Anda di halaman 1dari 7

EUTHANASIA

A. Konsep Euthanasia

1. Pengertian Euthanasia

Istilah euthanasia berasal dari Bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata

eu berarti indah, bagus, terhormat, atau gracefully and with dignity, sedangkan

thanatos berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai

mati dengan baik (a good death). Seorang penulis Romawi yang bernama

Suetonis, dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum, mengatakan bahwa

euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”.1

2. Jenis Euthanasia

Secara garis besar Euthanasia dikelompokkan dalam empat kelompok,

yaitu sebagai berikut:2

1) Euthanasia aktif

Adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk

mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya

dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.

Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan:

a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan

medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya

dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan.

b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis

yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui

1
2

bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya,

mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.

2) Euthanasia pasif

Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala

tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia,

sehingga pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan

dihentikan.

3) Euthanasia volunter

Euthanasia jenis ini adalah penghentian tindakan pengobatan atau

mempercepat kematian atas permintaan sendiri.

4) Euthanasia Involunter

Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien

dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan

keinginannya. Dalam hal ini dianggap keluarga pasien yang bertanggung jawab

atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan

perbuatan kriminal.

3. Keadaan-keadaan yang Memungkinkan Dilakukannya Euthanasia

Adapun keadaan yang memunkinkan dilakukan Euthanasia adalah sebagai

berikut :3

a. Dari pihak pasien, meminta kepada dokter karena sudah tidak tahan dengan

penyakit yang dideritanya atau karena tidak ingin meninggalkan beban

ekonomi bagi keluarganya, dan pasien merasa bahwa harapan untuk hidup

sangat jauh.
3

b. Dari pihak keluarga atau wali, yang merasa kasihan terhadap penderitaan

pasien. Mereka tidak tega melihat pasien tersebut tersiksa dengan rasa sakitnya.

Oleh karena itu, mereka menyetujui untuk melakukan Euthanasia.

c. Ketidakmampuan dalam pembiayaan pengobatan. Biaya pengobatan tidak

tergolong murah, apalagi jika pasien menderita penyakit parah dan harus rawat

inap di rumah sakit. Karena dana tidak cukup untuk menutup semua biaya,

akhirnya pasien memutuskan untuk melakukan euthanasia.

d. Keadaan seseorang yang tidak berbeda dengan orang mati.

B. Euthanasia dalam Perspektif Ilmu Kedokteran

Salah satu pasal dari Kode Etik Kedokteran Indonesia yang relevan

dengan masalah euthanasia, adalah Pasal 9 yang berbunyi: “Seorang dokter harus

senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.” Dalam

penjelasan Pasal 9 tersebut di atas, diuraikan bahwa segala perbuatan terhadap si

sakit bertujuan memelihara kesehatan dan kebahagiaannya dokter harus

mempertahankan dan memelihara kehidupan manusia, meskipun hal itu kadang-

kadang akan terpaksa melakukan tindakan medik lain misalnya operasi yang

membahayakan. Tindakan ini diambil setelah diperhitungkan masak-masak bahwa

tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan jiwa si sakit selain pembedahan yang

selalu mengandung risiko. Hal ini, berarti dokter dilarang mengakhiri hidup

pasien (euthanasia), walaupun menurut ilmu kedokteran dan pengalamannya

pasien tersebut tidak mungkin sembuh.

Kode Etik Kedokteran Indonesia melarang tindakan euthanasia aktif.

Dengan kata lain, dokter tidak boleh bertindak sebagai Tuhan (don't play God)
4

Medical ethtcs must be pro life, not pro death. Dokter adalah orang yang

menyelamatkan atau memelihara kehidupan, bukan orang yang menentukan

kehidupan itu sendiri (life savers, not lifejudgers). Bila dirasakan penyakit pasien

sudah tidak dapat disembuhkan kembali, maka lebih baik dokter membiarkan

pasien meninggal dengan sendirinya. Tidak perlu mengakhiri hidupnya, karena

kematiannya sudah tidak dapat dihindari lagi. Akan tetapi, perawatan

(pengobatan) seperlunya masih tetap dilakukan asalkan jangan mengada-ada

melakukan tindakan medik, apalagi dengan motif-motif tertentu, misalnya

mencari keuntungan yang sebesar-besarnya di atas penderitaan orang lain.4

Perkembangan Euthanasia tidak lepas dari perkembangan konsep tentang

kematian. Usaha manusia memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian

dengan menggunakan kemajuan iptek kedokteran telah membawa masalah baru

dalam Euthanasia, terutama berkenaan dengan penentuan kapan seseorang

dinyatakan mati. Menurut undang-undang kesehatan No. 36 Tahun 2009, pasal

117, seseorang dikatakan mati apabila fungsi sistem jantung, sirkulasi dan sistem

pernafasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang

otak telah dapat dibuktikan. Hal ini dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang,

seperti Elektro Kardiogram atau EKG dan Elektro Ensepalogram atau EEG.

Upaya mengembalikan berfungsinya fungsi jantung dan pernafasan ini,yang

sering disebut resusitasi dalam kejadian ini tidak memberikan banyak arti lagi.5
5

C. Euthanasia dalam Perspektif Hukum

Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya

dikenal 2 bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan

pasien atau korban itu sendiri dan euthanasia yang dilakukan dengan sengaja

melakukan pembiaran terhadap pasien/ korban sebagaimana secara eksplisit diatur

dalam Pasal 344 dan 304 KUHP. Eutahanasia aktif atas permintaan dilarang

menurut pasal 344 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) yang

berbunyi : “Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang

itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh – sungguh

dihukum penjara selama – lamanya dua belas tahun “. Sementara dalam pasal

304 KUHP dinyatakan: “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau

membiarkan seorang dalam keadaan sengsara,padahal menurut hukum yang

berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib member kehidupan,perawatan

atau pemeliharaan kepada orang itu,diancam dengan pidana penjara paling lama

dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

rupiah”.

Selain itu pada Pasal 345 “Barang siapa dengan sengaja menghasut orang

lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan

daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun

penjara”. Berdasarkan penjelasan pandangan hukum terhadap tindakan euthanasia

dalam skenario ini, maka dokter dan keluarga yang memberikan izin dalam

pelaksanaan tindakan tersebut dapat dijeratkan dengan pasal 345 KUHP yang ber
6

bunyi barang siapa dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, atau

memberikan sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara dengan

acaman penjara selamalamanya empat tahun penjara.

Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia

tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks

hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup

seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap

dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan

pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.6


7

DAFTAR PUSTAKA

1. Yunanto Ari dan Helmi. Hukum Pidana Malpraktek Medik Tinjauan dan

Prespektif Medikolegal. C.V. Andi Offset. Yogyakarta. 2010. Hal. 57.

2. Kartono Mohamad, Teknologi Kedokteran dan Tantangannya terhadap

Bioetika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1992. Hal.31.

3. H.R. Siswo Sudarmo, "Euthanasia, Bagaimana sikap seorang dokter?"

Makalah pada seminar sehari, Aborsi dan Euthanasia ditinjau dari segi medis,

hukum dan psikologis. Yogyakarta: FKMPY. 1990. Hal.3-4.

4. Indar. Etika dan Hukum Kesehatan.Cet. 2. Universitas Hasanuddin. Makassar.

2010. Hal 97.

5. Samil, Ratna Suprapti, Kode Etik Kedokteran Indonesia, Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia,1980.Hal 93.

6. St. Harum Pudjiarto, Perkembangan Pemikiran Euthanasia Terhadap

Pengaturan Hukum Di Indonesia (Perspektif Politik Hukum Pidana), Jurnal

Hukum, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001. N0. 17 Vol 8 Hal 144.

Anda mungkin juga menyukai