“MANAJEMEN NYERI”
KEPERAWATAN MENJELANG AJAL DAN PALIATIF
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah Manajemen Nyeri
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari sempurna,
untuk itu sangat diharapkan saran dan kritik yang sifatnya konstruktif dari semua
pihak untuk perbaikan makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi yang membaca dan bagi pengembangan Ilmu Keperawatan.
Kelompok 4A
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Mengingat kita sebagai mahasiswa dalam bidang kesehatan khususnya
keperawatan memberikan pemaparan kepada masyarakat tentang bagaimana
memanjamen nyeri dalam kehidupan sehari-hari. Maka, di dalam makalah ini
kami akan membahas mengenai “Manajmen Nyeri”
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu definisi nyeri?
2. Apa perbedaan nyeri akut dan nyeri kronis?
3. Bagaimana mekanisme neorofisiologi nyeri?
4. Dari mana sumber nyeri?
5. Bagaimana standar/guideline dalam manajemen nyeri?
6. Apa saja strategi penetalaksanaan nyeri secara farmakologi dan non
farmakologi?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum Agar mahasiswa dapat mengetahui tentang bagaimana
memanajmen nyeri.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui definisi nyeri
2. Untuk mengetahui nyeri akut dan nyeri kronik
3. Untuk mengetahui mekanisme neurofisiologi nyeri
4. Untuk mengetahui sumber nyeri
5. Untuk mengetahui standar/guideline manajemen nyeri
6. Untuk mengetahui strategi penatalaksanaan nyeri (farmakologis dan
nonfarmakologis)
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penulis berharap dari makalah ini, akan mampu menerapkan ilmu
pengetahuan yang diperoleh dari perguruan tinggi untuk diaplikasikan
2
dilapangan dan mampu meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang
manajemen nyeri.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Manfaat Institusi Pendidikan
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah
kepustakaan yang ada dan diharapkan dapat memberikan masukan
mengenai manajemen nyeri guna mendukung studi kasus yang akan
dilakukan dikemudian hari.
2. Manfaat Bagi Mahasiswa
Memberikan pengetahuan dan memperkaya pengalaman bagi
penulis dalam memberikan dan menyusun makalah manajemen nyeri.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengukur keparahan nyeri
adalah Visual Analogue Scale (VAS). Pemeriksa akan menganggap skala ini
mudah digunakan, efektif, dan lebih mudah dipahami oleh pasien. Skala Analog
Visual (VAS) digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat nyeri; skor 0
menunjukkan tidak nyeri, sedangkan skor 10 menunjukkan tingkat nyeri paling
tinggi. VAS digunakan untuk mengkategorikan nyeri menjadi:
a. Nyeri ringan dengan nilai VAS: < 4 (1-3).
b. Nyeri sedang dengan nilai VAS: (4 -7).
c. Nyeri berat dengan nialai VAS: >7 (8-10).
5
Respon dokter Positif, memberi harapan Merasa disalahkan,
menambah jumlah obat,
follow-up menjemukan
6
amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related neural signals). Proses ini
terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis, dan mungkin juga terjadi di
level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu, kappa, dan delta dapat
ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga mempunyai jalur
desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area otak lainnya ke
otak tengah (midbrain) dan medula oblongata, selanjutnya menuju medula
spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau
bahkan penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornu dorsalis. Persepsi
nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri.
3. Persepsi
Merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi,
aspek psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah
organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh
yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit
yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri
(nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak bermiyelin dari
syaraf aferen. (Anas Tamsuri, 2006)
2.4 Sumber Nyeri
Rasa nyeri dapat timbul dalam berbagai modalitas bergantung pada letak reseptor
1) Nyeri somatik superfisial (nyeri kulit)
Rangsang yang dapat menimbulkan rasa nyeri kulit adalah rangsang
nosiseptif yaitu rangsang yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan.
Rangsang dapat berupa rangsang mekanis, listrik, termal atau kimia.
Nyeri kulit biasanya dirasakan sebagai sensasi yang datang berurutan.
Pertama terasa sebagai rasa yang tajam, lokasi rangsang dapat ditunjukkan
dengan tepat, sensasi yang terasa dapat dijelaskan sesuai dengan rangsang
yang diberikan dan segera hilang bila rangsang dihentikan. Rasa nyeri yang
segera terasa pada saat rangsang diberikan ini disebut fast pain / initial pain
7
nyeri primer. Kemudian disusul dengan nyeri yang tumpul, lokasi rangsang
tidak dapat ditunjukkan dengan tepat, sensasi rasa kurang dapat diuraikan
dengan jelas. Biasanya terasa sebagai rasa panas, menusuk yang sifatnya
difus. Sensasi tetap terasa beberapa saat sesudah rangsang dihentikan. Nyeri
susulan ini disebut slow pain / delayed pain / nyeri sekunder.
Pada beberapa keadaan patologis tertentu kulit, kepekaan reseptor nyeri
dapat berubah yang menimbulkan hiperalgesia yaitu:
a) Hiperalgesia primer bersifat setempat, pada daerah luka atau radang,
ambang reseptor menurun. Disebabkan oleh lepasnya histamin, dapat terasa
sampai berhari- hari.
b) Hiperalgesia sekunder, disebabkan oleh rangsangan nosiseptif yang kuat
dan cukup lama 8/43 menyebabkan impuls menyebar dari daerah rangsang
baik secara horizontal maupun vertikal. Reseptor nyeri itar daerah luka
akan terangsang.
2) Nyeri somatik dalam
Reseptor terdapat pada sendi, otot, tendon dan fascia. Agak sukar
melokalisasi tempat asal nyeri somatik dalam karena dermatom kulit yang ada
tepat diatas sklerotom tempat asal nyeri somatik dalam, tidak disarafi saraf
spinal yang sama dengan sklerotom tersebut. Sensasi nyeri yang terasa
umumnya adalah nyeri tumpul yang sering disertai rasa mual. Hal tersebut
menunjukkan adanya keterlibatan sistem saraf otonom. Rasa nyeri somatik
dalam cenderung menyebar, sehingga lebih sukar lagi untuk menentukan
tempat asal nyeri. Rangsangan adekuat untuk membangkitkan nyeri somatik
dalam adalah rangsangan mekanik tarikan atau kimia.
Iskemia otot yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah
menyebabkan tertumpuknya asam laktat yang merangsang reseptor rasa nyeri
somatik dalam. Spasme otot menyebabkan tarikan cukup kuat dan dalam pada
tendon.
3) Nyeri visceral
8
Lokasi tempat asal nyeri viseral sukar ditentukan 9/43 jumlah
reseptornya hanya sedikit. Sering disertai keterlibatan sistem saraf otonom
dengan adanya rasa mual, berkeringat dan perubahan tekanan darah.
Rangsang adekuatnya adalah regangan, spasme atau kerutan yang berlebihan
pada otot polos, iskemia dan kimiawi. Biasanya nyeri viseral juga disertai
kerutan otot rangka yang ada didekat viseral yang terkena. Hal tersebut
bertujuan untuk melindungi viseral yang sedang menderita nyeri.
4) Nyeri alih
Sensasi nyeri atau rasa nyeri somatik dalam atau rasa nyeri HOKER
krasa nye viseral yang terasa didaerah somatik superfisial. Nyeri viseral
mempunyai letak nyeri alih yang khas untuk tiap viseral yang terkena.
Beberapa teori tentang terjadinya nyeri alih adalah:
a) Teori dermatome
Nyeri alih terasa pada kulit yang berasal dari dermatom yang sama
dengan alat viseral yang terkena. Misalnya nyeri jantung dialihkan ke
lengan.
b) Teori konvergensi
Traktus spinotalamikus lateralis adalah tempat berkumpulnya serat-
serat sensori nyeri, baik dari somatik maupun dari viseral, yang akan
berakhir di thalamus dan kemudian di relay oleh thalamus ke kortek
somatosen Karena impuls nyeri somatik lebih sering terjadi daripada
impuls nyeri viseral, maka korteks somatosensorik seolah lebih mengenal
nyeri somatik dari pada nyeri viseral. Karena itu nyeri viseral sering
diinterpretasikan sebagai nyeri oleh korteks.
c) Teori fasilitasi
Impuls nyeri viseral dikatakan merendahkan ambang rangsang neuro
traktus spinothalamikus, yang menerima sinaps dari serat aferen somatik.
Fasilitas tersebut dengan adanya cabang serat aferen visera yang bersinap
di neuron traktus spinothalamikus tersebut dan menimbulkan excitatory
9
post synaptic potential (EPSP). Dengan demikian neuron-neuron traktus
spinothalamikus lateralis yang menerima sinaps ganda tersebut sangat
mudah untuk terbangkit oleh impuls lemah dari aferen nyeri somatik, pada
keadaan biasa tidak terbangkit oleh impuls lemah tersebut.
2.5 Standar/ Guideline Manajemen Nyeri
Manajemen nyeri bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri yang sampai
mengganggu aktivitas penderita. Manajemen nyeri akan diberikan ketika seorang
merasakan sakit yang signifikan atau berkepanjangan. Tujuan adanya manajemen
nyeri antara lain: mengurangi rasa nyeri yang dirasakan, meningkatkan fungsi
bagian tubuh yang sakit dan meningkatkan kualitas hidup. Nyeri dapat ditangani
dengan menggunakan manajemen nyeri farmakologi dan non-farmakologi.
Manajemen Nyeri Farmakologi Menghilangkan nyeri dengan pemberian
obat-obatan pereda nyeri. Penggunaan pada nyeri sangat hebat dan berlangsung
berjam-jam atau hingga berhari-hari. Obat-obatan yang digunakan jenis
analgesik. terdapat tiga jenis analgesik, yaitu:
1. Non-narkotik dan anti inflamasi non-steroid (NSAID): dapat digunakan untuk
nyeri ringan hingga sedang. Obat ini tidak menimbulkan depresi pernapasan.
2. Analgesik narkotik atau opioid: diperuntukkan nyeri sedang hingga berat,
misalnya pasca operasi. Efek samping obat ini menimbulkan depresi
pernapasan, efek sedasi, konstipasi, mual, dan muntah.
3. Obat tambahan atau adjuvant (koanalgesik): obat dalam jenis sedatif, anti
cemas, dan pelemas otot. Obat ini dapat meningkatkan kontrol nyeri dan
menghilangkan gejala penyertanya. Obat golongan NSAID, golongan
kortikosteroid sintetik, golongan opioid memiliki onset sekitar 10 menit
dengan maksimum analgesik tercapai dalam 1-2 jam. Durasi kerja sekitar 6-8
jam.
10
1. Stimulasi dan Masase Kutaneus Masase merupakan stimulasi kutaneus tubuh
secara umum yang dipusatkan pada punggung dan tubuh. Masase dapat
mengurangi nyeri karena membuat pasien lebih nyaman akibat relaksasi otot.
2. Kompres Dingin dan Hangat Kompres dingin menurunkan produksi
prostaglandin sehingga reseptor nyeri lebih tahan terhadap rangsang nyeri
dan menghambat proses inflamasi. Kompres hangat berdampak pada
peningkatan aliran darah sehingga menurunkan nyeri dan mempercepat
penyembuhan. Kedua kompres ini digunakan secara hati-hati agar tidak
terjadi cedera.
3. Transcutaneus Electric Nerve Stimulation (TENS) TENS dapat digunakan
untuk nyeri akut dan nyeri kronis. TENS dipasang di kulit menghasilkan
sensasi kesemutan, menggetar, atau mendengung pada area nyeri. Unit TENS
dijalankan menggunakan baterai dan dipasangi elektroda.
4. Distraksi Pasien akan dialihkan fokus perhatiannya agar tidak memperhatikan
sensasi nyeri. Individu yang tidak menghiraukan nyeri akan lebih tidak
terganggu dan tahan menghadapi rasa nyeri. Penelitian Fadli (2017)
memaparkan bahwa ada pengaruh distraksi pendengaran terhadap intensitas
nyeri pada klien fraktur. Terdapat penurunan skor nyeri setelah
diberikan terapi distraksi pendengaran.
5. Teknik Relaksasi Relaksasi dapat berupa napas dalam dengan cara menarik
dan menghembuskan napas secara teratur. Teknik ini dapat menurunkan
ketegangan otot yang menunjang rasa nyeri. Penelitian Aini (2018)
menunjukkan ada pengaruh teknik relaksasi napas dalam terhadap penurunan
nyeri pada pasien fraktur.
6. Imajinasi Terbimbing Pasien akan dibimbing dan diarahkan untuk
menggunakan imajinasi yang positif. Dikombinasi dengan relaksasi dan
menggunakan suatu gambaran kenyamanan dapat mengalihkan perhatian
terhadap nyeri.
11
7. Terapi Musik Pengaruh signifikan pemberian musik instrumental terhadap
penurunan skala nyeri pasien pra operasi fraktur. Musik instrumental dapat
memberikan ketenangan pada pasien. Pemberian musik dapat mengalihkan
perhatian pasien dan menurunkan tingkat nyeri yang dialami
2.6 Strategi Penatalaksanaan Nyeri (Farmakologis Dan Non Farmakologis)
Penatalaksanaan nyeri bisa dilakukan dengan terapi farmakolgi dan terapi
non-farmakologi, berikut terapi farmakologi dan terapi non-farmakologi dalam
menangani pasien nyeri :
A. Terapi farmakologi
Manajemen Nyeri Farmakologi Menghilangkan nyeri dengan pemberian
obat-obatan pereda nyeri. Penggunaan pada nyeri sangat hebat dan
berlangsung berjam-jam atau hingga berhari-hari. Obat-obatan yang
digunakan jenis analgesik. Terdapat dua jenis analgesik, yaitu:
1. Non-opioid
a. Asetaminofen (parasetamol) : Nyeri ringan hingga sedang, nyeri
sedang hingga berat (sebagai terapi tambahan terhadap opioid), dan
penurunan demam sementara. Asetaminofen tidak boleh digunakan
untuk nyeri neuropatik karena tidak ada efek yang terdokumentasi.
b. Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) : Obat ini digunakan untuk
nyeri ringan hingga sedang, nyeri yang berhubungan dengan
peradangan, dan penurunan demam sementara. Mirip dengan
pengobatan sebelumnya, NSAID tidak memiliki bukti untuk mengatasi
nyeri neuropatik. Beberapa NSAID mempunyai indikasi lain yang
tidak berhubungan dengan nyeri (misalnya penggunaan aspirin untuk
pencegahan infark miokard sekunder).
c. Selective serotonin dan norepinefrin reuptake inhibitor (SNRI),
khususnya duloxetine, dan antidepresan trisiklik (TCA), terutama
amitriptyline, telah menunjukkan kemanjuran dalam berbagai kondisi
nyeri neuropatik. Oleh karena itu obat ini direkomendasikan sebagai
12
pengobatan lini pertama. Selain itu, selain indikasi masing-masing
untuk gangguan kejiwaan seperti gangguan depresi mayor dan
gangguan kecemasan umum, obat-obatan ini juga mengindikasikan
patologi lain seperti fibromyalgia dan nyeri muskuloskeletal kronis.
Selain itu, antidepresan direkomendasikan sebagai pengobatan
profilaksis untuk migrain dan sakit kepala tipe tegang (amitriptyline).
Kedua kelompok farmakologis tampaknya lebih efektif pada pasien
dengan gejala depresi dan nyeri sebagai komorbiditas dibandingkan
pada pasien dengan nyeri saja.
d. Beberapa obat antiepilepsi juga dikenal karena sifat analgesiknya
melalui mekanisme kerja dalam menurunkan pelepasan
neurotransmitter atau menembak saraf. Antiepilepsi umum yang paling
digunakan untuk pengobatan nyeri adalah gabapentin dan pregabalin.
1) Gabapentin: Neuralgia pascaherpetik pada orang dewasa dan nyeri
neuropatik.
2) Pregabalin: Nyeri neuropatik yang berhubungan dengan neuropati
perifer diabetik atau cedera tulang belakang, neuralgia postherpetik,
dan fibromyalgia.
3) Oxcarbazepine dan carbamazepine: neuralgia trigeminal atau
glossopharyngeal
2. Opioid
Opioid adalah kelas obat yang luas dengan kemiripan dengan
tumbuhan alkaloid alami yang ditemukan dalam opium, yang awalnya
berasal dari resin opium poppy, Papaver somniferum. Obat ini diakui
sebagai obat yang paling efektif dan banyak digunakan dalam mengobati
nyeri parah. Opioid telah menjadi salah satu analgesik paling
kontroversial, terutama karena potensi kecanduan, toleransi, dan efek
yang menyertainya. Meskipun opioid diindikasikan untuk pengobatan
nyeri akut dan kronis, pedoman Pusat Pengendalian dan Pencegahan
13
Penyakit merekomendasikan bahwa hanya jika manfaat yang diharapkan
untuk nyeri dan fungsi lebih besar daripada risikonya, dokter harus
meresepkan opioid dengan dosis efektif terendah dan durasi perkiraan
terpendek. untuk mengobati rasa sakit yang cukup parah sehingga
membutuhkan opioid.
B. Terapi non-farmakologi
Beberapa tindakan non-farmakologi yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Stimulasi dan Masase Kutaneus
Masase merupakan stimulasi kutaneus tubuh secara umum yang
dipusatkan pada punggung dan tubuh. Masase dapat mengurangi nyeri
karena membuat pasien lebih nyaman akibat relaksasi otot.
2. Kompres Dingin dan Hangat
Kompres dingin menurunkan produksi prostaglandin sehingga reseptor
nyeri lebih tahan terhadap rangsang nyeri dan menghambat proses
inflamasi. Kompres hangat berdampak pada peningkatan aliran darah
sehingga menurunkan nyeri dan mempercepat penyembuhan. Kedua
kompres ini digunakan secara hati-hati agar tidak terjadi cedera.
3. Transcutaneus Electric Nerve Stimulation (TENS)
TENS dapat digunakan untuk nyeri akut dan nyeri kronis. TENS dipasang
di kulit menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar, atau mendengung
pada area nyeri. Unit TENS dijalankan menggunakan baterai dan
dipasangi elektroda.
4. Distraksi
Pasien akan dialihkan fokus perhatiannya agar tidak memperhatikan
sensasi nyeri. Individu yang tidak menghiraukan nyeri akan lebih tidak
terganggu dan tahan menghadapi rasa nyeri. Penelitian Fadli (2017)
memaparkan bahwa ada pengaruh distraksi pendengaran terhadap
intensitas nyeri pada klien fraktur. Terdapat penurunan skor nyeri setelah
diberikan terapi distraksi pendengaran.
14
5. Teknik Relaksasi
Relaksasi dapat berupa napas dalam dengan cara menarik
dan menghembuskan napas secara teratur. Teknik ini dapat menurunkan
ketegangan otot yang menunjang rasa nyeri. Penelitian Aini (2018)
menunjukkan ada pengaruh teknik relaksasi napas dalam terhadap
penurunan nyeri pada pasien fraktur.
6. Imajinasi
Terbimbing Pasien akan dibimbing dan diarahkan untuk menggunakan
imajinasi yang positif. Dikombinasi dengan relaksasi dan menggunakan
suatu gambaran kenyamanan dapat mengalihkan perhatian terhadap
nyeri.
7. Terapi Musik
Pengaruh signifikan pemberian musik instrumental terhadap penurunan
skala nyeri pasien pra operasi fraktur. Musik instrumental dapat
memberikan ketenangan pada pasien. Pemberian musik dapat
mengalihkan perhatian pasien dan menurunkan tingkat nyeri yang
dialami.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
Andarmoyo (2013) Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. 1st edn. Edited by Rose
KR. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Brunner & Suddarth (2015) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. 8th edn.
Edited by Monica Ester. Jakarta?: EGC: Buku Kedokteran EGC.
Meliala L. 2004. Terapi rasional nyeri: tinjauan khusus nyeri neuropatik. Yogyakarta:
Aditya Media, hal. 1-48, 81-97 (P., 2015)
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
17