J. (2020). Ade Heryana | Pengertian dan Jenis-jenis Bencana. 1–8.
Pitang, Y., Irman, O., & Nelista, Y. (2020). The Effect of Training on Preparedness Disaster on
the Preparedness of Elementary School Children in Overcoming the Disaster of Volcano
Eruption of Mount Egon in Lere Catholic Elementary School. NurseLine Journal, 4(2), 139.
https://doi.org/10.19184/nlj.v4i2.14356
Priyatno, Agus, Trisnowati, Heni, Kurniyanti, Ari, & Mizam. (2017). Promosi Kesehatan dalam
Keadaan Bencana ( Studi Kasus Bencana Gunung Merapi di Yogyakarta ). Jurnal Ilmiah
Kesehatan Media Husada, 1(1), 85–92.
Purba, A., Sumantri, S. H., Kurniadi, A., & Putra, D. R. K. (2022). Analisis Kapasitas
Masyarakat Terdampak Erupsi Gunung Semeru. PENDIPA Journal of Science Education,
6(2), 599–608. https://doi.org/10.33369/pendipa.6.2.599-608
Studi, P., Masyarakat, K., & Kesehatan, F. I. (2020). Analisis spasial ketersediaan dan
keterjangkauan fasilitas pelayanan kesehatan pada wilayah rawan dan terdampak bencana
erupsi gunung semeru.
WARDYANINGRUM, D. (2015). FUNGSI KOMUNIKASI KELOMPOK DALAM
MENGHADAPI POTENSI BENCANA ALAM (Studi pada Anggota Kelompok
Masyarakat di Wilayah Rawan Bencana Gunung Berapi). Communication, 6(2).
https://doi.org/10.36080/comm.v6i2.40
Zagarino, A., Cika Pratiwi, D., Nurhayati, R., & Hertati, D. (2021). Peran Badan
Penanggulangan Bencana Daerah dalam Manajemen Bencana Erupsi Gunung Semeru di
Kabupaten Lumajang. Jurnal Health Sains, 2(5), 762–773.
https://doi.org/10.46799/jsa.v2i5.224

Anda mungkin juga menyukai