Anda di halaman 1dari 7

Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos.

Kata eu berarti baik, dan thanatos berarti mati. Maksudnya adalah mengakhiri
hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu euthanasia sering
disebut juga dengan mercy killing, a good death, atau enjoy death (mati dengan
tenang). Jadi euthanasia berarti mempermudah kematian (hak untuk mati).
Hak untuk mati ini secara diam-diam telah dilakukan yang tak kunjung habis
diperdebatkan. Bagi yang setuju menganggap euthanasia merupakan pilihan yang
sangat manusiawi, sementara yang tidak setuju menganggapnya sangat
bertentangan dengan nilai-nilai moral, etika dan agama.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan,
maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk
menyebabkan kematian, namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan
orang yang sedang menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu
euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk
mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi
persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat
dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum
dan psikologi, euthanasia diartikan:
1. Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien.
2. Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang
hidup pasien
3. Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau
tanpa permintaan pasien.
Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam
tiga arti:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan,
untuk yang beriman dengan nama Allah dibibir.
2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan
memberinya obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana
datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain.
Secara garis besar euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia
aktif dan euthanasia pasif
Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
1. euthanasia aktif
2. euthanasia pasif
3. euthanasia volunter
4. euthanasia involunter
A. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter
untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis.
Biasanya dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan
mematikan.
Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan:
 Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui
tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup
pasien. Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat
yang segera mematikan.
 Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan
medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien,
tetapi diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri
hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan
lainnya.
B. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala
tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia,
sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan
dihentikan.
C. Euthanasia volunter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau
mempercepat kematian atas permintaan sendiri.
D. Euthanasia involunter
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien
dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan
keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab
atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan
perbuatan kriminal.

Dalam praktik medis di kenal istilah eutanasia (taisir al-maut). Mudah nya, eutanasia adalah
memudahkan kematian seseorang dengan se nga ja tanpa merasakan sakit. Beberapa pihak
mengungkapkan ala san eutanasia karena kasih sayang. Sebabnya sang pasien sudah menderita
sakit yang teramat parah. Secara medis kemungkinannya untuk bertahan hidup sangat tipis.
Namun kondisi organ tubuhnya masih berfungsi layaknya orang hidup.

Pengertian "mempercepat kematian" dalam terminologi Islam tidak dikenal. Dalam ajaran Islam,
yang menentukan kematian hanya Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam surah Yunus [10]
ayat 49 yang mengatakan, "...Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat
mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya)."
Dengan demikian, eutanasia sebe narnya merupakan penghentian upaya medis yang diminta atau
mendapat persetujuan dari pihak pasien dan keluarganya. Eutanasia sendiri ada dua jenis.
Pertama eutanasia positif (taisir almaut al-fa'al). Maksudnya, tindakan ini me mudahkan
kematian pasien yang dilakukan oleh dokter dengan menggunakan bantuan alat atau obat.

Contoh kasus eutanasia positif adalah seorang yang menderita kanker ganas dengan rasa sakit
yang luar biasa. Dokter dengan pertimbangan medis menilai peluang hidup sang pasien sangat
kecil. Lalu dokter memberinya obat dengan takaran tinggi yang dapat menghentikan
kesakitannya sekaligus menghentikan tanda-tanda kehidupan.

Sementara eutanasia negatif (taisir al-maut al-munfa'il), adalah tim medis tidak menggunakan
bantuan alat atau obat untuk mengakhiri kehidupan sang pasien. Namun yang dilakukan adalah
membiarkan sang pasien tanpa pengobatan.

Contoh kasus eutanasia negatif adalah penderita kanker yang sudah kritis hingga koma. Lantas
dalam perhitungan dan analisa tim medis, penderita tersebut sulit untuk bertahan. Akhirnya tim
dokter dan keluarga sepakat tidak mela kukan tindakan apapun namun tetap memperpanjang
harapan hidup sang pasien.

Syekh Yusuf Qaradhawi ketika ditanya masalah ini menjawab jika eutanasia yang dimaksud
adalah jenis yang positif, maka hal tersebut dilarang. Jika model eutanasia positif, berarti si
dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si pasien.

Bahkan Syekh Yusuf Qaradhawi meng golongkan hal tersebut sebagai pembunuhan dan masuk
kategori dosa besar. Walaupun, kata Syekh Qaradhawi, niat melakukan eutanasia atas dasar
kasih sayang.

Dalam Islam segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya seseorang, baik disengaja atau
tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan, sebagaimana disebutkan dalam
hadis, "Tidak halal membunuh seorang Muslim, kecuali karena salah satu dari tiga alasan, yaitu;
pezina mukhsan/sudah berkeluarga, maka ia harus dirajam (sampai mati); seseorang yang
membunuh seorang Muslim lainnya dengan sengaja, maka ia harus dibunuh juga; dan seorang
yang keluar dari Islam."

Kemudian ia memerangi Allah dan Rasul-Nya, maka ia harus dibunuh, disalib, dan diasingkan
dari tempat kediamannya." (HR. Abu Dawud dan an- Nasa'i dari Aisyah binti Abu Bakar RA).
Selain alasan-alasan di atas, segala perbuatan yang berakibat kematian orang lain dimasukkan
dalam kategori perbuatan (jarimah) tindak pidana, yang mendapat sanksi hukum.

Sementara model eutanasia negatif, menurut Syekh Yusuf Qaradhawi berkisar pada ikhtiar
memberikan pengobatan dan tidak memberikan pengobatan. Mengobati penyakit menurut
jumhur hukum yang paling kuat adalah mubah. Sebagian kecil ulama mewajibkannya seperti
Ibnu Taimiyyah.

Para ulama berbeda pendapat manakah yang lebih baik antara berobat atau bersabar. Yang
berpendapat bersabar lebih baik berdalil dari hadis Ibnu Abbas tentang wanita penderita epilepsi
yang meminta Nabi SAW mendoakannya.

Rasulullah SAW bersabda, "Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan
mendapatkan surga. Dan jika engkau mau aku akan doakan kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu." Wanita itu menjawab, "Aku akan bersabar". (Muttafaq Alaih).

Syekh Qaradhawi berpendapat jika seseorang yang sakit lalu diberi berbagai macam pengobatan
dengan cara meminum obat, suntikan, dan sebagainya namun tidak ada perubahan maka bisa jadi
me lanjutkan pengobatan tidak wajib hukumnya. Justru bisa jadi menghentikan pengobatanlah
yang wajib. Jadi taisir al-maut, seperti contoh eutanasia negatif bukanlah termasuk membunuh
jiwa. ¦ ed: hafidz muftisany

C. Perspektif Agama-Agama Terhadap Euthanasia

Sebagian besar agama-agama yang ada tidak menyetujui euthanasia, karena beberapa alasan:

 Ajaran agama pada umumnya menyatakan bahwa kematian, merupakan akhir dalam rangkaian kehidupan di
dunia. Sepenuhnya adalah hak Tuhan, tidaka ada seorangpun di dunia ini yang berhak untuk menunda sedikitpun
waktu kematian, termasuk mempercepat waktu kematian. Orang yang melakukan euthanasia berarti dapat
dikatagorikan putus asa dan orang putus asa tidak diperbolehkan oleh setiap agama.

 Semua agama mempunyai perintah/larangan dalam kitabsuci masing-masing yaitu larangan membunuh, baik itu
diri sendiri maupun orang lain. Karena setiap ada perintah/larangan pasti ada balasan yang diberikan.

 Kehidupan manusia adalah sesuatu yang suci, karena itu kehidupan manusia harus dilindungi dan dipelihara
sebagai hak istimewa yang diberikan kepada setiap manusia.

D. Pandangan Islam Terhadap Euthanasia

Ajaran Islam memberi petunjuk yang pasti tentang kematian. Dalam Islam ditegaskan bahwa semua bentuk
kehidupan ciptaan Allah akan mengalami kebinasaan, kecuali Allah sendiri sebagai sang pencipta.
Firman Allah:
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu
dikembalikan”
Islam mengajarkan bahwa kematian datang tidak seorang pun yang dapat memperlambat atau
mempercepatnya. Allah menyatakan bahwa kematian hanya terjadi dengan izin-Nya dan kapan saat kematian itu tiba
telah ditentkan waktunya oleh Allah. Dalam Islam kematian adalah sebuah gerbang menuju kehidupan abadi (akhirat)
dimana setiap manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya selama hidup didunia dihadapan Allah SWT.
Kode etik kedokteran Islami yang disahkan oleh Konferensi Internasional Pengobatan Islam yang pertama (The
First International Conference of Islamic Medical) menyatakan: bahwa euthanasia aktif sama halnya dengan bunuh diri
(tidak dibenarkan) sesuai dengan frman Allah:
“Dan janganlahkamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu”
Kesabaran dan ketabahan terhadap rasa sakit dan penderitaan sangat dihargai dan mendapat pahala yang besar
dalam Islam. Sabda Rasulullah SAW, “Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan,
sakit,kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan dari yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau
dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu” (HR. Bukhari Muslim)

E. Beberapa Pendapat Ulama Tentang Euthanasia

Diantara masalah yang sudah terkenal dikalanga Ulama syara’ ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit
tidak wajib hukumnya, pendapat ini dikemukakan menurut Jumhur Fuqaha dan Imam-Imam mazhab. Bahkan menurut
mereka, mengobati atau berobat ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya. Sahabat-sahabat Imam syafi’i, Imam
Ahmad dan sebagian Ulama menganggap bahwa mengobati itu sunnat.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama. Berobat ataukah bersabar? Diantara mereka
ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan
dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit, wanita itu meminta kepada Nabi SAW agar mendoakannya,
lalu beliau menjawab “Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah) engkau akan mendapat surga; jika engkau mau,
maka saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu. Wanita itu menjawab aku akan bersabar. Sebenarnya saya
tadi ingin dihilangkan penyakit saja, oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit
saya. Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya”.
Dalam kaitan ini Imam Abu Hamid Al-Ghazali membantah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih
utama dalam keadaan apapun. Pendapat fuqaha yang lebih popular mengenai masalah berobat atau tidak bagi orang sakit
adalah: sebagian besar diantara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya sunat, dan sebagian kecil
lagi (lebih sedikit) berpendapat wajib.
Jadi pendapat dari sejumlah fuqaha, para ahli (dokter) dan ahli fiqh lainnya memperbolehkan euthanasia pasif
(negatif).

Pada prinsipnya, hak untuk hidup merupakan hak fundamental atau hak asasi dari setiap manusia.
Konstitusi kita yakni UUD 1945 melindungi hak untuk hidup ini dalam Pasal 28A UUD 1945 yang
menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.

Terkait dengan euthanasia yang Anda tanyakan, kami sarikan penjelasan dari Majalah Hukum Forum
Akademika, Volume 16 No. 2 Oktober 2007 dalam esei dari Haryadi, S.H., M.H., Dosen Bagian Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Jambi, yang berjudul Euthanasia Dalam Perspektif Hukum
Pidana yang kami unduh dari laman resmi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) http://isjd.pdii.lipi.go.id. Disebutkan bahwa euthanasia berasal dari kata Yunani euthanatos, mati
dengan baik tanpa penderitaan. Belanda salah satu negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan
hukum kedokteran mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia
Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda), yang menyatakan euthanasia adalah dengan sengaja
tidak melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini
dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri (M. Yusup & Amri Amir, 1999:105).

Sebagaimana dikutip Haryadi, menurut Kartono Muhammad, euthanasia dapat dikelompokkan dalam 5
kelompok yaitu:
1. Euthanasia pasif, mempercepat kematian dengan cara menolak memberikan/mengambil tindakan
pertolongan biasa, atau menghentikan pertolongan biasa yang sedang berlangsung.
2. Euthanasia aktif, mengambil tindakan secara aktif, baik langsung maupun tidak langsung yang
mengakibatkan kematian.
3. Euthanasia sukarela, mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan pasien.
4. Euthanasia tidak sukarela, mempercepat kematian tanpa permintaan atau persetujuan pasien, sering
disebut juga sebagai merey killing.
5. Euthanasia nonvolountary, mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien yang
disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga, atau atas keputusan pemerintah (Kartono Muhammad,
1992:19).

Jadi, tindakan dokter yang sudah lepas tangan terhadap pasien yang gawat dengan menyuruhnya pulang
atau tetap di Rumah Sakit tanpa dilakukan tindakan medis lebih lanjut dapat dikategorikan
sebagai euthanasia pasif sesuai dengan pembagian di atas. Namun, Anda tidak menyebutkan apakah
ada persetujuan pihak keluarga maupun pasien dalam hal ini.

Jika dikaitkan kembali dengan hak asasi manusia, euthanasia tentu melanggar hak asasi manusia yaitu
hak untuk hidup. Dalam salah satu artikel hukumonline Meski Tidak Secara Tegas Diatur, Euthanasia
Tetap Melanggar KUHP, pakar hukum pidana Universitas Padjadjaran Komariah Emong
berpendapat, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mengatur tentang
larangan melakukan euthanasia. yakni dalam Pasal 344 KUHP yang bunyinya:
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa yang diatur dalam KUHP adalah euthanasia aktif dan
sukarela. Sehingga, menurut Haryadi, dalam praktiknya di Indonesia, Pasal 344 KUHP ini sulit diterapkan
untuk menyaring perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana, sebab euthanasia yang sering terjadi di
negara ini adalah yang pasif, sedangkan pengaturan yang ada melarang euthanasia aktif dan sukarela.

Pada sisi lain, Komariah berpendapat, walaupun KUHP tidak secara tegas menyebutkan
kata euthanasia, namun, berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP seharusnya dokter menolak
melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa, sekalipun keluarga pasien menghendaki. Menurutnya,
secara hukum, norma sosial, agama dan etika dokter, euthanasia tidak diperbolehkan.

Berkaca dari pengalaman di Belanda, Komariah mengatakan prosedur euthanasia yang diberlakukan di
Belanda tidak sembarangan. Diperlukan penetapan pengadilan untuk melakukan perbuatan tersebut.
Meskipun keluarga pasien menyatakan kehendaknya untuk melakukan euthanasia, namun pengadilan
bisa saja menolak membuat penetapan. Dalam sebuah kasus di sekitar 1990 di Belanda, kata Komariah,
seorang keluarga pasien yang ingin melakukan euthanasia sempat ditolak oleh pengadilan walaupun
akhirnya dikabulkan. Untuk itu, menurut Komariah apabila tidak ada jalan lain, tidak lagi ada harapan
hidup dan secara biomedis seseorang terpaksa dicabut nyawanya melalui euthanasia, harus ada
penetapan pengadilan untuk menjalankan proses tersebut.

Sebab, penetapan pengadilan tersebut akan digunakan agar keluarga atau pihak yang memohon tidak
bisa dipidana. Begitu pula dengan peranan dokter, sehingga dokter tidak bisa disebut malpraktik. Selain
penetapan pengadilan, keterangan dari kejaksaan juga harus diminta agar di kemudian hari negara tidak
menuntut masalah euthanasia tersebut. Terlepas dari masalah di atas, menurutnya hidup mati seseorang
hanya dapat ditentukan oleh Tuhan.

Di Indonesia, upaya pengajuan permohonan euthanasia ini pernah terjadi di penghujung 2004, suami Ny.
Again mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengakhiri
penderitaan istrinya, namun permohonan itu ditolak oleh pengadilan. Menurut pakar hukum
pidana Indriyanto Seno Adji, tindakan euthanasia harus memenuhi persyaratan medis dan bukan
karena alasan sosial ekonomi. Menurutnya, sifat limitatif ini untuk mencegah agar nantinya pengajuan
euthanasia tidak sewenang-wenang. Lebih jauh simak artikel Euthanasia Dimungkinkan Dengan
Syarat Limitatif dan Permohonan Euthanasia Menimbulkan Pro dan Kontra.

Jadi, euthanasia memang dilarang di Indonesia, terutama untuk euthanasia aktif dapat dipidana paling
lama 12 (dua belas) tahun penjara. Akan tetapi, dalam praktiknya tidak mudah menjerat pelaku
euthanasia pasif yang banyak terjadi.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73).

Anda mungkin juga menyukai