A. Defenisi Bencana
Bencana adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan
ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan
yang bermakna sehingga memerlukan bantuan yang laur biasa dari pihak luar (Depkes RI, 2001
dalam Efendi, 2009).
Sedangkan menurut WHO dalam Zailani dkk (2009) bencana adalah suatu fenomena secara
tiba-tiba yang membawa dampak yang sangat parah pada lingkungan, tempat tinggal dan
memerlukan bantuan dari luar komunitas lokasi kejadian. Bencana juga bisa di artikan sebagai
kehancuran berat pada fungsi masyarakat yang menimbulkan jatuhnya korban, kerugian materi
dan lingkungan dalam ruang lingkup yang luas dan melebihi kemampuan merespon hanya
dengan memamfaatkan sumber yang dimiliki oleh masyarakat yang dilanda kerusakan (Hogan,
2002 dalam Zailani dkk, 2009).
Kesimpulannya bencana itu adalah kondisi dimana fenomena alam yang tidak normal dan
peristiwa akibat ulah manusia menjadi penyebab munculnya kerugian dan membawa dampak
yang besar terhadap nyawa atau kesehatan dan kehidupan orang banyak, bahkan jiwa seseorang.
B. Hazard
Hazard adalah suatu keadaan yang bersifat kualitatif yang mempunyai pengaruh terhadap
frekuensi kemungkinan terjadinya kerugian ataupun besarnya jumlah dari kerugian yang
mungkin terjadi. Fenomena atau kondisi yang menjadi yang menjadi penyebab bencana disebut
hazard. Selain fenomena alam seperti gempa atau hujan badai, termasuk juga kecelakaan
pesawatatau kereta api dan peristiwa ledakan bom atau kebakaran skala besar. Lalu, perang
konflik yang terjadi di tiap-tiap wilayah diseluruh dunia, aksi teror bahkan wabah penyakit.
Hazard juga bisa berarti kondisi yang membawa pengaruh yang buruk terhadap manusia atau
harta, aktivitas, dan keadaan akibat ulah manusia atau fenomena alam yang jarang dan darurat
(PBB dalam Zailani dkk, 2009).
Hazard terbagi 2 jenis yaitu physical hazard dan moral hazard. Physical hazard adalah suatu
keadaan yang berkaitan dengan aspek pisik dari suatu benda, baik benda yang dipertanggungkan
maupun benda yang berdekatan. Sedangkan Moral Hazard Adalah keadaan yang berkaitan
dengan sifat, pembawaan dan karakter manusia yang dapat menambah besarnya kerugian
dibanding dengan risiko rata-rata. Ciri-ciri moral hazards adalah sulit diidentifikaskan, namun
kadang-kadang tercermin dari keadaan-keadaan tertentu seperti, tidak rapi, tidak bersih, keadaan
dimana peraturan keamanan / keselamatan kerja tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya (tidak
disiplin). Ciri lain dari moral hazards ialah sulit diperbaiki/dirubah, karena menyangkut sifat,
pembawaan ataupun karakter manusia.
C. Vulnerability
Vulnerability atau kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau masyarakat
yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi ancaman atau bahaya dari potensi bencana
untuk mencagah, menjinakkan, mencapai kesiapan dan menanggapi dampak bahaya tertentu.
Dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana Pasal 55 dan penjelasan Pasal 26 Ayat 1,
disebutkan bahwa masyarakat rentan bencana adalah bayi, balita, anak-anak, ibu hamil, ibu
menyusui, penyandang cacat dan lanjut usia. Menurut Efendi (2009) kerentanan ini mencakup
kerentanan fisik, ekonomi, sosial, dan perilaku yang ditimbulkan oleh beragam penyebab.
1. Kerentanan fisik
Kerentanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya tertentu,
misalnya kekuatan bangunan rumah bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawat
gempa dan tanggul pengamanan banjir baggi masyarakat yang tinggal di bataran sungai.
2. Kerentanan ekonomi
Kemampuan individu atau masyarakat dalam pengalokasian sumber daya utuk
pencegahan dan mitigasi serta penanggulangan bencana. Pada umumnya, masyarakat
miskin dan kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya karena tidak memppunyai
kemampuan finansial yang memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau mitasi
bencana.
3. Kerentanan Sosial
Kondisi sosial masyarakat dilihat dari aspek pendidikan, pengetahuan tentang ancaman
bahaya dan resiko bencana serta tingkat kesehatan yang rendah juga berpotensi
meningkatkan kerentanan.
4. Kerentanan Lingkungan
Keadaan lingkungan di sekitar masyarakat tinggal. Misalnya, masyarakat yang tinggal di
lereng bukit atau lereng pegunungan rentan terhadap ancaman bahaya tanah longsor,
sedangkan masyarakat yang tinggal di daerah sulit air akan rentan terhadap bencana
kekeringan.
D. Jenis Bencana
Usep salahuddin (2005) dalam Efendi (2008) mengelompokkan bencana menjadi dua jenis,
yaitu:
1. Bencana alam
Yaitu kajadian-kejadian alami seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus, badai,
kekeringan, wabah, serangan serangga dan lain-lain.
2. Bencana ulah manusia
Yaitu kejadian-kejadian akibat ulah manusia seperti tabrakan pesawat udara atau
kendaraan, kebakaran, perang, sabotase, ledakan bom, gangguan listrik, gangguan
komunikasi, dan lain-lain.
Sedangkan berdasarkan cakupan wilayahnya, bencana terdiri atas:
1. Bencana lokal
Bencana ini memberikan dampak pada wilayah sekitarnya yang berdekatan. Bencana
yang terjadi pada sebuah gedung atau bangunan-banguan di sekitarnya. Biasanya akibat
ulah manusia seperti kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran zat kimia berbahaya dan
lain-lain.
2. Bencana regional
Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area geografis yang cukup
luas, dan biasanya disebabkan oleh faktor alam seperti badai, banjir, letusan gunung, dan
lainnya.
E. Fase-fase Bencana
Menurur Barbara Santamaria (1995) ada tiga fase dalam proses bencana, yaitu fase pre-
impact, impact, dan post-impact.
1. Pre-Impact
Merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat dari badan satelit
dan meteorologi cuaca, durasi waktunya mulai saat sebelum terjadi bencana sampai
tahap serangan atau impact. Tahap ini dipandang oleh para ahli sebagai tahap yang
sangat strategis karena pada tahap pra bencana ini masyarakat perlu dilatih tanggap
terhadap bencana yang akan dijumpainya kelak. Latihan yang diberikan kepada petugas
dan masyarakat akan sangat berdampak kepada jumlah besarnya korban saat bencana
menyerang (impact), peringatan dini dikenalkan kepada masyarakat pada tahap pra
bencana.
2. Impact
Merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dari manusia untuk
bertahan hidup. Fase ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan pemberian bantuan-
bantuan dilakukan. Masyarakat yang menjadi korban saat terjadi serangan, bila
dipersiapkan sejak tahap pra-disaster maka korbannya tidak sebanyak bila dipersiapkan
dengan cermat. Contohnya peristiwa tsunami di Aceh, karena masyarakat tidak
dipersiapkan saat terjadi gempa dan air laut menyurut, mereka malah pergi berlarian
dengan riangnya ke arah laut. Tetapi beberapa menit kemudian (sekitar 30 menit), ombak
setinggi sepuluh meter dan semakin meninggi dengan kecepatan diatas 100 km perjam
berlari menuju daratan. Apa yang terjadi, sudah bisa dipastikan hampir 100% masyarakat
yang berada di sekitar pantai tersebut menghilang digulung ombak.
Situasi seperti ini tidak akan terjadi bila masyarakat dilatih pada tahap pra-disaster, bila
gempa dan air laut surut maka segera lari cari perlindungan dibalik bukit. Maka akan
banyak yang selamat dan menelan sedikit korban.
3. Post-Impact
Merupakan saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat, juga tahap
dimana masyarakat mulai kembali pada fungsi komunitas normal. Secara umum, pada
fase post-impact ini para korban akan mengalami tahap respons psikologis mulai dari
penolakan (denial), marah (angry), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression),
hingga penerimaan (acceptance)
F. Level Bencana
1. Level I
Persiapan kompetensi emergensi, adekuat kapasitas dalam organisasi yang dipersiapkan
untuk merespon keadaan emergensi secara rutin.
2. Level II
Adanya kerjasama antara organisasi dan komunitas sekitar dan dibutuhkan adanya
dukungan lokal
3. Level III
Adanya kerjasama adekuat antara beberapa negara/organisasi, adanya rantai komando
komunikasi untuk memperoleh bantuan dari negara tersebut.
G. Dampak Bencana
Peristiwa bencana dalam bentuk apapun akan menimbulkan dampak negatis yang merugikan
manusia dan perlu segera diantisipasi agar akibat negatif yang diderrita oleh masyarakat tidak
berkepanjangan.
1. Dampak fisik
2. Dampak psikologis
3. Dampak psikososial
4. Dampak spiritual
Bencana alam yang melanda suatu daerah dapat mengakibatkan terganggunya ketenangan
dan pola hidup masyarakat. Dalam hal tertentu, bencana alam mammpu menghancurkan harapan
hidup anggota masyarakat. Mereka kehilangan sebagian atau semua kekayaan yang dimiliki baik
yang berbantuk benda hidup seperti anggota keluarga, ternak dan tanaman maupun benda mati
seperti rumah, ladang dan sawah tempat mereka menggantungkan hidupnya.
Bencana alam pasti menimbulkan penderitaan bagi masyarakat. Keadaan kehidupan sosial
masyarakat berubah menjadi kurang menguntungkan dan memerlukan bantuan warga
masyarakat yang lain yang kebetulan tidak mengalami bencana serta memiliki harta, yang
memiliki rasa belas kasihan dan sukarela membantu.
Dampak bencana alam terhadap kehidupan sosial masyarakat dapat dikurangi apabila setiap
anggota masyarakat menyadari betapa pentingnya hidup berdampingan, bergotong-royong,
saling membantu, dan menghilangkan rasa saling curiga.
Bahaya ( Hazards ) adalah fenomena alam yang luar biasa yang berpotensi merusak atau
mengancam kehidupan manusia, kehilangan harta-benda, kehilangan mata pencaharian,
kerusakan lingkungan. Misal : tanah longsor, banjir, gempa-bumi, letusan gunung api,
kebakaran dll;.
Kerentanan (vulnerability) adalah tingkat kerugian yang berdampak pada nyawa ataupun
kehidupan ketika terjadi hazard, dapat dikurangi dengan peningkatan kapasitas respon
penduduk local dan masyarakat. Faktor alami dapat berupa geografis, geologi, cuaca, iklim,
dan lain-lain) serta faktor social yaitu kerentanan akibat ulah/perbuatan manusia. Kerentanan
dan faktor alami dapat berupa geografis, geologi, cuaca, iklim, dan lain-lain. Sedangkan dari
faktor social (kerentanan akibat ulah/perbuatan manusia) dapat berupa pembangunan di
daerah berbahaya (bahaya miring), pesatnya urbanisasi dan jumlah penduduk, kerusakan
lingkungan dan kemiskinan.
I. Reaksi Bencana
1. Emotional
Depresi, kesedihan, irritabel, marah, anxiety, takut, putus asa, tidak ada harapan, merasa
bersalah, keraguan diri, dan perubahan mood.
2. Behavior
Ganguan tidur, denial, menangis, aktivitas berlebihan, meningkatkan konflik keluarga
dan isolasi diri
3. Cognitive
Bingung, disorientasi, mimpi buruk, gangguan konsentrasi, kesulitan mengambil
keputusan
4. Physical
Fatigue, kelelahan, gastrointestinal distress, perubahan nafsu makan, kaku pada
kerongkongan dan keluhan somatik lainnya.
Manajemen bencana
A. Pengertian
Manajemen bencana adalah sebuah disiplin yang membutuhkan persiapan, dukungan dan
pembangunan kembali masyarakat ketika bencana alam atau buatan terjadi. Ini merupakan
proses berkelanjutan dengan seluruh individu, kelompok, dan komunitas mengatasi bahaya
untuk mengurangi dampak dari bencana. Tindakan yang diambil tergantung pada resiko yang
didapatkan setelah pengkajian. Keefektifan manajemen kegawat daruratan tergantung pada
integrasi program kegawat daruratan pada semua level pemerintah dan non- pemerintah
(Rajdeep Dasgupta, 2007).
1. Mitigasi
Mitigasi bertujuan untuk mencegah bahaya dari mulai dari pengembangan sampai
terjadinya bencana, atau untuk mengurangi efek dari bencana ketika terjadi. Fase mitigasi
berbeda dengan fase yang lainnya karena berfokus pada pengurangan resiko jangka
panjang (Rajdeep Dasgupta, 2007)..
2. Persiapan (preparedness)
3. Respon
Fase respon termasuk memindahkan pertolongan gawat darurat ketempat terjadinya
bencana, seperti pemadam kebakaran, polisi, relawam dan organisasi diliau pemerintahan
(NGOs). Pernecanaan kgawat darurat ini bertujuan mendapatkan hasil yang optimal
meski dengan sumber daya yang sedikit. Pada fase respon ini juga dilakukan triase untuk
korban bencana (Rajdeep Dasgupta, 2007)..
4. Pemulihan.
Tujuan dari fase pemulihan adalah untuk mengembalikan area yang mengalami
bencana ke kondisi awal. Fase ini berbeda dengan fase respon, fase ini berfokus pada
kebutuhan pemulihan yang tergantung pada isu dan keputusan yang harus dibuat setelah
kebutuhan utama dipenuhi. Fase pemulihan berfokus pada pembangunan kembali
property yang rusak, dan memperbaiki infrastruktur (Rajdeep Dasgupta, 2007).
Model manajemen bencana ini membagi tahap kegiatan di sekitar bencana. Terdapat
kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan sebelum bencana, selama bencana terjadi, dan
setelah bencana. Model ini seringkali digabungkan dengan disaster management
continuum model.
3. Contract-expand model
Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-tahap yang ada pada manajemen bencana
(emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan early
warning) semestinya tetap dilaksanakan pada daerah yang rawan bencana. Perbedaan
pada kondisi bencana dan tidak bencana adalah pada saat bencana tahap tertentu lebih
dikembangkan (emergency dan relief) sementara tahap yang lain
seperti rehabilitation, reconstruction, dan mitigation kurang ditekankan.
Perawatan medis untuk sejumlah besar koerban kemungkinan diperlukan hanya setelah
terjadinya bencana. Kebanyakan cedera tertahan selama berlangsungnya dampak sehingga
kebutuhan terbesar bakan layanan kedaruratan muncul pada beberapa jam pertama. Banak
nyawa yang tidak tertolong karena sumber daya setempat tidak digerakkan dengan cepat.
Pengelolaan korban massal terbagi kedalam tiga area : layanan kedaruratan pra-rumah
sakit (pencarian dan penyelamatan, pertolongan pertama, triase dan stabilisasi korban);
penerimaan dan perawatan di rumah sakit, dan retribusi pasien ke rumah sakit lain jika
diperlukan.
b) Perawatan di lapangan
Idealnya, pemindahan koban kerumah sakit tidak dilakukan dengan cara besar-
besaran, dan pasien harus menerima perawatan memadai di lapangan, yang
memungkinkan mereka menoleransi adanya penundaan.
c) Triase
jika kuantitas dan keseriusan cedera membebani kapasitas operasi fasilitas kesehatan,
sebuah pendekatan yang berbeda pada perawatan medis harus dilakukan. Prinsip “ dating
pertma, diobati pertama”, yang diterapkan pada perawatan medis rutin tidak tepat untuk
diterapkan dalam kedaruratan massal. Triase terdiri atas upaya klasifikasi kasus cedera
secara cepat berdasarkan keparahan cedera mereka dan peluang kelangsungan hidup
mereka melalui pemberian intervensi medis segera.
d) Tanda pengenal
Semua pasien harus diidentifikasi dengan tanda pengenal yang menyatakan nama,
usia, jenis kelamin, tempat asal, kategori triase, diagnosis, dan pengobatan awal mereka.
Jika fasilitas layanan kesehatan di daerah bencana mungkin hancur dan mendapatkan
tekanan dari korban massal, fasilitas yang berada di luar daerah mungkin dapat
menanggulangi beban kerja yang jauh lebih besar atau memberikan layanan medis
spesialis. Keputusan untuk memindahkan pasien keluar dareah bencana harus
dipertimbangkan dengan cermat karena evakuasi yang tidak terencana dan mungkin
tidak diperlukan justru dapat menimbulkan dan bukan menyelesaikan banyak masalah
(Pan American Health Organization, 2006).
Menurut Rafdiana & Chaidir (2011) penilaian atau analisis risiko bencana bertujuan
untuk mengidentifikasi wilayah bewrdasarkan tingkat resikonya terhadap bencana. Hasil
analisis menjadi acuan dalam perumusan tindakan prioritas pengurangan resiko bencana.
Besar atau kecilnya dampak dalam sebuah bencana diukur dari korban jiwa, kerusakan
atau biaya-biaya kerugian yang ditimbulkannya. Namun demikian, dalam upaya
pengurangan resiko bencana, dampak sebuah bencana dapat di prediksi dengan
mengidentifikasi beberapa hal dibawah ini:
a) Ancaman/bahaya (Hazard)= H
Ancaman atau bahaya adalah fenomena atau situasi yang memiliki potensi untuk
menyebabkan gangguan atau kerusakan terahdap orang, harta benda, fasilitas
maupun lingkungan. Sebaliknya bencana merupakan suatu peristiwa akibat ulah
manusia maupun alam, tiba-tiba maupun bertahap menyebabkam kerugian yang
luas pada manusia, materi, maupun lingkungan.
b) Kerentanan (Vulnerability)= V
Kerentanan merupakan suatu kondisi yang menurunkan kemampuan seseorang
atau komunitas masayarakat untuk menyiapkan diri, bertahan hidup, atau
merespon potensi bahaya. Kerentanan masyarakat secara kultur dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti kiemiskinan, pendidikan, social dan budaya. Selanjutnya
aspek infrastruktur yang juga berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kerentan.
c) Kapasitas (capacity)= c
Kapasitas adlaah kekuatan dan sumber daya yang ada pada tiap individu dan
lingkungan yang mampu mencegah, melakukan mitigasi, siap menghadapi dan
pulih dari akibat bencan dengan cepat.
d) Risiko Bencana (Risk)= R
Risiko bencana merupakan interaksi tingkat kerentanan dengan bahaya yang ada.
Ancaman bahay alam bersifat tetap karena bagian dari dinamika prose salami,
sedangkan tingkat kerentanan dapat dikurangi sehingga kemampuan dalam
menghadapi ancaman bencana semakin meningkat.
Penilaian resiko atau analisa resiko adalah survey yang dilakukan terhadap bahaya
yang baru terjadi disebabkan oleh suatu peristiwa alam yang ekstrim seperti yang
baru terjadi juga pada kerentanan local dari populasi yang didasari atas kehidupan
untuk memastikan resiko tertentu di wilayah. Berdasarkan informasi ini resiko
bencana dapat dikurangi (Rafdiana & Chaidir, 2011).
Pengelolaan resiko bencana (Disaster risk management) secara teknis terdiri dari
tindakan (program, proyek atau prosedur) serta pengadaan perlatan yang
dipersiapkan untuk menghadapi dampak dan akibat dari suatu bencana sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan, yaitu untuk mengurangi resiko bencana yang
ditimbulkannya. Secara operasional, pengelolaan resiko bencana adalah kegiatan
yang terdiri dari penilaian resiko, pencegahan bencan, mitigasi dan waspada
bencana (Rafdiana & Chaidir, 2011).
e) Prinsip-prinsip
Menurut Rafdiana & Chaidir (2011).Dalam menganalisis resiko terdapat beberapa
prinsip yang harus dipatuhi, prinsip-prinsip tersebut adalah:
1) Transparan
Prinsip ini mensyaratkan agar seluruh potensi resiko yang ada pada suatu
daerah dapat dijabarkan secara terbuka. Resiko yang tersembunyi atau
disembunyikan akan menjadi sumber permasalahan dan hasil analisi tidak
akan total.
2) Akurat dan terukur
Melakukan analisi risiko harus akurat dan terukur, sesuai dengan kenyataan
sebenarnya (realitis), untuk itu diperlukan alat untuk melakukan analisis
risiko tersebut, misalnya data penduduk, peta wilayah, data sejarah bencan,
observasi ke lapangan.
3) Bebas dan netral
Hasil analisis risiko yang akurat idealnya sesuai dnegan kenyataan dan tidak
boleh ada intervensi kepentingan-kepentingan tertentu yang menghambat
hasil akhir dari analisi risiko bencana.
4) Partisipasi
Keterlibatan aktif dari seseorang, atau kelompok orang (masyarakat) untuk
berkontribusi secara sukarela dalam analisis risiko dan terlibat mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai pada tahap evaluasi.
5) Kebijakan nasional dalam pengurangan risiko bencana
Pada tahapan tanggap darurat, kegiatannya mencakup pengkajian lokasi, kerusakan danm
sumber daya; penentuan status keadaan daruarat; penyelamatan dan evakuasi korban;
pemenuhan kebutuhan dasar (air bersih, sanitasi, oangan, sandang, pelayanan kesehatan,
pelayanan psikososial dan penampungan dengan hunian); perlindubgan kelompok rentan
(prioritas bagi kelompok rentan) serta oemulihan prasarana dan sarana vital (Efendi &
Makhfudli, 2009).
Pada tahapan pasca bencan, mencakup kegiatab rehabilitasu (pemulihan daerah bencana,
prasarana dan sarana umum, bantuan perbaikan rumah, social psikologis, pelayanan
kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik, social ekonopmi dan budaya, keamanan dan
ketertiban, fungsi pemerintahan dan pelayanan public) dan rekonstruksi (pembangunan,
pembangkitan dan peningkatan berbagai sarana dan prasarana termasuk fungsi pelayanan
public) (Efendi & Makhfudli, 2009).
Landasan penyelenggaran PRB adalah resolusi PBB Nomor 63 Tahun 1999 tentang
International Strategy for Disaster Reduction (ISDR), The Yokohama Strategy tahun 1994,
Hyogo Framework for Action tahun 2005 serta Beijing Action. Sedangkan secara nasional
telah diterbitkan rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana (RAN PRB) tahun
2006 di samping Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.
Prinsip dasar PRB mengacu pada The Yokohama Stratefy yang meliputi berikut ini:
Perencanaan bencana yang efektif dalam menangani masalah yang ditimbulkan oleh
berbagai peristiwa potensial, mulai dari skala insiden korban massal , seperti tabrakan
kendaraan bermotor dengan beberapa korban , banjir besar atau kerusakan gempa bumi ,
konflik bersenjata dan tindakan terorisme . Perencanaan bencana kontinuum memiliki
cakupan yang luas, dan harus ada kerjasama antar lembaga organisasi dan persiapan lanjutan
, serta penilaian kebutuhan , manajemen bencana , dan upaya pemulihan . Meskipun perhatian
publik sering berfokus pada korban medis , sangat penting untuk mempertimbangkan
berbagai faktor lain saat rencana bencana dan tanggapan bencana dirancang dan
dikembangkan . Partisipasi perawat dalam semua fase perencanaan bencana sangat penting
untuk memastikan bahwa perawat menyadari dan siap menghadapi berbagai faktor lain.
Individu dan organisasi yang bertanggung jawab untuk rencana bencana harus
mempertimbangkan semua kemungkinan kebutuhan sanitasi, kebutuhan psikososial dari
penduduk yang rentan , prosedur evakuasi untuk bangunan dan wilayah geografis ,.
Penyelesaian proses perencanaan bencana harus menghasilkan hasil bencana menyeluruh
atau " rencana operasi darurat” (Veenema, 2007)
Keperawatan bencana
A. Pengertian
Mengacu pada ICN, pengertian kompetensi yang digunakan dalam kerangka kerja untuk
perawat generalis adalah tingkat kemampuan yang harus dimiliki oleh perawat untuk
melakukan suatu tugas atau pekerjaan yang ditujukkan melalui penerapan pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap kerja yang sesuai dengan unjuk kerja yang dipersyaratkan (ICN
(1997) didalam Nursalam & Efendy (2008)
Dengan menguasai kompetensi tersebut, maka perawat akan mampu melakukan hal-hal
berikut ini :
Dalam kerangka kerja ICN, kompetensi untuk perawat generalis dikelompokkan menjadi tiga
kompetensi utama, yaitu :
Menurut Nursalam & Efendy (2008), Ada empat hal yang merupakan karakteristik
kompetensi, yaitu :
a. Motif
Motif adalah sesuatu yang secara konsisten dipikirkan atau diinginkan oleh seseorang
yang menyebabkan munculnya suatu tindakan. Motif akan mengarahkan atau
menyeleksi sikap menjadi tindakan atau tujuan sehingga lain dari yang lain.
b. Bawaan
Bawaan dapat berupa karakteristik fisik atau kebiasaan seseorang dalam merespon
suatu situasi atau informasi tertentu. Contoh kompetensi bawaan adalah bertindak
cepat dan tepat yang diperlukan oleh perawat gawat darurat. Pengendalian emosi diri
dan inisiatif yang tinggi merupakan kebiasaan merespon yang baik untuk perawat
jiwa.
c. Pengetahuan akademik
Perawat harus memiliki informasi pada area yang spesifik. Pengetahuan merupakan
kompetensi yang kompleks. Skor pada tes pengetahuan seringkali kurang bermanfaat
untuk memprediksi kinerja seseorang ditempatnya bekerja karena sulitnya mengukur
kebutuhan pengetahuan dan keahlian yang secara nyata digunakan dalam pekerjaan.
Pengetahuan akan dapat memprediksi apa yang dapat dilakukan seseorang, bukan apa
yang akan dilakukan.
d. Keahlian
Keahlian (skil) kemampuan untuk melakukan aktifitas fisik dan mental. kompetensi
keahlian mental atau kognitif meliputi pemikiran analitis (memproses pengetahuan
atau data, menentukan sebab dan pengaruh, serta mengorganisasindata dan rencana)
juga pemikiran konseptual (pengenalan pola data yang kompleks).
Jersey: Wiley.
Japanese Red Cross Society & PMI. 2009. Keperawatan Bencana. Banda Aceh : Forum
Keperawatan Bencana
Pan Helath Organization. 2006. Bencana Alam: Perlindungan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta:EGC.
Efendi, F & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik Dalam
Rafdiana, M & Chaidir, Z. (2011). Modul Pelatihan Analisis Risiko Bencana (Untuk Wilayah
Biological, and Radiological Terrorism and Other Hazards (2 nd Ed.). New York: Springer
Publishing Company.
Grimaldi, M.,E. (2007) ETHICS: Ethical Decisions in Times of Disaster: Choices Healthcare