thanatos yang berarti kematian) adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau
hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa
sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang
mematikan.
Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah
seiring dengan perubahan norma-norma budaya maupun ketersediaan perawatan atau
tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-
negara lainnya dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan
dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya
Terminologi
[sunting] Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu
eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.
• Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara
sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk
mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat
dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral
maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah
tablet sianida.
• Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang
tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri
kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan
pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara
sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen
bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan
antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang
seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat
penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan
kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh
kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga
yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena
ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga
pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak
rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal,
pasien diharapkan meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.
Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
• Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali
menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh
siapapun juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak
berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang
wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat
kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil
keputusan bagi si pasien.
• Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal
ini juga masih merupakan hal kontroversial.
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos" (maut,
kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik". Hippokrates pertama
kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada
masa 400-300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat
yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh
diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.
Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di
wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia
mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian
diberlakukan pula oleh beberapa negara bagian.
Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung
dilakukannya eutanasia secara sukarela.
Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien
yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya.
Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien
yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan
permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk "pembunuhan berdasarkan belas
kasihan".
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam
suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita
keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup
mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action T4") yang
kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.
[2]
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada
era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih-lebih
lagi terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena
disebabkan oleh cacat genetika.
[sunting] Belanda
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal
euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah
Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3
melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan
eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur
yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan
sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50
pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk
melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu
akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia
20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang
melakukan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.
[sunting] Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan
UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak
bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut "Right of
the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini
beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat
Australia, sehingga harus ditarik kembali.
[sunting] Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para
pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah
dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga
mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan
adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah Belanda dan
negara bagian Oregon di Amerika ).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun
rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita
secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk
memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.[7]
[sunting] Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-
satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien
terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah
negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan
dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas
(Oregon Death with Dignity Act)[8]. Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh
diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana
pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika
mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan
sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di
antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak
boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien
dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum
juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut
tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa
maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab
dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja
nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu
sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.[9][10]
Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan
bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya eutanasia [11]
[sunting] Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan
hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada
Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa
menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya
dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Juga
demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP
yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia.
Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak
mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam
suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 [12]
menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini
belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat
Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa
dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.
[sunting] Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun
orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan
dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu
pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila
motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri."
[sunting] Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya
(Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah
proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar
dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat
(disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia
di Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi
faktor "kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di
kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical
Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga.[13]
[sunting] Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia demikian
pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur
mengenai eutanasia tersebut.
Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962
yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia pasif" (消極的安楽死, shōkyokuteki
anrakushi)
Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada tahun
1995[14] yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif " (積極的安楽死, sekkyokuteki
anrakushi)
Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum
dan suatu alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan
secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus
tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang melakukannya
akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena
keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka keputusan
tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah yurisprudensi, namun
meskipun demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara guna
melaksanakan eutanasia.
[sunting] India
Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan
eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari
Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun
berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah
atas kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang
hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan
terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan
kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan eutanasia tersebut (bantuan
eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun
eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC.[16]
[sunting] China
Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia diketahui terjadi
pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang Mingcheng"
meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap ibunya yang sakit.
Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun
6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court) menyatakan
mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker
perut yang tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk
dilakukannya eutanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya.
Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.[17]
Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas mengatur tentang
eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku eutanasia untuk berkelit dari
jerat hukum yang ada.[18]
[sunting] Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia di Korea,
namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan
"Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan
dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver
cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan berkas perkara
tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya
dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata
dengan mercy killing dalam arti kata eutanasia aktif.
Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari penghentian
penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan eutanasia pasif, dapat
diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis
terhadap dirinya.[19]
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman
sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak
tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai eutanasia dan sistem
penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-
program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya
sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas
masalah moral ini dan menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi
untuk ajaran iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de
euthanasia") [20] yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin
meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi
eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang
prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan
(Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan "gejala yang
paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia
dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes
Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang
keliru, belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut
menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang
penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66)[21][22]
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran tentang
karma, moksa dan ahimsa.
Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan
maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-
kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah
menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang
menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu.
Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun
juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan
pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada
saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah
merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik
dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka
rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana
sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana
seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17
tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya
berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima
hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali
(reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya
kembali lagi dari awal.[23]
Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan dimana
penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah merupakan salah
satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di atas maka nampak jelas
bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran
agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada
"welas asih" ("karuna")
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak
seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada
manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati
(QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam
meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang
bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan
belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri
ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah
engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah
"Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter) yang
membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya
sendiri.[25]
Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia),
yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan
sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan
cara positif maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan
bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya eutanasia ataupun
pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga .[26]
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan
kematian si sakit—karena kasih sayang—yang dilakukan oleh dokter dengan
mempergunakan instrumen (alat).
Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun yang
mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya.
Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Yang
Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena
Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah
tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.[27]
Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif tidak
dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit,
tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Hal
ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada
gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah
(hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa mengobati
atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-
imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada
hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang
dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana
dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi
menganggapnya mustahab (sunnah).[28]
Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya
kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari
Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik sesungguhnya dari kehidupan.
Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah tindakan mercy killing ( pembunuhan
berdasarkan belas kasihan), adalah merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan
terhadap kewenangan Tuhan.[30]
Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam alkitab Perjanjian
Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku
akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap
manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia".[31] Pengarang buku : HaKtav
v'haKaballah menjelaskan bahwa ayat ini adalah merujuk kepada larangan tindakan
eutanasia.[32]
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang
berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu
pelaksanaan eutanasia.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila
tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk
perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan
kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah
"bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari
sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan
alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah
diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan
istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di
samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan
suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk eutanasia yang di
luar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari
2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.[34]
Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21
April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan karena
kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara
berlebihan.Oleh karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka orangtuanya
meminta agar dokter menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus
permohonan ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama
permohonan orangtua pasien ditolak, namun pada pengadilan banding permohonan
dikabulkan sehingga alat bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca
penghentian penggunaan alat bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan walaupun
masih dalam keadaan koma. Dan baru sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12
Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).
Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari setelah
Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang
selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai
pada tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael
Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil,
Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami
kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal
jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh
karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktek dan harus membayar ganti rugi
cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini
pada pasiennya.
Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka pada bulan Mei
1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan
agar pipa alat bantu makanan pada istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal
dengan tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler
menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu
mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi
sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi.
Ketika akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, maka para
pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat
Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal
untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-undang ini langsung
didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden
George Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman
adalah independen, yang pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan
hakim terdahulu.
Dr. Jack Kevorkian dijuluki "Doctor Death", seperti dilaporkan Lori A. Roscoe [35]. Pada
awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale[36] , California diduga puluhan pasien
telah "ditolong" oleh Kevorkian untuk mengakhiri hidup. Kevorkian berargumen apa
yang dilakukannya semata demi "menolong" pasien-pasiennya. Namun, para
penentangnya menyebut apa yang dilakukannya adalah pembunuhan.
Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita
penyakit sirosis hati (liver cirrhosis). Tiga bulan setelah dirawat, seorang dokter
bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut alat bantu pernapasan (respirator) atas
permintaan anak perempuan si pasien. Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum
tersebut meminta polisi untuk memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter
atas tuduhan melakukan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park
mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah meminta untuk tidak dipasangi alat bantu
pernapasan tersebut. 1 minggu sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh
penyakit sirosis hati yang telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa
walaupun respirator tidak dicabutpun, kemungkinan hanya dapat bertahan hidup selama
24 jam saja.[37]
Eutanasia menurut KBBI adalah tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan
makhluk (orang ataupun hewan peliharaan) yang sakit berat atau luka parah dengan
kematian yang tenang dan mudah atas dasar kemanusiaan.
Kata Eutanasia sendiri berasal dari Yunani yaitu Eu artinya baik dan Thanatos artinya
kematian, maka kurang lebih dapat berarti kematian yang baik.
Keberadaan Eutanasia ini selalu menjadi pro dan kontra. Ada yang menyetujui, ada yang
menolak.
• Eutanasia agresif: Tindakan ini sengaja dilakukan oleh dokter atau paramedis
untuk mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberi obat-obatan/ tablet
sianida.
• Etanasia non-agresif: disebut juga dengan autoeuthanasia/ eutanasia otomatis.
Merupakan eutanasia negatif. Maksudnya, sipasien dengan tegas dan dengan
sadar menolak menerima perawatan medis, dan si pasien tersebut mengetahui
bahwa dengan pemberhentian tindakan medis maka hal tersebut dapat
memperpendek/mengakhiri hidupnya, dengan membuat codicil (pernyataan
tertulis tangan).
• Etanasia pasif: dikategorikan sebagai eutanasia negatif juga. Pada eutanasia ini,
dilakukan dengan menghentikan pemberian bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup si pasien. misalnya menghentikan alat penompang
kehidupan.
Ada beberapa negara yang melegalkan Eutanasia ini.. contohnya adalah Belanda, Belgia,
Luxemburg,, negara bagian oregon dan washington. Sedangkan di negara Inggris
eutanasia merupakan praktek melanggar hukum.
Di Indonesia sendiri belum ada undang-undang yang mengatur tentang eutanasia. Praktek
eutanasia pernah membuat heboh Indonesia, ketika pada tahun 2004 seorang yang
bernama Hasan mengajukan eutanasia terhadap istrinya Agian yang mengalami koma
selama 2 bulan setelah melahirkan, meskipun ternyata tidak jadi dilakukan.
Eutanasia adalah tindakan membunuh secara medis terhadap si penderita berat (agar
penyakit yang dideritanya terlupakan semua). Kasus beberapa tahun yang lalu di
Indonesia belum sampai pada eutanasia, baru pada titik permintaan eutanasia. Seorang
istri yang koma selama berbulan-bulan, kemudian suaminya meminta kepada dokter
untuk dilakukan eutanasia. Kenyataannya tidak sampai dilakukan eutanasia.
Kasus eutanasia biasanya diawali karena penyakit yang diderita sudah terlampau lama,
perkembangan terhadap kesembuhan pun semakin dirasakan tidak memungkinkan dan
biaya yang dikeluarkan pun tidak sedikit. Keadaan yang demikian biasanya mengawali
tindakan eutanasia, ditambah lagi beban sakit yang sangat oleh penderita atau beban dari
keluarga penderita sendiri.
Penyakit yang diderita tersebut secara langsung atau tidak langsungakan berdampak
secara psikis maupun non psikis. Kerisauan yang dialami dan materi yang terkuras karena
penyakit itu semakin memperkuat keinginan untuk euthanasia Pada dasarnya eutanasia
merupakan suatu tindakan yang melanggar HAM. Hal tersebut dikarenakan penderita
memiliki hak dasar yang paling hakiki yaitu hak untuk hidup. Dalam hal eutanasia, hak
hidup seseorang akan dirampas. Sebagai Negara hukum tentunya Negara harus
menegakkan dan menjamin kepastian adanya perlindungan terhadap HAM.
Namun dilain sisi keluarga yang merasakan dampak langsung diatas ketidaksadaran
penderita merasa mempunyai beban psikis dan materi. Kehawatiran psikis yang
berdampak pada keluarga terutama anak-anak serta materi yang terkuras sementara
keluarga masih menanggung biaya hidup bagi keluarga yang lain. Jika biaya semakin
banyak sementara hasilnya tidak mengalami perubahan tentunya akan terasa sia-sia dan
akan menelantarkan hidup keluarga yang lain karena tidak ada sandaran hidup lagi.
Jalannya kehidupan keluarga mendatang juga hendaknya diperhatikan. Karena disini juga
menyangkut nyawa orang lain. Hal-hal tersebut merupakan dilemma yang kedua. Karena
ada dilemma kemudian yang dicari adalah solusi. Solusi yang ditawarkan untuk kondisi
psikis keluarga adalah kembali pada keyakinan keluarga tersendiri. Kesabaran, ikhtiar
adalah cara untuk berserah kepada-Nya.
Pada dasarnya yang menjadi pertimbangan kuat eutanasia adalah dari segi materi. Jika
dibenturkan dalam hal ini maka solusinya adalah dengan pembebasan biaya pengobatan,
baik itu dengan bantuan rumah sakit atau Negara yang menjamin kesejahteraan warga
negaranya. Kasus ini tidak sering terjadi sehingga pembebasan biaya pun bukanlah hal
yang sulit untuk Negara. Dengan pembebasan tersebut diharapkan semua pihak
mendukung penyembuhan penderita dan tentunya Negara pun dapat melindungi
penderita serta keluarganya dalam hal materi.
Eutanasia
Ini merupakan satu persoalan yang sampai kepada saya di antara sekian banyak
persoalan mengenai kedokteran Islam dan hukum-hukumnya serta adab-adabnya, yang
disampaikan lewat surat oleh Ikatan Dokter Islam Afrika Selatan.
Pengertian qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia) ialah tindakan memudahkan
kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang,
dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun
negatif.
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan
kematian si sakit --karena kasih sayang-- yang dilakukan oleh dokter dengan
mempergunakan instrumen (alat). Beberapa contoh di antaranya:
1. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita
sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal
dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang
sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya
sekaligus.
2. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena bagian
otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan yang sangat keras.
Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat
pernapasan, sedangkan dokter berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat
disembuhkan. Alat pernapasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan
menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan,
si penderita tidak mungkin dapat melanjutkan pernapasannya. Maka satu-satunya cara
yang mungkin dapat dilakukan adalah membiarkan si sakit itu hidup dengan
mempergunakan alat pernapasan buatan untuk melanjutkan gerak kehidupannya. Namun,
ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" yang tidak
mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara
yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.
Hal ini berbeda dengan eutanasia negatif (taisir al- maut al-munfa'il) Pada eutanasia
negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri
kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk
memperpanjang hayatnya. Contohnya seperti berikut:
1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma,
disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak
yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-
paru yang jika tidak diobati --padahal masih ada kemungkinan untuk diobati-- akan dapat
mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat
mempercepat kematiannya.
2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita tashallub al-Asyram
(kelumpuhan tulang belakang) atau syalal almukhkhi (kelumpuhan otak). Dalam keadaan
demikian ia dapat saja dibiarkan --tanpa diberi pengobatan-- apabila terserang penyakit
paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak
tersebut.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia
(Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya
sendiri[1] sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan hal ini
masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia
dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia.
Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap
manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera
dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian.
Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan
hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara
sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia
tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah
kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah
bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas dari
perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya tindakan euthanasia termasuk dalam
perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP).
Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan
tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang.
Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-
persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.
Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar biasa.
Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat disembuhkan
lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal. Ketiga, dibutuhkan
usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut. Dalam kasus-kasus
seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan
medis.
Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan pidana
pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah penggunaan sarana
via extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan dan memastikan secara
medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih butuh biaya yang sangat besar jika
masih harus dirawat, apalagi perawatan harus diusahakan secara ekstra, maka yang dapat
dilakukan adalah memberhentikan proses pengobatan dan tindakan medis di rumah sakit.
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara
yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan
mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir yang pengajuan
permohonan euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan Negeri Jakarta, belum
dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan permanen pada
otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan
dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter.
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah
satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-
nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.
Permasalahan
Menyangkut feomena yang ada akan menimbulkan beberapa permasalahan yang harus
kita selesaikan dengan seksama. Dari latar belakang demikian ini penulis mendapatkan
beberapa permasalahan yang akan kita bahas dalam bab-bab berikutnya antara lain;
-Apakah dimungkinkan adanya terobosan baru dalam hukum berdasarkan kasus-kasus
berat, seperti secara medis penyakit sudah tidak bisa lagi disembuhkan, sementara dokter
pun sudah angkat tangan?
-Mengingat hukum kita menganut positifistik, bagaimana Euthanasia menurut persepektif
hukum Pidana Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun”.
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas
permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian,
dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan
yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak
dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang
itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai
perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan tindakan
medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir ini (kasus Hasan Kesuma
yang mengajukan suntik mati untuk istrinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono
yang mengajukan hal yang sama untuk istrinya, Siti Zuleha) perlu dicermati secara
hukum. Kedua kasus ini secara konseptual dikualifikasi sebagai non voluntary
euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP) dua kasus ini tidak bisa
dikualifikasi sebagai euthanasia sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP. Secara
yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kedua kasus ini adalah
pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan
berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338
KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain
diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan,
“ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang
lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.[3]
Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk
menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam
terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi
nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.
Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya
Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan,
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan
sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia
wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak
tiga ratus rupiah”.[4]
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan
kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.
Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks
hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi
sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya
euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.
Euthanasia di Negara lain
Fenomena euthanasia ini berkembang lagi ketika kasus Nyonya Agian mencuat di
permukaan ketika suaminya (Hasan) meminta DPRD Bogor untuk mengagalkan
keinginannya untuk meng-eutanasia istrinya tersebut. Banyak orang yang menentang apa
yang dilakukan Hasan pada istrinya tersebut,dengan alasan bahwa eutanasia itu
bertentangan dengan nilai-nilai etika, moral karena termasuk perbuatan yang
merendahkan martabat manusia dan perbuatannya tergolong pembunuhan, mengingat
kematian menjadi tujuan.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah
Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3
melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan
euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur
yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan
sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50
pertanyaan. kapankah hal seperti itu terjadi di Indonesia?
Kiranya persoalan euthanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan tidak selalu
dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain hukum, praktik eutanasia
tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan moral yang menjunjung tinggi harkat
dan martabat kehidupan manusia. Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun ekonomis
tidak secara otomatis melegitimasi praktik eutanasia mengingat eutanasia berhadapan
dengan faham nilai menyangkut hak dan kewajiban menghormati dan membela
kehidupan.
Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan
tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang.
Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-
persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.
Didalam KUHP Austria Pasal 139 a berbunyi ;
“Seseorang yang membunuh orang lain atas permintaan yang jelas dan sungguh- sungguh
terhadap korban dianggap bersalah melakukan delik berat pembunuhan manusia atas
permintaan akan dipidana dengan pidana penjara berat dari lima sampai sepuluh tahun”.
Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan
thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal
dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia
berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan
meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam
kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien
dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada
saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir,
yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan
lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang
diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi
sakit yang memang sudah parah (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa
sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin
yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan
takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi
menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara
dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan
menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa
digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap
pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang
dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang
tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang
sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk
sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati
maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya
dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun
dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala.
Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu
meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain
yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan
nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178).
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-
qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan
mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena
membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”
(QS Al-Baqarah : 178)
Firman Allah SWT : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya
dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990:
111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka
diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas),
atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-
Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan
melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan
ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya
yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien
dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit
yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW
bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan,
sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali
Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.”
(HR Bukhari dan Muslim).
B. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik
menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter
bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan
sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien,
misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien.
Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum
berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau
makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati
atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada
yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti
dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib.
Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya
untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah
tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani,
1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu
tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang
ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat
wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan
hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit
ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah
untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan
mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata
lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah
kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR
Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan
hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi
indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib.
Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum,
1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam
hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya
sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan
bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan
pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada
dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang
hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak
memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital
lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada
pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien
adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu,
hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat
bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan
tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter
tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai
tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien,
walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan
mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan
izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Wallahu a’lam.
Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah Ar-
Risalah.
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer.
Jakarta
: Gema Insani Press.
Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql A’dha`, Al-Ijhadh,
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut :
Darul Ummah.
Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam :
Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ
Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/euthanasia-menurut-hukum-islam/
http://www.scribd.com/doc/29263361/Euthanasia-Dalam-Medis-Dan-Hukum-Indonesia
http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/04212/aris_wibudi.htm