Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara menyeluruh dapat dijelaskan
bahwa setiap pekerja berhak memperoleh pelayanan keselamatan dan
kesehatan kerja terlepas dari status sektor ekonomi formal atau informal, besar
kecilnya perusahaan, dan jenis pekerjaan. Berdasarkan penjelasan tersebut, K3
saat ini sangat dibutuhkan oleh hampir semua pekerjaan dari aspek sektor
industri formal dan informal. Perkembangan dan pertumbuhan kedua sektor
industri tersebut selalu diiringi dengan masalah besar kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja.Salah satu aktivitas pekerjaan yang mempunysi bahaya
K3 adalah kegiatan menyelam tanpa menggunakan peralatan, untuk mencapai
tujuan tertentu (Modjo, 2012).
Nelayan merupakan salah satu profesi yang sangat dibutuhkan dalam
pemanfaatan potensi sumberdaya ikan. Profesi tersebut memiliki karakteristik
pekerjaan yang bersifat “3d” yaitu: membahayakan ( dangerous ), kotor ( dirty
), dan sulit ( difficult ). Akibat dari sifat-sifat pekerjaan sebagai pelaut kapal
penangkap ikan, kebanyakan orang kurang tertarik terhadap profesi tersebut,
mereka cenderung untuk memilih pekerjaan di bidang lainnya, seperti:
teknologi informasi, hukum, ekonomi, bisnis yang lebih populer. Hal tersebut
biasanya terjadi pada di negara maju seperti di Jepang, Korea, dan negara
maju lainnya.Negara-negara maju di bidang penangkapan ikan, umumnya
mendatangkan tenaga kerja pelaut kapal penangkap ikan dari Negara
berkembang seperti Indonesia, China, Vietnam, dan Philipina (FAO, 2000).
Dewasa ini, nelayan dituntut untuk mampu berkompetisi secara global.
Hal ini dapat dibuktikan dengan dimilikinya sertifikat kompetensi kepelautan
standar internasional, seperti Sertifikat Ahli Nautika Kapal Penangkap Ikan
(ANKAPIN) Tingkat I, II dan III (Certificate of Competency for Deck Officer
of Fishing Vessel Level I, II, III) untuk bagian dek dan Sertifikat Ahli Teknika
Kapal Penangkap Ikan (ATKAPIN) Tingkat I, II dan III untuk bagian mesin
(Certificate of Competency for Engine Officer of Fishing Vessel). Khususnya

3
di Indonesia terdapat kurang lebih 2,78 juta orang yang berprofesi sebagai
nelayan, namun pada umumnya nelayan tersebut belum memiliki sertifikat
kompetensi (Certificate of Competency) kepelautan perikanan maupun
sertifikat keterampilan (Certificate of Proficiency) yang sebagai mana
disyaratkan. Sedangkan untuk mendapatkan sertifikat tersebut diperlukan
pendidikan atau pelatihan kepelautan kapal penangkap ikan pada lembaga
pendidikan atau lembaga pelatihan yang telah memenuhi standar nasional
maupun internasional (Amin, 2018).
Organisasi Pangan Dunia (FAO) bertajuk "The State of World Fisheries
and Aquaculture 2008" yang dirilis pada tanggal 2 Maret 2009 lalu
melaporkan, sebanyak 24.000 nelayan per tahun meninggal dunia di laut pada
kegiatan penangkapan ikan. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa ada 4
faktor yang menjadi penyebab tingginya angka kematian nelayan tradisional
dan pengguna transportasi di laut, yaitu (1) rancang bangun perahu yang
buruk, (2) perilaku manusia yang tidak sesuai yang kadang-kadang disebabkan
oleh kelalaian atau ketidaktahuan, (3) kepedulian terhadap keselamatan yang
rendah, serta(4) minimnya ilmu tentang penangkapan ikan dan kepelautan
(FAO 2009).Penyebab utama kecelakaan laut yang berujung pada hilangnya
nyawa manusia ini adalah murni kesalahan manusia (human error) (Qurbani,
2018).
Terjadinya kecelakaan pada proses Keselamatan kerja bergantung pada
kesadaran akan pentingnya proses kerja beserta tahapannya yang menunjang
keselamatan kerja. Dengan semakin banyaknya penggunaan alat-alat kerja
yang canggih, walaupun telah dilengkapi dengan sistem keamanan, resiko
kecelakaan tetap semakin besar. Salah satu kegiatan yang dilakukan di area
pelabuhan adalah aktivitas bongkar muat dari kapal penangkap ikan, aktivitas
bongkar muat ini memiliki potensi bahaya dengan kategori tidak bahaya
sebanyak (6%), ringan (54%), menengah (38%), dan berat (2%) (Lestari et.
al., 2017) Kebutuhan rasa aman akan muncul setelah kebutuhan tingkat
pertama (fisik dan biologis) terpenuhi, sehingga mulai sekarang keselamatan
merupakan hal yang harus diusahakan pemenuhannya. Kecelakaan dianggap

4
akibat dari faktor organisasi dan manajemen yang salah. Sejalan dengan teori-
teori terbaru, maka peran manajemen sangat berarti dalam pencegahan
kecelakaan (Amin, 2018).
Keselamatan adalah isu penting yang sepenuhnya perlu menjadi perhatian
oleh semua pihak. Intervensi dan pedoman yang berkaitan dengan
keselamatan dan kesehatan di tempat kerja bagi nelayan harus dikembangkan
dan disediakan. Masalah yang diidentifikasi dan faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap keselamatan kerja, akan membantu dalam pengambilan
keputusan di masa yang akan datang untuk meningkatkan kerja menjadi lebih
aman dan nyaman bagi nelayan (Hussain et al. 2014). Data di Indonesia,
sepanjang Desember 2008 – Maret 2009, sebanyak 18 kapal tenggelam. Dari
18 tragedi itu, sebanyak 43 orang meninggal dunia, 386 orang dinyatakan
hilang, dan 105 orang selamat atau menderita luka-luka, baik fisik maupun
psikis (Purwangka et.al 2018).
Penyelam tradisional di Indonesia adalah nelayan yang melakukan
penyelaman untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan. Nelayan penyelam
tradisional yang sering disebut dengan nelayan kompresor yaitu penyelam
yang menggunakan peralatan sangat terbatas. Kebanyakan hanya terdiri dari
kompresor yang biasa digunakan untuk memompa ban kendaraan bermotor,
fin, masker, selang dengan regulator dan pemberat dari timah. Berdasarkan
alat tangkap, nelayan kompresor yang menggunakan jaring biasa disebut
dengan nelayan muroami. Muroami termasuk dalam drive-in net yang
menangkap ikan dengan menggiring ikan ke dalam alat tangkap jenis apa saja
(Modjo, 2012).
Berdasarkan observasi ditemukan gambaran umum K3 pada nelayan
kompresor meliputi: pertama bahaya K3 yang ada di lingkungan kerja seperti
bahaya K3 fisik, bahaya K3 mekanik, bahaya K3 biologi, kimia, dan bahaya
K3 psikososial. Kedua, kurang waspada terhadap faktor risiko terhadap terjadi
penyakit akibat kerja meliputi dekompresi, barotrauma, keracunan dan sinus.
Ketiga, keterbatasan peralatan yang dipergunakan. Keempat, beban fisik yang
tinggi dan waktu kerja yang lama. Kelima, pengetahuan nelayan kompresor

5
mengenai safety dive yang rendah. Keenam, tidak ada upaya pencegahan
terhadap hazard atau bahaya K3 yang ada (Modjo, 2012).
Penjelasan diatas menjadi latar belakang dari makalah ini, bahwa bahaya
yang diidentifikasi pada nelayan sangat besar risikonya dan faktor penyebab
keselamatan pada nelayan serta proses pengendalian faktor bahaya serta
risiko. Hal ini agar dapat meningkatkan kepedulian terhadap para nelayan
penanganan masalah keselamatan dan kesehatan para nelayan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Keselamatan Kerja ?
2. Apa saja bahaya keselamatan kerja pada nelayan?
3. Bagaimana faktor – faktor yang menyebabkan bahaya keselamatan kerja
nelayan ?
4. Bagaimana cara mengurangi bahaya keselamatan kerja pada nelayan
5. Bagaimana contoh kasus bahaya keselamatan kerja pada nelayan di
Indonesia ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Keselamatan Kerja Kelautan.
2. Untuk mengetahui bahaya keselamatan kerja pada nelayan?
3. Untuk mengetahui faktor – faktor yang menyebabkan bahaya keselamatan
kerja nelayan.
4. Untuk mengetahui cara mengurangi bahaya keselamatan kerja pada
nelayan.
5. Untuk mengetahui kasus bahaya keselamatan kerja pada nelayan di
Indonesia.
1.4 Manfaat
Untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang Identifikasi Bahaya
keselamatan kerja pada nelayan agar dapat mengurangi kecelakaan akibat
kerja dan juga penyakit akibat kerja yang dapat menurunkan produktivitas
nelayan Indonesia.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Keselamatan Kerja.


Terdiri dari beberapa Pengertian Keselamatan Kerja menurut ahli yang
berbeda-beda. Keselamatan berasal dari bahasa Inggris yaitu kata ‘safety’ dan
biasanya selalu dikaitkan dengan keadaan terbebasnya seseorang dari
peristiwa celaka (accident) atau nyaris celaka (near-miss). Jadi pada
hakekatnya keselamatan sebagai suatu pendekatan keilmuan maupun sebagai
suatu pendekatan praktis mempelajari faktor-faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya kecelakaan dan berupaya mengembangkan berbagai cara dan
pendekatan untuk memperkecil resiko terjadinya kecelakaan (Syaaf, 2007).
Menurut Bennett N.B. Silalahi dan Rumondang (1991:22 dan 139)
menyatakan keselamatan merupakan suatu usaha untuk mencegah setiap
perbuatan atau kondisi tidak selamat yang dapat mengakibatkan kecelakaan
sedangkan kesehatan kerja yaitu terhindarnya dari penyakit yang mungkin
akan timbul setelah memulai pekerjaannya.
Sedangkan pendapat Leon C Meggison yang dikutip oleh Prabu
Mangkunegara (2000:161) bahwa istilah keselamatan mencakup kedua istilah
yaitu resiko keseamatan dan resiko kesehatan. Dalam kepegawaian, kedua
istilah tersebut dibedakan, yaitu Keselamatan kerja menunjukan kondisi yang
aman atau selamat dari penderitaan, kerusakan atau kerugian ditempat kerja.
Resiko keselamatan merupakan aspek-aspek dari lingkungan kerja yang dapat
menyebabkan kebakaran, ketakutan aliran listrik, terpotong, luka memar,
keseleo, patah tulang, kerugian alat tubuh, penglihatan, dan pendengaran.
Semua itu sering dihubungan dengan perlengkapan perusahaan atau
lingkungan fisik dan mencakup tugas-tugas kerja yang membutuhkan
pemeliharaan dan latihan.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keselamatan adalah
suatu usaha untuk mencegah terjadinya kecelakaan sehingga manusia dapat
merasakan kondisi yang aman atau selamat dari penderitaan, kerusakan atau

7
kerugian terutama untuk para pekerja konstruksi. Agar kondisi ini tercapai di
tempat kerja maka diperlukan adanya keselamatan kerja.
Keselamatan kerja secara filosofi diartikan sebagai suatu pemikiran
dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah
maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya
serta hasil budaya dan karyanya. Dari segi keilmuan diartikan sebagai suatu
pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan
terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Purnama, 2010).
Keselamatan kerja adalah faktor yang sangat penting agar suatu proyek
dapat berjalan dengan lancar. Dengan situasi yang aman dan selamat, para
pekerja akan bekerja secara maksimal dan semangat.Keselamatan kerja adalah
kondisi keselamatan yang bebas dari resiko kecelakaan dan kerusakan di
tempat kerja yang mencakup tentang kondisi bangunan, kondisi mesin,
peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja (Simanjuntak, 1994).
Menurut Suma’mur pada tahun 1993 keselamatan kerja adalah
keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan, dan
proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-
cara melakukan pekerjaan. Kemudian pada tahun 2001 Suma’mur
memperbaharui pengertian dari keselamatan kerja yaitu rangkaian usaha untuk
menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang
bekerja di perusahaan yang bersangkutan.
Pengertian di atas hampir sama dengan pengertian yang dikemukakan
oleh Mangkunegara (2002), bahwa secara umum keselamatan kerja dapat
dikatakan sebagai ilmu dan penerapannya yang berkaitan dengan mesin,
pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja
dan lingkungan kerja serta cara melakukan pekerjaan guna menjamin
keselamatan tenaga kerja dan aset perusahaan agar terhindar dari kecelakaan
dan kerugian lainnya. Keselamatan kerja juga meliputi penyediaan Alat
Pelindung Diri (APD), perawatan mesin dan pengaturan jam kerja yang
manusiawi.

8
Slamet (2012) juga mendefinisikan tentang keselamatan kerja.
Keselamatan kerja dapat diartikan sebagai keadaan terhindar dari bahaya
selama melakukan pekerjaan. Dengan kata lain keselamatan kerja merupakan
salah satu faktor yang harus dilakukan selama bekerja, karena tidak yang
menginginkan terjadinya kecelakaan di dunia ini. Keselamatan kerja sangat
bergantung .pada jenis, bentuk, dan lingkungan dimana pekerjaan itu
dilaksanakan. Unsur-unsur penunjang keselamatan kerja adalah sebagai
berikut:
a. Adanya unsur-unsur keamanan dan kesehatan kerja
b. Adanya kesadaran dalam menjaga keamanan dan kesehatan kerja
c. Teliti dalam bekerja
d. Melaksanakan prosedur kerja dengan memperhatikan keamanan dan
kesehatan kerja.
Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan
kinerja karyawan dan pada gilirannya pada kinerja perusahaan. Semakin
tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan
terjadinya kecelakaan kerja seperti pernyataan Jackson (1999) bahwa
keselamatan adalah merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan fisik
seseorang terhadap cedera yang terkait dengan pekerjaan.

2.2 Bahaya Keselamatan Kerja Pada Nelayan


Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara menyeluruh dapat
dijelaskan bahwa setiap pekerja berhak memperoleh pelayanan keselamatan
dan kesehatan kerja terlepas dari status sektor ekonomi formal atau informal,
besar kecilnya perusahaan, dan jenis pekerjaan. Salah satu aktivitas pekerjaan
yang mempunyai bahaya K3 adalah kegiatan penangkapan dan penyortiran
ikan yang dilakukan oleh nelayan. Faktor penyebab kecelakaan dalam proses
kerja dapat berupa material yang berhazard, prosedur dan keterampilan kerja,
serta mesin. Faktor manusia seperti tingkat pendidikan yang rendah, gizi
kurang, dan peralatan pelindung diri yang tidak sesuai juga turut andil dalam
kecelakaan yang timbul. Berdasarkan observasi ditemukan gambaran umum

9
potensi bahaya pada K3 nelayan meliputi bahaya K3 fisik, bahaya K3
ergonomi, bahaya K3 biologi, bahaya K3 kimia, dan bahaya K3 psikososial.
Hazard atau potensi bahaya pada lingkungan kerja juga termasuk aspek
ergonomi, aspek manajemen, aspek komunikasi dan psikososial.
Tahapan persiapan yang dilakukan oleh nelayan pada saat menuju lokasi
penangkapan (fishing ground) meliputi kegiataan pengecekan bahan bakar, oli
mesin kompresor dan tabung kompresor, mengecek alat tangkap dan
kerincingan, pengecekan sambungan selang udara dan meluruskan selang
yang menggelintir serta pemasangan mouth piece pada selang udara.
Berdasarkan hasil identifikasi bahaya pada aktivitas persiapan ditemukan
bahaya (hazard) sebagai berikut:
Ergonomi ; Posisi menunduk dan posisi jongkok yang terlalu lama dan
berulang.
Fisika ; Kebisingan, terpeleset atau tergelincir karena lantai kapal yang licin,
tekanan selang api yang korosif, tekanan udara yang tinggi, hantaman dan tuas
starter yang licin.
Mekanik : Ledakkan tekanan udara yang tinggi pada tabung kompresor.
Kimia : Peralatan dan kerangka kapal yang sudah berkarat, gas-gas kimia
beracun sisa pembakaran, kontaminasi bahan kimia berupa oli dan bahan
bakar.

2.3 Faktor – Faktor Yang Menyebabkan Bahaya Keselamatan Kerja


Nelayan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya bahaya keselamatan kerja
secara sistematis dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu faktor
lingkungan kerja, faktor pekerjaan dan faktor manusia. Faktor yang
mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja juga disebabkan oleh faktor
karateristik pekerja, seperti kurang kemampuan/pelatihan, rekruitmen pekerja
yang tidak benar, kelelahan akibat jam kerja yang berlebih, serta minimnya
pengawasan terhadap pekerja (Fadhilah, 2013).

10
2.4 Cara mengurangi bahaya keselamatan kerja pada nelayan.
Kecelakaan kerja juga dikatakan memiliki potensi kecelakaan kerja yang
tinggi karena seluruh awak kapal termasuk juru mudi, ABK, serta nelayan
bagan yang ikut dalam pelayaran kapal tidak melengkapi dirinya dengan APD
berupa life jacket dan kapal angkut juga tidak dilengkapi dengan alat
keselamatan yang seharusnya wajib dimiliki oleh kapal yang melakukan
operasi di laut. Peralatan yang termasuk dalam safety equipment pada kapal
yang di kemukakan oleh IMO (International Maritime Organization) pada
tahun 1960 adalah dokumen (documentation), peralatan navigasi (safety of
navigation), perlengkapan penyelamat jiwa (life saving appliances), pompa
pemadam, hidran, selang dan alat pemadamm (fire pumps, hydrants, hoses,
and extinguishers), perlengkapan pemadam kebakaran untuk ruang muat (fire
appliances in cargo space), serta perlengkapan pemadam lain (other fire
appliances). Peralatan keselamatan yang digunakan nelayan adalah jirigen dan
ban bekas yang digunakan sebagai pelampung apabila terjadi kecelakaan pada
kapal angkut bagan perlu dilaksanakan sosialisasi dan pelatihan keselamatan
kerja oleh pihak pemerintah dan instansi terkait, atau berupa papan-papan
himbauan serta spanduk tentang K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja),
sehingga nelayan memiliki kompetensi kerja yang memadai dalam melakukan
operasi penangkapan ikan
Menurut PP RI No.50 Th.2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, K3 adalah segala kegiatan yang menjamin
keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan
kerja dan penyakit akibat kerja. Menciptakan sistem keselamatan kerja
tentunya harus didukung oleh keterampilan dan pengetahuan yang wajib
dimiliki orang-orang yang terkait di dalamnya.

2.5 Kasus bahaya keselamatan kerja pada nelayan di Indonesia.


Berdasarkan hasil survei terhadap nelayan kompresor di Kelurahan
Pulau Panggang, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta Utara yaitu sebanyak
145 responden yang diperiksa, ternyata 111 menderita penyakit umum dan

11
penyelaman. Di antara 81 responden menderita penyakit khusus penyelaman
meliputi barotrauma telinga, dekompresi, dan penyakit akibat lingkungan
dalam air. Sebanyak 47 orang nelayan kompresor yang diteliti ditemukan 35
orang yang menderita ketulian. Dengan demikian, salah satu kasus kesehatan
yang muncul akibat kegiatan penyelaman adalah gangguan pendengaran.
Berdasarkan observasi ditemukan gambaran umum K3 pada nelayan
kompresor meliputi: pertama bahaya K3 yang ada di lingkungan kerja seperti
bahaya K3 fisik, bahaya K3 mekanik, bahaya K3 biologi, kimia, dan bahaya
K3 psikososial. Kedua, kurang waspada terhadap faktor risiko terhadap terjadi
penyakit akibat kerja meliputi dekompresi, barotrauma, keracunan dan sinus.
Ketiga, keterbatasan peralatan yang dipergunakan. Keempat, beban fisik yang
tinggi dan waktu kerja yang lama. Kelima, pengetahuan nelayan kompresor
mengenai safety dive yang rendah. Keenam, tidak ada upaya pencegahan
terhadap hazard atau bahaya K3 yang ada (Dimas,2012).
salah satu contoh Kasus kecelakaan yang terjadi PPN Palabuhanratu pada
tahun 2015 adalah terbakarnya kapal yang berada di area penempatan kapal
mati. Kecelakaan tersebut disebabkan oleh lemahnya pengawasan pihak yang
terlibat karena tidak ada pemeriksaan yang berada di penempatan kapal mati
sehingga menyebabkan kebakaran. Kasus kebakaran ini terjadi karena adanya
salah satu masyarakat yang mengalami gangguan jiwa menyalakan api di
dekat penempatan kapal mati. Api yang semula kecil lama-kelamaan menjadi
besar dan mulai menjalar ke bagian kapal yang telah lama rusak. Struktur
bagian kapal yang telah lama rusak menjadikan kayu menjadi rapuh dan
mudah terbakar oleh api. Masyarakat sekitar baru menyadari setelah api
membesar kemudian masyarakat dengan cepat memadamkan api yang
membakar kapal (Asriani, 2018).
Dalam tulisan ini, peran manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) dibahas dari fungsi manajemen, sumber daya yang digunakan, dan aspek
lain yang relevan. Berdasarkan observasi ditemukan gambaran umum K3
meliputi: pertama, bahaya K3 yang ada di lingkungan kerja seperti bahaya K3
fisik, bahaya K3 mekanik, bahaya K3 biologi, K3 kimia, dan bahaya K3

12
psikososial. Kedua, kurang waspada terhadap faktor resiko terhadap terjadi
penyakit akibat kerja meliputi dekompresi, barotrauma, keracunan dan sinus.
Ketiga, keterbatasan peralatan yang dipergunakan. Keempat, beban fisik yang
tinggi dan waktu kerja yang lama. Kelima, pengetahuan nelayan kompresor
mengenai safety dive yang rendah. Masalah lainya adalah terbatasnya modal
dan teknologi penangkapan ikan, rendahnya kualitas SDM nelayan, lemahnya
pengawasan, dan data statistik perikanan tangkap yang kurang akurat,
sehingga kenyataannya dibutuhkan persiapan dan pembenahan yang
menyeluruh sebelum tahap implementasi program (Asriani, 2018).
Data di Indonesia, sepanjang Desember 2008 – Maret 2009, sebanyak 18
kapal tenggelam. Dari tragedi itu, sebanyak 43 orang meninggal dunia, 386
orang dinyatakan hilang, dan 105 orang selamat atau menderita luka-luka,
baik fisik maupun psikis (Ant 2009). Risiko kecelakaan kerja yang banyak
terjadi adalah pada aktivitas pengoperasian alat tangkap. Faktor penyebab
utama adalah faktor kesalahan manusia atau nelayan itu sendiri yang disebut
human error sebesar 43.67% (FAO 2009). Namun dalam meningkatkan faktor
kualitas nelayan itu sendiri, kecelakaan dapat dihindari atau diminimalkan.
Adapun cara untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan ialah ketika
pengoperasian alat tangkap dan kapal perlu didukung adanya aturan atau SOP
(Standar Operation Procedure) terhadap kerja nelayan ketika melakukan
aktivitas tersebut.

13
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 “Identifikasi bahaya keselamatan kerja pada nelayan”


Keselamatan adalah isu penting yang sepenuhnya perlu menjadi
perhatian oleh semua pihak. Intervensi dan pedoman yang berkaitan dengan
keselamatan dan kesehatan di tempat kerja bagi nelayan harus dikembangkan
dan disediakan. Masalah yang diidentifikasi dan faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap keselamatan kerja, akan membantu dalam pengambilan
keputusan di masa yang akan datang untuk meningkatkan kerja menjadi lebih
aman dan nyaman bagi nelayan.
Faktor penyebab kecelakaan dalam proses kerja dapat berupa material
yang berhazard, prosedur dan keterampilan kerja, serta mesin. Faktor manusia
seperti tingkat pendidikan yang rendah, gizi kurang, dan peralatan pelindung
diri yang tidak sesuai juga turut andil dalam kecelakaan yang timbul. Pada K3
nelayan meliputi bahaya K3 fisik, bahaya K3 ergonomi, bahaya K3 biologi,
bahaya K3 kimia, dan bahaya K3 psikososial.
Cara mendeteksi adanya bahaya keselamatan nelayan salah satunya
menggunakancmetode berbasis human faktors yang dapat menganalisa
permasalahan keselamatan kerja dari berbagai lapisan, dari lapisan karyawan
di lapangan hingga lapisan organisasi/sistem yang diberlakukan oleh
perusahaan di level yang lebih tinggi adalah Human Factors Analysis and
Classification System (HFACS). Metode ini merupakan pengembangan dari
model Swiss cheese yang dibuat oleh Reason [16]. Metode ini sudah dipakai
secara luas pada berbagai investigasi sistem keselamatan maupun investigasi
kecelakaan khususnya pada dunia penerbangan, seperti United States Air
Force (USAF), Federal Aviation Administration (FAA), dan National
Aeronautics and Space Administration (NASA). Karena keunggulannya, saat
ini HFACS sudah mulai diimplementasikan pada berbagai jenis industri selain
penerbangan, seperti pada bidang kelautan, bidang transportasi kereta api, dan
bidang pelayanan kesehatan.

14
Motivasi utama dalam melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja
adalah untuk mencegah kecelakaan kerja dan penyakit yang ditimbulkan oleh
pekerjaan. Oleh karena itu perlu melihat penyebab dan dampak yang
ditimbulkannya. Potensi Bahaya adalah sesuatu yang berpotensi untuk
terjadinya insiden yang berakibat pada kerugian. Risiko adalah kombinasi dan
konsekuensi suatu kejadian yang berbahaya dan peluang terjadinya kejadian
tersebut. Mustahil untuk mengetahui semua bahaya yang ada. Beberapa hal
yang tampak jelas berbahaya, seperti bekerja dengan menggunakan tangga
yang tidak stabil atau penanganan bahan kimia bersifat asam. Namun
demikian, banyak kecelakaan terjadi akibat dari situasi sehari –hari Seperti
diketahui, potensi bahaya keselamatan dan kesehatan kerja dapat berupa
berbagai bentuk. Terlebih lagi, masing-masing risiko bisa menjadi tinggi atau
rendah, tergantung pada tingkat peluang bahaya yang ada.
.

15
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara menyeluruh dapat dijelaskan
bahwa setiap pekerja berhak memperoleh pelayanan keselamatan dan
kesehatan kerja terlepas dari status sektor ekonomi formal atau informal, besar
kecilnya perusahaan, dan jenis pekerjaan. Salah satu aktivitas pekerjaan yang
mempunyai bahaya K3 adalah kegiatan penangkapan dan penyortiran ikan
yang dilakukan oleh nelayan. Faktor penyebab kecelakaan dalam proses kerja
dapat berupa material yang berhazard, prosedur dan keterampilan kerja, serta
mesin. Faktor manusia seperti tingkat pendidikan yang rendah, gizi kurang,
dan peralatan pelindung diri yang tidak sesuai juga turut andil dalam
kecelakaan yang timbul.

4.2 Saran
Untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan keselamatan kerja nelayan, perlu
diberikan kompetensi pengetahuan dan keterampilan nelayan, ditingkatkannya
pengawasan keselamatan kerja nelayan secara periodik, melakukan uji sarana
keselamatan kerja nelayan, dan mengadakan pelatihan keselamatan kerja
nelayan, serta membuat kebijakan keselamatan kerja nelayan pada perahu
berukuran kecil.

16
DAFTAR PUSTAKA

Asriani Ayu, Fis Purwangka, Mohammad Imron. (2018). Keselamatan Kerja di


Area Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa
Barat, Jurnal Akuatika Indonesia Vol. 3 No. 1
Dimas Ari Dharmawirawan, Robiana Modjo Jurnal. (2012) Identifikasi Bahaya
Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Pada Penangkapan Ikan Nelayan
Muroami Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 6, No. 4
Fadhilah, dkk., (2013). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecelakaan Kerja
Pada Proses Die Casting Di Pt. X Cikarang Barat Kabupaten Bekasi Jawa
Barat Nurbaiti Volume 6, Nomor 2, Hal 135-142
Haris Rifqi Maulana, Oktiyas Muzaky Luthfi. (2018). Studi Data Batimetri Untuk
Keselamatan Pelayaran Di Perairan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik
Provinsi Jawa Timur. Journal Ilmiah Rinjani Vol. 6 No. 1
Mahdi Amin, et all., (2017). Tingkat Keterampilan Dan Pengetahuan Nelayan
Di Karangantu Banten. Volume Ii, No 1
Purwangka., et all. (2018). Model Pengelolaan Keselamatan Kerja Nelayan Di
Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi Jurnal Ipteks Psp, Vol.5 (9)
Qurbani Derita & Upay Selviyana. (2018). Pengaruh Keselamatan & Kesehatan
Kerja (K3) Terhadap Kinerja Karyawan Pada Pt. Trakindo Utama Cabang
Bsd. Jurnal Ilmiah Manajemen Forkamma Vol.1, No.3
Riantoro Muhamad Rizki, et all,. (2017). Potensi Kecelakaan Kerja Pada
Perikanan Bagan Apung Di Ppn Palabuhan ratu, Jawa Barat. Jurnal
Teknologi Perikanan Dan Kelautan Vol. 8 No. 2
Sutalaksana Dr. Iftikar Zahedi. (2018). Kajian Awal Sistem Keselamatan Kerja
Pada Kasus Kecelakaan Di SBU ITS PT. X Dengan Menggunakan
Metodologi Human Factors Analysis And Classification System (HFACS)
/ Vol. 3, No. 1
Suparman, et all., (2013). Keselamatan Kerja Pada Operasi Penangkapan Ikan
Cantrang Nelayan Tanjung Sari, Kabupaten Rembang, Volume 21 No. 1

17

Anda mungkin juga menyukai