MANAJEMEN NYERI
Disusun oleh:
Yosep Septian : 030.14.203
Pembimbing:
dr. Guntur Muhamad Taqwin, SpAn, Msc
1
LEMBAR PENGESAHAN
“Manajemen Nyeri”
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Anastesi RSUD Soeselo Slawi periode 25 Maret – 27 April 2019
Disusun oleh :
Telah diterima dan disetujui oleh dr.Guntur Muhammad T, Sp.An selaku dokter pembimbing
Anastesi RSUD dr.Soeselo Slawi pada tanggal 15 April 2019
Mengetahui
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, karena berkat, rahmat, dan
petunjuk-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Manajemen Nyeri”.
Referat ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepanitraan klinik di bagian Ilmu
Anestesi Rumah Sakit Umum Daerah DR. Soeselo Slawi. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.Guntur Muhammad T, Sp.An
selaku dokter penguji dan pembimbing, serta rekan-rekan kepanitraan klinik yang ikut
membantu memberi dorongan secara moril sehingga referat ini dapat dikerjakan dan
diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat kekurangan serta kesalahan. Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.
Semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang Ilmu Anestesi
khususnya dan bidang kedokteran pada umumnya.
Penulis
3
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN. ....................................................................2
KATA PENGANTAR. ................................................................................3
DAFTAR ISI ................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................6
2.1 Definisi Nyeri ........................................................................................6
2.2 Klasifikasi Nyeri....................................................................................6
2.3 Fisiologi dan Anatomi Nyeri ................................................................9
2.4 Patofisiologi Nyeri ...............................................................................11
2.5 Respon Tubuh Terhadap Stres Nyeri ...................................................15
2.6 Pengukuran Intensitas Nyeri ................................................................18
2.7 Diagnostik Nyeri ..................................................................................20
2.8 Mekanisme Kerja Obat Analgetik ........................................................21
2.9 Manajemen Nyeri .................................................................................21
2.9.1 Manajemen Farmakologis .........................................................21
2.9.2 Manajemen Non Farmakologis .................................................31
BAB III KESIMPULAN ............................................................................32
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................33
4
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya kerusakan atau
penyakit di dalam tubuh. Tujuan dari manajemen nyeri pascaoperasi adalah untuk mengurangi
atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan efek samping seminimal
mungkin. Pereda nyeri pascaoperasi haruslah mencerminkan kebutuhan masing-masing pasien
dan hal ini dapat dicapai dengan mempertimbangkan berbagai macam faktor. Faktor-faktor
tersebut dapat dirangkum sebagai faktor klinis, patient-related faktor dan faktor lokal. Pada
analisa akhir, ditemukan bahwa penentu utama kecukupan dari pereda nyeri pasca operasi
adalah persepsi pasien itu sendiri terhadap rasa sakit.1
Efektivitas dari pereda rasa nyeri pasca operasi adalah sangat penting untuk menjadi
pertimbangan bagi siapa saja yang sedang mengobati pasien yang menjalani operasi. Hal ini
awalnya harus dicapai karena alasan kemanusiaan, tapi kemudian ditemukan bahwa dengan
adanya manajemen nyeri pascaoperasi yang baik, maka keadaan fisiologis pasien pun akan
menjadi lebih baik. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya akan membantu penyembuhan
pasca operasi secara lebih signifikan sehingga pasien dapat pulang lebih cepat, tetapi juga dapat
mengurangi onset terjadinya chronic pain syndrome.2
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
b. Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda aktivitas
otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan
sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu
menetap sampai melebihi 3 bulan.5 Nyeri ini disebabkan oleh :
kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf
non kanker akibat trauma, proses degenerasi
7
Nyeri somatik dalam Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik
akibat rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat.
2. Nyeri viseral
Nyeri viseral, seperti nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otot-
otot lurik sekitar, yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi terjadi
pada peritoneum. Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak dan keras
sering digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika organ lunak
terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena.
Penyebab nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot
polos, distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter.
Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan dan mungkin
iskemia karena kompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan distensi berlebih
dari jaringan.
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya
(pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri
visceral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih
parietal. Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis
yaitu:3
Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri
Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan timbulnya nyeri
Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler, kontinyu)
Aksis IV : awitan terjadinya nyeri
Aksis V : etiologi nyeri
8
infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang
dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya
rasa atau adanya rasa tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat menyebakan
terjadinya allodynia atau sensasi rasa sakit yang tidak biasa pada kulit yang
disebabkan oleh suatu kontak sederhana yang sebenarnya tidak menimbulkan rasa
sakit. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari
noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP).
SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan
respon yang buruk pada pemberian analgetik konvensional.
3. Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan
depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.
9
a. Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer, mendeteksi
dan menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious (orde 1)
b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke
CNS.
Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab
nyeri dihilangkan
Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit
dilokalisasi
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri
yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan
organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
c. Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara serat
aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara lokal
eksitasi dan inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak.
d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan
ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus. (orde
2).
e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay
sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. (orde 3).
10
Gambar 2.1. Lintasan sensibitlitas
• Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif nyeri,
ingatan tentang nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris
(termasuk withdrawl respon).
• Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level
medulla spinalis.
11
Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai
dirasakan nyeri adalah disebut sebagai sebuah proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang
mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu:4,8
1. Transduksi
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di
reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti prostaglandin dari sel
rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit dan
substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas)
atau kimia (substansi nyeri).
2. Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor saraf
perifer. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai
neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami
modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai neuron
kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks
serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan
sebagai persepsi nyeri.
3. Modulasi
Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang dapat
mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini juga melibatkan
faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri.
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses
transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan
yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.
12
Gambar 2.2. Proses perjalanan nyeri
Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf A yang
bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi lambat). Serat
A delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A delta
menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk).
Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki perbedaan,
baik reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu posterior.
Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus mekanik dan termal, sedangkan
serabut C peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan kimiawi.
Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebagai polymodal nociceptors. Demikian pula
neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di presinaps adalah asam glutamat, sedangkan
serabut C selain melepaskan asam glutamat juga substansi P (neurokinin) yang merupakan
polipeptida.3
Sensitisasi Perifer. Kerusakan jaringan akibat suatu trauma selain akan menyebabkan
terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari sel
mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang
melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi protein plasma.3,4
13
Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator inflamasi seperti ion
kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan produk-produk
siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang menghasilkan
prostaglandin. Mediator kimia inilah yang menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor
tersebut di atas. Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan
nyeri sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai
dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah jaringan yang rusak.
Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya perubahan neurohumoral pada daerah
jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika kita ingin menekan fenomena sensitisasi perifer
ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya demikian
merupakan dasar penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang merupakan anti
enzim siklooksigenase.
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor di sentral juga
dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer bertanggung jawab terhadap
munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera. Sensitisasi sentral memfasilitasi dan
memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini
dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi
perubahan molekuler neuron (transcription dependent).
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana terjadi
perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik
setelah kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif kedalam medulla
spinalis, ini akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif.
Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non noksius dan
pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih sensitif terhadap
rangsangan nyeri.
Sensitisasi Sentral. Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat
pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis.
Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron
kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus
noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut
aferen pertama dan second-order neuron sebagai neuron penerima dari neuron pertama.
Second-order neuron-lah yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau
menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis terdiri
atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif responsif
14
terhadap impuls dari serabut A dan serabut C. Neuron kedua disebut wide-dynamic range
neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus non-noksius
yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta meningkatnya reseptive field, sehingga
terjadi peningkatan signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi.
15
Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornu antero-lateral akan mengaktifkan
sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh sistem simpatis akan teraktifkan.
Nyeri akut baik yang ringan sampai yang berat akan memberikan efek pada tubuh seperti :
a. Sistem respirasi
Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh reflek segmental, dan
hormon seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan peningkatan kebutuhan
oksigen tubuh dan produksi karbondioksida mengharuskan terjadinya peningkatan
ventilasi permenit sehingga meningkatkan kerja pernafasan. Hal ini menyebabkan
peningkatan kerja sistem pernafasan, khususnya pada pasien dengan penyakit paru.
Penurunan gerakan dinding thoraks menurunkan volume tidal dan kapasitas residu
fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya atelektasis, intrapulmonary shunting,
hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi hipoventilasi.4,8
b. Sistem kardiovaskuler
Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi, hipoksia
jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa peningkatan
produksi katekolamin, angiotensin II, dan anti deuretik hormon (ADH) sehingga
mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi dan peningkatan
resistensi pembuluh darah secara sistemik. Pada orang normal cardiac output akan
meningkat tetapi pada pasien dengan kelainan fungsi jantung akan mengalami
penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk keadaanya. Karena
nyeri menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen myocard, sehingga nyeri dapat
menyebabkan terjadinya iskemia myocardial.4,8
c. Sistem gastrointestinal
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter dan menurunkan
motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung akan
menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan motilitas usus, potensial
menyebabkan pasien mengalami pneumonia aspirasi. Mual, muntah, dan konstipasi
sering terjadi. Distensi abdomen memperberat hilangnya volume paru dan
pulmonary dysfunction. 4,8
b. Sistem urogenital
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran kemih dan
menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin
16
c. Sistem metabolisme dan endokrin
Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketekolamin.
Metabolisme otot jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen meningkat.
Respon hormonal terhadap nyeri meningkatkan hormon-hormon katabolik seperti
katekolamin, kortisol dan glukagon dan menyebabkan penurunan hormon anabolik
seperti insulin dan testosteron. Peningkatan kadar katekolamin dalam darah
mempunyai pengaruh pada kerja insulin. Efektifitas insulin menurun, menimbulkan
gangguan metabolisme glukosa. Kadar gula darah meningkat. Hal ini mendorong
pelepasan glukagon. Glukagon memicu peningkatan proses glukoneogenesis. Pasien
yang mengalami nyeri akan menimbulkan keseimbangan negative nitrogen,
intoleransi karbohidrat, dan meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol
bersamaan dengan peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan hormon
antidiuretik yang menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder
dari ruangan ekstraseluler. 4,8
c. Sistem hematologi
Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis, dan
hiperkoagulopati. 3
d. Sistem imunitas
Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat mendepresi
sistem retikuloendotelial. Yang pada akhirnya menyebabkan pasien beresiko
menjadi mudah terinfeksi. 3
e. Efek psikologis
Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety),
ketakutan, agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri
berkepanjangan dapat menyebabkan depresi. 8
f. Homeostasis cairan dan elektrolit
Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon aldosterom berupa
retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan dan
penurunan produksi urine. Hormon katekolamin dan kortisol menyebabkan
berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit lainn
17
2.6 PENGUKURAN INTENSITAS NYERI
Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis,
kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang
relatif sulit.
Ada beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara
lain :5,7
a. Verbal Rating Scale (VRSs)
Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan.
Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri
yang dirasakan dari word list yang ada. Metoda ini dapat digunakan untuk mengetahui
intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini
menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:
18
c. Visual Analogue Scale (VASs)
Metoda ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metoda ini
menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai
nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan
intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metoda ini adalah sensitif
untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan
dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat
digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien
sedang berada dalam nyeri hebat.
19
2.7 DIAGNOSTIK NYERI
Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom). Berkenaan dengan hal ini diagnostik nyeri
sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri. Langkah ini meliputi langkah
anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan kalau perlu pemeriksaan
radiologi serta pemeriksaan imaging dan lain-lain. Dengan demikian diagnostik terutama
ditujukan untuk mencari penyebab. Dengan menanggulangi penyebab, keluhan nyeri akan
mereda atau hilang. Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk menegakkan diagnosa nyeri
tidak ada.7,10
Pemeriksaan terhadap nyeri harus dilakukan dengan seksama yng dilakukan sebelum
pengobatan dimulai, secara teratur setelah pengobatan dimulai, setiap saat bila ada laporan
nyeri baru dan setelah interval terapi 15-30 menit setelah pemberian parenteral dan 1 jam
setelah pemberian peroral.
• Anamnesis
Dalam melakukan anamnesis terhadap nyeri kita harus mengatahui bagaimana
kualitas nyeri yang diderita meliputi awitan, lama, dan variasi yang ditimbulkan untuk
mengetahui penyebab nyeri. Selain itu, kita juga harus mengetahui lokasi dari nyeri yang
diderita apakah dirasakan diseluruh tubuh atau hanya pada bagian tubuh tertentu.
intensitas nyeri juga penting ditanyakan untuk menetapkan derajat nyeri. Tanyakan pula
keadaan yang memperberat atau memperingan nyeri. Tanyakan pula tentang penyakit
sebelumnya, penggobatan yang pernah dijalani, dan alergi obat.
• Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan patofisiologi
nyeri. Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk mendapatkan
hubungannya dengan intensitas nyeri karena nyeri menyebabkan stimulus simpatik
seperti takikardia, hiperventilasi dan hipertensi. Pemeriksaan Glasgow come scale rutin
dilaksanakan untuk mengetahui apakah ada proses patologi di intracranial.
Pemeriksaan khusus neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat penting
dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia, hiperastesia,
hiperpatia dan alodinia pada daerah nyeri yang penting menggambarkan kemungkinan
nyeri neurogenik.
• Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengatahui penyebab
dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan imaging
seperti foto polos, CT scan, MRI atau bone scan.5,6
20
2.8 MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK
Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu di perifer dan sentral. Golongan obat
AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim
siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik opioid
bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga
terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi.
Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang mengalami
metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas ini akan menimbulkan
gangguan dan berperan dalam proses inflamasi, edema, rasa nyeri lokal dan kemerahan
(eritema lokal). Selain itu juga prostaglandin meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf
terhadap suatu rangsangan nyeri (nosiseptif).4,8
Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis
prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang
menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini menghasilkan kedua efek yakni
baik yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan
perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan dua isoenzim, yaitu
ubiquitously dan constitutive yang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan
inflamasi COX-2. COX-1 terutama terdapat pada mukosa lambung, parenkim ginjal dan
platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti agregasi platelet, keutuhan
mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan
diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan menimbulkan inflamasi,
demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien di medulla spinalis dalam
merespon inflamasi pembedahan mungkin penting dalam sensitisasi sentral.
21
seperti kodein dan dextropropoxyphene. Apabila regimen ini tidak juga dapat
mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan
opioid kuat, misalnya morfin.5
22
Tabel 1. Pilihan Obat-Obatan untuk Manajemen Nyeri
23
Tabel 2. Manajemen Nyeri Pasca bedah berdasarkan jenis pembedahaan
Analgesik Non-Opioid
Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh
dunia adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan
utama untuk nyeri ringan sampai sedang.5,9
Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di seluruh
dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera dimetabolisme
menjadi asam salisilat yang memiliki sifat analgesik dan, mungkin anti-inflamasi.
24
Dalam dosis terapeutik, asam salisilat memiliki waktu paruh hingga 4 jam.
Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga dosis tinggi akan mengakibatkan obat
diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin dapat berkurang apabila diberika
bersama-sama dengan antasida. Dosis berkisar dari minimal 500mg, per oral, setiap
4 jam hingga maksimum 4 g, per oral per hari. Aspirin memiliki efek samping yang
cukup besar pada saluran pencernaan, menyebabkan mual, gangguan dan
perdarahan gastrointestinal akibat efek antiplateletnya yang irreversibel. Karena
alasan ini, penggunaan aspirin untuk pain relief pascaoperasi harus dihindari
apabila masih tersedia obat-obatan alternatif lainnya.5
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik
dan antiinflamasi. Semua OAINS bekerja dengan cara yang sama dan karenanya
tidak ada gunanya memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada
umumnya, lebih berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit, mukosa
buccal, dan permukaan sendi tulang.3,8
Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan lamanya
tindakan. Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama jangka waktu yang
panjang maka dipilih obat dengan waktu paruh yang panjang dan efek klinis yang
lama. Namun, obat-obatan kelompok ini memiliki insiden tinggi untuk efek
samping penggunaan jangka panjang dan harus digunakan dengan hati-hati. Semua
OAINS mempunyai aktivitas antiplatelet sehingga mengakibatkan pemanjangan
waktu perdarahan. Obat-obatan ini juga menghambat sintesis prostaglandin dalam
mukosa lambung dan dengan demikian menghasilkan pendarahan lambung sebagai
efek samping.5
Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain adalah: setiap
riwayat ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal; operasi yang berhubungan
dengan kehilangan darah yang banyak, asma, gangguan ginjal sedang hingga berat,
dehidrasi dan setiap riwayat hipersensitif untuk OAINS atau aspirin. Ibuprofen
merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara klinis efektif, murah
dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan OAINS
dan asam mefenamat. Apabila rute oral tidak tersedia obat dapat diberikan dengan
rute lain seperti supositoria, injeksi atau topikal. Aspirin dan sebagian besar
OAINS tersedia sebagai supositoria dan diserap dengan baik.5
25
Tabel 3. NSAIDs
Daily dose
Drug name Forms available Half life (h)
range
Mefenamic
Tablet, capsule 1500mg 4
acid
Opioid Lemah
Codeine
Merupakan opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid (seperti morfin).
Codeine kurang aktif daripada morfin, memiliki efek yang dapat diprediksi bila
diberikan secara oral dan efektif terhadap rasa sakit ringan hingga sedang. Codeine
dapat dikombinasikan dengan parasetamol tetapi harus berhati-hati untuk tidak
melampaui maksimum dosis yang dianjurkan bila menggunakan kombinasi
parasetamol tablet. Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam dengan
maksimum 300 mg setiap hari. Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan
dengan metadon tetapi memiliki sifat analgesik yang relatif miskin. Hal ini sering
dipasarkan dalam kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaan yang sama
seperti Codeine harus diawasi. Dosis berkisar dari 32.5mg (dalam kombinasi
dengan parasetamol) sampai 60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300mg setiap
hari. Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer sangat
berguna dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit yang berlebihan tidak
diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan digunakan: Parasetamol 500 mg /
codeine 8 mg tablet, 2 tablet setiap 4 jam sampai maksimum 8 tablet perhari.
26
Apabila analgesia tidak mencukupi - Parasetamol 1g secara oral dengan Kodein 30
sampai 60mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum 4 dosis dapat digunakan3
Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgesik sentral dengan afinitas rendah pada
reseptor mu dan kelemahan analgesiknya 10-20 % dari morfin. Tramal dapat
diberikan secara oral dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400
mg per hari.6
Opioid Kuat
Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral
membutuhkan opioid kuat sebagai analgesianya. Rute oral mungkin tersedia pada
pasien yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga opioid kuat seperti
morfin dapat digunakan karena morfin sangat efektif per oral. Bila pasien tidak
dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara pemberian lain harus dilakukan.3
Intramuscular/
Morphine 10-15 2-4
subcutaneous
Morfin
Morfin paling larut dalam air dibandingkan golongan opioid lainnya dan
kerja analgesinya cukup panjang (long acting). Morfin memiliki dua sifat yang
mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) yaitu depresi (analgesi, sedasi, perubahan
emosi dan hipoventilasi alveolar) dan stimulasi (stimulasi parasimpatis, miosis,
mual muntah, hiperaktif refleks spinal, konvulsi dan sekresi hormon anti diuretik /
ADH). Morfin juga menyebabkan hipotensi ortostatik. Kontra indikasi pemakaian
morfin pada kasus asma dan bronkitis kronis karena efek bronkokontriksinya. Efek
27
sampingnya juga menyebabkan pruritus, konstipasi dan retensio urin. Morfin dapat
diberikan secara sub kutan, intra muskular, intra vena, epidural dan intra tekal.
Dosis anjuran untuk mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/kgBB secara sub
kutan, intra muskular dan dapat diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dewasa dapat
diberikan 1-2 mg intra vena dan diulang sesuai kebutuhan. Untuk megurangi nyeri
dewasa paska bedah dan nyeri persalinan digunakan dosis 2-4 mg epidural atau
0,05-0,2 mg intratekal, dan ini dapat diulang antara 6-12 jam.3,6
Petidin
Petidin (meperidin, Demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin, tetapi memiliki efek klinik dan efek samping yang
mendekati sama. Perbedaan dengan morfin adalah sebagai berikut:
Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut
dalam air.
Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat.
Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan, dan takikardi.
Seperti morfin, dapat menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter
Oddi lebih ringan.
Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetar pasca bedah yang tidak ada
hubungan dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa. Sedangkan
morfin tidak.
Lama kerja petidin lebih pendek daripada morfin.6
Fentanyl
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 kali morfin,
lebih larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Efek depresi
nafas lebih lama dibandingkan dengan efek analgesiknya. Dosis 1-3 µg/kgBB
analgesiknya berlangsung kira-kira 30 menit, karena itu hanya digunakan untuk
anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.6
28
Anestesi Lokal
Respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya
perdarahan dan nyeri yang teratasi dengan baik. Ada beberapa teknik anestesi lokal
sederhana yang dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi untuk memberikan pain
relief yang efektif.5
Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti
Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam.
Apabila nyeri berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan
infus. Blokade pleksus atau saraf perifer akan memberikan analgesia selektif di
bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau saraf tersebut.5
Max. single
% solution %
dose mg/kg.
for Duration solution
Agent (Total mg in Comments
analgesic (hours) for
adults* see
blocks infusion
footnote)
Lignocaine
29
Mepivacaine
Prilocaine
Bupivacaine
Chloroprocaine
Lowest systemic
toxicity of all agents.
Infiltration 1 0.5-1 14 - Motor / sensory
deficits may follow
intrathecal injection.
30
2.9.2 Manajemen Non Farmakologis
Berikut ini merupakan tabel yang menyajikan terapi non farmakologis yang sering
dipakai.3,11
31
BAB III
KESIMPULAN
1. Nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat
terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan.
2. Nyeri paska operasi termasuk nyeri akut yang bila tidak tertangani dengan baik bisa
mengarah kepada nyeri kronik.
3. Ada 4 tahap dalam fisiologi nyeri yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi
4. Penilaian skala nyeri bisa dilakukan berdasarkan beberapa skala
5. Manajemen nyeri paska operasi bisa dilakukan melalui manajemen farmakologis dan
non farmakologis
32
DAFTAR PUSTAKA
33