Oleh Kelompok 2 :
Tahun 2019
Kata Pengantar
Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai. Adapun tujuan dan harapan kami semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca untuk kedepannya. Sekalipun
diusahakan sudah semaksimal mungkin agar makalah ini lengkap pembahasan tentang materi
tersebut, mungkin karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini.
Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca dan kami
sampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Bagaimana melaksanakan tindakan terapeutik terhadap permasalahan emosi, social dan psikologis
pada pasien yang mengalami permasalahan tersebut dalam konteks perawatan paliatif ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
1) Nyeri Somatik diartikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh cedera pada kulit, otot,
tulang, sendi, dan jaringan ikat. nyeri somatik dalam biasanya digambarkan sebagai kusam
atau sakit, dan terlokalisasi di satu daerah. nyeri somatik dari cedera pada kulit atau
jaringan di bawah itu biasanya terjadi karena terbakar atau tercungkil oleh benda tajam.
Somatic Pain : sering mengakibatkan peradangan jaringan yang terluka. Meskipun
peradangan adalah respon normal tubuh terhadap cedera, dan sangat penting untuk
penyembuhan, peradangan yang tidak hilang secara cepat dapat mengakibatkan penyakit
yang kronis. Sendi yang sakit disebabkan oleh gejala rheumatoid arthritis yang dapat
dianggap sebagai contoh dari jenis nyeri nosiseptif somatik.
2) Nyeri Viceral adalah nyeri yang mengacu pada rasa sakit yang berasal dari cedera
berkelanjutan untuk organ atau jaringan. Ketika jaringan terluka, seperti usus atau
kandung empedu, rasa sakit yang terjadi adalah timbulnya nyeri lokal dan kram. Ketika
struktur cedera bukanlah organ berongga, rasa sakit yang mungkin terjadi adalah rasa
seperti seperti, tertekan dan tertusuk.
3) Neurpathic Pain : Nyeri neuropatik diyakini disebabkan oleh perubahan dalam sistem
saraf yang menyebabkan nyeri bahkan setelah cedera sembu. Dalam kebanyakan kasus,
cedera tipe ini dimulai dengan rasa sakit yang melibatkan saraf perifer atau sistem saraf
pusat itu sendiri. Nyeri neuropatik ini dapat dikaitkan dengan trauma atau dengan
berbagai jenis penyakit, seperti diabetes. Ada banyak sindrom nyeri neuropatik, seperti
diabetic neuropathy, trigeminal neuralgia, postherpetic neuralgia (“shingles”), post-
stroke pain, dan complex regional pain syndromes (disebut juga reflex sympathetic
dystrophy atau “RSD” dan causalgia). Beberapa pasien yang mendapatkan nyeri
neuropatik menggambarkannya sebagai adanya rasa aneh, nyeri yang sulit dijelaskan,
yang kadang terasa seperti terbakar atau tersengat listrik. Rasa sakit yang terjadi mungkin
terkait dengan sensitivitas kulit.
2
4) Psychogenic Pain : Kebanyakan pasien dengan nyeri kronis memiliki beberapa tingkat
gangguan psikologis. Pasien mungkin sedang mengalami cemas atau depresi, dan
memiliki kesulitan dalam mengatasinya. Tekanan psikologis mungkin tidak hanya
menjadi konsekuensi dari rasa sakit, tetapi juga dapat menyebabkan rasa sakit itu sendiri.
“ Psychogenic Pain” adalah jenis rasa sakit yang bisa dikaitkan dan berhubungan dengan
masalah psikologis. Hubungan yang erat pada Psychgenic Pain adalah adanya relasi antara
rasa sakit dan tekanan psikologis pasien, yang berarti bahwa semua pasien dengan nyeri
kronis harus memiliki penilaian faktor-faktor psikologis, dan perawatan psikologis harus
dianggap sebagai aspek penting dari terapi nyeri tipe ini. Dalam beberapa kasus, masalah
psikologis muncul menjadi penyebab utama rasa sakit. Ini tidak berarti bahwa orang
tersebut tidak benar-benar mengalami rasa sakit. Sebaliknya, pasien benar-benar
menderita, tetapi penyebab utama entah bagaimana berhubungan dengan emosi, atau
beberapa proses psikologis yang salah pada pasien. Walaupun dokter kadang-kadang
menemukan pasien yang berpura-pura sakit (disebut malingerers), namun angka kejadian
kasus ini sangat langka. Kebanyakan pasien dengan nyeri psikogenik yang muncul akan
ditentukan terutama oleh proses psikologis yang menyakiti yang tidak mampu dihadapi.
1. PLEXOPATHIES
Istilah plexopati berkenaan dengan sindrom nyeri yang berhubungan dengan
pleksus saraf perifer. Abnormalitas neurologisnya, melibatkan beberapa syaraf pada
pleksus. Pada kasus brachial plexopati,nyeri diperburuk oleh pernapasan yang dalam atau
gerakan dari leher dan bahu. Palpasi yang dalam pada daerah bahu dapat menimbulkan
nyeri atau perasaan penuh. Nyeri pada brachial plexopati mungkin berhubngan dengan
penyebaran neoplastik ke syaraf, perlekatan dan penyebaran setelah infeksi, operasi, atau
terapi radiasi.
Plexopathy adalah gangguan yang mempengaruhi jaringan saraf, pembuluh darah,
pembuluh getah bening. Wilayah saraf itu berada di brakialis pleksus atau lumbosakral.
Gejala yang ditimbulkan termasuk rasa sakit atau nyeri, kehilangan kontrol motor, dan
defisit sensorik.
3
Ada dua jenis utama plexopathy ; Brachial plexopathy dan lumbosakral plexopathy.
Mereka biasanya disebabkan dari beberapa jenis trauma lokal seperti dislokasi bahu.
Kelainan juga dapat disebabkan oleh kompresi, komordibitas peyakit pembuluh darah,
infeksi, atau mungkin idiopatik dengan penyebab yang tidak diketahui.
Langkah pertama dalam evaluasi dan manajemen plexopathy terdiri dari
mengumpulkan riwayat medis dan pemeriksaan fisik oleh dokter kesehatan. Pola fungsi
motorik yang cacat akan terdeteksi dengan baik di ekskremitas atas atau bawah membantu
diagnosis gangguan tersebut. X-ray dari tulang belakang leher, dada, dan bahu sisanya
diperintahkan jika gejala menunjukan keadaan akut pada brakialis plexopathy. Jika riwayat
fisik mengungkapkan riawayat diabetes, penyakit vaskular kolagen , atau gejala infeksi,
dokter dapat memerintahkan serangkaian tes darah termasuk hitung darah lengkap (CBC)
dan panel metabolic yang komprehensif (CMP).
2. SENSITISATION
Input nosiepsi selama dan setelah pembedahan, cedera, persalinan dan sakit akut
dapat meningkatkan respon saraf yang menstramisikan nyeri disusunan saraf pusat, hal ini
akan memperbesar sensasi nyeri secara klinis. Peningkatan respon saraf disusunan saraf
pusat terhadap inpu aferen yang normal atau dibawah ambang (subtreshold) disebut
sensitisasi sentral (central sensitization). Besarnya sensitisasi sentral tergantung pada
banyak faktor, termasuk tipe jaringan dan luasnya cedera.
4
2.3 Perbedaan Manajemen Nyeri untuk Pasien yang berada di Rumah Sakit dengan yang
berada pada Lingkungan Masyarakat (Homecare)
Nyeri sendiri dapat di definisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional dan tidak
menyenangkan yg berhubungan dengan kerurasakan jaringan , baik actual maupun potensial atau
dilukiskan dalam istilah seperti kerusakan . Namun dewasa ini , banyak rumah sakit yang telah
melalukan upaya intensif untuk mengolalah rasa nyeri tersebut , sehingga rasa nyeri yang
menyertai tindakan medis ,tindakan keperawatan, ataupun prosedur diagnostik pada pasien dapat
diminimalkan atau dapat dilakukan tindakan lanjut yang teratur, sesuai dengan kriteria yang
dikembangkan oleh rumah sakit dan kebutuhan pasien. Nyeri yang dirasakan pasien dikelola
dengan melakukan pemantoan kontinyu dan terencana. Bahkan dalam akreditasi joint commission
international (JCI) isu manajemen nyeri ini menjadi salah satu elemen penilaian yang
dipersyaratkan untuk dipenuhi oleh pihak rumah sakit. Berbagi bentuk pelayanan kesehatan yang
diberikan kepada pasien harus mengacu pada pedoman pengelolaan rasa nyeri. Hal ini seperti
tercantum dalam standar akreditasi JCI berikut :
Gambaran menjadi pasien di rumah sakit yang identic dengan berbagai jenis pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh pihak rumah sakit , acap kali memberikan ketakutan
tersendiri bagi pasien akan rasa nyeri yang dapat menyertai proses pemberian pelayanan
kesehatan tersebut. Sebagai contoh ,bagaimana proses transfusi darah dapat memberikan
rasa nyeri bagi si pasien ,ataupun tindakan medis lainnya yang dapat memeberikan rasa
nyeri pada pasien.
5
Sumber sumber nyeri dapat meliputi : prosedur tindakan medis, tindakan keperawatan ,
dan prosedur diagnostic.
4. CPO 7.1 perawatan pasien dalam keadaan menjelang ajal mengotimalakan kenyamanan
dan martabatnya .
Proses penerapan manajemen nyeri ini memerlukan peran aktif dari seluruh civitas
hospitalia yang memberikan pelayanan kesehatan pada pasien ,serta peran langsung dari
pasien itu sendiri, dimana pasien dimana pasien didorong untuk menyampaikan rasa nyeri
yang mereka alami. Sedangkan pada proses pelaksanaannya , pihak rumah sakit dapat
mempergunakan beberapa alternatif tools yang dapat dipergunakan untuk mengukur dan
mengkaji intensitas nyeri. Skala pengukuran nyeri sendiri dapat sendiri dapat didasarkan
pada self report , observasi (prilaku), atau data fisiologis. Berikut adalah beberapa tools
yang dapat dipergunakan bedasarkan pada self report pasien :
1. Verbul rating scale (VRS) verbal rating scale merupakan jenis pengukuran nyeri yang
telah lama dipergunakan dan merupakan pengukururan nyeri dalam dalam bentuk
sederhana.
Dapat berupa pertanyaan sederhana apakah anda merasa nyeri yang dapat dijawab
pasien dengan iya atau tidak namun biasanya dalam pengukuran ini mempergunakan 4
sampai dengan 5 titik itensitas skala dengan deskripsi seperti : tidak nyeri , sedikit
nyeri, nyeri sedang , sangat nyeri.
2. Visual analog scule (VAS) : Visual Analog scale (VAS) adalah instrumen untuk
mengukur besarnya nyeri pada sepanjang 10 cm. biasanya berbentuk horizontal atau
vertikal , dan garis ini digerakan oleh gambaran intensitas nyeri yang memiliki range
dan tidak nyeri sampai dengan rasa nyeri yang ekstrim.
3. Numerical Rating Scule (NRS) : numerical rating scale (NRS) hamper sama dengan
visual analog scale, tetapi memiliki angka angka sepanjang garisnya, kisaran angka 0-
10 dan pasien diminta untuk menujukkan rasa nyeri yang dirasakannya.
4. Faces Rating Scale dari Wong Baker : instrument menggunakan fases rating scale
terdiri dari 6 gambar skala wajah yang bertingkat dari wajah yang tersenyum untuk no
pain sampai wajah yang berlinang air mata . pasien dapat menunjukan dengan gambar
, tingkat rasa nyeri yang dirasakannya.
6
Manajemen nyeri menjadi salah satu isu penting dalam proses pemberian layanan
kesehatan kepada pasien. Pada implementasinya pelayanan bermutu diberikan dengan
memperdulikan rasa nyeri yang dialami pasien, didukung dengan tools pengkajian
nyeri yang sesuai dan terdokumentasi dengan baik serta pemberian manajemen nyeri
sesuai pedoman yang ditetapkan.
Menurut departemen keselamatan (2002) menyebutkan bahwa home care adalah pelayanan
kesehatan yang berkesinambungan dan konprehensif yang berikan kepada individu dan keluarga
di tempat tinggal mereka yang bertujuan untuk meningkatkan mempertahankan atau memulihkan
kesehatan atau memaksimalkan tingakat kemandirian dan meminimalkan akibat dari penyakit.
Pelayanan diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien atau keluarga yang direncanakan dan
dikoordinasikan oleh pemberi pelayanan melalui staf yang diatur bedasarkan berjanjian bersama.
Sedangkan menurut neis dan mc ewen (2001) menyatakan home health care adalah system dimana
pelayananan kesehatan dan pelayanan social diberikan di rmh kepada orang – orang yang cacat
atau orang-orang yang harus tinggal di rmh karena kondisi kesehatannya. Home care (HC)
menurut habbs dan perrin, 1985 adalah merupakan layanan kesehatan yang dilakukan di rumah
pasien ( leman D & Eric B.I , 1993 ) sehingga home care dapat dalamkeperawatan merupakan
layanan keperawatan di rumah pasien yang telah melalui sejarah yang panjang. Di beberapa
negara maju home care ( perawatan dirumah) bukan merupakan konsep yang baru , tapi telah
dikembangkan oleh William rathbon sejak tahun 1859 yang dia namakan perawatan di rumah
dalam bentuk kunjungan tenaga keperawatan ke rumah untuk mengobati klien yang sakit dan tidak
bersedia dirawat di rmh sakit.
Pengkajan nyeri yang faktual/terkini, lengkap, dan akurat akan memudahkan perawat dalam
menetapkan data dasar, menegakkan diagnosa, merencanakan terapi pengobatan, dan
memudahkan dalam mengevaluasi. Terdapat beberapa komponen yang harus diperhatikan
seoang perawat dalam memulai pengkajian respon nyeri (Prasetyo, 2010). Dorvan & Girton
(1984) dalam Prasetyo (2010) mengidentifikasi komponen tersebut diantaranya penentuan ada
7
tidaknya nyeri, dalam melakukan pengkajian nyeri, perawat harus mempercayai ketika pasien
melaporkan adanya nyeri, walaupun pada saat observasi perawat tidak menemukan luka atau
cidera. Setiap nyeri yang dilaporkan pasien adalah nyata, tetapi ada sebagian pasien
menyembunyikan nyerinya untuk menghindari pengobatan. Menurut Prasetyo (2010),
karakteristik nyeri dibagi dalam beberapa metode P, Q,R, S, T, yaitu:
a. Faktor Pencetus (P: provocate), perawat mengkaji tentang penyebab atau stimulasi nyeri
pada pasien. Perawat melakukan observasi dibagian tubuh yang mengalami cidera. Apabila
perawat mencurigai adanya nyeri psikogenik maka perawat dapat mengeksplorasikan
perasaan pasien dengan menanyakan perasaan apa yang dapat mencetus nyeri.
b. Kualitas (Q: quality), kualitas nyeri adalah hal yang subjektif yang diungkapkan pasien,
pasien sering mendeskripsikan nyeri dengan kalimat: berdenyut, tajam, tumpul, bepindah-
pindah, perih, seperti tertindih, tertusuk. Tiap-tiap pasien berbeda dalam melaporkan
kualitas nyeri yang dirasakan.
c. Lokasi (R: region), mengkaji lokasi nyeri maka perawat meminta pada pasien untuk
menunjukkan semua bagian/daerah yang dirasakan nyeri oleh pasien. Untuk melokalisi
nyeri lebih spesifik, maka perawat dapat meminta pasien untuk melacak daerah nyeri dari
titik yang paling nyeri, apabila nyeri bersifat difus (menyebar) maka kemungkinan akan
sulit untuk dilacak.
d. Keparahan (S: severe), tingkat keparahan pasien tentang nyeri merupakan karakteristik
menggambarkan nyeri yang dirasakannya sebagai nyeri ringan, sedang, berat.
Kesulitannya adalah makna dari setiap istilah berbeda bagi perawat dan pasien, tidak ada
batasan khusus yang membedakan antara nyeri ringan, sedang, berat. Ini juga disebabkan
karena pengalaman nyeri setiap orang berbeda-beda.
e. Durasi (T: time), perawat menanyakan pada pasien untuk menentukan durasi,awitan, dan
rangkaian nyeri, misalnya menanyakan “kapan nyeri mulai dirasakan?”, “sudah berapa
lama nyeri dirasakan?”, “apakah nyeri yang dirasakan terjadi pada waktu yang sama setiap
hari?”, “seberapa sering nyeri kambuh?”.
f. Faktor yang memperberat/meringankan nyeri. Perawat perlu mengkaji faktor
yang memperberat keadaan pasien, misalnya peningkatan aktifitas, perubahan
suhu, stres dan lainnya.
8
Pengkajian Nyeri Komprehensip
KATEGORI PERTANYAAN JAWABAN
Berapa lama ?
9
Seberapa efektif pengobatan dan
perawatan yang dilakukan
sekarang?
10
2.5 Aktivitas Terapeutik dalam Penanganan Nyeri pada Pasien
Menurut peneliti dari penjelasan diatas sudah menggambarkan mengenai komunikasi nonverbal,
tetapi peneliti lebihmmelihat bahwa definisi yang diungkapkan olehmMulyana (2005, h.312),
lebih memperjelas lagimkarena menurutnya secara sederhana pesanmnonverbal adalah semua
isyarat yang bukannkata-kata. Istilah nonverbal biasanyandigunakan untuk melukiskan semua
peristiwankomunikasi diluar kata-kata yang terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus
menyadari bahwa banyak peristiwa dannperilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol
verbal Berdasarkan analisis Edward T.Hall dan Bridstell (Liliweri, 2003, h.193) pesan nonverbal
dibagi atau digolongkan menjadi beberapa jenis, diantaranya adalah Kinesik, Paralinguistik,
Proxemics, Haptics, Olfaction, Physical appearance, dan Cronomics.
2.6 Pengaruh Psikis, Emosi, dan Lingkungan terhadap Symthom dan Penanganan
KONSEP NYERI :
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya
diketahui bila seseorang mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori
subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan
jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan
Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit
yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri
disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang
bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
11
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari
daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (
Kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit
dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga
lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan
nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah
reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati,
usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak
sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan,
iskemia dan inflamasi.
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi,
pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya
12
g. Dilatasi pupil
h. Penurunan motilitas pupil.
2. Stimulus parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a. Muka pucat
b. Otot mengeras
c. Penurunan HR dan BP
d. Nafas cepat dan irregular
e. Nausea dan vomitus
f. Kelelahan dan keletihan
13
dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. peran perawat dalam fase ini sangat
penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
b. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif,
maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga
akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi
tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang
yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri
kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa
bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya
mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang
berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap
individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan
sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi
wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ikspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan
perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan
pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum
tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus
seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
c. Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. pada fase ini klien masih
membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan
klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. apabila klien mengalami episode nyeri berulang,
maka respon akibat aftermathp dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. perawat
berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan
kemungkinan nyeri berulang. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri :
1. Usia
14
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon
nyeri pada anak. pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis
dan mengalami kerusakan fungsi. pada lansia cenderung memendam nyeri yang
dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani
dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri
diperiksakan.
2. Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan
dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo
laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3. Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap
nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut keper)ayaan bahwa nyeri adalah
akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak
mengeluh jika ada nyeri.
4. Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan
bagaimana mengatasinya.
5. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi
persepsi nyeri. menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan
dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan
respon nyeri yang menurun. :ehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik
untuk mengatasi nyeri.
6. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas.
7. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri
yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. sudah tidaknya
15
seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi
nyeri.
8. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya
pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
9. Support keluarga dan social
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga
atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.
Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak
dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C+ bare B.G adalah sebagai berikut :
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh
yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya
terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor,
secara anatomis reseptor nyeri ada yang bermilien dan ada juga yang tidak bermilien dari syaraf
perifer. Berdasarkan letaknya, nosireceptor dapat dikelompokan dalam beberapa bagian tubuh
yaitu pada kulit (kutaneus), somatic dalam (deep somatic), dan pada daerah visceral, karena letak
yang berbeda – beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor
Kutaneus berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah
untuk dialokasi dan didefinikan.
3.2 Saran
Diharapkan mahasiswa mampu memahami dan memperhatikan perawatan pada pasien paliatif
dan menjelang ajal. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pada pasien paliatif dan
menjelang ajal.
17
DAFTAR PUSTAKA
https://id.scribd.com/document/255674450/Formulir-Pengkajian-Nyeri-Komprehensif
diakses tanggal 10 april 2019
https://id.scribd.com/document/250729729/Bu-Umi-Paliatif-kelompok-1
18
19