Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia menjadi negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia
berdasar data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR). Tingginya posisi
Indonesia ini dihitung dari jumlah manusia yang terancam risiko kehilangan nyawa
bila bencana alam terjadi. Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman
bahaya tsunami, tanah longsor, gunung berapi. Dan menduduki peringkat tiga untuk
ancaman gempa serta enam untuk banjir. Bencana mempunyai arti sesuatu yang
menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan. Sedangkan
bencana alam artinya adalah bencana yang disebabkan oleh alam. Bencana alam
adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami dan aktivitas manusia, seperti
letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor dan lain-lain.
Karena ketidak berdayaan manusia, akibat kurang baiknya manajemen
keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan
struktural, bahkan sampai kematian. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada
kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka.
Pemahaman ini berhubungan dengan pernyataan bahwa bencana muncul bila
ancaman dan bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan. Dengan demikian, aktivitas
alam yang berbahaya tidak akan menjadi bencana alam di daerah tanpa
ketidakberdayaan manusia, misalnya gempa bumi di wilayah tak berpenghuni.
Konsekuensinya, pemakaian istilah “alam” juga ditentang karena peristiwa tersebut
bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan manusia. Besarnya potensi
kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran yang
mengancam bangunan individual sampai peristiwa tabrakan meteor besar yang
berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia.
Namun demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard)
serta memiliki kerentanan / kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan
memberi dampak yang hebat / luas jika manusia yang berada disana memiliki
ketahanan terhadap bencana (disaster resilience). Konsep ketahanan bencana
merupakan evaluasi kemampuan sistem dan infrastruktur-infrastruktur untuk
mendeteksi, mencegah & menangani tantangan-tantangan serius yang hadir.
Dengan demikian meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah
1
penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketetahanan terhadap bencana yang
cukup. Terjadinya bencana alam tidak dapat di prediksi. Oleh karena itu, dibutuhkan
surveilans untuk meminimalisir kerusakan dan korban. Surveilans bencana dilakukan
sebelum bencana terjadi, saat bencana dan sesudah terjadinya bencana.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana manajemen lingkungan kesehatan pada situasi bencana?

C. Tujuan
Mengetahui manajemen lingkungan kesehatan pada situasi bencana

D. Manfaat
1. Menambah pengetahuan dan wawasan pembaca dan penulis dalam hal
manajemen lingkungan kesehatan pada situasi bencana
2. Pembaca dapat menerapkan manajemen lingkungan kesehatan pada saat terjadi
bencana

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
A. Pengertian Bencana
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti sesuatu
yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau penderitaan.
Sedangkan bencana alam artinya adalah bencana yang disebabka n oleh alam .
Menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana
merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana, kerentanan, dan
kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian.
Bencana didefinisikan sebagai suatu gangguan serius terhadap
keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas
pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang
melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan
menggunakan sumberdaya mereka sendiri. Bencana merupakan hasil dari kombinasi:
pengaruh bahaya (hazard), kondisi kerentanan (vulnerability) pada saat ini,
kurangnya kapasitas maupun langkah- langkah untuk mengurangi atau mengatasi
potensi dampak negative.
Berikut ini adalah macam-macam bencana :
1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah langsor.
2. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan
teror.
Adapun kerentanan Indonesia terhadap bencana dipengaruhi oleh faktor-
faktor sebagai berikut (Ramli, 2010) :
1. Faktor Geografis
3
Wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau-pulau yang tersebar
diantara benua Asia dan Australia dan di tengah dua samudera
mengakibatkannya rawan terhadap bencana. Pengaruh iklim, badai
tropis, dan arus laut akan berpengaruh terhadap kerentanan
bencana.Pantai-pantai yang memanjang sepanjang samudera
menjadikan daerah Indonesia rawan terhadap bahaya gelombang pasang
dan tsunami.
2. Faktor Geologi
Dari sisi geologi, Indonesia juga merupakan kawasan yang rawan
terhadap berbagai bencana. Posisi geografis Indonesia terutama aspek
geologi berpengaruh besar. Indonesia tempat bertemunya lempeng
Australia, lempeng Asia, lempeng Pasifik, yang masing-masing
mempunyai gerakan sendiri dengan arah berbeda dan saling bergeser.
Kondisi ini mengakibatkan penumpukan energi yang jika tidak bisa
ditahan lagi akan menimbulkan gempa.
3. Faktor Hidometeorologi
Indonesia terdiri atas pulau-pulau yang dialiri oleh sungai-sungai yang
besar dan beraliran deras. Curah hujan di Indonesia sebagai suatu
kawasan tropis juga tergolong tinggi, khusunya dimusim penghujan.
Kondisi ini menimbulkan kerawanan untuk menimbulkan bahaya banjir,
tanah longsor, atau galodo.
Permasalahan mengenai bencana yang disebabkan oleh faktor-faktor di atas
tentunya akan menimbulkan kerugian-kerugian, entah kerugian berupa korban jiwa
maupun kerugian yang berupa kerusakan infrastruktur. Sehingga dalam
penanggulangan bencana peran yang dilakukan pemerintah yang menyangkut
kebijakan dan administrasi publik sangatlah besar. Bencana alam yang terjadi pada
masa dekade ini bukan dilihat dari apa penyebab dari bencananya namun dilihat dari
apakah dampak yang ditimbulkannya.
Bencana dapat terjadi karena faktor alam ataupun faktor manusia. Yang
termasuk bencana karena faktor alam (bencana alam) di antaranya adalah banjir,
gempa bumi, tanah longsor. Bencana alam seringkali tidak dapat dihindari dan tidak
dapat dicegah terjadinya sehingga dapat menimbulkan banyak korban. Sedangkan
yang termasuk bencana karena faktor manusia di antaranya adalah kebocoran bahan
kimia dan kebocoran nuklir. Akan tetapi adakalanya sulit untuk membedakan apakah
suatu bencana terjadi karena faktor alam ataukah manusia. Contohnya, banjir
4
maupun tanah longsor yang sering terjadi akhir-akhir ini diduga disebabkan
banyaknya penebangan liar hutan oleh masyarakat.
Bencana alam seringkali berakibat rusaknya lingkungan di sekitar tempat
tinggal manusia sehingga mempercepat berjangkitnya penyakit menular. Penyebaran
penyakit menular tersebut dapat terjadi dengan mudah melalui air yang kotor (water
borne diseases) atau persediaannya sangat terbatas (water washed diseases),
melalui udara pada penampungan pengungsi yang sangat padat (air borne diseases),
melalui makanan pengungsi (food borne diseases), dan lain-lain. Kesehatan
lingkungan merupakan faktor resiko kemungkinan terjadinya Kejadian Luar Biasa
(KLB) penyakit menular di tempat pengungsian. Dengan kata lain bencana alam
dapat menimbulkan masalah kesehatan masyarakat yang cukup serius bila kerusakan
lingkungan yang ditimbulkannya tidak segera ditangani dengan baik.
Datangnya gelombang besar pengungsi ke tempat-tempat yang dianggap
aman atau tempat penampungan seringkali merupakan awal dari keadaan darurat.
Pengungsian juga dapat terjadi akibat konflik di suatu daerah. Pada keadaan darurat
ini biasanya terjadi hal-hal yang serba mendadak dan di luar perkiraan. Tanggapan
darurat yang cepat dan tepat diperlukan untuk mencegah masalah tersebut.
Tanggapan Darurat dapat didefinisikan sebagai tindakan yang mendesak
dan tepat untuk menyelamatkan nyawa, menjamin perlindungan dan memulihkan
kesejahteraan para pengungsi. Dengan demikian penanganan korban tidak saja
dilakukan pada saat bencana terjadi, tapi juga pada pasca bencana untuk
memulihkan kesehatan, pendidikan, sarana dan prasarana yang rusak, serta
kehidupan sosial lainnya.
Tanggapan darurat bidang kesehatan lingkungan akan sangat terkait
dengan upaya pencegahan penularan penyakit menular. Data awal mengenai sarana
sanitasi yang rusak, tidak rusak, perlu perbaikan, dan perlu penambahan sangat
diperlukan untuk upaya ini.

B. Aspek Kesehatan Lingkungan


Siklus managemen disaster (bencana) terdiri dari pencegahan dan mitigasi,
kesiapsiagaaan, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.
1. Pencegahan dan Mitigasi

5
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencan. Proses mitigasi adalah beberapa tindakan yang
seharusnya diambil sebelum terjadinya suatu bencana dalam rangka pengurangan
resiko bencana yang terintegrasi dengan menggunakan system pengembangan
yang berkelanjutan /sustainable development (Haifani).Penanggulangan bencana
alam bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bencana dan dampak yang
ditimbulkannya. Karena itu, dalam penanggulangannya harus memperhatikan
prinsip-prinsip penanggulangan bencana alam.
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana disebutkan sejumlah prinsip penanggulangan yaitu:
a. Cepat dan Tanggap
Yang dimaksud dengan prinsip cepat dan tepat adalah bahwa dalam
penanggulangan bencana harus dilaksanakan secara cepat dan tepat
sesuai dengan tuntutan keadaan. Keterlambatan dalam penanggulangan
akan berdampak pada tingginya kerugian material maupun korban jiwa.
b. Prioritas
Yang dimaksud dengan prinsip prioritas adalah bahwa apabila terjadi
bencana, kegiatan penanggulangan harus mendapat prioritas dan
diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa manusia.
c. Koordinasi dan Keterpaduan
Yang dimaksud dengan prinsip koordinasi adalah bahwa
penanggulangan bencana didasarkan pada koordinasi yang baik dan
saling mendukung. Yang dimaksud dengan prinsip keterpaduan adalah
bahwa penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor secara
terpadu yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling
mendukung.

d. Berdaya Guna dan Berhasil Guna


Yang dimaksud dengan prinsip berdaya guna adalah bahwa dalam
mengatasi kesulitan masyarakat dilakukan dengan tidak membuang
waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang dimaksud dengan
prinsip berhasil guna adalah bahwa kegiatan penanggulangan bencana
6
harus berhasil guna, khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat
dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan.
e. Transparansi dan Akuntabilitas
Yang dimaksud dengan prinsip transparansi adalah bahwa
penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan prinsip akuntabilitas
adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan
dapat dipertanggung jawabkan secara etik dan hukum.
f. Kemitraan
Penanggulangan tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah.
Kemitraan dalam penanggulangan bencana dilakukan antara pemerintah
dengan masyarakat luas termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
maupun dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya. Bahkan,
kemitraan juga dilakukan dengan organisasi atau lembaga di luar negeri
termasuk dengan pemerintahannya.
g. Pemberdayaan
Pemberdayaan berarti upaya meningkatkan kemampuan masyarakat
untuk mengetahui, memahami dan melakukan langkah- langkah
antisipasi, penyelamatan dan pemulihan bencana. Negara memiliki
kewajiban untuk memberdayakan masyarakat agar mengurangi dampak
dari bencana.
h. Non Diskriminatif
Yang dimaksud dengan prinsip nondiskriminatif adalah bahwa negara
dalam penanggulangan bencana tidak memberi perlakuan yang berbeda
terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras dan aliran politik apapun.
i. Non Proletisi
Yang dimaksud dengan prinsip proletisi adalah bahwa dilarang
menyebarkan agama atau keyakinan pada saat keadaan darurat
bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan pelayanan darurat
bencana. Badan Penanggulangan Bencana dan Daerah yang selanjutnya
disebut BPBD adalah merupakan unsur pendukung dan pelaksana tugas
dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang penanggulangan
bencana dan perlindungan masyarakat terhadap bencana alam, non
alam dan sosial.
2. Kesiap siagaan
7
Menurut Undang-Undang RI No.24 Tahun 2007, kesiap siagaan adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui
pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna
(Presiden Republik Indonesia, 2007). Adapun kegiatan kesiapsiagaan secara
umum adalah : kemampuan menilai resiko, perencanaan siaga, mobilisasi
sumberdaya, pendidikan dan pelatihan, koordinasi, mekanisme respon,
manajemen informasi, gladi atau simulasi.
Kesiap siagaan adalah upaya yang dilaksanakan untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa,
kerugian harta benda, dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Sebaiknya
suatu kabupaten kota melakukan kesiap siagaan. Kesiap siagaan menghadapi
bencana adalah suatu kondisi suatu masyarakat yang baik secara invidu maupun
kelompok yang memiliki kemampuan secara fisik dan psikis dalam menghadapi
bencana. Kesiap siagaan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari manajemen
bencana secara terpadu. Kesiap siagaan adalah bentuk apabila suatu saat terjadi
bencana dan apabila bencana masih lama akan terjadi, maka cara yang terbaik
adalah menghindari resiko yang akan terjadi, tempat tinggal, seperti jauh dari
jangkauan banjir. Kesiap-siagaan adalah setiap aktivitas sebelum terjadinya
bencana yang bertujuan untuk mengembangkan kapasitas operasional dan
memfasilitasi respon yang efektif ketika suatu bencana terjadi.
Perubahan paradigma penanggulangan bencana yaitu tidak lagi memandang
penanggulangan bencana merupakan aksi pada saat situasi tanggap darurat
tetapi penanggulangan bencana lebih diprioritaskan pada fase pra bencana yang
bertujuan untuk mengurangi resiko bencana sehingga se mua kegiatan yang
berada dalam lingkup pra bencana lebih diutamakan.
Sesuai dengan yang disampaikan oleh Priyanto (2010) bahwa pada
masyarakat yang berpendidikan tinggi lebih mampu dalam mengurangi risiko,
meningkatkan kemampuan dan menurunkan dampak terhadap kesehatan
sehingga akan berpartisipasi baik sebagai individu atau masyarakat dalam
menyiapkan diri untuk bereaksi terhadap bencana. Aktifitas pendidikan disamping
untuk penyediaan informasi adalah mempelajari keterampilan dan pemberdayaan
diri sedemikian rupa sehingga mampu melakukan tindakan yang memungkinkan
untuk mengurangi resiko bahaya bencana.
Perkembangan baru kebijakan penanggulangan bencana dalam dekade
terakhir adalah memberikan prioritas utama pada upaya pe ngurangan resiko
8
bencana seperti kegiatan pencegahan, kegiatan mengurangi dampak bencana
(mitigasi) dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana (Bappenas, 2006).
Pada tingkat pengembangan dan pemeliharaan kesiapsiagaan, berbagai
usaha perlu dilakukan untuk mengadakan elemen-elemen penting seperti:
a. Kemampuan koordinasi semua tindakan (adanya mekanisme tetap
koordinasi)
b. Fasilitas dan sistim operasional
c. Peralatan dan persediaan kebutuhan dasar atau supply
d. Pelatihan
e. Kesadaran masyarakat dan pendidikan
f. Informasi
g. Kemampuan untuk menerima beban yang meningkat dalam situasi
darurat atau krisis.
3. Tahap Tanggap Darurat
Tahap ini telah selesai dilaksanakan oleh Pemerintah melalui BNPB, BPBD
serta LSM dan masyarakat baik lokal maupun internasional juga beberapa instansi
terkait di pusat. Tahap ini bertujuan membantu masyarakat yang terkena bencana
langsung untuk segera dipenuhi kebutuhan dasarnya yang paling minimal.
Sasaran utama dari tahap tanggap darurat ini adalah penyelamatan dan
pertolongan kemanusiaan. Dalam tahap tanggap darurat ini, diupayakan pula
penyelesaian tempat penampungan sementara yang layak, serta pengaturan dan
pembagian logistik yang cepat dan tepat sasaran kepada seluruh korban bencana.
Pada tahap ini berbagai upaya dilakukan untuk meminimalkan dampak buruk
dari bencana. Contoh-contoh kegiatan pada tahap ini adalah :
a. Pembuatan waduk untuk mencegah terjadinya banjir dan kekeringan
b. Penanaman pohon bakau atau mangrove di sepanjang pantai untuk
menghambat gelombang tsunami
c. Pembuatan tanggul untuk menghindari banjir
d. Pembuatan tanggul untuk menahan lahar agar tidak masuk ke wilayah
e. Reboisasi untuk mencegah terjadinya kekeringan dan banjir
Pada tahap tanggap darurat, hal yang paling pokok yang sebaiknya dilakukan
adalah penyelamatan korban bencana. Inilah sasaran utama dari tahapan tanggap
darurat. Selain itu, tanggap darurat bertujuan membantu masyarakat yang
terkena bencana langsung untuk segera dipenuhi kebutuhan dasarnya yang paling
minimal.
9
Para korban juga perlu dibawa ke tempat sementara yang dianggap ama n
dan ditampung di tempat penampungan sementara yang layak. Pada tahap ini
dilakukan pula pengaturan dan pembagian logistik atau bahan makanan yan cepat
dan tepat sasaran kepada seluruh korban bencana. Secara operasional, pada
tahap tanggap darurat ini diarahkan pada kegiatan :
a. Penanganan korban bencana termasuk mengubur korban meninggal dan
menangani korban yang luka-luka
b. Penanganan pengungsi
c. Pemberian bantuan darurat
d. Pelayanan kesehatan, sanitasi dan air bersih
e. Penyiapan penampungan sementara
f. Pembangunan fasilitas sosial dan fasilitas umum sementara serta
memperbaiki sarana dan prasarana dasar agar mampu memberikan
pelayanan yang memadai untuk para korban
4. Tahap Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik
atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana
dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua
aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.Tahap ini bertujuan mengembalikan dan memulihkan fungsi
bangunan dan infrastruktur yang mendesak dilakukan untuk menindaklanjuti
tahap tanggap darurat, seperti rehabilitasi bangunan ibadah, bangunan sekolah,
infrastruktur sosial dasar, serta prasarana dan sarana perekonomian yang sangat
diperlukan. Sasaran utama dari tahap rehabilitasi ini adalah untuk memperbaiki
pelayanan publik hingga pada tingkat yang memadai. Dalam tahap rehabilitasi ini,
juga diupayakan penyelesaian berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek
psikologis melalui penanganan trauma korban bencana.
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan
maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan
perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan
bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat
pada wilayah pascabencana. Tahap ini bertujuan membangun kembali daerah
bencana dengan melibatkan semua masyarakat, perwakilan lembaga swadaya
masyarakat, dan dunia usaha. Pembangunan prasarana dan sarana haruslah
10
dimulai dari sejak selesainya penyesuaian tata ruang (apabila diperlukan) di
tingkat kabupaten terutama di wilayah rawan gempa (daerah patahan aktif).
Sasaran utama dari tahap ini adalah terbangunnya kembali masyarakat dan
kawasan wilayah bencana.

Gambar 1 Siklus managemen disaster


Manajemen bencana merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek
perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah
terjadi bencana yang dikenal sebagai Siklus Manajemen Bencana (seperti terlihat
dalam Gambar Siklus Manajemen Bencana), yang bertujuan untuk mencegah
kehilangan jiwa, mengurangi penderitaan manusia, memberi informasi
masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko, serta mengurangi kerusakan
infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis.
Selain upaya yang bersifat preventif, perlu juga ada upaya-upaya yang
sifatnya represif. Tentunya upaya-upaya tersebut harus dikoordinasikan secara
baik dengan pemerintah. Beberapa contoh upaya-upaya tersebut adalah :
a. Melaksanakan tindakan darurat dengan mengutamakan keselamatan
manusia dan harta bendanya
b. Segera membentuk posko-posko penanggulangan bencana, regu
penyelamat, dapur umum, dan lain-lain
c. Melakukan pendataan terhadap faktor penyebab timbulnya bencana alam
maupun besarnya kemungkinan korban yang diderita untuk bahan
tindakan selanjutnya serta berkoordinasi dengan instansi- instansi terkait.
d. Sesuai dengan situasi dan perkembangan bencana alam serta kemajuan
yang dicapai dari upaya-upaya penanggulangan darurat, segera
menetapkan program rehabilitasi baik bidang fisik, sosial, dan ekonomi.

11
e. Perlunya melaksanakan sebuah program pemantapan terhadap semua
faktor kehidupan yang realisasinya dikaitkan dengan pelaksanaan
pembangunan demi terwujudnya konsolidasi dan normalisasi secara
penuh.
Disaster kesehatan (health disaster) adalah penurunan status kesehatan
masyarakat secara keseluruhan yang tidak sanggup diatasi. Ilmu kedokteran
disaster disebut juga humanitarian medicine yang merupakan cabang ilmu
kedokteran dalam artian bantuan kesehatan segera (emergency) dan aktivitas
kesehatan pada penanggulangan bencana tanpa memandang ideologi politik
maupun kenegaraan. Patofisiologi atau mekanisme kejadian disaster selalu
dimulai dengan hazard untuk menimbulkan bencana (event) dan apabila bencana
tersebut mengalami kontak dengan masyarakat dan lingkungan di tempat
kejadian (impact) akan berakibat kerusakan (damage) seperti pada algoritma
berikut. Manifestasi hazard akan berdampak pada kehidupan dan lingkungan yang
disebut bencana. Hazard dapat diartikan sebagai isyarat bahaya sebelum terjadi
bencana seperti turunnya binatang buas dari puncak gunung Merapi akibat
temperatur di daerah tersebut meningkat sebagai tanda gunung itu mulai aktif.
Hazard dapat juga diartikan sesuatu yang berakibat negatif terhadap kesehatan
manusia, perumahan, aktivitas dan lingkungan atau sesuatu yang membahayakan
sehingga dapat digolongkan sebagai berikut.
Dengan koondisi lingkungan, kelelalahan fisik, serta kecemasan psikologis,
pada saat terjadi banjir ataupun setelah banjir surut, umumnya akan muncul
berbagai jenis penyakit yang bisa menghinggapi masyarakat korban bajir.
Penyakit-penyakit tersebut, seperti: Diare, Cholera, Psikosomatik, Penyakit Kulit,
Penyakit Leptospirosis, Penyakit saluran Napas, dan banyak lagi lainnya.
a. Diare,

Diare merupakan penyakit yang paling sering terjadi saat bencana banjir
datang. Diare dapat menjangkit semua orang, baik anak-anak, remaja,
dewasa, bapak-bapak, ibu- ibu, dan orang tua. Gejala diare diantaranya adalah
mulut kering, mata cekung, perut kram dan kembung, mual dan muntah, sakit
kepala, keringat dingin dan demam. Jika ada diantara keluarga korban yang
menderita penyakit diare, sebaiknya segera dilakukan Pertolongan Pertama
Pada Diare, Me mberikan cairan gula dan garam agar dapat mengatasi
dehidrasi. Memberikan suplemen makanan yang dapat membantu stamina dan
mengembalikan fungsi organ-organ tubuh secara maksimal, Memberikan obat
12
anti diare yang dapat membantu. Menormalkan pergerakan saluran
pencernaan pada saat diare, melawan dehidrasi dan mencegah terjadinya kram
perut, obat yang biasa digunakan, misalnyha immudium, dan antibiotic.

b. Psikosomatik
Kondisi lingkungan yang berubah tiba-tiba dan merasakan kecemasan
orangtua. Demikian pula trauma karena kehilangan orang yang dicintai, atau
harta benda yang diperjuangkan dengan susa payah, meyebabkan perasaan
pilu yang luar biasa. Selanjutnya kondisi kecemsan itu akan menekan alam
bawah sadar maryakat, sehingga senantiasa merasa banjir akan datang lagi,
dan berbagai kondisi psikologis sebagai pencetus penyakit ini. Pencegahan dan
pengobatan gangguan ini dapat diatasi dengan pemberian makanan dan
minuman sehat yang cukup, serta istrihat yang cukup. Demikian pula dapat
diberikan obat anticemas, misalnya: Valium, Diazepam, dan berbagai suplemen
lainnya.
c. Penyakit Kulit
Pada umumnya menghinggapi atau menjangkiti para korban banjir. Penyakit
kulit ini disebabkan oleh infeksi kulit karena bakteri, virus atau jamur. Demikian
pula dapat diakibatkan oleh parasit, kutu, larva dan alergi kulit. Pencegahannya
dapat dilakukan dengan seminimal mungkin menghindari kontak langsung
dengan air dengan menggunakan sepatu boot. Jagalah kebersihan dan selalu
gunakan pakaian yang kering.

d. Leptospirosis
Penyakit ini diakibatkan oleh parasit bernama Leptospyra Batavie.
Penyebarannya melaui air yang tergenang dan bersumber dari air kencing
tikus, babi, anjing, kambing kuda, kucing, kelelawar dan serangga tertentu.
Penyakit ini terkenal dengan penyakit kencing tikus, parasit ini berbentuk
seperti cacing spiral yang sangat kecil. Gejala Leptospirosis Stadium awal,
demam tinggi, badan menggigil (kedinginan), mual, muntah, iritasi mata, nyeri
otot betis dan sakit bila tersentuh. Stadium dua, parasit membentuk antibodi
ditubuh sehingga mengakibatkan jantung berdebar debar dan tidak beraturan,
bahkan jantung bisa mengalami pembengkakan dan gagal jantung. Pembuluh
darah dapat mengalami perdarahan ke saluran pernapasan dan pencernaan
hingga bisa mengakibtkan kematian. Parasit dapat masuk melalui bagian tubuh

13
yang terbuka seperti luka. Pengobatan penyakit Leptospirosis dengan
pemberian antibiotik, misalya: doksisiklin, cephalosporin, dan obat-obat
antibiotik turunan quinolon. Demikian pula dapat diberikan penisilin, ampisilin
atau antibiotik lainnya yang serupa. Pemberian antibiotik sebaiknya secara
intrevena (infus.)
e. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
ISPA juga sangat banyak diderita oleh masyarakat korban bencana banjir.
Kondisi lingkungan yang buruk dan cuaca yang tak menentu, membuat
sejumlah pengungsi korban banjir mulai terserang penyakit. Gangguan infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA), berupa: flu, demam, dan batuk. Hal ini terjadi
karena asupan makanan, kurangnya air bersih, dan masih tingginya aktivitas
pengungsi guna mengecek rumah sekaligus mengambil barang-barang yang
tertinggal membuat daya tahan tubuh mereka cepat turun. Pada saat terserang
penyakit ISPA, sebaiknya penderita mengusahakan kondisi dalam keadaan
yang hangat, serta makan- makanan yang banyak mengandung energi, serta
perlu diberikan beberapa obat lainnya seperti parasetamol, antihistamin, dan
antibiotik jika terjadi infeksi bakteri.
f. Demam Berdarah
Saat musim hujan, terjadi peningkatan tempat perindukan nyamuk aedes
aegypti karena banyak sampah seperti kaleng bekas, ban bekas, dan tempat-
tempat tertentu terisi air sehingga menimbulkan genangan, tempat
berkembang biak nyamuk tersebut.
g. Penyakit Saluran Cerna Lain
Penyakit yang dimaksud misalnya seperti demam tifoid. Dalam hal ini,faktor
kebersihan makanan memegang peranan penting.
h. Memburuknya penyakit kronis
Hal ini hanya terdapat pada korban yang mempunyai penyakit ya ng
sebelumnya sudah diderita. Hal ini terjadi karena penurunan daya tahan tubuh
akibat musim hujan berkepanjangan, apalagi bila banjir yang terjadi selama
berhari-hari .

C. Aspek Penanggulangan
1. Tempat Pengungsian

Saat bencana terjadi tempat pengusian darurat akan menjadi tujuan semua
korban bencana. Untuk mengantisipasi masalah kesehatan lingkungan yang akan
14
timbul maka dalam memilih, melengkapi, atau memperbaiki tempat pengungsian
darurat sebaiknya melibatkan tenaga kesehatan dan ahli teknik pengairan. Di
samping itu, ketika merencanakan lokasi pengungsian darurat semestinya
dipertimbangkan juga dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan jangka panjang di
sekitar area tersebut (Wisner & Adams, 2002).

Tidak semua penduduk akan mengungsi ke tempat pengungsian bersama.


Kadang-kadang penduduk korban bencana mengungsi ke rumah saudara atau
tetangganya. Pada kondisi seperti ini perlu diinformasikan pada mereka bahwa
suplai air mungkin terkontaminasi dan air permukaan mungkin terkontaminasi
kotoran. Informasi mengenai metode sederhana penyaringan, sedimentasi,
penyimpanan, dan disinfeksi seharusnya diberikan. Perlu juga dilakukan
pendistribusian tablet klorinasi atau pemutih air untuk disinfeksi air di rumah. Hal
yang sangat penting pula adalah mengamankan air minum yaitu mulai dari
penyaringan, perebusan, disinfeksi, menyimpan dalam air tertutup, dan
sebagainya. Juga menginstruksikan pada mereka tentang pembuangan sampah
yang aman, tempat buang air besar, dan terapi rehidrasi oral bagi anak yang
terkena diare (Wisner & Adams, 2002).

2. Suplai Air
Prioritas utama di tempat pengungsian adalah menyediakan jumlah air yang
cukup, walaupun kualitasnya buruk, dan mencegah sumber air dari kontaminasi.
Suplai air seharusnya dilakukan dengan atau sebagai bagian dari program promosi
kesehatan yang bekerja sama dengan penduduk yang terkena dampak (Wisner &
Adams, 2002).
Kebutuhan dan ukuran kedaruratan suplai air jangka pendek mungkin
berbeda menurut komunitas desa atau semikota, situasi perkotaan dimana pusat
layanan air tersedia, populasi di pemindahan lokasi atau penampungan
sementara. Komunitas pedesaan biasanya kurang rentan terhadap terganggunya
suplai air saat bencana daripada komunitas perkotaan karena suplai air umumnya
terdesentralisasi dan menggunakan teknologi yang sederhana, dan seringkali
sumber alternatifnya ada. Namun bencana tertentu seperti banjir dan kekeringan
15
akan berdampak lebih besar pada area pedesaan dibandingkan area perkotaan.
Pada area perkotaan, prioritas seharusnya diberikan pada area kota yang suplai
airnya terganggu atau terkontaminasi, tapi tidak punya sumber alternatif (Wisner
& Adams, 2002).
Jumlah minimum air yang diperkenankan untuk perorangan untuk minum,
masak, dan kebersihan ditentukan oleh United Nations High Commisioner for
Refugees (1992), sebanyak 7 liter per hari per orang selama periode darurat
jangka pendek. Pada kebanyakan situasi, kebutuhan air mungkin lebih banyak
yaitu : 15-20 liter per hari per orang untuk penduduk umum, 20-40 liter per hari
per orang untuk beroperasinya sistem pembuangan kotoran, 20-30 liter per hari
per orang untuk dapur umum, 40-60 liter per hari per orang untuk rumah sakit
terbuka atau pusat pertolongan pertama, 5 liter per pengunjung untuk masjid, 30
liter per hari per sapi atau unta untuk hewan ternak, dan 15 liter per hari per
kambing atau hewan kecil lainnya. Tambahan 3-5 liter per orang per hari
dibutuhkan untuk minum dan masak, suplai air yang cukup penting untuk
mengontrol penyebaran penyakit yang ditransmisikan karena kurangnya
kebersihan (water washed diseases) bahkan jika suplai air tidak memenuhi
petunjuk kualitas air minum yang ditetapkan WHO atau standard nasional (Wisner
& Adams, 2002).

Air yang diduga terkontaminasi mikroorganisme harus direbus minimal 10


menit sebelum penggunaan. Air yang terkontaminasi bahan kimia, minyak atau
gasoline tidak dapat ditreatment dengan perebusan atau klorinasi. Karena itu jika
polusi air karena bahan kimia atau minyak terjadi sebaiknya air tidak digunakan
lagi, dan harus disediakan air dari sumber lain (Koren dan Bisesi , 2003).
Sesudah bencana, penilaian kerusakan sumber air yang tersedia dan
kebutuhan yang belum terpenuhi akan memudahkan tenaga kesehatan mengatur
sumber-sumber yang dibutuhkan.
3. Sanitasi
Feses manusia mengandung banyak organisme yang menyebabkan penyakit
meliputi virus, bakteri, dan telur atau larva dari parasit. Mikroorganisme yang ada
pada feses manusia mungkin masuk ke tubuh melalui makanan, air, alat makan
dan masak yang terkontaminasi atau melalui kotak dengan benda-benda yang
terkontaminasi. Diare, kolera, dan typhoid tersebar dengan cara ini dan penyebab
utama kesakitan dan kematian dalam bencana dan kedaruratan. Sedangkan urin
16
relatif kurang berbahaya, kecuali di area dimana schistosomiasis karena urin
terjadi (Wisner & Adams, 2002).
Sullage (sampah cair dari dapur, kamar mandi dan tempat cucian)
mengandung organisme yang menyebabkan penyakit, khususnya dari pakaian
kotor, tapi bahaya kesehatannya terjadi terutama ketika berkumpul di daerah
dengan pembuangan limbah yang buruk dan menjadi tempat berkembang
biaknya nyamuk Culex. Tikus, anjing, kucing, dan binatang lain yang mungkin
adalah carrier (reservoir) bagi organisme penyebab penyakit tertarik pada
makanan, pakaian, pembalut medis dan komponen lain sampah padat. Kumpulan
air hujan yang sedikit pada sampah padat dapat menjadi tempat berkembang biak
nyamuk Aedes (Wisner & Adams, 2002).
Hubungan antara sanitasi, suplai air, dan kesehatan secara langsung
dipengaruhi oleh perilaku kebersihan. Aspek perilaku ini penting sekali
dipertimbangkan saat memilih tehnik-tehnik yang ada sehingga fasilitas yang
disediakan dalam darurat dapat diterima dan digunakan dan dipelihara
kebersihannya oleh pengguna (Wisner & Adams, 2002).
Penyimpangan atau penampungan sampah hendaknya 1 tanki 100 L per 10
keluarga atau 50 orang. Untuk transportasi sampah dianjurkan 1 gerobak per 500
orang atau 1 tenaga pembuang sampah untuk 5000 orang. Sedangkan untuk
pembuangan akhir sampah 1 lubang (2m x 5m dan dalam 2 m) dan 1
pembakaran digunakan untuk 500 orang (Komisi Tinggi PBB untuk Urusan
Pengungsi. Thn).
4. Sistem Pembuangan
Karena rusaknya sistem pembuangan limbah maka sangatlah potensial terjadi
outbreak suatu penyakit. Dua jenis teknik yang dibutuhkan dalam situasi darurat
ini. Pertama, mengoperasikan kembali sistem pembuangan limbah sesegera
mungkin dan mendisinfeksi seluruh area dengan chlorine dimana buangan
mungkin sudah kontak dengan material dan struktur yang berhubungan dengan
manusia. Kedua, menyediakan privies sementara, toilet portable, dan holding
tanks untuk individual selama dan setelah bencana (Wisner & Adams, 2002).
Jumlah kakus, sebagaimana dianjurkan PBB, adalah 1 kakus per keluarga.
Namun apabila tidak memungkinkan bisa 1 kakus per 20 keluarga, bahkan 1
kakus per 100 orang (Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi. Thn)
5. Penguburan Jasad

17
Sebelum dilakukan pemakaman maka sedapat mungkin semua jasad
diidentifikasi dan dicatat hasilnya. Tingkat kematian saat bencana mungkin sekali
lebih tinggi dibanding dalam keadaan normal. Penguburan jasad merupakan cara
yang paling sederhana dan terbaik yang sejauh ini dapat diterima dan
dimungkinkan.
Saat menangani jasad, pekerja harus melindungi dirinya dengan sarung
tangan, penutup muka, sepatu lars dan baju kerja terusan. Sesudahnya pekerja
harus membersihkan diri mereka sendiri dengan sabun dan air (Komisi Tinggi PBB
untuk Urusan Pengungsi. Thn).
6. Keamanan Makanan
Makanan kemungkinan akan sulit didapat pada keadaan darurat atau setelah
bencana. Panen mungkin rusak di sawah, ternak tergenang, dan suplai makanan
terganggu, dan penduduk terpaksa menyelamatkan diri ke area dimana tidak ada
akses ke makanan. Lebih lanjut, keamanan semua makanan berakibat besarnya
risiko epidemi foodborne disease (Wisner & Adams, 2002).
Putusnya pelayanan vital, seperti suplai air atau listrik, juga sangat
mempengaruhi keamanan pangan. Kekurangan air minum dan sanitasi yang aman
menghambat penyiapan makanan secara higienis dan meningkatkan risiko
kontaminasi makanan. Makanan khususnya rentan terhadap kontaminasi ketika
disimpan dan disiapkan di luar atau di dalam rumah yang rusak dimana jendela
dan dinding mungkin tidak lagi utuh (Wisner & Adams, 2002).
Menyusul terjadinya bencana, penilaian mengenai efek bencana pada kualitas
dan keamanan makanan harus dibuat sebagai upaya untuk mengonttrol makanan.
Besarnya dan jenis kerusakan makanan harus dinilai, dan sebuah keputusan
dibuat mengenai pemisahan dan pengkondisian ulang makanan yang berhasil
diselamatkan (Wisner & Adams, 2002).
Jika panen sawah terkontaminasi kotoran manusia, seperti setelah banjir atau
kerusakan sistem pembuangan, penilaian harus dibuat segera untuk menilai
kontaminasi panen dan menetapkan tindakan, seperti menunda panen dan
memasak secara sepenuhnya, untuk mengurangi risiko transmisi patogen fekal
(Wisner & Adams, 2002).
WHO (1991) menetapkan Aturan Baku Penyiapan Makanan Secara Aman
sebagai berikut :
a. Masak makanan mentah sampai benar-benar matang
b. Makan makanan yang dimasak segera mungkin.
18
c. Siapkan makanan hanya untuk sekali makan
d. Hindari kontak antara makanan mentah dan makanan matang
e. Pilih makanan yang diproses untuk keamanan
f. Cuci tangan berulang-ulang
g. Jaga semua penyiapan makanan tetap bersih
h. Gunakan air bersih
i. Waspada dengan makanan yang dibeli di luar.
j. Berikan ASI pada bayi dan anak kecil.
Pada kondisi bencana biasanya didirikan banyak dapur umum. Penyiapan
makanan secara massal mempunyai banyak kekurangan yang meliputi transmisi
food borne disease. Karena itu penting bagi pengelola makanan dan supervisor
untuk ditraining pengolahan makanan secara aman dan Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP). Adalah penting sekali bahwa tenaga masak dan
sukarelawan yang menyiapkan makanan tidak menderita gejala berikut : jaundice
(kuning) , diare, muntah, demam, sakit tenggorokan (dengan demam), luka kulit
yang tampak terinfeksi (borok, luka, dan lain lain) atau ekskreta dari telinga, mata
atau hidung (Wisner & Adams, 2002).
Fasilitas yang dibutuhkan untuk dapur umum antara lain : suplai air, toilet
untuk staf dan pengguna, fasilitas cuci tangan, fasilitas untuk mengelola sampah
cair dan padat, meja, fasilitas untuk mencuci peralatan dapur, bahan yang cukup
dan sesuai untuk makan, kontrol terhadap rodent dan pes yang lain, serta
informasi keamanan makanan (Wisner & Adams, 2002).
Makanan beku yang tidak dibekukan lagi sebaiknya dibuang. Makanan yang
disimpan di lemari es yang disimpan di bawah 41° F dan belum terkontaminasi air
sungai atau yang lain atau bahan yang potensial berbahaya dapat digunakan
(Koren dan Bisesi , 2003).
7. Kontrol Pest dan Vektor
Selama situasi darurat dan periode sesudahnya, insekta dan rodent mungkin
meningkat dengan kecepatan tinggi. Peluang penyebaran penyakit meningkat
tajam. Karena sistem pembuangan rusak, rodent meninggalkan area ini dan
mencari sumber makanan lain. Yang jelas, setelah bencana, sampah padat yang
meliputi bahan-bahan yang bisa menjadi sumber makanan rodent berkumpul
(Koren dan Bisesi , 2003).
Bahaya infeksi yang serius mungkin meningkat ketika migrasi massal
membawa penduduk secara bersama-sama dari asal yang berbeda ke tempat
19
penampungan sementara yang sudah ada vektor penyakitnya. Pada kondisi
demikian, penduduk yang relatif carrier imun terhadap parasit dapat memulai
siklus penyebaran penyakit pada penduduk yang lemah dan penduduk yang jadi
korban tapi tidak kebal. Contoh outbreak penyakit yang diobservasi pada kondisi
demikian meliputi malaria (oleh nyamuk Anopheles), epidemic typhus (oleh kutu),
dan demam dengue (oleh nyamuk Aedes). Malaria adalah salah satu dari lima
penyebab kematian pada situasi darurat, dan di area endemik kontrolnya mungkin
menjadi salah satu prioritas kesehatan utama (Wisner & Adams, 2002).
Banjir dan hujan yang deras menimbulkan banyak genangan air yang
berakibat meningkatnya jumlah tempat perkembangbiakan nyamuk yang pada
akhirnya dapat menyebabkan outbreak penyakit. Karena menghilangkan
genangan air adalah sesuatu hal yang tidak mungkin maka perlu dilakukan
program penyemprotan secara massal (Koren dan Bisesi , 2003)

8. Kontrol Penyakit Menular dan Pencegahan Kejadian Luar Biasa

Lima penyakit penyebab kematian terbanyak saat keadaan darurat dan


bencana adalah diare, ISPA, measles, malnutrisi, dan malaria (pada daerah
endemik). Kepadatan penduduk, sanitasi dan higiene yang buruk, air minum yang
terkontaminasi, banyaknya tempat perkembangbiakan nyamuk merupakan faktor
risiko lingkungan terjadinya beberapa penyakit tersebut (Wisner & Adams, 2002).

Training bagi petugas kesehatan sebelum bencana terjadi dalam


mengidentifikasi dan menatalaksana penyakit tertentu, persiapan stok lokal bahan
dan alat untuk diagnosis dan terapi penyakit yang mungkin terjadi, perbaikan
sistem surveillans kesehatan, dan kesadaran penduduk yang terkena bencana
terhadap penyakit menular, dan rujukan segera ke fasilitas kesehatan dapat
meningkatkan kemampuan untuk mengontrol penyakit menular dan mencegah
kejadian luar biasa (Wisner & Adams, 2002).

D. Partisipasi Masyarakat
Pelibatan masyarakat (terutama korban bencana) penting untuk menurunkan
kerentanan terhadap bencana, untuk memfasilitasi pemulihan setelah bencana, dan
untuk menstimulasi organisasi masyarakat yang merupakan basis untuk

20
pembangunan berkelanjutan. Masyarakat hendaknya didorong untuk ambil bagian
dalam mengidentifikasi hazard yang mereka hadapi, dalam menilai kerentanan
mereka sendiri, dan dalam merencanakan jalan untuk meningkatkan kesiapan
mereka dalam bencana (Wisner & Adams, 2002).
Masyarakat pada umumnya lebih mengenal situasi dan kondisi lingkungan
setempat, mengetahui bagaimana perilaku dan kebiasaan, serta kebutuhan
masyarakat setempat korban bencana. Dengan melibatkan masyarakat setempat
maka program penanggulangan bencana yang ada akan lebih tepat sasaran, efektif,
dan efisien.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan
faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, keruian harta benda, dan dampak psikologisnya.
Pemilihan tehnik-tehnik yang akan dilakukan sebagai upaya mengatasi masalah
kesehatan lingkungan yang ada hendaknya juga memperhatikan aspek perilaku dan
kebiasaan masyarakat setempat, sehingga upaya yang dilakukan menjadi efektif dan
efisien. Untuk itu masyarakat perlu melibatkan dalam menangani masalah yang
mereka hadapi.

B. Saran
Dalam penanggulangan dan pencegahan bencana sangat dibutukan strategi dari
semua pihak pemerintah, masyarakat, bahkan swasta agar tercapainya tujuan dari
pencegahan dan penanggulangan bencana tersebut. Tahap rehabilitasi dan
21
rekontruksi harus benar-benar terealisasi dan dilakukan sebaik-baiknya supaya dapat
mengembalikan keadaan korban seperti semula.

DAFTAR PUSTAKA

Reza Pratama, dkk. 2014. Upaya-upaya penanggulangan bencana dan paradigma baru
penanggulangan bencana.
Hj. Murniati Muchtar, SKM,M. Biomed. 2017. Aspek kesehatan penanggulangan bencana
Agung Krisando Adi. 2017. Konsep dasar manajemen bencana
Rachmadhi Purwana. 2013. Manajemen Kedaruratan Kesehatan Lingkungan Dalam Kejadian
Bencana. PT Raja Grafindo Persada
Widayatun dan zaenal fatoni. 2013. Permasalahan kesehatan dalam kondisi bencana : peran
petugas kesehatan dan partisipasi masyarakat. Jurnal Kependudukan Indonesi.
Vol.8 No 1 Tahun 2013

22

Anda mungkin juga menyukai