Oleh:
Nadya Marsha Fitri Yulistya
030.11.206
Pembimbing:
dr. Achmad Rizky Herda, Sp.U
DAFTAR ISI....................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
2.1 DEFINISI......................................................................................................2
2.2 EPIDEMIOLOGI..........................................................................................4
2.3 PATOFISIOLOGI..........................................................................................8
2.6 TATALAKSANA..........................................................................................14
2.8 KOMPLIKASI..............................................................................................19
2.9 PROGNOSIS................................................................................................19
2.10 PENCEGAHAN..........................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
Hiperplasia Prostat Benigna merupakan suatu penyakit yang biasa terjadi. Ini di lihat
dari frekuensi terjadinya BPH di dunia, di Amerik secara umum dan di Indonesia secara
khususnya. Di indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua setelah
penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan hampir 50 persen
pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun, dengan kini usia harapan hidup mencapai 65
tahun ditemukan menderita penyakit BPH ini. Selanjutnya, 5 persen pria Indonesia sudah
masuk ke dalam lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat, dari 200 juta lebih
bilangan rakyat indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yang berusia 60
tahun dan ke atas adalah kira-kira seramai 5 juta, maka dapat secara umumnya dinyatakan
bahwa kira-kira 2.5 juta pria Indonesia menderita penyakit BPH ini.1
Kelenjar prostat membesar, memanjang kearah depan ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran keluar urin, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hidroureter.2 Penyebab
BPH belum diketahui secara pasti, tetapi sampai saat ini berhubungan dengan proses penuaan
yang mengakibatkan penurunan kadar hormon pria, terutama testosteron. Hormon
Testosteron dalam kelenjar prostat akan diubah menjadi Dihidrotestosteron (DHT). DHT
inilah yang kemudian secara kronis merangsang kelenjar prostat sehingga membesar.3
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan
menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk
dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala prostatismus.4
Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) merupakan gejala saluran kemih bagian bawah
yang biasanya terjadi pada populasi usia lanjut. LUTS dapat memberikan efek negatif untuk
kesehatan sehubungan dengan kualitas hidup penderita dan membutuhkan biaya perawatan
kesehatan yang tinggi. Banyak faktor yang dapat menyebabkan LUTS pada pria. Salah satu
penyebab yang paling sering menyebabkan LUTS pada pria lanjut usia adalah Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH).5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam
beberapa daerah atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona
preprostatik sfringter dan zona anterior. Secara histopatologik kelenjar prostat terdiri atas
komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma ini terdiri atas otot polos, fibroblast,
pembuluh darah, saraf dan kelenjar penyangga yang lain. Sebagian besar hyperplasia prostat
terdapat pada zona transisional; sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal zona
perifer.
a.) Zona perifer : sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar
prostat. Zona ini rentat terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal karsinoma
terbanyak.
b.) Zona sentral : lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus
tengah meliputi 25% massa glandular prostat. Zona ini resisten terhadap inflamasi.
c.) Zona transisional : zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai
kelenjar preprostatik. Meskipun bagian terkecil dari prostat, yaitu kurang lebih 5% tetapi
dapat melebar bersama jaringan stroma fibromuskular anterior menjadi benign prostatic
hyperplasia (BPH)
d.) Zona fibromuskuler anterior atau ventral : sesuai dengan lobus anterior, tidak memiliki
kelenjar dan terdiri atas stroma fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.
e.) Zona periuretra : bagian ini terdiri dari duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar
abortif tersebar sepanjang segmen uretra proksimal.
2.3 Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan
menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk
dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali
pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran
balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya jatuh ke
dalam gagal ginjal.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah, WHO
menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut Skor
Internasional Gejala Prostat atau IPSS (International Prostatic Symptom Score). Sistem
skoring IPSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS)
dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang
menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.
Dari skor IPSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
- Ringan : skor 0-7
- Sedang : skor 8-19
- Berat : skor 20-35
Timbulnya gejala LUTS merupakan menifestasi kompensasi otot vesica urinaria untuk
mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot vesica urinaria akan mengalami kepayahan
(fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi
urin akut.
International Prostatic Symptom Score
Pemeriksaan pencitraan(4)
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu
saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk
menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat
b. Pielografi Intravena (IVP)
Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai filling defect/indentasi prostat pada dasar
kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata
kail (hooked fish). Dapat pula mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun
ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit (trabekulasi,
divertikel atau sakulasi buli buli). Foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu
urin.
c. Sistogram retrograde
Memberikan gambaran indentasi pada pasien yang telah dipasang kateter karena
retensi urin.
d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
Deteksi pembesaran prostat dengan mengukur residu urin
e. MRI atau CT scan
Jarang dilakukan. Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan
bermacam macam potongan
Pemeriksaan lain
Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran ditentukan oleh daya
kontraksi otot detrusor, tekanan intravesika, resistensi uretra. Angka normal laju
pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20
ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 8 ml/detik
dengan puncaknya sekitar 11 15 ml/detik.
Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak
dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot
detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan
pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram.
Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat
diukur.
Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat
sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang
masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat)
dengan membuat foto post voiding atau USG.
2.6 Penatalaksanaan
Terapi BPH dapat berkisar dari watchful waiting di mana tidak diperlukan teknologi
yang canggih dan dapat dilakukan oleh dokter umum, hingga terapi bedah minimal invasif
yang memerlukan teknologi canggih serta tingkat keterampilan yang tinggi. Berikut ini akan
dibahas penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah
konvensional, dan terapi minimal invasif5.
Watchful Waiting
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan (skor IPSS 3)
1. Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam agar
mengurangi nokturia.
2. Menghindari obat-obat parasimpatolitik (mis: dekongestan).
3. Mengurangi kopi.
4. Melarang minum minuman alkohol agar tidak terlalu sering buang air kecil.
Penderita dianjurkan untuk kontrol setiap tiga bulan untuk diperiksa: skoring,
uroflowmetri, dan TRUS.
5. Bila terjadi kemunduran, segera diambil tindakan.
Terapi Medikamentosa
Pilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa). Terdapat tiga
macam terapi dengan obat yang sampai saat ini dianggap rasional, yaitu dengan penghambat
adrenergik a-1, penghambat enzim 5a reduktase, dan fitoterapi4.
Penghambat adrenergik a-1
Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor a-1 yang banyak ditemukan pada otot
polos ditrigonum, leher buli-buli, prostat, dan kapsul prostat. Dengan demikian, akan terjadi
relaksasi di daerah prostat sehingga tekanan pada uretra pars prostatika menurun dan
mengurangi derajat obstruksi. Obat ini dapat memberikan perbaikan gejala obstruksi relatif
cepat.
Efek samping dari obat ini adalah penurunan tekanan darah yang dapat menimbulkan
keluhan pusing (dizziness), lelah, sumbatan hidung, dan rasa lemah (fatique). Pengobatan
dengan penghambat reseptor a-1 masih menimbulkan beberapa pertanyaan, seperti berapa
lama akan diberikan dan apakah efektivitasnya akan tetap baik mengingat sumbatan oleh
prostat makin lama akan makin berat dengan tumbuhnya volume prostat. Contoh obat:
prazosin, terazosin dosis 1 mg/hari, dan dapat dinaikkan hingga 2-4 mg/hari. Tamsulosin
dengan dosis 0.2-0.4 mg/hari2.
Penghambat enzim 5a reduktase
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim 5a reduktase, sehingga testosteron tidak
diubah menjadi dehidrotestosteron. Dengan demikian, konsentrasi DHT dalam jaringan
prostat menurun, sehingga tidak akan terjadi sintesis protein. Obat ini baru akan memberikan
perbaikan simptom setelah 6 bulan terapi. Salah satu efek samping obat ini adalah
menurunnya libido dan kadar serum PSA2. Contoh obat : finasteride dosis 5 mg/hari.
Kombinasi penghambat adrenergik a- 1 dan penghambat enzim 5a reduktase
Terapi kombinasi penghambat adrenergik a-1 dan penghambat enzim 5a reduktase
pertama kali dilaporkan oleh Lepor dan kawan-kawan pada 1996. Terdapat penurunan skor
dan peningkatan Qmax pada kelompok yang menggunakan penghambat adrenergik a-1.
Namun, masih terdapat keraguan mengingat prostat pada kelompok tersebut lebih kecil
dibandingkan kelompok lain. Penggunaan terapi kombinasi masih memerlukan penelitian
lebih lanjut.
Fitoterapi
Terapi dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan poluler diberikan di Eropa dan baru-baru ini
di Amerika. Obat-obatan tersebut mengandung bahan dari tumbuhan seperti Hypoxis
rooperis, Pygeum africanum, Urtica sp, Sabal serulla, Curcubita pepo, Populus temula,
Echinacea purpurea, dan Secale cerelea. Masih diperlukan penelitian untuk mengetahui
efektivitas dan keamanannya.
Terapi Bedah Konvensional
PenatalaksanaanIndikasi managemen operasi adalah penurunan fungsi ginjal dan
gejala-gejala lain yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Karena derajat obstruksi berjalan
dengan lambat pada kebanyakan pasien, terapi konservatif dapat juga adekuat. Obat-obatan
yang merelaksasi kapsul prostat dan spinter internal (-adrenergic blocking agent) atau yang
menurunkan volume prostat (5 -reductase inhibitor atau antiadrogen) telah dicoba dengan
tingkat keberhasilan yang cukup tinggi.
Microwave hyperthermia
Memanaskan jaringan adenoma melalui alat yang dimasukkan melalui uretra atau rektum
sampai suhu 42-45oC sehingga diharapkan terjadi koagulasi.
Intraurethral stent
Adalah alat yang secara endoskopik ditempatkan di fosa prostatika untuk mempertahankan
lumen uretra tetap terbuka. Dilakukan pada pasien dengan harapan hidup terbatas dan tidak
dapat dilakukan anestesi atau pembedahan
2.8 Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat menimbulkan
a. Inkontinensia Paradoks
b. Batu Kandung Kemih
c. Hematuria
d. Sistitis
e. Pielonefritis
f. Retensi Urin Akut Atau Kronik
g. Refluks Vesiko-Ureter
h. Hidroureter
i. Hidronefrosis
j. Gagal Ginjal
KomplikasiObstruksi dan residual urin menyebabkan infeksi pada VU dan prostat dan
kadang-kadang menyebabkan pyelonephritis; ini mungkin sulit untuk dihilangkan.Obstruksi
juga dapat menyebabkan terjadinya divertkel VU. Infeksi residual urin berperan terhadap
pembentukan batu (calculi). Obstruksi fungsional pada intravesical ureter, disebabkan oleh
hipertropi trigonum, dapat menyebabkan hydroureteronephrosis.
2.9 Prognosis
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu
walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki
prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat. Menurut penelitian,
kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomer 2 pada pria setelah kanker paru-paru.7
BPH yang telah diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan
bagi penderita.
BAB III
KESIMPULAN
Hiperplasia kelenjar prostat merupakan masalah yang cukup sering pada laki-laki
seiring dengan bertambahnya usia, dimana teori mengenai bagaimana hal tersebut dapat
terjadi banyak yang mengatakan berhubungan dengan hormonal. Penegakan diagnosis
sangatlah penting dari gejala pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang
ditemukan.
Penatalaksanaan BPH berdasarkan skor IPSS dan penatalaksanaan berdasarkan
tingkat keparahan gejala dan kualitas hidup sehingga tatalaksana dapat berupa watchful
waiting, medikamentosa, terapi bedah konvensional, dan terapi minimal invasif.
Penatalaksanaan serta pencegahan ini bertujuan untuk meminimalkan gejala dan
memperbaiki kualitas hidup pada penderita.
DAFTAR PUSTAKA
1. Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta : EGC.
5. Umbas R, Manuputty D, Sukasah CL, Swantari NM, Achmad IA, Bowolaksono, et al.
Saluran kemih dan alat kelamin laki-laki.In: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W,
Prasetyono TOH, Rudiman R, Editors. Buku ajar ilmu bedah. 3rd ed. Jakarta:Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2012.p.899-903.
6. McConnel JD. Epidemiology, etiology, pathophysiology and diagnosis of benign
prostatic hyperplasia. In :Wals PC, Retik AB, Vaughan ED, Wein AJ. Campbells
urology. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1998.p.1429-52.
7. Schwartz, dkk, (2000). Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom Shires
dkk, EGC: Jakarta.