Anda di halaman 1dari 10

makalah euthanasia

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Ada dua masalah dalam bidang kedikteran atau kesehatan yang berkaitan
dengan aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu,
sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran
yaitu tentang abortus provokatus dan euthanasia. Dlam lafal sumpah dokter yang
disusun oleh Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan telah
diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan
masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau dicapainya
kesepakatan yangdapat diteroma oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan abortus
provokatus dan euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan
sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan
hukum, moral dan agama.
Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan
masalahnya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak
tersembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam
situasi demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari  penderitaan
ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau di lain keadaan pada pasien
yang sudah tidak sadar, keluarga orang  sakit yang tidak tega melihat pasien yang
penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak
meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat
kematian. Dari sinilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan
seseorang agar terbebas dari penderitaan atau mati secara baik.
Masalah makin sering dibicarakan dan menarik  banyak perhatian karena
semakin banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat
terutama setelah ditemukannya tindakan didalam dunia pengobatan dengan
mempergunakan tegnologi canggih dalam menghadapi keadaan-keadaan gawat
dan mengancam kelangsungan hidup. Banyak kasus-kasus di pusat pelayanan
kesehatanterurtama di bagian gawat darurat dan di bagian unit perawatan intensif
yang pada masa lalu sudah merupakn kasus yang sudah tidak dapat dibantu
lagi.       

  
1.2.RUMUSAN MASALAH
1.2.1.      Apa pengertian dari Euthanasia?
1.2.2.      Apa saja jenis-jenis Euthanasia?
1.2.3.      Bagaimana tinjauan Etis terhadap Euthanasia?
1.2.4.      Bagaimana tinjauan Yuridis terhadap Euthanasia?

1.3.TUJUAN
1.3.1.      Untuk mengetahui pengertian dari Euthanasia
1.3.2.      Untuk mengetahui jenis-jenis Euthanasia
1.3.3.      Untuk mengetahui tinjauan etis tehadap euthanasia
1.3.4.      Untuk mengetahui tinjauan yuridis terhadap euthanasia

1.4.METODE PENULISAN
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode kepustakaan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN EUTHANASIA
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos.
Kata euberarti baik, tanpa penderitaan  dan thanatos berarti mati. Dengan
demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada
yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan,
maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk
menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan
orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu
euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk
mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi
persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat
dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih
menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut
pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan
yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan
penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini maknanya berkembang
menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah
yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena
definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.
Beberapa pengertian tentang terminologi euthanasia:
a.       Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan
psikologi, euthanasia diartikan:
         Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien.
         Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang hidup
pasien
         Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau
tanpa permintaan pasien.
b.    Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam
tiga arti:
         Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk
yang beriman dengan nama Allah dibibir.
         Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya obat
penenang.
         Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya.
Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
euthanasia adalah sebagai berikut:
a.  Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
b.  Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup
pasien.
c.  Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
d. Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
e.  Demi kepentingan pasien dan keluarganya.

2.2. JENIS-JENIS EUTHANASIA
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari
mana datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis besar
euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
1.      Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk
mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya
dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.
Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan
a.       Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan
medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya
dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan
b.      Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang
dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa
risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut
oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.

2.      Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan
atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga
pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.
3.      Euthanasia volunter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat
kematian atas permintaan sendiri.
4.      Euthanasia involunter
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam
keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya.
Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian
bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai
macam yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans
magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka
menambahkan macam-macam euthanasia selain euthanasia secara garis besarnya,
yaitu:
1.      Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa
memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan
agar yang bersangkutan dapat mati dengan "baik".
2.      Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan
efek samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke
dalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan
analgetika yang mungkin "de fakto" dapat memperpendek kehidupan walaupun
hal itu tidak disengaja
3.      Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau
permintaan pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan
tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.
4.      Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan keinginan
pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya keluarga), atau
atas keputusan pemerintah.

2.3. TINJAUAN ETIS EUTHANASIA


A.    Tinjauan Kedokteran
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi
kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi
medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan.
Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, “Saya tidak akan memberikan racun
yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka
yang memintanya.” Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter
di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates
sendiri yang membuatnya.
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban
dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa
menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup
seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan
sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang
otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara
keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian
tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang
mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan
setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula
dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik
yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia
adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri
hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang
mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa
euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan
euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah
menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan
radikal dengan hakikat itu.
Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan
perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai
penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh
seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan
di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila
suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak lagi berkompeten
melakukan perawatan medis.

B.     Tinjauan Filosofis-Etis
Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan pandangan
otonomi dan kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai dirinya sendiri
secara penuh sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan
mati (hak untuk mati). Perdebatan mengenai euthanasia dapat diringkas sebagai
berikut: atas nama penghormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus
mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia
mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi
pengakhiran penderitaan yang tidak berguna.
Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide. Salah satu
argumentasinya menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita
mengizinkan pengecualian atas larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa
dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain yang
dianggap tidak berguna lagi. Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu
kita harus menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita
mengorbankan manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan
sebagai “kesucian kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah
suci karena mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati.
Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada
secara intrinsik (ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama
dengan berakhirnya manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari
pengakuan orang, artinya ia ada entah diakui atau tidak oleh orang lain. Masing-
masing orang harus mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh
karena itu masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu,
manusia tidak pernah boleh dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai
suatu tujuan tertentu oleh orang lain.
Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi
yang banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka,
jika pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya
segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan.
Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar mempercepat
kematiannya, sekaligus memungkinkan “kematian yang baik”, tanpa penderitaan
yang tidak perlu.

2.4. TINJAUAN YURIDIS EUTHANASIA


Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada
pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang
euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal
keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau
pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu.
Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang
terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau
dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena
kurang hati-hati. Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan
euthanasia aktif tedapat padapasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP:
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,
yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat
beberapa alasan kuat untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri
hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus
dihadapinya.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal
dibawah ini perlu diketahui oleh dokter, yaitu:
Pasal 338 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena
makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan
hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara selama-
lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359 KUHP:             
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang
mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus
euthanasia, yaitu:

Pasal 345 KUHP:


Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh
diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa
manusia dalam KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya
pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah
menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh
sebab itu setiap perbuatan  apapun motif dan macamnya sepanjang perbuatan
tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka hal ini
dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama,
ras, warna kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia
Indonesia dijamin oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah
euthanasia ini.
BAB III
PENUTUP
2.1. SIMPULAN
         Euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan,
maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan
sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu
kesengsaraan dan penderitaan.
         Euthanasia dapat dikelompkkan menjadi euthanasia aktif, euthanasia pasif,
euthanasia volunter, dan uethanasia involunter.
         Menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup
seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan
sembuh lagi
         Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada
pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang
euthanasia. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum,
adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia.

2.2.SARAN
Dalam makalah ini penulis memberikan saran kepada kepeda para pemberi
layanan kesehatan khususnya para dokter untuk tidak melakukan euthanasia,
karena jika dilihat dari segi hak asasi manusia steiap orang berhak untuk hidup.
Dan jika dilihat dari segi agama, yang mempunyai kuasa atas hidup manusia
adalah Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA

Hanafiah Jusuf: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, 2005


http://Hukum-Kesehatan.web.id/AspekHukumdalamPelaksanaanEuthanasiadi        
  Indonesia«HukumKesehatan.htm
http:// Johnkoplo’sWeblog.com/Euthanasia  Tinjauan dari Segi Medis, Etis, dan
Moral

Anda mungkin juga menyukai