Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF

PADAPASIEN TERMINAL DENGAN MANAJEMEN


NYERI

Disusun Oleh :
1. Adefia (2019001)
2. Anisa Salsabila Pratiwi ( 2019007)
3. Amalia Arinda Kurniawati (2019006)
4. Cahya Wulan novita Sari (2019009)
5. Tiara Ardila Putri Ali (2019039)
6. M. Aditya Putra Pratomo (2019044)

Tingkat : 2A/B
Mata Kuliah : Keperawatan Paliatif

INSTITUSI AKADEMI KEPERAWATAN BUNDA DELIMA


BANDAR LAMPUNG
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum, Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas berkah, rahmat, dan hidayah-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Shalawat serta salam tak lupa pula kita
kirimkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW.
kami sangat berterima kasih kepada Dosen Pengajar mata kuliah ini Bapak Ns.
Wijonarko,S.kep.,M.kes. , karena dengan tugas ini dapat menambah wawasan kami dalam
memahami tentang Konsep menejemen nyeri pada asuhan keperawatan paliatif dengan pasien
terminal. Adapun isi dari makalah kami yang dikutip dari beberapa buku dan internet yang
berhubungan dengan pembahasan materi makalah kami. Namun kami sangat menyadari,
materi makalah kami memiliki banyak kekurangan sehingga kami memerlukan kritik dan
saran dari pembaca guna memperbaiki dan meningkatkan kualitas dari makalah kami.
Mudah-mudahan makalah kami bermanfaat bagi pembaca dan dapat diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.

Wassalamu’alaikum, Wr.Wb.

BandarLampung, 26 Maret 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

COVER...............................................................................................................i

KATA PENGANTAR........................................................................................ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Brelakang ......................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................1

1.3 Tujuan.....................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Konsep Manajemen Nyeri.......................................................................2

2.2 Pengkajian Fisik dan Psiklogis................................................................7

2.3 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terminal ..........................................11

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.............................................................................................17

3.2 Saran........................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup


pasien (dewasa dan anak-anak, lansia) dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang
mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi
dini, pengkajian yang sempurna dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik
fisik, psikologis, sosial maupun spiritual. Prinsip pelayanan perawatan paliatif yaitu
menghilangkan nyeri dan mencegah timbulnya gejala serta keluhan fisik lainnya,
penanggulangan nyeri, menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai
proses normal, tidak bertujuan mempercepat atau menghambat kematian, memberikan
dukungan psikologis, sosial dan spiritual, memberikan dukungan agar pasien dapat
hidup seaktif mungkin, memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa
dukacita, serta menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan
keluarganya. Masalah fisik yang scringkali muncul yang merupakan keluhan dari
pasien paliatif yaitu nyeri. Nyeri merupakan pengalaman emosional dan sensori yang
tidak menyenangkan yang muncul akibat rusaknya jaringan aktual yang terjadi secara
tiba-tiba dari intensitas ringan hingga berat yang dapat diantisipasi dan diprediksi.
Masalah psikologis yang paling sering dialami pasien paliatif adalah kecemasan. Hal
yang menyecbabkan terjadinya kecemasan ialah diagnosa penyakit yang membuat
pasien takut schingga menyebabkan kecemasan bagi pasien maupun keluarga.

Penyakit terminal merupakan penyakit progresif yaitu penyakit yang menuju ke arah
kematian. Contohnya seperti penyakit jantung,dan kanker atau penyakit terminal ini
dapat dikatakan harapan untuk hidup tipis, tidak ada lagi obat-obatan, tim medis
sudah give up (menyerah) dan seperti yang di katakan di atas tadi penyakit terminal
ini mengarah kearah kematian. (White, 2002).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalahnya yaitu

1. Bagaimana konsep manajemen nyeri?

2. Bagaimana pengkajian fisik dan psikologis?

3. Bagaimana konsep asuhan keperawatan paliatif pada pasien terminal

C. Tujuan

1. Untuk diketahuinya konsep manajemen nyeri.

2. Untuk diketahuinya pengkajian fisik dan psikologis.

3. Untuk diketahuinya konsep asuhan keperawatan paliatif pada pasien terminal


BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Manajemen Nyeri

1. Definisi Nyeri The International Association for the Study of Pain (IASP)

Mendefinisikan nyeri sebagai an unpleasant sensory and emotional experience which


we primarily associate with tissue damage or describe in terms of such damage, or
both. Definisi ini menyatakan bahwa nyeri merupakan phenomena kombinasi dari
aspek sensory, emosional, kognitif dan eksistensi dari keadaan pathology fisik
tidaklah mutlak muncul pada pasien yang sedang mengalami nyeri. Nycri merupakan
sensasi yang rumit, unik, universal dan bersifat individual. Walaupun demikian nyeri
dapat pula diartikan sebagai suatu sensasi yang tidak menyenangkan baik secara
sensori maupun emosional yang berhubungan dengan adanya suatu kerusakan
jaringan atau factor lain, schingga individu merasa tersiksa, menderita yang akhirnya
akan mengganggu aktivitas schari-hari, psikis dan lain-lain.

2. Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan kedalam beberapa golongan berdasarkan pada tempat,


sifat, berat ringannya nyeri dan waktu lamanya scrangan.

a. Nyeri berdasarkan tempatnya Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada
permukaan tubuh misalnya pada mukosa, kulit. Deep pain, yaitu nyeri yang terasa
pada permukaan tubuh yang lebih dalam atau pada organ-organ tubuh visceral.
Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit organ/struktur
dalam tubuh yang ditransmisikan kebagian tubuh didaerah yang berbeda, bukan
daerah asal nyeri. Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada
system saraf pusat, spinal cord, batang otak, thalamus dan lain-lain.

b. Nyeri berdasarkan sifatnya Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu
lalu menghilang. Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan
dalam waktu yang lama. Paroxysmal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas
tinggi dan kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap sekitar menit, lalu
menghilang. kemudian timbul lagi.

c. Nyeri berdasarkan berat-ringannya Nyeri rendah, yaitu nyeri dengan intensitas


rendah. Nyeri sedang. yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi. Nyeri berat, yaitu nyeri
dengan intensitas yang tinggi.

d. Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan
dalam waktu yang singkat dan berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah
nyeri diketahui dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka, seperti luka
operasi, ataupun pada suatu penyakit arteriosclerosis pada arteri koroner. Nyeri
kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan. Nyeri kronis ini polanya
beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

3. Jenis-Jenis Skala Nyeri Skala nyeri

Secara umum digambarkan dalam bentuk nilai angka, yakni 1-10. Berikut adalah jenis
skala nyeri berdasarkan nilai angka yang perlu Anda ketahui.

a. Skala 0, tidak nyeri

b. Skala 1, nyeri sangat ringan

c.Skala 2, nyeri ringan. Ada sensasi seperti dicubit, namun tidak begitu sakit

d. Skala 3, nyeri sudah mulai terasa, namun masih bisa ditoleransi

e. Skala 4, nyeri cukup mengganggu (contoh: nyeri sakit gigi) £ Skala 5, nyeri benar-
benar mengganggu dan tidak bisa didiamkan dalam waktu lama

g. Skala 6, nyeri sudah sampai tahap mengganggu indera, terutama indera penglihatan

h. Skala 7, nyeri sudah membuat Anda tidak bisa melakukan aktivitas

i. Skala 8, nyeri mengakibatkan Anda tidak bisa berpikir jernih, bahkan terjadi
perubahan perilaku

j. Skala 9, nyeri mengakibatkan Anda menjerit-jerit dan menginginkan cara apapun


untuk menyembuhkan nyeri

k. Skala 10, nyeri berada di tahap yang paling parah dan bisa menyebabkan Anda tak
sadarkan diri

Cara Menghitung Skala Nyeri Mengetahui skala nyeri menjadi penting karena metode
ini membantu para tenaga medis untuk mendiagnosis penyakit, menentukan metode
pengobatan, hingga menganalisis efektivitas dari pengobatan tersebut. Dalam dunia
medis, ada banyak metode penghitungan skala nyeri. Berikut ini beberapa cara
menghitung skala nyeri yang paling populer dan sering digunakan.

a. Visual Analog Scale (VAS)

Visual Analog Scale (VAS) adalah cara menghitung skala nyeri yang paling banyak
digunakan oleh praktisi medis. VAS merupakan skala linier yang akan
memvisualisasikan gradasi tingkatan nyeri yang diderita oleh pasien. Pada metode
VAS, visualisasinya berupa rentang garis sepanjang kurang lebih 10 cm, di mana pada
ujung garis kiri tidak mengindikasikan nyeri, sementara ujung satunya lagi
mengindikasikan rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Selain dua indicator
tersebut, VAS bisa diisi dengan indikator redanya rasa nyeri.

VAS adalah prosedur penghitungan skala nyeri yang mudah untuk digunakan.
Namun, VAS tidak disarankan untuk menganalisis efek nyeri pada pasien yang baru
mengalami pembedahan. Ini karena VAS membutuhkan koordinasi visual, motorik,
dan konsentrasi. Berikut adalah visualisasi VAS: Pessible ON

b. Verbal Rating Scale (VRS)

Verbal Scale (VRS) hampir sama dengan VAS, hanya, pernyataan verbal dari rasa
nyeri yang dialami oleh pasien ini jadi lebih spesifik. VRS lebih sesuai jika digunakan
pada pasien pasca operasi bedah karena prosedurnya yang tidak begitu bergantung
pada koordinasi motorik dan visual. Skala nyeri versi VRS: Worst Maderate pain
Severe Very ON pain PIIr gissod ujed pain Uied

c. Numerie Rating Scale (NRS)

Numeric Rating Scale (NRS) ini didasari pada skala angka 1-10 untuk
menggambarkan kualitas nyeri yang dirasakan pasien. NRS diklaim lebih mudah
dipahami, lebih sensitif terhadap jenis kelamin, etnis, hingga dosis. NRS juga lebih
efektif untuk mendeteksi penyebab nyeri akut ketimbang VAS dan VRS. Skala nyeri
dengan menggunakan NRS: Worst DOR ble Moderate ON pain pain NRS di satu sisi
juga memiliki kekurangan, yakni tidak adanya pemyataan spesifik terkait tingkatan
nyeri sehingga seberapa parah nyeri yang dirasakan tidak dapat diidentifikasi dengan
jelas.

d. Wong-Baker Pain Rating

Scale Wong-Baker Pain Rating Scale adalah metode penghitungan skala nyeri yang
diciptakan dan dikembangkan oleh Donna Wong dan Connie Baker. Cara mendeteksi
skala nyeri dengan metode ini yaitu dengan melihat ekspresi wajah yang sudah
dikelompokkan ke dalam beberapa tingkatan rasa nyeri. 00 2. 8. Hurts Whole Lot 10
Hurts 4. 9. ON Even More LUittlo Bit LRtle More

Saat menjalankan prosedur ini, dokter akan meminta pasien untuk memilih wajah
yang kiranya paling menggambarkan rasa nyeri yang sedang mereka alami. Seperti
terlihat pada gambar, skala nyeri dibagi menjadi:

Raut wajah 1, tidak ada nyeri yang dirasakan

Raut wajah 2, sedikit nyeri

Raut wajah 3, nyeri

Raut wajah 4, nyeri lumayan parah

Raut wajah 5, nyeri parah

Raut wajah 6, nyeri sangat parah

e. McGill Pain Questinonnaire (MPQ)


Metode penghitungan skala nyeri selanjutnya adalah McGill Pain Questinnaire
(MPQ). MPQ adalah cara mengetahui skala nyeri yang diperkenalkan oleh Torgerson
dan Melzack dari Universitas Megill pada tahun 1971. Sesuai dengan namanya,
prosedur MPQ berupa pemberian kuesioner kepada pasien. Kuesioner tersebut
berisikan kategori atau kelompok rasa tidak nyaman yang diderita.

f. Oswetry Disability Index (ODI)

Diperkenalkan pertama kali pada tahun 1980 oleh Jeremy Fairbank, Oswetry
Disability Index (ODI) adalah metode deteksi skala nyeri yang bertujuan untuk
mengukut derajat kecacatan, pun indeks kualitas hidup dari pasien penderita nyeri,
khususnya nyeri pinggang.

Pada penerapannya, pasien akan diminta melakukan serangkaian tes guna


mengidentifikasi intensitas nyeri. kemampuan gerak motorik, kemampuan berjalan,
duduk, fungsi seksual, kualitas tidur, hingga kehidupan pribadinya. Dari sini, dokter
dapat mengetahui skala nyeri dan memastikan apa penyebab utama dari nyeri yang
dirasakan tersebut. g. Brief Pain Inventory (BPI) Awalnya, metode ini digunakan
untuk menghitung skala nyeri yang dirasakan oleh penderita kanker. Namun. Saat ini
BPI juga digunakan untuk menilai derajat nyeri pada penderita nyeri kronik.

g. Memorial Pain Assessment Card.

Cara mengukur skala nyeri dengan metode Memorial Pain Assessment Card ini
dinilai cukup efektif, terutama untuk pasien penderita nyeri kronik. Dalam
penerapannya, MPAC akan berfokus pada empat indicator, yakni intensitas nyeri,
deskripsi nyeri, pengurangan nyeri, dan mood.

h. Brief Pain Inventory (BPI)

Awalnya, metode ini digunakan untuk menghitung skala nyeri yang dirasakan oleh
penderita kanker. Namun. Saat ini BPI juga digunakan untuk menilai derajat nyeri
pada penderita nyeri kronik. h. Memorial Pain Assessment Card Cara mengukur skala
nyeri dengan metode Memorial Pain Assessment Card ini dinilai cukup efektif,
terutama untuk pasien penderita nyeri kronik. Dalam penerapannya, MPAC akan
berfokus pada empat indicator, yakni intensitas nyeri, deskripsi nyeri, pengurangan
nyeri, dan mood.

5. Etiologi

Nyeri Penyebab nyeri dapat diklasifikasi kedalam dua golongan yaitu penyebab yang
berhubungan dengan fisik dan berhubungan dengan psikis. Secara fisik misalnya,
penyebab adalah trauma (mekanik, thermal, kimiawi maupun elektrik), neoplasma,
peradangan, gangguan sirkulasi darah dan lain-lain.

a. Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf bebas mengalami


kerusakan akibat benturan, gesekan ataupun luka.
b. Trauma thermal menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor mendapat
rangsangan akibat panas atau dingin.

c. Trauma kimiawi terjadi karena tersentuh zat asam atau basa yang kuat.trauma
elektrik dapat menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai
reseptor rasa nyeri.

d. Neoplasma menyebabkan nyeri karena terjadinya tekanan atau kerusakan jaringan


yang mengandung reseptor nyeri dan juga karena tarikan, jepitan atau metastase.

e. Nyeri pada peradangan terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat
adanya peradangan atau terjepit oleh pembengkakan. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa nyeri yang disebabkan oleh faktor fisik berkaitan dengan terganggunya serabut
saraf reseptor nyeri.

f. Nyeri yang disebabkan oleh factor psikologis merupakan nyeri yang dirasakan
bukan karena penyebab organic, melainkan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya
terhadap fisik. Nyeri karena factor ini disebut pula psychogenic pain.

6. Patofisiologi

Nyeri Pada saat sel saraf rusak akibat trauma jaringan, maka terbentuklah zat-zat
kimia seperti Bradikinin, serotonin dan enzim proteotik. Kemudian zat-zat tersebut
merangsang dan merusak ujung saraf reseptor nyeri dan rangsangan tersebut akan
dihantarkan ke hypothalamus melalui saraf asenden. Sedangkan di korteks nyeri akan
di persiapkan schingga individu mengalami nyeri, Selain dihantarkan ke hypotalamus
nyeri dapat menurunkan stimulasi terhadap reseptor mekanin sensitive pada
termosensitif sehingga dapat juga menycbabkan atau mengalami nyeri.

7. Penanganan Nyeri (Pain Management)

Managemen nyeri atau Pain management adalah salah satu bagian dari displin ilmu
medis yang berkaitan dengan upaya-upaya menghilangkan nyeri atau pain relief.
Management nyeri ini menggunakan pendekatan multi disiplin yang didalamnya
termasuk pendekatan farmakologikal (termasuk pain modifiers), non farmakologikal
dan psikologikal. Setiap orang memiliki persepsi yang sangat berbeda dengan orang
lain terhadap nyeri yang mungkin sedang dialami. Perbedaan inilah yang mendorong
perawat untuk meningkatkan kemampuan dalam menyediakan peningkatan rasa
nyaman bagi klien dan mengatasi rasa nyeri. Hal yang sangat mendasar bagi perawat
dalam melaksanakannya adalah kepercayaan perawat bahwa rasa nyeri yang dialami
oleh kliennya adalah sungguh nyata terjadi, kesediaan perawat untuk terlibat dalam
menghadapi pengalaman nyeri yang dialami oleh klien dan kompetensi untuk terus
mengembangkan upaya- upaya mengatasi nyeri atau pain management.

Strategi keperawatan utama yang spesifik dalam meningkatkan rasa nyaman bagi
pasien yang sedang mengalami nyeri, bersifat farmakologi dan non farmakologi. Tapi
Tindakan mengatasi nyeri pain management, yang dapat dilakukan oleh perawat
sebagai penyedia asuhan keperawatan.

a. Managemen Nyeri Farmakologikal

Yaitu terapi farmakologis untuk menanggulangi nyeri dengan cara memblokade


transmisi stimulan nyeri agar terjadi perubahan persepsi dan dengan mengurangi
respon kortikal terhadap nyeri. Adapun obat yang digunakan untuk terapi nyeri
adalah:

Analgesik Narkotik Menghilangkan nyeri dengan merubah aspek emosional dari


pengalaman nyeri (misal : persepsi nyeri).

Analgesik Lokal Analgesik Bekerja dengan memblokade konduksi saraf saat


diberikan langsung keserabut saraf

Analgesik yang dikontrol klien Sistem analgesik yang dikontrol klien terdiri dari
impus yang diisi narotika menurut resep, dipasang dengan pengatur pada lubang
injeksi intravena.

Obat obat nonsteroid Obat-obat non steroid non inflamasi bekerja terutama terhadap
penghambat sintesa prostaglandin. Pada dosis rendah obat-obat ini bersifat analgesik.
Pada dosis tinggi obat ini bersifat anti inflamatori,sebagai tambahan dari khasiat
analgesik.

b. Managemen Nyeri Non Farmakologikal

Merupakan upaya-upaya mengatasi atau menghilangkan nyeri dengan menggunakan


pendekatan non farmakologi. Upaya-upaya tersebut antara lain dengan distraksi,
relaksasi, massage, akupuntur oleh akupunturist, therapy music, pijatan, dan guided
imaginary yang dilakukan oleh seseorang yang ahli dibidangnya dan disebut sebagai
therapist. Setiap individu membutuhkan rasa nyaman. Kebutuhan rasa nyaman ini
dipersepsikan berbeda pada tiap orang. Dalam konteks asuhan keperawatan, perawat
harus memperhatikan dan memenuhi rasa nyaman. Gangguan rasa nyaman yang
dialami oleh klien diatasi oleh perawat melalui intervensi keperawatan.

8. Tujuan Penanganan Nyeri (Pain Management)

Mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri. Menurunkan kemungkinan


berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri kronis yang persisten. Mengurangi
penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri. Meminimalkan reaksi tak diinginkan
atau intoleransi terhadap terapi nyeri. Meningkatkan kualitas hidup pasien dan
mengoptimalkan kemampuan pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari,

9. Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri

a. Usia Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah
patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri
yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus
dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri
diperiksakan.

b. Jenis kelamin (Tidak terlalu signifikan)

c. Ansietas Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemnas.

d. Pengalaman masa lalu Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa
lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi
nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa
lalu dalam mengatasi nyeri

e. Pola koping Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri
dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi
nyeri.

f. Support keluarga dan social Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung
kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan
perlindungan, dll. B. Pengkajian Fisik dan Psikologis Perawat harus memahami apa
yang dialami klien dengan kondisi terminal, tujuannya untuk dapat menyiapkan
dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat terakhir dalam hidup bisa
bermakna dan akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan damai. Menggambarkan
respon terhadap penyakit yang mengancam hidup kedalam empat fase, yaitu : 1. Fase
respon terhadap penyakit a. Fase Prediagnostik Terjadi ketika diketahui ada gejala
atau faktor resiko penyakit. b. Fase Akut : Berpusat pada kondisi krisis. Klien
dihadapkan pada. serangkaian keputusasaan, termasuk kondisi medis, interpersonal,
maupun psikologis. c. Fase Kronis : Klien bertempur dengan penyakit dan
pengobatannya. Klien dalam kondisi Terminal akan mengalami berbagai masalah baik
fisik, psikologis, maupun social-spiritual.

B. Pengkajian Fisik dan Psikologis

Perawat harus memaham apa yang dialami klien dengan ondisi terminal , tujuannya
untuk dapat menyiapkn dukungan dan bantuan bagi klien sehingga pada saat-saat
terakhir dalam hidup bisa bermakna dan akhirnya dapt meninggal dengan tenang dan
damai. Menggambarkan reson terhadap penyaki yang mengancam hidup kedalam
empat fase :

1. Fase respon terhadap penyakit

a. Fase rediagnostik : terjadi ketika diketahui ada gejala tau fektor resiko penyakit

b. Fase akut : berpusat pada kondisi krisis. Kien dihadapkan dengan serangkaian
keputusan, termask kondisi medis, interpersonal, maupun sikologis.
c. Fase kronis : klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya. Klien dalam
kondisi terminal akan mengalami berbagai masalah baik fisik, psikologis, maupun
sosial-spiritual.

2. Indikator yang perlu dikaji

a. Faktor Fisik Pada kondisi terminal

dihadapkan pada berbagai masalah pada fisik. Gejala fisik yang ditunjukan antara lain
perubahan pada penglihatan, pendengaran, nutrisi, cairan, eliminasi, kulit, tanda-tanda
vital, mobilisasi, nyeri. Perawat harus respek terhadap perubahan fisik yang terjadi
pada klien terminal karena hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan
penurunan kemampuan klien dalam pemeliharaan diri. Hal-hal yang perlu dikaji
antara lain:

1) Oksigenisasi : Respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan cheyne stokes,


sirkulasi perifer menurun, perubahan mental Agitasi-gelisah, tekanan darah menurun,
hypoksia, akumulasi secret, dan nadi ireguler.

2) Eliminasi : Konstipasi, medikasi atau imobilitas memperlambat peristaltic, kurang


diet serat dan asupan makanan jugas mempengaruhi konstipasi, inkontinensia fekal
bisa terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi penyakit (mis Ca Colon), retensi
urin, inkontinensia urin terjadi akibat penurunan kesadaran atau kondisi penyakit
misalnya : Trauma medulla spinalis, oliguri terjadi seiring penurunan intake cairan
atau kondisi penyakit mis gagal ginjal.

3) Nutrisi dan Cairan Asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic menurun,
distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kering dan
membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan cairan
menurun.

4) Suhu : Ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai selimut.

5) Sensori : Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat mendekati


kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea, Pendengaran menurun, kemampuan
berkonsentrasi menjadi menurun, pendengaran berkurang, sensasi menurun.

6) Nyeri : Ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara intra vena,
klien harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan
kenyamanan.

7) Kulit dan Mobilitas : Seringkali tirah baring lama menimbulkan masalah pada kulit
sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang sering.

8) Masalah Psikologis : Klien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami


banyak respon emosi, perasaaan marah dan putus asa seringkali ditunjukan. Problem
psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan, hilang
control diri, tidak mampu lagi produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan
harapan, kesenjangan komunikasi atau barrier komunikasi

9) Perubahan Sosial-Spiritual : Klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi akibat


kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian
sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Sebagian beranggapan bahwa
kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan mempersatukannya
dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain beranggapan takut akan
perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan
sepanjang hidup.

b. Faktor Psikologis Perubahan

Psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal. Perawat harus peka dan
mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien terminal, harus bisa mengenali
ekspresi wajah yang ditunjukan apakah sedih, depresi, atau marah. Problem
psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan,
kehilangan harga diri dan harapan.

c. Faktor Sosial

Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi terminal. karena
pada kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah tersinggung, tidak ingin
berkomunikasi, dan sering bertanya tentang kondisi penyakitnya. Ketidakyakinan dan
keputusasaan sering membawa pada perilaku isolasi. Perawat harus bisa mengenali
tanda klien mengisolasi diri, sehingga klien dapat memberikan dukungan social bisa
dari teman dekat, kerabat/keluarga terdekat untuk selalu menemani klien.

d. Faktor Spiritual

Perawat harus mengkaji bagaimana keyakinan klien akan proses kematian, bagaimana
sikap pasien menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah semakin mendekatkan diri
pada Tuhan ataukah semakin berontak akan keadaannya Perawat juga harus
mengetahui disaat-saat seperti ini apakah pasien mengharapkan kehadiran tokoh
agama untuk menemani disaat-saat terakhirnya.

3. Diagnosa Keperawatan:

a. Ansietas (ketakutan individu , keluarga ) yang berhubungan diperkirakan dengan


situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan takut akan
kematian dan efek negatif pada pada gaya hidup.

b. Berduka yang behubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang dihadapi,
penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari Orang lain.

c. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan kehidupan


keluarga, takut akan hasil ( kematian ) dengan lingkungnnya penuh dengan stres
( tempat perawatan ).
d. Resiko terhadap distres spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari system
pendukung keagamaan, kurang pripasi atau ketidak mampuan diri dalam menghadapi
ancaman kematian.

C. Asuhan Keperawatan Paliatif padap Pasien Terminal


Penyakit terminal merupakan penyakit progresif yaitu penyakit yang menuju
ke arah kematian. Contohnya seperti penyakit jantung,dan kanker atau penyakit
terminal ini dapat dikatakan harapan untuk hidup tipis, tidak ada lagi obat-obatan, tim
medis sudah give up (menyerah) dan seperti yang di katakan di atas tadi penyakit
terminal ini mengarah kearah kematian. (White, 2002).
Sasaran kebijakan pelayanan paliatif adalah seluruh pasien (dewasa dan anak) dan
anggota keluarga, lingkungan yang memerlukan perawatan paliatif di mana pun
pasien berada di seluruh Indonesia. Untuk pelaksana perawatan paliatif : dokter,
perawat, tenaga kesehatan lainnya dan tenaga terkait lainnya. Sedangkan Institusi-
institusi terkait, misalnya:sDinas kesehatan propinsi dan dinas kesehatan
kabupaten/kota, Rumah Sakit pemerintah dan swasta, Puskesmas, Rumah
perawatan/hospis, Fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta lain. (KEPMENKES RI
NOMOR: 812, 2007).
Lingkup kegiatan perawatan paliatif. Jenis kegiatan perawatan paliatif meliputi
penatalaksanaan nyeri, penatalaksanaan keluhan fisik lain, asuhan keperawatan,
dukungan psikologis, dukungan social, dukungan kultural dan spiritual, dukungan
persiapan dan selama masa dukacita (bereavement). Perawatan paliatif dilakukan
melalui rawat inap, rawat jalan, dan kunjungan /rawat rumah. (KEPMENKES RI
NOMOR: 812, 2007).

1. Kebutuhan pasien terminal


Pertama, komunikasi, dalam hal ini anak sangat perlu di ajak unuk berkomunikasi
atau berbicara dengan yang lain terutama oleh kedua orang tua karena dengan orang
tua mengajak anak berkomunikasi/berbicara anak merasa bahhwa ia tidak sendiri dan
ia merasa ditemani. Kedua, memberitahu kepada anak bahwa ia tidak sendiri dalam
menghadapi penyakit tersebut. Ketiga, berdiskusi dengan siblings (saudara kandung)
agar saudara kandung mau ikut berpartisipasi dalam perawatan atau untuk merawat,
Keempat, Soccial support meningkatkan koping. (Arnold, 1998)

2. Menjelaskan tentang kematian pada pasien


Kebanyakan seorang psikolog percaya bahwa dengan berkata jujur merupakan
strategi yang terbaik dalam mendiskusikan kematian dengan anak. Respon anak
terhadap pertanyaan mengenai kematian merupakan dasar tingkat kematangan anak
dalam mengartikan kematian. Pada anak pra sekolah ,anak mengartikan kematian
sebagai : kematian adalah sudah tidak ada nafas, dada dan perut datar, tidak bergerak
lagi,dan tidak bisa berjalan seperti layaknya orang yang dapat berjalan seperti orang
sebelum mati / meninggal. Kebanyakan anak- anak( anak yang menderita penyakit
terminal ) membutuhkan keberanaian, bahwa ia di cintai dan tidak akan merasa di
tinggalkan. Tanpa memandang umur, sebagai orang tua seharusnya sensitife dan
simpati, mendukunng apa yang anak rasakan. (White, 2010)

3. Aspek medikolegal dalam perawata paliatif


Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliatif..: pasien harus
memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan paliatif melalui, komunikasi
yang intensif dan berkesinambungan antara tim perawatan paliatif dengan pasien dan
keluarganya. Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran
pada dasarnya dilakukan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-
undangan. Meskipun pada umumnya hanya tindakan kedokteran (medis) yang
membutuhkan informed consent, tetapi pada perawatan paliatif sebaiknya setiap
tindakan yang berisiko dilakukan informed consent. Baik penerima informasi maupun
pemberi persetujuan diutamakan pasien sendiri apabila ia masih kompeten, dengan
saksi anggota keluarga terdekatnya. Waktu yang cukup agar diberikan kepada pasien
untuk berkomunikasi dengan keluarga terdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak
kompeten, maka keluarga terdekatnya melakukannya atas nama pasien.
Tim perawatan paliatif sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh pesan atau
pernyataan pasien pada saat ia sedang kompeten tentang apa yang harus atau boleh
atau tidak boleh dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya kemudian menurun
(advanced directive). Pesan dapat memuat secara eksplisit tindakan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan, atau dapat pula hanya menunjuk seseorang yang nantinya
akan mewakilinya dalam membuat keputusan pada saat ia tidak kompeten. Pernyataan
tersebut dibuat tertulis dan akan dijadikan panduan utama bagi tim perawatan paliatif.
Pada keadaan darurat, untuk kepentingan terbaik pasien, tim perawatan paliatif
dapat melakukan tindakan kedokteran yang diperlukan, dan informasi dapat diberikan
pada kesempatan pertama.Resusitasi/ Tidak resusitasi pada pasien paliatif. Keputusan
dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat dibuat oleh pasien yang
kompeten atau oleh Tim Perawatan paliatif..Informasi tentang hal ini sebaiknya telah
diinformasikan pada saat pasien memasuki atau memulai perawatan paliatif. Pasien
yang kompeten memiliki hak untuk tidak menghendaki resusitasi, sepanjang
informasi adekuat yang dibutuhkannya untuk membuat keputusan telah dipahaminya.
Keputusan tersebut dapat diberikan dalam bentuk pesan (advanced directive) atau
dalam informed consent menjelang ia kehilangan kompetensinya. Keluarga
terdekatnya pada dasarnya tidak boleh membuat keputusan tidak resusitasi, kecuali
telah dipesankan dalam advanced directive tertulis. Namun demikian, dalam keadaan
tertentu dan atas pertimbangan tertentu yang layak dan patut, permintaan tertulis oleh
seluruh anggota keluarga terdekat dapat dimintakan penetapan pengadilan untuk
pengesahannya. Tim perawatan paliatif dapat membuat keputusan untuk tidak
melakukan resusitasi sesuai dengan pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila pasien
berada dalam tahap terminal dan tindakan resusitasi diketahui tidak akan
menyembuhkan atau memperbaiki kualitas hidupnya berdasarkan bukti ilmiah pada
saat tersebut. (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007).
Perawatan pasien paliatif di ICU: Pada dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU
mengikuti ketentuan-ketentuan umum yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas.
Dalam menghadapi tahap terminal, Tim perawatan paliatif harus mengikuti pedoman
penentuan kematian batang otak dan penghentian peralatan life-supporting.
(KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007).
Masalah medikolegal lainnya pada perawatan pasien paliatif: Tim Perawatan
Paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pimpinan Rumah Sakit,
termasuk pada saat melakukan perawatan di rumah pasien. Pada dasarnya tindakan
yang bersifat kedokteran harus dikerjakan oleh tenaga medis, tetapi dengan
pertimbangan yang memperhatikan keselamatan pasien tindakan-tindakan tertentu
dapat didelegasikan kepada tenaga kesehatan non medis yang terlatih. Komunikasi
antara pelaksana dengan pembuat kebijakan harus dipelihara. (KEPMENKES RI
NOMOR: 812, 2007)

4. Support (Dukungan)
Dukungan sangat diperlukan dan sangat dibutukan oleh anak yang mengidap
penyakit terminal, siapa saja yang terlibat harus mendukung disini yaitu orang tua,
teman- teman , orang tua yang lainnya (kakek,nenek, tante,paman), dan grife suport
group. (Doyle, Hanks and Macdonald, 2003, 1113)

5. Tahap-tahap kematian ” KUBLER-ROSS’S ( KUBLER-ROSS’S DYING)


Menurut Yosep iyus (2007, 175) tahap- tahap kematian dapat dibagi menjadi 5 :
Denial and isolation (menolak dan mengisolasi diri), Anger ( marah), Bargaining
( tawar –menawar ), Depression ( depresi ), Acceptance ( penerimaan/menerima
kematian )

6. Sumber daya manusia


Pelaksana perawatan paliatif adalah tenaga kesehatan, pekerja sosial, rohaniawan,
keluarga relawan. Kriteria pelaksana perawatan paliatif adalah telah mengikuti
pendidikan/pelatihan perawatan paliatif dan telah mendapat sertifikat.Pelatihan
dilaksanakan dengan modul pelatihan . Penyusunan modul pelatihan dilakukan
dengan kerjasama antara para pakar perawatan paliatif dengan Departemen Kesehatan
(Badan Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Direktorat
Jenderal Bina Pelayanan Medik). Modul-modul tersebut terdiri dari modul untuk
dokter, modul untuk perawat, modul untuk tenaga kesehatan lainnya.

7. Asuhan keperawatan yang diperlukan pada pasien yang mengalami penyakit


terminal
Asuhan keperawatan yang diperlukan dan digunakan pada anak yang mengalami
penyakit terminal adalah ”PALLIATIVE CARE” tujuan perawatan paliatif ini adalah
guna untuk meningkatkan kualitas hidup anak dengan kematian minimal mendekati
normal, diupayakan dengan perawatan yang baik hingga pada akhirnya menuju pada
kematian, sehingga palliative care diharapkan akan menambah kualitas hidup (anak)
pada kondisi terminal, perawatan paliatif berfokus pada gejala rasa sakit (nyeri,
dypsnea) dan kondisi (kesendirian) dimana pada kasus ini mengurangi kepuasan atau
kesenangan hidup anak, mengontrol rasa nyeri dan gejala yang lain,masalah
psikologi,social atau spiritualnya dari anak dalam kondisi terminal (Ferrell, & Coyle,
2007, 48)

8. Prinsip dari perawatan palliative care


Menghormati atau menghargai martabat dan harga diri dari pasient dan
keluarga pasien, Dukungan untuk caregiver, Palliateve care merupakan accses yang
competent dan compassionet, Mengembangkan professional dan social support
untuk pediatric palliative care, Melanjutkan serta mengembangkan pediatrik
palliative care melalui penelitian dan pendidikan (Ferrell, & Coyle, 2007: 52)

9. Palliative care plane (rencana asuhan keperawatan paalliatif)


Melibatkan seorang partnership antara anak, keluarga, orang tua, pegawai,
guru, staff sekolah dan petugas keseatan yang professional, Suport phisik, emosinal,
pycososial, dan spiritual khususnya, elibatkan anak pada self care, Anak
memerlukan atau membutuhkan gambaran dan kondisi (kondisi penyakit
terminalnya) secara bertahap, tepat dan sesuai, Menyediakan diagnostic atau
kebutuhan intervensi terapeutik guna memperhatikan/memikirkan konteks tujuan
dan pengaharapan dari anak dan keluarga (Doyle, Hanks and Macdonald, 2003:
42)
10. Peran spiritual dalam palliative care
Beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan dramatis dalam agama dan
keyakinan spiritual sebagai sumber kekuatan dan dukungan dalam penyakit fisik
yang serius Profesional kesehatan memberikan perawatan medis menyadari
pentingnya pasien dalam memenuhi 'kebutuhan spiritual dan keagamaan.
(Woodruff , 2004: 1)
Sebuah pendekatan kasihan kebutuhan ini meningkatkan kemungkinan pemulihan
atau perbaikan. Dalam contoh terburuk, ia menawarkan kenyamanan dan persiapan
untuk individu melalui proses traumatis penyakit terakhir sebelum kematian. (Doyle,
Hanks and Macdonald, 2003 :101)
Studi pasien dengan penyakit kronis atau terminal telah menunjukkan insiden tinggi
depresi dan gangguan mental lainnya. Dimensi lain adalah bahwa tingkat depresi
adalah sebanding dengan tingkat keparahan penyakit dan hilangnya fungsi agunan.
Sumber depresi seperti sering berbaring dalam isu-isu yang berkaitan dengan
spiritualitas dan agama. Pasien di bawah perawatan paliatif dan dalam keadaan
seperti itu sering mempunyai keprihatinan rohani yang berkaitan dengan kondisi
mereka dan mendekati kematian. (Ferrell & Coyle, 2007: 848)
Spiritual dan keprihatinan keagamaan dengan pasien biasa bergumul dengan isu-isu
sehari-hari penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dengan orang tua dan mereka
yang menghadapi kematian yang akan datang. Kekhawatiran semacam itu telah
diamati bahkan pada pasien yang telah dirawat di rumah sakit untuk serius tetapi
non-terminal penyakit. (Ferrell & Coyle, 2007: 52). Studi lain telah menunjukkan
bahwa persentase yang tinggi dari pasien di atas usia 60 menemukan hiburan dalam
agama yang memberi mereka kekuatan dan kemampuan untuk mengatasi, sampai
batas tertentu, dengan kehidupan.
Agama kekhawatiran di sakit parah mengasumsikan berbagai bentuk seperti
hubungan seseorang dengan Allah, takut akan neraka dan perasaan ditinggalkan oleh
komunitas keagamaan mereka. Sering menghormati dan memvalidasi individu
dorongan agama dan keyakinan adalah setengah pertempuran ke arah menyiapkan
mereka untuk suatu 'baik' kematian (Ferrell & Coyle, 2007: 1171)

11. Psycho oncologi dalam palliaive care


Psycho Onkologi adalah berkaitan dengan sosial, psikologis, etika dan
perilaku segi kanker. Sebagai bidang studi dan praktek medis, onkologi dan psikologi.
Ini adalah studi tentang aspek-aspek kanker yang melampaui batas-batas perawatan
medis. (Ferrell & Coyle, 2007: 67).
Ini adalah semua termasuk wilayah yang bersangkutan dengan beberapa disiplin ilmu
yang berhubungan dengan onkologi bunga. Merangkul ini pembedahan dan obat-
obatan, pediatri, radioterapi, imunologi, epidemiologi, biologi, endokrinologi,
patologi, rehabilitasi obat-obatan, psikiatri dan psikologi dan uji klinis penelitian
dengan pengambilan keputusan. (Doyle, Hanks and Macdonald, 200 :213).
Psycho Onkologi kadang-kadang disebut sebagai psiko-onkologi sosial karena minat
patuh perilaku dan psikososial topik. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan dan
pengobatan psikologis, sosial, spiritual, emosional dan aspek fungsional kanker
melalui semua tahap, dari pencegahan, penyakit grafik, sampai kehilangan. Tujuan
akhir psiko-onkologi adalah untuk memperbaiki, di seluruh dunia, perawatan dan
kesejahteraan pasien kanker dan keluarga mereka.( Doyle, Hanks and Macdonald,
2003:103).
Perawatan paliatif mencakup berbagai layanan, namun tujuan jelas.
Sasarannya adalah untuk menawarkan pasien, terserang penyakit serius, terminal atau
sebaliknya, sistem pendukung memimpin menuju kehidupan senormal mungkin. Ini
berarti mengendalikan rasa sakit dan gejala menyedihkan lain individu mungkin
mengalami baik karena penyakit atau pengobatan yang berkaitan dengannya.
Perawatan paliatif mencakup perawatan rohani dan psikologis. Hal ini juga berusaha
untuk menawarkan sistem dukungan keluarga dalam membantu individu beradaptasi
dan mengatasi krisis. (Doyle, Hanks and Macdonald, 2003 :7).
Pada intinya, perawatan paliatif adalah setiap bentuk perawatan medis atau
perawatan untuk penyakit yang berfokus pada intensitas mengurangi gejala penyakit.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tujuan psiko-onkologi dan perawatan
paliatif berjalan sejajar satu sama lain. (Doyle, Hanks and Macdonald, 2003: 108)

SIMPULAN
Perawatan Palliative adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup
pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang
dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan
penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial
dan spiritual. Penyakit terminal merupakan penyakit progresif yaitu penyakit yang menuju
ke arah kematian. Contohnya seperti penyakit jantung,dan kanker atau penyakit terminal ini
dapat dikatakan harapan untuk hidup tipis, tidak ada lagi obat-obatan, tim medis sudah give
up (menyerah) dan seperti yang di katakan di atas tadi penyakit terminal ini mengarah
kearah kematian. Agama dan keyakinan spiritual sebagai sumber kekuatan dan dukungan
dalam penyakit fisik yang serius Profesional kesehatan memberikan perawatan medis
menyadari pentingnya pasien dalam memenuhi 'kebutuhan spiritual dan keagamaan serta
pentingnya Psychoonkologi
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Masalah fisik yang seringkali muncul yang merupakan keluhan dari pasien paliatif
yaitu nyeri, Nyeri merupakan pengalaman emosional dan sensori yang tidak
menyenangkai yang muncul akibat rusaknya jaringan aktual yang terjadi secara tiba-
tiba dari intensitas ringan hingga berat yang dapat diantisipasi dan diprediksi. Untuk
mengatasi hal tersebut seorang perawat harus bisa dalam memanajemen nyeri yang
ada pada pasien. Sedangkan masalah psikologis yang paling sering dialami pasien
paliatif adalah kecemasan. Hal yang meuyebabkan terjadinya kecemasan ialah
diagnosa penyakit yang nembuat pasien takut sehingga menyebabkan kecemasan bagi
pasien maupun keluarga. Dan untuk mnentralisirkan bahkan sampai menghilangkan
kecemasan atau gangguan secara psikologis tentunya inengkaji secera keselurahan
baik secara fisik maupun psikologis sehingga kita sebagai scorang perawat dapat
melaksanakan intervensi sesuai dengan keluhan pasien atau masalah yang muncul
dipengkajian.

B. Saran

Demikianlah makalah ini kami buat untuk meningkatkan pemahaman dan


pengetahuan kita tentang manajemen nyeri dan pengkajian fisik dan psikologis
perawatan paliatif. Kami selaku penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari para pembaca agar makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi, Terima Kasih
DAFTAR PUSTAKA

Parrot T Pain Management In Primary-Care Medical Practice. In: Tollison CD.


Satterthwaithe JR, Tollison JW, eds. Practical Pain Management. 3rd ed. Philadelpia, PA:
Lippincott Williams & Wilkins. Ilmu. Praseryo Nian Sigit. (2010). Konsep dan proses
Keperawatan Nyeri. Jakarta : Graha Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan
Praktik. Jakarta : Bumi Aksara 2013

Anda mungkin juga menyukai