Pembimbing :
Disusun Oleh :
BAB I
PENDAHULUAN
Kata epilepsi berasal dari Yunani Epilambanmein yang berarti serangan. Epilepsi
sebetulnya sudah dikenal sekitar tahun 2000 sebelum Masehi. Hippokrates adalah orang
pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi
merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak. Epilepsi merupakan
kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia.1
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar
lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi
di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50:100,000
sementara di negara berkembang mencapai 100:100,000. Di Indonesia belum ada data
epidemiologis yang pasti tetapi diperkirakan ada 900.000 - 1.800.000 penderita, sedangkan
penanggulangan penyakit ini belum merupakan prioritas dalam Sistem Kesehatan Nasional.,
karena cukup banyaknya penderita epilepsi dan luasnya aspek medik dan psikososial, maka
epilepsi tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat sehingga ketrampilan para dokter
dan paramedis lainnya dalam penatalaksanaan penyakit ini perlu ditingkatkan.2,3
Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan dengan pasti
diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai diagnosis epilepsi harus
ditegakkan dulu. Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak dapat dipisahkan sebab
pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan dengan diagnosis epilepsi yang
tepat pula. Diagnosis epilepsi berdasarkan atas gejala dan tanda klinis yang karakteristik.
Jadi membuat diagnosis tidak hanya berdasarkan dengan beberapa hasil pemeriksaan
penunjang diagnostik saja, justru informasi yang diperoleh sesudah melakukan wawancara
yang lengkap dengan pasien maupun saksi mata yang mengetahui serangan kejang tersebut
terjadi dan kemudian baru dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologi. Begitu diperkirakan
diagnosis epilepsi telah dibuat barulah dilanjutkan pemeriksaan tambahan untuk
memastikan diagnosis dan mencari penyebabnya, lesi otak yang mendasari , jenis serangan
kejang dan sindrom epilepsi.4,5
STATUS PASIEN LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUMKARDINAH KOTA TEGAL
Pendidikan - S1 S1
Asuransi BPJS
No. RM 955360
B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 17 Juli
2019 pukul 14.15 WIB, di Kamar 1A Paviliun Wijaya Kusuma Atas RSU Kardinah.
Keluhan Utama
Kejang sejak 2 jam SMRS
Keluhan Tambahan
Mual dan Muntah Sejak satu hari SMRS, muntah lebih dari 5 kali
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien perempuan usia 12 tahun datang Ke IGD RSU Kardinah Tegal pada hari
Senin, 15 Juli 2019 diantar oleh orangtuanya dengan keluhan kejang sejak 2 jam SMRS.
Kejang pertama terjadi pukul 15.00 wib, saat itu pasien sedang berbaring lemas, tiba-
tiba kedua tangan dan kaki pasien kaku kemudian terjadi kejang selama ±2 menit, kejang
terjadi pada seluruh tubuh dengan tangan tegak lurus ke bawah dan mata mendelik keatas
lalu kejang berhenti sendiri. Setelah kejang pasien langsung lemas kemudian tertidur.
Kejang kedua terjadi setelah magrib pukul 18.00 wib ketika pasien selesai muntah-
muntah, bentuk kejang yang dialami pasien sama seperti kejang pertama, namun kejang
kali ini berlangsung ±4 menit dan terjadi lebih dari 7x dengan jarak antar kejang yang
relatif cepat kira-kira 10 menit. Lalu keluarga pasien membawa pasien ke IGD dan di
perjalanan pasien masih sering mengalami kejang. Satu hari sebelumnya (Minggu,
13/7/2019) pasien mual dan muntah lebih dari 5 kali, isi cairan dan makanan, nafsu
makan pasien menurun, demam disangkal.
Pasien sebelumnya sudah sering mengalami kejang, dimana awalnya pasien
mengalami kejang pertama kali pada usia 8 bulan sebanyak 2 kali. Sampai usia 12 tahun
pasien selalu mengalami kejang paling sedikit 1 kali pertahun. Sampai usia pasien 6
tahun, orangtua pasien selalu berobat rutin ke dokter spesialis anak dan diberikan obat
stesolid apabila anak kejang. Menurut orangtua pasien, pasien mengalami kejang seperti
ini awalnya karena pada saat lahir tidak langsung menangis, tampak pucat, dan
gerakannya tidak aktif. Menurut dokter spesialis anak pasien mengalami asfiksia berat
dan perlu di rawat di ruang intensif (NICU). Pasien dirawat di RS Palaraya selama 12
hari dan di perbolehkan pulang karena kondisinya sudah membaik namun dokter
spesialis anak memberi kabar bahwa perkembangan otak pasien akan terhambat dan
akan menyebabkan Cerebral Palsy.
Riwayat Makanan
a) Sejak usia 0 hingga 1 tahun
Umur
ASI/PASI Buah/ Biskuit Bubur Tim Nasi Tim
(bulan)
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6-8 ASI - - -
8 – 10 - - Bubur Tim -
10 - 12 - - Bubur Tim -
b) Food Recall
Jenis makanan Frekuensi Jumlah (per porsi makan)
Riwayat Imunisasi
Vaksin Dasar Ulangan
BCG 1 bulan - - - - -
DTP/ DT - 2bulan 3 bulan 4 bulan 18 bulan -
POLIO 0 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 18 bulan -
CAMPAK - - - 9 bulan - -
HEPATITIS B Lahir 2 bulan 3 bulan 4 bulan - -
Hib - 2 bulan 3 bulan 4 bulan - -
Kesan : Pasien sudah dilakukan imunisasi dasar BCG, DTP, Polio, Hepatitis B
dan Hib serta ulangan DTP dan polio
Riwayat Pernikahan
Ayah Ibu
Nama Tn. Y Ny. H
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 24 tahun 22 tahun
Pendidikan terakhir S1 S1
Suku Jawa Jawa
Agama Islam Islam
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 17 Juli 2019, pukul 14:30 WIB,
diKamar 1A Paviliun Wijaya Kusuma Atas RSU Kardinah Tegal.
I. Keadaan Umum
Apatis, tampak sakit sedang
Tangan kiri :5
Ekstremitas bawah
Ditemukan atrofi
Hipertonus dekstra/ Hipertonus sinistra
Kekuatan:
Kaki kanan: Sulit dinilai
o Refleks fisiologis
Bisep : +/+
Trisep : +/+
Brachioradialis : +/+
Patella : +/+
Achilles : ++/++
o Refleks patologis
Babinski : +/+
Chaddok : +/+
Oppenheim : -/-
Gordon : -/-
Schaffer : -/-
Hoffman trommer : -/-
o Koordinasi
Tes tunjuk hidung : Tidak dilakukan
Tes tumit lutut : Tidak dilakukan
o Fungsi otonom
Miksi : normal
Defekasi : normal
Sekresi keringat : normal
D. Pemeriksaan Khusus
i) Data Antropometri
o Anak perempuan usia 6 tahun
o Berat badan sekarang : 23 kg
o Tinggi badan sekarang :142 cm
o Lingkar kepala sekarang : 52 cm
ii) Pemeriksaan Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)
Kesan : Normosefali
iii) Pemeriksaan Status Gizi (Kurva CDC)
Netrofil 79.6 % 50 – 70
Limfosit 7.1 % 25 – 40
Monosit 12.9 % 2–8
Eosinofil 0 % 2–4
Basofil 0.3 % 0–1
Elektrolit
Natrium 136.4 mmol/L 135-145
Kalium 5.81 mmol/L 3.3-5.1
Klorida 104.4 mmol/L 96-106
D. Resume
Pasien datang ke IGD RSU Kardinah Tegal pada hari Senin, 15 Juli 2019 dengan
keluhan kejang sejak 2 jam SMRS. Kejang pertama terjadi pukul 15.00 wib, saat itu
pasien sedang berbaring lemas, tiba-tiba kedua tangan dan kaki pasien kaku kemudian
terjadi kejang selama ±2 menit, kejang terjadi pada seluruh tubuh dengan tangan tegak
lurus ke bawah dan mata mendelik keatas lalu kejang berhenti sendiri. Setelah kejang
pasien langsung lemas kemudian tertidur. Kejang kedua terjadi setelah magrib pukul
18.00 wib ketika pasien selesai muntah-muntah, bentuk kejang yang dialami pasien
sama seperti kejang pertama, namun kejang kali ini berlangsung ±4 menit dan terjadi
lebih dari 7x dengan jarak antar kejang yang relatif cepat kira-kira 10 menit. Lalu
keluarga pasien membawa pasien ke IGD dan di perjalanan pasien masih sering
mengalami kejang. Satu hari sebelumnya (Minggu, 13/7/2019) pasien mual dan muntah
lebih dari 5 kali, isi cairan dan makanan, nafsu makan pasien menurun, demam
disangkal.
Pasien sebelumnya sudah sering mengalami kejang, dimana awalnya pasien
mengalami kejang pertama kali pada usia 8 bulan sebanyak 2 kali. Sampai usia 12 tahun
pasien selalu mengalami kejang paling sedikit 1 kali pertahun. Sampai usia pasien 6
tahun, orangtua pasien selalu berobat rutin ke dokter spesialis anak dan diberikan obat
stesolid apabila anak kejang. Menurut orangtua pasien, pasien mengalami kejang seperti
ini awalnya karena pada saat lahir tidak langsung menangis, tampak pucat, dan
gerakannya tidak aktif. Menurut dokter spesialis anak pasien mengalami asfiksia berat
dan perlu di rawat di ruang intensif (NICU). Pasien dirawat di RS Palaraya selama 12
hari dan di perbolehkan pulang karena kondisinya sudah membaik namun dokter
spesialis anak memberi kabar bahwa perkembangan otak pasien akan terhambat dan
akan menyebabkan Cerebral Palsy.
Pemeriksaan fisik pasien keadaan umum apatis dengan tampak sakit sedang, Heart
rate 87x/menit, respiratory rate 24x/menit, suhu 36.90C. Lingkar kepala 52 cm. Status
generalis pasien tampak spastik pada kedua anggota gerak atas : pergelangan tangan
fleksi, tangan pronasi, jari flexi dengan jempol melintang di telapak tangan. kedua
anggota gerak bawah mengalami : plantar flexi kaki dengan telapak kaki berputar ke
dalam. Pada pemeriksaan motorik didapatkan hipertonus dan atropi pada kedua
ekstreimatas bawah, refleks fisiologis meningkat pada tendo archiles, dan pada refleks
patologis didapatkan peningkatan pada refleks Babinski dan Chaddok. Status gizi yang
dinilai dengan kurva CDC untuk berat badan sesuai usia nya berat badan kurang, untuk
tinggi badan sesuai usia nya normal dan untuk berat badan per tinggi badan nya gizi
kurang, perawakan normal.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan Leukosit 20.100 /µl, Ht 46.2%,
dan eritrosit 6.5 106/µl. differential count didapatkan peningkatan neutrophil 79.6%,
monositosis (Monosit: 12.9%), dan penurunan limfosit 71%. Sedangkan untuk
pemeriksaan elektrolit didapatkan penigkatan kalium 5.81 mmol/L.
E. Daftar Masalah
i) Subjektif
a) Kejang berulang
b) Mual dan muntah
c) Penurunan nafsu makan
d) Lemas
e) Gangguan personal sosial, motorik halus, motorik kasar dan bahasa
ii) Objektif
a) Apatis
b) Takipneu
c) Spastik :
- Ekstremitas atas : pergelangan tangan fleksi, tangan pronasi, jari flexi dengan
jempol melintang di telapak tangan
- Ekstremitas bawah: plantar flexi kaki dengan telapak kaki berputar ke dalam.
d) Gizi buruk
e) Hipertonus
f) Atropi
g) Refleks fisiologis archiles meningkat
h) Refleks patologis babinski dan chaddok positif
i) Leukositosis
j) Monositosis
k) Hiperkalemi
l) Delay development disorder
F. Diagnosis Banding
Infeksi
Ekstrakranial:
- Kejang demam kompleks
- Kejang demam simpleks
Kejang berulang
Intrakranial:
- Meningitis
- Meningoensefalitis
- Epilepsi
Gangguan elektrolit/metabolic
Gangguan Perdarahan Intracranial
Berdasar etiologi
- Prenatal
Cerebral Palsy - Natal
- Postnatal
- gizi kurang
Status Gizi - gizi buruk
G. Diagnosis Kerja
- Epilepsi
- Cerebral Palsy
- Bacterial Infection
- Gizi buruk
H. Penatalaksanaan
a. Non medikamentosa
- Rawat inap untuk monitor keadaan umum
- Awasi kesadaran, keadaan umum dan tanda vital
- Edukasi menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan, dan
komplikasi yang mungkin dapat terjadi dan menjelaskan kepada keluarga
bagaimana agar pasien tidak terkena penyakit serupa berulang
b. Medikamentosa
o IVFD Ringer Laktat 20 tetes per menit
o Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
o Inj. Paracetamol 3x250 mg (k/p)
o Inj. Ondansentron 3x2 mg
o PO Asam Valproat syirup 2x3,5 ml
I. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
J. Follow up
16 Juli 2019 pukul 14:15 WIB 17 Juli 2019 pukul 15:00 WIB 18 Juli 2019 pukul 13.00 WIB
Hari kedua perawatan Hari ketiga Hari keempat
S Kejang (-), demam (-) mual (-), muntah S Kejang (-), Sulit tidur, demam (-) S Kejang (-), demam (-) mual (-), muntah
(-),nafsu makan menurun, minum mual (-), muntah (-),nafsu makan (-),nafsu makan mulai membaik,
sedikit, BAK normal, BAB(-) Terakhir mulai membaik, minum sedikit, minum banyak, BAK normal, BAB(-)
tanggal 15/6/19 Siang. BAK normal, BAB(+)
O KU: Apatis, Tampak sakit sedang O KU: Apatis, Tampak sakit sedang O KU: Apatis, Tampak sakit sedang
TTV: HR 92x/m, RR 24x/m, TTV: HR 87x/m, RR 24x/m, TTV: HR 98x/m, RR 24x/m,
S: 36.70C. S: 36.40C. S: 36.60C.
Status Generalis Status Generalis Status Generalis
- Kepala: Normosefali - Kepala: Normosefali - Kepala: Normosefali
- Mata: CA (-/-), SI (-/-) - Mata: CA (-/-), SI (-/-) - Mata: CA (-/-), SI (-/-)
- Hidung : Nafas Cuping Hidung (-) - Hidung : Nafas Cuping Hidung (-) - Hidung : Nafas Cuping Hidung (-)
- Pulmo: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) - Pulmo: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) - Pulmo: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
- Jantung: BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) - Jantung: BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) - Jantung: BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
- Abdomen: Supel, bising usus (+), - Abdomen: Supel, bising usus (+), - Abdomen: Supel, bising usus (+),
distensi (-), turgor baik, tidak teraba distensi (-), turgor baik, tidak teraba distensi (-), turgor baik, tidak teraba
adanya organomegali. adanya organomegali adanya organomegali
- Ekstremitas atas: spastik pergelangan - Ekstremitas atas: spastik pergelangan - Ekstremitas atas: spastik pergelangan
tangan tangan tangan
- Ekstremitas bawah: spastik, hipertonus, - Ekstremitas bawah: spastik, - Ekstremitas bawah: spastik,
otot atropi, refleks Babinski dan hipertonus, otot atropi, refleks hipertonus, otot atropi, refleks
chaddok (+), refleks fisiologis archiles Babinski dan chaddok (+), refleks Babinski dan chaddok (+), refleks
meningkat. fisiologis archiles meningkat. fisiologis archiles meningkat.
Laboratorium : leukositosis 20.100/ µl Laboratorium : leukositosis 20.100/ µl
A - Epilepsi A - Epilepsi A - Epilepsi
Inj. Paracetamol 3x250 mg (k/p) Inj. Paracetamol 3x250 mg Inj. Paracetamol 3x250 mg (k/p)
(k/p)
Inj. Ondansentron 3x2 mg Inj. Ondansentron 3x2 mg
Inj. Ondansentron 3x2 mg
PO Asam valproat syrp 2x3,5 ml Phenobarbital 2x60 mg
Phenobarbital 2x60 mg
PO Asam valproat syrp 2x3,5 ml
PO Asam valproat syrp 2x3,5
ml
BAB II
ANALISIS MASALAH
EPILEPSI
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan kondisi/gejala berikut:
1. Minimal terdapat dua bangkitan tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks dengan
jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan refleks dengan kemungkinan
terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal 60%)
bila terdapat dua bangkitan tanpa provokasi/ bangkitan refleks.
3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.8
Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus
spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitif, dan somatomotor.8
2.2. Epidemiologi
Penelitian insidensi dan prevalensi telah dilaporkan oleh berbagai negara, tetapi di
Indonesia belum diketahui secara pasti. Para peneliti umumnya mendapatkan insidens 20 -
70 per 100.000 per tahun dan prevalensi sekitar 0,5 - 2 per 100.000 pada populasi umum.
Sedangkan pada populasi anak diperkirakan 0,3 - 0,4 % di antaranya menderita epilepsi.
Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.
Epilepsi merupakan masalah pediatrik yang besar dan lebih sering terjadi pada usia dini
dibandingkan usia selanjutnya.9
Di negara berkembang diperkirakan tiga perempat pasien epilepsi tidak mendapatkan
pengobatan yang diperlukan. Sekitar 9 dari 10 pasien epilepsi di Afrika tidak mendapatkan
pengobatan. Di beberapa negara dengan pendapatan rendah dan menengah, ketersediaan
obat antiepilepsi (OAE) sangat rendah dan harga OAE relatif mahal. Ketersediaan OAE
generik sekitar kurang dari 50%.7
2.3. Etiologi
Epilepsi idiopatik
Merupakan yang paling sering terjadi, kejadiannya sekitar 40% diseluruh dunia. Penyebab
abnormalitas neuroanatomi maupun neuropatologi tidak diketahui. Epilepsi idiopatik terjadi
pada bayi, anak, remaja, dan dewasa muda dengan MRI otak yang normal dan tidak ada
riwayat kelainan medis yang bermakna sebelumnya. Terdapat predisposisi genetik,
beberapa sindrom epilepsi idiopatik memiliki distribusi autosomal dominan yang
mengakibatkan adanya gangguan pada kanal ion.10
Epilepsi simptomatik
Epilepsi simptomatik berhubungan dengan abnormalitas struktur otak yang
mengindikasikan adanya penyakit atau kondisi yang mendasari. Yang termasuk kategori ini
adalah kelainan perkembangan dan kongenital baik akibat genetik maupun didapat, dan juga
kondisi yang didapat. Sebagai contoh: cedera kepala, infeksi SSP, lesi desak ruang,
gangguan peredaran daeah otak, toksik, metabolik, dan kelainan neurodegeneratif.8,10
Epilepsi Kriptogenik
Epilepsi yang diduga adanya penyebab yang mendasari namun masih belum dapat
diidentifikasi. Termasuk disini adalah sindrom west, sindrom Lennox-Gaustat, dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.8
2.4. Klasifikasi
Revisi dari klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981 dikarenakan
beberapa faktor. Beberapa jenis kejang, seperti kejang tonik atau spasme epileptik, dapat
memiliki onset fokal atau umum. Kurangnya pengetahuan terhadap onset kejang,
mengakibatkan kejang menjadi tidak terklasifikasikan. Beberapa istilah pada klasifikasi
kejang sebelumnya, seperti diskognitif, psikis, partial, simple partial, dan complex partial
kurang dapat diterima atau kurang dimengerti. Menentukan ada tidaknya gangguan
kesadaran selama kejang dapat membingungkan terutama untuk non-klinisi.11
2.5. Patofisiologi
Pada tingkat selular, dua ciri khasi aktivitas epileptiform adalah hipereksitabilitas dan
hipersinkronitas neural. Hipereksitabilitas merujuk pada peningkatan respon neuron
terhadap stimulasi, sehingga sel mencetuskan beberapa potesial aksi langsung. Hipersinkron
yaitu peningkatan cetusan neuron pada sebagian kecil atau besar regio di korteks.
Walaupun terdapat perbedaan pada mekanisme yang mendasari kejang fokal dan
umum, secara sederhana bangkitan kejang terjadi karena adanya gangguan keseimbangan
antara inhibisi dan eksitasi pada satu regio atau menyebar diseluruh otak.
Ketidakseimbangan ini karena kombinasi peningkatan eksitasi dan penurunan inhibisi.10,12
2.6. Diagnosis
Untuk mendiagnosis epilepsi terutama didapatkan dari anamnesis yang baik. Investigasi
selanjutnya berguna untuk menilai gangguan fungsional dan struktural pada otak.13
Pada anamnesis terutama dipasktikan lebih dulu apakah suatu bangkitan epilepsi atau
bukan. Kemudian tentukan jenis bangkitan dan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi
ILAE.
Dalam praktik klinis, auto dan alloanamnesis dari orang tua atau saksi mata harus mencakup
pre-iktal, iktal, dan post-iktal.
1. Pre-iktal/ Sebelum bangkitan
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan, seperti
perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif,
dan lain-lain. Kemudian juga ditanyakan ingatan terakhir sebelum terjadi serangan, untuk
menentukan berapa lama amnesia terjadi sebelum serangan. Gejala neurologis mungkin
dapat menunjukan lokasi fokal.11
Tabel 2. Gejala neurologis fokal berdasarkan lokalisasi13
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan hematologis yang mencakup hemoglobin, leukosit, dan hitung jenis,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit, kadar gula darah sewaktu, fungsi hati
(SGOT/SGPT), ureum, kreatinin, dan albumin.8
Pemeriksaan ini dilakukan pada:
- Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan diagnosis banding
dan pemilihan OAE
- Dua bulan setelah pemberin OAE untuk mendeteksi efek samping OAE.
- Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor samping OAE, atau bila timbul
gejala klinis akibat efek samping OAE.
Pemeriksaan kadar OAE idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat
bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal atau untuk
memonitor kepatuhan pasien.8
Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan namun tidak rutin yaitu pungsi lumbal dan EKG.8
Membedakan syncope, kejang, dan pseudoseizure bergantung pada anamnesis dari pasien
dan saksi.
Tabel 4. Diagnosis banding kejang epileptik8
2.8.Penatalaksanaan
Tujuan medikasi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat hidup
normal dan tercapa kualitas hidup optimal. Harapannya adalah ‘bebas bangkitan, tanpa efek
samping’, walaupun hal ini sulit terjadi pada medikasi inisial.8
Prinsip penatalaksanaan
Pertolongan pertama
Keluarga harus diedukasi mengenai pertolongan pertama apa yang harus dilakukan bila
serangan timbul sebelum dibawa ke unit gawatdarurat. Pertama, dipastikan pasien aman dari
sekitarnya dengan menjauhkan pasien dari benda-benda yang dapat melukai pasien.
Kemudian penolong jangan menahan gerakan kejang pasien dan jangan memasukan benda
apapun ke mulut pasien karena akan menambah cedera. Direkomendasikan untuk
memiringkan posisi pasien supaya mencegah obstruksi jalan napas dan aspirasi. Jangan
memberikan makanan atau minuman sampai kesadaran pasien pulih.15
Terapi farmakologis
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan
ditingkatkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.8
Penyesuaian dosis diperlukan ketika timbulnya efek samping atau terjadi bangkitan
yang tidak dapat dibedakan karena dosis yang kurang tepat atau adanya faktor presipitasi
seperti penggunaan etanol berlebih. Jika efek samping ringan, maka penyesuaian ringan
dosis mungkin bermanfaat. Bila masalahnya adalah timbulnya bangkitan, maka diperlukan
titrasi OAE ke dosis yang lebih besar, atau sampai ke dosis maksimal yang dapat
ditoleransi.10
Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. OAE kedua harus memiliki mekansisme kerja
yang berbeda dengan OAE pertama. Caranya, bila OAE telah mencapai kadar terapi maka
OAE pertama diturunkan bertahap. Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama,
maka kedua OAE tetap diberikan. Bila respon yang terjadi buruk, kedua OAE harus
digantikan dengan OAE yang lain. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat
respsons dengan OAE kedua, tetapi respons tetap suboptimal walaupun penggunaan kedua
OAE pertama sudah maksimal.6,15
Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, dosis OAE, efek samping OAE,
profil farmakologi, dan interaksi antar obat.8
B.Etiologi
Cerebral palsy bukan merupakan satu penyakit dengan satu penyebab. CP
merupakan grup penyakit dengan masalah mengatur gerakan, tetapi dapat
mempunyai penyebab yang berbeda. Untuk menentukan penyebab CP, harus digali
mengenai hal : bentuk CP, riwayat kesehatan ibu dan anak, dan onset penyakit.
Di USA, sekitar 10-20% CP disebabkan karena penyakit setelah lahir
(prosentase tersebut akan lebih tinggi pada negara-negara yang belum berkembang).
CP dapatan juga dapat merupakan hasil dari kerusakan otak pada bulan-bulan
pertama atau tahun-tahun pertama kehidupan yang merupakan sisa dari infeksi otak,
misalnya meningitis bakteri atau encephalitis virus, atau merupakan hasil dari trauma
kepala yang sering akibat kecelakaan lalu lintas, jatuh atau penganiayaan anak.
CP kongenital, pada satu sisi lainnya, tampak pada saat dilahirkan. Pada banyak
kasus, penyebab CP kongenital sering tidak diketahui. Diperkirakan terjadi kejadian
spesifik pada masa kehamilan atau sekitar kelahiran dimana terjadi kerusakan pusat
motorik pada otak yang sedang berkembang. 13,14
Beberapa penyebab CP kongenital adalah :
1. Infeksi Selama Kehamilan
Rubella dapat menginfeksi ibu hamil dan fetus dalam uterus, akan
menyebabkan kerusakan sistem saraf yang sedang berkembang. Infeksi lain
yang dapat meyebabkan cedera otak fetus meliputi cytomegalovirus dan
toxoplasmosis. Pada saat ini sering dijumpai infeksi maternal lain yang
dihubungkan dengan CP.
2. Pigmen bilirubin, yang merupakan komponen yang secara normal dijumpai
dalam jumlah kecil dalam darah, merupakan hasil produksi dari pemecahan
eritrosit. Jika banyak eritrosit mengalami kerusakan dalam waktu yang
singkat, misalnya dalam keadaan Rh/ABO inkompatibilitas, bilirubin
indirek akan meningkat dan menyebabkan ikterus. Ikterus berat dan
diterapi dapat merusak sel otak secara permanen.
3. Kekurangan Oksigen Berat (hipoksik iskemik) pada Otak atau Trauma
Kepala Selama Proses Persalinan.
Asphyxia sering dijumpai pada bayi-bayi dengan kesulitan persalinan.
Asphyxia menyebabakan rendahnya suplai oksigen pada otak bayi pada
periode lama, anak tersebut akan mengalami kerusakan otak yang dikenal
hipoksik iskemik encephalopathi. Angka mortalitas meningkat pada kondisi
asphyxia berat, tetapi beberapa bayi yang bertahan hidup dapat menjadi CP,
dimana dapat bersama dengan gangguan mental dan kejang.
Kriteria yang digunakan untuk memastikan hipoksik intrapartum sebagai
penyebab CP :
Metabolik asidosis pada janin dengan pemeriksaan darah arteri tali
pusat janin, atau neonatal dini pH=7 dan BE=12mmol/L
Neonatal encephatopathy dini berat sampai sedang pada bayi
>34minggu gestasi
Tipe CP spastik quadriplegia atau diskinetik
Tanda hiposik pada bayi segera setelah lahir atau selama persalinan
Penurunan detak jantung janin cepat, segera dan cepat memburuk
segera setelah tanda hipoksik terjadi dimana sebelumnya diketahui
dalam batas normal
Apgar score 0-6 = 5menit
Multi sistim tubuh terganggu segera setelah hipoksik
Imaging dini abnormalitas cerebral
4. Stroke
Kelainan pada ibu atau bayi dapat menyebabkan stroke pada fetus atau bayi
baru lahir. Perdarahan di otak terjadi pada beberapa kasus. Stroke yang
terjadi pada fetus atau bayi baru lahir, akan menyebabkan kerusakan
jaringan otak dan menyebabkan masalah neurologis. Karena insiden infark
cerebri yang tidak dapat dijelaskan sering tampak pada pemeriksaan
neuroimaging pada anak dengan CP hemiplegi, diagnostik test untuk
penyakit koagulasi perlu dipertimbangkan.
Faktor-faktor yang menyatakan penyebab selain hipoksik intrapartum
sebagai penyebab CP :
Pada pemeriksaan analisis gas darah arteri umbikalis <1mmol/L
atau pH>7
Bayi dengan kelainan kongenital mayor atau multiple atau kelainan
metabolik
Infeksi SSP atau sistemik
Pada pemeriksaan imaging dini tampak kelainan neurologis
misalnya ventrikulomegali, porencephali, multikistik
encephalomalacia
Bayi dengan tanda hambatan pertumbuhan intrauterine
Penurunan detak jantung bervariasi sejak persalinan
Mikrocephali
Ekstensif chorioamnionitis
Kelainan kongenital koagulasi pada anak
Adanya faktor antenatal lain untuk CP, misalnya prematuritas,
kehamilan ganda, penyakit autoimun
Adanya faktor resiko postanatal untuk CP, misalnya post natal
encephalitis, hopotensi memanjang, atau hipoksik karena penyakit
respirasi
Saudara kandung CP, terutama jika mempunyai tipe CP yang sama
C.Manifestasi klinis
CP dapat diklasifikasikan berdasarkan gejala dan tanda klinis neurologis.
Spastik diplegia, merupakan salah satu bentuk penyakit yang dikenal selanjutnya
sebagai CP. Hingga saat ini, CP diklasifikasikan berdasarkan kerusakan gerakan yang
terjadi dan dibagi dalam 4 kategori, yaitu :
1. CP Spastik
Merupakan bentukan CP terbanyak (70-80%), otot mengalami
kekakuan dan secara permanan akan menjadi kontraktur. Jika kedua
tungkai mengalami spastisitas, pada saat seseorang berjalan, kedua tungkai
tampak bergerak kaku dan lurus. Gambaran klinis ini membentuk
karakteristik berupa ritme berjalan yang dikenal dengan galt gunting
(scissors galt).
Anak dengan spastik hemiplegia dapat disertai tremor hemiparesis,
dimana seseorang tidak dapat mengendalikan gerakan pada tungkai pada
satu sisi tubuh. Jika tremor memberat akan terjadi gangguan gerakan berat.
CP Spastik dibagi berdasarkan jumlah ekstremitas yang terkena, yaitu :
a. Monoplegi
Bila hanya mengenai 1 ekstremitas saja, biasanya lengan
b. Diplegia
Keempat ekstremitas terkena, tetapi kedua kaki lebih berat dari pada
kedua lengan
c. Triplegia
Bila mengenai 3 ekstremitas, yang paling banyak adalah mengenai
kedua lengan dan 1 kaki
d. Quadriplegia
Keempat ekstremitas terkena dengan derajat yang sama
e. Hemiplegia
Mengenai salah satu sisi tubuh dan lengan terkena lebih berat
2. CP Atetoid/diskinetik
Bentuk CP ini mempunyai karakterisktik gerakan menulis yang tidak
terkontrol dan perlahan. Gerakan abnormal ini mengenai tangan, kaki,
lengan, atau tungkai dan pada sebagian besar kasus, otot muka dan lidah,
menyebabkan anak-anak menyeringan dan selalu mengeluarkan air liur.
Gerakan sering meningkat selama periode peningkatan stress dan hilang
pada saat tidur. Penderita juga mengalami masalah koordinasi gerakan otot
bicara (disartria). CP atetoid terjadi pada 10-20% penderita CP.
3. CP Ataksid
Jarang dijumpai, mengenai keseimbangan dan persepsi dalam.
Penderita yang terkena sering menunjukan koordinasi yang buruk; berjalan
tidak stabil dengan gaya berjalan kaki terbuka lebar, meletakkan kedua kaki
dengan posisi saling berjauhan; kesulitan dalam melakukan gerakan cepat
dan tepat, misalnya menulis mengancingkan baju. Mereka juga sering
mengalami tremor, dimulai dengan gerakan volunter misalnya buku,
menyebabkan gerakan seperti menggigil pada bagian tubuh yang baru
digunakan dan tampak memburuk sama dengan saat penderita akan
menuju objek yang dikehendaki. Bentuk ataksid ini mengenai 5-10%
penderita CP.
4. CP Campuran
Sering ditemukan dapa seseorang penderita mempunyai lebih dari satu
bentuk CP yang dijabarkan diatas. Bentuk campuran yang sering dijumpai
adalah spastik dan gerakan atetoid tetapi kombinasi lain juga mungkin
dijumpai. 2,5
CP juga dapat diklasifikasikan berdasarkan estimasi derajat beratnya penyakit
dan kemampuan penderita untuk melakukan aktivitas normal (tabel 1). 16
D.Penegakan diagnosis
a. Gejala awal
Tanda awal CP biasanya tampak pada usia <3tahun, dan orang tua sering
mencurigai ketiak kemampuan perkambangan motorik tidak normal. Bayi
dengan CP sering mengalami kelambatan perkembangan, misalnya
tengkurap, duduk, merangkak, tersenyum atau berjalan.
Sebagian mengalami abnormalitas tonus otot, penurunan tonus
otot/hipotonia; bayi tampak lemah dan lemas, kadang floppy. Peningkatan
tonus otot/hipertonia, bayi tampak kaku. Pada sebagian kasus, bayi pada
periode awal tampak hipotonia dan selanjutnya berkembang menjadi
hipertonia setelah 2-3 bulan pertama. Anak-anak CP mungkin menunjukkan
postur abnormal pada satu sisi tubuh. 17
b. Pemeriksaan Fisik
Dalam menegaskan diagnosis CP perlu melakukan pemeriksaan motorik
bayi dan melihat kembali riwayat medis mulai dari riwayat kehamilan,
persalinan dan kesehatan bayi. Perlu juga dilakukan pemeriksaan refleks
dan mengukur perkembangan lingkar kepala anak.
Refleks adalah gerakakn dimana tubuh secara otomatisasi bereaksi
sebagai respon terhadap stimulus spesifik. Sebagai contoh, jika bayi baru
lahir menekuk kepalanya maka kaki akan bergerak ke atas kepala, dan bayi
secara otomatis akan membentangkan lengannya, yang dikenal dengan
refleks moro, yang tampak seperti gerakan akan memeluk. Secara normal,
refleks tersebut akan bertahan lebih lama. Hal tersebut merupakan salah
satu dari beberapa refleks yang haarus diperiksa.
Perlu juga memeriksa penggunaan tangan, kecenderungan untuk
menggunakan tangan kanan atau kiri. Jika dokter memegang objek didepan
dan pada sisi dari bayi, bayi akan mengambil benda tersebut dengan tangan
yang cenderung dipakai, walaupun objek didekatkan pada tangan yang
sebelahnya. Sampai usia 12 bulan, bayi masih belum menunjukan
kecenderungan menggunakan tangan yang dipilih. Tetapi bayi dengan
spastik hemiplegia, akan menunjukkan perkembangan pemilihan tangan
lebih dini, sejak tangan pada sisi yang tidak terkena menjadi lebih kuat dan
banyak digunakan. 17,18
Langkah selanjutnya dalam diagnosis CP adalah menyingkirkan
penyakit lain yang menyebabkan masalah pergerakan. Yang terpenting,
harus ditentukan bahwa kondisi anak tidak bertambah memburuk.
Walaupun gejala dapat berubah bersama waktu, CP sesuai dengan
definisinya tidak dapat menjadi progresif. Jika anak secara progresif
kehilangan kemampuan motorik, ada kemungkinanterdapat masalah yang
berasal dari penyakit lain, misalnya penyakit genetik, penyakit muskuler,
kelainan metabolik, tumor SSP. Penelitian metabolik dan genetik tidak rutin
dilakukan dalam evaluasi anak dengan CP. Riwayat medis anak, pemeriksaan
diagnostik khusus, dan, pada sebagian kasus, pengulangan pemeriksaan
akan sangat berguna untuk konfirmasi diagnostik dimana penyakit lain
dapat disingkirkan.
c. Pemeriksaan Neuroradiologik
Pemeriksaan khusus neuroradiologik untuk mencari kemungkinan
penyebab CP perlu dikerjakan, salah satu pemeriksaan adalah CT scan
kepala, yang merupakan pemeriksaan imaging untuk mengetahui struktur
jaringan otak. CT scan dapat menjabarkan area otak yang kurang
berkembang, kista abnormal, atau kelainan lainnya. Dengan informasi dari
CT scan, dokter dapat menentukan prognosis penderita CP.
MRI kepala, merupakan tehnik imaging yang canggih, menghasilkan
gambar yang lebih baik dalam hal struktur atau area abnormal dengan lokasi
dekat tulang dibanding dengan CT scan kepala.
Dikatakan bahwa neuroimaging direkomendasikan dalam eveluasi anak
CP jika etiologi tidak dapat ditemukan.
Pemeriksaan ketiga yang dapat mengambarkan masalah dalam jaringan
otak adalah USG kepala. USG dapat digunakan pada bayi sebelum tulang
kepala mengeras dan UUB tertutup. Walaupun hasilnya kurang akurat
dibandingkan CT dan MRI, tehnik tersebut dapat mendeteksi kista dan
struktur otak, lebih murah dan tidak membutuhkan periode lama
pemeriksaannya. 13,15
E.Tatalaksana
1. Terapi Medikamentosa13
Tiga macam obat yang sering digunakan untuk mengatasi spastisitas pada
penderita CP adalah :
a. Diazepam
Obat ini bekerja sebagai relaksan umum ota dan tubuh. Pada anak
usia <6 bulan tidak direkomendasikan, sedangkan pada anak usia >6 bulan
diberikan dengan dosis 0,12-0,8 mg/kkBB/hari per oral dibagi dalam 6-8
jam dan tidak melebihi 10mg/dosis.
b. Baclofen
Obat ini bekerja dengan menutup penerimaan signal dari medula
spinalis yang akan menyebabkan kontraksi otot.
Dosis obat yang dianjurkan pada penderita CP adalah:
2-7tahun
Dosis 10-40mg/hari per oral, dibagi dalam 3-4 dosis. Dimulai dari 2,5-
5mg per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikan 5-15mg/hari,
maksimal 40mg/hari.
8-11 tahun
Dosis 10-60 mg/hari per oral, dibagi dalam 3-4 dosis. Dimulai 2,5-5 mg
per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikan 5-15 mg/hari,
maksimal 60mg/hari.
>12 tahun
Dosis 20-80 mg/hari per oral, dibagi dalam 3-4 dosis. Dimulai dari 5mg
per oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikan 15mg/hari, maksimal
80mg/hari.
c. Dantrolene
Obat ini bekerja dengan mengintervensi proses kontraksi otot
sehingga kontraksi otot tidak bekerja. Dosis yg dianjurkan dari 25 mg/hari,
maksimal 40mg/hari.
Obat-obatan diatas akan menurunkan spasrisitas untuk periode
singkat, dan dapat menimbulkan efek samping, misalnya mengantuk.
Penderita CP atetoid kadang-kadang dapat diberikan obat-obatan
yang dapat membantu menurunkan gerakan-gerakan abnormal. Obat yang
sering digunakan termasuk golongan antikolinergik, bekerja dengan
menurunkan aktivitas acetilkoline yang merupakan bahan kimia messenger
yang akan menunjang hubungan antar sel otak dan mencetuskan terjadinya
kontraksi otot. Obat-obatan antikolinergik meliputi trihexyphenidyl,
benztropine dan procyclidine hydrochloride.
2. Terapi Bedah
Pembedahan sering direkomendasikan jika terjadi kontraktur berat dan
menyebabkan masalah pergerakan berat.
a. Teknik pembedahan Selektif dorsal root rhizotomy, ditujukan untuk
menurunkan spastisitas pada otot tungkai dengan menurunkan jumlah
stimulasi yang mencapai otot tungkai melalui saraf. Dalam prosedur
tersebut, dokter berupaya melokalisir dan memilih untuk memotong saraf
yang terlalu dominan yang mengontrol otot tungkai.
b. Teknik pembedahan Eksperimental meliputi stimulasi kronik cerebellar
dan stereotaxic thalamotomy. Pada stimulasi kronik cerebelar, elektroda
ditanam pada permukaan cerebelum yang merupakan bagian otak yang
bertanggung jawab dalam koordinasi gerakan, dan diguanakan untuk
menstimulasi saraf-saraf cerebellar, dengan harapan bahwa teknik tersebut
dapat menurunkan spastisitas dan memperbaiki fungsi motorik, stereotaxic
thalamotomy meliputi memotong bagian thalamus, yang merupakan bagian
yang melayani penyeluran pesan dari otot dan organ sensoris. Hal ini efektif
hanya untuk menurunkan tremor hemiparesis. 14,15
F.Prognosis
Beberapa faktor sangat menentukan prognosis, tipe klinis CP, derajat kelambatan
yang tampak pada saat diagnosis ditegakan, adanya refleks patologis, dan yang sangat
pentig adalah derajat defisit intelegensi, sensorik, dan emosional. Tingkat kognisi sulit
ditentukan pada anak kecil dengan gangguan motorik, tetapi masih mungkin diukur.
Tingkat kognisi sangat berhubungan dengan tingkat fungsi mental yang akan sangat
menentukan kualitas hidup seseorang.
Anak-anak dengan hemiplegia tetapi tidak menderita maslah utama lainnya selalu
dapat berjalan pada usia 2 tahun, kegunan short brace hanya dibutuhkan sementara
saja. Adanya tangan yang kecil pada sisi yang hemiplegi, dengan kuku ibu jari yang
lebih runcing dibanding dengan kuku lainnya, dapat diasosiasikan dengan disfungsi
sensoris parietalis dan defek sensori tersebut akan membatasi kemampuan motorik
halus pada tangan tersebut. 25% anak dengan hemiplegia akan mengalami
hemianopsia, karena hal ini anak sebaiknya diberi tempat duduk dikelas untuk
memaksimalkan fungsi visus.kejang dapat merupakan maslah yang terjadi pada anak
yang hemiplegi.
Lebih dari 50% anak-anak dengan spatik diplegia dapat belajar berjalan tersering
pada usia 3 tahun, tetapi tetap menunjukan gait abnormal, dan beberapa kasus
membutuhkan alat bantu sperti kruk. Aktivitas tangan secara umum akan terkena
derajat yang berbeda, walaupun kerusakan yang terjadi minimal. Abnormal gerakan
ekstraokuler relatif sering dijumpai.
Anak dengan spastik quadriplegia, 25% membutuhkan perawatan total, paling
banyak 3% yang dapat berjalan, biasanya setelah usia 3 tahun. Fungsi intelektual
seiring dengan derajat CP dan terkenanya otot bulbar akan menambah kesulitan yang
sudah ada. Hipotonia trunkus, dengan refleks patologis atau kekakuan yang persisten
merupakan gambaran yang menunjukan buruknya keadaan. Mayoritas anak-anak
tersebut memiliki limitasi intelektual.
Sebagian besar anak yang tidak memiliki masalah lain yang serius yang
berhubungan dengan spastisitas tipe athetoid kadang-kadang dapat berjalan.
Keseimbangan dan penggunaan kemampuan tangan tampaknya masih sulit. Sebagian
besar anak-anak yang baru duduk pada usia 2 tahun dapat belajar berjalan. Sebaliknya,
anak-anak yang masih menunjukan moro refleks, tonik neck refleks asimetris,
kecenderungan ekstensi, dan tidak menunjukan refleks parasut tidak mungkin dapat
belajar berjalan, sebagian dari mereka yang tidak dapat duduk pada usia 4 tahun dapat
belajar berjalan. 15,18
G.Pencegahan
a. Pencegahan terhadapan cedera kepala dengan cara menggunakan alat
pengaman pada saat duduk di kendaraan dan helm pelindung kepala saat
bersepeda, dan eliminasi kekerasan fisik pada anak.
b. Penanganan ikterus neonatorum yang cepat dan tepat pada bayi baru lahir
dengan fototerapi, atau jika tidak mencukupi dapat dilakukan transfusi
tukar. Inkompatibilitas faktor rhesus mudah diidentifikasi dengan
pemeriksaan darah rutin ibu dan bapak. Inkompatibiltas tersebut tidak
selalu menimbulkan masalah pada kehamilan pertama, karena secara
umum tubuh ibu hamil tersebut belum memproduksi antibodi yang tidak
diinginkan hingga saat persalinan. Pada sebagian kasus, serum khusus yang
diberikan setelah kelahiran dapat mencegah produksi antibodi tersebut.
Pada kasus yang jarang, misalnya pada ibu hamil antibodi tersebut
berkembang selama kehamilan pertama atau produksi antibodi tidak
dicegah, maka perlu pengamatan secara cermat perkembangan bayi dan
jika perlu dilakukan transfusi ke bayi selama dalam kandungan atau
melakukan transfusi tukar setelah lahir.
Rubella atau campak jerman dapat dicegah dengan memeberikan imunisasi sebelum
hamil. Sebagai tambahan, sangat baik untuk melakukan eliminasi merokok, konsumsi
alkohol, dan penyalahgunaan obat. 18
DAFTAR PUSTAKA