Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Kelompok 4 Mata Kuliah Keperawatan Gawat
Darurat
DI SUSUN OLEH:
i
UNIVERSITAS BORNEO
TARAKAN
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur khadirat allah SWT karna atas berkat rahat dan hidayahnya lah
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ MANAJEMEN NYERI PADA
LUKA “ ini dapat kami selesaikan tepat pada waktunya.
Dalam penyelesaian makalah ini selain dari hasil kerja kelompok IV, kami juga
mendapatkan dukungan dari beberapa pihak, dan pada kesempatan kali ini kami
ingin mengucapkan banyak terimaksih kepada :
1. Dosen pembimbing kami Ns.Merry Januar Firstiana.S.Kep.M.Kep yang telah
meluangkan Ilmu,waktu,kritik & sarannya dalam pembuatan makalah ini sehingga
makalah ini dapat selesai pada waktunya.
2. Keluarga kami yang membantu dalam doa dan dukungan semangat sehingga
makalah ini dapat selesai dengan baik dan tepat waktu.
Pemilihan judul tersebut merupakan salah satu tugas mata muliah keperawatan
gawat darurat, Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kesalahan dalam
penyususnan, baik dari segi EYD, kosa kata, tata Bahasa,etika maupun isi. Oleh
karnanya kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
sekalian untuk kami jadikan sbagai bahan evaluasi.
Demikian makalah ini dapat di terima sebagai ide / gagasan yang menambah
kekayaan intelektual bangsa. Terima kasih & Assalamualaikum Wr.Wb
Kelompok IV
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Tujuan ...................................................................................................2
C. Rumusan Masalah.................................................................................2
D. Manfaat .................................................................................................3
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Nyeri........................................................................................4
B. Sifat-Sifat Nyeri....................................................................................4
C. Mekanisme Nyeri..................................................................................5
D. Katagori nyeri........................................................................................5
E. Jenis – Jenis Nyeri...............................................................................11
F. Cara Menghitung Nyeri.......................................................................12
G. Pathway Nyeri.....................................................................................18
H. Fisiologi Nyeri.....................................................................................19
I. Respon Tingkah Laku Terhadap Nyeri...............................................21
J. Klasifikasi Nyeri.................................................................................23
K. Factor Yang Mempengaruhi Nyeri.....................................................26
L. Penatalaksanaan Nyeri Pada Luka......................................................31
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................................31
B. Saran....................................................................................................31
iii
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................34
LAMPIRAN JURNAL...............................................................................35
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Nyeri merupakan alasan yang paling umum seseorang mencari bantuan
perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama proses penyakit, pemeriksaan
diagnostik dan proses pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan
banyak orang. Perawat, bidan dan tenaga kesehatan lain tidak bisa melihat dan
merasakan nyeri yang dialami oleh klien, karena nyeri bersifat subyektif (antara
satu individu dengan individu lainnya berbeda dalam menyikapi nyeri). perawat
memberi asuhan keperawatan kepada klien di berbagai situasi dan keadaan,
yang memberikan intervensi untuk meningkatkan kenyamanan. Menurut
beberapa teori keperawatan kenyamanan adalah kebutuhan dasar klien yang
merupakan tujuan pemberian asuhan keperawatan. Pernyataan tersebut
didukung oleh Kolcaba yang mengatakan bahwa kenyamanan adalah suatu
keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia.(Iskandar, n.d.)
Nyeri sering kali merupakan aspek perawatan luka yang terabaikan, dan
nyeri yang tidak terselesaikan dapat berdampak negatif pada penyembuhan
luka. Etiologi dan penyakit penyerta yang terkait dengan luka kronis juga dapat
mempersulit penilaian kuantitas dan kualitas nyeri yang dirasakan oleh pasien.
Sangat penting untuk menilai nyeri secara memadai saat membuat rencana
perawatan yang komprehensif.
Nyeri adalah faktor yang sering dialami, namun seringkali diabaikan
dalam perawatan luka dan penyembuhan luka. Tidak dapat disangkal bahwa
nyeri memengaruhi praktik perawatan luka, dan nyeri yang tidak terselesaikan
berdampak negatif pada penyembuhan luka dan kualitas hidup pasien.
Meskipun pengetahuan kita tentang nyeri meningkat, masih terdapat
kesenjangan yang besar antara pengetahuan dan penerapan manajemen nyeri.
Nyeri adalah multidimensi; melibatkan komponen fisiologis dan
psikologis.
1
Komponen fisik meliputi penyebab luka dan nyeri dari intervensi klinis.
Pengaruh yang dimainkan faktor psikososial dalam persepsi pasien tentang
nyeri juga tidak dapat diremehkan.
Faktor tersebut termasuk pikiran negatif tentang nyeri, tekanan
emosional, nyeri antisipatif, dan kecemasan. Banyak dokter tidak nyaman
menilai nyeri dan tidak yakin strategi apa yang diterapkan untuk mengatasi
masalah nyeri secara efektif.
Ketidakmampuan untuk membedakan antara faktor penyebab nyeri luka
membuat sulit untuk menetapkan etiologinya dan pada gilirannya,
mengembangkan rencana perawatan yang efektif.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang keterampilan dasarkebidanan
serta tentang gambaran nyeri, jenis serta manajemen nyeri.
2. Tujuan Khusus
a) Untuk mengetahui definisi nyeri
b) Untuk mengetahui tentang sifat jenis nyeri
c) Untuk mengetahui tentang fisiologi nyeri
d) Untuk mengetahui tentang klasifikasi nyeri
e) Untuk mengetahui tentang apa saja faktor nyeri
f) Untuk mengetahui tentang metode menghilangkan nyeri
C. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi nyeri ?
2. Apakah sifat jenis nyeri ?
3. Bagaimana fisiologi nyeri ?
2
4. Bagaimana klasifikasi nyeri ?
5. Apa saja faktor nyeri ?
6. Apa saja metode menghilangkan nyeri ?
D. MANFAAT
Penyusunan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis
maupun praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai
1. pengembangan pengetahuan mengenai keterampilan dasar keperawatan serta
tentang gambaran nyeri, jenis serta manajemen nyeri
2. Penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan dan keilmuan di bidang
keperawatan
3. Pembaca sebagai media informasi dalam pembuatan makalah.
3
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
A. DEFINISI NYERI
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), Nyeri adalah
sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait
dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan.
Teori Specificity “suggest” menyatakan bahwa Nyeri
adalah sensori spesifik yang muncul karena adanya injury, dan informasi ini
didapat melalui sistem saraf perifer dan sentral melalui reseptor nyeri di saraf
nyeri perifer dan spesifik di spinal cord.
4
C. MEKANISME NYERI
Mekanisme nyeri secara sederhana dimulai dari transduksi stimuli akibat
kerusakan jaringan dalam saraf sensorik menjadi aktivitas listrik, kemudian
ditransmisikan melalui serabut saraf bermielin A delta dan saraf
tidak bermielin C ke kornu dorsalis medula spinalis, talamus,
dan korteks serebri. Impuls listrik tersebut dipersepsikan dan didiskriminasikan
sebagai kualitas dan kuantitas nyeri setelah mengalami modulasi sepanjang
saraf perifer dan disusun saraf pusat. Rangsangan yang dapat membangkitkan
nyeri dapat berupa rangsangan mekanik, suhu (panas atau dingin) dan
agen kimiawi yang dilepaskan karena trauma / inflamasi
D. KATAGORI NYERI
Nyeri umumnya dikategorikan menjadi empat kategori:
1. Nyeri Latar Belakang (Nyeri Basal atau Baseline)
Nyeri latar belakang terkait dengan penyebab luka, faktor luka lokal, dan
patologi terkait lainnya. Latar belakang nyeri dirasakan saat istirahat, bila
tidak ada manipulasi jaringan atau pergerakan pasien atau perubahan kondisi
fisik pasien secara tiba-tiba. Nyeri latar belakang berhubungan langsung
dengan penyebab luka pasien. Nama lain untuk nyeri latar belakang adalah
nyeri Basal atau Baseline. Jenis nyeri ini mungkin terus menerus atau
intermiten
Mengelola Nyeri Latar Belakang
a. Obati penyebab yang mendasari: atasi etiologi luka dan patologi terkait.
b. Obati faktor lokal yang menyebabkan nyeri luka: Gunakan protokol
manajemen luka lokal. Beberapa faktor luka lokal termasuk: iskemia,
infeksi, kekeringan berlebihan atau eksudat berlebihan, edema, masalah
dermatologis dan maserasi kulit di sekitarnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengembangkan pendekatan tiga
langkah untuk menghilangkan rasa sakit pada pasien kanker, dan ini dapat
5
dimodifikasi untuk perawatan luka. Sifat inflamasi dari luka kronis dan ulkus
tekanan adalah dasar untuk manajemen nyeri farmakologis.
Langkah 1:
Analgesik non-opiod (NSAID) dengan atau tanpa adjuvan analgesik.
Adjuvan termasuk antidepresan trisiklik, antikonvulsan, antihistamin,
benzodiazepin, steroid, dan fenotiazin. Adjuvan diberikan untuk manfaat
tidak langsungnya dalam manajemen nyeri
Langkah 2:
Jika nyeri tidak terkontrol: Lanjutkan pengobatan awal dan tambahkan
opioid, seperti kodein atau tramedol, dan adjuvan.
Langkah 3:
Ketika pasien tidak merespon obat langkah kedua, ini harus dihentikan dan
narkotika oral yang lebih kuat dimulai.
6
dengan pasien kanker, mendefinisikan nyeri breakthrough sebagai
peningkatan nyeri sementara pada pasien yang mengalami nyeri yang stabil,
diobati, dan persisten.Nyeri breakthrough sering kali dipicu oleh gerakan
atau aktivitas pasien. Kegagalan '' End of Dose '' bukanlah rasa sakit yang
luar biasa. Nyeri akhir dosis terjadi ketika analgesik yang diresepkan secara
teratur tidak memadai dalam dosis atau ketika interval antara pemberian
dosis yang memadai terlalu lama. Penting juga untuk dicatat bahwa nyeri
breakthrough tidak dapat terjadi kecuali nyeri latar belakang terkontrol
secara memadai. Jika tidak, situasinya adalah nyeri latar belakang yang
benar-benar tidak terkendali daripada rasa sakit yang melonjak. Nyeri latar
belakang bukan hanya fluktuasi nyeri dasar karena terapi farmakologis yang
tidak adekuat. Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati nyeri
breakthrough biasanya bersifat jangka pendek. Ini kadang-kadang disebut
'pengobatan penyelamatan'. Harus jelas bahwa mengelola nyeri latar
belakang sangat berbeda dari manajemen nyeri breakthrough.
Mengelola Rasa Sakit Terobosan
Pengobatan untuk nyeri breakthrough mungkin bersifat farmakologis dan
non-farmakologis. Perubahan posisi tubuh, gerakan, dan pengelolaan gejala
sistemik komorbiditas seperti batuk, sembelit, atau nyeri sendi, dapat
membantu meringankan nyeri breakthrough.Ketika nyeri break-through
dapat diprediksi, seperti nyeri terkait gerakan, pasien dapat diberikan obat
pereda nyeri tambahan sebagai pencegahan. Ini biasanya dilakukan 30 menit
sebelum aktivitas yang memicu rasa sakit
7
breakthrough tertentu diatasi dan nyeri latar belakang dinilai sebagai
penatalaksanaan. Jika agen farmakologis dihentikan, itu harus tersedia untuk
pasien jika rasa sakit yang menembus ini diantisipasi untuk terulang
kembali. Saat memilih dosis tambahan obat opioid, umumnya dianjurkan
untuk memilih salah satu yang diberikan dengan rute yang sama dengan obat
yang digunakan untuk analgesik basal.
3. Nyeri Prosedural
Hasil nyeri prosedural dari intervensi rutin seperti pelepasan balutan,
pembersihan atau aplikasi pembalut
8
Pemilihan balutan
Banyak pekerjaan yang berhubungan dengan nyeri telah dilakukan selama
penggantian balutan Dalam studi multinasional
Selengkapnya tentang teks sumber iniDiperlukan teks sumber untuk
mendapatkan informasi terjemahan tambahan dilakukan oleh European
Wound Management Associa- tion (EWMA), dokter menilai perubahan
dressing sebagai waktu nyeri terbesar bagi pasien mereka.Selain itu, dressing
kering dan perekat agresif kemungkinan besar menyebabkan nyeri selama
pelepasan dressing. telah dibuktikan bahwa pasien melaporkan lebih banyak
rasa sakit dengan pembalut kasa dibandingkan dengan pembalut perawatan
luka tingkat lanjut lainnya.Luka mengandung jaringan yang rapuh dan
pengangkatan pembalut agresif dapat menyebabkan trauma tidak hanya pada
luka, tetapi juga jaringan di sekitarnya. . Salah satu cara untuk membatasi
rasa sakit saat melepas balutan adalah dengan menggunakan pembalut yang
mendorong pengangkatan atraumatik untuk mencegah terjadinya trauma.
Pembalut tersebut termasuk pembalut silikon lembut, hidrogel, hidrofiber,
dan alginat.
Beralih ke balutan atraumatik dapat secara efektif mengurangi rasa sakit
yang terkait dengan penggantian balutan. Dalam sebuah penelitian terhadap
5.850 pasien (dilaporkan oleh 656 dokter perawatan primer), beralih ke
balutan yang tidak patuh mengurangi nyeri luka pada 95% pasien dengan
luka akut dan 88% pasien dengan luka kronis. Penulis penelitian
menyimpulkan bahwa memilih balutan yang sesuai dan tidak patuh
meningkatkan penerimaan pasien terhadap penggantian balutan
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa luka sembuh lebih cepat di
lingkungan yang lembab. Ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap hal
ini; kelembaban meningkatkan proses epitelisasi ulang, memfasilitasi aksi
faktor pertumbuhan dan keratinosit dan proliferasi fibroblast serta
meningkatkan sintesis kolagen, angiogenesis dan kontraksi luka awal.Salah
satu kesalahpahaman yang umum adalah bahwa dressing harus diganti
9
sesering mungkin. Panduan terbaru menyarankan bahwa penggantian
balutan harus dilakukan tergantung pada karakteristik luka, tetapi sesering
mungkin, untuk mengurangi kemungkinan infeksi oleh kontaminan
eksternal.Ovington menyebutkan bahwa penggantian balutan yang lebih
sering menyebabkan penurunan suhu luka, yang mana menyebabkan
vasokonstriksi dan penurunan perfusi darah ke area tersebut.Penurunan
perfusi darah telah terbukti secara drastis mengganggu kemampuan oksigen
untuk membersihkan bakteri dari luka yang menyebabkan peningkatan
infeksi jaringan.29 Pembalut kain kasa yang dipasang di luka tidak banyak
membantu untuk menghalangi penguapan cairan
dan suhu jaringan mengukur 25◦C hingga 27◦C (77.0- 80.6◦F) —di bawah
suhu jaringan normal. Busa dan lapisan tipis mempertahankan dasar luka
pada suhu 91-95 derajat.
Secara regional, pembalut kain kasa perlu diganti lebih sering untuk
mencegah kekeringan
Memilih balutan yang tepat bisa menjadi proses yang menakutkan.
Seseorang harus menjaga keseimbangan kelembaban, memberikan
kelembaban yang cukup tanpa menyebabkan maserasi atau desikasi, yang
keduanya menghambat penyembuhan. Jika balutan mengering pada luka,
perendaman mungkin diperlukan untuk mempromosikan pengangkatan
tanpa rasa sakit. yang secara tidak perlu mengekspos luka ke elemen
eksternal seperti bakteri dan menurunkan suhu permukaan luka.Dessication
mengganggu migrasi epidermis yang diperlukan untuk penutupan
luka.Perban alternatif harus dipilih yang dapat mengatur kebutuhan cairan
luka dengan lebih baik.
Sebaliknya, cairan yang berlebihan dapat menyebabkan maserasi jaringan
jika pembalut tidak dapat menangani kebutuhan cairan yang tinggi pada
luka. Cairan kaya enzim, jika dibiarkan menempel di kulit, dapat
menyebabkan nyeri, maserasi, dan erosi jaringan.4 Sekali lagi,
10
direkomendasikan untuk memilih pembalut yang lebih tepat untuk mengatasi
kebutuhan luka.
Balutan menghilangkan pengingat yang terlihat bagi pasien tentang luka
yang mereka miliki. Mereka memungkinkan pasien untuk melanjutkan
aktivitas normal sehari-hari dan memberikan penghalang untuk rangsangan
fisik.16 Pilihan ukuran dan jenis balutan dapat mempengaruhi tingkat
kecemasan pasien selama penggantian balutan dan mempengaruhi kualitas
hidup mereka secara keseluruhan.
4. Nyeri Operasi
Nyeri operatif dikaitkan dengan intervensi apa pun yang biasanya dilakukan
oleh spesialis dan membutuhkan anestesi (lokal atau umum) untuk mengatasi
nyeri.Dokter juga harus mempertimbangkan peran faktor Psikososial dan
Lingkungan dalam penyebab nyeri luka. Faktor psikososial seperti usia,
lingkungan dan riwayat nyeri sebelumnya semua dapat mempengaruhi
pengalaman pasien tentang nyeri dan kemampuan untuk
mengkomunikasikan nyeri mereka. Faktor lingkungan mungkin menjadi
salah satu yang paling penting untuk dikenali oleh dokter karena hal ini
seringkali mudah untuk diperbaiki dan diatasi untuk pasien. Contohnya
adalah waktu prosedur, suhu ruangan, tingkat kebisingan dan posisi pasien
11
6. Skala 5, nyeri benar-benar mengganggu dan tidak bisa didiamkan dalam
waktu lama
7. Skala 6, nyeri sudah sampai tahap mengganggu indera, terutama indera
penglihatan
8. Skala 7, nyeri sudah membuat Anda tidak bisa melakukan aktivitas
9. Skala 8, nyeri mengakibatkan Anda tidak bisa berpikir jernih, bahkan terjadi
perubahan perilaku
10. Skala 9, nyeri mengakibatkan Anda menjerit-jerit dan menginginkan cara
apapun untuk menyembuhkan nyeri
11. Skala 10, nyeri berada di tahap yang paling parah dan bisa menyebabkan
Anda tak sadarkan diri
12
pada pasien yang baru mengalami pembedahan. Ini karena VAS
membutuhkan koordinasi visual, motorik, dan konsentrasi. Berikut adalah
visualisasi VAS:
sumber: unud.ac.id
sumber: unud.ac.id
13
sumber: unud.ac.id
NRS di satu sisi juga memiliki kekurangan, yakni tidak adanya pernyataan
spesifik terkait tingkatan nyeri sehingga seberapa parah nyeri yang dirasakan
tidak dapat diidentifikasi dengan jelas.
4. Wong-Baker Pain Rating Scale
Wong-Baker Pain Rating Scale adalah metode penghitungan skala nyeri
yang diciptakan dan dikembangkan oleh Donna Wong dan Connie Baker.
Cara mendeteksi skala nyeri dengan metode ini yaitu dengan melihat
ekspresi wajah yang sudah dikelompokkan ke dalam beberapa tingkatan rasa
nyeri.
sumber: wongbakerfaces.org
Saat menjalankan prosedur ini, dokter akan meminta pasien untuk memilih
wajah yang kiranya paling menggambarkan rasa nyeri yang sedang mereka
alami. Seperti terlihat pada gambar, skala nyeri dibagi menjadi:
1. Raut wajah 1, tidak ada nyeri yang dirasakan
2. Raut wajah 2, sedikit nyeri
3. Raut wajah 3, nyeri
4. Raut wajah 4, nyeri lumayan parah
5. Raut wajah 5, nyeri parah
6. Raut wajah 6, nyeri sangat parah
14
5. McGill Pain Questinonnaire (MPQ)
Metode penghitungan skala nyeri selanjutnya adalah McGill Pain
Questinnaire (MPQ). MPQ adalah cara mengetahui skala nyeri yang
diperkenalkan oleh Torgerson dan Melzack dari Universitas Mcgill pada
tahun 1971. Sesuai dengan namanya, prosedur MPQ berupa pemberian
kuesioner kepada pasien.
Kuesioner tersebut berisikan kategori atau kelompok rasa tidak nyaman yang
diderita. Terdapat 20 kelompok yang masing-masing terdiri dari sejumlah
kata sifat (adjektiva). Pasien diminta untuk memilih kata-kata yang kiranya
paling menggambarkan kondisi mereka saat ini.
a. Kelompok 1-10
Menggambarkan kualitas sensorik dari nyeri. Gejala yang termasuk
dalam kelompok ini di antaranya:
1) Berdenyut
2) Menusuk
3) Panas
4) Kesemutan
5) Gatal
6) Perih
7) Kram
8) Koyak
b. Kelompok 11-15
Kelompok 11-15 menggambarkan efektivitas nyeri, seperti:
1) Melelahkan
2) Memuakkan
3) Menakutkan
4) Celaka
5) Kejam
15
6) Membunuh
c. Kelompok 16
Sementara itu, adjektiva pada kelompok 16 lebih ke dimensi evaluasi,
terdiri atas:
1) Menjengkelkan
2) Menyusahkan
3) Sengsara
4) Tak tertahankan
d. Kelompok 17-20
Terakhir, kelompok 1-20 berisi kata-kata yang sifatnya spesifik, seperti:
1) Menyiksa
2) Mengerikan
3) Dingin
4) Memancarkan
5) Menembus
Lazimnya, dokter akan meminta pasien memilih tiga kata dari kelompok 1-
10, dua kata dari kelompok 11-15, satu katan dari kelompok 16, dan satu
kata dari kelompok 17-20. Setelah itu, dokter menjumlahkan kata-kata yang
dipilih oleh pasien sehingga menghasilkan angka total yang digunakan untuk
menentukan skala nyeri.
16
Pada penerapannya, pasien akan diminta melakukan serangkaian tes guna
mengidentifikasi intensitas nyeri, kemampuan gerak motorik, kemampuan
berjalan, duduk, fungsi seksual, kualitas tidur, hingga kehidupan pribadinya.
Dari sini, dokter dapat mengetahui skala nyeri dan memastikan apa
penyebab utama dari nyeri yang dirasakan tersebut.
17
D. PATHWAY NYERI
Trauma jaringan infeksi cidera
Kerusakan sel
Merangsang nosiseptor
( reseptor nyeri )
Medulla spinaslis
otak
(korteks somatosensoarik)
18
Persepsi nyeri
E. FISIOLOGI NYERI
Banyak teori berusaha untuk menjelaskan dasar neurologis dari nyeri,
meskipun tidak ada satu teori yang menjelaskan secara sempurna bagaimana
nyeri ditransmisikan atau diserap.
Untuk memudahkan memahami fisiologi nyeri, maka perlu mempelajari 3
(tiga) komponen fisiologis berikut ini:
19
Contoh : Apabila tangan terkena setrika, maka akan merasakan sensasi
terbakar, tangan juga melakukan reflek dengan menarik tangan dari
permukaan setrika. Proses ini akan berjalan jika system saraf
perifer dan medulla spinalis utuh atau berfungsi normal.
20
Secara ringkas proses reaksi adalah sebagai berikut:
Impuls nyeri medula spinalis batang otak & talamus Sistem
syaraf otonom Respon fisiologis&perilaku Impuls nyeri ditransmisikan ke
medula spinalis menutju ke batang otak dan talamus. Sistem saraf otonom
menjadi terstimulasi, saraf simpatis dan parasimpatis bereaksi, maka akan
timbul respon fisiologis dan akan muncul perilaku.
Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk
merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien
dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam
mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery Mendiskripsikan 3 Fase Pengalaman Nyeri:
1. Fase Antisipasi Terjadi Sebelum Nyeri Diterima.
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase
ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkingkan
seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri
21
tersebut. Peran bidan dalam fase ini sangat penting, terutama dalam
memberikan informasi pada klien.
Contoh: Sebelum dilakukan tindakan bedah, bidan menjelaskan tentang
nyeri yang nantinya akan dialami oleh klien pasca pembedahan, dengan
begitu klien akan menjadi lebih siap dengan nyeri yang nanti akan dihadapi.
2. Fase sensasi terjadi saat nyeri terasa.
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu
bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-
beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan
orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri
dengan stimulus nyeri kecil.
Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan
nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya
rendah sudah mencari upaya pencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana
orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar
endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit
merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih
besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari
ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan
klien itulah yang digunakan bidan untuk mengenali pola perilaku yang
menunjukkan nyeri. Bidan harus melakukan pengkajian secara teliti apabila
klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang
tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti
itu tentunya membutuhkan bantuan bidan untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
3. Fase akibat (aftermath) terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti
22
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini
klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis,
sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila
klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath)
dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. perawat berperan dalam
membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan
kemungkinan nyeri berulang.
G. KLASIFIKASI NYERI
1. Berdasarkan sumbernya:
a. Cutaneus/superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit/
jaringan subkutan. Biasanya bersifat burning (seperti terbakar).
Contoh : terkena ujung pisau atau gunting.
b. Deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari ligament,
pembuluh darah, tendondan syaraf, nyeri menyebar & lebih lama dari
pada cutaneus.
Contoh : sprain sendi.
c. Visceral (pada organ dalam), stimulasi reseptor nyeri dalam
rongga abdomen, cranium dan thorak.
Contoh : Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan
jaringan.
2. Berdasarkan penyebab
a. Fisik
Bisa terjadi karena stimulus fisik.
contoh: fraktur femur
b. Psycogenic
Terjadi karena sebab yang kurang jelas/susah diidentifikasi, bersumber
dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari.
23
Contoh: Orang yang marah-marah, tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya)
biasanya nyeri terjadi karena perpaduan 2 sebab tersebut.
3. Berdasarkan lama/durasinya
a. Nyeri Akut
Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera,
atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat,
dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan. Fungsi nyeri ini
adalah sebagai pemberi peringatan akan adanya cidera atau penyakit yang
akan datang. Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa
adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak.
Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan
sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri. Nyeri akut secara
serius mengancam proses penyembuhan klien, untuk itu harus
menjadi prioritas bidan. Rehabilitasi bisa tertunda dan hospitalisasi bisa
memanjang dengan adanya nyeri akut yang tidak terkontrol.
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi,
dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan
oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau
karena gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai
kematian. Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri
akut. Klien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami
periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan)
dan eksaserbasi (keparahan meningkat). Nyeri ini biasanya tidak
memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya.
Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan fisik
dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat
24
klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis.
Individu yang mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan yang tidak
aman, karena ia tidak pernah tahu apa yang akan dirasakannya dari hari
ke hari.
4. Berdasarkan lokasi/letak
a. Radiating pain
Nyeri menyebar dari sumber nyeri ke jaringan di dekatnya.
Contoh: cardiac pain.
b. Referred pain
25
Nyeri dirasakan pada bagian tubuh tertentu yang diperkirakan berasal dari
jaringan penyebab nyeri.
c. Intractable pain
Nyeri yg sangat susah dihilangkan.
Contoh: nyeri kanker maligna.
d. Phantom pain
Sensasi nyeri dirasakan pada bagian.Tubuh yg hilang.
Contoh: Bagian tubuh yang diamputasi atau bagian tubuh yang lumpuh
karena injuri medulla spinalis
26
Contoh : suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat
yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi
mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan
dan bagaimana mengatasinya.
5. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang
meningkat dihubungkandengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi,
guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri juga bisa
menyebabkan seseorang cemas.
7. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini
nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa
lalu dalam mengatasi nyeri.
8. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri.
9. Support keluarga dan social
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan dan
perlindungan.
27
I. METODE YANG DIGUNAKAN UNTUK MENGHILANGKAN NYERI
1. Distraksi
Distraksi adalah metode pengalihan perhatian dari "persepsi" rasa
nyeri. Dengannmengalihkan perhatian, kita bisa mengurangi fokus terhadap
respon nyeri. Distraksi bisa diterapkan untuk rasa nyeri ringan dan sedang,
untuk rasa nyeri berat obat masih menjadi pilihan paling tepat.
Contoh dari metode distraksi dalam mengurangi rasa nyeri adalah
melakukan kegiatan ringan untuk mengalihkan "persepsi" rasa nyeri, bisa
dengan mengobrol, menonton tv, atau dengan menikmati pemandangan
alam.
Dengan menerapkan metode distraksi untuk mengurangi rasa nyeri
akan menghindari dampak negatif dari obat kimia, seperti yang dijelaskan di
atas, distraksi bisa diterapkan pada nyeri ringan dan sedang, untuk itu pada
kasus rasa nyeri berat harus ditangani dengan obat/tindakan medis.
2. Relaksasi
Teknik relaksasi dapat mengurangi ketegangan otot dan mengurangi
kecemasan Membantu klien dengan teknik relaksasi , bidan dapat mengenal
nyeri klien dan ekspresi kebutuhan dibantu dari klien untuk
mengurangi distress yang disebabkan oleh nyerinya. Teknik relaksasi lebih
efektif untuk klien dengan nyeri kronik.
Relaksasi memberikan efek positif untuk klien yang mengalami nyeri, yaitu:
a. Memperbaiki kualitas tidur
b. Memperbaiki kemampuan memecahkan masalah
c. Mengurangi keletihan / fatigue
d. Meningkatkan kepercayaan dan perasaan dapat mengontrol diri dalam
mengatasi nyeri
e. Mengurangi efek kerusakan fisiologi dari stress yang berlanjut atau
berulang karena nyeri
28
f. Pengalihan rasa nyeri/distraksi.
g. Meningkatkan keefektifan teknik – teknik pengurangan nyeri yang lain.
h. Memperbaiki kemampuan mentoleransi nyeri
i. Menurunkan distress atau ketakutan selama antisipasi terhadap nyeri.
3. Imagery
Klien dapat menggunakan imagery / membayangkan untuk menurunkan
nyeri. Imagery sesuatu yang menyenangkan. Imagery dapat digunakan
lebih efektif pada klien dengan nyeri kronik dari pada nyeri akut, atau nyeri
berat. Bidan dapat mengajarkan klien untuk menggunakan teknik imagery
dengan melakukan guided imagery.
4. Stimulasi Kutan
Teknik dengan menstimulasi permukaan kulit untuk mengurangi
nyeri. Meintz (1995) menyatakan bahwa massage, salah satu
bentuk stimulasi kutan, dapat mengurangi kecemasan dan persepsi nyeri
pada klien dengan kanker.
Stimulasi kutan, meliputi :
a. Massage
b. Kompres hangat atau dingin, atau keduanya bergantian
c. Accupressure
d. Stimulasikon trilateral.
29
5. Anestesi
Anestesi secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali
oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
a. Pengelompokan Anestesi
Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok,
yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa
disertai hilangnya perasaan secara total. seseorang yang mengonsumsi
analgetik tetap berada dalam keadaan sadar.
Analgetik tidak selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi
selalu meringankan rasa nyeri. Beberapa jenis anestesi menyebabkan
hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya hanya
menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap
sadar.
b. Tipe Anestesi
1) Pembiusan total — hilangnya kesadaran total.
2) Pembiusan lokal — hilangnya rasa pada daerah tertentu yang
diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh). Pembiusan lokal
atau anestesi lokal merupakan salah satu jenis anestesi yang hanya
melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan
manusia kehilangan kesadaran. Obat bius jenis ini bila digunakan
dalam operasi pembedahan, maka setelah selesai operasi tidak
membuat lama waktu penyembuhan operasi.
3) Pembiusan regional — hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas
dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang
berhubungan dengannya.
5. Terapi Musik
Terapi musik terdiri dari 2 kata, yaitu kata “terapi” dan “musik”.
Terapi (therapi) adalah penanganan penyakit (Brooker, 2001). Terapi juga
30
diartikan sebagai pengobatan (Laksman, 2000). Sedangkan musik adalah
suara atau nada yang mengandung irama. Terapi musik adalah keahlian
menggunakan musik atau elemen musik oleh seseorang terapis untuk
meningkatkan, mempertahankan dan mengembalikan kesehatan mental,
fisik, emosional dan spiritual.
Dalam kedokteran, terapi musik disebut sebagai terapi pelengkap
(Complementary Medicine), Potter juga mendefinisikan terapi musik
sebagai teknik yang digunakan untuk penyembuhan suatu penyakit dengan
menggunakan bunyi atau irama tertentu. Jenis musik yang digunakan
dalam terapi musik dapat disesuaikan dengan keinginan, seperti musik
klasik, instrumentalia, dan slow musik.
Menurut Willougnby (1996), musik adalah bunyi atau nada yang
menyenangkan untuk didengar. Musik dapat keras, ribut, dan lembut yang
membuat orang senang mendengarnya. Orang cenderung untuk
mengatakan indah terhadap musik yang disukainya. Musik ialah bunyi
yang diterima oleh individu dan berbeda bergantung kepada sejarah, lokasi,
budaya dan selera seseorang.
31
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah dapat disimpulkan :
1. Secara umum nyeri didefinisikan sebagai apapun yang menyakitkan tubuh,
yang dikatakan individu yang mengalaminya, dan yang ada kapanpun
individu mengatakannya.
2. Sifat nyeri yaitu: melelahkan dan membutuhkan banyak energi, bersifat
subyektif dan individual, tak dapat dinilai secara objektif, bidan hanya dapat
mengkaji nyeri pasien dengan melihat perubahan fisiologis tingkah laku
dan dari pernyataan klien.
3. Untuk memudahkan memahami fisiologi nyeri, maka perlu mempelajari 3
(tiga) komponen fisiologis yaitu: resepsi, persepsi, reaksi .
4. Klasifikasi nyeri dibedakan berdasarkan : sumber, penyebab, lama (durasi),
dan lokasi (letak).
32
5. Faktor yang mempengaruhi nyeri yaitu : usia, jenis kelamin, kultur, makna
nyeri, perhatian, ansietas, pengalaman masa lalu, pola koping, support
keluarga dan social
6. Metode yang digunakan untuk menghilangkan nyeri ialah distraksi,
relaksasi, imagery, stimulasi kutan, anestesi dan terapi musik.
Luka adalah sumber rasa sakit dan kecemasan yang hebat bagi pasien,
membuat banyak orang merasa putus asa dan tertekan serta sangat merusak
kualitas hidup mereka. Ada komponen fisiologis dan psikologis dari rasa
sakit; keduanya berdampak negatif pada penyembuhan. Dokter memiliki
kemampuan untuk mengurangi efek ini dengan memahami etiologi nyeri,
menilai laporan nyeri pasien secara tepat dan menetapkan rencana perawatan
individual. Sangat penting bahwa dokter menerima persepsi pasien tentang
nyeri sebagai valid. Manfaat pengurangan nyeri dapat meningkatkan tingkat
penyembuhan dan pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup pasien. Ini
adalah tanggung jawab moral dan etika dokter untuk menjadi profesional yang
kompeten dalam pendekatan yang paling tepat untuk mengelola nyeri
B. SARAN
Penulis mengetahui bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan baik dari segi penulisannya, bahasa dan lain
sebagainnya. Oleh sebab itu saran untuk teman-teman agar dapat
menambahkan referensi tentang keterampilan dasar kebidanan khususnya di
perpustakaan agar lebih dapat meningkatkan jumlah referensi-referensi terbaru.
33
DAFTAR PUSTAKA
Chester, S. J., Stockton, K., De Young, A., Kipping, B., Tyack, Z., Griffin, B.,
Chester, R. L., & Kimble, R. M. (2016). Effectiveness of medical hypnosis for
pain reduction and faster wound healing in pediatric acute burn injury: Study
protocol for a randomized controlled trial. Trials, 17(1), 1–11.
https://doi.org/10.1186/s13063-016-1346-9
Iskandar, M. (n.d.). Makalah Manajemen NYERI.
https://www.academia.edu/33592526/Makalah_Manajemen_Masjid_Konsep_Da
sar_Masjid
Sadati, L., Froozesh, R., Beyrami, A., Khaneghah, Z. N., Elahi, S. A., Asl, M. F., &
Salehi, T. (2019). A Comparison of Three Dressing Methods for Pilonidal Sinus
Surgery Wound Healing. Advances in Skin and Wound Care, 32(7), 1–5.
https://doi.org/10.1097/01.ASW.0000558268.59745.d2
34
13063_2016_Article_1
346.pdf
LAMPIRAN
DOI 10.1186/s13063-016-1346-9 1 (Chester et al., 2016)
35
Abstract
Background: Burns and the associated wound care procedures can be extremely painful and
anxiety-provoking for children. Burn injured children and adolescents are therefore at greater risk of
experiencing a range of psychological reactions, in particular posttraumatic stress disorder, which
can persist for months to years after the injury. Non-pharmacological intervention is critical for
comprehensive pain and anxiety management and is used alongside pharmacological analgesia and
anxiolysis. However, effective non-pharmacological pain and anxiety management during pediatric
burn procedures is an area still needing improvement. Medical hypnosis has received support as a
technique for effectively decreasing pain and anxiety levels in adults undergoing burn wound care
and in children during a variety of painful medical procedures (e.g., bone marrow aspirations,
lumbar punctures, voiding cystourethrograms, and post-surgical pain). Pain reduction during burn
wound care procedures is linked with improved wound healing rates. To date, no randomized
controlled trials have investigated the use of medical hypnosis in pediatric burn populations.
Therefore this study aims to determine if medical hypnosis decreases pain, anxiety, and biological
stress markers during wound care procedures; improves wound healing times; and decreases rates
of traumatic stress reactions in pediatric burn patients.
Methods/Design: This is a single-center, superiority, parallel-group, prospective randomized
controlled trial. Children (4 to 16 years, inclusive) with acute burn injuries presenting for their first
dressing application or change are randomly assigned to either the (1) intervention group (medical
hypnosis) or (2) control group (standard care). A minimum of 33 participants are recruited for each
treatment group. Repeated measures of pain, anxiety, stress, and wound healing are taken at every
dressing change until ≥95 % wound re-epithelialization. Further data collection assesses impact on
posttraumatic stress symptomatology, speed of wound healing, and parent perception of how easy
the dressing change is for their child.
Discussion: Study results will elucidate whether the disease process can be changed by using
medical hypnosis with children to decrease pain, anxiety, and stress in the context of acute burn
wounds. Trial registration: Australian New Zealand Clinical Trials Registry ACTRN12615000419561
Keywords: Burns, Child, Hypnosis, Hypnotherapy, Pain, Stress, Anxiety, Posttraumatic stress
disorder, Salivary α-amylase,
Randomized controlled trial
* Correspondence: sjackchester@gmail.com
1
Centre for Children’s Burns and Trauma Research, Level 7, Centre for
Children’s Health Research, University of Queensland, 62 Graham Street,
South Brisbane QLD 4101, Australia
2
School of Medicine, Mayne Medical School, The University of Queensland,
288 Herston Road, Herston, Brisbane QLD 4006, Australia
Full list of author information is available at the end of the article
© 2016 Chester et al. Open Access This article is distributed under the terms of the Creative
Commons Attribution 4.0 International License (http://creativecommons.org/licenses/by/4.0/),
which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided you give
appropriate credit to the original author(s) and the source, provide a link to the Creative Commons
license, and indicate if changes were made. The Creative Commons Public Domain Dedication waiver
(http://creativecommons.org/publicdomain/zero/1.0/) applies to the data made available in this article, unless otherwise stated.
36
Background
Global pediatric burns burden
Worldwide numbers of annual pediatric hospital admissions for burn treatment vary
geographically from a rate of 4.4/100,000 total population in America (North, Central, and
South) to 10.8/100,000 total population in Africa [1]. Every day in the USA approximately
300 children aged 0 to 19 years receive treatment in emergency departments for burn
injuries and two children die from burns [2]. In Australia, approximately 40.1/100,000
children aged 0 to 14 years are hospitalized annually due to burns and scalds [3]. While
pediatric burn mortality rates are decreasing worldwide, the morbidity attributed to burns
due to factors such as pain, psychological distress, and physical impairment is increasing [4].
Thus, it is important to identify the most effective interventions to reduce the burden of
burns.
Psychological distress
In addition to being painful, burn injuries can result in severe psychological distress [8]. Burn
injury leads to an increased risk of children developing a range of major mental illnesses, in
particular posttraumatic stress disorder (PTSD) [9, 10]. Several clinical studies have identified
traumatic stress reactions in preschool children in the first year post-burn, ranging between
25 and 30 % in the acute phase to approximately 10 % one year after the burn [8]. Acute
stress is prevalent in approximately one third of school-aged children post-burn, and
qualitative, cross-sectional studies have identified current PTSD in 10–20 % of the children
and young adults many years post-burn [8]. A prospective observational study in our burns
center with 130 burn injured children found that 35 % were diagnosed with at least one
psychological disorder, with a high comorbidity rate of PTSD [11]. Furthermore, prior
research indicates that a clinically significant relationship may exist between symptoms of
psychological distress and burn pain, each of which can exacerbate the other [12].
Unaddressed fears and anxiety contribute to noncompliance and can complicate pain
management and healing [13]. Thus, treatment options that alleviate pain and distress must
be offered to patients for optimal care [14].
Physiologic effects of pain and stress on wound healing It is worth studying endogenous pain
mediators in children, not only for compassionate reasons of pain control, but also in the
context of their direct physiologic effects on wound healing [15]. Widgerow theorizes that
Hypnotherapeutic techniques have decreased pain and anxiety in the short term and
decreased psychological distress over the long term, thereby optimizing patient outcomes
and complementing existing treatment modalities [28]. Medical hypnosis can also empower
pediatric patients to assist themselves at will beyond the presence of the therapist by
teaching them self-hypnosis, which engenders self-mastery and active participation in their
own treatment [29].
In children, clinical hypnotherapy techniques including hypnoanalgesia and
hypnoanesthesia (hypnotically induced analgesia and anesthesia, respectively) have
alleviated acute pain associated with a number of painful pediatric medical procedures [30].
There is a growing body of evidence supporting medical hypnosis’ ability to reduce pain and
anxiety associated with venipuncture, bone marrow aspiration, and lumbar puncture in
children [31]. A recent review of studies on the effectiveness of medical hypnosis for
Objectives
The primary aims of this study are to investigate whether medical hypnosis affects pain
intensity and the rate of burn wound healing (i.e., re-epithelialization) in acutely burned
children. The secondary aims are to investigate if medical hypnosis affects procedural
anxiety, biological stress markers (salivary cortisol and salivary α-amylase), and the rate of
PTSD symptom development. We hypothesize that use of medical hypnosis for pediatric
patients with acute burns will decrease pain intensity, procedural anxiety, and biological
stress markers during wound care procedures; improve wound healing times; and decrease
rates of traumatic stress reactions compared to a standard care control group.
Outcomes
Previously validated scientific measures are used for all outcomes. The duration of each
wound care procedure is timed. Prior to the application of new dressings at the first dressing
change, the burn depth is calculated by measuring blood perfusion at the burn site using a
Moor LDI2-BI2 Laser Doppler Imager (Moor Instruments Limited, Devon, UK). Data is
collected at every dressing change until ≥95 % re-epithelialization occurs, and the total
number of dressing changes is recorded.
Primary outcome measures
The two primary outcome measures are pain intensity and wound healing (i.e., re-
epithelialization time). Pain measurements are taken several times for each participant. The
first time point (baseline) is immediately before premedication prior to removal of the
wound dressing in clinic. The second time point is immediately after the new dressing is in
place; the worst pain is assessed reflecting the maximal pain intensity experienced by the
participant during the procedure (retrospective). For the third time point, a final pain
assessment occurs to gauge pain intensity immediately after the new dressings are in place
and hypnotherapy has ceased. No pain measurements are taken during hypnosis. Assessing
pain intensity in this manner effectively gives three time points relative to the procedure:
before, during, and after. These measurements take place at each subsequent dressing
change until ≥95 % wound re-epithelialization.
Pain
A range of pain scales are utilized to measure pain intensity (assessed by child, nurse, or
parent). The Faces Pain ScaleRevised (FPS-R) [49] is used to assess the child’s self-report of
pain and will be the primary outcome measure. Convergent validity of the FPS-R is
supported by a strong positive correlation (r = 0.93, p < 0.001, N = 76) with a visual analog
scale (VAS) pain intensity measure in children aged 5–12 years and by strong positive
correlations with the VAS (r = 0.92, p < 0.001, N = 45) and the color analog scale (r = 0.84, p <
0.001, N = 45) in a clinical sample of pediatric inpatients aged 4–12 years [49]. Even among
the youngest patients sampled (four-year-olds), there is evidence of usage of the FPS-R and
analog scales in a consistent and reliable manner [49]. Nurses report a
behavioral/observational rating on the Face, Legs, Arms, Cry, Consolability (FLACC) scale [50,
51]. The FLACC scale has been validated for use in settings such as postoperative pain [50].
Despite a recent systematic review rescinding recommendation of the FLACC scale for
procedural pain assessment [51], we have chosen this scale in the absence of an acceptable
alternative due to its extensive use in prior clinical trials examining procedural pain. Parents
also rate their child’s pain using an 11-point (0 to 10) numeric rating scale (NRS) [52]. Pain
scores reported verbally by the parent (NRS) and child (FPS-R) are documented by the
primary investigator. Nurses document the FLACC pain scores.
Demographic and clinical information Participant demographics and medical history are recorded
from the caregiver and hospital chart: mechanism and site of injury, estimated percentage
total body surface area (TBSA) of burn, burn depth, any first aid treatment applied, and
medication given. TBSA is determined by a consultant surgeon using the Lund and Browder
method [67].
Participant timeline
No extra participant visits to the PLPBC are required for the sole purpose of data collection.
Sample size
A sample size estimate was derived from the primary outcomes: days to re-epithelialization
and pain. Based on reepithelialization within 15 (SD = 4) days and a minimum clinically
important difference (MCID) of 3 days [26], the sample size required was estimated as 29
per group, using 80 % power and an α of 0.05. Allowing for 10 % loss to follow-up, a total of
66 participants will be required. Additionally, this sample size is adequate to show an MCID
of 2 (SD 2.5) in the pain outcome measures [26]. Recruitment will continue until at least 33
participants in each arm have been obtained with complete data for the primary outcomes.
Randomization
A computerized random number generator is used to randomize study participants. Simple
randomization is overseen by staff not involved with the study. Thirdparty concealment of
group allocation occurs by using a numbered series of opaque, sealed envelopes prepared in
advance. The primary researcher is then told to which group the participant is allocated.
Blinding
Medical hypnosis provided throughout a procedure cannot be masked. This study’s nature
prevents full blinding, but certain outcome measures are blinded. The re-epithelialization
assessors are blinded, as these measurements take place using 3D digital photographs. Trial
group allocation remains unknown to this assessor. If discrepancy arises between the two
re-epithelialization assessors, the assessment of the blinded assessor is taken as definitive to
reduce potential performance bias. Burn depth and salivary analysis are also blinded
measures, as data for these variables are provided to the investigators in a non-identifiable
format and as the assessor of these variables is blinded to trial group allocation.
Discontinuation
Study participants can withdraw from the trial at any time. The number of adverse events
will be documented, and any adverse event will be described in detail for both treatment
groups. Current relevant literature has not reported any serious harmful effects associated
with indicated pediatric medical hypnosis or hypnotherapy.
Data analysis
Data will be analyzed using SPSS 23 (IBM Corporation, Armonk, NY, USA). Descriptive
statistics such as the mean and standard deviation, median and interquartile range, and
confidence intervals will be used to report the sample demographics (i.e., age, gender, and
mechanism of injury) and to summarize outcome measures, as appropriate. Between-group
comparisons will be conducted for potential confounding variables for the primary
Competing interests
All authors declare that they have no competing interests.
Authors’ contributions
SJC and RLC conceived the idea for the study. All authors participated in the study design. The manuscript was drafted by SJC with input
from ADY, ZT, and BK for specific sections and was edited by all authors. SJC, KS, BG, and RMK contributed to participant recruitment.
SJC provided the study intervention (i.e., medical hypnosis). SJC, BG, and RMK are the study leaders and have overall responsibility for
the conduct of the study. All authors have read and approved the final version of the manuscript.
Authors’ information
Stephen J. Chester B.A. is a medical student in the University of Queensland
Author details
1
Centre for Children’s Burns and Trauma Research, Level 7, Centre for
Children’s Health Research, University of Queensland, 62 Graham Street,
South Brisbane QLD 4101, Australia. 2School of Medicine, Mayne Medical
School, The University of Queensland, 288 Herston Road, Herston, Brisbane QLD 4006, Australia. 3Ochsner Clinical School, Ochsner
Hospital, 1514 Jefferson Highway, New Orleans, LA 70121, USA. 4Horizon Behavioral Health, 2241 Langhorne Road, Lynchburg, VA
24501, USA.
References
1. Burd A, Yuen C. A global study of hospitalized paediatric burn patients. Burns. 2005;31(4):432–8. doi:10.1016/j.burns.2005.02.016.
2. United States Centers for Disease Control and Prevention. Burns Safety: The Reality. CDC, Atlanta, USA. 2012.
http://www.cdc.gov/safechild/Burns/index. html. Accessed 26 Apr 2016.
3. Australian Institute of Health and Welfare. A picture of Australia’s children 2012. Cat. no. PHE 167. Canberra: AIHW; 2012.
4. Pruitt Jr B, Wolf S, Mason Jr A. Epidemiological, demographic, and outcome characteristics of burn injury. In: Herndon D, editor.
Total burn care. 4th ed. New York: Saunders Elsevier Inc.; 2012.
5. Lipman AG. Pain as a human right: the 2004 Global Day Against Pain. J Pain Palliat Care Pharmacother. 2005;19(3):85–100.
6. Brown NJ, Kimble RM, Rodger S, Ware RS, Cuttle L. Play and heal: randomized
controlled trial of Ditto™ intervention efficacy on improving re-epithelialization in pediatric burns. Burns. 2014;40(2):204–13.
doi:10.1016/j.burns.2013.11.024.
7. Patterson DR, Ptacek JT. Baseline pain as a moderator of hypnotic analgesia for burn injury treatment. J Consult Clin Psychol.
1997;65(1):60–7.
8. Bakker A, Maertens KJ, Van Son MJ, Van Loey NE. Psychological consequences of pediatric burns from a child and family
perspective: a review of the empirical literature. Clin Psychol Rev. 2013;33(3):361–71. doi:10.1016/j.cpr.2012.12.006.
9. Meyer WJ, Blakeney P, Thomas CR, Russell W, Robert RS, Holzer CE. Prevalence of major psychiatric illness in young adults who
were burned as children. Psychosom Med. 2007;69(4):377–82. doi:10.1097/PSY.0b013e3180600a2e.
10. Thomas CR, Blakeney P, Holzer 3rd CE, Meyer 3rd WJ. Psychiatric disorders in long-term adjustment of at-risk adolescent burn
survivors. J Burn Care Res. 2009;30(3):458–63. doi:10.1097/BCR.0b013e3181a28c36.
11. De Young AC, Kenardy JA, Cobham VE, Kimble R. Prevalence, comorbidity and course of trauma reactions in young burn-injured
children. J Child Psychol Psychiatry. 2012;53(1):56–63. doi:10.1111/j.1469-7610.2011.02431.x.
12. Stoddard FJ, Sheridan RL, Saxe GN, King BS, King BH, Chedekel DS, et al. Treatment of pain in acutely burned children. J Burn Care
Rehabil. 2002; 23(2):135–56.
13. Kuttner L. A child in pain: what health professionals can do to help. Bethel, CT: Crown House Publishing Company LLC; 2010.
14. Sliwinski J, Fisher W, Johnson A, Elkins G. Medical hypnosis for pain and psychological distress during burn wound debridement: a
critical review. OA Altern Med. 2013;1(1):5.
15. Widgerow AD, Kalaria S. Pain mediators and wound healing—establishing the connection. Burns. 2012;38(7):951–9.
doi:10.1016/j.burns.2012.05.024.
16. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins & Cotran pathologic basis of disease. 9th ed. Philadelphia, PA: Elsevier; 2015.
17. Norbury WB, Herndon DN, Branski LK, Chinkes DL, Jeschke MG. Urinary cortisol and catecholamine excretion after burn injury in
children. J Clin Endocrinol Metab. 2008;93(4):1270–5. doi:10.1210/jc.2006-2158.
• Our selector tool helps you to find the most relevant journal
INTRODUCTION
Pilonidal sinus is a painful inflammatory disease of the skin characterized by the appearance
of a cyst in the skin with pus discharge. The cause of this disease is said to be the deep
penetration of hair in the skin, infecting the area. Although this disease mostly occurs in the
sacrum, it can also appear in other parts of the body such as the umbilicus, the axilla, or the
pubic area.1 Annually, 70,000 people in the US are afflicted with pilonidal disease, and the
incidence has been reported to be 26 per 100,000 people. The condition mostly affects
younger adults, and men are twice as likely as women to develop it. 2
Depending on the disease’s progression, various treatments are available; these can be
divided into invasive and noninvasive procedures. Among the noninvasive or nonsurgical
procedures are shaving the inflamed and infected area, injecting phenol into the sinus, and
antibiotic therapy.3 In cases where the treatment of the disease is not possible through
noninvasive or pharmaceutical methods, various surgical procedures are used, from
creating a simple incision to drain the wound to more complex procedures such as using
skin and muscle flaps to fill the space caused by the excision. 4 Because one of the risk factors
for recurrence is a closed surgical technique, open surgery is recommended. 5 In an open
surgical procedure, the surgical area is not sutured or covered with a flap, and wound
healing can occur gradually with proper wound dressings. Therefore, wound care and using
the right dressing are among the most important postoperative measures. 6
Considering the importance of wound dressing in open surgeries, an appropriate type of
dressing is required. An ideal dressing should match the shape and size of the wound, be
able to absorb excessive wound discharge while maintaining the wound’s temperature and
humidity, prevent bacteria from entering the wound, create proper pressure to maintain
homeostasis, reduce pain during the healing process and while changing the dressing,
alleviate pain, promote autolytic debridement, accelerate wound epithelialization, and not
require frequent replacement/be cost effective. 7
At the Alborz University of Medical Sciences, in Karaj, Iran, Leila Sadati, MScN, BScN, is a faculty member, Paramedic School; Robab Froozesh, MScN, BScN, is a Neonatal Intensive Care Nurse,
Paramedic School; Zahra Nouri Khaneghah, MSc, is a faculty member, Paramedic School; and Seyed Ahmad Elahi, MD, is faculty member, Department of General Surgery, School of Medicine. At the
Iran University of Medical Sciences in Tehran, Iran, Alireza Beyrami, MSc, and Mohammad Faryab Asl, MSc, are Operating Room Technologists, Faculty of Allied Medicine. Tannaz Salehi, MSc, is a
Master’s Student of Medical Physiology, Faculty of Medicine, Tehran University of Medical Sciences. Acknowledgments: The authors thank the patients who participated in this study as well as the
Shahid Bahonar and Shahid Madani Hospitals for their cooperation and financial support of this research. This article was funded by the Alborz University of Medical Sciences in Karaj, Iran. The authors
have disclosed no other financial relationships related to this article. Submitted July 22, 2018; accepted in revised form September 13, 2018.
At present, awide varietyof hydrocolloid dressings are available that are produced by
different companies. These dressings are mainly used to treat superficial wounds with low
or intermediate
exudate to accelerate the formation of granulation tissue on the wound surface. 11 Alginate
dressings derived from marine algae compounds have been used to shorten the wound
healing process for a wide range of chronic and acute ulcers for years. 12 Hydrogel dressings
have achieved popularity over the last three decades as effective products tomaintain a
moist wound bed, promote autolytic debridement, and reduce pain. 5
Withthesemoderndressings,depending onthespecificproduct, stage of the wound healing
process, and type of wound, the frequency of dressing changes may be significantly
reduced,13 which reduces the patient’s time traveling between home and treatment centers
considerably.As a result, patients will also feel less pain during dressing changes, and the
wound healing process will be accelerated. 14 The mean duration of wound healing after
open surgery is about 40 to 50 days, depending on the physical condition and nutrition
status of the patient.15 However, studies show that applying modern dressings can reduce
this period by 5 to 7 days.16
Another criterion for choosing the right type of dressing is cost. Typically, after open
pilonidal sinus excision, daily dressing of the surgical site involves cleaning the wound with a
normal saline solution and filling it with moist sterile gauze. 17 In many developed countries,
this traditional or conventional wound dressing is an acceptable choice because of easy
access to nursing care centers, the presence of experienced nurses at the patient’s bedside,
and the possibility of receiving wound care at home with effective insurance coverage. 12 In
Iran, conventional dressings are cheaper than modern dressings, but the frequent daily trips
between home and healthcare facilities to change the dressing and repeated fees increase
long-term expenses. As a result, patients tend to continue their wound care at home,
although this increases the risk of wound infections and disease relapse.
METHODS
This clinical trial (registration no. IRCT2014072118553N1, reviewed and registered by the
Iranian Registry of Clinical Trials) was conducted on 60 patients who were candidates for
pilonidal sinusectomy. A convenience sample of patients was included in the research based
on the following criteria:
1. no skin disease or immunocompromise
2. no history of immunosuppressive drugs
3. planned operations by surgeons with similar experience usinga similar procedure
4. no diabetes
5. no signs of organ paralysis or immobilization
6. a body mass index between 19 and 35 kg/m2
7. a surgical wound depth and length of 4 to 7 cm
Written informed consent was obtained from all participants, and they were provided with
complete study information, including the right to withdraw at any stage of the study and
data confidentiality.
After the surgery but before the wound cavity was filled with moist sterile gauze, the depth
and length of the surgical wound was measured and recorded using a standard millimeter
ruler. Then the patients were randomly assigned one of three 20member groups.
In the first (modern standard) group, the wounds were dressed through the standard
method recommended for alginate, hydrocolloid, and hydrogel compounds. In the first
week and after the surgeon’s first visit to the ward, the wound cavity was filled with
hydrogel (Comfeel; Coloplast, Humlebaek, Denmark), and a hydrocolloid dressing (Comfeel
Plus; Coloplast) was used as a secondary dressing to cover the wound. This procedure was
repeated three times in the first week. In the second week, the hydrogel was replaced by
alginate (Biatain Alginate; Coloplast), and the dressings were changed every 2 days. The
In the second group, a modified dressing was used. In this method, Vaseline gauze was
applied instead of the transparent hydrocolloid dressing.
ADVANCES IN SKIN & WOUND CARE • VOL. 32 NO. 7 WWW.WOUNDCAREJOURNAL.COM
In the third (traditional) group, the dressing change was performed through daily cleaning
and filling the cavity with sterile gauze.
TableMEAN
1. WOUND LENGTH AND DEPTH REDUCTION (MEAN ± SD) 4 WEEKS POSTSURGERY
First week Second week Third week Fourth week
Group Length Depth Length Depth Length Depth Length Depth
5.77 ± 0.59 3.35 ± 0.46 4.5 ± 0.47 2.67 ± 0.46 2.7 ± 0.37 1.60 ± 0.30 1.4 ± 0.34 0.85 ± 0.28
5.70 ± 0.61 3.35 ± 0.40 4.1 ± 0.41 2.45 ± 0.45 2.75 ± 0.47 1.52 ± 0.37 1.47 ± 0.52 0.72 ± 0.25 5.70 ± 0.61 3.20 ± 0.41 4.45 ± 0.48 2.65 ±
Standard
0.46 3.02 ± 0.37 2.02 ± 0.34 2 ± 0.45 1.20 ± 0.34
Modified
.904 .441 .016 .24 .034 <.001 <.001 <.001
Traditional
P
Based on the arrangements made with patients, the depth and the length of thewounds
were measured once a week for 1 month. In addition, patients’ pain levels were measured
and recorded when changing the dressing,using the 11-pointnumericrating scale. In this
scale, zero represents no pain; 1 to 3, mild pain; 4 to 6, moderate pain; and scores higher
than 7 represent severe pain.
During the 1-month evaluation, the number of dressing changes, the wound healing
process, the amount of pain experienced by patients, the total costs associated with each
method, and the length of leave from work were entered into the SPSS 19 software
program (IBM, Armonk, New York). Then the data were analyzed using descriptive and
inferential statistical methods (χ2 test, 1-way analysis of variance, Student t test, and Wilks Λ
test).
RESULTS
Based on the results of this study, there were no significant differences among groups based
on demographic information (age, gender, and body mass index). The results associated
with the wound healing process based on the wound size reduction (length and depth) are
shown in Table 1; the modified method led to the highest reductions in wound size (P < .
001). The findings on pain experienced and reported by patients within 4 weeks of surgery
are shown in Table 2; the standard method had the lowest self-reported pain scores (P < .
001).
The comparison of the average total dressing costs among the three groups is shown in
Figure 1. Although the total dressing cost of the modified method is comparable with that of
the traditional method and 50% less than the standard method (Figure 1), it reduced the
average number of days for sick leave (taken in the first 4 weeks after treatment) in
comparison with both traditional and standard methods (Figure 2).
Based on the results of this study, after 2 weeks, there was a significant difference in mean
wound length among the three groups (P < .05), indicating shorter wound healing time in
the modified and standard groups over the traditional group. This is consistent with the
findings of Xakellis and Chrischilles. 19
The results concerning the wound healing process in the first and second weeks indicate the
similar effectiveness of all three dressing methods, which is consistent with the findings of
Dumville et al,20 O’Meara et al,21 and Viciano et al.22
Another outcome measurewas the amount of pain experienced by the patients during
dressing changes, the means of which were measured and compared in the three groups
every week. During the first dressing changes, patients reported pain scores ranging from
4.5 to 5.4, which is consistent with the findings of the study conducted by Stewart et al 23
(average pain scores, 5 out of 10). There was a significant decrease in pain levels
experienced by the patients during dressing changes over all 4 weeks. However, the pain
scores in the standard and modified groups were lower than those in the conventional
group, which was consistent with the results of the study of Viciano et al. 22 Dinah and
Adhikari13 also confirmed that pain experienced during alginate and foam dressing changes
is less than the pain caused by packing sterile gauze (consistent with the results of the
current study).
Table
MEAN 2. PAIN REDUCTION 4 WEEKS POSTSURGERY,
MEAN ± SD
Group
Standar Week 1 Week 2 Week 3 Week 4
d
Modifie
4.5± 0.82 2.5 ± 1.05 0.15 ± 0.36 0±0
d
Traditio 4.4 ± 1.60 1.25 ± 0.78 0.40 ± 0.50 0.15 ± 0.36
nal 5.4 ± 0.94 2 ± 1.33 1.55 ± 1.09 0.95 ± 0.88
P .014 .02 <.001 <.001
Figure 1.
COMPARING THETOTAL COST OF DRESSINGS NORMALIZED BY THE TOTAL COST OF THETRADITIONAL METHOD AFTER 4 WEEKS
Therefore, it seems that, because of the decrease in the number of dressing changes, the
total cost of applying modified dressings is not significantly different from that of traditional
methods.
Figure 2.
COMPARING THE AVERAGE LEAVE AT WORK (IN DAYS) AFTER 4 WEEKS
In accordance with this finding, Payne et al 25 showed that because of the lower number of
dressing changes, using foam dressings to treat stage 2 pressure ulcers is cheaper than
Limitations
Because of financial constraints (the high cost of purchasing needed dressings and visiting
the patients at home for wound changes), it was not possible to continue this study for
longer than 4 weeks. Therefore, the wound healing process is reported up to the end of the
fourth week. Because the wounds were not healed entirely in some patients, there is a
possibility that extending the study period would have altered the results. Moreover, the
small sample size examined in this study, along with a narrow distribution of the samples
from the demographic point of view, limits the generalization of the results outside the
Iranian population.
CONCLUSIONS
Considering the positive results seen with the use of modern wound dressings that contain
alginate and hydrocolloid compounds, the use of these products in wound dressings is
recommended. Because nursing care centers are becoming more common in Iran, future
studies might involve performing a more accurate financial analysis in comparing the
effectiveness of these dressing methods across facilities. In addition, the authors suggest
that the surgeons and nurses responsible for performing dressing changes be trained in
using modified methods that are more cost effective than standard procedures. •
REFERENCES
1. Rushfeldt C, Søreide K. Surgical treatment of pilonidal disease [in Norwegian]. Tidsskr NorLaegeforen 2010;130(9):936-9.
2. Akin M, Gokbayir H, Kilic K, Topgul K, Ozdemir E, Ferahkose Z. Rhomboid excision andLimberg flap for managing pilonidal sinus: long-term
results in 411 patients. Colorectal Dis 2008;10(9):945-8.
3. el-Khadrawy O, Hashish M, Ismail K, Shalaby H. Outcome of the rhomboid flap for recurrentpilonidal disease. World J Surg 2009;33(5):1064-
8.
4. Steele SR, Perry WB, Mills S, Buie WD. Practice parameters for the management of pilonidaldisease. Dis Colon Rectum 2013;56(9):1021-7.
5. Bradley L. Pilonidal sinus disease: a misunderstood problem. Wounds UK 2006;2(1):45.