DISUSUN OLEH:
MUHAMMAD
FAKULTAS KESEHATAN
Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat
lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka kadang akan
menambah penderitaan seorang pasien. Nah, penghentian pertolongan tersebut merupakan
salah satu bentuk euthanasia. Bardasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan
membedakan kematian kedalam tiga jenis:
3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan
pertolongan dokter,
Euthanasia adalah pembunuhan dalam segi medis yang disengaja, dengan aksi atau
dengan penghilangan suatu hak pengobatan yang seharusnya didapatkan oleh pasien, agar
pasien tersebut dapat meninggal secara wajar. Kata kuncinya adalah disengaja, artinya jika
aksi tersebut dilakukan dengan tidak sengaja, maka hal tersebut bukanlah euthanasia.
1. Kasus yang dialami oleh Nyonya Again (istri hasan) yang mengalami koma
selama tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan alat bantu pernafasan.
Sehingga dia akan bisa melakukan pernafasan dengan otomatis dengan bantuan alat
pernafasan. Dan jika alat pernafasan tersebut di cabut otomatis jantungnya akan
behenti memompakan darahnya keseluruh tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien
tidak akan bisa hidup. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini
sebagai "orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan
alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.
Hal tersebut adalah contoh dari yang namanya euthanasia positif yang dilakukan
secara aktif oleh medis.
Berbeda dengan euthanasia negative yang dalam proses tersebut tidak dilakukan
tindakan secara aktif (medis bersikap pasif) oleh seorang medis dan contohnya sebagai
berikut;
1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan
koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam
penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang
terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati (padahal masih ada
kemungkinan untuk diobati) akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini,
jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman
dengan nama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri
& keluarganya.
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu
eutanasia agresif, eutanasia non agresif, dan eutanasia pasif.
1. Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang
dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri
hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu
senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa
mematikan tersebut adalah tabletsianida.
3. Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak
menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien.
Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak
memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak
memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat meniadakan tindakan operasi yang
seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat
penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian.
Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah
sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga
yang menghendaki kematian
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelakuutama
euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap sebagai pembunuhan berencana, ataudengan
sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada
pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang
dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan
pasienitu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat
ataurasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya (Aprilia Eka Puspita,
2010).
Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam
hal ini terdapat apa yang disebut Concursus Idealis yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang
menyebutkan bahwa:
1. Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya
salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat
ancaman pidana pokok yang paling berat
2. Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula
dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.Pasal 63 (2)
KUHP ini mengandung asas specialis derogat legi generalis, yaitu peraturan yang khusus akan
mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak
tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan
dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia yang
cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak
untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak
untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih
tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat (Aprilia Eka Puspita, 2010).
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan & bukan hak manusia
sehinggatidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang
atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau
tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya
sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan tertentu
yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan. Jadi, meskipun seseorang memiliki
dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini
menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat
dikategorikan melakukan dosa besar & melawan kehendak Tuhan dengan memperpendek umur
seseorang. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan
bahkan kadang- kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, &putus asa
tidak berkenan di hadapan Tuhan.Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang
yang segar bugar, & tentunya sangat tidak ingin mati, & tidak sedang dalampenderitaan apalagi
sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini.Aspek lain dari
pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medisdapat
menimbulkan masalah lain (Aprilia Eka Puspita, 2010).
Seorang ibu Ny.T, umur 36 tahun, diantar oleh tenaga kesehatan ke RS.C, klien melahirkan anak
pertama, ibu dilakukan tindakan operasi caesar oleh dokter. Pada saat operasi tiba-tiba TD
menurun, dokter memberikan obat untuk meningkatkan TD ,tapi kondisi klien malah
sebaliknya, kesadaran menurun, keadaan umum memburuk dan akhirnya klien dirawat di ICU,
bayi klien selamat. Saat ini sudah lebih dari 1 bulan klien di ICU dengan diagnosa
Braindeath. Keluarga tidak sanggup membayar biaya rawatan dan keluarga minta dilakukan
tindakan euthanasia saja.
3.2 Pembahasan
Pertanyaan :
1. Apa yang seharusnya dilakukan oleh keluarga, tenaga kesehatan dan dokter dalam
kasus ini?
Jawab:
1) Meminta penjelasan kepada dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain tentang penyakit yang
diderita oleh pasien dan berapa persen kemungkinan kesembuhan pasien
2) Keluarga tidak boleh menyerah, keluarga harus tetap berupaya untuk mengusahakan
pengobatan klien karena kepasrahan akan memperburuk keadaan klien
3) Keluarga harus selalu memberikan dukungan spiritual kepada klien dengan cara berdo a dan
optimis
4) Keluarga tetap mengupayakan biaya pengobatan klien dengan cara mengajukan keringanan
biaya ke pihak rumah sakit/instansi terkait.
1. Tenaga kesehatan menjelaskan kepada keluarga bahwa euthanasia bertentangan dengan nilai-
nilai etik/moral, hukum, agama dan social budaya dan aspek lainnya.
a) Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan
hukum, hal ini dapat dil lihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada pasal 344
kitab undang-undang hukum pidana yang menyatakan bahwa barang siapa yang
menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya
dengan nyata dan sunggu-sungguh, dihukum penjara selama-selamanya 12 tahun. Juga demikian
halnya tampak pada pengatura pasal- pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat
dikatakan memenuhi unsure-unsur delik dalam perbuatan euthanasia. Dengan demikian,
secara formal hukum yang berlaku dinegara kita tidak mengizinkan tindakan euthanasia kepada
siapapun.
b) Dalam Norma agama pun euthanasia sangat dilarang karena menurut islam tidak ada
salah satupun alasan yang membenarkan euthanasia dalam keadaan apapun, sesuai dengan
Qs. Annisa: 39 yang artinya janganlah kamu saling berbunuhan . Dengan demikian
seorang muslim (dokter) yang membunuh muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan
membunuh dirinya sendiri dan hukumnya adalah haram
c) Euthanasia sangat bertentangan dengan hak azasi manusia. Hak asasi manusia selalu
dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya
hak seseorang untuk mati. Euthanasia sangan berhubungan dengan pelanggaran hak asasi
manusia.
2. Bagaimana peran masing-masing profesi jika dikaitkan dengan etik dan hukum dalam
kasus tersebut?
Jawab:
a. Peran Dokter
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik, kehidupan seorang
pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter dihadapkan pada
sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan jika sudah terlanjur
diberikan bolehkah untuk dihentikan.
Euthanasia merupakan salah satu permasalahan yang menyulitkan bagi para dokter dan tenaga
kesehatan lainnya
Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat
lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka kadang
akan menambah penderitaan seorang pasien.
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi. Jelasnya bahwa seorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedikterannya sebagai seorang profesi dikter harus
sesuai dengan ilmu kedikteran mutakhir, hukum dan agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup insani. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus
bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam
menjalankan profesinya seorang dokter tidak boleh melakukan mengakhiri kehidupan
seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi
(euthanasia).
Jadi dokter harus memberikan penjelasan semaksimal mungkin tentang resiko dari keputusan
tersebut dan menolak untuk melakukan tindakan euthanasia dan kembali pada prinsip kode
etik kedokteran yaitu memberikan pengobatan semaksimal mungkin sampai akhirnya pasien
menghembuskan nafas terakhirnya (menjelang ajal) dengan tenang karena euthanasia
bukanlah keputusan final
b. Peran perawat
Kasus ini merupakan dilema etik bagi tenaga kesehatan terutama perawat dan dokter yaitu
suatu masalah yang melibatkan dua atau lebih landasan moral tetapi tidak dapat dilakukan
keduanya meruapakan suatu situasi dimana tidak ada alternative yang memuaskan.
Suatu situasi dimana alternative yang memuaskandan yang tidak memuaskan sebanding, tidak
ada yang benar dan tidak ada yang salah (Reflita, 2010).
Dalam hal ini peran perawat yang dikaitkan dengan etik dan hukum dalam kasus euthanasia
tersebut adalah sebagai advokasi bagi pasien.
Perawat memberikan informasi tambahan bagi klien yang sedang berusaha untuk
memutuskan tindakan yang terbaik baginya, menjelaskan dengan semaksimal mungkin
tentang dampak positif dan negative dari keputusan yang di ambil oleh keluarga pasien.
Perawat juga melindungi hak-hak klien melalui cara-cara yang umum dengan menolak
aturan atau tindakan yang mungkin membahayakan kesehatan klien atau menentang hak-hak
klien.
Dan apabila keputusan ini diterima oleh dokter untuk melakukan euthanasia, maka perawat
berhak untu melakukan pembelaan dan menolak karena ini bertentangan dengan nilai-nilai
etik/moral, hukum, agama dan social budaya dan aspek lainnya dan berhak mengadukan ke
pengadilan kerena tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan.
Jawab:
Yang memegang peranan penting adalah seorang dokter. Sesuai dengan KUHP pidana yang
menyatakan bahwa seorang dokter adalah pelaku utama dalam melakukan tindakan euthanasia.
Dalam kasus ini seorang dokter yang memiliki andil dan tanggung jawab untuk memutuskan
tindakan terhadap pasienya sesuai dengan keadaan pasien. Tetapi juga ditentukan oleh
persetujuan dari keluarga. Seorang dokter juga harus memberikan informasi mengenai
keadaan dan tindakan yang dilakukan pada pasien, termasuk dalam hal ini adalah tindakan
euthanasia yang diinginkan oleh keluarga. Dokter perlu memberikan penjelasan tentang
euthanasia itu sendiri, serta dampak yang ditemukan jika melakukan tindakan tersebut.
Dokter juga harus memberikan alternatif tindakan lain, selain melakukan euthanasia, seperti
melakukan transplantasi otak, sebagai salah satu alternatif terhadap penyakit braindeath.
Setelah diberikan berbagai penjelasan tentang informasi tersebut dari dokter, maka segala
keputusan diserahkan kembali kepada keluarga untuk dapat mempertimbangkan keputusan
yang akan dipilih oleh keluarga dengan syarat keputusan etis yang diambil harus dengan
pemikirann yang rasional tidak emosional.
4. Apa solusi yang akan dilakukan dan siapa yang berhak memutuskannya? Berikan alasan?
Jawab:
Yang berhak memutuskannya dilakukan euthanasia adalah dokter atas persetujuan keluarga
tapi dalam hal ini keputusan untuk melakukan euthanasia harus ditolak oleh dokter.
keputusan yang diambil oleh dokter harus pada pengambilan keputusan yang rasional,
keputusan yang dihasilkan bersifat objektif, logis, lebih transparan, konsisten untuk
memaksimumkan hasil atau nilai dalam batas kendala tertentu.
Alasan kenapa dokter yang berhak memutuskan yaitu :
Euthanasia menurut kode etik kedokteran dan hukum di Indonesia, Seorang dokter harus
menjaga dan melindungi hidup seorang insan, ini berarti dokter tidak boleh mengakhiri hidup
seseorang meskipun dia tidak akan sembuh lagi Berdasarkan hukum di Indonesia maka
euthanasia adalah suatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada
peraturan perundang- undangan yang ada yaitu pada pasal 338, 340, 344, 345, dan 359
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku
utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap sebagai pembunuhan berencana,
atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter
selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar
belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas
permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien
dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya
Solusinnya adalah
c. Menolak tindakan euthanasia dan tetap memberikan pengobatan dan pelayanan kesehatan
semaksimal mungkin sampai klien menemui ajalnya dengan tenang (alamiah).
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi. Jelasnya bahwa seorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedikterannya sebagai seorang profesi dikter harus sesuai
dengan ilmu kedikteran mutakhir, hukum dan agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajiban melindungi hidup insani. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk
memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya seorang
dokter yang profesional tidak boleh melakukan mengakhiri kehidupan seorang pasien yang
menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia) karena ini termasuk
tindakan yang tidak professional. Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia
dalam tiga arti:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman
dengan nama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri
& keluarganya.
Jadi dokter harus memberikan penjelasan semaksimal mungkin tentang resiko dari keputusan
tersebut dan menolak untuk melakukan tindakan euthanasia.
Begitu juga dengan profesi keperawatan, dalam melakukan suatu tindakan harus sesuai
dengan kode etik perawat nasional Indonesia, di mana seorang perawat selalu berpegang
teguh terhadap kode etik sehingga kejadian pelanggaran etik dapat dihindarkan. Tindakan
professional yang dilakukan perawat terkait dengan kasus euthanasia di atas adalah perawat
harus tetap senantiasa memberikan asuhan dan pelayanan keperawatan yang holistik dan
komprehensif kepada pasien tersebut.
Jawab:
a. Hukum memberikan kerangka untuk menentukan tindakan mana yang sesuai dengan hukum.
Dalam kasus euthanasia, situasi ini menimbulkan dilema etik bagi dokter dan perawat, apakah ia
mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas permintaan pasien itu
sendiri atau keluarganya dengan dalih mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan,
tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum.
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan
hukum, hal ini dapat dilihat pada perundang-undangan yang ada. Meskipun euthanasia
bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi hukum yang sangat luas,
baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik
aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan euthanasia
aktif dengan permintaan. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut:
a. Pasal 338: Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan
biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama- lamanya lima belas tahun.
b. Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan
jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan
pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya duapuluh
tahun.
c. Pasal 344: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,
yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya
duabelas tahun.
d. Pasal 345: Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.
e. Pasal 359: Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya .
Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas tidak mengenal hak untuk mati dengan bantuan
orang lain. Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai
pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap sebagai pembunuhan
berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek
hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa
melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut
atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien
dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/41161271/
TUGAS_ISU_ATAU_DILEMA_ETIK_DALAM_PRAKTIK_KEPERAWATAN