Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

PREGABALIN DALAM MANAGEMEN NYERI KRONIS

Oleh :
Pravinthiran Manokaran (1702612126)
I Putu Bagus Dimas Olfactory Mardika (1702612076)

Pembimbing :
dr. Tjahya Aryasa EM, Sp.An

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
RSUP SANGLAH/FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya, laporan kasus yang berjudul “Pregabalin dalam Managemen Nyeri
Kronis” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan kasus ini disusun dalam
rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Departemen/KSM Anestesi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana bertempat di RSUP Sanglah
Denpasar.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak memperoleh bimbingan,
petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini,
penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC selaku Ketua Departemen/KSM Anestesi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar,
2. dr. I.G.A Gede Utara Hartawan, SpAn, MARS selaku Koordinator Pendidikan
Departemen/KSM Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah Denpasar,
3. dr. Tjahya Aryasa EM, Sp.An, selaku pembimbing dalam penyusunan laporan kasus
ini.
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan bantuan
yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan dan
memberi manfaat bagi masyarakat.

Denpasar, Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

ii
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
KATA PENGANTAR. ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN. ................................................................................. 1
BAB II TINJUAN PUSTAKA. ........................................................................ 2
2.1 Konsep Nyeri……….. .........................................................................
2.2 Penatalaksanaan Nyeri Kronis .............................................................
2.3 Pregabalin dalam Managemen Nyeri Kronis.......................................
BAB III LAPORAN KASUS............................................................................ 17
3.1 Identitas Pasien ....................................................................................
3.2 Anamnesis ...........................................................................................
3.3 Tanda-tanda Vital ................................................................................
3.4 Pemeriksaan Fisik ................................................................................
3.5 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................
3.6 Diagnosis .............................................................................................
3.7 Tatalaksana ..........................................................................................
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................. 21
BAB V SIMPULAN .......................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri adalah suatu fenomena yang kompleks, dialami secara primer sebagai
suatu pengalaman psikologis. Penelitian yang berlangsung selama bertahun-tahun ini
oleh ahli-ahli di bidang psikosomatik menunjukkan bahwa selain dipengaruhi oleh
kondisi nyata dari fisik itu sendiri dan kondisi jiwa, nyeri juga dipengaruhi secara kuat
oleh kondisi emosi, fungsi kognitif, dan faktor-faktor sosial yang menimbulkan serta
mempertahankan rasa nyeri.1,2 Penelitian juga menunjukkan bahwa respon setiap orang
sangat bervariasi dan sangat personal dalam menyikapi rasa nyeri.
Dari segi waktu berjalannya penyakit, nyeri dapat tergolong menjadi dua yaitu
nyeri akut dan nyeri kronik.2 Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda yang juga
membuat terapi untuk kedua macam nyeri tersebut dibedakan. Nyeri kronis dapat
berlangsung tiga bulan atau lebih lama tanpa diketahui penyebabnya dan
mempengaruhi aktivitas normal pasien sehari-hari. Nyeri kronis dapat terjadi tanpa
trauma yang mendahului, dan seringkali tidak dapat ditentukan adanya gangguan
sistem yang mendasari bahkan setelah dilakukannya observasi dalam jangka waktu
yang lama.3,4
Penilaian nyeri merupakan hal yang penting untuk mengetahui intensitas dan
menentukan terapi yang efektif. Intensitas nyeri sebaiknya harus dinilai sedini mungkin
dan sangat diperlukan komunikasi yang baik dengan pasien. Penilaian intensitas nyeri
dapat menggunakan Visual Analogue Scale (VAS). Skala ini mudah digunakan bagi
pemeriksa, efisien dan lebih mudah dipahami oleh pasien. Etiologi nyeri berupa nyeri
nosiseptik/ inflamasi dan nyeri neuropatik seperti pada diabetes mellitus juga akan
mempengaruhi intensitas nyeri kronik.4
Tujuan keseluruhan untuk pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar-
besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Obat analgesik secara
konvensional diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, analgesik non-opioid, analgesik
opioid, dan analgesik adjuvan. Opioid lebih sering digunakan dan dalam dosis yang
tinggi pada penderita kanker yang mengalami nyeri neuropatik. Nonopioid, seperti

1
acetaminophen dan obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID), dapat digunakan untuk
nyeri ringan sampai sedang. Farmakoterapi adjuvan untuk nyeri neuropatik umumnya
melibatkan penggunaan antidepresan atau antikonvulsan.
Pregabalin merupakan suatu obat antikonvulsan yang digunakan sebagan
analgesik tambahan dalam penanganan nyeri kronis, terutamanya nyeri neuropatik.
Pregabalin merupakan analog γ-aminobutyric acid (GABA) yang dapat berperan
sebagai penghambat hipereksitabilitas neuron dengan menghambatnya glutamate.
Umumnya pregabalin digunakan sebagai obat antikejang, namun berbagai penelitian
menemukan potensi pregabalin sebagai salah satu terapi lini pertama untuk nyeri
neuropatik. Berbagai penelitian juga menunjukan hasil positif efektifitas Pregabalin
dalam managemen nyeri kronis dalam berbagai kondisi seperti spinal cord injury,
fibromialgia, post-herpatic neuralgia, diabetic peripheral neuropathy dan nyeri
neuropatik kanker.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Nyeri


2.1.1 Definisi Nyeri
The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan
nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau suatu
keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.1 Berdasarkan definisi ini dapat
diinterpretasikan dua kondisi nyeri, yaitu2 :
a. Pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai
kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception).
b. Pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan tanpa disertai
kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception).
2.1.2 Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi3,4 :
a. Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa.
Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam dan terlokalisasi
b. Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada
otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat
c. Nyeri visceral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya (pleura
parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri viseral
terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.
Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi4 :
a. Nyeri nosiseptif
Nyeri nosisepsi disebabkan oleh berlangsungnya aktivasi dari serabut saraf Aδ
dan C sebagai respons dari stimulus berbahaya. Nyeri nosisepsi dapat berupa nyeri

3
somatik dan nyeri viseral. Nyeri somatik merupakan nyeri yang berasal dari tulang,
otot, jaringan ikat, dan lain-lain. Jenis rasa nyeri ini digambarkan sebagai rasa sakit
yang tajam, menusuk, berdenyut, dan terlokalisasi. Sedangkan, nyeri viseral
merupakan nyeri yang berasal dari organ-organ dalam seperti pankreas, hati,
saluran pencernaan, dan lain-lain. Jenis rasa nyeri ini digambarkan seperti kram,
tumpul, kolik, meremas, tidak terlokalisir, dan dapat menyebar ke daerah lain.4,5
Stimulasi nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung
saraf sensoris dan simpatik.
b. Nyeri neurogenik
Nyeri neuropatik disebabkan oleh kelainan pengolahan sinyal dalam sistem
saraf. Dengan kata lain, nyeri neuropatik mencerminkan adanya cedera atau
disfungsi dari sistem saraf perifer atau sentral. Penyebab umum nyeri neurogenik
yaitu trauma, inflamasi, penyakit metabolik, infeksi, tumor, racun, iskemi,
kemoterapi, radioterapi, dan penyakit saraf. Nyeri ini dapat muncul tiba-tiba,
berlangsung secara terus menerus atau episodik, dan sering digambarkan terasa
seperti terbakar, tertembak, tertusuk-tusuk, tersengat listrik, teremas, sakit yang
dalam, dingin, mati rasa atau kesemutan. Nyeri neuropatik dapat berupa disestesia,
alodinia, dan hiperalgesia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau
peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan
sympathetically maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri
kronik. Nyeri neuropatik biasanya sulit ditangani. Penggunaan antidepresan dan
antikonvulsan terbukti berguna dalam penanganan nyeri ini.4,5,6.
c. Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan
depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.
Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi7 :
a. Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang timbul secara mendadak dan berlangsung dalam
waktu singkat kurang dari 6 bulan.8 Nyeri akut bersifat melindungi, penyebabnya

4
dapat diidentifikasi, berdurasi pendek dan memiliki sedikit kerusakan jaringan serta
respon emosional.9 Nyeri akut biasanya disebabkan oleh trauma, bedah, atau
inflamasi.10 Durasi nyeri akut berkaitan dengan faktor penyebab dan umumnya
dapat diperkirakan.11 Nyeri akut dapat diredakan dan perlahan-lahan akan
menghilang ketika kelainan yang mendasarinya disembuhkan.12
Nyeri ini ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi,
hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan perubahan wajah : menyeringai
atau menangis. Bentuk nyeri akut dapat berupa:
1. Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa
2. Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat
3. Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ visceral
b. Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung lebih lama dibandingkan nyeri
akut.13 Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan dan
berlangsung dalam waktu yang cukup lama yaitu lebih dari 6 bulan.14 Nyeri dapat
berupa hal yang bersifat kanker atau bukan. Contoh dari nyeri yang bersifat bukan
kanker termasuk artritis, nyeri punggung (low back pain), nyeri miofasial, sakit
kepala dan neuropatik perifer. Nyeri kronis yang bersifat bukan kanker biasanya
tidak mengancam hidup. Terkadang area yang terkena cedera telah sembuh
bertahun tahun lalu, namun nyeri yang dirasakan masih tetap berlanjut dan
menunjukkan tidak adanya respon terhadap pengobatan.9 Nyeri kronis berlangsung
lebih lama dari yang diharapkan, tidak selalu memiliki penyebab yang dapat
diidentifikasi, dan dapat memicu penderitaan yang teramat sangat bagi seseorang.9
Berbeda dengan nyeri akut, nyeri kronis memiliki neurofisiologis dan tujuan yang
lebih kompleks dan sulit.15 Pasien dengan nyeri kronis tidak atau kurang
memperlihatkan hiperaktivitas autonom tetapi memperlihatkan gejala irritabilitas,
kehilangan semangat, dan gangguan kemampuan berkonsentrasi. Nyeri kronis
dapat dibagi menjadi 3 kategori8,15 :
a. Nyeri kronis intermitten

5
Nyeri kronis intermitten (hilang- timbul) yaitu nyeri yang muncul pada periode
tertentu, di waktu yang lain, klien tidak merasakan nyeri. Contohnya sakit
kepala migrain dan nyeri abdomen intermitten yang dihubungkan dengan
gangguan sindrom iritasi bowel.8
b. Nyeri maligna kronis
Nyeri maligna kronis disebabkan oleh berkembangnya penyakit yang
mengancam jiwa atau berhubungan dengan terapi. Nyeri kanker merupakan
jenis nyeri maligna kronis.15
c. Nyeri nonmaligna kronis
Nyeri nonmaligna kronis merupakan nyeri yang tidak mengancam jiwa dan
tidak terjadi melebihi waktu penyembuhan yang diharapkan. Nyeri
berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda tanda aktivitas otonom
kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan
sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut
lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker akibat
tekanan atau rusaknya serabut saraf dan non kanker akibat trauma, proses
degenerasi.
Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Nyeri onkologik
b. Nyeri non onkologik
Berdasarkan derajat nyeri dikelompokan menjadi :
a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari
dan menjelang tidur.
b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang bila
penderita tidur.
c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat
tidur dan sering terjaga akibat nyeri.
2.1.3 Mekanisme Nyeri
Rasa nyeri berguna sebagai mekanisme alami tubuh untuk menghindari
terjadinya kerusakan jaringan (proteksi), imobilisasi jaringan yang rusak untuk

6
mempercepat penyembuhan (defensif), dan sebagai penuntun diagnostik. Namun
seringkali rasa nyeri akan menimbulkan penderitaan pada pasien sehingga
penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan.1 Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah
ujung-ujung saraf bebas. Nosiseptor berasal dari neuron sensoris somatik yang
memiliki badan sel di dorsal root ganglia atau ganglion trigeminal. Neuron ini memiliki
satu akson ke perifer dan satu akson ke sumsum tulang belakang atau batang otak.8
Serabut saraf penghantar nyeri ada dua jenis, yakni serabut saraf Aδ dan serabut saraf
C. Serabut saraf Aδ merupakan akson bermielin dengan kecepatan konduksi 5-15
meter/detik. Serabut saraf ini biasanya menghantarkan stimuli mekanis atau suhu dan
berperan pada nyeri cepat. Serabut saraf C merupakan akson tidak bermielin dengan
kecepatan konduksi < 2 meter/detik. Serabut saraf ini menghantarkan stimuli mekanis,
kimia, dan suhu sehingga disebut juga polimodal. terdapat pula perbedaan pada sifat
dari nyeri yang ditimbulkan. Serabut A akan dipersepsikan sebagai nyeri yang bersifat
menusuk atau tajam, sedangkan stimulus pada serabut C akan dipersepsikan sebagai
nyeri tumpul dan seperti terbakar.4 Rangsangan mekanik, suhu, dan kimia yang
berbahaya akan memicu jaringan mengeluarkan berbagai zat yang dapat memicu rasa
nyeri (zat algesik). Beberapa zat tersebut diantaranya adalah kalium, serotonin,
bradikinin, histamin, prostaglandin, lekotrien, dan substansi P. Zat-zat tersebut, setelah
batas tertentu, akan memicu depolarisasi yang kemudian menjadi impuls saraf pada
nosiseptor. Proses penghantaran dan pengolahan impuls dari sistem saraf perifer ke
sistem saraf pusat dapat dikelompokkan menjadi empat tahap yakni1,4,6,7,17:
1. Transduksi, yaitu proses konversi stimulus berbahaya (noksius) seperti suhu
panas, mekanik, atau kimia menjadi impuls saraf pada nosiseptor. Pada
awalnya, jalur proyeksi transmisi informasi nyeri menuju otak dimulai saat
neuron aferen primer yang disebut nosiseptor mendapatkan stimulus noksius
dan menyampaikannya pada neuron urutan kedua di pusat relay nosisepsi
bernama kornu dorsalis yang terletak di medula spinalis.6 Proses penerimaan
stimulus tersebut dinamakan transduksi. Saat impuls telah diterima oleh
nosiseptor, selanjutnya impuls tersebut akan diubah menjadi aktivitas listrik.
Aktivitas listrik yang timbul diakibatkan karena adanya potensial aksi yang

7
merupakan perubahan cepat pada potensial membran yang menyebar secara
cepat di sepanjang membran serat saraf.
2. Transmisi, yaitu proses penyaluran impuls saraf dari tempat transduksi di
perifer ke sistem saraf pusat. Dari perifer ke medulla spinalis, impuls
dihantarkan oleh serabut saraf Aδ dan serabut saraf C neuron aferen primer. Di
dorsal horn medulla spinalis serabut saraf Aδ dan serabut saraf C bersinapsis
dengan neuron aferen sekunder. Neurotransmitter yang dikeluarkan oleh
neuron aferen primer diantaranya adalah glutamat dan substansi P.
3. Modulasi, yaitu proses interaksi antara analgesik endogen dengan impuls nyeri.
Beberapa analgesik endogen tersebut yakni enkefalin, endorfin, serotonin dan
noradrenalin. Sistem analgesik endogen berperan sebagai inhibitor impuls
nyeri. Penghambatan impuls nyeri terjadi melalui dua mekanisme, yakni:
a. Teori pintu gerbang nyeri, dimana stimuli taktil terhadap serabut saraf Aβ
akan mengaktifkan interneuron penghambat di akar dorsal sehingga
menyebabkan penghambatan pada impuls nyeri serabut C.
b. Penghambatan menurun, yakni menggunakan jalur turun dari
periaqueductal grey (PAG) di otak tengah dan rostral ventromedial medulla
(RVM). Kedua area otak tersebut memiliki reseptor opioid dan konsentrasi
opioid endogen yang sangat banyak. Jalur ini menggunakan
neurotransmitter serotonin dan noradrenalin untuk menghambat transmisi
nyeri.
4. Persepsi: rasa nyeri dihasilkan dari teraktivasinya berbagai area dalam otak
seperti area sensoris (korteks somatosensoris), emosi (korteks insular dan
anterior cingulate gyrus), basal ganglia, dan serebelum. Proses ini dipengaruhi
oleh faktor subyektif dan mekanismenya belum jelas.
2.2 Penatalaksanaan Nyeri Kronis
Tujuan keseluruhan untuk pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar-
besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Obat adalah bentuk
pengendalian nyeri yang paling sering digunakan.18 Obat analgesik secara

8
konvensional diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, analgesik non-opioid, analgesik
opioid, dan analgesik adjuvan.18
a. Opioid
Menurut hasil penelitian Journal of Pain and Symptom Management,
opioid lebih sering digunakan dan dalam dosis yang tinggi pada penderita
kanker yang mengalami nyeri neuropatik.19 Opioid analgesik yang sering
digunakan adalah Tramadol, Oxycodone, Methadone, Morphine, Fentanyl.
Morfin oral telah diberikan dengan aman selama puluhan tahun dalam dosis
yang proporsional.20 Opioid dianggap sangat sesuai untuk mencapai
keberhasilan pengendalian rasa nyeri pada pasien dengan penyakit stadium
lanjut, dan penyakit terminal.21 Opioid sering digunakan untuk mengobati nyeri
sedang hingga berat.20 Pada penggunaan opioid, konstipasi adalah efek
samping yang paling umum dijumpai (34%), diikuti oleh kantuk (29%), mual
(27%), pusing (22%), muntah (12%).22
b. Adjuvan
Farmakoterapi untuk nyeri neuropatik umumnya melibatkan
penggunaan antidepresan atau antikonvulsan.22 Analgesik adjuvan yang paling
efektif digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk nyeri neuropatik yaitu
termasuk antidepresan trisiklik (misalnya amitriptilin, nortriptilin, dll), kanal
kalsium α2-d ligan antikonvulsan (gabapentin dan pregabalin), dan penghambat
reuptake serotonin-norepinefrin (misalnya venlafaxine, duloxetine, dll).
Analgesik adjuvan sering dikombinasikan dengan opioid ketika nyeri
neuropatik refrakter atau berat.22 Obat antikonvulsan, gabapentin dan
pregabalin juga telah digunakan sebagai tambahan analgesik untuk
menatalaksana nyeri neuropatik. Obat ini diduga memiliki profil
farmakokinetik yang lebih baik, termasuk bioavailabilitas yang lebih baik dan
pencapaian tingkat obat terapeutik yang lebih cepat.21
Kunci antara sistem saraf pusat dan perifer adalah kemampuan dari
pembukaan kanal kalsium dan reaksi terhadap potensial aksi di saraf perifer
serta pelepasan neurotransmitter seperti glutamat dan substansi P pada reseptor

9
di saraf spinalis sehingga rasa nyeri dapat di transfer ke otak. Gabapentin dan
pregabalin efektif pada pasien yang mengalami nyeri, terutama pada nyeri
neuropatik. Gabapentin maupun pregabalin menstimulasi aktivitas dari kanal
kalsium, yaitu dengan cara menempel dengan subunit alpha 2 delta pada kanal
tersebut. Karenanya, gabapentin ataupun pregabalin mencegah kanal berpindah
ke sisi aktif pada membran tempat dilepaskannya neurotransmitter. Pada nyeri
tulang yang diinduksi oleh kanker, peneliti melaporkan bahwa penggunaan
gabapentin dapat menurunkan intensitas nyeri serta mengurangi respon
hipereksitabilitas pada kornu dorsal.23
Menurut penelitian British Journal of Pain, penggunaan gabapentin
yang dikombinasikan dengan opioid mampu mengurang kejadian opioid
induced hiperalgesia pada pasien yang diterapi opioid dalam jangka waktu
lama.23 Pusing, sedasi, edema perifer, mual, dan efek samping antikolinergik
lain, dapat terjadi dengan pengobatan antidepresan dan antikonvulsan yang
digunakan terutama untuk manajemen nyeri neuropatik.21
c. Non Opioid Analgesik
Karena sifat kompleks dan etiologi nyeri kanker, agen farmakoterapi digunakan
sebagai bagian dari rejimen pengobatan. Nonopioid, seperti acetaminophen dan
obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID), dapat digunakan untuk nyeri ringan
sampai sedang.21 Acetaminophen (paracetamol) adalah analgesik nonopioid yang
umum digunakan dengan profil keamanan dan tolerabilitas yang mapan. Meskipun
analgesia yang optimal untuk nyeri post-operatif dan kronis sedang sampai berat
tidak dapat dicapai dengan menggunakan obat ini saja, ketika diberikan sebagai
bagian dari pendekatan yang 'seimbang', dalam kombinasi dengan anestesi lokal
dan NSAID, acetaminophen dapat menghasilkan penurunan yang signifikan
persyaratan opioid. Tinjauan sistematis dari literatur peer-review menegaskan
bahwa penggunaan kombinasi yang mengandung acetaminophen dan NSAIDs
dapat meningkatkan efek analgesik dari salah satu obat saja. Meskipun
acetaminophen IV telah banyak digunakan di Eropa selama bertahun-tahun, itu
hanya disetujui oleh Food And Drug Administration AS pada tahun 2010 dan

10
penerimaannya telah diperlambat karena biaya tinggi dibandingkan dengan
acetaminophen oral dan rektal. IV acetaminophen mencapai konsentrasi plasma
puncak dalam ~15 menit dibandingkan dengan 45–50 menit dan 3-4 jam setelah
pemberian oral dan rektal, masing-masing, menghasilkan onset efek analgesik
dalam ~5 menit (dengan durasi kerja hingga 4 jam). Namun, studi perbandingan
baru-baru ini menunjukkan bahwa NSAID adalah analgesik yang lebih efektif
daripada asetaminofen IV untuk mengobati nyeri akut.23

2.3 Pregabalin dalam Manajemen Nyeri Kronis


Pregabalin (3-isobutil gamma) merupakan molekul sintetik baru yang
merupakan analog γ-aminobutyric acid (GABA), suatu inhibitor neurotransmiter,
seperti halnya gabapentin yang dapat berperan sebagai penghambat hipereksitabilitas
neuron. Pregabalin berperan dengan memodulasi aktivitas voltage-gated Ca2+ channel
(Cav). Walaupun strukturnya berkaitan erat dengan GABA, pregabalin tidak bekerja
langsung pada reseptor GABA melainkan dengan cara memodifikasi pelepasan GABA
sinaptik atau nonsinaptik.24,25,26
Pregabalin berikatan sangat erat dengan subunit α2-δ dari voltage-gated Ca2+
channel tempat pregabalin bertindak sebagai ligan α2-δ dan memiliki aktivitas sebagai
analgetik, antikejang, dan anticemas. Pregabalin juga dapat bekerja pada pre-sinaps
untuk menurunkan pelepasan glutamat, efek ini mungkin bergantung terhadap
penurunan masuknya Ca2+ pre-sinaptik melalui Cav.25,26
2.3.1 Mekanisme Kerja Pregabalin
Mekanisme kerja pasti pregabalin masih belum secara diketahui dengan baik,
namun pregabalin diketahui memiliki interaksi yang mirip dengan binding site
gabapentin dan profil farmakologisnya juga serupa. Pregabalin berperan pada subunit
α2-δ presinaps dari voltage-gated calcium channel dengan afinitas pengikatan dan
potensi 6 kali lebih kuat daripada gabapentin. Kanal ini tersebar secara luas pada sistem
saraf sentral ataupun perifer pre-sinaptik.24,25 Cav dibagi menjadi 6 kelas, yaitu P-, Q-
, N-, L-, T- dan R-. Pembagian ini berdasarkan ketergantungan voltasenya, kinetik, dan
sensitivitasnya terhadap obat. Kelas N diketahui berperan dalam proses sensitisasi

11
nyeri. Kanal ini juga dibagi menjadi 5 subunit; peranan pregabalin terhadap subunit
α2-δ memodulasi masuknya kalsium pada saraf. terminal, dan menurunkan pelepasan
beberapa neurotransmiter seperti glutamat, noradrenalin, serotonin, dopamin, dan
substansi P.
Pregabalin memiliki efek target terhadap kanal kelas L-, T- dan N-. Pregabalin
tidak memiliki efek terhadap tekanan darah atau fungsi jantung karena tidak selektif
untuk kanal kalsium kelas L-.1,25 Berdasarkan uji coba hewan yang dimutasi berupa
substitusi arginin terhadap alanin pada subunit α2-δnya, ditemukan adanya penurunan
pengikatan pregabalin dan efek analgesiknya, sehingga dihipotesiskan bahwa
pregabalin memiliki efek analgesik melalui pengikatannya pada subunit ini. Pada uji
coba ini juga ditemukan respons analgesik yang menurun dengan pemberian
amitriptilin dan morfin.25 Peningkatan regulasi subunit α2-δ pada Cav berperan penting
dalam hipersensitisasi. Melalui proses pengikatan pada Cav, pregabalin berperan
menginhibisi eksitabilitas neuron dan menurunkan sensitisasi sentral. Proses inhibisi
ini terjadi, khususnya pada area – area di sistem saraf pusat yang padat sinaps, seperti
neokorteks, amygdala, dan hippocampus. Aktivitas ektopik ini akan diturunkan,
sementara fungsi normalnya tidak dipengaruhi. Pregabalin juga tidak aktif pada
reseptor GABAA dan GABAB, tidak dikonversi menjadi GABA atau antagonis
GABA dan tidak mengganggu uptake dan degradasi GABA.1,25,27
Selain itu, pregabalin juga bekerja menghambat pelepasan glutamat pre-sinaps
dan post-sinaps pada sistem saraf pusat.1,26 Glutamat merupakan asam amino
eksitatorik yang dilepaskan jika ada stimulus nyeri.28 Glutamat akan berinteraksi
dengan reseptor subtipe (orde kedua) termasuk reseptor inotropik, seperti AMPA (α-
amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid), NMDA (N-methyl-D-
aspartate), kainite, dan reseptor glutamat metabotropik. Dengan adanya stimulus
berulang, glutamat akan mengikat reseptor AMPA menyebabkan terbukanya kanal
natrium dan kalsium, masuknya kedua ion ini menghasilkan potensial aksi.26,27
Pelepasan glutamat terus-menerus karena stimulus nyeri, akan menyebabkan
akumulasi pada reseptor ini sehingga melepaskan ion Mg2+ (penstabil reseptor
NMDA) dari reseptor NMDA dan memperlama durasi terbukanya NMDA receptor-

12
coupled ion channel.25 Aktivasi NMDA receptor-coupled ion channel menyebabkan
depolarisasi sel dan menginduksi masuknya kalsium. Stimulasi reseptor NMDA ini
akan memproduksi sensitisasi sentral, sehingga stimulus yang sedikit saja akan dapat
mengaktivasi neuron orde kedua di medula spinalis.29 Sensitisasi sentral ini akan
bermanifestasi sebagai amplifi kasi respons terhadap stimulus (hiperalgesia),
penyebaran sensitivitas nyeri pada lokasi cedera (hiperalgesia sekunder) dan
penurunan ambang nyeri, sehingga dapat timbul nyeri spontan.29 Mekanisme inilah
yang dihambat melalui penghambatan glutamat, sehingga impuls nyeri akan dihambat.
2.3.2 Efektivitas Pregabalin dalam Terapi Nyeri Kronis
a. Spinal Cord Injury
Pregabalin merupakan obat lini pertama untuk mengobati neuropati
pada kasus cedera medula spinalis. Sebuah penelitian multicenter randomized
terhadap 137 pasien selama 12 minggu membandingkan pasien yang diberi
pregabalin 150-600 mg/hari dengan plasebo. Evaluasi dengan endpoint mean
pain score mendapatkan rata-rata skor nyeri di kelompok pregabalin lebih
rendah dibandingkan di kelompok plasebo, dengan efikasi selama satu minggu.
Rata-rata dosis pregabalin dalam 3 minggu setelah fase stabil adalah 460
mg/hari.10 Pada gangguan fungsi ginjal perlu dipertimbangkan penurunan
dosis. Efek samping yang biasa terjadi berupa dizziness, drowsiness,
pandangan kabur, ataksia, disartria, letargi, gangguan ingatan, euforia, tremor,
peningkatan berat badan, konstipasi, bibir kering, edema perifer, dan edema
wajah.26,27,29
b. Fibromialgia
Fibromialgia merupakan suatu penyakit kronis dengan berbagai kondisi
rasa nyeri (widespread pain), dengan gejala klinis seperti alodinia, hiperalgesia,
dan beberapa gejala tambahan seperti kelelahan kronis, gangguan tidur,
kekakuan, cemas dan depresi, kesemutan, gangguan kognitif, dan nyeri kepala.
Penelitian pregabalin pada sindrom fibromialgia menunjukkan hasil
memuaskan. Penelitian ini membandingkan plasebo dan 3 dosis pregabalin,
yaitu 300, 450, 600 mg selama 14 minggu dan didapatkan hasil signifi kan pada

13
3 kelompok dibandingkan plasebo, yakni penurunan mean VAS sebanyak 30%,
42%, 50%.3,6,7 Berdasarkan studi pada 529 pasien yang mendapat pregabalin
150 mg/hari, 300 mg/ hari, atau 400 mg/hari dibandingkan placebo dalam 8
minggu, ditemukan perbaikan skala nyeri terjadi signifi kan pada minggu
pertama dan bertahan sampai minggu ke-7. Pasien yang mendapat pregabalin
300 mg/hari dan 450 mg/hari mengalami penurunan tingkat kelelahan,
keringanan rasa nyeri, dan peningkatan kualitas tidur.11
c. Neuralgia Trigeminal
Pregabalin juga digunakan dalam terapi neuralgia trigeminal. Dosis
anjuran dimulai dengan 150 mg/hari, dititrasi menjadi 300 mg/hari sesudah satu
minggu dan 600 mg/hari pada minggu-minggu berikutnya. Titrasi sangat
tergantung pada kemampuan pasien menoleransi obat dan tercapainya efek
terapi yang diharapkan. Pada gangguan fungsi ginjal, dosis diturunkan 50%
untuk setiap penurunan 50% fungsi ginjal, karena gangguan fungsi ginjal akan
meningkatkan waktu paruh pregabalin. Pasien hemodialisis memerlukan dosis
tambahan, karena setiap 4 jam dialisis akan membersihkan 50 % pregabalin
dalam tubuh.26,27
d. Post-herpetic Neuralgia
Post-herpetic neuralgia (PHN) merupakan komplikasi herpes zoster
yang paling ditakuti, sering dilaporkan terjadi pada orang tua. Gejala yang
muncul seperti nyeri spontan, evoked pain. Nyeri spontan berupa rasa terbakar,
rasa nyeri konstan, keram, dan distesia. Sedangkan evoked pain, yaitu
hiperalgesa dan allodinia. Juga dapat terjadi hiperhidrosis, pruritus, tic,
hipoestesia, paresis, dan paralisis. Patofisiologi post-herpetic neuralgia adalah
terjadinya neuronal injury yang menyebabkan neuron sentral dan perifer
menghasilkan spontaneous discharges dan juga menurunkan ambang aktivasi
rasa nyeri pada stimulus bukan nyeri. Pregabalin merupakan obat analgesik lini
pertama untuk post-herpetic neuralgia. Mekanisme kerja pregabalin pada
kondisi ini adalah menurunkan influks kalsium pada ujung saraf,
menghilangkan neurotransmitter eksitatorik yang lepas pada ujung saraf. Dosis

14
biasanya dititrasi sampai 600 mg/hari.7,9 Sebuah penelitian menilai efikasi dan
keamanan pregabalin pada 238 pasien PHN. Ditemukan penurunan skala nyeri
pada pasien yang menerima pregabalin dibandingkan dengan plasebo. Efikasi
didapatkan sejak minggu pertama dan dipertahankan selama 8 minggu, sebesar
26% (NNT 6,3) pada dosis pregabalin 150 mg/hari dan 28% (NNT 5,6) pada
dosis pregabalin 300 mg/hari yang dibagi 3 dosis.12 Van Seventer, et al,
menilai efikasi dan keamanan pregabalin dosis 75 mg, 150 mg, atau 300 mg
yang dibagi 2 dosis dibandingkan plasebo selama 13 minggu. Ditemukan
semua dosis secara signifi kan lebih efektif mengurangi nyeri. Perbaikan
ditemukan dari minggu pertama dan meningkat sampai minggu 13. Efikasi
sebesar 26.5% (NNT 5,26) pada dosis pregabalin 150 mg/hari dan 37,5% (NNT
3,31) pada dosis pregabalin 300 mg/hari.29
e. Diabetic Peripheral Neuropathy (DPN)
Sebuah penelitian terhadap 146 pasien dilakukan untuk mengevaluasi
efektivitas pregabalin dalam mengurangi nyeri yang berkaitan dengan DPN;
pregabalin 3 x 100 mg sehari dibandingkan dengan placebo tanpa fase titrasi.
Pregabalin menghasilkan perbaikan signifikan dibandingkan placebo untuk
skala nyeri yang dinilai menggunakan daily patient diary, kualitas tidur, dan
kualitas hidup. Perbaikan nyeri dan kualitas hidup ditemukan sejak minggu
pertama dan tetap berlangsung hingga minggu ke 8. Pada studi ini ditemukan
nilai efikasi sebesar 40% (NNT 3,92).32 Studi lain menemukan bahwa
pregabalin 300 mg dan 600 mg/hari menghasilkan perbaikan skala nyeri
dibandingkan plasebo; dosis pregabalin dititrasi selama 6 hari. Perbaikan
ditemukan sejak minggu pertama dan bertahan selama 5 minggu periode studi.
Tidak ditemukan bukti dosis 600 mg lebih baik dibandingkan 300 mg
sebaliknya efek samping ditemukan tergantung dosis. Pada studi ini ditemukan
efi kasi sebesar 46% (NNT 3,55) pada dosis pregabalin 300 mg dan 48% (NNT
3,27) pada dosis pregabalin 600 mg.33
f. Nyeri Neuropatik Refrakter

15
Sebuah penelitian terhadap 81 pasien nyeri refrakter yang berhubungan
dengan DPN atau PHN dilakukan untuk menilai efikasi dan keamanan jangka
panjang pregabalin. Sampel memiliki riwayat manajemen nyeri yang inadekuat
atau efek samping yang tidak dapat ditoleransi terhadap antidepresan trisiklik
(TCA) (lebih dari 75 mg/hari lebih dari 2 minggu); gabapentin (lebih dari 1800
mg/ hari lebih dari 2 minggu) dan pengobatan lini ketiga (lebih dari 2 minggu).
Pasien diberi pregabalin 150-600 mg/hari yang kemudian dititrasi mencapai
dosis efektif dan yang dapat ditoleransi. Kemudian pregabalin dihentikan dalam
interval 3 bulan untuk mengevaluasi munculnya nyeri neuropatik. Sebelum
diterapi dengan pregabalin, ditemukan rerata skala nyeri berdasarkan VAS
(Visual Analog Scale) masing-masing adalah 73 mm pada DPN dan 75 mm
pada PHN. Pada akhir minggu pertama, ditemukan rerata skor masing-masing
adalah 47 dan 48 mm. Pada minggu ketiga 45% dan 36% pasien melaporkan
penurunan skala nyeri lebih dari 50%. Pada minggu ke-15 ditemukan
penurunan skala nyeri pada 36% dan 38% pasien.34
g. Nyeri pasca operasi
Nyeri pasca operasi berespon terhadap gabapentin dan menjadi target
baru untuk pregabalin.35 Pregabalin telah diuji pada pasien yang menjalani
operasi untuk pengangkatan molar ketiga, operasi tulang belakang, dan
laparoskopi histerektomi.36 Dalam studi pertama, pregabalin (pemberian
tunggal 300 mg) menurun sakit gigi pasca operasi, mencapai efek analgesik
dibandingkan ibuprofen 400 mg. Dalam studi lain, pregabalin 150 mg diberikan
1 jam sebelum dan 12 jam setelah operasi tulang belakang atau histerektomi
laparoskopi mengurangi rasa sakit pasca operasi dan mengurangi kebutuhan
opioid.36
h. Nyeri Neuropatik Kanker
Nyeri neuropatik terkait kanker dapat terjadi sebagai akibat kerusakan
saraf dari penetrasi tumor ke saraf dan pleksus, fibrosis radiasi, cedera bedah
atau melalui efek neurotoksik dari beberapa kemoterapi.37 Ada peningkatan
dalam penggunaan analgesik ajuvan, seperti pregabalin, dalam pengobatan

16
nyeri neuropatik kanker dan dua uji klinis saat ini terdaftar untuk orang dewasa
berusia ‡ 18 tahun (NCT00740571 dan NCT00637975). Studi baru baru ini
mengevaluasi pregabalin (150–300 mg / hari selama 8 minggu) dalam terapi
nyeri neuropatik yang diinduksi kemoterapi pada populasi anak (n = 30; usia
rata-rata 13,5 tahun) melaporkan perbaikan yang signifikan dari gejala nyeri
pada 86% pasien dan menyimpulkan itu pregabalin aman dan efektif untuk
terapi.38

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Owny Armanousa
No RM : 13012143
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 35 tahun

17
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Jl Pengiyasan IV/15 Sanur Densel
Diagnosis :
Tanggal MRS : 27 September 2019

3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Nyeri di seluruh tubuh
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang sadar dengan keluhan nyeri di seluruh tubuh terutama di
daerah persendian seperti lulut, persendian tangan dan pergelangan kaki. Nyeri
dikatakan memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri tidak
berkurang dengan obat anti nyeri dan dirasakan semakin bertambah hingga
pasien tidak dapat melakukan aktivitas. Pasien juga mengeluhkan bengkak pada
wajah dan perut. Keluhan demam, batuk, sesak napas disangkal. Pasien sulit
membuang air besar (BAB) sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit,
kadang-kadang mengeluhkan mual dan nyeri ulu hati. Keluhan muntah tidak
ada. Buang air kecil (BAK) dikatakan tidak ada keluhan.
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien sebelumnya dirawat di RSUD Badung dengan efusi perikard,
efusi pleura dan anemia berulang dengan riwayat mendapat transfuse lebih dari
3 kali. Pasien memiliki riwayat rambut rontok dan nyeri pada persendian
sebelumnya. Pasien juga pernah dirawat untuk nyeri akibat penyakit Herpes 4
tahun yang lalu.
Riwayat penyakit sistemik :
Tidak ada
Riwayat pengobatan :
Pasien rutin mendapat Jurnista 3x 16mg PO sejak 4 tahun yang lalu,
karena awalynya nyeri akibat penyakit Herpes.
Riwayat alergi :

18
Tidak ada
Riwayat keluarga :
Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama.
Riwayat sosial :
Pasien tidak merokok ataupun minum alkohol.

3.3 Tanda-tanda Vital


Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 130/70 mmHg
Nadi : 104x/menit
Napas : 18x/menit
Suhu aksila : 37oC
SpO2 : 98%
VAS : 6/10

3.4 Pemeriksaan Fisik


Kepala : Normosefali
Mata : Anemis -/-, ikterik -/-, pupil isokor +/+, reflex cahaya +/+
THT : Kesan tenang
Thoraks : Simetris
Cor : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : Distensi (-), BU(+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Hangat pada keempat ekstremitas

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Darah lengkap
3/9/19 23/9/19 27/9/19 1/10/19 REF RANGE

WBC 6,57 14,17 13,68 13,17 4.1-11.0

19
NE 3,61 11,87 11,65 11,6 2.5-7.5

LYM 1,67 1,53 1,40 1.0-4.00

MO 0,45 0,54 0,47 0,58 0.1-1.2

EO 0,08 0,01 0,00 0,00 0.0-0.5

BA 0,03 0,08 0,03 0,03 0.0-0.1

HGB 7,77 8,03 8,95 10,26 13.5-17.5

HCT 27,58 26,74 30,46 33,07 41.0-53.0

MCV 84,57 85,81 86,64 83,51 80.0-100.0

MCH 23,83 25,76 25,47 25,98 26.0-34.0

PLT 94,88 143,9 133 81,34 150-440

Kimia Darah
3/9/19 23/9/19 27/9/19 1/10/19 REF RANGE

AST/SGOT 15,8 19,9 11-33 U/L

ALT/SGPT 14,4 35,1 11-50 U/L

ALBUMIN 3,8 3.4-4.8 G/DL

BUN 15,5 23,7 8.0-23.0 MG/DL

20
SC 0,76 0,75 0.70-1.20 MG/DL

LED 136,9 129 <20 mm/jam

CRP 6,09 26,18 0,00-5,00 mg/L

RF (-) Negatif

Analisis Gas Darah (3/10/2019)


Hasil Nilai rujukan

pH 7.41 7.35 - 7.45

pCO2 56.0 35.00 - 45.00

pO2 269.60 80.00 - 100.00

BEecf 10.4 -2 - 2

HCO3- 35.00 22.00 - 26.00

SO2c 99.6 95 % - 100 %

Na 129 136 - 145

K 4.46 3.50 - 5.10

ANA (IF)
Hasil Nilai rujukan

ANA (IF) Negative <1 : 100

3.6 Diagnosis
Systemic Lupus Eritematosus

21
Kriteria EULAR/ACR skor
Efusi pleura, perikard : 5
Trombositopenia :4
Pericarditis :6
Alopecia :2
Total : 14
Anemia (membaik)
Chronic pain
Opioid induced hiperalgecia
Gangguan astenik organik dan emosi tidak stabil

3.7 Tatalaksana
02 10 lpm NRM
Inf. Nacl 0,9% 20tpm
Diet 1.900 kcal/hari
Transfusi PRC stop (sudah masuk 2 kolf)
Metilprednisolon 16 mg tiap 8 jam PO
Lanzoprazole 30 mg tiap 12 jam PO
Metotrexat 7,5mg tiap 1 minggu i.o (2/10/2019)
Asam Folat 5mg tiap 1 minggu i.o (2/10/2019)
Morfin 250 mg + Ketamin 250mg dlm 20 ml ns 0,9% kec 3,0 ml/jam Durogesic
patch 75 mcg per jam
Pregabalin 75mg tiap 12 jam i.o
Amitriptilin 25 mg tiap 12 jam i.o
Jurnista 32 mg tiap 4 jam i.o
Alprazolam 1mg tiap 24 jam i.o
Psikoterapi suportif
Cognitive behavioral terapy

22
BAB IV
PEMBAHASAN

The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan


nyeri sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau suatu

23
keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan.1 Berdasarkan onset timbulnya nyeri,
maka nyeri dapat dibagi menjadi nyeri akut dan kronis.
Pada kasus yang dipresentasikan, dilaporkan pasien perempuan berusia 35
tahun dengan keluhan utama nyeri seluruh tubuh sejak 4 tahun yang lalu, yang diawali
karena penyakit herpes dan telah rutin minum Jurnista 3x 16mg PO sejak 4 tahun yang
lalu. Nyeri dikatakan memberat 3 hari belakangan. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan
takikardia (104x/menit), dan VAS 6/10. Pasien didiagnosis dengan nyeri kronis, yang
mana diagnosis utamanya adalah systemic lupus erythematosus. Hal ini sesuai dengan
teori, bahwa nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung lebih lama dibandingkan nyeri
akut.13 Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan dan
berlangsung dalam waktu yang cukup lama yaitu lebih dari 6 bulan.14 Nyeri kronis
terkadang dapat terjadi pada suatu kondisi yang sebenarnya telah sembuh secara
anatomis namun nyeri yang dirasakan masih tetap berlanjut dan menunjukkan tidak
adanya respon terhadap pengobatan.9 Nyeri kronis berlangsung lebih lama dari yang
diharapkan, tidak selalu memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi, dan dapat
memicu penderitaan yang teramat sangat bagi seseorang.9 Berbeda dengan nyeri akut,
nyeri kronis memiliki neurofisiologis dan tujuan yang lebih kompleks dan sulit.15
Pasien dengan nyeri kronis tidak atau kurang memperlihatkan hiperaktivitas autonom
tetapi memperlihatkan gejala irritabilitas, kehilangan semangat, dan gangguan
kemampuan berkonsentrasi. Hal ini tercermin pada pasien yang mendapatkan
diagnosis tambahan berupa gangguan astenik organik dan emosi tidak stabil.
Tujuan keseluruhan untuk pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar-
besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Obat adalah bentuk
pengendalian nyeri yang paling sering digunakan.18 Obat analgesik secara
konvensional diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, analgesik non-opioid, analgesik
opioid, dan analgesik adjuvan.18 Pada pasien diberikan pengobatan untuk nyeri berupa
Morfin 250 mg + Ketamin 250mg dlm 20 ml ns 0,9% kec 3,0 ml/jam, Durogesic patch
75 mcg per jam, Pregabalin 75mg tiap 12 jam i.o, Amitriptilin 25 mg tiap 12 jam i.o,
Alprazolam 1mg tiap 24 jam i.o.

24
Opiod dianggap sangat sesuai untuk mencapai keberhasilan pengendalian rasa
nyeri pada pasien dengan penyakit stadium lanjut, dan penyakit terminal. 21 Opioid
sering digunakan untuk mengobati nyeri sedang hingga berat.20 Untuk adjuvan, yang
paling efektif digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk nyeri neuropatik yaitu
termasuk antidepresan trisiklik (misalnya amitriptilin, nortriptilin, dll), kanal kalsium
α2-d ligan antikonvulsan (gabapentin dan pregabalin), dan penghambat reuptake
serotonin-norepinefrin (misalnya venlafaxine, duloxetine, dll). Analgesik adjuvan
sering dikombinasikan dengan opioid ketika nyeri neuropatik refrakter atau berat.22
Obat antikonvulsan, gabapentin dan pregabalin juga telah digunakan sebagai tambahan
analgesik untuk menatalaksana nyeri neuropatik. Obat ini diduga memiliki profil
farmakokinetik yang lebih baik, termasuk bioavailabilitas yang lebih baik dan
pencapaian tingkat obat terapeutik yang lebih cepat.21
Kunci antara sistem saraf pusat dan perifer adalah kemampuan dari pembukaan
kanal kalsium dan reaksi terhadap potensial aksi di saraf perifer serta pelepasan
neurotransmitter seperti glutamat dan substansi P pada reseptor di saraf spinalis
sehingga rasa nyeri dapat di transfer ke otak. Gabapentin dan pregabalin efektif pada
pasien yang mengalami nyeri, terutama pada nyeri neuropatik. Gabapentin maupun
pregabalin menstimulasi aktivitas dari kanal kalsium, yaitu dengan cara menempel
dengan subunit alpha 2 delta pada kanal tersebut. karenanya, gabapentin ataupun
pregabalin mencegah kanal berpindah ke sisi aktif pada membran tempat
dilepaskannya neurotransmitter. Menurut penelitian British Journal of Pain,
penggunaan gabapentin yang dikombinasikan dengan opioid mampu mengurang
kejadian opioid induced hiperalgesia pada pasien yang diterapi opioid dalam jangka
waktu lama.23
Pregabalin (3-isobutil gamma) merupakan molekul sintetik baru yang
merupakan analog γ-aminobutyric acid (GABA), suatu inhibitor neurotransmiter,
seperti halnya gabapentin yang dapat berperan sebagai penghambat hipereksitabilitas
neuron. Pregabalin berperan dengan memodulasi aktivitas voltage-gated Ca2+ channel
(Cav). Umumnya pregabalin digunakan sebagai obat antikejang, namun berbagai
penelitian menemukan potensi pregabalin sebagai salah satu terapi lini pertama untuk

25
nyeri neuropatik. Walaupun strukturnya berkaitan erat dengan GABA, pregabalin tidak
bekerja langsung pada reseptor GABA melainkan dengan cara memodifi kasi
pelepasan GABA sinaptik atau nonsinaptik.24,25,26
Mekanisme kerja pasti pregabalin masih belum secara diketahui dengan baik,
namun pregabalin diketahui memiliki interaksi yang mirip dengan binding site
gabapentin dan profi l farmakologisnya juga serupa. Pregabalin berperan pada subunit
α2-δ presinaps dari voltage-gated calcium channel dengan afinitas pengikatan dan
potensi 6 kali lebih kuat daripada gabapentin. Kanal ini tersebar secara luas pada sistem
saraf sentral ataupun perifer pre-sinaptik.24,25 Cav dibagi menjadi 6 kelas, yaitu P-, Q-
, N-, L-, T- dan R-. Pembagian ini berdasarkan ketergantungan voltasenya, kinetik, dan
sensitivitasnya terhadap obat. Kelas N diketahui berperan dalam proses sensitisasi
nyeri. Kanal ini juga dibagi menjadi 5 subunit; peranan pregabalin terhadap subunit
α2-δ memodulasi masuknya kalsium pada saraf terminal, dan menurunkan pelepasan
beberapa neurotransmiter seperti glutamat, noradrenalin, serotonin, dopamin, dan
substansi P.
Pregabalin memiliki efek target terhadap kanal kelas L-, T- dan N-. Pregabalin
tidak memiliki efek terhadap tekanan darah atau fungsi jantung karena tidak selektif
untuk kanal kalsium kelas L-.1,25 Berdasarkan uji coba hewan yang dimutasi berupa
substitusi arginin terhadap alanin pada subunit α2-δnya, ditemukan adanya penurunan
pengikatan pregabalin dan efek analgesiknya, sehingga dihipotesiskan bahwa
pregabalin memiliki efek analgesik melalui pengikatannya pada subunit ini. Pada uji
coba ini juga ditemukan respons analgesik yang menurun dengan pemberian
amitriptilin dan morfin.25 Peningkatan regulasi subunit α2-δ pada Cav berperan penting
dalam hipersensitisasi. Melalui proses pengikatan pada Cav, pregabalin berperan
menginhibisi eksitabilitas neuron dan menurunkan sensitisasi sentral. Proses inhibisi
ini terjadi, khususnya pada area – area di sistem saraf pusat yang padat sinaps, seperti
neokorteks, amygdala, dan hippocampus. Aktivitas ektopik ini akan diturunkan,
sementara fungsi normalnya tidak dipengaruhi. Pregabalin juga tidak aktif pada
reseptor GABAA dan GABAB, tidak dikonversi menjadi GABA atau antagonis
GABA dan tidak mengganggu uptake dan degradasi GABA.1,25,27

26
Selain itu, pregabalin juga bekerja menghambat pelepasan glutamat pre-sinaps
dan post-sinaps pada sistem saraf pusat.1,26 Glutamat merupakan asam amino
eksitatorik yang dilepaskan jika ada stimulus nyeri.28 Glutamat akan berinteraksi
dengan reseptor subtipe (orde kedua) termasuk reseptor inotropik, seperti AMPA (α-
amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid), NMDA (N-methyl-D-
aspartate), kainite, dan reseptor glutamat metabotropik. Dengan adanya stimulus
berulang, glutamat akan mengikat reseptor AMPA menyebabkan terbukanya kanal
natrium dan kalsium, masuknya kedua ion ini menghasilkan potensial aksi.26,27
Pelepasan glutamat terus-menerus karena stimulus nyeri, akan menyebabkan
akumulasi pada reseptor ini sehingga melepaskan ion Mg2+ (penstabil reseptor
NMDA) dari reseptor NMDA dan memperlama durasi terbukanya NMDA receptor-
coupled ion channel.25 Aktivasi NMDA receptor-coupled ion channel menyebabkan
depolarisasi sel dan menginduksi masuknya kalsium. Stimulasi reseptor NMDA ini
akan memproduksi sensitisasi sentral, sehingga stimulus yang sedikit saja akan dapat
mengaktivasi neuron orde kedua di medula spinalis.29 Sensitisasi sentral ini akan
bermanifestasi sebagai amplifikasi respons terhadap stimulus (hiperalgesia),
penyebaran sensitivitas nyeri pada lokasi cedera (hiperalgesia sekunder) dan
penurunan ambang nyeri, sehingga dapat timbul nyeri spontan.29 Mekanisme inilah
yang dihambat melalui penghambatan glutamat, sehingga impuls nyeri akan dihambat.

27
BAB V
SIMPULAN

Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak


menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial, atau suatu keadaan yang menunjukkan kerusakan jaringan. Nyeri memiliki
banyak klasifikasi, salah satunya berdasarkan onset, menjadi nyeri akut dan kronis.
Nyeri kronis umumnya terjadi lebih lama dari nyeri akut, yakni lebih dari 6 bulan.
Manajemen nyeri secara konvensional diklasifikasikan menjadi tiga kelompok,
analgesik non-opioid, analgesik opioid, dan analgesik adjuvan.
Pada pasien yang dilaporkan didiagnosis dengan nyeri kronis, dan telah diterapi
dengan analgesik opioid morfin + ketamin IV, durogesic patch, adjuvant pregabalin,
amitriptilin dan alprazolam. Opioid sering digunakan untuk mengobati nyeri sedang
hingga berat dan nyeri kronis. Adjuvan pregabalin bekerja pada nyeri kronis dengan
menghambat proses sensitisasi sentral.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku G, Senapathi T. Buku Ajar Ilmu Anestesia Dan Reanimasi. 1st ed. Jakarta:
Indeks; 2010.
2. Hamill, RJ. The Assesment of Pain, In: Handbook of Critical Care Pain
Management, New York, McGrow-Hill Inc, 1994, 13-25
3. Benzon, et al., The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and Regional
Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2005
4. National Pharmaceutical Council. Pain: Current Understanding of Assessment,
Management, and Treatments. 2001: 4-15.
5. Ministry of Health Republic of Rwanda. Pain Management Guidelines. 2012:1-2.
6. Reddi D, Curran N, dan Stephens R. An Introduction to Pain Pathways and
Mechanisms. British Journal of Hospital Medicine. 2013(74) : 188-191.
7. Latief, SA. Petunjuk Praktis Anestesiologi. edisi II. Bag Anestesiologi dan Terapi
Intensif FK UI. Jakarta, 2001.
8. Black, JM. dan Hawks, JH. Fundamental of nursing : Fundamental keperawatan
buku 3 edisi 7. Singapore : ELSEVIER. 2009.
9. Potter, PA dan Perry, AG. Fundamental of nursing : fundamental keperawatan
Buku 3 Edisi 7. Singapore: ELSEVIER. 2009.
10. Prasetyo, SN. Konsep dan proses keperawatan nyeri. Yogyakarta : Graha Ilmu.
2010.
11. Price, SA. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6 Volume 2.
Jakarta : EGC. 2005
12. Robinson, JM. dan Saputra, L. Pocket visual nursing : keperawatan medikal bedah
buku satu. Tangerang : BINARUPA AKSARA. 2009.
13. Hariyanto, A dan Sulistyowati, R. Buku ajar keperawatan medikal bedah 1 : dengan
diagnosis NANDA international. Yogyakarta : AR- RUZZ MEDIA. 2015.
14. Hidayat, AA. Pengantar kebutuhan dasar manusia : Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. 2009.
15. Potter, PA dan Perry, AG. Fundamental of nursing : fundamental keperawatan
Buku 3 Edisi 7. Singapore: ELSEVIER. 2009.
16. Lemone, P. Buku ajar keperawatan medikal bedah edisi 5 volume 1. Jakarta : EGC.
2015.
17. Basbaum, AJ. Bautista, DM. Scherrer, G dan Julius D. Cellular and Molecular
Mechanisms of Pain. Cell. 2009;139(2):267-284
18. Sylvia, A. Prince, LMW. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. 6th
ed. Jakarta: EGC; 2015.
19. Hertanti, NS. Setiyarini, S. Kristanti, MS. Haryani. Pengaruh Self-Selected
Individual Music Therapy (SeLIMuT) terhadap Tingkat Nyeri Pasien Kanker
Paliatif di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Indonesia Journal of Cancer.

29
2015;9(2):159–65. Diakses pada: http//www.indonesianjournalofcancer.or. ide-
journalindex.phpijocarticleview381.
20. Ramadhani, A. Jatmiko, H. Perubahan Hemodinamik pada pasien post operative
yang diberi paracetamol untuk menghilangkan nyeri. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. 2014.
21. Blackburn, LM. Abel, S. Green, L. Johnson, K. Panda, S. The Use of Comfort Kits
to Optimize Adult Cancer Pain Management. Pain Manag Nurs [Internet]. 2018;1–
9. Diakses pada : https://doi.org/10.1016/j.pmn.2018.01.004
22. Ganong, WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 22nd ed. Jakarta: EGC; 2013.
p.147.
23. Falk, S. Bannister, K. Dickenson, AH. Cancer pain physiology. Br J Pain.
2014;8(4):154–62.
24. Rahman, W. Dickenson, AH. Recent development in neuropathic mechanism :
Implication for treatment. Reviews in Pain 2011; 5(2)
25. Gajraj NM. Pregabalin : Its pharmacology and use in pain management. Anesth
Analg. 2007;105:1805-15
26. Katzung BG. Basic & clinical pharmacology. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2010
27. Hall, CG. An observational descriptive study of the epidemiology and treatment of
neuropathic pain in a UK general population. BMC Family Practice 2013;14 : 28.
28. Sabatowski, R. Gálvez, R. Cherry, DA. et al. Pregabalin redices pain and improves
sleep and mood disturbance in patients with post-herpetic neuralgia: Results of a
randomized placebo-controlled clinical trial. Pain 2004;109:26-35.
29. Bohlego, S. Alsaadi, T. Amir, A. et al. Guidelines for the pharmacological
treatment of peripheral neuropathic pain: Expert panel recommendation for the
middle east region. J Internat Med Res. 2010;38 : 295-317.
30. Siddal, PJ. Cousins, MJ. Otte, A. et al. Pregabalin in central neuropathic pain
associated with spinal cord injury : A placebo-controlled trial. Neurology
2006;67:1792-800
31. Crofford, LJ. Rowbotham, MC. Mease PJ. et al. Pregabalin for the treatment of fi
bromyalgia syndrome: Results of a randomized, double-blind, placebo controlled
trial. Arthritis Rheum. 2005;52:1264-73.
32. Rosenstock, J. Tuchman, M. LaMoreaux, L. Pregabalin for the treatment of painful
diabetic peripheral neuropathy: A double blind, placebo controlled trial. Pain
2004;110:628-38
33. Lesser, H. Sharma, U. LaMoreaux, L. Pregabalin relieves symptoms of painful
diabetic neuropathy: A randomized controlled trial. Neurology 2004;63:2104-10.
34. D’Urso, DR. Stacey, B. Siffert, J. Long-term treatment of painful DPH and PHN
with pregabalin in treatment-refractory patients. San Diego, California: American
Diabetes Association 64th Scientifi c Sessions. 2005 June.
35. Dahl, JB. Mathiesen, O. Moiniche, S. ‘Protective premedication’: an option with
gabapentin and related drugs? A review of gabapentin and pregabalin in the
treatment of post-operative pain. Acta Anaesthesiol Scand 2004 Oct; 48 (9): 1130-
6

30
36. Jokela, R. Ahonen, J. Tallgren M, et al. A randomized controlled trial of
perioperative administration of pregabalin for pain after laparoscopic
hysterectomy. Pain 2008.
37. McGeeney, BE. Adjuvant agents in cancer pain. Clin J Pain 2008 May; 24 Suppl.
10: S14-20
38. Vondracek, P. Oslejskova, H. Kepak, T. et al. Efficacy of pregabalin in neuropathic
pain in paediatric oncological patients. Eur J Paediatr Neurol. Epub 2008 Sep 5

31

Anda mungkin juga menyukai