A. Defenisi Bencana
Bencana adalah peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan
ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan pelayanan kesehatan
yang bermakna sehingga memerlukan bantuan yang laur biasa dari pihak luar (Depkes RI, 2001
dalam Efendi, 2009).
Sedangkan menurut WHO dalam Zailani dkk (2009) bencana adalah suatu fenomena secara
tiba-tiba yang membawa dampak yang sangat parah pada lingkungan, tempat tinggal dan
memerlukan bantuan dari luar komunitas lokasi kejadian. Bencana juga bisa di artikan sebagai
kehancuran berat pada fungsi masyarakat yang menimbulkan jatuhnya korban, kerugian materi
dan lingkungan dalam ruang lingkup yang luas dan melebihi kemampuan merespon hanya
dengan memamfaatkan sumber yang dimiliki oleh masyarakat yang dilanda kerusakan (Hogan,
2002 dalam Zailani dkk, 2009).
Kesimpulannya bencana itu adalah kondisi dimana fenomena alam yang tidak normal dan
peristiwa akibat ulah manusia menjadi penyebab munculnya kerugian dan membawa dampak
yang besar terhadap nyawa atau kesehatan dan kehidupan orang banyak, bahkan jiwa seseorang.
B. Hazard
Hazard adalah suatu keadaan yang bersifat kualitatif yang mempunyai pengaruh terhadap
frekuensi kemungkinan terjadinya kerugian ataupun besarnya jumlah dari kerugian yang
mungkin terjadi. Fenomena atau kondisi yang menjadi yang menjadi penyebab bencana disebut
hazard. Selain fenomena alam seperti gempa atau hujan badai, termasuk juga kecelakaan
pesawatatau kereta api dan peristiwa ledakan bom atau kebakaran skala besar. Lalu, perang
konflik yang terjadi di tiap-tiap wilayah diseluruh dunia, aksi teror bahkan wabah penyakit.
Hazard juga bisa berarti kondisi yang membawa pengaruh yang buruk terhadap manusia atau
harta, aktivitas, dan keadaan akibat ulah manusia atau fenomena alam yang jarang dan darurat
(PBB dalam Zailani dkk, 2009).
Hazard terbagi 2 jenis yaitu physical hazard dan moral hazard. Physical hazard adalah suatu
keadaan yang berkaitan dengan aspek pisik dari suatu benda, baik benda yang dipertanggungkan
maupun benda yang berdekatan. Sedangkan Moral Hazard Adalah keadaan yang berkaitan
dengan sifat, pembawaan dan karakter manusia yang dapat menambah besarnya kerugian
dibanding dengan risiko rata-rata. Ciri-ciri moral hazards adalah sulit diidentifikaskan, namun
kadang-kadang tercermin dari keadaan-keadaan tertentu seperti, tidak rapi, tidak bersih, keadaan
dimana peraturan keamanan / keselamatan kerja tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya (tidak
disiplin). Ciri lain dari moral hazards ialah sulit diperbaiki/dirubah, karena menyangkut sifat,
pembawaan ataupun karakter manusia.
C. Vulnerability
Vulnerability atau kerentanan adalah keadaan atau sifat (perilaku) manusia atau masyarakat
yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi ancaman atau bahaya dari potensi bencana
untuk mencagah, menjinakkan, mencapai kesiapan dan menanggapi dampak bahaya tertentu.
Dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana Pasal 55 dan penjelasan Pasal 26 Ayat 1,
disebutkan bahwa masyarakat rentan bencana adalah bayi, balita, anak-anak, ibu hamil, ibu
menyusui, penyandang cacat dan lanjut usia. Menurut Efendi (2009) kerentanan ini mencakup
kerentanan fisik, ekonomi, sosial, dan perilaku yang ditimbulkan oleh beragam penyebab.
1. Kerentanan fisik
Kerentanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya tertentu,
misalnya kekuatan bangunan rumah bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawat
gempa dan tanggul pengamanan banjir baggi masyarakat yang tinggal di bataran sungai.
2. Kerentanan ekonomi
Kemampuan individu atau masyarakat dalam pengalokasian sumber daya utuk
pencegahan dan mitigasi serta penanggulangan bencana. Pada umumnya, masyarakat
miskin dan kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya karena tidak memppunyai
kemampuan finansial yang memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau mitasi
bencana.
3. Kerentanan Sosial
Kondisi sosial masyarakat dilihat dari aspek pendidikan, pengetahuan tentang ancaman
bahaya dan resiko bencana serta tingkat kesehatan yang rendah juga berpotensi
meningkatkan kerentanan.
4. Kerentanan Lingkungan
Keadaan lingkungan di sekitar masyarakat tinggal. Misalnya, masyarakat yang tinggal di
lereng bukit atau lereng pegunungan rentan terhadap ancaman bahaya tanah longsor,
sedangkan masyarakat yang tinggal di daerah sulit air akan rentan terhadap bencana
kekeringan.
D. Jenis Bencana
Usep salahuddin (2005) dalam Efendi (2008) mengelompokkan bencana menjadi dua jenis,
yaitu:
1. Bencana alam
Yaitu kajadian-kejadian alami seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus, badai,
kekeringan, wabah, serangan serangga dan lain-lain.
2. Bencana ulah manusia
Yaitu kejadian-kejadian akibat ulah manusia seperti tabrakan pesawat udara atau
kendaraan, kebakaran, perang, sabotase, ledakan bom, gangguan listrik, gangguan
komunikasi, dan lain-lain.
Sedangkan berdasarkan cakupan wilayahnya, bencana terdiri atas:
1. Bencana lokal
Bencana ini memberikan dampak pada wilayah sekitarnya yang berdekatan. Bencana
yang terjadi pada sebuah gedung atau bangunan-banguan di sekitarnya. Biasanya akibat
ulah manusia seperti kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran zat kimia berbahaya dan
lain-lain.
2. Bencana regional
Jenis bencana ini memberikan dampak atau pengaruh pada area geografis yang cukup
luas, dan biasanya disebabkan oleh faktor alam seperti badai, banjir, letusan gunung, dan
lainnya.
E. Fase-fase Bencana
Menurur Barbara Santamaria (1995) ada tiga fase dalam proses bencana, yaitu fase preimpact, impact, dan post-impact.
1. Pre-Impact
Merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat dari badan satelit
dan meteorologi cuaca, durasi waktunya mulai saat sebelum terjadi bencana sampai
tahap serangan atau impact. Tahap ini dipandang oleh para ahli sebagai tahap yang
sangat strategis karena pada tahap pra bencana ini masyarakat perlu dilatih tanggap
terhadap bencana yang akan dijumpainya kelak. Latihan yang diberikan kepada petugas
dan masyarakat akan sangat berdampak kepada jumlah besarnya korban saat bencana
menyerang (impact), peringatan dini dikenalkan kepada masyarakat pada tahap pra
bencana.
2. Impact
Merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dari manusia untuk
bertahan hidup. Fase ini terus berlanjut hingga terjadi kerusakan dan pemberian bantuanbantuan dilakukan. Masyarakat yang menjadi korban saat terjadi serangan, bila
dipersiapkan sejak tahap pra-disaster maka korbannya tidak sebanyak bila dipersiapkan
dengan cermat. Contohnya peristiwa tsunami di Aceh, karena masyarakat tidak
dipersiapkan saat terjadi gempa dan air laut menyurut, mereka malah pergi berlarian
dengan riangnya ke arah laut. Tetapi beberapa menit kemudian (sekitar 30 menit), ombak
setinggi sepuluh meter dan semakin meninggi dengan kecepatan diatas 100 km perjam
berlari menuju daratan. Apa yang terjadi, sudah bisa dipastikan hampir 100% masyarakat
yang berada di sekitar pantai tersebut menghilang digulung ombak.
Situasi seperti ini tidak akan terjadi bila masyarakat dilatih pada tahap pra-disaster, bila
gempa dan air laut surut maka segera lari cari perlindungan dibalik bukit. Maka akan
banyak yang selamat dan menelan sedikit korban.
3. Post-Impact
Merupakan saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat, juga tahap
dimana masyarakat mulai kembali pada fungsi komunitas normal. Secara umum, pada
fase post-impact ini para korban akan mengalami tahap respons psikologis mulai dari
penolakan (denial), marah (angry), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression),
hingga penerimaan (acceptance)
F. Level Bencana
1. Level I
Persiapan kompetensi emergensi, adekuat kapasitas dalam organisasi yang dipersiapkan
untuk merespon keadaan emergensi secara rutin.
2. Level II
Adanya kerjasama antara organisasi dan komunitas sekitar dan dibutuhkan adanya
dukungan lokal
3. Level III
Adanya kerjasama adekuat antara beberapa negara/organisasi, adanya rantai komando
komunikasi untuk memperoleh bantuan dari negara tersebut.
G. Dampak Bencana
Peristiwa bencana dalam bentuk apapun akan menimbulkan dampak negatis yang merugikan
manusia dan perlu segera diantisipasi agar akibat negatif yang diderrita oleh masyarakat tidak
berkepanjangan.
Dampak yang ditimbulkan dari bencana yaitu:
1.
2.
3.
4.
Dampak fisik
Dampak psikologis
Dampak psikososial
Dampak spiritual
Bencana alam yang melanda suatu daerah dapat mengakibatkan terganggunya ketenangan
dan pola hidup masyarakat. Dalam hal tertentu, bencana alam mammpu menghancurkan harapan
hidup anggota masyarakat. Mereka kehilangan sebagian atau semua kekayaan yang dimiliki baik
yang berbantuk benda hidup seperti anggota keluarga, ternak dan tanaman maupun benda mati
seperti rumah, ladang dan sawah tempat mereka menggantungkan hidupnya.
Bencana alam pasti menimbulkan penderitaan bagi masyarakat. Keadaan kehidupan sosial
masyarakat berubah menjadi kurang menguntungkan dan memerlukan bantuan warga
masyarakat yang lain yang kebetulan tidak mengalami bencana serta memiliki harta, yang
memiliki rasa belas kasihan dan sukarela membantu.
Dampak bencana alam terhadap kehidupan sosial masyarakat dapat dikurangi apabila setiap
anggota masyarakat menyadari betapa pentingnya hidup berdampingan, bergotong-royong,
saling membantu, dan menghilangkan rasa saling curiga.
Menurut Sukandarrumidi (2010), dampak bencana dapat dikelompokkan menjadi
a. Dampak bencana terhadap kehidupan sosial masyarakat
harapan
hidup
anggota
masyarakat.
Bencana
alam
pasti
mengakibatkan
penderitaan
berlangsung
secara
berkesinambungan.
penyakit serta kerugian harta dan jiwa. Selain itu bencana alam mampu mengubah
lingkungan hidup menjadi kurang mendukung secara estetika.
Lingkungan akan menjadi lebih baik apabila dibarengi dnegan perencanaan dan
pelaksanaan rekonstruksi pemukiman. Usaha untuk mengurangi dampak negatif
bencana alam terhadap lingkungan hidup wajib dilakukan dengan kesadaran bahwa
lingkungan yang sehat dan tertata baik mampu menjauhkan ancaman terhadap
kesehatan.
H. Hazard dan Catastrophe
Bahaya ( Hazards ) adalah fenomena alam yang luar biasa yang berpotensi merusak atau
mengancam kehidupan manusia, kehilangan harta-benda, kehilangan mata pencaharian,
kerusakan lingkungan. Misal : tanah longsor, banjir, gempa-bumi, letusan gunung api,
kebakaran dll;.
Ethiopian Disaster Preparedness and Prevention Commission (DPPC) mengelompokkan
bencana berdasarkan jenis hazard, yang terdiri dari:
1. Natural hazard. Ini adalah hazard karena proses alam yang manusia tidak atau
sedikit memiliki kendali. Manusia dapat meminimalisir dampak hazard dengan
mengembangkan kebijakan yang sesuai, seperti tata ruang dan wilayah,
prasyarat bangunan, dan sebagainya.
2. Human made hazard. Ini adalah hazard sebagai akibat aktivitas manusia yang
mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Hazard ini mencakup:
a) Technological hazard sebagai akibat kecelakaan industrial, prosedur yang
berbahaya, dan kegagalan infrastruktur. Bentuk dari hazard ini adalah polusi air
dan udara, paparan radioaktif, ledakan, dan sebagainya.
b) Environmental degradation yang terjadi karena tindakan dan aktivitas manusia
sehingga merusak sumber daya lingkungan dan keragaman hayati dan
berakibat lebih jauh terganggunya ekosistem.
c) Conflict adalah hazard karena perilaku kelompok manusia pada kelompok
yang lain sehingga menimbulkan kekerasan dan kerusakan pada komunitas
yang lebih luas.
Catastrophe adalah kejadian bencana dalam skala yang besar dan sangat ekstrim dan
kejadian yang menakutkan.
Kerentanan (vulnerability) adalah tingkat kerugian yang berdampak pada nyawa ataupun
kehidupan ketika terjadi hazard, dapat dikurangi dengan peningkatan kapasitas respon
penduduk local dan masyarakat. Faktor alami dapat berupa geografis, geologi, cuaca, iklim,
dan lain-lain) serta faktor social yaitu kerentanan akibat ulah/perbuatan manusia. Kerentanan
dan faktor alami dapat berupa geografis, geologi, cuaca, iklim, dan lain-lain. Sedangkan dari
faktor social (kerentanan akibat ulah/perbuatan manusia) dapat berupa pembangunan di
daerah berbahaya (bahaya miring), pesatnya urbanisasi dan jumlah penduduk, kerusakan
lingkungan dan kemiskinan.
I. Reaksi Bencana
1. Emotional
Depresi, kesedihan, irritabel, marah, anxiety, takut, putus asa, tidak ada harapan, merasa
bersalah, keraguan diri, dan perubahan mood.
2. Behavior
Ganguan tidur, denial, menangis, aktivitas berlebihan, meningkatkan konflik keluarga
dan isolasi diri
3. Cognitive
Bingung, disorientasi, mimpi buruk, gangguan konsentrasi, kesulitan mengambil
keputusan
4. Physical
Fatigue, kelelahan, gastrointestinal distress, perubahan nafsu makan, kaku pada
kerongkongan dan keluhan somatik lainnya.
Manajemen bencana
A. Pengertian
Manajemen bencana adalah sebuah disiplin yang membutuhkan persiapan, dukungan dan
pembangunan kembali masyarakat ketika bencana alam atau buatan terjadi. Ini merupakan
proses berkelanjutan dengan seluruh individu, kelompok, dan komunitas mengatasi bahaya
untuk mengurangi dampak dari bencana. Tindakan yang diambil tergantung pada resiko yang
didapatkan setelah pengkajian. Keefektifan manajemen kegawat daruratan tergantung pada
integrasi program kegawat daruratan pada semua level pemerintah dan non- pemerintah
(Rajdeep Dasgupta, 2007).
B. Fase manajemen bencana
Proses manajemen bencana dibagi menjadi empat fase:
1. Mitigasi
Mitigasi bertujuan untuk mencegah bahaya dari mulai dari pengembangan sampai
terjadinya bencana, atau untuk mengurangi efek dari bencana ketika terjadi. Fase mitigasi
berbeda dengan fase yang lainnya karena berfokus pada pengurangan resiko jangka
panjang (Rajdeep Dasgupta, 2007)..
2. Persiapan (preparedness)
Pada fase persiapan, majer kegawat daruratan mengembangkan rencana tindakan
ketika bencana terjadi. Persiapan yang umumnya dilakukan seperti perbaikan yang tepat,
dan pelatihan kegawat daruratan dan pelatihan peringatan gawat daryrat atau bencana dan
perencananaa evakuasi (Rajdeep Dasgupta, 2007)..
3. Respon
Fase respon termasuk memindahkan pertolongan gawat darurat ketempat terjadinya
bencana, seperti pemadam kebakaran, polisi, relawam dan organisasi diliau pemerintahan
(NGOs). Pernecanaan kgawat darurat ini bertujuan mendapatkan hasil yang optimal
meski dengan sumber daya yang sedikit. Pada fase respon ini juga dilakukan triase untuk
korban bencana (Rajdeep Dasgupta, 2007)..
4. Pemulihan.
Tujuan dari fase pemulihan adalah untuk mengembalikan area yang mengalami
bencana ke kondisi awal. Fase ini berbeda dengan fase respon, fase ini berfokus pada
kebutuhan pemulihan yang tergantung pada isu dan keputusan yang harus dibuat setelah
kebutuhan utama dipenuhi. Fase pemulihan berfokus pada pembangunan kembali
property yang rusak, dan memperbaiki infrastruktur (Rajdeep Dasgupta, 2007).
C. Model manajemen bencana
Menurut Sambodo (2012) Bencana adalah hasil dari munculnya kejadian luar biasa
(hazard) pada komunitas yang rentan (vulnerable) sehingga masyarakat tidak dapat
mengatasi berbagai implikasi dari kejadian luar biasa tersebut. Manajemen bencana pada
dasarnya berupaya untuk menghindarkan masyarakat dari bencana baik dengan mengurangi
kemungkinan munculnya hazard maupun mengatasi kerentanan. Terdapat lima model
manajemen bencana yaitu:
1. Disaster management continuum model
Model ini mungkin merupakan model yang paling popular karena terdiri dari tahaptahap yang jelas sehingga lebih mudah diimplementasikan. Tahap-tahap manajemen
bencana di dalam model ini meliputi emergency, relief, rehabilitation, reconstruction,
mitigation, preparedness, dan early warning.
2. Pre-during-post disaster model
Model manajemen bencana ini membagi tahap kegiatan di sekitar bencana. Terdapat
kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan sebelum bencana, selama bencana terjadi, dan
setelah bencana. Model ini seringkali digabungkan dengan disaster management
continuum model.
3. Contract-expand model
Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-tahap yang ada pada manajemen bencana
(emergency, relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness,
dan early
warning) semestinya tetap dilaksanakan pada daerah yang rawan bencana. Perbedaan
pada kondisi bencana dan tidak bencana adalah pada saat bencana tahap tertentu lebih
dikembangkan
sementara
tahap
yang
lain
waktu biasa. Ia menyatakan bahwa sebuah rencana bencana rumah sakit akan
menentukan struktur komando yang digunakan dalam kejadian bencana.
b) Prosedur standar sederhana untuk terapi
Prosedur terapi harus ekonomis baik dalam hal sumber daya manusia maupun materi,
dan harus dipilih yang sesuai. Tenaga dan perlengkapan kesehatan harus mendukung
prosedur tersebut. Perawatan medis pada lini pertama harus disederhanakan dan
ditujukan untuk menyelamatkan kehidupan dan mencegah komplikasi atau masalah
sekunder yang besar.
3. Redistribusi pasien antar-rumah sakit
Jika fasilitas layanan kesehatan di daerah bencana mungkin hancur dan mendapatkan
tekanan dari korban massal, fasilitas yang berada di luar daerah mungkin dapat
menanggulangi beban kerja yang jauh lebih besar atau memberikan layanan medis
spesialis. Keputusan untuk memindahkan pasien keluar dareah bencana harus
dipertimbangkan dengan cermat karena evakuasi yang tidak terencana dan mungkin
tidak diperlukan justru dapat menimbulkan dan bukan menyelesaikan banyak masalah
(Pan American Health Organization, 2006).
F. Analisa risiko bencana dan disaster plan
1. Pengertian
Menurut Rafdiana & Chaidir (2011) penilaian atau analisis risiko bencana bertujuan
untuk mengidentifikasi wilayah bewrdasarkan tingkat resikonya terhadap bencana. Hasil
analisis menjadi acuan dalam perumusan tindakan prioritas pengurangan resiko bencana.
Besar atau kecilnya dampak dalam sebuah bencana diukur dari korban jiwa, kerusakan
atau biaya-biaya kerugian yang ditimbulkannya. Namun demikian, dalam upaya
pengurangan resiko bencana, dampak sebuah bencana dapat di prediksi dengan
mengidentifikasi beberapa hal dibawah ini:
a) Ancaman/bahaya (Hazard)= H
Ancaman atau bahaya adalah fenomena atau situasi yang memiliki potensi untuk
menyebabkan gangguan atau kerusakan terahdap orang, harta benda, fasilitas
maupun lingkungan. Sebaliknya bencana merupakan suatu peristiwa akibat ulah
1) Transparan
Prinsip ini mensyaratkan agar seluruh potensi resiko yang ada pada suatu
daerah dapat dijabarkan secara terbuka. Resiko yang tersembunyi atau
disembunyikan akan menjadi sumber permasalahan dan hasil analisi tidak
akan total.
2) Akurat dan terukur
Melakukan analisi risiko harus akurat dan terukur, sesuai dengan kenyataan
sebenarnya (realitis), untuk itu diperlukan alat untuk melakukan analisis
risiko tersebut, misalnya data penduduk, peta wilayah, data sejarah bencan,
observasi ke lapangan.
3) Bebas dan netral
Hasil analisis risiko yang akurat idealnya sesuai dnegan kenyataan dan tidak
boleh ada intervensi kepentingan-kepentingan tertentu yang menghambat
hasil akhir dari analisi risiko bencana.
4) Partisipasi
Keterlibatan aktif dari seseorang, atau kelompok orang (masyarakat) untuk
berkontribusi secara sukarela dalam analisis risiko dan terlibat mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai pada tahap evaluasi.
5) Kebijakan nasional dalam pengurangan risiko bencana
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 berisikan ketentuan-ketentuan poko sebagai
berikut:
a. Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan
wewenang pemwrintah pusat dan pemerintah daerah yang dilaksanakan secara
terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh.
b. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam tahap tanggap darurat dilaksanakan
sepenuhnya oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Badan penanggulangan bencana tersebut
terdiri dari unsure pengarah dan unsure pelaksana. BNPB dan BPBD mempunyai
tugas dan fungsi antara lain pengkoordinasian penyelenggaraan penanggulangan
bencana secara terencana dan terpadu sesuai dengan kewenangannya.
c. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan memperhatikan hak
masyarakat yang antara lain mendapatkan bantuan oemenuhan kebutuhan dasar,
mendapatkan perlindungan social, mendapatkan pendidikan dan keterampilan dalam
serta
penentuan
persayaratan
standar
teknis
penanggulangan
bencana
(kesiapsiagaan, peringatan dini, dan mitigasi bencana) (Efendi & Makhfudli, 2009).
Pada tahapan tanggap darurat, kegiatannya mencakup pengkajian lokasi, kerusakan danm
sumber daya; penentuan status keadaan daruarat; penyelamatan dan evakuasi korban;
pemenuhan kebutuhan dasar (air bersih, sanitasi, oangan, sandang, pelayanan kesehatan,
pelayanan psikososial dan penampungan dengan hunian); perlindubgan kelompok rentan
(prioritas bagi kelompok rentan) serta oemulihan prasarana dan sarana vital (Efendi &
Makhfudli, 2009).
Pada tahapan pasca bencan, mencakup kegiatab rehabilitasu (pemulihan daerah bencana,
prasarana dan sarana umum, bantuan perbaikan rumah, social psikologis, pelayanan
kesehatan, rekonsiliasi dan resolusi konflik, social ekonopmi dan budaya, keamanan dan
ketertiban, fungsi pemerintahan dan pelayanan public) dan rekonstruksi (pembangunan,
pembangkitan dan peningkatan berbagai sarana dan prasarana termasuk fungsi pelayanan
public) (Efendi & Makhfudli, 2009).
Pengurangan risiko bencana (PRB) merupakan penyelenggaraan penanggulangan
bencana dalam situasi tidak terjadi bencana yang dimaksudkan untuk mengurangi dampak
buruk yang mungkin timbul. Secara konseptual PRB meruapakn wujud dari perubahan
paradigm penanggulangan bencana yakni dari pendekatan konvensional kepada pendekatan
holistic. Penenangan bencana tidak lagi menekankan pada aspek tenggap darurat daja, tetapi
secara keselurhan menanjemen risiko. Perlindungan masyarakat dari ancaman bahaya
merupakan wujud perlindungan sebagai hak asasi rakyat dan penanggulangan bencana bukan
lagi menjadi tanggup jawab pemerintah tetapi menjadi tanggung jawab bersama antara
oemerintah dan masyarakat (Efendi & Makhfudli, 2009).
Landasan penyelenggaran PRB adalah resolusi PBB Nomor 63 Tahun 1999 tentang
International Strategy for Disaster Reduction (ISDR), The Yokohama Strategy tahun 1994,
Hyogo Framework for Action tahun 2005 serta Beijing Action. Sedangkan secara nasional
telah diterbitkan rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana (RAN PRB) tahun
2006 di samping Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.
Prinsip dasar PRB mengacu pada The Yokohama Stratefy yang meliputi berikut ini:
1. Pengkajian risiko bencana merupakan langkah yang diperlukan untuk penerapan
kebijakan dan upaya pengurangan resiko bencana.
2. Pencegahan dan kesiapsiagaan bencana oenting dalam pengurangan kebutuhan untuk
pertolongan bencana.
3. Pencegahan dan kesiapsiagaan meliputi aspek integral kebijakan pembangunan dan
perencanaan di tingkat nasional, bilateral, multilateral, serta internasional.
dikembangkan . Partisipasi perawat dalam semua fase perencanaan bencana sangat penting
untuk memastikan bahwa perawat menyadari dan siap menghadapi berbagai faktor lain.
Individu dan organisasi yang bertanggung jawab untuk rencana bencana harus
mempertimbangkan semua kemungkinan kebutuhan sanitasi, kebutuhan psikososial dari
penduduk yang rentan , prosedur evakuasi untuk bangunan dan wilayah geografis ,.
Keperawatan bencana
A. Pengertian
Menurut ICN, keperawatan bencana adalah perawat-perawat dengan kemampuan dan
pengetahuannya akan epidemiologi, fisiologi, farmakologi, struktur budaya keluarga, dan
psikologis dapat membantu pada saat program persiapan bencana dan pada saat bencana itu
sendiri (ICN, 2006).
Setiap perawat harus memiliki pengetahuan dasar dan beberapa kemampuan agar dapat
merencanakan dan merespon sebuah bencana pada suatu waktu dan memberikan tindakan
yang tepat (Veenema, 2007).
Tujuan dari keperawatan bencana adalah memperoleh pencapaian perawatan optimal saat
bencana yang meliputi identifikasi, advokasi, dan caring untuk semua korban bencana,
termasuk aktif terlibat dalam perencanaan dan kesiapsiagaan bencana.
Dalam keperawatan bencana ada beberapa karakteristik yang membedakannya dari
berbagai disiplin ilmu keperawatan yang lain
1. Sikap caring terhadap komunitas pada saat bencana
Gangguan pada sebuah komunitas menrupakan dampak langasung dari kejadaian
berbahaya. Dampak ini dapat dalam jangka yang panjang maupun pendek, tergantung
dari besarnya kerusakan untuk komunitas dan kemampuan warga setempat dalam
menyiapkan diri untuk menghadapi bencana. Penyedia layanan kesehatan harus dapat
memenuhi kebutuhan dari komunitas yang mendapatkan bencana dengan keterbatasan
sumberdaya. Pada saat bencana berlangsung, perawat harus berhati-hati terhadap potensi
rintangan yang ada dalam memberikan pelayanan dan memodifikasi layanan sesuai
kebutuhan.
perencanaan bencana petugas kesehatan, dan masukan perawat harus didengarkan dan
diintergrasikan oleh perencana gawat darurat dan ketua petugas kesehatan. Mengadakan
keperawatan dan pikiran inovatif dalam perencanaan bencana dan persiapan akan
memastikan ketersediaan layanan keperawatan, untuk komunitas yang lebih baik.
5. Critical thinking
Critical thinking dan problem-solving adalah kemampuan penting dalam manajemen
efek dari bencana. Perawat mulai belajar berpikir kritis diawal karirnya seiring mengkaji
dan menentukan kebutuhan pasien, kemudian mengaplikasikan dan mengadaptasikan
pelayanan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan pengetahuan yang
kuat mengenai suatu komunitas dan sumberdaya potensialnya, perawat berada dalam
posisi kunci untuk membantu dengan problem-solving yang dibutuhkan ketika bencana.
6. Adaptabilitas
Dikarenakan perubahan yang cepat ketika bencana, adaptasi sangat diperlukan.
Flesibilitas dan adaptabilitas meningkatkan kapasitas perawat untuk berfungsi secara
efisien dan efektif selama bencana. Perawat akan menyediakan perawatan di area gawat
darurat yang padat atau dilapangan kejadian, atau secara cepat mengubah kafe menjadi
rumah sakit, atau membuat tenda. Ketika bencana, lokasi petugas kesehatan tidak
menetap dan perawat akan melakukan perpindahan lokasi beberapa kali sebagai
perubahan kondisi.
7. Leadership
Perawat harus dapat menggunakan kemampuan memimpinnya dengan sempurna
untuk mengkoordinasi dan mengorganisasi segala kegiatan ketika seluruh fase bencama.
Perawat dalam posisi leader membutuhkan tidak hanya mengatur perawat lain ketika
bencana, tetapi juga untuk mengarahkan keseluruhan respon petugas kesehatan.
Dalam respon bencana, ketua perawat melihat efektifitas dari respon yang ada,
mereka adalah coordinator yang menggunakan pengalaman dan pegetahuan untuk
membentuk usaha koordinasi personel dan juga sumberdaya dan supply.
masyarakat.
Membentuk rumah sakit, tenda pertolongan pertama, penampungan,
a. Motif
Motif adalah sesuatu yang secara konsisten dipikirkan atau diinginkan oleh seseorang
yang menyebabkan munculnya suatu tindakan. Motif akan mengarahkan atau
menyeleksi sikap menjadi tindakan atau tujuan sehingga lain dari yang lain.
b. Bawaan
Bawaan dapat berupa karakteristik fisik atau kebiasaan seseorang dalam merespon
suatu situasi atau informasi tertentu. Contoh kompetensi bawaan adalah bertindak
cepat dan tepat yang diperlukan oleh perawat gawat darurat. Pengendalian emosi diri
dan inisiatif yang tinggi merupakan kebiasaan merespon yang baik untuk perawat
jiwa.
c. Pengetahuan akademik
Perawat harus memiliki informasi pada area yang spesifik. Pengetahuan merupakan
kompetensi yang kompleks. Skor pada tes pengetahuan seringkali kurang bermanfaat
untuk memprediksi kinerja seseorang ditempatnya bekerja karena sulitnya mengukur
kebutuhan pengetahuan dan keahlian yang secara nyata digunakan dalam pekerjaan.
Pengetahuan akan dapat memprediksi apa yang dapat dilakukan seseorang, bukan apa
yang akan dilakukan.
d. Keahlian
Keahlian (skil) kemampuan untuk melakukan aktifitas fisik dan mental. kompetensi
keahlian mental atau kognitif meliputi pemikiran analitis (memproses pengetahuan
atau data, menentukan sebab dan pengaruh, serta mengorganisasindata dan rencana)
juga pemikiran konseptual (pengenalan pola data yang kompleks).
Kompetensi keperawatan bencana, yaitu :
a. Kompetensi pencegahan/ mitigasi
Memang hampir tidak mungkin untuk mencegah terjadinya suatu bencana
yang sifatnya alami, tetapi dampak kerusakan yang ditimbulkannya memang
dapat kita kecilkan atau minimalkan. Pada sebagian besar kasus, aktifitas mitigasi
ditujukan untuk mengurangi kerentanan system (mis : dengan memperbaiki atau
menegakkan aturan bangunan). Namun, dalam beberapa kasus aktifitas mitigasi
ditujukan untuk mengurangi besarnya bahaya (mis : dengan mengalihkan aliran
sungai). Istilah pencegahan bencana menyiratkan bahwa eliminasi kerusakan
akibat suatu memang dimungkinkan, tetapi hal ini tidak realistis untuk sebagian
besar bahaya (Pan American Health Organization, 2006)
Korban medis dapat diturunkan secara tajam melalui perbaikan mutu
bangunan rumah, sekolah, bangunan swasta atau umum lainnya. Walau upaya
mitigasi bencana di sector ini memiliki dampak kesehatan yang jelas, tanggung
jawab langsung sector kesehatan terbatas hanya dalam memastikan keamanan
fasilitas kesehatan dan layanan kesehatan masyarakat, termasuk system
penyediaan air bersih dan system pembuangan air kotor (Pan American Health
Organization, 2006)
b. Kompetensi kesiapsiagaan/ preparedness.
Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana dilakukan persiapan yang baik
dengan memikirkan berbagai tindakan untuk meminimalisir kerugian yang
ditimbulkan akibat terjadinya bencana dan menyusun perencanaan agar dapat
melakukan kegiatan pertolongan serta perawatan yang efektif pada saat terjadi
bencana (Japanese Red Cross & PMI, 2009)
Kesiapsiagaan menghadapi bencana merupakan suatu aktifitas lintas
sector yang berkelanjutan. Kegiatan ini membentuk suatu bagian yang tak
terpisahkan
dalam
system
nasional
yang
bertanggung
jawab
untuk
bencana).
Orang-orang
melakukan
perbaikan
darurat
tempat
normal seperti
sebelum bencana terjadi. Dengan kata lain, fase ini merupakan masa peralihan
dari kondisi darurat ke kondisi tenang (Japanese Red Cross & PMI, 2009).
Biological, and Radiological Terrorism and Other Hazards (2 nd Ed.). New York: Springer
Publishing Company.
Grimaldi, M.,E. (2007) ETHICS: Ethical Decisions in Times of Disaster: Choices Healthcare
Workers Must Make. Journal of Trauma Nursing, Vol. 14 no 3, 163-164.