Anda di halaman 1dari 35

Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Dengan Evidence Base In Disaster

Nursing

PJMK Dosen :

Merina Widyastuti, S.Kep.,Ns., M.Kep

Dosen Fasilitator:

Dwi P, S. Kep.,Ns.,M.Kep

Oleh Kel 3:

1. Astika Rahmawati (1610016)

2. Nelly Marlinda (1610070)

3. Putri Ayu Septianing (1610086)

4. Ruci Navy Australian I (1610092)

5. Sinta Ayu Artika (1610096)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA


2019/2020

1
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya yang di berikan kepada kelompok kami dapat
menyelesaikan makalah “PENDEKATAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DENGAN EVIDENCE BASE IN DISASTER NURSING”. Tidak lupa saya
ucapkan terimakasih kepada dosen keperawatan bencana yang sudah
membimbing kita dan terimakasih untuk kelompok 3 yang sudah melakukan
kerjasama kelompok dengan baik. Sehingga makalah ini tepat waktu dalam
pengumpulannya.

kelompok kami menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas dari


Keperawatan Bencana. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna, masih banyak kekurangan dan ketidak sempurnaan dalam penyusunan
dari makalah ini.

Atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan makalah ini,kami segenap


kelompok mmengharapkan masukan, kritik dan saran yang bersifat untuk
membangun kearah kesempurnaan dari makalah ini. Cukup banyak kesulitan yang
kelompok temui di penyusunan makalah ini, tetapi alhamdulillah atas kerjasama
yang diberikan kelompok dapat menyelesaikannya dengan baik.

Akhir kata kami ucapkan berharap jika makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak dan semoga amal baik yang dilakukan oleh kelompok kami dalam
penyusunan makalah ini dapat balasan dari Allah SWT.

Surabaya, 9 Oktober 2019

Penulis

Kelompok 3

2
DAFTAR ISI

Cover
Kata pengantar ...................................................................................................... i
Daftar isi ................................................................................................................ ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah...................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ..................................................................................................... 2

BAB 2

PEMBAHASAN

2. 1 Pengertian umum bencana alam................................................................ 3


2. 2 Pengertian tsunami .................................................................................... 4
2. 3 Konsep bencana tsunami ........................................................................... 5
2. 4 Penanggulanagan bencana tsunami ........................................................... 8
2. 5 Upaya penanggulangan bencana tsunami ................................................. 8
2. 6 Upaya penanggulangan bencana tsunami dalam keperawatan ................. 9
2. 7 Daftar data tsunami ................................................................................... 12
2. 8 Konsep manajemen disaster area keperawatan emergensi........................ 14
2. 9 Penanggulangan korban bencana .............................................................. 16
2. 10 Hambatan manajemen disaster .................................................................. 17

BAB 3

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

3.1 Pemberdayaan masyarakat dalam resiko bencana .................................... 18


3.2 Pemberdayaan masyarakat pesisir laut dalam tahap pra bencana ............. 20
3.3 Pemberdayaan masyarakat pesisir laut dalam tahap pascabencana .......... 20

3
3.4 Pemberdayaan masyarakat pesisir laut pada laut pada tahap tangap darurat
bencana...................................................................................................... 21
3.5 Jumlah kasus yang terjadi di Indonesia ..................................................... 22

BAB 4

PENUTUP

4.1 SIMPULAN .............................................................................................. 29


4.2 SARAN ..................................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 30

4
BAB 1
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik
faktor alam maupun faktor non alam, maupun faktor manusia, sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologi. (Suratman Woro Suprojo,
Prosiding pengindraan jauh dan system informasi geografi. 2012).
Gelombang tsunami merupakan salah satu bencana alam yang
menimbulkan kerusakan yang dasyat hingga korban jiwa pada tempat yang
dilalui gelombang pasang tersebut. Tsunami terjadi setelah terjadi gempa
sangat besar yang diakibatkan oleh aktivitas lempeng kerak bumi dibawah laut
yang bertabrakan antar lempeng.
Di Indonesia sering terjadinya Tsunami, jika terjadi gempa berskala ricter
besar di sekitar lempeng laut maka maka kemungkinan terjadinya tsunami
sangat besar. Karena Indonesia wilayahnya lebih besar laut daripada daratan.
Tsunami Aceh (2004) menelan korban jiwa lebih dari 160.000 korban jiwa,
Tsunami Kepulauan Banggai tahun (2000) di Sulawesi Tengah 2000 korban
tewas. Tsunami Flores (1992) menelan lebih dari 1.300 korban jiwa dan 500
orang hilang. Tsunami Sumba (1977) pantai Sumba NTT menelan korban jiwa
75 jiwa penduduk tewas, 26 hilang dan 18 luka parah. Tsunami Sulteng (1968)
menelan korban jiwa 200 orang.
Untuk mengamati bencana tsunami dapat dilihat dari seberapa besar
gempa yang dihasilkan serta air laut yang mengalami penyusutan secara cepat.
Akan tetapi banyak masyarakat belum mengetahui gejala alam yang dapat
menimbulkan bencana tsunami. Masyarakat seharusnya mengetahui fenomena
alam yang akan menimbulkan gelombang tsunami.
Pada laporan akhir sebelumnya telah dibahas masalah pendeteksi gempa
dengan menggunakan sensor getar (piezo vibration) namun tidak membahas
masalah deteksi tsunami. Untuk mendeteksi datangnya gelombang tsunami,
dapat dilakukan dengan melihat berbabagai fenomena alam dipesisir pantai,

5
misalnya air laut tiba-tiba menjadi surut panjang 800 meter dalam waktu
singkat dan tak lama kemudian terjadi gelombang yang sangat besar, yang
masuk ke daratan sampai beberapa kilometer (Nani Trianawati Sugito, 2008).
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana upaya penanggulangan dan pemberdayaan masyarakat
bencana tsunami?
1.2.2 Bagaimana upaya penanggulangan dan pemberdayaan masyarakat
bencana tsunami dalam keperawatan?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui upaya penanggulangan dan pemberdayaan
masyarakat bencana tsunami.
1.3.2 Untuk mengetahui upaya penanggulangan dan pemberdayaan
masyarakat bencana tsunami dalam keperawatan.
1.4 Manfaat
Secara umum makalah ini diharaprkan dapat memberikan kontribusi bagi para
pembaca

6
BAB 2

PEMBAHASAN

2. 1 Pengertian Umum Bencana Alam


Bencana alam sering terjadi di Indonesia. Untuk itu diperlukan
pengetahuan serta pemahaman terhadap bencana-bencana alam yang
mungkin akan tejadi di masa mendatang. Bencana alam juga menjadi pusat
perhatian yang besar dalam menarik dan mengundang respon dari berbagai
pihak terhadap para korban bencana. Belajar dari sejumlah bencana yang
terjadi di Indonesia, sudah semestinya masyarakat dibekali dengan
pengetahuan dan pemahaman tentang bencana, agar mampu
menghadapinya ketika diterpa bencana dan turut berperan dalam upaya
penanggulangan bencana itu sendiri. Karena bagaimanapun juga disadari
bahwa penanggulangan bencana tidak hanya melibatkan pemerintah dan
pihak-pihak lain, namun peran masyarakat di dalamnya sangat penting.
Setiap orang memiliki definisi sendiri-sendiri dari kata bencana alam. Ada
Beberapa pendapat para ahli yang mengungkapkan pengertian tentang
bencana alam.
Bencana dapat didefinisikan dalam berbagai arti baik secara
normatif maupun pendapat para ahli. Menurut Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
Pengertian bencana dalam Kepmen Nomor 17 / kep / Menko /
Kesra / x / 95 adalah sebagai berikut : Bencana adalah Peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, dan atau
keduanya yang mengakibatkan korban dan penderitaan manusia, kerugian
harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana prasarana dan
fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan
penghidupan masyarakat.

7
Menurut Departemen Kesehatan RI (2001), definisi bencana adalah
peristiwa atau kejadian pada suatu daerah yang mengakibatkan kerusakan
ekologi, kerugian kehidupan manusia, serta memburuknya kesehatan dan
pelayanan kesehatan yang bermakna sehingga memerlukan bantuan luar
biasa dari pihak luar.
Sedangkan definisi bencana (disaster) menurut WHO (2002)
adalah setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan, gangguan ekologis,
hilangnya nyawa 21 manusia, atau memburuknya derajat kesehatan atau
pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respon dari luar
masyarakat atau wilayah yang terkena.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana mempunyai arti
sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian atau
penderitaan. Sedangkan bencana alam artinya adalah bencana yang
disebabkan oleh alam (Purwadarminta, 2006) Menurut Undang-Undang
No.24 Tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non
alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis. Bencana merupakan pertemuan dari tiga unsur, yaitu ancaman
bencana, kerentanan, dan kemampuan yang dipicu oleh suatu kejadian.
2. 2 Pengertian Tsunami
Istilah tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu tsu yang artinya
‘pelabuhan’ dan nami yang artinya ‘gelombang’. Jadi kata tsunami dapat
diartikan sebagai “gelombang di pelabuhan”. Kata ini merupakan istilah
yang digunakan untuk mendefinisikan terjadinya fenomena gempa di
lautan yang mengakibatkan gelombang laut sangat dahsyat dan mampu
merusak apapun yang dilaluinya ketika mencapai garis pantai. Menurut
Badan Nasional Penangglangan Bencana (2011)Tsunami adalah
serangkaian peristiwa bersamaan antara gelombang dan ombak laut
sehingga menimbulkan pergeseran lempeng di dasar laut sebagai bentuk

8
akibat dari pengertian gempa bumi yang sebelumnya terjadi. Definsi
tersebut sesuai dengan dasar teori pembentukan bumi menurut para ahli.

Tsunami dibangkitkan oleh interaksi antara gerakan dasar laut,


danau, atau reservoir dengan air di atasnya, misalnya yang ditimbulkan
oleh dislokasi dan longsor. Letusan gunung api, atau tumbukan meteor
atau benda langit lainnya yang masuk ke dalam perairan juga mampu
menimbulkan tsunami.Tsunami merupakan gelombang panjang yang
disebabkan salah satunya oleh gerakan dasar laut berupa disloksi.
Dislokasi adalah pergerseran kulit bumi yang jika kea rah vertikal
menimbulkan perubahan elevasi permukaan. Perubahan elevasi tersebut
jika terjadi secara mendadak akan menimbulkan perubahan muka air di
atasnya (jika dislokasi tersebut di bawah laut atau danau) yang disebut
gelombang. Gelombang seperti ini kan menjalar ke segala arah yang
disebut tsunami.
Gelombang tersebut dapat menyerang pantai manapun dan
kapanpun. Gelombang akibat gerakan lapisan tanah yang berupa longsoran
juga banyak terjadi dan mengakibatkan tsunami baik di laut maupun di
reservoir yang mengakibatkan banyak korban jiwa.Tsunami biasanya
ditandai oleh air laut yang surut secara tiba-tiba setelah terjadinya gempa
bumi. Beberapa setelah pantai surut terjadilah gelombang membalik yang
sangat besar. Kecepatan gelombang tsunami ratusan kilometer per jam.
Selengkapnya, baca; Jenis Gempa Bumi Berdasarkan Terjadinya
kerusakan hebat akibat gelombang tsunami biasayanya terjadi pada
permukiman dan bangunan lainnya di pesisir pantai yang laindai,
berhadapan langsung dengan laut lepas serta tidak ada vegetasi, seperti
hutan bakau dan tanaman lainnya yang cukup besar dan berakar kuat dan
dalam, yang dapat berfungsi sebagai pemecah atau peredam gelombang.
2. 3 Konsep Bencana Tsunami
2.3.1 Pra Bencana
2.3.1.1. Situasi tidak terdapat potensi bencana
a. Perencanaan penanggulangan bencana tsunami

9
b. Pengurangan resiko bencana tsunami
c. Pencegahan bencana tsunami
d. Pemanduan dalam perencanaan pembangunan
e. Persyaratan analisis risiko bencana tsunami
f. Pelaksanaan dan penegakan rencana total ruang
g. Pendidikan, pelatihan, dan persyaratan standar teknis

h. Situasi terdapat potensi bencana


2.3.1.2. Kesiapsiagaan

Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk


mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta
melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU
24/2007). Misalnya: penyiapan sarana komunikasi, pos
komando, penyiapan lokasi evakuasi, rencana kontinjensi,
dan sosialisasi peraturan / pedoman penanggulangan
bencana.

2.3.1.3. Peringatan dini bencana tsunami

Upaya untuk memberikan tanda peringatan bahwa


bencana kemungkinan akan segera terjadi. Pemberian
peringatan dini harus: menjangkau masyarakat (accesible),
segera (immediate), tegas tidak membingungkan
(coherent), bersifat resmi (official)

2.3.1.4. Mitigasi

Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana,


baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana
(UU 24/2007). Upaya yang dilakukan untuk
meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana.
Ada dua bentuk mitigasi: mitigasi struktural dan mitigasi
non struktural (peraturan, tata ruang, pelatihan).

10
2.3.2 Bencana
2.3.2.1. Tanggap darurat (response)

Upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian


bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan,
terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda,
evakuasi dan pengungsian.

2.3.2.2. Bantuan darurat

Merupakan upaya untuk memberikan bantuan berkaitan


dengan pemenuhan kebutuhan dasar berupa: pangan,
sandang, tempat tinggal ementara, kesehatan, sanitasi dan
air bersih.

2.3.2.3. Pasca Bencana


1. Pemulihan
Proses pemulihan darurat kondisi masyarakat
yang terkena bencana, dengan memfungsikan
kembali prasarana dan sarana pada keadaan
semula. Upaya yang dilakukan adalah
memperbaiki prasarana dan pelayanan dasar (jalan,
listrik, air bersih, pasar, puskesmas, dll)
2. Rehabilitasi
Upaya langkah yang diambil setelah bencana
untuk membantu masyarakat memperbaiki
rumahnya, fasilitas umum dan fasilitas sosial
penting, dan menghidupkan kembali roda
perekonomian.
3. Rekontruksi
Program jangka menengah dan jangka panjang
guna perbaikan fisik, sosial, ekonomi untuk
mengembalikan kehidupan masyarakat pada
kondisi yang sama atau lebih baik dari
sebelumnya.

11
2. 4 Penanggulangan Bencana Tsunami
Serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang
berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap
darurat, rehabilitasi dan kontruksi (UU 24/2007).
Tujuan dari penanggulangan bencana:

2.4.1 Memberikan perlidungan kepada masyarakat dari ancaman bencana


2.4.2 Menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang telah ada
2.4.3 Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh
2.4.4 Menghargai budaya lokal
2.4.5 Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta
2.4.6 Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan
kedermawanan
2.4.7 Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.

2. 5 Upaya Penanggulangan Bencana Tsunami

2.5.1 Penataan kembali (relocation) lahan pantai


Pada tempat-tempat yang potensial terjadi tsunami, penataan
kembali lahan pantai harus dilakukan. Pembangunan pemukiman
yang terletak terlalu dekat dengan garis pantai setebal 200 meter
perlu dihijaukan kembali dengan hutan mangrove dan pohon-pohon
besar lainnya, seperti pohon kelapa yang berlapis-lapis, batu-batu
karang perlu dibiarkan tumbuh karena dapat berfungsi sebagai
pemecah gelombang alami.
2.5.2 Melestarikan hutan mangrove
Hutan mangrove yang secara alami hanya dijumpai di pantai-
pantai daerah tropik, pada umumnya terbentuk oleh pepohonan
halofit yaitu pohon-pohon yang dapat bertahan hidup pada kondisi
tanah yang tergenang terus-menerus dengan tingkat salinitas (kadar
garam) yang tinggi, seperti pohon bakau, pohon tanjang dan pohon
nipah. Hutan mangrove dapat mencapai ketebalan sampai 200

12
meter di garis pantai dan ketinggian pohon sampai 30 meter.
Dengan kondisi seperti itu hutan mangrove dapat berfungsi ideal
sebagai perisai alami pelindung pantai dari ancaman gelombang
tsunami, angin kencang, maupun erosi.
2.5.3 Pembuatan pemecah gelombang atau overtopping
Salah satu metode untuk melindungi suatu daerah di tepi pantai
dari gelombang tsunami adalah dengan membuat pemecah
gelombang (break water) di laut atau overtopping seawall di darat.
Kedua struktur tersebut haru cukup kuat dan stabil untuk menahan
gaya hidrodinamik gelombang dan gaya-gaya lain yang timbul.
Cara ini memang cukup mahal namun pada kondisi tertentu cukup
efektif untuk mengurangi atau bahkan mencegah bencana yang
diakibatkan oleh gelombang tsunami.

2. 6 Upaya Penanggulangan Bencana Tsunami Dalam Keperawatan

Peran Perawat (Menurut Jurnal dari Ardia Putra dkk. 2012. vol VI no I)
2.6.1 Pencarian dan penyelamatan
2.6.1.1. Melokalisasi korban.
2.6.1.2. Memindahkan korban dari daerah berbahaya ke tempat
pengumpulan/penampungan.
2.6.1.3. Memeriksa status kesehatan korban (triase di tempat
kejadian).
2.6.1.4. Memberi pertolongan pertama jika diperlukan.
2.6.1.5. Memindahkan korban ke pos medis lapangan jika
diperlukan.
2.6.2 Triase
2.6.2.1. Identifikasi secara cepat korban yang membutuhkan
stabilisasi segera (perawatan di lapangan).
2.6.2.2. dentifikasi korban yang hanya dapat diselamatkan
dengan pembedahan darurat (life saving surgery).
2.6.2.3. Pasien harus diidentifikasi dan diletakkan secara cepat
dan tepat, mengelompokkan korban sesuai dengan

13
keparahan pada masingmasing warna tag yaitu kuning
dan merah.
2.6.2.4. Area tindakan harus ditentukan sebelumnya dan diberi
tanda.
2.6.2.5. Penemuan, isolasi dan tindakan pasien
terkontaminasi/terinfeksi harus diutamakan.
2.6.3 Pertolongan pertama
2.6.3.1. Mengobati luka ringan secara efektif dengan melakukan
teknik pertolongan pertama, seperti kontrol perdarahan,
mengobati shock dan menstabilkan patah tulang.
2.6.3.2. Melakukan pertolongan bantuan hidup dasar seperti
manajemen perdarahan eksternal, mengamankan
pernafasan, dan melakukan teknik yang sesuai dalam
penanganan cedera.
2.6.3.3. Mempunyai keterampilan Pertolongan pertama seperti
membersihkan jalan napas, melakukan resusitasi dari
mulut-mulut, melakukan CPR/RJP, mengobati shock,
dan mengendalikan perdarahan.
2.6.3.4. Membuka saluran udara secepat mungkin dan memeriksa
obstruksi saluran napas harus menjadi tindakan pertama,
jika perlu saluran udara harus dibuka dengan metode
Head-Tilt/Chin-Lift.
2.6.3.5. Mengalokasikan pertolongan pertama pada korban
dengan perdarahan, maka perawat harus mnghentikan
perdarahan, karena perdarahan yang tidak terkontrol
dapat menyebabkan kelemahan dan apabila akhirnya
shock dapat menyebabkan korban meninggal.
2.6.4 Proses pemindahan korban
2.6.4.1. Pemeriksaan kondisi dan stabilitas pasien dengan
memantau tanda tanda vital;
2.6.4.2. Pemeriksaan peralatan yang melekat pada tubuh pasien
seperti infus,

14
2.6.4.3. pipa ventilator/oksigen, peralatan immobilisasi dan lain--
‐lain.
2.6.5 Perawatan di rumah sakit
2.6.5.1. Mengukur kapasitas perawatan rumah sakit.
2.6.5.2. Lokasi perawatan di rumah sakit
2.6.5.3. Hubungan dengan perawatan di lapangan.
2.6.5.4. Arus pasien ke RS harus langsung dan terbuka.
2.6.5.5. Arus pasien harus cepat dan langsung menuju RS, harus
ditentukan,
2.6.5.6. tempat tidur harus tersedia di IGD, OK, ruangan dan
ICU.
2.6.6 RHA
2.6.6.1. Menilai kesehatan secara cepat melalui pengumpulan
informasi cepat dengan analisis besaran masalah sebagai
dasar mengambil keputusan akan kebutuhan untuk
tindakan penanggulangan segera.
2.6.7 Peran perawat di dalam posko pengungsian dan posko bencana
2.6.7.1. Memfasilitasi jadwal kunjungan konsultasi medis dan
cek kesehatan sehari-hari.
2.6.7.2. Tetap menyusun rencana prioritas asuhan keperawatan
harian.
2.6.7.3. Merencanakan dan memfasilitasi transfer pasien yang
memerlukan penanganan kesehatan di RS.
2.6.7.4. Mengevaluasi kebutuhan kesehatan harian.
2.6.7.5. Memeriksa dan mengatur persediaan obat, makanan,
makanan khusus bayi, peralatan kesehatan.
2.6.7.6. Membantu penanganan dan penempatan pasien dengan
penyakit menular maupun kondisi kejiwaan labil hingga
membahayakan diri dan lingkungannya berkoordinasi
dengan perawat jiwa.
2.6.7.7. Mengidentifikasi reaksi psikologis yang muncul pada
korban (ansietas, depresi yang ditunjukkan dengan

15
seringnya menangis dan mengisolasi diri) maupun
reaksipsikosomatik (hilang nafsu makan, insomnia,
fatigue, mual muntah, dan kelemahan otot).
2.6.7.8. Membantu terapi kejiwaan korban khususnya anak-anak,
dapat dilakukan dengan memodifikasi lingkungan misal
dengan terapi bermain.
2.6.7.9. Memfasilitasi konseling dan terapi kejiwaan lainnya oleh
para psikolog dan psikiater.
2.6.7.10. Konsultasikan bersama supervisi setempat mengenai
pemeriksaan kesehatan dan kebutuhan masyarakat yang
tidak mengungsi.
2.6.8 Peran perawat dalam fase postimpact
2.6.8.1. Membantu masyarakat untuk kembali pada kehidupan
normal
2.6.8.2. melalui proses konsultasi atau edukasi.
2.6.8.3. Membantu memulihkan kondisi fisik yang memerlukan
2.6.8.4. penyembuhan jangka waktu yang lama untuk normal
kembali bahkan
2.6.8.5. terdapat keadaan dimana kecacatan terjadi.

2. 7 Daftar data tsunami


2.7.1 Tsunami di Jawa Timur
2.7.1.1. Gempa disertai tsunami pernah memporak-porandakan
pesisir pantai dari Yogyakarta hingga Trenggalek pada
1840 dan 1859. Gempa dengan kekuatan lebih dari 7 SR
di pesisir pantai Pacitan juga pernah terjadi pada Oktober
1859. Ada pula gempa dengan kekuatan 8 SR yang
menewaskan lebih dari 500 orang di Yogyakarta pada
Juni 1867.
2.7.1.2. Pada 26 Februari 2016, gempa kembali terjadi di Pacitan
dengan kekuatan 5,3 SR yang berpusat di Samudera
Hindia, sekitar 100 km arah tenggara Pacitan. Meski tak

16
menimbulkan tsunami, namun getarannya terasa hingga
Yogyakarta.
2.7.1.3. Terjadi di wilayah selatan Jawa Timur pada 3 Juni 1994.
Saat itu sejumlah kawasan pesisir selatan Banyuwangi,
Pantai Plengkung, Pantai Pancer, dan Pantai Rajegwesi
diterjang tsunami akibat adanya aktivitas gempa tektonik
7,8 M di kedalaman 18 km arah selatan Samudera
Hindia. Akibatnya, lebih dari 200 korban meninggal dan
kerusakan parah terjadi pada perumahan warga.
2.7.1.4. Gempa Pangandaran yogyakarta merupakan
pengulangan dari gempa yang juga pernah terjadi di
lokasi yang sama pada 1921. Tak ada catatan terkait
kejadian gempa kala itu. Namun getarannya yang
mencapai 7,5 SR menyebabkan terjadinya tsunami di
sepanjang pesisir selatan dengan garis pantai daerah
terlanda sepanjang 275 km.Tsunami akibat gempa di
wilayah pantai selatan kembali terjadi pada
2006.Gelombang tsunami juga menghantam sejumlah
wilayah pesisir pantai selatan Jawa Barat, seperti
Cipatujah, Tasikmalaya dan beberapa pesisir selatan
Jawa Tengah di Cilacap hingga Purworejo.Gempa
bersumber dari subduksi lempeng Indo-Australia dan
Eurasia yang berpusat di 225 km arah barat Daya
Kabupaten Pangandaran dan menyebabkan lebih dari
600 korban meninggal serta ribuan korban luka-luka.
Getarannya bahkan terasa hampir di seluruh wilayah
Pulau Jawa, termasuk Jakarta. Berdasarkan laporan BBC
Indonesia, kepanikan juga dirasakan banyak karyawan
dari sejumlah perka.

17
2.7.2 Tsunami di Indonesia
2.7.2.1. Tsunami Aceh (2004)Gelombang tsunami yang terjadi
pada 26 Desember 2004, pukul 09.00 WIB telah menelan
lebih dari 160.000 korban jiwa.
2.7.2.2. Tsunami Kepulauan Banggai (2000) Sulawesi Tengah
pada 4 Mei 2000korban tewas akibat bencana alam
gempa tektonik dan tsunami sekitar 46 orang. Tsunami
kurang lebih setinggi 3 meter telah merusak ribuan
rumah penduduk.
2.7.2.3. Tsunami Banyuwangi (1994)Pada 3 Juni 1994
Gelombang menyapu perkampungan nelayan yang
terletak sekitar 150 meter dari bibir pantai. Sedikitnya 61
tewas dan 213 rumah rata dengan tanah
2.7.2.4. Tsunami Flores (1992)pada 12 Desember 1992lebih dari
1.300 orang dinyatakan meninggal, 500 orang hilang dan
ribuan bangunan rusak baik itu karena terjangan ombak
atau terkena reruntuhan gedung
2.7.2.5. Tsunami Sumba (1977)pantai Sumba NTT pada 19
Agustus 1977. Gempa bermagnitudo 7 beserta
gelombang tsunami setinggi 8 meter tercatat 75 jiwa
penduduk tewas, 26 hilang dan 18 luka parah.
2.7.2.6. Tsunami Sulteng (1968)Pada 10 Agustus 1968, gempa
bermagnitudo 7,3 mengguncang wilayah Sulawesi
Tengah. Tiga hari kemudian gelombang tsunami
menyapu kawasan Donggala setelah berkali-kali
gempa.Sekitar 200 orang tewas dan rumah hancur karena
terkena gelombang
2. 8 Konsep Manajemen Disaster di Area Keperawatan Emergensi
Korban bencana berdasarkan triase di lapangan dapat
diklasifikasikan menjadi pasien gawat darurat dengan label merah, yaitu
korban bencana dalam kondisi kritis (immediate) atau kegawatan yang
mengancam nyawa dengan kriteria adanya luka parah dengan respirasi

18
>30x/menit, tidak ada denyut nadi radialis, tidak sadar/penurunan
kesadaran yang merupakan prioritas pertama penanganan dan untuk segera
ditransportasikan ke rumah sakit. Prioritas kedua adalah korban bencana
dalam kondisi gawat yang tidak mengancam nyawa dalam waktu dekat
(delay) diberi label kuning, dengan kriteria adanya cedera tidak
mengancam nyawa dan dapat menunggu untuk periode waktu tertentu
untuk penatalaksanaan dan transportasi dengan respirasi <30x/menit, nadi
teraba, status mental normal. Prioritas ketiga adalah korban bencana
dengan luka yang masih dapat berjalan atau tidak terdapat kegawatan
sehingga penanganan dapat ditunda (minor). Tindakan yang harus
dilakukan apabila pasien dalam keadaan gawat darurat maka perawat harus
melakukan airway management, penanganan sirkulasi, dan evakuasi dari
tempat bencana ke tempat yang aman atu rumah sakit. Prioritas evakuasi
berdasarkan triase yang sudah dilakukan, dimana korban yang dengan
prioritas pertama (label merah) dievakuasi terlebih dahulu dengan
menggunakan ambulans dimana korban memerlukan penanganan medis
kurang dari 1 jam, karena korban kritis ini akan 200 meninggal bila tidak
segera ditangani. Kemudian lakukan evakuasi pada korban bencana
dengan prioritas kedua dan terakhir prioritas yang ketiga. Metode triase
lain yang dikembangkan pada karakteristik bencana yang memungkinkan
munculnya jumlah korban yang sangat banyak dan memiliki efek jangka
panjang seperti gempa cathastropik bisa dilakukan sistem triase
“SecondaryAssessment of Victim Endpoint” (SAVE) yang memungkinkan
petugas untuk mengidentifikasi korban dalam waktu yang lebih lama dan
menyaring kembali korbankorban yang kemungkinan terlewat saat
dilakukan Simple Triage and Rapid Treatment” (START) pada saat tahap
emergensi (Benson et al, 2012).
Dalam konteks pelayanan rumah sakit, pemerintah telah
memasukkan manajemen bencana sebagai salah satu program yang harus
dipersiapkan oleh rumah sakit ketika bencana terjadi yang disebut dengan
Sistem Penanggulangan Gawat darurat Terpadu akibat Bencana (SPGDT-
B). SPGDT-B adalah pelayanan kegawatdaruratan pada korban bencana

19
yang ditangani secara terpadu oleh berbagai disiplin dan profesi termasuk
pelayanan keperawatan yang mencakup penanganan prehospital sampai
inhospital yaitu menanggulangi korban bencana di tempat bencana,
evakuasi ke sarana kesehatan yang lebih memadai, sarana komunikasi
untuk memperlancar penanganan korban serta upaya penanggulangan
korban gawat darurat akibat bencana di IGD atau ICU (BNPB, 2010).
Pelayanan prehospital yang dilakukan adalah pertolongan dasar
dilanjutkan dengan penanganan advance prehospital. Pertolongan dasar
yang dilakukan seperti initial assesment korban bencana, evakuasi korban,
pemberian oksigenasi, pemantuan kondisi korban dan perawatan luka,
sedangkan penanganan advance seperti pemberian terapi cairan,
krikotiroidektomi, intubasi endotrakeal, dan perawatan korban bencana
selama transportasi ke rumah sakit dengan monitoring dan observasi
kondisi korban (WHO, 2005).
2. 9 Penanggulangan Korban Bencana berkaitan dengan Karakteristik Bencana
Di Amerika serikat, berdasarkan pengalaman bioterorisme ledakan
bom di WTC tahun 2001, para peneliti menginisiasi suatu program untuk
mengantisipasi dan menanggulangi jika bencana serupa terjadi lagi melalui
mekanisme pengambilan keputusan sebelum bencana terjadi, komando
ketika bencana terjadi dan selama proses pengendalian dan penanganan
dampak bencana (Parnell, G. S., Smith, C. M., & Moxley, F. I., 2010)
Berdasarkan pengalaman terjadinya bioterorisme berupa penyebaran
ViralHemoragic Fever (VHF) penelitianoleh Bronze et al (2002
menyimpulkan bahwa virusyang disebarkan ternyata tidak menular
melalui udara melainkan manusia ke manusia sehingga obat retrovirus
perlu untuk ditemukan dan diformulasikan sebagai pengobatannnya.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, cara penularan atau penyebaran
unnatural disaster dalam hal ini melalui bioterorisme dengan agen
penyebarnya adalah virus, penting untuk mengetahui pola penularannya
untuk memberikan manajemen penanggulangan yang cepat dan tepat.

20
2. 10 Hambatan terkait dengan Manajemen Disaster
Farmer, JC et al (2006) menyampaikan bahwa terdapat kurang
siapnya rumah sakit dalam kejadian bencana. Kekurangsiapsiagaan
tersebut meliputi kurangnya koordinasi antara rumah sakit dan/atau
lembaga pemerintahan sipil, kurangnya kapasitas perawat kritis di tempat,
kurangnya “portabilitas” proses perawatan akut yaitu transportasi korban
dan atau membawa perawatan ke korban, kurangnya pendidikan,
ketidakmampuan rumah sakit untuk memprioritaskan peralatan yang
diperlukan untuk bencana. 201 Chan, Y. F., et al (2006) juga
mengungkapkan beberapa hambatan yang dialami dalam penanganan
manajemen disaster di Taiwan, yaitu pusat komando yang tidak efektif,
komunikasi yang buruk, kurangnya kerjasama antara pemerintah sipil dan
militer, tertunda perawatan pra rumah sakit, over loading rumah sakit
melebihi kapasitas, staf yang tidak memadai dan salah urus tindakan
kesehatan masyarakat.
Menurut Van Borkulo (2002) untuk mengatasi hambatan dalam
penanggulangan bencana perlunya integrasi antara komando dan kontrol di
lapangan akan meningkatkan keberhasilan penanganan bencana pada fase
emergensi. Penelitian Haojun et al (2011) berdasarkan pengalaman
bencana gempa bumi di Wenchuan China, untuk meningkatkan efektivitas
dan efisiensi manajemen bencana maka beberapa hal yang harus
ditingkatkan yaitu ketersediaan peralatan emergensi di lapangan,
peningkatan kecepatan triase, dan melengkapi petugas kesehatan dengan
peralatan portable dan kemampuan untuk mengoperasikannya.

21
BAB 3

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

3.1 Pemberdayaan Masyarakat dalam Risiko Bencana


Peran serta masyarakat dalam PB dalam semua bidang penyelenggaraan
PB diatur dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 11 Taun 2014 tentang Peran Serta Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Peanggulangan Bencana ( Perka BNBP No. 11/2014 ).
Peratura ini merupakan mandat dari pasal 26 Undang – Undang Nomor 24
Thaun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana ( UU No. 24/2007 ), Pasal 2
Peraturan Peemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana ( PP No. 21/2007 ), dan Pasal 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelollan
Bantuan Bencana ( PP No. 22/2008 ).
Perka BNPB No. 11/2014 ditetapkan oleh Kepala BNBP, Syamsul
Ma’arif pada tanggal 16 Oktober 2014 adalah untuk mendukung penguatan
kegaiatan PB dan kegiatan pendukung lainnya secara berdaya guna, berhasil
guna, dan dapat dipertanggung jawabkan. Disini pengertian peran
masyarakat dalam peneyelenggaraan PB secara terencana, terpadu,
terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan
kepada masyarakat dari ancaman resiko dan dampak bencana. Sedangkan
pengertian masyarakat itu sendiri adalah sebuah komunitas yang saling
bergantung satu sama lain hidup bersama dalam satu komunitas yang
teratur. Masyarakat adat masuk dalam pengertian ini juga. Masyarakat bisa
terdiri dari individu, maupun berkumpul dalam sebuah organisasi/lembaga (
perkumpulan ). Masyarakat merupakan salah satu elemen utama PB,selain
pemerintah dan dunia usaha.
3.1.1 Dalam upaya PB, masyarakat mempunyai hak dan kewajiban.
Setiap orang berhak untuk :
3.1.1.1. Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman,
khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana.

22
3.1.1.2. Mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan
dalam peneyelenggaraan PB.
3.1.1.3. Mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan
tentang kebijakan PB.
3.1.1.4. Berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan
pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan
kesehatan termasuk dukungan psikososial.
3.1.1.5. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap
kegiatan PB, khususnya bagi yang berkaitan dengan diri
dan komunitasnya.
3.1.1.6. Melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang
diatur atas pelasanaan PB.
3.1.2 Hak dan kewajiban korban bencana.
Selain itu orang yang terkana bencana berhak mendapatkan
bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, serta memperoleh ganti rugi
karena terkena bencana yang disebabkan oleh kegagalan
konstruksi. Sementara itu kewajiban setiap orang antara lain :
3.1.2.1. Menjaga keidupan sosial masyarakat yang harmonis,
memelihara keseimbangan, keselarasan, dan kelestarian
fungsi lingkungan hidup.
3.1.2.2. Melakukan kegiatan PB.
3.1.2.3. Memberikan informasi yang benar kepada publik tentang
PB.
3.1.3 peran serta masyarakat dalam upaya pra- bencana
3.1.3.1. Pegambilan keputusan.
3.1.3.2. Memberikan oinformasi yang benar kepada publik.
3.1.3.3. Pengawasan.
3.1.3.4. Perencanaan.
3.1.3.5. Implementrasi.
3.1.3.6. Pemeliharaan program kegiatan PB.

23
3.2 Pemberdayaan masyarakat pesisisr laut dalam tahap Prabencana

Peran serta masyarakat dalam peneyelenggaraan PB meliputi tahap


prabencana, tanggap darurat, pemulihan awal, serta rehabiltasi dan
rekonstruksi pascabencana. Dalam pelaksanaannya dilakukan secara sendiri-
sendiri atau bersama dengan mitra kerja, dan dengan mengutamakan
pengurustamaan pengurangan resiiko bencana ( PRB ). Rencana kegiatan
pada tahap Prabencana dalam nota kesepakatan berisi usulan kegiatan di
wilayah kerja organisasi/lembaga guna mengurangi atau menghilangkan
risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun
kerentanan pihak yang terancam bencana. Kegiatan – kegiatan itu antara
lain :

3.2.1 Pengenalan dan pemantauan risiko bencana.


3.2.2 Perencanaan partisipatif PB.
3.2.3 Mitigasi dan pencegahan untu mengurangi ancaman dan
kerentanan.
3.2.4 Pengembangan budaya sadar bencana.
3.2.5 Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan glasi tentang
sistem pengujian peringatan dini.
3.2.6 Penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana,
penyiapan jalur evakuasi.
3.2.7 Pemantauan pelaksanaan rencana aksi PRB.
3.2.8 Pembangunan sosial ekonomi.
3.2.9 Kegiatan lain untuk menurangi atau menghilangkan risiko
bencana.
3.2.10 Pembangunan sarana dan prasaranan kesehatan dan psikologis.
3.3 Pemberdayaan Masyarakat Pesisir laut pada tahap Pascabencana

Rencana kegiatan pada tahap pascabencana dalam nota kesepakatan


berisi ususlan kegiatan oragnisasi/lembaga di wilayah kerja, baik berupa
perbakan atau pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat
sampai tingkat yang memadai maupun pembangunan kembali sarana

24
prasarana dan kelembagaan di wilayah pascabencana. Kegiatan kegiatan itu
antara lain :

3.3.1 Pengkajian kebutuhan pascabencana dan penyusunan rencana


aksi rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.
3.3.2 Perbaikan lingkungan, sarana dan prasarana umum, dan
pemberian bantuan perbaikan umum.
3.3.3 Pelayanan kesehatan, serta pemulihan sosial psikologis dan
sosial ekonomi masyarakat.
3.3.4 Pembangunan kembali sarana dan prasarana lingkungan dan
sosial masyarakat.
3.3.5 Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, da budaya.
3.3.6 Pemantauan pelaksanaan rencana aksi ehabilitasi rekontruksi
pascabencana terhadap kelompok sasaran.
3.3.7 Kegiatan lain berupa pemulihan darurat, perbaikan dan
pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat
sampai tingkat yang memadai maupun pembangunan kembali
semua sarana dan prasarana, dan kelembagaan pada wilayah
pascabencana.
3.4 Pemberdayaan Masayarakat Pesisir Laut pada taha Tanggap Darurat
Bencana

Peran masyarakat dalam bentuk organisasi/lembaga pada saat tanggap


darurat dapat memberikan bantuan melalui pos komando tanggap darurat
PB atau menyalurkan bantuan secara langsung kepadamasyarakat
terdampak bencana dengan berkoordinasi dengan pos komando tanggap
darurat PB. Kegiatan – kegiatan peran serta msayarakata pada saat tanggap
darurat anatara lain :

3.4.1 Pencaraian dan penyelamatan, serta evakuasi korban dan harta


benda terdampak bencana.
3.4.2 Pemenuhan kebutuhan dasar.
3.4.3 Perlindungan dan pengurusan, pengungsi dan kelompok rentan.
3.4.4 Penyelamatan dan pemulihan sarana dan prasarana vital.

25
3.4.5 Pemantauan pelaksanaan rencana operasi tanggap darurat.
3.4.6 Kegiatan lain yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian
bencana.
3.5 Jumlah kasus atau kejadian yang terjadi di Indonesia

Posisi Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik


dunia yaitu: Lempeng Australia di selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian
barat dan Lempeng Samudra Pasifik di bagian timur, menjadikan Indonesia
rawan terkena gempa bumi. Dari data yang tercatat dari tahun 1994 gempa
bumi paling sering terjadi di kawasan pesisir dan sekitar pulau kecil.
Bahkan episentrumnya seringkali berpusat di wilayah laut. Selama tahun
2004 saja tercatat 13 kali gempa yang berkuatan besar terjadi di sekitar
kawasan pesisir laut dan pulau kecil.

Tahun 2006 lalu telah terjadi tsunami di Aceh dan Sumatera Utara,
menyusul gempa di Nias dan berikutnya Mentawai. Bencana gempa bumi
dan tsunami yang melanda Aceh seolah menyadarkan kita betapa Negara
kita sesungguhnya adalah Negara rawan bencana. Berdasarkan potensi
bencana dan tingkat kerentanan, maka dapat diperkirakan risiko bencana
yang terjadi di perkotaan Indonesia tergolong tinggi. Faktor lain yang
mendorong semakin tingginya risiko bencana ini adalah: banyaknya
penduduk yang tinggal di kawasan rawan bencana, dengan alasan seperti:
kesuburan tanah, kesempatan kerja, kedekatan secara emosional dan lain-
lain.

Kota Padang dengan posisi geografis terletak pada 100º 05’ 05” - 100º
34’ 09” BT dan 00º 44’ 00” - 01º 08’ 35” LS, dilewati jalur gunung api,
sangat rawan terhadap ancaman bahaya bencana alam geologi. Selain gempa
bumi dan tsunami, bencana yang terjadi juga ada bencana banjir
permukiman, banjir bandang, tanah longsor, kebakaran di padat
permukiman, badai, dan lain-lain. Berdasarkan data-data Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang didapatkan data-
data kegempaan yang memperlihatkan lokasi pusat-pusat gempa di Kota
Padang tersebar cukup merata.

26
Gempa bumi yang terjadi pada 30 September 2009 di Kota Padang
berakibat banyaknya korban jiwa, untuk itu Kementerian Pekerjaan Umum,
Direktorat Jenderal Cipta Karya melalui PNPM Mandiri Perkotaan akan
melaksanakan kegiatan yang dinamakan Pengurangan Risiko Bencana
Berbasis Komunitas (PRB-BK), yang menempatkan masyarakat sebagai
subyek atau pelaku utama kegiatan.

PNPM Mandiri Perkotaan dalam pelaksanaannya tahap pertama


berorientasi guna membangun pondasi masyarakat berdaya dengan sejumlah
kegiatan intervensi pada perubahan sikap, perilaku, cara pandang
masyarakat yang bertumpu pada nilai-nilai universal. Pada tahap berikutnya
PNPM Mandiri Perkotaan berorientasi untuk membangun transformasi
menuju masyarakat mandiri yang dilakukan melalui sejumlah intervensi
pembelajaran kemitraan dan sinergi antara pemerintah, masyarakat dan
kelompok peduli untuk mengakses berbagai peluang dan sumber daya yang
dibutuhkan masyarakat.

Kelurahan Lolong Belanti di bawah naungan Lembaga Keswadayaan


Masyarakat (LKM) Mahkota merupakan salah satu Kelurahan yang
mendapatkan kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan sejak Tahun 2009, untuk
di Tahun 2014 ini LKM Mahkota Kelurahan Lolong Melati mendapatkan
penambahan dari Program PNPM Mandiri Perkotaan yakni Program PRB-
BK. Kegiatan PRB-BK merupakan salah satu intervensi menuju masyarakat
madani, sebagaimana tertuang dalam skema PNPM Mandiri Perkotaan.

PRB-BK adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana


yang dilakukan melalui penyadaran, peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana dan atau penerapan upaya fisik dan non fisik yang
dilakukan oleh anggota masyarakat secara aktif, partisipatif dan terorganisir.
Maksud dari pelaksanaan kegiatan PRB-BK ini adalah agar dapat
memberikan gambaran tentang kesiapan masyarakat dalam pengurangan
risiko bencana berbasis komunitas, serta bagaimana tugas/fungsi dan tata
kerja penanggulangan bencana di Kelurahan Lolong Belanti kepada segenap
aparatur pemerintahan, lembaga kemasyarakatan dan masyarakat umumnya.

27
Secara umum, tujuan pelaksanaan kegiatan PRB-BK adalah
meningkatnya kesiapan masyarakat dalam pengurangan risiko bencana alam
berbasis komunitas. Sedangkan tujuan secara khusus yaitu Meningkatkan
kapasitas masyarakat Kelurahan lolong belanti dalam pembangunan
berbasis pengurangan risiko bencana, Menyusun rencana pembangunan
masyarakat berbasis pengurangan risiko bencana secara partisipatif,
Melaksanakan model pembangunan berbasis pengurangan risiko bencana.

Keluaran yang ingin dicapai dalam kegiatan PRB-BK ini adalah


sebagai berikut: Masyarakat rentan, miskin dan perempuan berpartisipasi di
dalam pertemuan-pertemuan perencanaan dan pengambilan keputusan.
Dokumen Rencana Tindak Pengurangan Risiko Bencana Berbasis
Komunitas (RT PRB-BK). Pembangunan prasarana dan sarana yang
mendukung upaya pengurangan risiko bencana. PRB-BK pada hakekatnya
merupakan urusan bersama, oleh karena itu ruang lingkup kegiatan PRB-
BK di Kelurahan Lolong Belanti: Masyarakat, Kelompok peduli,
Pemerintah kelurahan.

Dari kondisi sarana dan prasarana yang ada di Kelurahan Lolong


Belanti, hampir semua jenis sarana dan prasarana semuanya ada. Khusus
untuk Potensi/kapasitas yang dapat mendukung di dalam Pengurangan
Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) yaitu prasarana Shelter atau
Tempat Evakuasi Sementara (TES) sebagai evakuasi vertikal juga dimiliki
oleh Kelurahan Lolong Belanti. Bangunan Shelter yang sesuai dengan
Standar dan persyaratan BNPB juga sudah ada di Kelurahan Lolong Belanti
yaitu Gedung SMA 1, SMK 5, SMP 7, SMP 25, dan Telkomsel. Walaupun
demikian ada beberapa shelter yang masih belum lengkap dalam hal
kelengkapan sarana fasilitas pendukung seperti kamar kecil/toilet di
bangunan atas, dan tidak adanya penutup/tempat berteduh.

28
3.5.1 Potensi/Kapasitas kelembagaan yang dimiliki

Pertama, Kelurahan Lolong Belanti memiliki Kelompok Siaga


Bencana (KSB) dengan struktur kepengurusannya dari kelurahan
sampai di tingkat RW. Keberadaan KSB di Kelurahan Lolong
Belanti memang masih belum berfungsi optimal, tetapi nanti bisa
dijadikan aktor utama dalam pelaksanaan program PRBBK nantinya
di Kelurahan Lolong Belanti.

Kedua, Kantor Kogami (Komunitas Siaga Tsunami) Kota


Padang berkantor di Kelurahan Lolong Belanti, dan lebih kurang
satu bulan yang lalu pindah ke kelurahan Ulak Karang, LKM
Mahkota dan Kelurahan Lolong Belanti sering melakukan kerjasama
dan koordinasi dengan Komunitas Siaga Tsunami, dalam bentuk
pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas masyarakat terhadap
bencana, dan sharing informasi terkait kebencanaan.

Sesuai dengan data pemetaan swadaya, dinyatakan bahwa data


penduduk dengan jumlah penduduk paling banyak adalah penduduk
pada usia produktif yaitu 4.524 orang. Ini merupakan potensi sosial
yang ada di Kelurahan Lolong Belanti, sebagai kapasitas sosial
masyarakat yang nantinya dijadikan sebagai sumber daya manusia,
dalam proses kegiatan PRB-BK.

Sesuai dengan kriteria kelompok rentan terdapat pada usia


penduduk di bawah 15 tahun yaitu sebesar 1.541 orang dan usia
penduduk di atas 66 tahun yaitu sebanyak 334 orang, termasuk juga
penduduk dengan disabilitas sebanyak 8 orang dan jumlah penduduk
miskin sebanyak 461 KK. Ini berarti bahwa jumlah penduduk rentan
dibandingkan dengan jumlah penduduk produktif masih kurang dari
setengah penduduk produktif.

Untuk kondisi status pendidikan masyarakat Kelurahan Lolong


Belanti, paling banyak adalah lulusan SLTA/SMA, disusul lulusan

29
perguruan tinggi dan kemudian SLTP. Jumlah penduduk dalam usia
wajib belajar yang putus sekolah relatif sedikit yaitu 29 orang.
Sedangkan tingkat pengangguran relatif banyak yaitu sebesar 2.287
orang di usia 15 s.d 55 Tahun.

Untuk analisis ancaman. Kelurahan Lolong Belanti mempunyai


dua jenis ancaman yang mendominasi dan memberikan dampak
terbesar terhadap masyarakat. Berdasarkan FGD yang dilakukan
dalam kegiatan Refleksi Perkara Kritis (RPK), ancaman yang
disampaikan oleh seluruh masyarakat adalah Bahaya Gempa Bumi.
Dengan ancaman gempa bumi menjadi ancaman prioritas,
dikhawatirkan bahaya gempa memberikan dampak bahaya susulan
yaitu bahaya tsunami. Seluruh wilayah Kelurahan Lolong Belanti,
merupakan daerah dataran, dan memiliki ketinggian lebih kurang 1-2
m dari muka laut. Sesuai dengan peta tsunami yang dikeluarkan
BPBD Kota Padang. Seluruh wilayah Kelurahan Lolong Belanti
berada di zona merah untuk bahaya tsunami.

Dengan dua jenis ancaman ini yang menjadi masalah bagi


masyarakat Kelurahan Lolong Belanti adalah jika kedua jenis
ancaman ini datang, apakah masyarakat Kelurahan Lolong Belanti
sudah siap menghadapinya? Untuk menjawab pertanyaan di atas
dibutuhkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman
tersebut, salah satunya dengan meningkatkan kapasitas masyarakat
(capacity building) yaitu pemahaman dan pengetahuan masyarakat
terhadap jenis ancaman/bahaya tersebut, serta bagaimana langkah
antisipasi dalam menghadapinya (mitigation).

Untuk analisis kerentanan baik bahaya gempa bumi maupun


bahaya yang datang akibat tsunami, secara keseluruhan yang
menjadi masalah kerentanan di Kelurahan Lolong Belanti adalah
masalah sosial dan fisik. Kelurahan Lolong Belanti bisa dikatakan
berada di pusat Kota Padang, karena berbatasan langsung dengan

30
Kecamatan Padang Barat yang merupakan pusat pemerintahan, baik
pemerintahan provinsi maupun pemerintahan kota.

Penduduk di kelurahan ini cukup padat dengan tingkat


kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin,dan rasio kelompok umur,
semua elemen ini berada pada nilai indeks 3 atau berada pada level
tinggi. Hal ini menyatakan bahwa penduduk Lolong Belanti berisiko
tinggi dan menjadi sesuatu yang rentan jika terjadi bencana gempa
bumi, sehingga untuk skenario pengurangan risiko bencana nantinya
perlu penekanan pada peningkatan kapasitas masyarakat dalam
menghadapi bencana gempa dan tsunami, sehingga meningkatkan
kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana
gempa/tsunami dan korban akibat bencana dapat diminimalisir.

Begitu juga dengan analisis kerentanan fisik, yaitu perumahan,


fasilitas umum, fasilitas sosial di Kelurahan Lolong Belanti juga
memiliki nilai indeks 3 atau berada pada level yang tinggi. Hal ini
menandakan Kelurahan Lolong Belanti dari segi aspek fisik
mempunyai nilai kerentanan yang tinggi, artinya jika terjadi gempa
bumi dan tsunami, maka aspek fisik memberikan nilai kerugian yang
sangat besar. Hal ini perlu dijadikan indikator prioritas dalam
menentukan rancangan skenario pengurangan risiko bencana dan
dijadikan dasar dalam menentukan rencana aksi pengurangan risiko
bencana berbasis komunitas nantinya.

Dalam analisis kapasitas atau potensi yang dimiliki di Kelurahan


Lolong Belanti, dalam hal Aturan dan Kelembagaan, sumberdaya
keuangan yang dapat digunakan untuk PRB, Sistem Peringatan Dini,
jalur dan tempat evakuasi, Kelompok sosial dan relawan terlatih,
pembangunan kesiapsiagaan telah ada pada seluruh lini, tetapi masih
berada pada level rendah. Artinya kelurahan telah melaksanakan
beberapa tindakan pengurangan risiko bencana dengan pencapaian-
pencapaian yang masih bersifat sporadis yang disebabkan belum

31
terlembaga dengan baik komitmen ataupun kebijakan yang
sistematis, walaupun sudah ada Kelompok Siaga Bencana (KSB) di
Kelurahan Lolong Belanti.

Berdasarkan FGD dalam RPK memang sudah ada shelter dan


Tempat Evakuasi Sementara (TES) yaitu SMA 1, SMK 5, SMP 7,
SMP 25 dan Telkomsel. Tetapi yang sudah memiliki
indikator shelter secara keseluruhan hanya SMA 1, yang lainnya
belum lengkap. Hal ini bisa menjadi agenda lanjutan dari LKM
Mahkota dalam menyusun prioritas kegiatan kedepan supaya
membuat kegiatan dalam melengkapi sarana maupun
prasarana shelter dan TES yang masih belum lengkap, dengan cara
melakukan kerjasama dan channelling dengan pihak pemerintah
terkait, kelompok peduli dan perguruan tinggi, sehingga bisa
membantu LKM Mahkota dalam melengkapinya.

Dengan analisa di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, berbagai


bentuk kegiatan yang akan dijadikan indikator prioritas dalam
menentukan rancangan skenario pengurangan risiko bencana dan
dijadikan dasar dalam menentukan rencana aksi pengurangan risiko
bencana berbasis komunitas nantinya adalah seluruh kegiatan yang
berhubungan dengan bentuk mitigasi terhadap bencana gempa bumi
dan tsunami, baik mitigasi struktural (shelter, TES, jalan
evakuasi,dll) maupun mitigasi non struktural (peningkatan kapasitas,
pendidikan kebencanaan, kesiapsiagaan masyarakat, simulasi, sistem
informasi manajemen gempa, news, dan lain-lain).

Untuk itu LKM Mahkota Kelurahan Lolong Belanti dalam


melaksanakan kegiatan PRB-BK, yakni program yang berguna untuk
mengurangi risiko bencana dengan proses pendekatan pemberdayaan
masyarakat dengan Visi LKM-nya:”menjadikan Kelurahan dan
Masyarakat Lolong Belanti Tangguh Bencana pada tingkat pratama
pada tahun 2015. Semoga dapat terwujud dengan kebaikan.

32
BAB 4

PENUTUP

4.1 SIMPULAN
Peran serta masyarakat dalam PB dalam semua bidang
penyelenggaraan PB diatur dalam Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 11 Taun 2014 tentang Peran Serta
Masyarakat dalam Penyelenggaraan Peanggulangan Bencana ( Perka
BNBP No. 11/2014 ).Perka BNPB No. 11/2014 ditetapkan oleh Kepala
BNBP, Syamsul Ma’arif pada tanggal 16 Oktober 2014 adalah untuk
mendukung penguatan kegaiatan PB dan kegiatan pendukung lainnya
secara berdaya guna, berhasil guna, dan dapat dipertanggung jawabkan.
Disini pengertian peran masyarakat dalam peneyelenggaraan PB
secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka
memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman resiko dan
dampak bencana.Peran serta masyarakat dalam peneyelenggaraan PB
meliputi tahap prabencana, tanggap darurat, pemulihan awal, serta
rehabiltasi dan rekonstruksi pascabencana. Dalam pelaksanaannya
dilakukan secara sendiri-sendiri atau bersama dengan mitra kerja, dan
dengan mengutamakan pengurustamaan pengurangan resiiko bencana (
PRB ).
4.2 SARAN
Diharapkan pemerintah dapat mendukung adanya pemberdayaan
masyarakat yang berdampak bencana seperti halnya memfasilitasi sarana
dan prasarana untuk fasilitas publik hingga pemberdayaam kebutuhan
dasar masyarakat sekitar yang berdampak bencana. Pemantauan
pelaksanaan penyelenggaraan penanggulan bencana perlu adanya
koordinasi yang baik antara pemerintah yang terkait dengan warga yang
berdampak bencana. Perlu adanya pelaksanaan seperti meberikan
informasi atau penyuluhan mengenai tanggap darurat bencana.

33
DAFTAR PUSTAKA

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2010). Rencana Nasional


Penanggulangan Bencana 2010-2014. Safe comunities Through Disaster
Risk Reduction (SC-DRR)

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2012). Definisi dan Jenis


Bencana.

Benson, M., Koenig, K. L., & Schultz, C. H. (2012). Disaster triage: START, then
SAVE—a new method of dynamic triage for victims of a catastrophic
earthquake. Prehospital and disaster medicine, 11(02), 117-124.

Bronze, M. S., Huycke, M. M., Machado, L. J., Voskuhl, G. W., & Greenfield, R.
A. (2002). Viral agents as biological weapons and agents of bioterrorism.
The
American journal of the medical sciences, 323(6), 316-325.

Chan, Y. F., Alagappan, K., Gandhi, A., Donovan, C., Tewari, M., & Zaets, S. B.
(2006). Disaster management following the Chi-Chi earthquake in
Taiwan.
Prehospital and disaster medicine, 21(03), 196-202.

Djuni Pristiyanto Peulis di Bidang Kebencanaan dan Lingkungan, Fasilitator LG-


SAT dan kota Tangguh Bencana, Moderator Milis Bencana (
https://gruops .google.com/group/bencana ) dan Milis Lingkungan.

Farmer, J Christopher MD; Carlton, Paul K. Jr MD; Lt. Gen., USAF, MC (Ret.).
(2006). Providing Critical care during a Disaster.

Gaillard, J. C., Clavé, E., Vibert, O., Denain, J. C., Efendi, Y., Grancher, D., ... &
Setiawan, R. (2008). Ethnic groups’ response to the 26 December 2004
earthquake and tsunami in Aceh, Indonesia. Natural Hazards, 47(1), 17-
38. 202

Hadi ( 2009 ), Ekos ( 2002 ), Sotomo ( 2006 ). Teori Pemberdayaan


Masyarakatdan Teori Pengurangan Risiko Bencana ( RBI, 2016 )

34
Haojun, F., Jianqi, S., & Shike, H. (2011). Retrospective, analytical study of field
first aid following the Wenchuan Earthquake in China. Prehosp Disaster
Med,26(2),130-134.

Health disaster management: Guidelines for evaluation and research in the


Utsteinstyle. Prehospital and Disaster Medicine, 2003.

Meissner, A., Luckenbach, T., Risse, T., Kirste, T., & Kirchner, H. (2002, June).
Design challenges for an integrated disaster management communication
and information system. In The First IEEE Workshop on Disaster
Recovery
Networks (DIREN 2002) (Vol. 24).

Parnell, G. S., Smith, C. M., & Moxley, F. I. (2010). Intelligent adversary risk
analysis: A bioterrorism risk management model. Risk analysis, 30(1),
32-48.

Van Borkulo, E., Barbosa, V., Dilo, A., Zlatanova, S., & Scholten, H. (2006,
September). Services for emergency response systems in the
Netherlands. In
Second Symposium on Gi4DM, Goa.

World Health Organization (WHO). (2005). Prehospital trauma Care System

35

Anda mungkin juga menyukai