Anda di halaman 1dari 15

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bencana

Definisi bencana (disaster) menurut WHO (2002) adalah setiap kejadian yang

menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau

memburuknya derajat kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang

memerlukan respons dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena. Bencana

(disaster) didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

mengancam dan mengganggu kehidupan serta penghidupan masyarakat. Kejadian

bencana disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia

sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa (UU No. 24 Tahun 2007). Definisi

lain tentang bencana yaitu kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan

dampak psikologis akibat sebab-sebab yang ditetapkan pemerintah, dengan

mengelompokkan tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh fenomena alam yang

tidak normal, meliputi badai, hujan, dan salju yang lebat, banjir, gelombang pasang

laut, gempa, tsunami, letusan gunung api atau kebakaran skala besar maupun

peledakan bom (Forum Keperawatan Bencana, 2009). Menurut Departemen

Kesehatan Republik Indonesia (2001), definisi bencana adalah peristiwa atau

kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian

kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan yang

bermakna sehingga memerlukan bantuan luar biasa dari pihak luar.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang luasnya mencapai 1.919.440

km2 dengan populasi penduduk lebih dari 200 juta orang. Secara geografis,

12
2

Indonesia terletak di perpotongan tiga lempeng, yaitu lempeng Eurasia, lempeng

Benua Australia-India, dan lempeng Samudera Pasifik sehingga memiliki aktivitas

seismik yang tinggi (UNDP, 2007). Hal ini menyebabkan banyak wilayah

Indonesia rentan terhadap kejadian gempa bumi, bahkan tsunami. Selain itu,

populasi penduduk yang padat disertai ruang hidup yang semakin sempit

menyebabkan risiko kebakaran meningkat. Selama 10 tahun terakhir, dapat

dikatakan kejadian bencana di Indonesia semakin meningkat. Bencana merupakan

pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan

yang dipicu oleh suatu kejadian. Bencana dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis,

antara lain : (UU No. 24 Tahun 2007)

1. Bencana/alam (natural disaster), disebabkan oleh kejadian alam (natural)

seperti gempa bumi dan dan gunung meletus. Bencana alam juga dikatakan

sebagai peristiwa yang terjadi akibat kerusakan atau ancaman ekosistem dan

telah terjadi kelebihan kapasitas komunitas yang terkena dampaknya.

Bencana alam mencakup gempa, tsunami, letusan gunung merapi, topan,

banjir, dll. Masing-masing bencana memiliki tipikal kerusakan yang

berbeda (Forum Keperawatan Bencana, 2009).

2. Bencana non-alam (man made disaster), yaitu peristiwa non-alam yang

meliputi kebakaran, kegagalan teknologi, gagal modernisasi, dan wabah

penyakit.

3. Bencana sosial, yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa akibat

aktivitas manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar

komunitas masyarakat dan teror


3

Sedangkan menurut Solehudin (2005) mengelompokkan bencana menjadi dua

jenis, yaitu sebagai berikut:

1. Bencana alam (natural disaster), yaitu kejadian-kejadian alami seperti

banjir, genangan, gempa bumi, gunung meletus, badai, kekeringan, wabah,

serangan serangga, dan lainnya.

2. Bencana ulah manusia (man-made disaster), yaitu kejadian-kejadian karena

perbuatan manusia seperti tabrakan pesawat udara atau kendaraan,

kebakaran, ledakan, gangguan listrik, dan lainnya

Sedangkan, berdasarkan cakupan wilayahnya, bencana terdiri atas berikut

ini:

a. Bencana lokal, bencana ini biasanya memberikan dampak pada wilayah

sekitarnya yang berdekatan. Bencana terjadi pada sebuah gedung atau

bangunan-bangunan di sekitarnya. Biasanya karena akibat faktor manusia

seperti kebakaran, ledakan, kebocoran bahan kimia dan lainnya.

b. Bencana regional, jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh

pada area geografis yang cukup luas, dan biasanya disebabkan oleh faktor

alam seperti badai, banjir, letusan gunung, tornado, dan lainnya.


4

2.2 Fase Bencana

Menurut Barbara Santamaria (1995), ada tiga fase dalam terjadinya suatu

bencana, yaitu fase pre-impact, impact, dan post-impact.

1. Fase pre-impact. Merupakan warning phase, tahap awal dari bencana.

Informasi didapat dari badan satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya

pada fase inilah segala persiapan dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga,

dan maupun masyarakat.

2. Fase impact. Merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-

saat dimana manusia sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup. Fase

impact ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan

darurat dilakukan.

3. Fase post-impact. Merupakan saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan

dari fase darurat, juga tahap dimana masyarakat mulai berusaha kembali

pada fungsi kemunitas normal. Secara umum, dalam fase post-impact ini

para korban akan mengalami tahap respons psikologis mulai dari penolakan

(denial), marah (angry), tawar menawar (bargaining), depresi (depression),

hingga penerimaan (acceptance).

2.3 Manajemen Bencana

Manajemen bencana merupakan serangkaian upaya yang meliputi

penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan

pencegahan bencana, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi (UU No. 24

Tahun 2007). Manajemen bencana dirumuskan sebelum bencana terjadi. Siklus

manajemen bencana diawali dengan kegiatan yang dilakukan sebelum terjadinya


5

bencana yang meliputi kegiatan dalam rangka pencegahan, mitigasi (mengurangi

dampak dari bencana) dan kesiapsiagaan (preparedness). Saat bencana terjadi

dilakukan kegiatan tanggap darurat (emergency response) dan setelah itu dilakukan

kegiatan rehabilitasi dan selanjutnya adalah kegiatan rekonstruksi (Forum

Keperawatan Bencana, 2009).

Gambar 2.1 Siklus Penanggulangan bencana (Depkes, 2007)

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada manajemen bencana meliputi:

(Forum Keperawatan Bencana, 2009)

A. Pencegahan (prevention)

Pencegahan merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya

bencana (jika mungkin dengan meniadakan bahaya). Misalnya, melarang

pembakaran hutan dalam perladangan, dan melarang penambangan batu di

daerah yang curam.


6

B. Mitigasi (mitigation)

Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik

melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU No. 24 Tahun 2007).

Mitigasi bencana dapat berupa :

- Mitigasi struktural (membuat checkdam, bendungan, tanggul sungai, rumah

tahan gempa)

- Mitigasi non-struktural (peraturan perundang-undangan, pelatihan)

- Upaya yang dilakukan untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh

bencana

C. Kesiapsiagaan (preparedness)

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang

tepat guna dan berdaya guna, misalnya penyiapan sarana komunikasi, pos

komando, penyiapan lokasi evakuasi, dan sosialisasi peraturan/pedoman

penanggulangan bencana dengan melibatkan perawat.

D. Peringatan dini (early warning)

Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera

mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada

suatu tempat oleh lembaga yang berwenang (UU No. 24 Tahun 2007).

Pemberian peringatan dini harus :


7

• Menjangkau masyarakat (accesible)

• Segera (immediate)

• Tegas tidak membingungkan (coherent)

• Bersifat resmi (official)

E. Tanggap darurat (response)

Tanggap darurat adalah upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian

bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa

penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian dengan

melibatkan perawat.

F. Bantuan darurat (relief)

Bantuan darurat merupakan upaya untuk memberikan bantuan berkaitan

dengan pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan, sandang, tempat tinggal

sementara, kesehatan, sanitasi, dan air bersih.

G. Pemulihan (recovery)

Pemulihan adalah proses pengembalian kondisi masyarakat yang terkena

bencana, dengan mengembalikan fungsi prasarana dan sarana pada keadaan

semula. Upaya yang dilakukan adalah memperbaiki prasarana dan pelayanan

dasar (jalan, listrik, air bersih, pasar puskesmas).


8

H. Rehabilitasi (rehabilitation)

Rehabilitasi adalah upaya langkah yang diambil setelah kejadian bencana

untuk membantu masyarakat memperbaiki rumahnya, fasilitas umum dan

fasilitas sosial penting, dan menghidupkan kembali roda perekonomian.

I. Rekonstruksi (reconstruction)

Rekonstruksi adalah program jangka menengah dan jangka panjang guna

perbaikan fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan

masyarakat pada kondisi yang sama atau lebih baik dari sebelumnya.

2.4 Resiko Bencana

Risiko bencana didefinisikan sebagai kemungkinan atau kesempatan

terhadap munculnya dampak berbahaya atau kehilangan (nyawa, terluka, harta,

rumah tangga, aktivitas ekonomi, lingkungan) sebagai dampak interaksi alam dan

manusia yang merugikan atau rentan (South African Disaster Management Act,

2003). Penting dipahami bahwa tidak semua bencana menimbulkan kerusakan yang

mendadak, seperti tsunami dan gempa berskala tinggi. Kerusakan akibat bencana

mungkin terjadi secara perlahan dan meningkatkan risiko kerentanan bila tidak

dipersiapkan dalam Disaster Risk Mangement.

Disaster Risk Management merupakan serangkaian proses perencanaan

yang bertujuan untuk mengenali risiko bencana, meminimalkan dampak buruk

bencana, menciptakan kesiapan emergensi, melakukan respon efektif terhadap

bencana, dan menyiapkan rehabilitasi pasca bencana (Pangesti, 2012).


9

2.5 Konsep Kesiapsiagaan

Tidak ada satupun manusia yang tahu pasti kapan dan dimana bencana akan

terjadi. Namun, sebagai bagian inti komunitas, mahasiswa ilmu keperawatan

memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk bersiap siaga terhadap keadaan

emergensi tertentu. Frekuensi bencana alam maupun buatan manusia yang tinggi

memberikan penekanan pada diperlukannya kapasitas berupa budaya kesiapan

bencana pada tiap individu (Kapucu, 2008).

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat

guna dan berdaya guna (UU No 24 Tahun 2007). Kesiapsiagaan merupakan salah

satu bagian dari proses manajemen bencana dan di dalam konsep pengelolaan

bencana yang berkembang saat ini, peningkatan kesiapsiagaan merupakan salah

satu elemen penting dari kegiatan pengurangan risiko bencana yang bersifat

pro-aktif, sebelum terjadinya suatu bencana (LIPI-UNESCO, 2006).

Kesiapsiagaan adalah upaya/tindakan untuk mampu menanggapi suatu situasi

bencana secara cepat dan tepat guna yang dilakukan satu komunitas dalam

rangka meminimalisir akibat-akibat yang merugikan dari suatu bahaya

(Ansharrante, 2013). Sedangkan menurut sumber lain dikatakan bahwa

kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi

bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan

berdaya guna, misalnya penyiapan sarana komunikasi, pos komando, penyiapan

lokasi evakuasi, dan sosialisasi peraturan/pedoman penanggulangan bencana

dengan melibatkan perawat (Pangesti, 2012).


10

kesiapsiagaan merupakan kegiatan yang menunjukkan tingkat efektifitas

respon terhadap bencana secara keseluruhan. Kesiapsiagaan masyarakat

merupakan bagian dari pengurangan resiko bencana. Muara kesiapsiagaan ini

adalah untuk membangun ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana

(Nugroho, 2009). Kesiapsiagaan dalam masyarakat memiliki sifat yang dinamis

yaitu dapat bergerak naik atau bahkan turun sehingga pemantauan dan

pengkajian ulang serta modifikasi sangat diperlukan. Tingkat kesiapsiagaan suatu

komunitas dapat menurun setiap saat dengan berjalannya waktu dan dengan

terjadinya perubahan-perubahan sosial-budaya, politik dan ekonomi dari suatu

masyarakat. Karena itu sangat diperlukan untuk selalu memantau dan

mengetahui kondisi kesiapsiagaan suatu masyarakat dan melakukan usaha-usaha

untuk selalu menjaga dan meningkatkan tingkat kesiapsiagaan tersebut (LIPI-

UNESCO, 2006). Ada beberapa stakeholders yang berkaitan erat dengan

kesiapsiagaan masyarakat yaitu individu dan rumah tangga, instansi pemerintah

yang berkaitan dengan pengelolaan bencana, komunitas sekolah, lembaga swadaya

masyarakat (LSM) dan organisasi non pemerintah (Ornop), kelembagaan

masyarakat, kelompok profesi dan pihak swasta. Dari keseluruhan stakeholders

tersebut, tiga stakeholders yaitu rumah tangga, pemerintah dan komunitas sekolah,

disepakati sebagai stakeholders utama, dan lainnya sebagai stakeholders

pendukung dalam kesiapsiagaan bencana (LIPI, 2006).

Kesiapan bencana (disaster preparedness) mencakup kesiapan emergensi

(emergency preparedness). Emergency preparedness adalah kesiapan yang

mencakup zona individu, rumah tangga, dan kebutuhan komunitas selama bencana

dalam: mengembangkan dan mengaplikasikan perencanaan emergensi, memiliki


11

perlengkapan menghadapi bencana di rumah, memperoleh pendidikan bencana,

menjadi relawan bencana, dan menyumbangkan darah (American Red Cross,

2006). White House Lesson Learned Report mengklaim tentang diperlukannya

budaya kesiapan bencana pada level pemerintah dan komunitas. Sebagian besar

masyarakat di area rentan bencana menyadari bahwa mereka harus siap siaga, tetapi

hanya sedikit yang mampu mengaplikasikannya. Kesiapan bencana yang

sesungguhnya harus dimiliki tiap individu adalah kesiapan untuk menyelamatkan

diri, membantu anggota keluarga, teman, dan warga sekitar saat bencana terjadi

(Kapucu, 2008).

Fasilitas terhadap kesiapan bencana di level individu telah disediakan oleh

sejumlah perguruan tinggi yang telah memiliki pusat studi bencana atau lembaga

lain yang setara seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada,

Institut Teknologi Surabaya, Universitas Pembangunan Nasional Veteran

Yogyakarta, Universitas Jember, Institut Pertanian Bogor, Universitas Andalas,

Universitas Airlangga, Universitas Tadulako dan Universitas Syiah Kuala.

Lembaga-lembaga semacam ini diharapkan dapat mendukung peningkatan

kapasitas pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana (Pangesti, 2012).

Keberadaan lembaga-lembaga di tingkat masyarakat yang memiliki kegiatan

kebencanaan juga berpotensi untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam

penanggulangan bencana. Di tingkat nasional, pemerintah juga membentuk

Konsorsium Pendidikan Bencana (KPB), Platform Nasional untuk pengurangan

risiko bencana (Planas PRB), dan forum-forum pengurangan risiko bencana serupa

lainnya. Diharapkan bahwa dengan terbentuknya forum-forum tersebut akan

meningkatkan kapasitas penyelenggaraan penanggulangan bencana di tingkat pusat


12

dan daerah. Namun, sejauh ini pengelolaan bencana masih terfokus pada fase gawat

darurat, belum mencapai pada tahap pencegahan dan mitigasi yang adekuat.

Elemen pendukung kesiapan bencana meliputi pendidikan bencana dan

ketersediaan sarana tanggap darurat (Steiert, 2007).

Berdasarkan framework kesiapsiagaan terhadap bencana yang di buat oleh

Jan Sopaheluwakan dan kawan-kawan (2006) kesiapsiagaan dikelompokkan

kedalam lima parameter yaitu pengetahuan dan sikap (Knowledge and Attitude)

,Perencanaan kedaruratan (Emergency Planning) , Sistem peringatan (warning

system) , latihan dan simulasi dan mobilitas sumberdaya. Pengetahuan lebih banyak

untuk mengukur pengetahuan dasar mengenai bencana alam seperti ciri-ciri, gejala

dan penyebabnya. Perencanaan kedaruratan lebih ingin mengetahui mengenai

tindakan apa yang telah dipersiapakan menghadapi bencana alam. Sistem

peringatan di sini adalah usaha apa yang terdapat di masyarakat dalam mencegah

terjadinya korban akibat bencana dengan cara tanda-tanda peringatan yang ada.

Sedangkan mobilitas sumberdaya lebih kepada potensi dan peningkatan sumber

daya di masyarakat seperti melalui ketrampilan-ketrampilan yang diikuti, dana dan

lainnya. Menurut Jan Sopaheluwakan (2006) tingkat kesiapsiagaan masyarakat

dapat dikategorikan menjadi lima diantaranya :


13

Tabel 2.1 Nilai indeks kesiapsiagaan bencana (Sopaheluwakan, 2006)

No Nilai Indeks Kategori

1 80 – 100 Sangat siap

2 65 – 79 Siap

3 55 – 64 Hampir siap

4 40 – 54 Kurang siap

5 Kurang dari 40 Belum siap


Daftar Pustaka

Asharrante.2013.Analisis tingkat kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi


bencana alam tanah longsor di kelurahan battang barat kecamatan warra
barat kota palopo tahun 2012.Tidak diterbitkan. Thesis. Program
Pascasarjana Universitas Hassanudin Makasar
Caudil,kimberly.2011.Are student nurses ready for disaster?an analysis of
emergency preparedness content in Nursing school textbooks used in the
Miami Valley. Miami:Wright State University.
Dewi,Nurul Rucky Wursanti.2010.Kesiapsiagaan sumber daya manusia kesehatan
dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana banjir di Provinsi
DKI Jakarta tahun 2010.Tidak diterbitkan. Thesis. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Dodon.2013.Indikator dan perilaku kesiapsiagaan masyarakat di pemukiman padat
penduduk dalam antisipasi berbagai fase banjir.jurnal perencanaan wilayah
dan kota. Vol 24 no 2, hal 125-140.
Fatma, Ibrahim.2014.Nurses knowledge,attitude,practice and familiarity regarding
disaster and emergency preparedness.SciencePG:Vol.3(2).
Finnis, Kirsten K., David M, Johnston, Kevin R. Ronan et.al.2010. Hazards
Perceptions, and preparedness of Taranaki Youth. Disaster Prevention and
Management Journal. 19,(2).178.
Forum keperawatan bencana.2009.Keperawatan bencana.Banda Aceh:PMI dan
JRCS.
LIPI – UNESCO/ISDR, 2006, Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam
Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi & Tsunami. Deputi Ilmu Pengetahuan
Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia:Jakarta.
Nursalam.2013.Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 3.Jakarta:Salemba
Medika
Pangesti, Asih Dwi Hayu.2012. Gambaran Tingkat Pengetahuan dan aplikasi
Kesiapan Bencana pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia Tahun 2012. Tidak diterbitkan. Skripsi. Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
Paulsen, M. B., & Feldman, K. A. 2005. The Conditional and Interaction Effects of
Epistemological Beliefs On The Self-Regulated Learning of College Students:
Motivational Strategies. Research in Higher Education, Vol. 46, No. 7: 731-
768.
Santrock, John W. 2010. Psikologi Pendidikan (Edisi Kedua). Jakarta: Kencana
Syahirul, Masato, Nakazawa.2014.Evaluation of disaster preparedness training
and disaster drill for nursing student.Elsevier:Vol.35.

49
15

Shiwaku, Koichi et al. (2007). Future perspective of school disaster education in


Nepal. Journal of Disaster Prevention and Management. Emerald Group
Publishing, 16, (4), 2-10
Sinha, Abhinav, D.K. Pal, P.K. Kasar, et al. (2008). Knowledge, attitude, and
practice of disaster preparedness and mitigation among medical students.
Journal of Disaster Prevention and Management, 17, (4), 1.
Slavin, Robert E. 2008. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktek (Edisi
Kedelapan). Jakarta: PT Indeks
Sudiro.2014. Keefektifan simulasi manajemen kesiagaan bencana bidang
kesehatan terhadap peningkatan kemampuan perawat dan bidan. Jurnal
Terpadu Ilmu Kesehatan :Vol.3
Tanaka, Kazuko.2005. The Impact of Disaster Education on public preparation
and mitigation for earthquakes: A Cross Country Comparison Between
Fukui, Japan and the San Francisco Bay Area, California, USA. Journal of
Applied, Geography, 25,17
Usher, Kim dan Lidia Mayner. 2011. Disaster Nursing: a Descriptive Survey of
Australian Undergraduate nursing curricula. [serial online]
hhttp://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S157462671100036X
Diakses pada 12 Maret 2016
Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Jakarta.
Woolfolk, Anita. 2004. Educational Psychology (Ninth Edition). Boston: Allyn and
Bacon
Woolfolk, Anita. 2009. Educational Psychology: Active Learning Edition (Edisi
Sepuluh). Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Zimmerman, Barry J. 2000. Self-Efficacy: An Essential Motive to
Learn. Contemporary Educational Psychology. 25, 82–91.

Anda mungkin juga menyukai