Anda di halaman 1dari 22

HIPERPLASIA PROSTAT BENIGNA

Oleh:
Nadya Marsha Fitri Yulistya
030.11.206

Pembimbing:
dr. Achmad Rizky Herda, Sp.U

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti


Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Karawang

Periode 01 Agustus 07 Oktober 2016


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................2

2.1 DEFINISI......................................................................................................2

2.2 EPIDEMIOLOGI..........................................................................................4

2.3 PATOFISIOLOGI..........................................................................................8

2.4 MANIFESTASI KLINIS..............................................................................9

2.5 PEMERIKSAAN FISIK & PENUNJANG...................................................11

2.6 TATALAKSANA..........................................................................................14

2.7 DIAGNOSIS BANDING..............................................................................18

2.8 KOMPLIKASI..............................................................................................19

2.9 PROGNOSIS................................................................................................19

2.10 PENCEGAHAN..........................................................................................20

BAB III KESIMPULAN.................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
Hiperplasia Prostat Benigna merupakan suatu penyakit yang biasa terjadi. Ini di lihat
dari frekuensi terjadinya BPH di dunia, di Amerik secara umum dan di Indonesia secara
khususnya. Di indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua setelah
penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan hampir 50 persen
pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun, dengan kini usia harapan hidup mencapai 65
tahun ditemukan menderita penyakit BPH ini. Selanjutnya, 5 persen pria Indonesia sudah
masuk ke dalam lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat, dari 200 juta lebih
bilangan rakyat indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yang berusia 60
tahun dan ke atas adalah kira-kira seramai 5 juta, maka dapat secara umumnya dinyatakan
bahwa kira-kira 2.5 juta pria Indonesia menderita penyakit BPH ini.1

Kelenjar prostat membesar, memanjang kearah depan ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran keluar urin, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hidroureter.2 Penyebab
BPH belum diketahui secara pasti, tetapi sampai saat ini berhubungan dengan proses penuaan
yang mengakibatkan penurunan kadar hormon pria, terutama testosteron. Hormon
Testosteron dalam kelenjar prostat akan diubah menjadi Dihidrotestosteron (DHT). DHT
inilah yang kemudian secara kronis merangsang kelenjar prostat sehingga membesar.3
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan
menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk
dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala prostatismus.4

Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) merupakan gejala saluran kemih bagian bawah
yang biasanya terjadi pada populasi usia lanjut. LUTS dapat memberikan efek negatif untuk
kesehatan sehubungan dengan kualitas hidup penderita dan membutuhkan biaya perawatan
kesehatan yang tinggi. Banyak faktor yang dapat menyebabkan LUTS pada pria. Salah satu
penyebab yang paling sering menyebabkan LUTS pada pria lanjut usia adalah Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH).5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi prostat


Kelenjar prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli di
depan rectum dan mempungkus uretra posterior. Prostat merupakan kelenjar aksesori terbesar
pada pria, bentuknya sebesar buah kemiri dengan tebalnya 2,5 cm dan panjangnya
3 cm dengan lebarnya 4 cm, dan berat normal pada orang dewasa 20 gram.

Gambar 1. Anatomi prostat

Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular yang terbagi dalam
beberapa daerah atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona
preprostatik sfringter dan zona anterior. Secara histopatologik kelenjar prostat terdiri atas
komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma ini terdiri atas otot polos, fibroblast,
pembuluh darah, saraf dan kelenjar penyangga yang lain. Sebagian besar hyperplasia prostat
terdapat pada zona transisional; sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal zona
perifer.
a.) Zona perifer : sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar
prostat. Zona ini rentat terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal karsinoma
terbanyak.
b.) Zona sentral : lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus
tengah meliputi 25% massa glandular prostat. Zona ini resisten terhadap inflamasi.
c.) Zona transisional : zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai
kelenjar preprostatik. Meskipun bagian terkecil dari prostat, yaitu kurang lebih 5% tetapi
dapat melebar bersama jaringan stroma fibromuskular anterior menjadi benign prostatic
hyperplasia (BPH)
d.) Zona fibromuskuler anterior atau ventral : sesuai dengan lobus anterior, tidak memiliki
kelenjar dan terdiri atas stroma fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.
e.) Zona periuretra : bagian ini terdiri dari duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar
abortif tersebar sepanjang segmen uretra proksimal.

Gambar 2. Zona-zona prostat


Batas-batas prostat:
1. Batas superior : basis prostat melanjutkan diri sebagai kolum vesika urinaria, otot
polos berjalan tanpa terputus dari satu organ ke organ yang lain.
2. Batas inferior : apex prostat terletat pada permukaan atas diafragma urogenitalis.
Uretra meninggalkan prostat tepat diatas apex permukaan anterior.
3. Anterior : permukaan anterior prostat berbatasan dengan simphisis pubis, dipisahkan
dari simphisis oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat pada cavum retropubica
(cavum retziuz). Selubung fibrosa prostat dihubungkan dengan permukaan posterior
os pubis dan logamentum puboprostatica. Ligamentum ini terletak pada pinggir
tengah dan merupakan kondensasi vascia pelvis.
4. Posterior : permukaan posterior prostat berhubungan erat dengan permukaan anterior
ampula recti dan dipisahkan darinya oleh septum retrovesicalis (vascia
Denonvillier). Septum ini dibentuk pada masa janin oleh fusi dinding ujung bawah
excavation rectovesicalis peritonealis, yang semula menyebar ke bawah menuju
corpus perinealis.
5. Lateral : permukaan lateral prostat terselubung oleh serabut anterior m.levator ani
waktu serabut ini berjalan ke posterior dari os pubis. Duktus ejakulatorius
menembus bagian atas permukaan prostat untuk bermuara pada uretra pars
prostatika pada pinggir lateral orificium utriculus prostaticus.
Aliran darah prostat merupakan percabangan dari arteri pudenda interna, arteri vesikalis
inferior dan arteri rektalis media. Pembuluh ini bercabang-cabang dalam kapsula dan stroma,
dan berakhir sebagai jala-jala kapiler yang berkembang baik dalam lamina propria. Pembuluh
vena mengikuti jalannya artei dan bermuara ke pleksus sekeliling kelenjar. Pleksus vena
mencurahkan isinya ke vena iliaka interna. Pembuluh limfe mulai sebagai kapiler dalam
stroma dan mengikuti pembuluh darah dan mengikuti pembuluh darah. Limfe terutama
dicurahkan ke nodus iliaka interna dan nodus sakralis.
Persarafan prostat berasal dari pleksus hipogastrikus inferior dan membentuk pleksus
prostatikus. Prostas mendapat persarafan terutama dari serabut saraf tidak bermielin.
Beberapa serat ini berasal dari sel ganglion otonom yang terletak di kapsula dan di stroma.
Serabut motoris, mungkin terutama simpatis, tampak mempersarafi sel-sel otot polos di
stroma dan kapsula sama seperti dinding pembuluh darah.
Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersama-sama sekret dari
vesikula seminalis merupakan komponen utama dari cairan semen. Semen berisi sejumlah
asam sitrat sehingga pH nya agak asam (6,5). Selain itu dapat ditemukan enzim yang bekerja
sebagai fibrinolisin yang kuat, fosfatase asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat
dikeluarkan selama ejakulasi melalui kontraksi otot polos. Kelenjar prostat juga
menghasilkan cairan dan plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan
cairan vesikula seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh
Androgen Bodies dan dapat dihentikan dengan pemberian stilbestrol.
2.2 Hiperplasia prostat benigna
2.2.1 Definisi
Hiperplasia prostat benigna (Benign prostate hyperplasi BPH) merupakan tumor
jinak yang paling sering terjadi pada laki-laki. BPH adalah pembesaran jinak kelenjar
prostat disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi
jaringan kelenjar/jaringan fobromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars
prostatika.

Gambar 3. Prostat normal dan pembesaran prostat


2.2.2 Epidemiologi
BPH merupakan penyakit pada laki-laki usia diatas 50 tahun yang sering dijumpai.
Karena letak anatominya yang mengelilingi uretra, pembesaran dari kelenjar prostat akan
menekan lumen uretra yang menyebabkan sumbatan dari aliran kandung kemih.
Signifikan meningkat dengan meningkatnya usia. Pada pria berusia 50 tahun angka
kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka
tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.
Di Indonesia BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran kemih dan
diperkirakan di temukan pada 50% pria berusia diatas 50 tahun dengan angka harapan
hidup rata-rata di Indonesia yang sudah mencapai 65 tahun dan diperkirakan bahwa lebih
kurang 5% pria indinesia sudah berumur 60 tahun atau lebih. Kalau dihitung dari seluruh
penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih, kira-kira 100 juta terdiri dari pria, dan
yang berumur 60 tahun atau lebih kira-kira 5 juta, sehingga diperkirakan ada 2,5 juta laki-
laki Indonesia yang menderita BPH.
2.2.3 Etiologi
pertumbuhan kelenjar ini sangat bergantung pada hormon testosterone, yang di
dalam sel kelenjar prostat, hormon ini akan dirubah menjadi metabolit aktif
dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5 -reduktase. DHT inilah yang secara
langsung memacu m-RNA di dalam sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth
factor yang memacu pertumbuhan dan proliferasi sel kelenjar prostat.
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hyperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar DHT dan proses aging. Beberapa hipotesis yang
diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah :
1. Teori Dihidrotestosteron
DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel kelenjar
prostat. DHT dihasilkan dari reaksi perubahan testosterone di dalam sel prostat oleh
enzim 5 -reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk
berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel
dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan
sel prostat.

Gambar 4. Perubahan testosterone menjadi dihidrotestosteron


Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5 -
reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan
sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak
dibandingkan dengan prostat normal.

2. Adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron


Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun, sedangkan kadar estrogen
relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testosterone relatif meningkat.
Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi
sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap
rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua
keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan
testosterone menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih
panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.
3. Interaksi stroma-epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh
sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan
autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan
terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
4. Berkurangnya kematian sel prostat (apoptosis)
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan
fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis
oleh sel-sel di sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa,
penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebaban jumlah
sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan
pertambahan massa prostat.
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti faktor-faktor yang menghambat
proses apoptosis. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat proses
kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian
sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat,
sedangkan faktor pertumbuhan TGF berperan dalam proses apoptosis.

5. Teori stem sel


Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru.
Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat terganung pada
keberadaan hormon androgen, sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti yang
terjadi pada kastrasi, menyebabkan apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi
yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

2.3 Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan
menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk
dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala prostatismus.
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali
pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran
balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya jatuh ke
dalam gagal ginjal.

Gambar 5. Patofisiologi BPH


Obstruksi yang diakibatkan oleh hyperplasia prostat benigna tidak hanya disebabkan
oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh
tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-
buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus.
Gambar 6. Komplikasi-komplikasi BPH
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Kalau pada
prostat normal rasio stroma disbanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH, rasio meningkat
menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot polos prostat
dibandingkan dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat menyebabkan onstruksi
komponen statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai
penyebab obstruksi prostat.

2.4 Manifestasi Klinis


Gejala hyperplasia prostat menurut Boyarsky, dkk (1977) dibagi atas gejala obstruktif
dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan karena penyempitan uretra pars prostatika
karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi
cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala-gejalanya antara
lain1:
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying)
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga
factor, yaitu:
a. Volume kelenjar periuretral
b. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
c. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna pada
saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran
prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun
belum penuh., gejalanya ialah1 :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)

Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah, WHO
menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut Skor
Internasional Gejala Prostat atau IPSS (International Prostatic Symptom Score). Sistem
skoring IPSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi (LUTS)
dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan 5, sedangkan keluhan yang
menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.
Dari skor IPSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
- Ringan : skor 0-7
- Sedang : skor 8-19
- Berat : skor 20-35
Timbulnya gejala LUTS merupakan menifestasi kompensasi otot vesica urinaria untuk
mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot vesica urinaria akan mengalami kepayahan
(fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi
urin akut.
International Prostatic Symptom Score

Pertanyaan Jawaban dan skor


Tidak 50 Hampir
Keluhan pada bulan terakhir <20% <50% >50%
sekali % selalu

a. Adakah anda merasa buli-


buli tidak kosong setelah 0 1 2 3 4 5
berkemih

b. Berapa kali anda berkemih


0 1 2 3 4 5
lagi dalam waktu 2 menit

c. Berapa kali terjadi arus urin


0 1 2 3 4 5
berhenti sewaktu berkemih

d. Berapa kali anda tidak


dapat menahan untuk 0 1 2 3 4 5
berkemih

e. Beraapa kali terjadi arus


lemah sewaktu memulai 0 1 2 3 4 5
kencing

f. Berapa keli terjadi bangun


tidur anda kesulitan memulai 0 1 2 3 4 5
untuk berkemih

g. Berapa kali anda bangun


0 1 2 3 4 5
untuk berkemih di malam hari
Jumlah nilai :
0 = baik sekali 3 = kurang
1 = baik 4 = buruk
2 = kurang baik 5 = buruk sekali
2.5 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE) sangat penting.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani,
reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam
rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan6:
a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
b. Simetris/ asimetris
c. Adakah nodul pada prostate
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostate
f. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti
meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan
pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus
prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas
kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit
pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi
retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia.
Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain
yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra
anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus

2.5.1 Pemeriksaan Penunjang6


Pemeriksaan Laboratorium
Darah
Ureum, kreatinin, elektrolit, Blood urea nitrogen, Prostate Specific Antigen
(PSA), Gula darah
Urine
Kultur urin dan test sensitifitas, urinalisis dan pemeriksaan mikroskopis,
sedimen
Laboratory FindingsUrinalisa dapat memberikan bukti adanya infeksi. Residual urin
biasanya meningkat (> 50 cc), dan waktu laju aliran urin akan menurun ( 10 ng/mL, kanker
harus dicurigai (normal < 4 ng/mL). Serum alkaline phosphatase biasanya meningkat jika
tumor telah menyebar ke tulang.Prostatitis akut dapat menyebabkan gejal-gejala obstruksi,
tetapi pasien biasanya mengalami infeksi saluran kemih (ISK) atau bisa dalam sepsis. Prostat
terasa nyeri terutama dengan penekanan meskipun secara halus.Striktur uretra mengurangi
kaliber pancaran urin. Biasanya terdapat riwayat gonorrhea atau trauma lokal. Retrograde
urethrogram akan menunjukkan area stenosis. Striktur juga dapat menghambat pasase kateter.

Pemeriksaan pencitraan(4)
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu
saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk
menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat
b. Pielografi Intravena (IVP)
Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai filling defect/indentasi prostat pada dasar
kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata
kail (hooked fish). Dapat pula mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun
ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit (trabekulasi,
divertikel atau sakulasi buli buli). Foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu
urin.
c. Sistogram retrograde
Memberikan gambaran indentasi pada pasien yang telah dipasang kateter karena
retensi urin.
d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
Deteksi pembesaran prostat dengan mengukur residu urin
e. MRI atau CT scan
Jarang dilakukan. Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan
bermacam macam potongan
Pemeriksaan lain
Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran ditentukan oleh daya
kontraksi otot detrusor, tekanan intravesika, resistensi uretra. Angka normal laju
pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20
ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 8 ml/detik
dengan puncaknya sekitar 11 15 ml/detik.
Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak
dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot
detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan
pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram.
Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat
diukur.
Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat
sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang
masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat)
dengan membuat foto post voiding atau USG.

2.6 Penatalaksanaan
Terapi BPH dapat berkisar dari watchful waiting di mana tidak diperlukan teknologi
yang canggih dan dapat dilakukan oleh dokter umum, hingga terapi bedah minimal invasif
yang memerlukan teknologi canggih serta tingkat keterampilan yang tinggi. Berikut ini akan
dibahas penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi bedah
konvensional, dan terapi minimal invasif5.

Watchful Waiting
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan (skor IPSS 3)
1. Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam agar
mengurangi nokturia.
2. Menghindari obat-obat parasimpatolitik (mis: dekongestan).
3. Mengurangi kopi.
4. Melarang minum minuman alkohol agar tidak terlalu sering buang air kecil.
Penderita dianjurkan untuk kontrol setiap tiga bulan untuk diperiksa: skoring,
uroflowmetri, dan TRUS.
5. Bila terjadi kemunduran, segera diambil tindakan.
Terapi Medikamentosa
Pilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa). Terdapat tiga
macam terapi dengan obat yang sampai saat ini dianggap rasional, yaitu dengan penghambat
adrenergik a-1, penghambat enzim 5a reduktase, dan fitoterapi4.
Penghambat adrenergik a-1
Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor a-1 yang banyak ditemukan pada otot
polos ditrigonum, leher buli-buli, prostat, dan kapsul prostat. Dengan demikian, akan terjadi
relaksasi di daerah prostat sehingga tekanan pada uretra pars prostatika menurun dan
mengurangi derajat obstruksi. Obat ini dapat memberikan perbaikan gejala obstruksi relatif
cepat.
Efek samping dari obat ini adalah penurunan tekanan darah yang dapat menimbulkan
keluhan pusing (dizziness), lelah, sumbatan hidung, dan rasa lemah (fatique). Pengobatan
dengan penghambat reseptor a-1 masih menimbulkan beberapa pertanyaan, seperti berapa
lama akan diberikan dan apakah efektivitasnya akan tetap baik mengingat sumbatan oleh
prostat makin lama akan makin berat dengan tumbuhnya volume prostat. Contoh obat:
prazosin, terazosin dosis 1 mg/hari, dan dapat dinaikkan hingga 2-4 mg/hari. Tamsulosin
dengan dosis 0.2-0.4 mg/hari2.
Penghambat enzim 5a reduktase
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim 5a reduktase, sehingga testosteron tidak
diubah menjadi dehidrotestosteron. Dengan demikian, konsentrasi DHT dalam jaringan
prostat menurun, sehingga tidak akan terjadi sintesis protein. Obat ini baru akan memberikan
perbaikan simptom setelah 6 bulan terapi. Salah satu efek samping obat ini adalah
menurunnya libido dan kadar serum PSA2. Contoh obat : finasteride dosis 5 mg/hari.
Kombinasi penghambat adrenergik a- 1 dan penghambat enzim 5a reduktase
Terapi kombinasi penghambat adrenergik a-1 dan penghambat enzim 5a reduktase
pertama kali dilaporkan oleh Lepor dan kawan-kawan pada 1996. Terdapat penurunan skor
dan peningkatan Qmax pada kelompok yang menggunakan penghambat adrenergik a-1.
Namun, masih terdapat keraguan mengingat prostat pada kelompok tersebut lebih kecil
dibandingkan kelompok lain. Penggunaan terapi kombinasi masih memerlukan penelitian
lebih lanjut.
Fitoterapi
Terapi dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan poluler diberikan di Eropa dan baru-baru ini
di Amerika. Obat-obatan tersebut mengandung bahan dari tumbuhan seperti Hypoxis
rooperis, Pygeum africanum, Urtica sp, Sabal serulla, Curcubita pepo, Populus temula,
Echinacea purpurea, dan Secale cerelea. Masih diperlukan penelitian untuk mengetahui
efektivitas dan keamanannya.
Terapi Bedah Konvensional
PenatalaksanaanIndikasi managemen operasi adalah penurunan fungsi ginjal dan
gejala-gejala lain yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Karena derajat obstruksi berjalan
dengan lambat pada kebanyakan pasien, terapi konservatif dapat juga adekuat. Obat-obatan
yang merelaksasi kapsul prostat dan spinter internal (-adrenergic blocking agent) atau yang
menurunkan volume prostat (5 -reductase inhibitor atau antiadrogen) telah dicoba dengan
tingkat keberhasilan yang cukup tinggi.

Penatalaksanaan prostatitis kronik adalah untuk mengurangi gejala. Resolusi dari


komplikasi sistitis biasanya akan dapat tercapai. Dalam rangka melindungi tonus vesikal,
pasien sebaiknya diperingatkan agar segera BAK ketika terjadi urgensi. Memaksa cairan urin
keluar dalam waktu yang pendek menyebabkan pengisian VU yang cepat, dan menurunkan
tonus vesikal; ini adalah penyebab umum dari retensi urin akut dan oleh sebab itu harus
dihindari. Pasien-pasien dengan gejala obstruksi urin sebaiknya menghindari pemakaian obat
flu termasuk antihistamin, karena juga dapat menyebabkan retensi urin. Terapi konservatif ini
hanya sementara menolong.Kateterisasi diharuskan untuk retensi urin akut. BAK spontan
dapat kembali normal, tetapi kateter sebaiknya dibiarkan terpasang selam 3 hari sementara
tonus detrusor kembali normal. Jika ini gagal, terapi konservatif atau operatif diindikasikan.

Open simple prostatectomy


Indikasi untuk melakukan tindakan ini adalah bila ukuran prostat terlalu besar, di atas 100
gram, atau bila disertai divertikulum atau batu buli-buli. Dapat dilakukan dengan teknik
transvesikal atau retropubik. Operasi terbuka memberikan morbiditas dan mortalitas yang
lebih tinggi daripada TUR-P1-2.

Terapi Invasif Minimal


Transurethral resection of the prostate (TURP)
Prinsip TURP adalah menghilangkan bagian adenomatosa dari prostat yang menimbulkan
obstruksi dengan menggunakan resektoskop dan elektrokauter. Sampai saat ini, TURP masih
merupakan baku emas dalam terapi BPH. Sembilan puluh lima persen prostatektomi dapat
dilakukan dengan endoskopi. Komplikasi jangka pendek adalah perdarahan, infeksi,
hiponatremia (sindrom TUR), dan retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang
adalah struktur uretra, ejakulasi retrograd (75%), inkontinensia (<1%),>3.

Microwave hyperthermia
Memanaskan jaringan adenoma melalui alat yang dimasukkan melalui uretra atau rektum
sampai suhu 42-45oC sehingga diharapkan terjadi koagulasi.

Trans urethral needle ablation (TUNA)


Alat yang dimasukkan melalui uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat mengeluarkan 2
jarum yang dapat menusuk adenoma dan mengalirkan panas, sehingga terjadi koagulasi
sepanjang jarum yang menancap di jaringan prostat.

Intraurethral stent
Adalah alat yang secara endoskopik ditempatkan di fosa prostatika untuk mempertahankan
lumen uretra tetap terbuka. Dilakukan pada pasien dengan harapan hidup terbatas dan tidak
dapat dilakukan anestesi atau pembedahan

Transurethral baloon dilatation


Dilakukan dengan memasukkan kateter yang dapat mendilatasi fosa prostatika dan leher
kandung kemih. Prosedur ini hanya efektif bila ukuran prostat kurang dari 40 g, sifatnya
sementara, dan jarang dilakukan lagi.

2.7 Diagnosis Banding


Pada pasien dengan keluhan obstruksi saluran kemih di antaranya:
1. Struktur uretra
2. Kontraktur leher vesika
3. Batu buli-buli kecil
4. Kanker prostat
5. Kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik yang menggunakan
obat-obat parasimpatolitik.
Pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih, dapat disebabkan oleh :
1. Instabilitas detrusor
2. Karsinoma in situ vesika
3. Infeksi saluran kemih
4. Prostatitis
5. Batu ureter distal
6. Batu vesika kecil.

2.8 Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat menimbulkan
a. Inkontinensia Paradoks
b. Batu Kandung Kemih
c. Hematuria
d. Sistitis
e. Pielonefritis
f. Retensi Urin Akut Atau Kronik
g. Refluks Vesiko-Ureter
h. Hidroureter
i. Hidronefrosis
j. Gagal Ginjal
KomplikasiObstruksi dan residual urin menyebabkan infeksi pada VU dan prostat dan
kadang-kadang menyebabkan pyelonephritis; ini mungkin sulit untuk dihilangkan.Obstruksi
juga dapat menyebabkan terjadinya divertkel VU. Infeksi residual urin berperan terhadap
pembentukan batu (calculi). Obstruksi fungsional pada intravesical ureter, disebabkan oleh
hipertropi trigonum, dapat menyebabkan hydroureteronephrosis.

2.9 Prognosis
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu
walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki
prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat. Menurut penelitian,
kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomer 2 pada pria setelah kanker paru-paru.7
BPH yang telah diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan
bagi penderita.
BAB III
KESIMPULAN

Hiperplasia kelenjar prostat merupakan masalah yang cukup sering pada laki-laki
seiring dengan bertambahnya usia, dimana teori mengenai bagaimana hal tersebut dapat
terjadi banyak yang mengatakan berhubungan dengan hormonal. Penegakan diagnosis
sangatlah penting dari gejala pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang
ditemukan.
Penatalaksanaan BPH berdasarkan skor IPSS dan penatalaksanaan berdasarkan
tingkat keparahan gejala dan kualitas hidup sehingga tatalaksana dapat berupa watchful
waiting, medikamentosa, terapi bedah konvensional, dan terapi minimal invasif.
Penatalaksanaan serta pencegahan ini bertujuan untuk meminimalkan gejala dan
memperbaiki kualitas hidup pada penderita.
DAFTAR PUSTAKA
1. Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta : EGC.

2. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. 3rd ed. Jakarta:Sagung seto;2012.p.125-44.


3. Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC

4. Long, Barbara C. (2006). Perawatan Medikal Bedah. Volume 1. (terjemahan).


Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran: Bandung.

5. Umbas R, Manuputty D, Sukasah CL, Swantari NM, Achmad IA, Bowolaksono, et al.
Saluran kemih dan alat kelamin laki-laki.In: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W,
Prasetyono TOH, Rudiman R, Editors. Buku ajar ilmu bedah. 3rd ed. Jakarta:Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2012.p.899-903.
6. McConnel JD. Epidemiology, etiology, pathophysiology and diagnosis of benign
prostatic hyperplasia. In :Wals PC, Retik AB, Vaughan ED, Wein AJ. Campbells
urology. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1998.p.1429-52.
7. Schwartz, dkk, (2000). Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Editor : G. Tom Shires
dkk, EGC: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai