Nursing
PJMK Dosen :
Dosen Fasilitator:
Dwi P, S. Kep.,Ns.,M.Kep
Oleh Kel 3:
1
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya yang di berikan kepada kelompok kami dapat
menyelesaikan makalah “PENDEKATAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DENGAN EVIDENCE BASE IN DISASTER NURSING”. Tidak lupa saya
ucapkan terimakasih kepada dosen keperawatan bencana yang sudah
membimbing kita dan terimakasih untuk kelompok 3 yang sudah melakukan
kerjasama kelompok dengan baik. Sehingga makalah ini tepat waktu dalam
pengumpulannya.
Akhir kata kami ucapkan berharap jika makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak dan semoga amal baik yang dilakukan oleh kelompok kami dalam
penyusunan makalah ini dapat balasan dari Allah SWT.
Penulis
Kelompok 3
2
DAFTAR ISI
Cover
Kata pengantar ...................................................................................................... i
Daftar isi ................................................................................................................ ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah...................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ..................................................................................................... 2
BAB 2
PEMBAHASAN
BAB 3
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
3
3.4 Pemberdayaan masyarakat pesisir laut pada laut pada tahap tangap darurat
bencana...................................................................................................... 21
3.5 Jumlah kasus yang terjadi di Indonesia ..................................................... 22
BAB 4
PENUTUP
4
BAB 1
Pendahuluan
5
misalnya air laut tiba-tiba menjadi surut panjang 800 meter dalam waktu
singkat dan tak lama kemudian terjadi gelombang yang sangat besar, yang
masuk ke daratan sampai beberapa kilometer (Nani Trianawati Sugito, 2008).
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana upaya penanggulangan dan pemberdayaan masyarakat
bencana tsunami?
1.2.2 Bagaimana upaya penanggulangan dan pemberdayaan masyarakat
bencana tsunami dalam keperawatan?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui upaya penanggulangan dan pemberdayaan
masyarakat bencana tsunami.
1.3.2 Untuk mengetahui upaya penanggulangan dan pemberdayaan
masyarakat bencana tsunami dalam keperawatan.
1.4 Manfaat
Secara umum makalah ini diharaprkan dapat memberikan kontribusi bagi para
pembaca
6
BAB 2
PEMBAHASAN
7
Menurut Departemen Kesehatan RI (2001), definisi bencana adalah
peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan
ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan
pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar
biasa dari pihak luar.
Sedangkan definisi bencana (disaster) menurut WHO (2002)
adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis,
hilangnya nyawa 21 manusia, atau memburuknya derajat kesehatan atau
pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar
masyarakat atau wilayah yang terkena.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti
sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau
penderitaan. Sedangkan bencana alam artinya adalah bencana yang
disebabkan oleh alam (Purwadarminta, 2006) Menurut Undang-Undang
No.24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non
alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis. Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman
bencana, kerentanan, dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian.
2. 2 Pengertian Tsunami
Istilah tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu tsu yang artinya
‘pelabuhan’ dan nami yang artinya ‘gelombang’. Jadi kata tsunami dapat
diartikan sebagai “gelombang di pelabuhan”. Kata ini merupakan istilah
yang digunakan untuk mendefinisikan terjadinya fenomena gempa di
lautan yang mengakibatkan gelombang laut sangat dahsyat dan mampu
merusak apapun yang dilaluinya ketika mencapai garis pantai. Menurut
Badan Nasional Penangglangan Bencana (2011)Tsunami adalah
serangkaian peristiwa bersamaan antara gelombang dan ombak laut
sehingga menimbulkan pergeseran lempeng di dasar laut sebagai bentuk
8
akibat dari pengertian gempa bumi yang sebelumnya terjadi. Definsi
tersebut sesuai dengan dasar teori pembentukan bumi menurut para ahli.
9
b. Pengurangan resiko bencana tsunami
c. Pencegahan bencana tsunami
d. Pemanduan dalam perencanaan pembangunan
e. Persyaratan analisis risiko bencana tsunami
f. Pelaksanaan dan penegakan rencana total ruang
g. Pendidikan, pelatihan, dan persyaratan standar teknis
2.3.1.4. Mitigasi
10
2.3.2 Bencana
2.3.2.1. Tanggap darurat (response)
11
2. 4 Penanggulangan Bencana Tsunami
Serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang
berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap
darurat, rehabilitasi dan kontruksi (UU 24/2007).
Tujuan dari penanggulangan bencana:
12
meter di garis pantai dan ketinggian pohon sampai 30 meter.
Dengan kondisi seperti itu hutan mangrove dapat berfungsi ideal
sebagai perisai alami pelindung pantai dari ancaman gelombang
tsunami, angin kencang, maupun erosi.
2.5.3 Pembuatan pemecah gelombang atau overtopping
Salah satu metode untuk melindungi suatu daerah di tepi pantai
dari gelombang tsunami adalah dengan membuat pemecah
gelombang (break water) di laut atau overtopping seawall di darat.
Kedua struktur tersebut haru cukup kuat dan stabil untuk menahan
gaya hidrodinamik gelombang dan gaya-gaya lain yang timbul.
Cara ini memang cukup mahal namun pada kondisi tertentu cukup
efektif untuk mengurangi atau bahkan mencegah bencana yang
diakibatkan oleh gelombang tsunami.
Peran Perawat (Menurut Jurnal dari Ardia Putra dkk. 2012. vol VI no I)
2.6.1 Pencarian dan penyelamatan
2.6.1.1. Melokalisasi korban.
2.6.1.2. Memindahkan korban dari daerah berbahaya ke tempat
pengumpulan/penampungan.
2.6.1.3. Memeriksa status kesehatan korban (triase di tempat
kejadian).
2.6.1.4. Memberi pertolongan pertama jika diperlukan.
2.6.1.5. Memindahkan korban ke pos medis lapangan jika
diperlukan.
2.6.2 Triase
2.6.2.1. Identifikasi secara cepat korban yang membutuhkan
stabilisasi segera (perawatan di lapangan).
2.6.2.2. dentifikasi korban yang hanya dapat diselamatkan
dengan pembedahan darurat (life saving surgery).
2.6.2.3. Pasien harus diidentifikasi dan diletakkan secara cepat
dan tepat, mengelompokkan korban sesuai dengan
13
keparahan pada masingmasing warna tag yaitu kuning
dan merah.
2.6.2.4. Area tindakan harus ditentukan sebelumnya dan diberi
tanda.
2.6.2.5. Penemuan, isolasi dan tindakan pasien
terkontaminasi/terinfeksi harus diutamakan.
2.6.3 Pertolongan pertama
2.6.3.1. Mengobati luka ringan secara efektif dengan melakukan
teknik pertolongan pertama, seperti kontrol perdarahan,
mengobati shock dan menstabilkan patah tulang.
2.6.3.2. Melakukan pertolongan bantuan hidup dasar seperti
manajemen perdarahan eksternal, mengamankan
pernafasan, dan melakukan teknik yang sesuai dalam
penanganan cedera.
2.6.3.3. Mempunyai keterampilan Pertolongan pertama seperti
membersihkan jalan napas, melakukan resusitasi dari
mulut-mulut, melakukan CPR/RJP, mengobati shock,
dan mengendalikan perdarahan.
2.6.3.4. Membuka saluran udara secepat mungkin dan memeriksa
obstruksi saluran napas harus menjadi tindakan pertama,
jika perlu saluran udara harus dibuka dengan metode
Head-Tilt/Chin-Lift.
2.6.3.5. Mengalokasikan pertolongan pertama pada korban
dengan perdarahan, maka perawat harus mnghentikan
perdarahan, karena perdarahan yang tidak terkontrol
dapat menyebabkan kelemahan dan apabila akhirnya
shock dapat menyebabkan korban meninggal.
2.6.4 Proses pemindahan korban
2.6.4.1. Pemeriksaan kondisi dan stabilitas pasien dengan
memantau tanda tanda vital;
2.6.4.2. Pemeriksaan peralatan yang melekat pada tubuh pasien
seperti infus,
14
2.6.4.3. pipa ventilator/oksigen, peralatan immobilisasi dan lain--
‐lain.
2.6.5 Perawatan di rumah sakit
2.6.5.1. Mengukur kapasitas perawatan rumah sakit.
2.6.5.2. Lokasi perawatan di rumah sakit
2.6.5.3. Hubungan dengan perawatan di lapangan.
2.6.5.4. Arus pasien ke RS harus langsung dan terbuka.
2.6.5.5. Arus pasien harus cepat dan langsung menuju RS, harus
ditentukan,
2.6.5.6. tempat tidur harus tersedia di IGD, OK, ruangan dan
ICU.
2.6.6 RHA
2.6.6.1. Menilai kesehatan secara cepat melalui pengumpulan
informasi cepat dengan analisis besaran masalah sebagai
dasar mengambil keputusan akan kebutuhan untuk
tindakan penanggulangan segera.
2.6.7 Peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko bencana
2.6.7.1. Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan
cek kesehatan sehari-hari.
2.6.7.2. Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan
harian.
2.6.7.3. Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang
memerlukan penanganan kesehatan di RS.
2.6.7.4. Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian.
2.6.7.5. Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan,
makanan khusus bayi, peralatan kesehatan.
2.6.7.6. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan
penyakit menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga
membahayakan diri dan lingkungannya berkoordinasi
dengan perawat jiwa.
2.6.7.7. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada
korban (ansietas, depresi yang ditunjukkan dengan
15
seringnya menangis dan mengisolasi diri) maupun
reaksipsikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia,
fatigue, mual muntah, dan kelemahan otot).
2.6.7.8. Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak,
dapat dilakukan dengan memodifikasi lingkungan misal
dengan terapi bermain.
2.6.7.9. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh
para psikolog dan psikiater.
2.6.7.10. Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai
pemeriksaan kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang
tidak mengungsi.
2.6.8 Peran perawat dalam fase postimpact
2.6.8.1. Membantu masyarakat untuk kembali pada kehidupan
normal
2.6.8.2. melalui proses konsultasi atau edukasi.
2.6.8.3. Membantu memulihkan kondisi fisik yang memerlukan
2.6.8.4. penyembuhan jangka waktu yang lama untuk normal
kembali bahkan
2.6.8.5. terdapat keadaan dimana kecacatan terjadi.
16
menimbulkan tsunami, namun getarannya terasa hingga
Yogyakarta.
2.7.1.3. Terjadi di wilayah selatan Jawa Timur pada 3 Juni 1994.
Saat itu sejumlah kawasan pesisir selatan Banyuwangi,
Pantai Plengkung, Pantai Pancer, dan Pantai Rajegwesi
diterjang tsunami akibat adanya aktivitas gempa tektonik
7,8 M di kedalaman 18 km arah selatan Samudera
Hindia. Akibatnya, lebih dari 200 korban meninggal dan
kerusakan parah terjadi pada perumahan warga.
2.7.1.4. Gempa Pangandaran yogyakarta merupakan
pengulangan dari gempa yang juga pernah terjadi di
lokasi yang sama pada 1921. Tak ada catatan terkait
kejadian gempa kala itu. Namun getarannya yang
mencapai 7,5 SR menyebabkan terjadinya tsunami di
sepanjang pesisir selatan dengan garis pantai daerah
terlanda sepanjang 275 km.Tsunami akibat gempa di
wilayah pantai selatan kembali terjadi pada
2006.Gelombang tsunami juga menghantam sejumlah
wilayah pesisir pantai selatan Jawa Barat, seperti
Cipatujah, Tasikmalaya dan beberapa pesisir selatan
Jawa Tengah di Cilacap hingga Purworejo.Gempa
bersumber dari subduksi lempeng Indo-Australia dan
Eurasia yang berpusat di 225 km arah barat Daya
Kabupaten Pangandaran dan menyebabkan lebih dari
600 korban meninggal serta ribuan korban luka-luka.
Getarannya bahkan terasa hampir di seluruh wilayah
Pulau Jawa, termasuk Jakarta. Berdasarkan laporan BBC
Indonesia, kepanikan juga dirasakan banyak karyawan
dari sejumlah perka.
17
2.7.2 Tsunami di Indonesia
2.7.2.1. Tsunami Aceh (2004)Gelombang tsunami yang terjadi
pada 26 Desember 2004, pukul 09.00 WIB telah menelan
lebih dari 160.000 korban jiwa.
2.7.2.2. Tsunami Kepulauan Banggai (2000) Sulawesi Tengah
pada 4 Mei 2000korban tewas akibat bencana alam
gempa tektonik dan tsunami sekitar 46 orang. Tsunami
kurang lebih setinggi 3 meter telah merusak ribuan
rumah penduduk.
2.7.2.3. Tsunami Banyuwangi (1994)Pada 3 Juni 1994
Gelombang menyapu perkampungan nelayan yang
terletak sekitar 150 meter dari bibir pantai. Sedikitnya 61
tewas dan 213 rumah rata dengan tanah
2.7.2.4. Tsunami Flores (1992)pada 12 Desember 1992lebih dari
1.300 orang dinyatakan meninggal, 500 orang hilang dan
ribuan bangunan rusak baik itu karena terjangan ombak
atau terkena reruntuhan gedung
2.7.2.5. Tsunami Sumba (1977)pantai Sumba NTT pada 19
Agustus 1977. Gempa bermagnitudo 7 beserta
gelombang tsunami setinggi 8 meter tercatat 75 jiwa
penduduk tewas, 26 hilang dan 18 luka parah.
2.7.2.6. Tsunami Sulteng (1968)Pada 10 Agustus 1968, gempa
bermagnitudo 7,3 mengguncang wilayah Sulawesi
Tengah. Tiga hari kemudian gelombang tsunami
menyapu kawasan Donggala setelah berkali-kali
gempa.Sekitar 200 orang tewas dan rumah hancur karena
terkena gelombang
2. 8 Konsep Manajemen Disaster di Area Keperawatan Emergensi
Korban bencana berdasarkan triase di lapangan dapat
diklasifikasikan menjadi pasien gawat darurat dengan label merah, yaitu
korban bencana dalam kondisi kritis (immediate) atau kegawatan yang
mengancam nyawa dengan kriteria adanya luka parah dengan respirasi
18
>30x/menit, tidak ada denyut nadi radialis, tidak sadar/penurunan
kesadaran yang merupakan prioritas pertama penanganan dan untuk segera
ditransportasikan ke rumah sakit. Prioritas kedua adalah korban bencana
dalam kondisi gawat yang tidak mengancam nyawa dalam waktu dekat
(delay) diberi label kuning, dengan kriteria adanya cedera tidak
mengancam nyawa dan dapat menunggu untuk periode waktu tertentu
untuk penatalaksanaan dan transportasi dengan respirasi <30x/menit, nadi
teraba, status mental normal. Prioritas ketiga adalah korban bencana
dengan luka yang masih dapat berjalan atau tidak terdapat kegawatan
sehingga penanganan dapat ditunda (minor). Tindakan yang harus
dilakukan apabila pasien dalam keadaan gawat darurat maka perawat harus
melakukan airway management, penanganan sirkulasi, dan evakuasi dari
tempat bencana ke tempat yang aman atu rumah sakit. Prioritas evakuasi
berdasarkan triase yang sudah dilakukan, dimana korban yang dengan
prioritas pertama (label merah) dievakuasi terlebih dahulu dengan
menggunakan ambulans dimana korban memerlukan penanganan medis
kurang dari 1 jam, karena korban kritis ini akan 200 meninggal bila tidak
segera ditangani. Kemudian lakukan evakuasi pada korban bencana
dengan prioritas kedua dan terakhir prioritas yang ketiga. Metode triase
lain yang dikembangkan pada karakteristik bencana yang memungkinkan
munculnya jumlah korban yang sangat banyak dan memiliki efek jangka
panjang seperti gempa cathastropik bisa dilakukan sistem triase
“SecondaryAssessment of Victim Endpoint” (SAVE) yang memungkinkan
petugas untuk mengidentifikasi korban dalam waktu yang lebih lama dan
menyaring kembali korbankorban yang kemungkinan terlewat saat
dilakukan Simple Triage and Rapid Treatment” (START) pada saat tahap
emergensi (Benson et al, 2012).
Dalam konteks pelayanan rumah sakit, pemerintah telah
memasukkan manajemen bencana sebagai salah satu program yang harus
dipersiapkan oleh rumah sakit ketika bencana terjadi yang disebut dengan
Sistem Penanggulangan Gawat darurat Terpadu akibat Bencana (SPGDT-
B). SPGDT-B adalah pelayanan kegawatdaruratan pada korban bencana
19
yang ditangani secara terpadu oleh berbagai disiplin dan profesi termasuk
pelayanan keperawatan yang mencakup penanganan prehospital sampai
inhospital yaitu menanggulangi korban bencana di tempat bencana,
evakuasi ke sarana kesehatan yang lebih memadai, sarana komunikasi
untuk memperlancar penanganan korban serta upaya penanggulangan
korban gawat darurat akibat bencana di IGD atau ICU (BNPB, 2010).
Pelayanan prehospital yang dilakukan adalah pertolongan dasar
dilanjutkan dengan penanganan advance prehospital. Pertolongan dasar
yang dilakukan seperti initial assesment korban bencana, evakuasi korban,
pemberian oksigenasi, pemantuan kondisi korban dan perawatan luka,
sedangkan penanganan advance seperti pemberian terapi cairan,
krikotiroidektomi, intubasi endotrakeal, dan perawatan korban bencana
selama transportasi ke rumah sakit dengan monitoring dan observasi
kondisi korban (WHO, 2005).
2. 9 Penanggulangan Korban Bencana berkaitan dengan Karakteristik Bencana
Di Amerika serikat, berdasarkan pengalaman bioterorisme ledakan
bom di WTC tahun 2001, para peneliti menginisiasi suatu program untuk
mengantisipasi dan menanggulangi jika bencana serupa terjadi lagi melalui
mekanisme pengambilan keputusan sebelum bencana terjadi, komando
ketika bencana terjadi dan selama proses pengendalian dan penanganan
dampak bencana (Parnell, G. S., Smith, C. M., & Moxley, F. I., 2010)
Berdasarkan pengalaman terjadinya bioterorisme berupa penyebaran
ViralHemoragic Fever (VHF) penelitianoleh Bronze et al (2002
menyimpulkan bahwa virusyang disebarkan ternyata tidak menular
melalui udara melainkan manusia ke manusia sehingga obat retrovirus
perlu untuk ditemukan dan diformulasikan sebagai pengobatannnya.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, cara penularan atau penyebaran
unnatural disaster dalam hal ini melalui bioterorisme dengan agen
penyebarnya adalah virus, penting untuk mengetahui pola penularannya
untuk memberikan manajemen penanggulangan yang cepat dan tepat.
20
2. 10 Hambatan terkait dengan Manajemen Disaster
Farmer, JC et al (2006) menyampaikan bahwa terdapat kurang
siapnya rumah sakit dalam kejadian bencana. Kekurangsiapsiagaan
tersebut meliputi kurangnya koordinasi antara rumah sakit dan/atau
lembaga pemerintahan sipil, kurangnya kapasitas perawat kritis di tempat,
kurangnya “portabilitas” proses perawatan akut yaitu transportasi korban
dan atau membawa perawatan ke korban, kurangnya pendidikan,
ketidakmampuan rumah sakit untuk memprioritaskan peralatan yang
diperlukan untuk bencana. 201 Chan, Y. F., et al (2006) juga
mengungkapkan beberapa hambatan yang dialami dalam penanganan
manajemen disaster di Taiwan, yaitu pusat komando yang tidak efektif,
komunikasi yang buruk, kurangnya kerjasama antara pemerintah sipil dan
militer, tertunda perawatan pra rumah sakit, over loading rumah sakit
melebihi kapasitas, staf yang tidak memadai dan salah urus tindakan
kesehatan masyarakat.
Menurut Van Borkulo (2002) untuk mengatasi hambatan dalam
penanggulangan bencana perlunya integrasi antara komando dan kontrol di
lapangan akan meningkatkan keberhasilan penanganan bencana pada fase
emergensi. Penelitian Haojun et al (2011) berdasarkan pengalaman
bencana gempa bumi di Wenchuan China, untuk meningkatkan efektivitas
dan efisiensi manajemen bencana maka beberapa hal yang harus
ditingkatkan yaitu ketersediaan peralatan emergensi di lapangan,
peningkatan kecepatan triase, dan melengkapi petugas kesehatan dengan
peralatan portable dan kemampuan untuk mengoperasikannya.
21
BAB 3
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
22
3.1.1.2. Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan
dalam peneyelenggaraan PB.
3.1.1.3. Mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan
tentang kebijakan PB.
3.1.1.4. Berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan
pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan
kesehatan termasuk dukungan psikososial.
3.1.1.5. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap
kegiatan PB, khususnya bagi yang berkaitan dengan diri
dan komunitasnya.
3.1.1.6. Melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang
diatur atas pelasanaan PB.
3.1.2 Hak dan kewajiban korban bencana.
Selain itu orang yang terkana bencana berhak mendapatkan
bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, serta memperoleh ganti rugi
karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan
konstruksi. Sementara itu kewajiban setiap orang antara lain :
3.1.2.1. Menjaga keidupan sosial masyarakat yang harmonis,
memelihara keseimbangan, keselarasan, dan kelestarian
fungsi lingkungan hidup.
3.1.2.2. Melakukan kegiatan PB.
3.1.2.3. Memberikan informasi yang benar kepada publik tentang
PB.
3.1.3 peran serta masyarakat dalam upaya pra- bencana
3.1.3.1. Pegambilan keputusan.
3.1.3.2. Memberikan oinformasi yang benar kepada publik.
3.1.3.3. Pengawasan.
3.1.3.4. Perencanaan.
3.1.3.5. Implementrasi.
3.1.3.6. Pemeliharaan program kegiatan PB.
23
3.2 Pemberdayaan masyarakat pesisisr laut dalam tahap Prabencana
24
prasarana dan kelembagaan di wilayah pascabencana. Kegiatan kegiatan itu
antara lain :
25
3.4.5 Pemantauan pelaksanaan rencana operasi tanggap darurat.
3.4.6 Kegiatan lain yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian
bencana.
3.5 Jumlah kasus atau kejadian yang terjadi di Indonesia
Tahun 2006 lalu telah terjadi tsunami di Aceh dan Sumatera Utara,
menyusul gempa di Nias dan berikutnya Mentawai. Bencana gempa bumi
dan tsunami yang melanda Aceh seolah menyadarkan kita betapa Negara
kita sesungguhnya adalah Negara rawan bencana. Berdasarkan potensi
bencana dan tingkat kerentanan, maka dapat diperkirakan risiko bencana
yang terjadi di perkotaan Indonesia tergolong tinggi. Faktor lain yang
mendorong semakin tingginya risiko bencana ini adalah: banyaknya
penduduk yang tinggal di kawasan rawan bencana, dengan alasan seperti:
kesuburan tanah, kesempatan kerja, kedekatan secara emosional dan lain-
lain.
Kota Padang dengan posisi geografis terletak pada 100º 05’ 05” - 100º
34’ 09” BT dan 00º 44’ 00” - 01º 08’ 35” LS, dilewati jalur gunung api,
sangat rawan terhadap ancaman bahaya bencana alam geologi. Selain gempa
bumi dan tsunami, bencana yang terjadi juga ada bencana banjir
permukiman, banjir bandang, tanah longsor, kebakaran di padat
permukiman, badai, dan lain-lain. Berdasarkan data-data Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang didapatkan data-
data kegempaan yang memperlihatkan lokasi pusat-pusat gempa di Kota
Padang tersebar cukup merata.
26
Gempa bumi yang terjadi pada 30 September 2009 di Kota Padang
berakibat banyaknya korban jiwa, untuk itu Kementerian Pekerjaan Umum,
Direktorat Jenderal Cipta Karya melalui PNPM Mandiri Perkotaan akan
melaksanakan kegiatan yang dinamakan Pengurangan Risiko Bencana
Berbasis Komunitas (PRB-BK), yang menempatkan masyarakat sebagai
subyek atau pelaku utama kegiatan.
27
Secara umum, tujuan pelaksanaan kegiatan PRB-BK adalah
meningkatnya kesiapan masyarakat dalam pengurangan risiko bencana alam
berbasis komunitas. Sedangkan tujuan secara khusus yaitu Meningkatkan
kapasitas masyarakat Kelurahan lolong belanti dalam pembangunan
berbasis pengurangan risiko bencana, Menyusun rencana pembangunan
masyarakat berbasis pengurangan risiko bencana secara partisipatif,
Melaksanakan model pembangunan berbasis pengurangan risiko bencana.
28
3.5.1 Potensi/Kapasitas kelembagaan yang dimiliki
29
perguruan tinggi dan kemudian SLTP. Jumlah penduduk dalam usia
wajib belajar yang putus sekolah relatif sedikit yaitu 29 orang.
Sedangkan tingkat pengangguran relatif banyak yaitu sebesar 2.287
orang di usia 15 s.d 55 Tahun.
30
Kecamatan Padang Barat yang merupakan pusat pemerintahan, baik
pemerintahan provinsi maupun pemerintahan kota.
31
terlembaga dengan baik komitmen ataupun kebijakan yang
sistematis, walaupun sudah ada Kelompok Siaga Bencana (KSB) di
Kelurahan Lolong Belanti.
32
BAB 4
PENUTUP
4.1 SIMPULAN
Peran serta masyarakat dalam PB dalam semua bidang
penyelenggaraan PB diatur dalam Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 11 Taun 2014 tentang Peran Serta
Masyarakat dalam Penyelenggaraan Peanggulangan Bencana ( Perka
BNBP No. 11/2014 ).Perka BNPB No. 11/2014 ditetapkan oleh Kepala
BNBP, Syamsul Ma’arif pada tanggal 16 Oktober 2014 adalah untuk
mendukung penguatan kegaiatan PB dan kegiatan pendukung lainnya
secara berdaya guna, berhasil guna, dan dapat dipertanggung jawabkan.
Disini pengertian peran masyarakat dalam peneyelenggaraan PB
secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka
memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman resiko dan
dampak bencana.Peran serta masyarakat dalam peneyelenggaraan PB
meliputi tahap prabencana, tanggap darurat, pemulihan awal, serta
rehabiltasi dan rekonstruksi pascabencana. Dalam pelaksanaannya
dilakukan secara sendiri-sendiri atau bersama dengan mitra kerja, dan
dengan mengutamakan pengurustamaan pengurangan resiiko bencana (
PRB ).
4.2 SARAN
Diharapkan pemerintah dapat mendukung adanya pemberdayaan
masyarakat yang berdampak bencana seperti halnya memfasilitasi sarana
dan prasarana untuk fasilitas publik hingga pemberdayaam kebutuhan
dasar masyarakat sekitar yang berdampak bencana. Pemantauan
pelaksanaan penyelenggaraan penanggulan bencana perlu adanya
koordinasi yang baik antara pemerintah yang terkait dengan warga yang
berdampak bencana. Perlu adanya pelaksanaan seperti meberikan
informasi atau penyuluhan mengenai tanggap darurat bencana.
33
DAFTAR PUSTAKA
Benson, M., Koenig, K. L., & Schultz, C. H. (2012). Disaster triage: START, then
SAVE—a new method of dynamic triage for victims of a catastrophic
earthquake. Prehospital and disaster medicine, 11(02), 117-124.
Bronze, M. S., Huycke, M. M., Machado, L. J., Voskuhl, G. W., & Greenfield, R.
A. (2002). Viral agents as biological weapons and agents of bioterrorism.
The
American journal of the medical sciences, 323(6), 316-325.
Chan, Y. F., Alagappan, K., Gandhi, A., Donovan, C., Tewari, M., & Zaets, S. B.
(2006). Disaster management following the Chi-Chi earthquake in
Taiwan.
Prehospital and disaster medicine, 21(03), 196-202.
Farmer, J Christopher MD; Carlton, Paul K. Jr MD; Lt. Gen., USAF, MC (Ret.).
(2006). Providing Critical care during a Disaster.
Gaillard, J. C., Clavé, E., Vibert, O., Denain, J. C., Efendi, Y., Grancher, D., ... &
Setiawan, R. (2008). Ethnic groups’ response to the 26 December 2004
earthquake and tsunami in Aceh, Indonesia. Natural Hazards, 47(1), 17-
38. 202
34
Haojun, F., Jianqi, S., & Shike, H. (2011). Retrospective, analytical study of field
first aid following the Wenchuan Earthquake in China. Prehosp Disaster
Med,26(2),130-134.
Meissner, A., Luckenbach, T., Risse, T., Kirste, T., & Kirchner, H. (2002, June).
Design challenges for an integrated disaster management communication
and information system. In The First IEEE Workshop on Disaster
Recovery
Networks (DIREN 2002) (Vol. 24).
Parnell, G. S., Smith, C. M., & Moxley, F. I. (2010). Intelligent adversary risk
analysis: A bioterrorism risk management model. Risk analysis, 30(1),
32-48.
Van Borkulo, E., Barbosa, V., Dilo, A., Zlatanova, S., & Scholten, H. (2006,
September). Services for emergency response systems in the
Netherlands. In
Second Symposium on Gi4DM, Goa.
35