Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Istilah Euthanasia secara etimologis, berasal dari kata Yunani yaitu eu dan thanatos
yang berarti “mati yang baik” atau “mati dalam keadaan tenang atau senang”. Dalam
bahasa inggris sering disebut Marc Killing, sedangkan menurut “Encyclopedia American
mencantumkan Euthanasia ISSN the practice of ending life in other to give release from
incurable sufferering”. Di Belanda disebutkan bahwa Euthanasia adalah dengan sengaja
tidak melakukan suatu usaha (nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau
sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang
pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri.
Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang
lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan
tak tersembuhkan”. Kemudian menurut kamus Kedokteran Dorland Euthanasia
mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit.
Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati,pengakhiran kehidupan seseorang yang
menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati
dan disengaja.

1. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Euthanasia ?
2. Sebutkan macam-macam Euthanasia ?
3. Jelaskan perkembangan Euthanasia di Indonesia ?
4. Bagaimana pengaturan Euthanasia di Indonesia ?
5. Jelaskan penerapan Euthanasia diberbagai negara ?
6. Jelaskan pengertian etik, prinsip-prinsip etik daan dilema etik ?
7. Jelaskan contoh kasus euthanasia ?

2. Tujuan Masalah
1. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan Euthanasia.
2. Untuk mengetahui macam-macam Euthanasia.
3. Untuk mengetahui perkembangan Euthanasia di Indonesia.

1
4. Untuk memahami bagaimana pengaturan Euthanasia di Indonesia.
5. Untuk mengetahui dan memahami penerapan Euthanasia diberbagai negara
6. Untuk mengetahui pengertian etik, prinsip-prinsip etik dan dilema etik
7. Untuk mengetahui contoh kasus dari euthanasia

2
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Euthanasia


Beberapa rumusan tentang Euthanasia antara lain sebagai berikut:
1. Philo : “Euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik”
2. Suetonis : “Euthanasia berarti mati cepat tanpa derita”
3. Hilman : “Euthanasia berarti pembunuhan tanpa penderitaan”
4. Gezondheidsraad Belanda : Euthanasia adalah perbuatan yang dengan sengaja
memperpendek hidup ataupun dengan sengaja tidak berbuat untuk memperpanjang
hidup demi kepentingan pasien oleh seorang dokter atau bawahannya yang
bertanggungj awab padanya.
5. Van Hattum : “Euthanasia adalah sikap mempercepat proses kematian pada
penderita-penderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan melakukan atau
tidak melakukan suatu tindakan medis, dengan maksud untuk membantu korban
menghindarkan diri dari penderitaan dalam menghadapi kematiannya dan untuk
membantu keluarganya menghindarkan diri melihat penderitaan korban dalam
menghadapi saat kematiannya.
Dapat disimpulkan bahwa pengertian Euthanasia adalah suatu usaha, tindakan dan
bantuan yangdilakukan oleh seorang dokter untuk dengan sengaja mempercepat kematian
seseorang, yang menurut perkiraannya sudah hampir mendekati kematian, dengan tujuan
untuk meringankan atau membebaskannya dari penderitaannya. Euthanasia juga tidak
hanya suatu tindakan mengakhiri hidup seorang pasien yang sangat menderita saja,
melainkan juga sikap diam, tidak melakukan upaya untuk memperpanjang hidupnya dan
membiarkannya mati tanpa adanya upaya pengobatan. Definisi euthanasia sedikitnya
mencakup tiga kemungkinan, yaitu :
1. Memperbolehkan (membiarkan) seseorang mati;
2. Kematian karena belas kasihan;
3. Mencabut nyawa seseorang karena belas kasihan.
Memperbolehkan seseorang mati mengandung pengertian tentang adanya suatu

3
kenyataan, bahwa segala macam usaha penyembuhan terhadap penyakit seseorang, sudah
tidak ada manfaatnya lagi. Secara medis usaha penyembuhan tersebut tidak ada hasilnya
yang positif, bahkan dalam keadaan tertentu ada kemungkinan pengobatan tersebut justru
mengakibatkan bertambahnya penderitaan. Dalam keadaan demikian, seorang penderita
lebih baik dibiarkan meninggal dalam keadaan tenang tanpa campur tangan manusia.
Kematian karena belas kasihan merupakan suatu tindakan langsung dan disengaja
untuk mengakhiri kehidupan seseorang yang didasarkan atas izin atau permintaannya. Hal
ini disebabkan oleh kondisi penderita yang sudah tidak tahan lagi menanggung rasa sakit
yang demikian berat. Keadaan ini tentu saja tidak sama dengan memperbolehkan seseorang
mati, walaupun mungkin ada juga persamaannya. Peristiwa pencabutan nyawa seseorang
karena belas kasihan memberikan pengertian terhadap suatu tindakan yang langsung untuk
menghentikan kehidupan penderita tanpa izinnya. Tindakan ini didasarkan atas asumsi
bahwa kehidupan si penderita selanjutnya tidak ada artinya lagi. Tentu saja ada perbedaan
antara peristiwa ini dengan kematian karena belas kasihan, yaitu bahwa dalam peristiwa
yang terakhir ini tindakan dilakukan tanpa izin dan persetujuan si penderita.

2.2 Macam-macam euthanasia


Euthanasia dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, sesuai dengan dari mana sudut
pandangnya atau cara melihatnya.
1. Dilihat dari cara pelaksanaannya, euthanasia dapat dibedakan atas :
Dengan kata lain, euthanasia pasif merupakan tindakan tidak memberikan
pengobatan lagi kepada pasien terminal untuk mengakhiri hidupnya. Tindakan pada
euthanasia pasif ini dilakukan secara sengaja dengan tidak lagi memberikan bantuan medis
yang dapat memperpanjang hidup pasien, seperti tidak memberikan alat-alat bantu hidup
atau obat-obat penahan rasa sakit, dan sebagainya.Penyalahgunaan euthanasia pasif biasa
dilakukan oleh tenaga medis maupun keluarga pasien sendiri. Keluarga pasien bisa saja
menghendaki kematian anggota keluarga mereka dengan berbagai alasan, misalnya untuk
mengurangi penderitaan pasien itu sendiri atau karena sudah tidak mampu membayar biaya
pengobatan.
a) Euthanasia aktif atau euthanasia agresif
Euthanasia aktif atau euthanasia agresif adalah perbuatan yang dilakukan secara
medik melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup
manusia. Dengan kata lain, Euthanasia agresif atau euthanasia aktif adalah suatu tindakan
secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat

4
atau mengakhiri hidup si pasien. Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan
dilakukan dengan tujuan untuk mnimbulkan kematian dengan secara sengaja melalui obat-
obatan atau dengan cara lain sehingga pasien tersebut meninggal.
Euthanasia aktif ini dapat pula dibedakan atas :
 Euthanasia aktif langsung (direct)
Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannnya tindakan medis secara terarah
yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien.
Jenis euthanasia ini juga dikenal sebagai mercy killing.
 Euthanasia aktif tidak langsung (indirect)
Euthanasia aktif tidak langsung adalah saat dokter atau tenaga kesehatan
melakukan tindakan medis untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui
adanya risiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
2. Ditinjau dari permintaan atau pemberian izin, euthanasia dibedakan atas :
a. Euthanasia Sukarela (Voluntir)
Euthanasia yang dilakukan oleh tenaga medis atas permintaan pasien itu sendiri.
Permintaan pasien ini dilakukan dengan sadar atau dengan kata lain permintaa pasien
secara sadar dn berulang-ulang, tanpa tekanan dari siapapun juga.
b. Euthanasia Tidak Sukarela (Involuntir)
Euthanasia yang dilakukan pada pasien yang sudah tidak sadar. Permintaan
biasanya dilakukan oleh keluarga pasien.Ini  terjadi ketika individu tidak mampu untuk
menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental, kekurangan biaya,
kasihan kepada penderitaan pasien, dan lain sebagainya.
Sebagai contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman
untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma). Euthanasia ini seringkali
menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun
juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk
mengambil suatu keputusan, misalnya hanya seorang wali dari pasien dan mengaku
memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi pasien tersebut.

2.3 Perkembangan Euthanasia di Indonesia


Perkembangan Euthanasia di Indonesia dianggap sebagai suatu bentuk tindak
pidana, karena merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap nyawa, hal ini terbukti
dengan adanya pasal di KUHP yang berkaitan dengan Euthanasia yaitu Pasal 344 KUHP.
Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya “ketuhanan yang
5
maha esa” tidak mungkin menerima tindakan Euthanasia baik Euthanasia aktif maupun
Euthanasia pasif.
Saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral serta kesopanan
menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas permintaan
yang bersangkutan dengan nyata dan sungguh-sungguh adalah perbuatan yang tidak baik.
Terbukti dari aspek hukum Euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam
pelaksanaan Euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak secara tidak
langsung seharusnya terbesit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan
diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah merupakan hak asasi manusia,
yaitu hak yang mengalir dari hak untuk menentukan diri sendiri. Euthanasia bukan
merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi hukum yang sangat luas, baik
pidana maupun perdata. Pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP menegaskan bahwa
Euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang.

2.4 Pengaturan Euthanasia menurut hukum di Indonesia


Pengaturan Euthanasia menurut hukum di Indonesia berdasarkan kode etik
kedokteran Indonesia, seorang dokter berkewajiban mempertahankan dan memelihara
kehidupan manusia. Bagaimanapun gawatnya kondisi seorang pasien, setiap dokter harus
melindungi dan mempertahankan hidup pasien tersebut, ini berarti betapapun gawatnya
dan menderitanya seorang pasien, seorang dokter tetap tidak diperbolehkan melakukan
tindakan yang akan berakibat mengakhiri hidup atau mempercepat kematian pasien
tersebut. Pemahaman ini dapat diambil dari kode etik kedokteran Indonesia Pasal 7d
tentang kewajiban umum yang berbunyi :
“Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
mahluk insani.”
Dari pemahaman atas Pasal 7d kode etik kedokteran Indonesia tersebut dapat
dikemukakan bahwa berdasarkan etik dan moral, tindakan Euthanasia itu tidak
diperbolehkan. Dalam hubungan ini Oemar Senoadji mengemukakan:
“Menurut kode etik itu sendiri, maka di Indonesia sebagai suatu negara yang
beragama dan berpancasila kepada kekuasaan mutlak dari pada Tuhan yang Maha
Esa,sedangkan dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk
meringankan penderitaan dan memelihara hidup, tidak untuk mengakhirinya. Karenanya
tidak menginginkan Euthanasia dilakukan oleh seorang dokter karena antara lain

6
dipandang bertentangan dengan etik kedokteran itu sendiri dan merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang.”
Berdasarkan keterangan tersebut diatas jelaslah bahwa Euthanasia itu adalah suatu
perbuatan yang melanggar hukum atau merupakan suatu tindak pidana, karena
perbuatannya itu mengakibatkan matinya orang lain, maka Euthanasia itu termasuk tindak
pidana pembunuhan. Dasar hukum untuk larangan Euthanasia tercantum dalam Pasal 344
KUHP tentang membunuh seseorang atas permintaan orang tersebut.
Euthanasia terbagi menjadi dua, yaitu Euthanasia atas permintaan atau Euthanasia
sukarela, dan Euthanasia tidak atas permintaan. Euthanasia atas permintaan adalah suatu
tindakan yang dilakukan atas dasar permintaan, persetujuan atau izin dari keluarga pasien
atau pasien itu sendiri. Sedangkan Euthanasia tidak atas permintaan adalah Euthanasia
yang dilakukan oleh dokter tanpa adanya permintaan dari pasien ataupun keluarga pasien.
Jika pembagian Euthanasia ini dikaitkan dengan Pasal 344 KUHP, maka Euthanasia
sukarela atau Euthanasia atas permintaanlah yang memenuhi unsur yang terkandung dalam
Pasal 344 KUHP tersebut. R. Soesilo dalam komentar atas pasal tersebut mengemukakan :
“Permintaan untuk membunuh itu harus disebutkan dengan nyata dan sungguh-
sungguh jika tidak maka orang itu dikenakan pembunuhan biasa.”
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa apabila seorang dokter
memberikan suntikan yang mematikan kepada seorang pasien atas permintaan pasien itu
sendiri atau keluarganya, maka ia dianggap telah melakukan tindak pidana pembunuhan.
Dan ia diancam dengan hukuman penjara paling lama 12 tahun, sesuai dengan Pasal 344
KUHP, tetapi apabila ia melakukan perbuatan tersebut atas inisiatif sendiri, tanpa adanya
permintaan dari pasien atau keluarganya, maka ia dianggap melakukan tindak pidana
pembunuhan sengaja biasa dan ia dapat dikenakan hukuman penjara paling lama 15 tahun
penjara sesuai dengan ketentuan Pasal 338 KUHP, atau bahkan pembunuhan sengaja
dengan direncanakan dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup
berdasarkan Pasal 340 KUHP.
Walaupun Euthanasia itu merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
hukuman sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP, namun kenyataannya di Indonesia
sejak terbentuknya KUHP sampai sekarang belum ada kasus yang nyata dan diputus oleh
Pengadilan. Namun demikian dengan dicantumkannya Pasal 344 KUHP tersebut, pembuat
undang-undang sudah menduga bahwa Euthanasia akan terjadi di Indonesia sehingga tidak
dicantumkan didalam undang-undang yang khusus.

7
Terhambatnya kasus Euthanasia, sehingga tidak dapat sampai kepengadilan.
Menurut Djoko Prakoso disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Mungkin Euthanasia ini memang betul-betul terjadi di Indonesia, akan
tetapi kasusnya tidak pernah dilaporkan ke Polisi, sehingga sulit untuk
diadakan pengutusan lebih lanjut;
2. Mungkin juga karena keluarga si korban tidak tahu bahwa telah terjadi
kematian yang disebut sebagai Euthanasia, atau memang karena masyarakat
Indonesia ini kebanyakan masih awam terhadap hukum, apalagi yang
menyangkut permasalahan Euthanasia , yang jarang terjadi bahkan belum
pernah terjadi;
3. Alat-alat kedokteran dirumah-rumah sakit di Indonesia belum semodern
seperti dinegara-negara maju, misalnya adanya respirator, sistem organ
transplantasi dan sebagainya, yang dapat mencegah kematian seorang
pasien secara teknis untuk beberapa hari, beberapa minggu, atau beberapa
bulan.

Menurut Imron Halimy disamping tiga sebab tersebut diatas, perumusan Pasal 344
KUHP sendiri, juga menjadi penyebab kesulitan untuk mengadakan penuntutan atas kasus
Euthanasia di Pengadilan. Hal ini oleh karena unsur “atas permintaan sendiri yang
dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Yang terdapat dalam Pasal 344 KUHP tersebut,
sulit untuk dibuktikan. Sebabnya ialah karena orang yang menyatakan dengan
kesungguhan hati tersebut telah meninggal dunia. Disamping itu, kesulitan lain untuk
membuktikan adanya permintaan sendiri tersebut ialah bahwa seorang pasien kadang-
kadang berada dalam keadaan koma yang berkepanjangan. Hidup tidak, matipun tidak.
Dalam kondisi semacam ini pasien tidak dapat berbicara, berbuat, ataupun bergerak
apalagi menyatakan permintaan untuk mati, yang dalam Pasal 344 KUHP tersebut harus
dinyatakan sendiri oleh pasien.48 Selain dari pada itu, apabila permintaan tersebut
dikeluarkan oleh keluarga pasien, maka Pasal 344 KUHP ini tetap tidak bisa diterapkan.
Hal ini oleh karena pasal ini menghendaki permintaan tersebut harus dilakukan oleh pasien
itu sendiri.
Sehubungkan dengan kesulitan tersebut, Imron Halimy berpendapat, perlu adanya
peninjauan dan perumusan kembali Pasal 344 KUHP tersebut, agar pasal ini terasa lebih
hidup dan lebih memudahkan bagi penuntut umum dalam membuktikan unsur tindak
pidana Euthanasia ini. Peninjauan dan perumusan kembali Pasal 344 KUHP tersebut, tentu

8
saja merupakan tugas Badan Pembuat Undang-Undang dan hal itu dapat dilakukan pada
saat penyusunan dan pembahasan Rancangan UndangUndang Hukum Pidana Nasional
yang baru.

2.5 Penerapan euthanasia diberbagai negara di dunia


Beberapa negara maju mendasarkan pemikiran Hak Asasi Manusia dan mulai
mengatur Euthanasia ke dalam undang-undangnya. Memang tidak semua negara maju
sudah menerapkan perundang-undangan Euthanasia, tetapi makin lama makin bertambah
jumlahnya. Hal ini dapat diakibatkan masyarakatnya semakin berfikir kritis dan logis, serta
perkembangan dunia kedokteran serta teknologi informasi yang sangat pesat. Di berbagai
negara barat, Euthanasia sudah tidak dianggap sebagai suatu pembunuhan lagi. Hal ini
diatur dalam hukum pidana nya, seperti yang terjadi di Swiss, Jerman Barat, Uni Soviet,
dan Polandia. Uruguay merupakan satu-satunya negara yang sampai sekarang memberi
kebebasan melakukan tindakan Euthanasia. Berikut adalah penerapan Euthanasia di
berbagai negara :
1. Amerika
Di negara bagian Washington dulu berlaku larangan dilakukannya physician
assisted suicide. Namun setelah keputusan Ninth U.S. Circuit Court of Appeals sejak
1997 telah membatalkan larangan tentang physician assisted suicide,maka kini hak
untuk mengakhiri hidup telah di perbolehkan. Seseorang dikatakan boleh mengakhiri
hidupnya apabila kehilangan daya tanggap, tidak beatau bernafas, serta kerusakan otak.
2. Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory sesungguhnya menjadi tempat pertama
didunia dengan undang-undang yang mengizinkan Euthanasia dan bunuh diri
berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory
menerima undang undang yang disebut Right of the Terminally III Bill (UU tentang
hak pasien terminal). Penetapan ini membuat Bob Dent seorang penderita kanker
prostat adalah orang pertama yang mengakhiri hidupnya lewat Euthanasia.
3. Belgia
Belgia menyutujui draf RUU mengenai Euthanasia berdasarkan persetujuan dari
parlemen, untuk mengundangkan praktik itu. Kars Veling, anggota senat dari partai
kristen bersatu. Mengakui kalangan agama tidak menyetujui undang-undang tersebut.
Euthanasia menurut Kars Veling bukanlah sesuatu yang dapat dipaksakan terhadap

9
seseorang, akan tetapi hanya sebuah opsi, pilihan terakhir, bagi mereka yang secara
medis sudah tidak mempunyai harapan hidup lagi.
4. Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese kebidanan dan kandungan Britania Raya
(Britain’s Royal College of Obstetricians and Gynaecologist) mengajukan sebuah
proposal kepada Dewan Bioetik Nuffeld agar dipertimbangkannya izin untuk
melakukan Euthanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat. Proposal tersebut bukanlah
ditujukan untuk melegalisasi Euthanasia di Inggris melainkan semata guna memohon
dipertimbangkannyasecara seksama dari sisi faktor kemungkinan hidup si bayi sebagai
suatu legitimasi praktik kedokteran. Namun hingga saat ini tindakan Euthanasia
merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris.
5. Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang Euthanasia
demikian pula Pengadilan Tinggi Jepang (Supreme court of Japan) tidak pernah
mengatur mengenai Euthanasia. Ada dua kasus yang terjadi di Jepang yaitu di Nagoya
pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai Euthanasia pasif atau dalam bahasa
Jepang yaitu Shukyokuteki anrakushi.
6. Republik Ceko
Di Republik Ceko Euthanasia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan
berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai Euthanasia dikeluarkan dari rancangan
KUHP. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospisil bermaksud
untuk memasukan Euthanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagaisuatu kejahatan
dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan
Konsititusional dan komite hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal
kontroversial tersebut dihapus dari rancangannya tersebut.
7. China
Di China Euthanasia saat ini tidak diperbolehkan secara hukum, Euthanasia
diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama
Wang Mingcheng, meminta kepada seorang dokter untuk melakukan Euthanasia
terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang
melaksanakan permintannya. Namun 6 tahun kemudian Pengadilan Tinggi rakyat
menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003 Wang Mingcheng menderita
penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia

10
meminta untuk dilakukannya Euthanasia atas dirinya sendiri namun ditolak oleh rumah
sakit yang merawatnya.

11
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1  Pengertian Etik
Etik atau ethics berasal dari bahasa Yunani, yaitu etos yang artinya adat, kebiasaan,
perilaku atau karakter. Sedangkan dari kamus Webster etika adalah suatu ilmu yang
mempelajari tentang apa yang baik dan buruk secara moral. Jadi, etika adalah peraturan
atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi perilaku seseorang yang berkaitan
dengan tindakan yang baik dan buruk yang dilakukan oleh seseorang dan merupakan suatu
kewajiban dan tanggung jawab moral.
Dari pengertian diatas, etika adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan
bagaimana sepatutnya manusia hidup di dalam masyarakat yang menyangkut aturan-aturan
atau prinsip-prinsip yang menentukan tingkah laku yang benar, yaitu : baik dan buruk serta
kewajibandantanggungjawab(Ismani,2001).
Etik berhubungan dengan bagaimana seseorang harus bertindak dan bagaimana
mereka melakukan hubungan dengan orang lain. Etiaka tidak hanya menggambarkan
sesuatu, tetapi lebih kepada perhatian engan penetapan norma atau standar kehidupan
seseorang dan yang seharusnya dilakukan. Etik dititik beratkan pada pertanyaan atas apa
yang baik dan yang buruk, karakter, motif, atau tindakan yang benar dan salah (Potter dan
Perry,2005).
3.2 Etika Keperawatan
Etika keperawatan adalah norma-norma yang dianut oleh perawat dalam bertingkah
laku dengan pasien, keluarga, kolega atau tenaga kesehatan lainnya di suatu pelayanan
keperawatan yang bersifat profesional. Perilaku etik akan dibentuk oleh nilai-nilai pasien,
perawat.
A. Tipe-Tipe Etika
1. Bioetik
Bioetik merupakan studi filosofi yang mempelajari tentang kontroversi
dalam etik, menyangkut masalah biologi dan pengobatan. Lebih lanjut, bioetika
difokuskan pada pertanyaan etik yang muncul tentang hubungan antara ilmu
kehidupan, bioteknologi, pengobatan, politik, hukum, dan theology. Pada
lingkup yang lebih sempit, bioetik merupakan evaluasi etika pada moralitas
treatment atau inovasi teknologi, dan waktu pelaksanaan pengobatan pada
manusia. Pada lingkup yang lebih luas, bioetik mengevaluasi pada semua
tindakan moral yang mungkin membantu atau bahkan membahayakan

12
kemampuan organisme terhadap perasaan takut dan nyeri, yang meliputi semua
tindakan yang berhubungan dengan pengobatan dan biologi. Isu dalam bioetik
antara lain : peningkatan mutu genetik, etika lingkungan, pemberian pelayanan
kesehatan.
2. Clinical Ethics/Etik Klinik
Etik klinik merupakan bagian dari bioetik yang lebih memperhatikan pada
masalah etik selama pemberian pelayanan pada klien. Contoh clinical ethics :
adanya persetujuan atau penolakan, dan bagaimana seseorang sebaiknya
merespon permintaan medis yang kurang bermanfaat (sia-sia).
3. Nursing ethics/Etik Perawatan
Bagian dari bioetik,yang merupakan studi formal tentang isu etik dan
dikembangkan dalam tindakan keperawatan serta dianalisis untuk mendapatkan
keputusan etik. Etika keperawatan dapat diartikan sebagai filsafat yang
mengarahkan tanggung jawab moral yang mendasari pelaksanaan praktek
keperawatan. Inti falsafah keperawatan adalah hak dan martabat manusia,
sedangkan fokus etika keperawatan adalah sifat manusia yang
unik(Dalami,2010)
B. Teori Etik
Teori etik digunakan dalam pembuatan keputusan bila terjadi konflik antara
prinsip dan aturan Beberapa teori etik adalah sebagai berikut:
1. Teleologi
Teleologi (berasal dari bahasa Yunani, dari kata telos, berarti akhir), Istilah
teleologi dan utilitarinisme sering digunakan saling bergantian. Teleologi merupaka
suatu doktrin yang menjelaskan fenomena berdasarkan akibat yang dihasilkan atau
konsekuensi yang dapat terjadi. Pendekatan ini sering disebut dengan ungkapan
The end justifies the means atau makna dari suatu tindakan ditentukan dari hasil
akhir yang terjadi. Contoh dari teori ini adalah bayi yang lahir cacat lebih baik
diizinkan meninggal dari pada nantinya menjadi beban masyarakat.
2. Deotologi
Deontologi (berasal dari bahasa Yunani, Deon berarti tugas) prinsip pada aksi atau
tindakan. Benar atau salah bukan ditentukan oleh hasil akhir atau konsekuensi dari
suatu tindakan, melainkan oleh nilai moralnya.dalam konteks ini, perhatian
difokuskan pada tindakan melakukan tanggung jawab moral yang dapat
memberikan penentu apakah tindakan tersebut secara moral benar atau salah.

13
Contoh dari penerapan teori iniadalah: seorang perawat yang yakin bahwa klien
harus diberitahu tentang sebenarnya terjadi walaupun kenyataan tersebut sangat
menyakitkan (Suhaemi,2003).
C. Kerangka Dan Strategi Pembuatan Keputusan Etis.
Kemampuan membuat keputusan masalah etis merupakan salah satu
persyaratan bagi perawat untuk menjalankan praktek keperawatan professional dan
dalam membuat keputusan etis perlu memperhatikan beberapa nilai dan
kepercayaan pribadi, kode etik keperawatan, konsep moral perawatan dan prinsip-
prinsip etis (Fry,1989)
Berbagai kerangka model pembuatan keputusan etis telah dirancang oleh
banyak ahli etika, di mana semua kerangka tersebut berupaya menjawab pertanyaan
dasar tentang etika,yang menurut Fry meliputi:
• Hal apakah yang membuat tindakan benar adakah benar?
• Jenis tindakan apakah yang benar?
• Bagaimana aturan-aturan dapat diterapkan pada situasi tertentu?
• Apakah yang harus dilakukan pada situasi tertentu?
Beberapa kerangka pembuatan keputusan etis keperawatan dikembangakan
dengan mengacu pada kerangka pembuatan keputusan etika medis. Beberapa
kerangka disusun berdasarkan posisi falsafah praktek keperawatan, sementara
model-model lain dikembangkan berdasarkan proses pemecahan masalah seperti
diajarkan di pendidikan keperawatan.
D. Prinsip-Prinsip Etik
1. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir
logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten
dan memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan
atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Otonomi merupakan hak
kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek
profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam
membuat keputusan tentang perawatan dirinya. 
2. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan,
memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan

14
atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain.Terkadang dalam
situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
3. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap orang
lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini
direfleksikan dalam pakatek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang
benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh
kualitas pelayanan kesehatan.
4. Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis
selama perawat memberikan asuhan keperawatan pada klien dan keluarga.
5. Kejujuran (Veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh
pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien
dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan
dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada
agar menjadi akurat, komprensensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman
dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien
tentang segala sesuatuyang berhubungan dengan keadaan dirinya selama menjalani
perawatan.
6. Menepati janji (Fidelity)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan
komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati
janji serta menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban
seseorang perawat untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya kepada
pasien.
7. Kerahasiaan(Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus
dijaga privasinya. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan
klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun
dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti
persetujuan.
8. Akuntabilitas(Accountabiliy)
Akuntabilitas merupakan tanda yang pasti bahwa tindakan seorang

15
profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali
(Dalami,2010).
3.3 Kode Etik Keperawatan
Kode etik adalah suatu tatanan tentang prinsip-prinsip umum yang telah diterima oleh
suatu profesi. Kode etik keperawatan merupakan suatu pernyataan komprehensif dari
profesi yang memberikan tuntunan bagi anggotanya dalam melaksanakan praktek
keperawatan baik yang berhubungan dengan pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat,
diri sendiri, dan tim kesehatan (Wulan,2011).
Tujuan kode etik keperawatan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Merupakan dasar dalam mengatur hubungan antar perawat, klien atau pasien,
teman sebaya, masyarakat, dan unsur profesi, baik dalam profesi keperawatan
maupun dengan profesi lain di luar profesi keperawatan.
2. Merupakan standar untuk mengatasi masalah yang silakukan oleh praktisi
keperawatan yang tidak mengindahkan dedikasi moral dalam pelaksanaan
tugasnya.
3. Untuk mempertahankan bila praktisi yang dalam menjalankan tugasnya
diperlakukan secara tidak adil oleh institusi maupun masyarakat.
4. Merupakan dasar dalam menyusun kurikulum pendidikan kepoerawatan agar dapat
menghasilkan lulusan yang berorientasi pada sikap profesional keperawatan.
5. Memberikan pemahaman kepada masyarakat pemakai / pengguna tenaga
keperawatan akan pentingnya sikap profesional dalam melaksanakan tugas praktek
keperawatan. ( PPNI, 2000 ).
3.4Dilema Etik
Dilema etik adalah suatu masalah yang melibatkan dua atau lebih landasan moral suatu
tindakan terapi tidak dapat dilakukan keduanya. Ini merupakan kondisi dimana setiap
alternatif memiliki landasan moral atau prinsip. Pada dilema etik ini sukar untuk
menetukan yang benar atau salah dan dapat menimbulkan stres pada perawat karena dia
tahu apa yang harus dilakukan, tetapi banyak rintangan untuk melakukannya. Dilema etik
biasa timbul akibat nilai-nilai perawat, klien atau lingkungan tidak lagi menjadi kohesif
sehingga timbul pertentangan dalam mengambil keputusan.
Menurut Thompson dan Thompson (1985), dilema etik merupakan suatu masalah yang
sulit dimana alternatif yang memuaskan atau situasi dimana alternatif yang memuaskan
atau tidak memuaskan sebanding. Dalam dilema etik tidak ada yang benar tidak ada yang

16
salah. Untuk membuat keputusan yang etis, seorang perawat tergantung pada pemikiran
yang rasional bukan emosional (Wulan,2011).
Pada dilema etik ini sukar untuk menentukan yang benar atau salah dan dapat
menimbulkan stress pada perawat karena dia tahu apa yang harus dilakukan, tetapi banyak
rintangan untuk melakukannya. Dilema etik biasa timbul akibat nilai-nilai perawat, klien
atau lingkungan tidak lagi menjadi kohesif sehingga timbul pertentangan dalam mengambil
keputusan. Menurut Thompson & Thompson (1981 ) dilema etik merupakan suatu masalah
yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau situasi dimana alternatif yang
memuaskan atau tidak memuaskan sebanding. Kerangka pemecahan dilema etik banyak
diutarakan oleh para ahli dan pada dasarnya menggunakan kerangka proses keperawatan /
Pemecahanmasalahsecarailmiah,antaralain:
1.Model pemecahan masalah (Megan, 1989)
Ada lima langkah-langkah dalam pemecahan masalah dalam dilema etik.
a. Mengkaji situasi
b. Mendiagnosa masalah etik moral
c. Membuat tujuan dan rencana pemecahan
d. Melaksanakan rencana
e. Mengevaluasi hasil
2.Kerangka pemecahan dilema etik (kozier & erb, 2004 ) Mengembangkan data dasar.
Untuk melakukan ini perawat memerukan pengumpulan informasi sebanyak mungkin
meliputi:
a. Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut dan bagaimana keterlibatannya
b. Apa tindakan yang diusulkan
c. Apa maksud dari tindakan yang diusulkan
d. Apa konsekuensi konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang diusulkan
e. Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdaarkan situasi tersebut
f. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan
mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
g. Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil
keputusan yang tepat
h. Mengidentifikasi kewajban perawat
i. Membuat keputusan

17
Langkah-langkah menurut Purtilo dan Cassel (1981) Purtilo dan cassel menyarankan 4
langkah dalam membuat keputusan etik
a.Mengumpulkan data yang relevan
b.Mengidentifikasi dilema
c.Memutuskan apa yang harus dilakukan
d.Melengkapi tindakan

Langkah-langkah menurut Thompson & Thompson (1981)


a.  Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan yang diperlukan,
komponen etis dan petunjuk individual.
b.  Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklasifikasi situasi
c.  Mengidentifikasi Issue etik
d.Menentukan posisi moral pribadi danprofessional
e. Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yangterkait.
f. Mengidentifikasi konflik nilai yang ada

18
BAB 4
KASUS EUTHANASIA

4.1 Kasus
Seorang laki-laki usia 65 tahun menderita kanker kolon terminal dengan
metamitase yang telah resisten terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi di bawa ke IGD
karena jatuh dari kamar mandi dan menyebabkan robekan di kepala. Laki-laki tersebut
mengalami nyeri abnomen, tulang dan kepala yang hebat dimana sudah tidak dapat lagi
diatasi dengan pemberian dosis morphin intravena. Hal itu ditunjukkan dengan adanya
rintihan ketika istirahat dan nyeri bertambah hebat saat laki-laki itu mengubah posisinya.
Walaupun klien tampak bisa tidur, namun ia sering meminta diberikan obat analgesik.
Kondisi klien semakin melemah dan berdasarkan diagnosa dokter, klien maksimal hanya
bertahan beberapa hari saja.
Melihat penderitaan pasien yang terlihat kesakitan dan mendengar informasi dari
dokter, keluarga memutuskan untuk memercayai proses kematian pasien melalui
Euthanasia pasif dengan pelepasan alat-alat kedokteran yaitu oksigen dan obat-obatan lain
dan dengan keinginan agar dosis analgesik ditambah. Dr spesialis onkologi yang ditelepon
saat itu memberikan advisi dosis morphin yang rendah dan tidak bersedia menaikkan dosis
yang ada karena sudah maksimal dan dapat bertentangan dengan UU yang ada.
4.2 Pembahasan
Penderita dilema etis menurut Kozier (2004)
1. Mengembangkan data besar
a. Orang yang terlibat
- Keluarga
- Klien
- Perawat
- Dokter
b. Tindakan yang diusulkan : Euthanasia pasif pada klien
c. Maksud dari tindakan : keluarga tidak tega melihat klien yang kesakitan
d. Konsekuensi tindakan : hilangnya nyawa klien secara perlahan
2. Identifikasi konflik
Tidak disetujuinya euthanasia dengan cara menambah dosis obat karena akan
melanggar UU :

19
 Pasal 356 (3) yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang
dilakukan dengan menggunakan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan
kesehatan untuk dimakan atau diminum”. Selain itu patut juga diperhatikan
adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306
(2).
 Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan
tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”
 Para dokter di Indonesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode
etika itu tesirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus menggerahkan
segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan
dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.
3. Alternatif tindakan
Tetap dilakukannya tindakan pengobatan sebagaimana mestinya tanpa harus
melanggar hukum, karena Euthanasia di Indonesia tidak diperbolehkan. Dengan
tindakan yang dilakukan perawat yaitu :
1. Berbuat baik ( Beneficience ) : Menasehati pasien tentang program latihan
untuk memperbaiki kesehatan secara alami.
2. Akuntabilitas ( Accountability ) : Perawat betanggung jawab terhadap pasien
dalam pemberian obat.
3. Kerahasiaan ( Confidentiality ) : Perawat menjaga privasi pasien tentang
keadaan kesehatan pasien.
4. Menentukan siapa pengambilan keputusan yang tepat :
Pengambilan keputusan yang tepat untuk kasus ini adalah keluarga daari klien,
kaarena keluarga adalah yang paling berhak atas diri klien.
5. Kewajiban perawat
- Memberikan pengertian kepada keluarga klien bahwa permintaannya
(Euthanasia) adalah perbuataan yang melanggar hukum dan di negara
Indonesiaa melarang tindakan tersebut.
- Perawat harus memberikan semangat kepada klien agar tetap tabah
manjalani penyakitnya walau hasil akhirnya nanti ia tetap meninggal duia.

20
6. Membuat keputusan
Keputusan yang dapat diambil sesuai dengan hak otonomi klien dan keluarganya
serta pertimbangan tim kesehatan sebagai seorang perawat keputusan yang terbaik
adalah adalah tetap melaksanakan pengobatan atau terapi sebagaimana semestinya
tanpa harus mempercepat kematian klien dengan berbagai alasan, karena akan
melanggar hukum yang telah belaku di Indonesia.

21
BAB 5
PENUTUPAN

5.1 Kesimpulan
Euthanasia adalah suatu usaha, tindakan dan bantuan yangdilakukan oleh seorang
dokter untuk dengan sengaja mempercepat kematian seseorang, yang menurut
perkiraannya sudah hampir mendekati kematian, dengan tujuan untuk meringankan atau
membebaskannya dari penderitaannya. Euthanasia juga tidak hanya suatu tindakan
mengakhiri hidup seorang pasien yang sangat menderita saja, melainkan juga sikap diam,
tidak melakukan upaya untuk memperpanjang hidupnya dan membiarkannya mati tanpa
adanya upaya pengobatan.
Euthanasia dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, sesuai dengan dari mana sudut
pandangnya atau cara melihatnya. Yaitu :
1. Ditinjau dari pelaksanaannya yaitu Euhanasia pasif dan Euthanasia Aktif
2. Ditinjau dari permintaan atau pemberian izin yaitu Euthanasia Sukarela ( Voluntir )
dan Euthanasia Tidak Sukarela ( Involuntir )

5.2 Saran
Eutanasia suatu tindakan yang kontrofersial, disatu sisi, ada niatan baik, baik untuk
membantu menghentikan penderitaan pasien, disisi lain, bagaimanapun eutanasia
merupakan suatu praktik menghilangkan nyawa orang lain atau hewan. Saran kami
pembaca lebih banyak lagi mengkaji terkait dengan isu euthanasia ini, sehingga dapat
memandang eutanasia secara holistic dan menanggapi fenomena euthanasia ini secara
bijaksana

22
DAFTAR PUSTAKA

Cecep Triwibowo, op.cit, hlm. 202.


Dalami, Ermawati, dkk. 2010. Etika Keperawatan. Cv. Jakarta: Trans Info Media.
Ismani, N. 2001. Etika Keperawatan. Jakarta: Widya Medika.
H. Ahmad Wardi M, op.cit, hlm. 14.
Imron Halimy, Euthanasia, Ramadani, Solo, 1990, hlm. 175
R. Abdoel Djamali, Leenawati Tedjapermana, Tanggung Jawab Hukum Seorang
Dokter dalam menangani pasien, Cv Abardin, Jakarta, 1988, hlm.130

23
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................................................i


BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................1
1.1 Rumusan masalah .........................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan ..........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................3
2.1 Pengertian Euthanasia ...................................................................................3
2.2 Macam-macam Euthanasia ............................................................................4
2.3 Perkembangan Euthanasia .............................................................................5
2.4 Pengaturan Euthanasia menurut hukum di Indonesia ...................................5
2.5 Penerapan Euthanasia di berbagai negara di Dunia ......................................9
BAB III PEMBAHASAN ................................................................................................12
3.1 Pengertian Etik ............................................................................................12
3.2 Etika Keperawatan ......................................................................................12
3.3 Kode Etik Keperawatan ...............................................................................16
3.4 Dilema Etik ..................................................................................................16
BAB IV KASUS DAN PEMBAHASAN .......................................................................18
BAB V PENUTUP...........................................................................................................21
4.1 Kesimpulan ..................................................................................................21
4.2 Saran ..........................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ii

24

Anda mungkin juga menyukai