Anda di halaman 1dari 19

TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA

OPERASI MASTEKTOMI

HALAMAN JUDUL

Oleh :
Ignatia Novianti Tantri
1202006080

Pembimbing :

dr. I Gede Budiarta, SpAn. KMN

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI SMF/BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVESITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat-Nya tinjauan pustaka yang berjudul Tatalaksana Anestesi
dan Reanimasi pada Operasi Mastektomi ini dapat selesai tepat waktu.
Tinjauan pustaka ini merupakan salah satu tugas dalam rangka mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya di SMF/Bagian Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar.
Dalam penyusunan Tinjauan Pustaka ini penulis banyak memperoleh
bimbingan dan masukan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
1. dr. I Ketut Sinardja, Sp.An, KIC selaku Kepala Bagian SMF Ilmu
Anestesiologi dan Reanimasi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar,
2. Dr.dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, SpAn, selaku pembimbing atas
segala bimbingan dan masukan beliau,
3. Residen serta rekan-rekan dokter muda yang bertugas di bagian
Anestesiologi dan Reanimasi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar yang
telah ikut membantu penulis dalam menyelesaikan tinjauan pustaka ini,
4. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu, yang dengan tulus
telah bersedia memberikan bantuan dan masukan.
Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan tinjauan
pustaka ini. Semoga tinjauan pustaka ini bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, Maret 2017

Penulis

ii
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iiv
DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 3
2.1 Definisi Nyeri ........................................................................................... 3
2.2 Klasifikasi Nyeri ...................................................................................... 3
2.2 Patofisiologi Nyeri ................................................................................... 4
2.2 Respon Tubuh terhadap Nyeri ................................................................. 7
2.2 Peran Obat Anestesia terhadap Respon Tubuh Akibat Nyeri ................ 12
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pemasangan Laryngeal Mask Airway pada teknik GA-LMA ............. 9


Gambar 2. Intubasi Endotrakeal pada teknik anestesi GA OTT ........................... 9
Gambar 3. (A) Spinal Anestesia. (B) Epidural Anestesia ................................... 10
Gambar 4. Penanda pre tindakan Anestesi Epidural Torakal di area midtorakal
pada operasi Modified Radical Mastectomy ..................................................................... 11

iv
v

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbedaan Klinis Nyeri Akut dan Nyeri Kronis ..................................... 3
Tabel 2.2 Konsekuensi Fisiologis terhadap Nyeri .................................................. 9
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak


menyenangkan akibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan jaringan. Nyeri
adalah keluhan utama yang paling sering dikatakan oleh pasien dan kegelisahan
akibat nyeri yang ditimbulkan adalah suatu peringatan bagi klinisi. Nyeri adalah
suatu fenomena perseptual dan sensual serta penting bagi tubuh untuk terlindung
dari cedera sehingga manusia dapat betahan hidup.1
Nyeri sangat umum dijumpai. Menurut National Phamaceutical Council,
sekitar 9 dari 10 penduduk Amerika mengalami nyeri secara regular dan
merupakan alasan utama datang ke petugas medis. Setiap tahun sekitar 25 juta
penduduk Amerika mengalami nyeri akut karena trauma ataupun operasi dan 50
juta penduduk menderita nyeri kronik. Nyeri kronik adalah penyebab tersering
disabilitas lama dan hampr satu per tiga penduduk Amerika akan mengalami nyeri
konik hebat pada suatu titik di kehidupannya.2
Setelah bertahun-tahun terabaikan, isu mengenai penilaian dan manajemen
nyeri telah mendapat perhatian baik dari profesional kesehatan maupun masyakat.
Faktor yang melatarbelakangi hal tersebut adalah tingginya prevalensi nyeri, bukti
bahwa nyeri masih diabaikan dan kesadaran dampak nyeri jika diabaikan.
Penanganan nyeri yang tidak adekuat memiliki konsekuensi yang merugikan. Hal
tersebut dapat menyebabkan komplikasi medis yang serius meliputi gangguan
sistem endokrin, metabolik, imun dan sistem tubuh lainnya dengan manifestasi
klinis berupa penurunan berat badan, demam, hipertensi dan lain-lain.2
Konsekuensi yang ditimbulkan oleh nyeri dapat dijelaskan jika memahami
respon fisiologis tubuh tehadap nyeri. Pada dasarnya, nyeri yang hebat memiliki
efek fisiologis yang mendalam terhadap sistem endokrin dan sistem saraf
simpatis. Nyeri hebat, baik akut maupun kronik, merupakan suatu stessor kuat
untuk mengaktivasi sistem hipotalamus-pituitari-adenal-tiroid-gonadal, yang
merupakan mekanisme kontrol stres utama dalam tubuh. Sistem ini disebut

1
2

sebagai axis karena merupakan suatu sistem tertutup dengan umpan balik negatif
di dalamnya.3
Axis tersebut membawa manfaat tertentu bagi tubuh yakni dengan
terpoduksinya hormon oleh kelenjar tiroid, adrenal dan gonad. Hormon-hormon
tersebut kemudian disekresikan ke dalam pembuluh darah dan bemanfaat untuk
proteksi dan regenerasi jaringan, aktivitas imun dan kontrol metabolik.3 Oleh
karena itu, untuk dapat memahami lebih dalam pada tulisan ini akan dibahas lebih
lanjut mengenai mekanisme respon tubuh tehadap nyeri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Nyeri


Menurut International Association for the Study of Pain, nyeri
merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau
kerusakan jaringan yang sebenarnya.2 Nyeri bersifat subjektif dan
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti budaya, pengalaman-pengalaman
nyeri sebelumnya, mood, kepercayaan, dan kemampuan untuk
menyesuaikan diri.4

2.2 Klasifikasi Nyeri


Nyeri dapat dikategorikan menjadi dua yaitu, berdasarkan durasi;
nyeri akut dan nyeri kronis, dan berdasarkan patofisiologi; nyeri fisiologis,
nosiseptif dan neuropatik.
Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri dengan onset segera dan
memiliki durasi terbatas. Nyeri akut biasanya memiliki hubungan temporal
dan kausal dengan perlukaan seperti pembedahan, trauma, atau penyakit
seperti kolik dan peritonitis. Nyeri kronik umumnya menetap lebih dari
waktu penyembuhan suatu perlukaan (>3-6 bulan) dan sering tidak
memiliki penyebab yang jelas.4 Perbedaan nyeri akut dan kronis diuraikan
pada Tabel 2.1.

3
4

Tabel 2.1 Perbedaan Klinis Nyeri Akut dan Nyeri Kronis5


Nyeri Akut Nyeri Kronis
Penyebab berupa kerusakan jaringan Penyebab multiple (keganasan, jinak)
yang nyata
Onset yang jelas Onset gradual atau jelas
Durasi yang pendek dan jelas Menetap setalah 3-6 bulan setelah
penyembuhan
Hilang dengan sembuhnya luka Dapat merupakan gejala atau diagnosis
Berfungsi sebagai proteksi Tidak ada tujuan adaptif
Memiliki terapi efektif Dapat refrakter terhadap pengobatan

Berkenaan dengan klasifikasi terbaru terkait nyeri, nyeri dapat


diklasifikasikan menjadi nyeri fisiologis, inflamasi (nosiseptif), serta neuropatik.
Nyeri fisiologis merupakan rasa ketidaknyamanan non traumatic yang segera
dengan durasi yang sangat singkat. Nyeri fisiologis sebagai penanda bagi individu
terhadap adanya potensi stimulus lingkungan yang berpotensi menyebabkan
cedera, seperti objek yang panas dan menginisisasi refleks menghindar yang
mencegah atau meminimalisasi kerusakan jaringan.5
Nyeri nosiseptif merupakan persepsi noksius akibat adanya kerusakan sel
setelah operasi, trauma atau cedera yang berhubungan dengan penyakit. Nyeri
nosiseptif juga disebut dengan inflamasi karena inflamasi perifer dan mediator
inflamasi berperan penting dalan inisisasi serta perkembangannya. Secara umum,
intensitas nyeri nosiseptif sesuai dengan besarnya kerusakan jaringan serta
lepasnya mediator inflamasi.5
Nyeri neuropatik yang didefinisikan menurut International Association for
the Study of Pain adalah nyeri yang diawali atau yang disebabkan oleh lesi atau
disfungsi patologi pada sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi.5

2.3 Patofisiologi Nyeri


Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan
jaringan. Nyeri akan membantu individu untuk tetap hidup dan melakukan
kegiatan secara fungsional.6 Nyeri timbul akibat adanya rangsangan oleh zat-zat
algesik pada reseptor nyeri yang banyak dijumpai pada lapisan superficial kulit
5

dan pada beberapa jaringan di dalam tubuh, seperti periosteum, permukaan sendi,
otot rangka dan pulpa gigi.7

Reseptor untuk stimulus nyeri disebut nosiseptor yang merupakan ujung-


ujung saraf bebas tidak bermielin yang mampu mengubah berbagai stimulus
menjadi impuls saraf, yang diinterpretasikan oleh otak sebagai sensasi nyeri.
Badan-badan sel saraf tersebut terdapat pada ganglia radiks dorsalis, atau saraf
trigeminal pada ganglia trigeminal, dan badan-badan sel saraf tersebut
mengirimkan satu cabang serat saraf menuju ke perifer, serta cabang lainnya
menuju medula spinalis atau batang otak.8

Nosiseptor diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu saraf-saraf tidak


bermielin dan berdiameter kecil yang mengkonduksikan impuls saraf dengan
lambat, yaitu serabut saraf C dan saraf-saraf bermielin berdiameter lebih besar
yang mengkonduksikan impuls-impuls saraf lebih cepat yaitu serabut saraf A.
Impuls-impuls saraf yang dikonduksikan oleh serat nosiseptor A menghasilkan
sensasi nyeri yang tajam dan cepat, sedangkan serat nosiseptor C menghasilkan
sensasi nyeri yang tumpul dan terlambat. Kebanyakan nosiseptor beujung bebas
yang mendeteksi adanya kerusakan jaringan.9

Aktivasi perifer dari nosiseptor atau transduksi dimodulasikan oleh beberapa


substansi kimia, yang dilepaskan ketika kerusakan selular terjadi. Mediator-
mediator ini mempengaruhi aktivitas dari saraf dan intensitas nyeri. Stimulasi
yang muncul berulang kali menyebabkan sensitisasi dari serat-serat saraf perifer,
sehingga menurunkan ambang nyeri dan nyeri spontan terjadi.8

Selama proses inflamasi, nosiseptor menjadi lebih peka dan mengakibatkan


nyeri yang terus menerus. Adanya rangsangan terhadap nosiseptor C fiber
menyebabkan pelepasan glutamate. Glutamate ini berikatan dengan reseptor
NMDA dan mengakibatkan terbukanya kanal ion reseptor. Terbukanya kanal ion
ini memungkinkan influks ion kalsium. Peningkatan kalsium intraseluler
mengakibatkan teraktivasinya kaskade yang berakhir dengan aktivasi protein
penanda nyeri. 10
6

Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan sebagai sumber


stimuli nyeri sampai dirasakannya persepsi nyeri adalah suatu proses
elektrofisiologik yang disebut sebagai nosisepsi. Terdapat empat proses dalam
nosisepsi, yakni : transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. 7

a. Transduksi
Transduksi merupakan proses pengubahan stimuli nyeri (noxious stimuli)
menjadi suatu impuls listrik pada ujung-ujung saraf.7 Proses ini diawali
oleh respon nosiseptor perifer terhadap zat kimia, dan stimulasi mekanis
yang berpotensi mengakibatkan trauma. Trauma tersebut kemudian
menghasilkan mediator-medator nyeri perifer sebagai hasil dari respon
humoral dan neural. Prostaglandin beserta ion H+ dan K+ berperan penting
sebagai activator primer nosiseptor perifer serta menginisiasi respon
inflamasi dan sensitisasi perifer yang menyebabkan pembengkakan
jaringan dan nyeri pada lokasi cedera.5

b. Transmisi
Transmisi merupakan proses penyaluran impuls melalui saraf sensoris
setelah proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut A fiber
dan C fiber sebagai neuron pertama dari perifer ke medulla spinalis.7
Proses tersebut menyalurkan impuls noxious dari nosiseptor primer menuju
ke sel di dorsal horn medulla spinalis.

c. Modulasi
Modulasi adalah proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan
impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Sistem
analgesik endogen meliputi, enkefalin, endorphin, serotonin dan
noradrenalin yang mempunyai efek menekan impuls nyeri pada kornu
posterior medulla spinalis.7 Konsep modulasi adalah mekanisme supresi
nyeri di dalam dorsal horn medulla spinalis dan pada level yang lebih tinggi
dari batang otak dan otak tengah.

d. Persepsi
Persepsi merupakan hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan
unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang
7

pada gilirannya menghasilkan suatui perasaan yang subjektif yang dikenal


sebagai persepsi nyeri.7

Beberapa traktus asenden berperan dalam mentransmisikan impuls


nosisepsi dari dorsal horn ke target supraspinal, yaitu traktus
spinomesencephalic, spinoreticular dan spinotalamikus, dimana traktus
spinotalamikus merupakan traktus yang utama untuk jalur persepsi. Akson
dari sel dorsal horn bersinaps dengan sel thalamus, yang mengubah
transmisi impuls nosiseptif langsung ke korteks somatosensoris.5

2.4 Respon Tubuh Terhadap Nyeri


Nyeri sebagai suatu pengalaman sensoris dan emosional tentunya akan
menimbulkan respon terhadap tubuh. Terdapat dua respon utama tubuh terhadap
nyeri yaitu respon neuro-endokrin dan respon simpato-adrenal.
2.4.1 Respon Neuro-endokrin 3,11
Kerusakan jaringan yang luas membuat hipotalamus dan organ sekretori
mengalami gangguan dalam melakukan fungsi neuroendokrin. Hal tersebut
dikenal sebagai respon stres terhadap kerusakan jaringan, yang ditandai dengan
meningkatnya produksi hormon katabolik (kortisol, glukagon, growth hormone
dan katekolamin) dan terhambatnya mediator anabolik, terutama insulin dan
testosteron. Respon tersebut menimbulkan peningkatan mobilisasi substrat,
hiperglikemia dan keseimbangan negatif gas nitrogen. Perubahan metabolik
seperti glukoneogenesis, glikogenolisis, proteolisis dan lipolisis akan
menguntungkan untuk sementara waktu bagi organisme yang mengalami cedera
yakni melalui ketersediaan energi yang dihasilkan.
Apabila perubahan tersebut berlangsung terus menerus akan menghasilkan
efek samping post-surgical melalui mekanisme sebagai berikut : (1) kehilangan
protein berlebih mengakibatkan massa otot berkurang, lemah dan proses
penyembuhan terhambat, (2) immunokompromais akibat menurunnya sintesis
immunoglobulin dan terganggunya mekanisme fagositosis sistem imun.
8

Gambar 2.1 Respon Hormonal terhadap Nyeri 3

Hume dan Egdahl adalah orang pertama yang mengatakan bahwa impuls
nosiseptif dan stimulus psikis bertanggungjawab atas aktivasi hipotalamus dan
dimulainya respon stres neuroendokrin. Setelah teraktivasi oleh stimulus,
neuron di dalam regio preoptik mensekresi propiomelanocortin, yang akan
menginisiasi keluarnya Adenocorticotropin hormone (ACTH), beta-endorphin,
dan hormon kelenjar hipofisis anterior lainnya. Sekresi ACTH yang
berkelanjutan, melatarbelakangi aktivitas kelenjar adrenokortikal dalam sekresi
hormon kortikosteroid dan mineralokortikoid sebagai respon stres terhadap
kerusakan jaringan.

Hiperglikemia yang signifikan dan peningkatan kortisol dalam plasma


sering dijumpai pada periode post-surgical. Bromage dkk menemukan bahwa
dari berbagai pasien yang pulih dari operasi abdomen ekstensif dan
torakotomi, didapatkan kadar glukosa darah dan hormon kortisol yang tinggi
hingga mencapi 65% di atas nilai normal dan bertahan sampai 24 jam pasca
operasi. Adapun mekanisme yang menyebabkan hal ini terjadi adalah sebagai
berikut :
- Serabut saraf eferen nervus splanchnic melepas epinefrin dari medulla
adrenal, yang menyebabkan glikogenolisis hepatik.
9

- Aktivasi enzim hepar, glikogen fosfatase dan glukosa-6-fosfatase


melalui aktivasi langsung nervus spanchnic
- Efek diabetogenik dari kortisol dan glukokortikoid lain yang
dilepaskan oleh korteks adrenal
- Supresi insulin atau resistensi insulin perifer yang diinduksi oleh stres
Pasien dengan nyeri kronik akan mengalami abnormalitas sekresi hormon
kortisol. Meskipun prevalensi abnormalitas kortisol pada pasien nyeri kronik
belum diketahui pasti, peningkatan dan penurunan level kortisol mulai
dijumpai pada pasien nyeri. Sekresi hormon kortisol yang berkelanjutan akan
menimbulkan Cushing Syndrome yang membawa komplikasi serius. Adapun
komplikasi yang mungkin terjadi berupa osteoporosis, hipertensi,
hyperlipidemia dan defisiensi mental. Tabel.2.2 menunjukkan konsekuensi
fisiologis akibat nyeri baik akut dan kronik.

Tabel 2.2 Konsekuensi Fisiologis terhadap Nyeri 3


Sistem Tubuh Respon terhadap Nyeri Manifestasi Klinis
Endokrin/Metabolik Gangguan sekresi hormon Penurunan berat badan
ACTH, kortisol, Demam
katekolamin, insulin Peningkatan laju napas
dan laju jantung
Kardiovaskular Peningkatan laju jantung Unstable Angina
Peningkatan resistensi Infark miokardial
vaskular DVT
Peningkatan tekanan darah
Respirasi Keterbatasan usaha respirasi Pneumonia
Atelektasis
Gastrointestinal Penurunan laju pengosongan Anoreksia
lambung Konstipasi
Penurunan motilitas usus Ileus
Muskuloskeletal Muscle spasm Imobilitas
Lemah
Imun Gangguan fungsi imun Infeksi
Genitourinari Abnomalitas hormon yang Hipertensi
mengatur jumlah urin, Gangguan elektrolit
volume cairan dan elektrolit
10

Selain abnormalitas homron kortisol, perubahan neuroendokrin lainnya


adalah keseimbangan negatif nitrogen. Hal tersebut dijumpai pada pasien pasca
operasi akibat trauma dan diperkirakan terjadi akibat kelaparan selama operasi
berlangsung, aktivitas hormon stres dan gangguan rasio insulin-glukagon.
Administrasi asam amino, insulin dan glukosa dapat memperbaiki
keseimbangan nitrogen dalam tubuh namun tidak dapat mencegah terlepasnya
hormon katabolic yang diinduksi stres.
Keseimbangan negatif nitrogen dan sekresi kortisol yang berkepanjangan
berhubungan secara signifikan terhadap proses penyembuhan luka dan tingkat
imunitas pada individu. Peningkatan proteolysis dan penurunan sintesis protein
dapat menghambat proses pembelahan sel, produksi kolagen dan respon
leukosit. Meningkatnya sekresi kortikoid adrenal juga mengakibatkan hambatan
dalam respon imun. Hambatan tersebut dapat berupa lymphopenia,
granulositosis, penurunan aktvitas sel Natural Killer dan sel T, seta gangguan
sintesis peptida dan immunoglobulin.
Gangguan neuroendokrin lainnya sebagai respon tubuh terhadap nyeri
adala berupa peningkatan hormon prolaktin, beta-endorfin, hormon tiroid dan
arginine vasopressin masih belum dapat dijelaskan dengan baik. Prolaktin
merupakan inisiator dalam respon tubuh terhadap stres operatif, yang dibuktikan
dengan peningkatan kadar prolaktin lebih awal dari adrenal-released faktor.
Oleh karena kemunculannya yang dini, saat ini telah dipercaya bahwa berbagai
obat anestesi umum, opioid parenteral dan fentanyl epidural dapat memicu
terlepasnya hormon prolaktin.
Kadar beta-endorfin dalam plasma meningkat tiga kali lipat setelah operasi
dan terus meningkat sampai periode paska operasi. Beta-endorfin memiliki
beberapa efek sistemik diantaranya adalah perubahan pada mood,
imunosupresif, produksi komplemen, modulasi resistensi vaskular perifer dan
awal dari syok. Berbeda dengan prolaktin, obat anesthesia berbasis opioid
justru diketahui menghambat keluarnya beta-endorfin. Sekresi hormon TSH dan
kadar T3 dan tiroksin (T4) dalam plasma meningkat secara signifikan setelah
insisi pembedahan dan berlangsung sampai 24-36 jam paska operasi. Kadar
arginin vasopressin yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitari posterior juga ikut
11

meningkat setelah pembedahan ekstensif dan bertahan hingga 5 hari.


Peningkatan hormon tersebut bertanggung jawab atas terjadinya retensi cairan,
hipoosmolaritas plasma dan oligouria.

2.4.2 Respon Simpato-adrenal 11


Respon tubuh terhadap nyeri berupa aktivasi saraf simpatis meliputi
mekanisme fight or flight reaction, yang dapat melindungi organisme dari efek
yang tidak diharapkan. Setelah tejadi kerusakan jaringan, impuls nosiseptif akan
menstimulasi neuron preganglion simpatis di korda antero-lateral. Sel-sel saraf
tersebut memiliki berbagai efek stimulasi yaitu meningkatkan inotropic dan
kronotropik jantung, peningkatan resistensi vaskular perifer, dan meningkatkan
aliran darah memasuki jantung.

Meskipun respon adaptif tersebut berguna semata-mata untuk


mempertahankan tekanan darah dan kardiak output, aktivasi simpatis yang
berkelanjutan dapat menginisiasi perubahan patofisiologi tubuh seperti
terganggunya perfusi regional ginjal, aktivasi renin angiotensin sistem (RAAs),
penigkatan aktivitas platelet dan hiperaktivitas refleks eferen.

Perubahan patofisiologis lainnya yang terlihat nyata adalah sebagai berikut


:

- Meningkatnya insidens hipertensi pasca operasi yakni sebanyak 5 %


setelah operasi minor dan tanpa komplikasi, sebanyak 50% setelah
menjalani pembedahan ekstensif
- Tingginya resistensi vaskular perifer berakibat pada bertambahnya
kontaktilias dan konsumsi oksigen otot jantung sehingga dapat
mencetuskan iskemia miokard.
- Terganggunya penyembuhan luka, spasme otot dan sensitivitas
nosiseptor akibat perfusi ke jaringan perifer menurun
- Penurunan aliran darah akibat peningkatan aktivitas platelet dan faktor
koagulasi
12

2.5 Peran Obat Anestesia Terhadap Nyeri 11


Obat anesthesia golongan opioid, terutama opioid kerja panjang atau opioid
intrathecal, dapat menekan beberapa produksi hormon terkait respon stres tubuh
menjelang operasi atau respon nyeri. Dosis pasti yang dapat menurunkan respon
hormonal sampai saat ini tidak bisa ditentukan karena bergantung pada masing-
masing individu.

Efek penekanan hormonal dijumpai lebih efektif teruatama pada


pembedahan abdomen dan ekstremitas dibandingkan dengan torakotomi. Pada
pasien yang menjalani pembedahan abdomen, blokade epidural segmental dapat
mencegah peningkatan kadar gula darah yang diinduksi stres, namun efeknya
tumpul terhadap lepasnya hormon kortisol.

Bromage dan penulis lainnya mengungkapkan sebuah fakta bahwa meskipun


blokade epidural mampu menurunkan respon hiperglikemia melalui blockade
simpatis dan saraf splanchnic, jalur aktivasi hormon ACTH dan jalur vagal tetap
tidak bisa dihambat sehingga hormon adenokortikal tetap terpoduksi. Konduksi
blockade epidural juga diketahui dapat menghambat lepasnya hormon pituitari
lainnya terkait induksi stres, yaitu arginin vasopresin (AVP) dan beta-endorfin,
sayangnya mediator lainnya seperti polaktin dan thyroid stimulating hormone
(TSH) tidak bisa diblok.
BAB III
PENUTUP

Nyeri merupakan salah satu bentuk respon tubuh terhadap kerusakan


jaringan melalui nosiseptor. Mekanisme seluler dan biokimiawi tubuh akan
teraktivasi sebagai respon terhadap nyeri sehingga fisiologis tubuh tetap terjaga.
Sistem neuro-endokrin dan simpato-adrenal adalah bentuk dari respon tersebut.
Efek fisiologis dasar akibat nyeri pada sistem neuro-endokrin meliputi aktivasi
sistem hipotalamus-pituitari-adrenal-tiroid-gonadal yang menyebabkan sekresi
hormon adrenal, kortisol, pregnelone, tiroid hormon dan testosterone. Namun,
nyeri yang terus menerus terjadi akan berdampak pada abnormalitas hormonal dan
dapat membahayakan tubuh.
Komplikasi paling serius terjadi ketika nyeri berlangsung kronik, meliputi
hiperkortisolemia dan hipokortisolemia. Manifestasi klinis yang dapat terlihat
adalah osteopenia, degenerasi sendi dan tulang serta penurunan imunitas. Oleh
karena itu, peran klinisi terutama ahli anestesiologi sangat penting karena berbagai
obat anesthesia, terutama opioid kerja panjang atau opioid intrathecal, dapat
menekan beberapa produksi hormon terkait respon stres tubuh menjelang operasi
atau respon nyeri.

13
14

DAFTAR PUSTAKA

1. Swleboda P et.al. Assessment of Pain: Types, Mechanism, and Treatment.


Ann Agric Environ Med. 2013 December 29; Special Issue 1:2-7.
2. National Pharmaceutical Council. Pain: Current Understanding of
Assessment, Management, and Treatments. 2001. p 3-4.
3. Tennant F. The Physiologic Effects of Pain on the Endocrine System.
Spinger Healthcare. 2013. 2:75-86.
4. Neugebauer EAM, Althaus A, Simanski C. Acute Pain Management.
2011. p. 67 -75.
5. Vadivelu N et al. Pain Pathway and Acute Pain Processing dalam Acute
Pain Management. Cambridge University Press. New York. 2009. p 3-20.
6. Meliala KRTL dan Pinzon R. Breakthrough in Management of Acute Pain.
Dexa Medica No. 4 Vol 20 . 151-155. 2007.
7. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Indeks. Jakarta Barat. 2010. hal 217-232.
8. Patel NB. Physiology of Pain. Journal of International Association for the
Study of Pain. 2010. p 13-17.
9. Butterworth JF et al. Morgan & Mikhails. Clinical Anesthesiology 5th
edition. McGraw-Hill Education. United States. 2013.
10. Lamoria M et al. The Role of NMDA Receptors in Neurophysiology of
Pain and Modulation. 2015.Nati J Integr Res Med; Vol 7(1): 1-6.
11. Sinatra RS. Chapter 4 Pathophysiology of Acute Pain dalam Acute Pain
Mechanism and Management. Mosby Year Book.Toronto. 1992. p 44-55.

Anda mungkin juga menyukai