Anda di halaman 1dari 12

EUTANASIA DALAM PERSPEKTIF TIMOR-LESTE1

Oleh: Joanina da Costa2

1. Pengantar Trilogi siklis perjalanan manusia di dunia ini adalah 'lahir-hidup-mati'. Eksistensi manusia yang secara filosofis maupun biologis diawali dari dalam rahim ibu hingga terlahir dan menjalani seluruh kehidupannya, bakal berakhir pada kematian. Kehidupan memiliki nilai tertinggi dalam diri manusia dan dengan demikian dianggap sebagai hak paling asasi dari semua hak yang ada. Dimana-mana selalu saja ada usaha untuk menjaga, mempertahankan, dan menghargai hidup dengan berbagai cara. Atas dasar itu, sangat tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk mengakhiri kehidupan seseorang atas alasan apapun, kecuali kematian itu datang secara alami (natural) lantaran adanya sebab-sebab yang bukan intervensi manusia atau pihak lain. Dengan kata lain, kematian wajar (natural death) adalah situasi yang sangat mungkin bisa diterima. Dalam konteks ini, eutanasia sebagai cara medis untuk mengakhiri kehidupan manusia demi mempersingkat penderitaan pasien, juga tidak diterima entah secara etis, yuridis, maupun religius. Kendati ada beberapa negara seperti Belanda, Belgia dan Australia (Bagian Barat) yang telah melegalkan eutanasia, akan tetapi sebagian besar negara termasuk Amerika Serikat dan Indonesia justru menentang adanya praktek eutanasia tersebut.3 Tulisan singkat ini bermaksud menyoroti konsep dan konteks eutanasia dari segi etika, yuridis (hukum), dan religius (Katolik), sambil mengupayakan relevansinya dengan konteks spesifik Timor-Leste sendiri. Lingkup penulisan ini juga bakal berkisar seputar pengertian, klasifikasi atau jenisjenis eutanasia, serta upaya mengurai kekusutan pro-kontra eutanasia itu sendiri. Penjabaran konseptual penulisan Paper ini pada akhirnya akan diupayakan untuk mendarat pada konteks Timor-Leste dalam perspektif yuridis (landasan hukum) serta religius (Katolik).

Paper ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat akademik dalam memperoleh Nilai Mata-Kuliah "Hukum Pidana" pada Fakultas Hukum, Universidade da Paz (UNPAZ) Filial Maliana. 2 Joanina da Costa adalah Mahasiswi Fakultas Hukum, UNPAZ Filial Maliana. 3 Eka Yuantoro, Eutanasia. (Jakarta: Obor, 2005), hal. 52-53.

2. Sekilas Tentang Eutanasia 2.1. Beberapa Pengertian Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani - yaitu "eu" (= baik) dan "thanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik". Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah dan tanpa merasakan sakit. Oleh karena itu, Euthanasia sering disebut juga dengan Mercy Killing atau mati dengan tenang.4 Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Meskipun demikian, pihak medis lalu membagi proses kematian ke dalam tiga tahap yaitu: 1). Orthothanasia ialah proses kematian secara wajar, seperti proses ketuaan, penyakit, dan lain sebagainya; 2). Dysthanasia ialah proses kematian yang tidak wajar, seperti pembunuhan, bunuh-diri, dan sebagainya; 3). Euthanasia ialah proses kematian karena bantuan dokter (medis).5 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, eutanasia didefinisikan sebagai tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk (orang ataupun hewan piaraan) yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar peri kemanusiaan.6 Sedangkan dalam Oxford English Dictionary, eutanasia dirumuskan sebagai kematian yang lembut atau nyaman. Nama lain dari kematian yang nyaman adalah pembunuhan atas dasar belas-kasihan (mercy killing).7 Sementara itu, Frans Magnis Suseno membedakan 4 arti eutanasia mengikuti J.Wundeli, yaitu: 1). Eutanasia murni: usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa memperpendek kehidupannya. Di dalamnya termasuk semua usaha perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan baik.Eutanasia ini tidak menimbulkan masalah apapun; 2). Euthanasia pasif: tidak dipergunakannya semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebenarnya tersedia untuk memperpanjang kehidupan; 3). Euthanasia tidak langsung: usaha memperingan kematian dengan efek sampingan bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat.Di sini kedalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik
4 5

Van Hoeve, Ensiklopedia Indonesia - Vol. 2. (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1987), hal. 978. H.R. Siswosudarmo, "Euthanasia, Bagaimana Sikap Seorang Dokter", Makalah pada Seminar tentang 'Aborsi dan Euthanasia dari Segi Medis dan Psikologis', Yogyakarta, 24 November 1996, hal. 1. 6 Hasan Alwi, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal. 272. 7 Jenny Teichman, Etika Sosial, terj. A. Sudiarja, SJ. (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hal. 73.

dan analgetika yang mungkin de facto dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja; 4). Eutanasia aktif: proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung. Ini yang disebut sebagai mercy killing. Dalam eutanasia aktif masih perlu dibedakan pasien menginginkannya atau tidak berada dalam keadaan dimana keinginannya dapat diketahui.8

2.2. Klasifikasi Eutanasia a. Dilihat dari orang yang membuat keputusan, euthanasia dibagi menjadi: Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit; Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis. b. Menurut Dr. Veronica Komalawati, euthanasia dapat dibedakan menjadi: Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke tubuh pasien. Euthanasia pasif. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung medis melakukan euthanasia dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup. Autoeuthanasia. Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Autoeuthanasia pada dasarnya adalah eutanasia atas permintaas sendiri (APS). c. Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya, dibagi menjadi tiga kategori: Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
8

Disentil dari situs: http://belajarsukes.blogspot.com/2011/03/makalah-euthanasia.html, 21 Maret 2011, hal. 35.

Eutanasia non-agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non-agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan. Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit. d. Eutanasia ditinjau dari sudut pemberian izin Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan. Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien. Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial. e. Eutanasia ditinjau dari sudut tujuan Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu: Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing). Eutanasia hewan.
4

Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, merupakan bentuk lain dari eutanasia agresif secara sukarela.9

3. Mengurai Kekusutan Pro-Kontra Eutanasia Persoalan tentang salah-benarnya praktek eutanasia, rupanya masih menjadi kontroversi dan perdebatan panjang di antara kelompok pro-eutanasia dan kontra-eutanasia. Para pendukung eutanasia menyerukan bahwa undang-undang pelarangan eutanasia menyebabkan terjadinya tragedi kemanusiaan luar biasa; manusia mengalami kematian yang menyedihkan. Sementara kelompok kontra-eutanasia atau pendukung kehidupan (pro-life), menyerukan bahwa persetujuan eutanasia akan membuat banyak orang cacat dan kaum tua atau sakit yang diklaim dokter tak bisa disembuhkan, menghadapi berbagai macam resiko atau ancaman atas hidupnya.10 Kelompok yang pro ini banyak mendapat dukungan dari kelompok-kelompok yang menyetujui the right to die (hak untuk mati). Berikut ini adalah tiga argumentasi utama dari pihak yang pro-eutanasia: Eutanasia dilakukan demi kemanusiaan. Orang yang menderita sakit yang begitu parah dan hidup hanya tergantung pada alat serta tidak mempunyai harapan untuk sembuh dpat dibenarkan melakukan tindakan eutanasia. Memperhatikan keadaan pasien. Pasien yang dalam keadaan menderita dan sudah siap untuk mati lebih baik ia dibantu untuk mati daripada ia mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Memperhatikan keadaan sosial. Bagi orang yang sudah tidak produktif dan hanya menghabiskan biaya karena hidupnya tergantung pada alat dan orang lain lebih baik dibantu untuk melakukan eutanasia. Orang yang semacam itu, lebih baik mati daripada hanya menjadi beban hidup bagi orang lain. Tetapi, di lain pihak, ada juga kelompok atau pihak yang kontra-eutanasia dengan mempertahankan prinsip pro-life (pro-kehidupan). Kelompok ini memberikan alasan yang cukup logis dan meyakinkan serta mudah untuk diterima. Berikut ini argumentasi dari pihak yang kontra dengan eutanasia:

Ibid. Studiozanam, Eutanasia Menurut Moral Gereja Katolik. Disarikan dari situs: http://www.mailarchive.com/berita@rnw.nlmsg00790.html, 15 Maret 2008, hal. 1.
10

Hidup manusia adalah anugerah Allah yang luhur dan ini perlu dihormati dengan sungguh-sungguh. Hidup manusia adalah suci dan perlu terus diperjuangkan walaupun menghadapi kesulitan yang amat berat. Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran bertujuan membantu orang agar hidup secara baik. Kemajuan IPTEK ini tidak boleh disalahgunakan. Kemajuan IPTEK diharapkan untuk membantu pasien dalam meringankan penderitaan yang ada. Ada perasaan kasihan untuk berpisah dengan orang yang dicintai karena berharap bahwa dia masih dapat hidup bersama dalam keluarga. Hidup manusia dilindungi oleh undang-undang dan perlu diupayakan dalam kebersamaan. Orang tidak boleh seenaknya menghabisi nyawa seseorang walupun orang itu sendiri yang memintanya, karena hidup itu milik bersama, maksudnya dipertahankan dalam kebersamaan hidup. Dengan sakit orang dapat semakin mengalami kasih Allah. Orang dapat menghayati bahwa penderitaan yang sekarang ini dialami sama seperti penderitaan Kristus di salib.11

3.1. Landasan Yuridis (Hukum) Nampaknya pertimbangan dan perdebatan pro-kontra seperti diuraikan di atas lebih condong mempertahankan prinsip pro-life, dimana praktek eutanasia ditolak dengan alasan memilih dan mempertahankan kehidupan yang dinilai sangat mulia dan bernilai tinggi. Oleh karena itu, tidak sedikit negara yang mengatur landasan hukum mereka demi menolak segala praktek pembunuhan yang dilakukan oleh orang atau pihak lain, termasuk terapi medis eutanasia. Negara-negara yang memiliki landasan hukum kuat untuk menolak praktek eutanasia adalah Amerika, Jerman, Inggris, Cina, India, Republik Ceko, Spanyol, Denmark, dan Indonesia. Beberapa negara lainnya memang tidak memperkenankan praktek eutanasia tapi tidak secara jelas mencantumkannya pada aturan-hukum mereka, seperti Korea, Jepang, dan Afrika Selatan,12 termasuk Timor-Leste sendiri. Dalam pembahasan kali ini, hanya akan dilihat landasan hukum Indonesia tentang penolakan atas praktek eutanasia. Dalam pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia dinyatakan: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan oran g itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, maka dihukum penjara selama-lamanya
11

Fancisco Valentino Botto, "Eutanasia Menurut Gereja Katolik", Makalah, Karaskasen, 16 Maret 2010, hal. 23. 12 Uraian lebih rinci dapat dilihat pada situs: http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia, 4 November 2013, hal. 5-9.

dua belas tahun. Dan juga pasal 388 KUHP dinyatakan: Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.13 3.2. Pandangan Religius14 Dalam Ajaran Gereja Katolik Roma Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Dalam Ajaran Agama Hindu Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. "Moksa" yaitu suatu kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga. Kehidupan manusia adalah suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali. Dalam Ajaran Agama Buddha Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut. Dalam Ajaran Islam Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa

13

T. Erwan, dkk., Himpunan Kitab Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan Hukum Pidana. (Jakarta: Aksara Baru, 1979), hal. 137. 14 Disentil dari situs: http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia, 4 November 2013, hal. 9-13.

merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Dalam Ajaran Gereja Ortodoks Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan kehidupan yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia. Dalam Ajaran Agama Yahudi Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing (pembunuhan berdasarkan belas kasihan), adalah suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan. Dalam Ajaran Protestan Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.

4. Eutanasia dalam Perspektif Timor-Leste Untuk konteks Timor-Leste saat ini, praktek eutanasia dapat disoroti dari dua perspektif, yakni Ajaran Agama Katolik serta landasan-hukum Cdigo Penal RDTL.

4.1. Ajaran Gereja Katolik Sudah umum diketahui bahwa Agama Katolik di Timor-Leste memiliki mayoritas penganut lebih dari 90-an persen. Pengaruh Gereja Katolik dan ajaran-ajaran moral tentang kehidupan juga sangat kuat dan berakar dalam keseharian hidup masyarakat. Posisi Gereja Katolik di Timor-Leste sejalur dengan Kebijakan Roma (Vatikan) yang dengan tegas menolak pembunuhan dengan cara apapun serta untuk tujuan manapun juga. Dalam Ajaran Sepuluh Perintah Allah secara jelas dinyatakan larangan 'Jangan Membunuh'. Larangan pembunuhan itu menyangkut juga praktek aborsi dan eutanasia. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktik eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang
8

memperingatkan agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66).15 Dalam Ensiklik Paus Yohanes Paulus II juga dengan jelas dinyatakan bahwa hidup manusia adalah dasar dari segala nilai sekaligus sumber dan persyaratan yang perlu bagi semua kegiatan manusia dan juga untuk setiap hidup bersama masyarakat.16 Hukum Kanonik Gereja Katolik, khususnya Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983, dengan tegas menyatakan bahwa: Barang siapa melakukan pembunuhan atau secara paksa atau dengan muslihat menculik seseorang, ataupun menahan, membuat cacat atau mencederainya dengan berat, hendaknya dihukum sesuai dengan beratnya tindak pidana dengan pencabutan-pencabutan dan larangan-larangan yang disebut dalam Kanon 1336, sedangkan pembunuhan terhadap orang-orang yang disebut dalam Kanon 1370 dihukum dengan hukuman hukuman yang ditetapkan di situ.17

4.2. Cdigo Penal Timor-Leste Seperti disebutkan (dalam poin 3.1) di atas, Timor-Leste secara gamblang belum memiliki dekrit-hukum spesifik serta kode etik kedokteran yang mengatur tentang eutanasia. Meskipun demikian, landasan hukum tentang 'pembunuhan' atau bunuh-diri telah diatur dalam Cdigo Penal Timor-Leste (KUHP Timor-Leste). Dalam Pasal 144 Cdigo Penal Timor-Leste dinyatakan bahwa: 1). Quem incitar outra pessoa a suicidar-se, ou lhe prestar assistncia para esse fim, se o suicdio vier efectivamente a ser tentado ou a consumar-se, punido com pena de priso at 3 anos ou pena de multa; 2). Se os factos descritos no nmero anterior tiverem como destinatrios alguma das pessoas referidas no n.3 do artigo anterior ou menor de 17 anos ou pessoa cuja capacidade de valorao ou de determinao esteja sensivelmente diminuda, a pena de priso at 5 anos; 3). Quem, por qualquer forma e repetidamente fizer a propaganda pblica de suicdio, punido com pena de priso at 2 anos ou multa.18

15 16

Bdk. Rely Komaruzaman, "Eutanasia", dalam situs: www.sahabatsurgawi.org, 31 Agustus 2009. Ensiklik Yohanes Paulus II Tentang Eutanasia (5 Mei 1980). (Jakarta: Dokpen KWI, 2005), hal. 7. 17 Eka Yuantoro, Eutanasia. Opcit., hal. 64. 18 Cludio Ximenes, Cdigo Penal - 2a Edio. (Dili: Tribunal de Recurso, 2010), pp. 93-94.

Arti terjemahannya adalah: [1. Siapa yang menghasut orang lain untuk melakukan bunuh-diri, atau membantu anda untuk itu, jika bunuh diri benar-benar datang untuk diadili atau disempurnakan, dipidana dengan pidana penjara sampai tiga tahun atau denda. 2. Jika kegiatan sebagaimana dimaksud dalam paragraf sebelumnya telah membahas salah satu orang yang disebut dalam no. 3 dari artikel sebelumnya atau di bawah 17 tahun atau orang yang kapasitas penilaian atau penilaian secara signifikan berkurang, hukumannya adalah penjara hingga lima tahun. 3. Siapa, dengan cara dan berulang kali membuat propaganda bunuh-diri publik, dipidana dengan hukuman penjara sampai dua tahun atau denda]. Untuk terapi medis dalam praktek eutanasia, secara implisit dinyatakan dalam Cdigo Penal Timor-Leste Pasal 146 dan Pasal 150 Ayat 1-2. Pasal 146 mengarah pada siapa saja yang menyakiti atau mencederai orang lain dengan maksud: a). Menghilangkan organ tubuh tertentu dari orang lain; b). Melumpuhkannya secara parah dan permanen; d). Menyebabkan secara parah dan permanen atau definitif hilangnya daya orang lain untuk bekerja, kemampuan intelektual atau kemampuan untuk melahirkan anak.19 Sedangkan dalam Pasal 150 Ayat 1-2 disebutkan bahwa: 1). Barangsiapa yang menyakiti atau mencederai tubuh atau kesehatan orang lain karena memberi minuman atau makanan atau menyuntikkan substansi tertentu (termasuk substansi berbisa/racun) ke dalam tubuh orang lain atau memperlemah kondisi fisik atau psikis orang lain, akan mendapat hukuman penjara sampai lima tahun. 2). Apabila hal tersebut mengakibatkan konsekuensi tertentu pada orang bersangkutan sebagaimana tercantum dalam Pasal 146 atau menyebabkan korban meninggal dunia, pelaku (agente) akan mendapat hukuman penjara 2 tahun hingga 6 tahun atau 4-12 tahun penjara.20 Dengan demikian menjadi jelas bahwa meskipun Timor-Leste saat ini belum memiliki landasan hukum yang nyata untuk praktek eutanasia, akan tetapi Ajaran Gereja Katolik serta Cdigo Penal dapat menjadi pedoman untuk menghargai dan mempertahankan kehidupan manusia. Kedua pedoman tersebut secara tegas menggarisbawahi prinsip pro-life (prokehidupan) bagi seluruh rakyat di negara baru ini.

5. Menimba Di Akhir 5.1. Secuil Titik-Simpul Dari keseluruhan uraian dalam penulisan Paper ini dapat ditarik beberapa titik-simpul sebagai berikut:
19 20

Ibid., p. 94. Ibid., pp. 95-96.

10

Masalah eutanasia merupakan masalah moral dalam masyarakat. Praktek eutanasia ini berhubungan erat dengan kehidupan manusia. Kendati beberapa negara nampak melegalkan praktek eutanasia, tapi sebagian besar justru menolaknya dengan dasar menjunjung tinggi nilai kehidupan manusia. Semua agama besar di dunia dengan tegas menolak praktek eutanasia. Gereja Katolik secara sadar, langsung dan sengaja menolak tindakan eutanasia dengan tujuan apapun. Pandangan Kristiani menyatakan bahwa hidup adalah anugeah Allah. Karena itu, hanya Allah yang dapat mengambil hidup manusia, karena Allah sumber kehidupan. Sedangkan, manusia tidak mempunyai hak. Gereja Katolik sangat menjunjung tinggi hidup manusia. Gereja berpendapat bahwa tindakan eutanasia membantu orang sakit, tetapi sebenarnya membunuh orang dengan sengaja. Karena maraknya tindakan ini, maka bentuk penolakan yang secara tegas dilakukan oleh Gereja Katolik, yaitu dengan mengeluarkan Ensiklik Evangelium Vitae (EV), yang menentang tindakan-tindakan yang tidak menghargai hidup manusia. Ensiklik EV ini juga mau mengangkat kembali nilai dan martabat hidup manusia yang tidak dihargai lagi. Gereja Katolik Timor-Leste juga dengan tegas menolak tindakan dan praktek eutanasia. Meskipun di Timor-Leste belum ada landasan hukum serta etika kedokteran yang eksplisit untuk praktek eutanasia, akan tetapi pedoman Ajaran Gereja Katolik serta Cdigo Penal Pasal 144, 146 dan 150 dapat menjadi pegangan untuk menghargai dan mempertahankan kehidupan. Praktek euthanasia aktif tidak dapat dibenarkan secara moral. Yang dapat dilakukan adalah menghentikan semua alat artificial yang justru sering menghambat kematian alamiah (salah satu jenis euthanasia pasif). Menghentikan bantuan alamiah bagi si sakit adalah juga tindakan yang immoral. Alasan-alasan melakukan euthanasia aktif tidak dapat dibenarkan, baik alasan penderitaan maupun alasan ekonomi, sebab manusia adalah makhluk mulia yang harus mampu menahan penderitaan dan lebih penting dari pada materi. Tugas setiap orang adalah menghibur si sakit untuk bertahan dalam penderitaan dan meyakinkannya untuk menghadapi kematian dengan sukacita. Alasan lain di balik penolakan terhadap praktek euthanasia, bahwa manusia diberi anugerah dan kasih karunia oleh Tuhan untuk melangsungkan kehidupannya serta menerima kematiannya secara wajar (bukan dengan praktek eutanasia atau tindakan sejenis lainnya).

11

5.2. Sumbang-Saran Kandungan Paper ini akhirnya menyisakan segelintir sumbang-saran berikut: Menjelaskan masalah eutanasia kepada semua lapisan masyarakat. Kalangan kampus UNPAZ, khususnya mahasiswa-mahasiswi dan para dosen Fakultas Hukum serta Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), hendaknya lebih rutin memperdalam serta menganalisis masalah eutanasia untuk dikaitkan dengan konteks lokal negeri ini. Pihak medis Timor-Leste, perlu membuka diri terhadap dialog yang lebih terbuka menghadapi kasus ini bila ingin merancang Kode Etik Kedokteran RDTL yang bakal mengatur juga tentang praktek eutanasia. Pihak yuridis serta aparatus hukum negeri ini perlu mendiskusikan serta

mensosialisasikan masalah eutanasia bila ingin merancang dekrit-hukum atau peraturan perundang-undangan tertentu yang mengatur tentang eutanasia. Perlu adanya sosialisasi akan bahaya eutanasia. Perlu adanya sosialisasi untuk membela hidup manusia. Perlu adanya sosialisasi akan betapa pentingnya hidup manusia, kepada masyarakat. Etika medis harus dijunjung tinggi agar semua orang dapat merasakan keadilan dan kesejahteraan bersama. ============================== ***

Maliana, 4 November 2013. Penulis, Joanina da Costa


NIM: 11.02.01.347

12

Anda mungkin juga menyukai