Anda di halaman 1dari 20

Referat

EUTHANASIA

Oleh :
Wulan Palilingan
15014101208

Masa KKM : 27 Juli – 02 Agustus 2020

Pembimbing :
dr. Djemi Tomuka, SH, DFM

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul

EUTHANASIA

Telah dibacakan, dikoreksi dan disetujui pada Agustus 2020

Oleh:
Wulan Palilingan
15014101208

Masa KKM : 27 Juli – 02 Agustus 2020

Telah dibacakan dan disetujui pada tanggal Agustus 2020

Mengetahui,
Pembimbing :

dr. Djemi Tomuka, SH, DFM

i
BAB I
PENDAHULUAN
.

kemajuan teknologi di Negara Indonesia sebagai negara berkembang dalam

menyongsong milenium baru ini, menjadi penyebab terjadinya perubahan - perubahan di

berbagai bidang khususnya dalam hal ini di bidang medis. Dengan perkembangan diagnosa suatu

penyakit dapat lebih sempurna dilakukan dan pengobatan penyakit juga dapat berlangsung

dengan cepat.

Perkembangan teknologi dibidang medis dengan harapan agar dokter diberi kesempatan

untuk mengobati pasien sebagai upaya bagi pasien untuk sembuh menjadi lebih besar, tetapi

seringkali menimbulkan kesulitan di kalangan dokter sendiri. Tugas seorang dokter adalah untuk

menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi

dan jika hal itu diteruskan maka kadang akan menambah penderitaan seorang pasien.

Penghentian pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk euthanasia.1

Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia

(Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendiri

sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan hal ini masih menjadi

perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak

setuju tentang euthanasia.2

Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap

manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal

ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan

2
dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat

melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak

membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri

hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa

diganggu gugat oleh manusia.2

Pada dasarnya tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur

dalam pasal 344 Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP). Di Negara-negara Eropa

(Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui

legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan

euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar

euthanasia bisa dilakukan. 2

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu kata “euthanathos”.“Eu” berarti baik
sedangkan “thanathos” berarti kematian. Secara etimologis, euthanasia dapat diartikan
kematian yang baik atau bahagia, atau pembunuhan karena belas kasihan. Dalam arti aslinya
(Yunani), kata ini lebih berpusat pada cara seseorang mati yakni dengan hati yang tenang
dan damai, namun bukan pada percepatan kematian. Sedangkan menurut Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia, euthanasia dapat
diartikan dalam tiga hal yaitu: 3
1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan tanpa penderitaan.
2. Waktu hidup akan berakhir, penderitaan pasien diperingan dengan memberi obat
penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas permintaan pasien
sendiri atau keluarganya.

Oxford English Dictionary merumuskan euthanasia sebagai kematian yang lembut dan
nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak
tersembuhkan. Sedangkan dalam kamus kedokteran Dorland, euthanasia mengandung dua
pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan
dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang
tidak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan sengaja.3

Terdapat sejumlah pengertian tentang euthanasia, antara lain sebagai berikut:1


1. Plato
Euthanasia adalah mati dengan tenang dan baik.
2. Gezondheidsraad ( Belanda )
Euthanasia adalah perbuatan yang dengan sengaja memperpendek hidup ataupun
dengan sengaja tidak berbuat untuk memperpanjang hidup demi kepentingan pasien
oleh seorang dokter atau bawahannya yang bertanggung jawab padanya.

4
3. Van Hattum
Euthanasia adalah sikap mempercepat proses kematian pada penderita – penderita
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dengan melakukan atau tidak melakukan
suatu tindakan medis, dengan maksud untuk membantu korban menghindarkan diri
dari penderitaan dalam menghadapi kematiannya dan untuk membantu keluarganya
menghindarkan diri melihat penderitaan korban dalam menghadapi saat
kematiannya.

Euthanasia dalam arti yang lebih sempit dipahami sebagai mercy killing yaitu
membunuh karena belas kasihan, entah untuk mengurangi penderitaan, entah terhadap
anak cacat, atau orang sakit yang tak tersembuhkan. Tindakan itu dilakukan agar hidup
yang dianggap tidak bahagia itu janganlah diperpanjang dan menjadi beban pada
keluarga dan masyarakat.4

2. Jenis – Jenis Euthanasia


A. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui intervensi aktif
oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia. Euthanasia aktif
dibagi menjadi euthanasia aktif langsung dan tidak langsung.
 Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tidakan medik secara terarah yang
untuk mengakhiri hidup pasien atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini
dikenal juga sebagai mercy killing.
 Euthanasia aktif tidak langsung adalah dimana dokter atau tenaga kesehatan
melakukan tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui
adanya resiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.4
B. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah memutuskan untuk tidak mengambil tindakan atau tidak
melakukan terapi. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya, terapi dihentikan atau
tidak dilanjutkan karena tidak ada biaya, tidak ada alat ataupun terapi tidak berguna lagi.
Pada intinya menghentikan terapi yang telah dimulai dan terapi yang sedang berlangsung.
C. Euthanasia voluntary

5
Euthanasia volunteer adalah euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien sendiri
dan dilakukan secara sadar. 4
D. Euthanasia involunteer
Euthanasia involunteer adalah euthanasia yang dilakukan tanpa permintaan atau
persetujuan dari pasien.4
E. Euthanasia Non-volunteer
Euthanasia yang dilakukan pada pasien yang tidak dapat membuat keputusan.4

3. Obat – Obat yang digunakan untuk Euthanasia


Obat euthanasia menyebabkan kematian dengan tiga mekanisme dasar:5
a. Hipoksia langsung atau tidak langsung.
b. Depresi langsung pada saraf-saraf yang penting untuk fungsi kehidupan.
c. Mengganggu aktivitas otak dan merusak saraf-saraf yang penting untuk kehidupan.

Obat-obat yang menginduksi kematian dengan hipoksia secara langsung ataupun tidak
langsung, dapat bekerja pada berbagai tempat dan menyebabkan hilangnya kesadaran.
Untuk kematian tanpa rasa sakit, hilangnya kesadaran harus mendahului hilangnya
aktivitas motorik. Tetapi, hilangnya aktivitas motorik tidak dapat disamakan dengan
hilangnya kesadaran dan tidak ada penderitaan. Obat yang menginduksi paralisis otot
tanpa hilangnya kesadaran tidak diterima sebagai satu-satunya obat euthanasia, misalnya
relaksan otot depolarisasi dan nondepolarisasi, striknin, nikotin, dan garam magnesium.5
Obat-obat anestesi yang menekan sel saraf otak, menyebabkan hilangnya kesadaran
kemudian dapat berlanjut ke kematian. Obat-obat ini melepaskan inhibisi ke aktivitas
motorik selama stadium awal anestesi, dan menyebabkan fase delirium atau eksitasi,
dimana mungkin terdapat vokalisasi dan beberapa kontraksi otot. Kematian mengikuti
hilangnya kesadaran diakibatkan oleh henti jantung dan/atau hipoksemia akibat depresi
pusat pernapasan.5
Kerusakan fisik pada aktivitas otak disebabkan oleh gegar otak sedangkan kerusakan
langsung pada otak atau depolarisasi elektrik pada saraf menyebabkan hilangnya
kesadaran dengan cepat. Kematian terjadi karena kerusakan pusat otak bagian tengah

6
yang mengontrol aktivitas jantung dan pernapasan. Aktivitas otot yang berlebihan dapat
mengikuti hilangnya kesadaran namun tidak terasa menyakitkan.5

Obat Inhalasi
Euthanasia dengan obat inhalasi membutuhkan beberapa waktu karena obat yang
diinhalasi harus mencapai konsentrasi tertentu pada alveolus untuk menimbulkan efek.
Euthanasia dengan inhalasi membutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk mempercepat
hilangnya kesadaran. Beberapa obat dapat menyebabkan konvulsi, tetapi umumnya
diikuti oleh hilangnya kesadaran. Obat yang lebih menyebabkan konvulsi tidak
dipergunakan untuk euthanasia. Yang patut diperhatikan adalah peningkatan
konsentrasi obat alveolar melambat pada pernapasan yang menurun, sehingga
diperlukan metode euthanasia yang lain.5
Obat-obat inhalasi untuk anastesi telah banyak digunakan untuk euthanasia.
(misalnya halotan, eter, metoksifluran, isofluran, sevofluran, desfluran, dan enfluran)
 Halotan menginduksi anestesi dengan cepat dan merupakan anestesi inhalasi paling
efektif untuk euthanasia.
 Eter memiliki kelarutan yang tinggi dalam darah dan menginduksi anestesi dengan
lambat. Eter menyebabkan risiko yang tinggi sehubungan dengan sifatnya yang mudah
terbakar dan meledak.
 Metoksifluran bersifat sangat larut dan memperlambat induksi anestesi dengan
penggunaannya yang dapat disertai dengan agitasi.
 Isofluran lebih kurang larut dibanding halotan dan dapat menginduksi anestesi lebih
cepat. tetapi memiliki aroma yang tajam dan menyebabkan napas agak tertahan, sehingga
memperlambat onset hilangnya kesadaran. Halotan lebih disukai dibandingkan dengan
isofluran untuk euthanasia.
 Sevofluran kurang larut dibandingkan dengan halotan dan tidak memiliki bau yang tidak
menyenangkan. Potensinya lebih kurang dibandingkan isofluran dan halotan dan
memiliki tekanan uap yang lebih rendah. Konsentrasi anestesi dapat dicapai dan
dipertahankan dengan cepat.
 Desfluran saat ini merupakan anestesi inhalasi dengan kelarutan paling rendah tetapi
uapnya berbau sangat tajam yang dapat memperlambat induksi. Obat ini sangat bersifat

7
volatil sehingga dapat menggantikan oksigen dan menginduksi hipoksemia selama
induksi jika oksigen tambahan tidak tersedia.
 Enfluran lebih kurang larut dalam darah dibandingkan halotan, tetapi karena tekanan uap
dan potensinya yang lebih rendah, laju induksi dapat sama dengan halotan. Dalam
kondisi anestesi yang dalam, enfluran dapat menyebabkan kejang.5
Euthanasia dapat dilakukan dengan pemberian gas non-anestetik. Contohnya
adalah penggunaan zat karbon dioksiada secara inhalasi. Udara dalam ruangan
mengandung 0.04% karbon dioksida (CO2). Inhalasi CO2 pada konsentrasi 7.5%
meningkatkan ambang batas rangsang nyeri, dan pada konsentrasi yang lebih tinggi,
CO2 memiliki efek anestesi yang cepat.
Pada konsentrasi 30% hingga 40% CO2 dalam O2, anestesi terinduksi dalam 1
hingga 2 menit, biasanya tanpa kesusahan, dan muntah. Waktu untuk hilangnya
kesadaran semakin cepat pada konsentrasi CO2 yang lebih tinggi. Waktu untuk
hilangnya kesadaran akan lebih lama jika konsentrasi gas dinaikkan secara perlahan
dibandingkan langsung memberikan konsentrasi penuh. Beberapa ilmuan telah
melaporkan bahwa inhalasi CO2 berkonsentrasi tinggi dapat menyebabkan rasa sakit,
karena gas asam karbonat yang dihasilkan oleh CO2 dapat merangsang saraf
nosireseptor pada mukosa nasal.5
Nitrous oksida (N2O) dapat digunakan dengan obat inhalasi lain untuk
mempercepat onset anestesi. Jika hanya menggunakan N2O, bahkan pada konsentrasi
100%, tidak dapat menginduksi anestesi, dan dapat menyebabkan henti jantung dan
henti napas, sehingga menyebabkan penderitaan sebelum hilangnya kesadaran. Selain
itu ada penelitian yang menggunakan karbon monoksida (CO) untuk euthanasia dalam
percobaan pada hewan yang berukuran kecil. 5
Anestesi inhalasi dapat diberikan dengan kasa yang dibasahkan dengan jumlah
anestesi yang sesuai, atau dapat dengan menggunakan vaporizer. Penggunaan
vaporizer dihubungkan dengan waktu induksi yang lebih lambat, dimana uapnya di
inhalasi hingga pernapasan berhenti dan kematian tiba. Karena hampir semua anestesi
inhalasi yang berada pada fase cair menyebabkan iritasi, maka penggunaan vaporizer
lebih disukai. Untuk mencegah hipoksemia, oksigen yang cukup harus tersedia selama
periode induksi.5

8
Obat Non inhalasi
Metode yang paling cepat dan dapat diandalkan untuk euthanasia adalah
penggunaan obat injeksi untuk euthanasia. Metode ini dapat dilakukan tanpa
menimbulkan rasa tertekan atau rasa takut.
 Asam Barbiturat
Barbiturat menekan sistem saraf pusat dengan urutan yang menurun, mulai dari
korteks serebral, dengan hilangnya kesadaran berlanjut ke anestesi. Dengan dosis yang
berlebih, anestesi yang dalam berlanjut ke fase apneu yang menunjukkan penekanan
pusat pernapasan, yang diikuti oleh henti jantung. Semua turunan asam barbiturat yang
digunakan unuk anestesi diberikan secara intravena. Onset kerja yang cepat dan
hilangnya kesadaran yang diinduksi oleh barbiturat menghasilan nyeri minimal atau
transies yang dihubungkan dengan venipuncture. Barbiturat yang digunakan bersifat
poten, dgn waktu kerja yang lama, stabil dalam larutan, dan murah. Natrium
pentobarbital sangat sesuai dengan kriteria ini dan paling banyak digunakan secara
luas, selain itu sekobarbital juga dapat digunakan. Keuntungan barbiturat yang
terutama adalah onset kerja yang cepat, menginduksi euthanasia dengan lembut, dan
tidak mahal dibandingkan obat euthanasia yang lain.5
 Kombinasi Pentobarbital
Beberapa jenis agen euthanasia diformulasikan untuk mencakup turunan asam
barbiturat (biasanya natrium pentobarbital), dengan penambahan agen anestesi lokal
atau agen yang dapat memetabolisasi pentobarbital. Kombinasi ini tercantum oleh
DEA sebagai obat golongan III, membuat mereka lebih mudah untuk didapatkan,
dibeli, dan digunakan dibanding obat golongan II misalnya natrium pentobarbital.
Sifat farmakologi dan penggunaan kombinasi antara natrium pentobarbital dengan
lidokain atau dengan fenitoin dapat digantikan dengan turunan asam barbiturat murni.
Dosis yang digunakan adalah tiga kali dosis anestesi yaitu sekitar 85mg/kg sampai 200
mg/kg.5
 Kloral hidrat
Kloral hidrat menekan serebrum dengan lambat. Kematian disebabkan oleh
hipoksemia yang disebabkan dari penekanan progresif pada pusat pernapasan dan
dapat didahului oleh megap-megap, spasme otot, dan vokalisasi. 5

9
4. Euthanasia dalam persepektif Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari dokter sebagai pelaku
utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan
berencana atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Dalam aspek hukum,
dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat
latar belakang yang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak peduli apakah tindakan
tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya dan untuk mengurangi
penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum
diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi
seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup dan bukan
menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat
oleh pasal-pasal dalam undang-undang yang terdapat dalam KUHP pidana.
Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain 338, 340, 344,
345, 359. Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara
lain pasal 1313, 1314, 1315, dan 1319 KUH Perdata. Secara formal, tindakan euthanasia
di Indonesia belum memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan
terjadinya penuntutan hukum terhadap euthanasia yang dilakukan.2,6
Aspek hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup damai dan sebagainya.
Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati justru
dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum
euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya,
dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung
seharusnya tersirat adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari
segala ketidaknyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.2,6

5. Pandangan Ilmu Pengetahuan Terhadap Euthanasia


Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam
tiga jenis:
1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah,
2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar,
3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak

10
dengan pertolongan dokter,
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya
tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien.
Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan
kesembuhan atau pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan
haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya. Segala upaya yang dilakukan akan sia-
sia bahkan sebaliknya dapat dituduh sebagai suatu kebohongan karena di samping tidak
membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan
dana.2,6

6. Pandangan Agama Terhadap Euthanasia


 Agama Kristen Katolik dan agama Hindu
Pada agama Katolik Roma tidak mendukung tindakan bunuh diri sama halnya
dengan Hindu yang turut melarang tindakan bunuh diri. Menurut kepercayaan agama
Hindu, jika seseorang melakukan bunuh diri, dia tidak akan pergi ke neraka ataupun
surga. Tetapi akan tetap dibumi sebagai roh jahat dan mengembara tanpa tujuan. Satu
pengecualian dalam bunuh diri agama Hindu adalah mempraktekkan prayopavesa
atau puasa sampai mati. Prayopavesa tidak dihubungkan dengan bunuh diri karena
dianggap alami, tidak merugikan, dan hanya diterima karena mengandung nilai
spiritual.4

 Agama Islam
Dalam hal masalah euthanasia ini, para tokoh Islam Indonesia sangat menentang
dilakukannya euthanasia. Namun diantara sekian banyak ulama yang menantang
euthanasia ini, ada beberapa ulama yang mendukungnya. Para ulama telah sepakat
bahwa apapun alasannya, apabila tindakan itu berupa euthanasia aktif, yang berarti
suatu tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang bersangkutan masih
menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan, Islam mengharamkannya. Sedangkan
terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum
pidana, maupun para ulama sepakat membolehkannya. Bagi mereka yang tidak setuju
dengan tindakan euthanasia lebih melihat pada alasan dan perdebatan klasik. Mereka

11
percaya bahwa yang berhak menentukan kematian itu hanyalah Allah SWT. Tugas
manusia hanya berikhtiar.
Seorang dokter yang melakukan euthanasia bisa saja diajukan ke pengadilan
karena tuduhan membunuh, sekalipun tindakan tersebut dilakukan berdasarkan
permintaan pasien. Tetapi kelompok yang mana menyetujui praktek euthanasia ini
lebih melihat pada sisi maslahat dan keadaan yang menuntut. Seorang penderita
secara kronis, hanyalah akan terus menderita tanpa bisa disembuhkan. Satu-satunya
cara untuk meringankan beban pasien dalam kondisi semacam itu adalah memberikan
kepadanya kematian yang damai (mercy killing).7

 Agama Budha
Agama Budha memiliki ajaran yang sangat menekankan kepada makna dari
kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup
merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan hal tersebut, maka
tampak bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan
dalam ajaran agama Budha. Selain hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan
pada belas kasih. Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah
merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian
dapat menjadi “karma” negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan
keputusan untuk menghentikan kehidupan.4

7. Euthanasia di berbagai Negara

Euthanasia di Indonesia
Dalam hukum pidana di Indonesia, secara yuridis formal hanya dikenal satu
bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien atau
korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam
pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan:”Barang siapa
merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang secara jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun”.

12
Bertolak dari ketentuan pasal 344 KUHP, dapat disimpulkan bahwa pembunuhan
atas permintaan korban sekalipun, tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan
demikian, dalam konteks hukum di Indonesia, euthanasia tetap dianggap sebagai
perbuatan yang dilarang dan tidak mungkin dilakukan pengakhiran hidup seseorang
sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap didiskualifikasi
sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi
siapa yang melanggar larangan tersebut.
Di dalam himpunan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (Konsil
Kedokteran Indonesia) Bab III tentang bentuk pelanggaran disiplin kedokteran,
nomor 12 yang dibuat berdasarkan fatwa IDI nomor 231/PB/4/7/1990 dan World
Medical Association : Declaration of Euthanasia (Madrid, 1987) yang menyatakan
bahwa : “Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehupan pasien atas
permintaan sendiri atau keluarganya” merupakan salah satu bentuk pelanggaran
disiplin kedokteran.
Bertolak dari peraturan Konsil Kedokteran Indonesia tersebut, setiap dokter tidak
dibenarkan melakukan perbuatan yang bertujuan mengakhiri kehidupan manusia,
karena selain bertentangan dengan sumpah kedokteran dan atau etika kedokteran dan
atau tujuan profesi kedokteran, juga bertentangan dengan aturan hukum pidana. Pada
kondisi sakit mencapai keadaan terminal, dimana segala upaya kedokteran kepada
pasien merupakan kesia-siaan (futile) menurut State of the Art (SOTA) ilmu
kedokteran, maka dengan persetujuan pasien dan atau keluarga dekatnya, dokter
dapat menghentikan pengobatan, akan tetapi tetap memberikan perawatan yang layak
(ordinary care). Dalam keadaan tersebut, dokter dianjurkan untuk berkonsultasi
dengan sejawatnya atau komite etik rumah sakit bersangkutan.
Dalam Declaration of Ganewa kewajiban dokter telah tercantum yang merupakan
hasil musyawarah Ikatan Dokter se-dunia di Ganewa pada bulan September 1948.
Didalam deklarasasi ini, terdapat beberapa hal, khusus untuk Indonesia, pernyataan
semacam ini secara tegas telah dicantumkan dalam kode etik Kedokteran Indonesia,
yang mulai berlaku sejak tanggal 29 Oktober 1968 berdasarkan surat keputusan
Menteri Kesehatan RI tentang pernyataan berlakunya kode etik kedokteran Indonesia,
tertanggal 23 Oktober 1969. Kode etik kedokteran Indonesia ini dibuat berdasarkan

13
peraturan Menteri Kesehatan RI tanggal 30 Agustus 1969 No. 55/WSKN/1969.
Dalam bab II pasal 9 dari Kode Etik Kedokteran Indonesia tersebut, dinyatakan
bahwa: “Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi
hidup makhluk insani”. Dan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, tertanggal 19
April 2002, pasal 7d yang berbunyi:”Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup makhluk insani”.
Karena naluri terkuat dari manusia adalah mempertahankan hidupnya dan ini juga
termasuk salah satu tugas seorang dokter, maka menurut Kode Etik Kedokteran
Indonesia, dokter tidak diperbolehkan:
1. Menggugurkan kandungan
2. Mengakhiri hidup seorang pasien, yang menurut ilmu dan pengalamannya
tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Dengan demikian, berarti di negara manapun didunia ini, seorang dokter
mempunyai kewajiban untuk menghormati setiap insan mulia saat terjadinya
pembuahan, sesuai yang diatur didalam lafal sumpah dokter. Dalam hal ini berarti
pula bahwa bagaimanapun gawatnya sakit seorang pasien, setiap dokter tetap harus
melindungi dan mempertahankan pasien itu walaupun sebenarnya sudah tidak dapat
disembuhkan lagi atau sudah dalam keadaan sekarat berbulan-bulan lamanya. Oleh
sebab itu, para dokter di Indonesia yang terhimpun dalam Ikatan Dokter Indonesia
(IDI), menganut paham bahwa hidup dan mati bukan merupakan hak dari manusia,
melainkan hak dari Tuhan Yang Maha Esa (TYME) dan melakukan tindakan
euthanasia melanggar sumpah Hipocrates yang pernah diucapkan para dokter.1,2,8,9

Euthanasia di Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory sesungguhnya menjadi tempat pertama
di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski
reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang
disebut Right of the terminally ill bill ( UU tentang hak pasien terminal ). Penetapan ini
membuat Bob Dent seorang penderita kanker prostat orang pertama yang mengakhiri
hidupnya dengan jalan euthanasia.
Kamis 2 Januari Janet Mills (52 th) mengikuti jejak Bob melakukan euthanasia
karena telah 3 tahun lamanya mengidap penyakit mycosis fungoides. Penderitaan yang

14
dialaminya berupa gatal – gatal diikuti rontoknya kulit, bau busuk, sprei yang dijadikan alas
tidur penuh darah. Undang – undang ini kemudian beberapa kali dipraktekkan, tetapi
bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik
Kembali.3
Hukum di Australia memperbolehkan euthanasia dalam beberapa hal yaitu: 10
a. Hak pasien untuk meminta tindakan eutanasia
b. Hak untuk permintaan keputusan dibuat dengan melibatkan pihak-pihak yang
terkait
c. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan kondisi pasien mendukung dalam
pembuatan keputusan
d. Keadaan kejiwaan dan mental dari keluarga pasien
e. Perawatan yang cukup untuk pasien mencakup pemeriksaan fisik dan psikiatri
f. Ada ansuransi yang berkualitas
g. Diberikan dukungan dalam psikososial, dimana pasien mengetahui dengan
benar tentang keputusannya
h. Memastikan bahwa dari pihak keluarga tidak menolak dan tidak mengadu
dalam proses pemeriksaan pasien.

Euthanasia di Belgia dan Belanda

Belgia menyetujui draf RUU euthanasia berdasarkan persetujuan dari parlemen,


untuk mengundangkan praktik itu. Kars Veling, anggota Senat dari Partai Kristen Bersatu,
mengakui kalangan agama tidak menyetujui undang- undang ini. Euthanasia,kata Veling,
bukanlah sesuatu yang dipaksakan pada orang, akan tetapi hanyalah sebuah opsi, pilihan
terakhir, bagi mereka yang secara medis sudah tidak mempunyai harapan hidup lagi. 3

Suatu penelitian yang pernah dilakukan oleh Brian Pollard di Belanda pada
tahun 1991, menemukan sedikitnya 25.000 kali setiap tahun dilakukan pembunuhan
secara medis. Angka itu adalah 20 % dari seluruh kematian di Negeri Belanda. 14.500
dari kematian medis di atas merupakan euthanasia yang diandaikan atau dipaksakan. Pada
tahun yang sama sebuah dewan Belanda mendapatkan bahwa 27 % dari seluruh dokter di
Belanda pernah melakukan euthanasia tanpa permintaan apapun dari pasien. Berhadapan
dengan rekomendasi mengenai euthanasia di Belanda, yang meskipun dilarang oleh

15
hokum perundang – undangan, namun hal ini dilindungi oleh serangkaian keputusan
pengadilan dan Mahkamah Agung, serta secara luas dianggap legal, atau lebih tepat
gedoeken. Gedoekan dinyatakan sebagai tindakan toleransi sehingga dapat melindungi
seorang dokter bila melakukan euthanasia, bila :3

1) Permintaan pasien harus bersifat sukarela;

2) Pasien berada dalam penderitaan yang tidak dapat ditolerir;

3) Semua alternatif untuk meringankan penderitaan yang bisa diterima oleh pasien,
telah dicoba;

4) Pasien mempunyai informasi lengkap / cukup ( the right to die in dignity );

5) Dokter telah berkonsultasi dengan dokter kedua, yang penilaiannya


diharapkan independen.

8. Tinjauan Kedokteran Mengenai Euthanasia

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter
harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi
tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya
sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum
dan agama. Pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan
dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi
dalam menjalankan profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan: mengakhiri
kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan
sembuh lagi (euthanasia), Mengenai euthanasia, dapat digunakan dalam tiga arti :
a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan
b. Waktu hidup akan berakhir , diringankan penderitaan si sakit dengan
memberikan obat penenang
c. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang yang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.1,2,9
16
Berdasarkan pengertian diatas maka euthanasia mengandung unsur unsur sebagai
berikut: 1,9
a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian atau tidak memperpanjang hidup
pasien.
c. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan
d. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya
e. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.

Penghentian tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang


berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal
itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain
itu harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, keluarga pasien, dan kualitas hidup
terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan
euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan
mengakhiri hidup pasien.1,9

BAB III

17
PENUTUP

Perawatan dan pendampingan dibutuhkan oleh pasien maupun bagi pihak keluarga.
Perhatian dan kasih sayang sangat diperlukan bagi penderita sakit terminal, bukan lagi kebutuhan
fisik, tetapi lebih pada kebutuhan psikis dan emosional, sehingga baik secara langsung maupun
tidak kita dapat membantu pasien menyelesaikan persoalan-persoalan pribadinya dan kemudian
hari siap menerima kematian penuh penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Hukum yang berlaku di Indonesia belum memberikan ruang bagi euthanasia, baik
euthanasia aktif maupun euthanasia pasif. Tanpa harus mengesampingkan pendapat lain,
kesimpulan normatif ini urgen untuk disampaikan mengingat berbagai hal. Pertama, munculnya
permintaan tindakan medis euthanasia hakikatnya menjadi indikasi, betapa masyarakat sedang
mengalami pergeseran nilai kultural. Kelompok pro-euthanasia mungkin akan menentang
pendapat ini dengan menggunakan argumen quality of life.

DAFTAR PUSTAKA

18
1. Almatsier, Merdias. Dkk. Himpunan Peraturan Tentang Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia. Jakarta 2006.
2. Rohim, Abdal. Euthanasia Perspektif Medis dan Hukum Pidana Indonesia.
3. Zainafree, Intan. Euthanasia (Dalam Perspektif Etika dan Moralitas). KEMAS – Volume
4 No.2. Januari-Juni 2009
4. Darji, JA, Dr. et all. Euthanasia: Most Controversial and debatable topic. NJIRM. 2011. P
94-97
5. Modes of action euthanatizing agenst. In: AVMA Guiddelines on Euthanasia. AVMA.
2007. p.5-11
6. Dickens, Elizabeth. et all. Psycological perpectives on euthanasia and the terminally ill.
The Australian Psycological society. 2008. p.2,12-13.
7. Rada, Arifin. Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Islam. Perspektif Volume XVIII No.2.
Mei 2013
8. Lafal Sumpah Dokter. Peraturan Pemerintah 26/1960. Jakarta 1960.
9. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran
Indonesia. Majelis kehormatan etik kedokteran Indonesia Ikatan Dokter Indonesia.
Jakarta 2002. Hal 40-45
10. Voluntary Euthanasia and New Zealand. Parlementary Library 2003. p.15.

19

Anda mungkin juga menyukai