Anda di halaman 1dari 14

EUTHANASIA

I.

Pendahuluan
Euthanasia atau suntik mati oleh dokter terhadap seorang pasien yang sudah

tidak memiliki kemampuan mengobati penyakitnya saat ini masih merupakan


perbuatan pidana berupa menghilangkan nyawa orang lain. Untuk menempuh
euthanasia, selain masih ada persoalan hukum yang melarang hal itu, juga masih ada
persoalan etika dan moral. Masih berlakukah sumpah etik dokter, yang berasal dari
sumpah Bapak Ilmu Kedokteran Yunani, Hippokrates (400 SM), tak akan
kulakukan, walaupun atas permintaan, untuk memberikan racun yang mematikan,
ataupun sekedar saran untuk menggunakannya? Pro dan kontra mengenai boleh
tidaknya euthanasia dilakukan haruslah dilihat dalam keadaan senyatanya, tetapi akan
lebih baik lagi bila sebelum dilakukan didahului pengkajian secara komprehensif,
syarat ketat, dan regulasi peraturan. Dalam tradisi pemikiran moral diakui tiga
pengecualian atas larangan untuk membunuh, yaitu :5
1.

Membunuh karena membela diri; membunuh orang yang menyerang, bila hal itu
perlu untuk membela diri. Dalam beberapa kasus seorang polisi misalnya, boleh
menembak mati penyandera yang mengancam kehidupan sanderanya;

2.

Membunuh dalam kondisi perang yang adil; seorang anggota angkatan bersenjata
boleh membunuh angkatan bersenjata musuh dalam aksi di medan perang.
Mereka ini disebut sebagai combatants;

3.

Hukuman mati. Pengalaman menunjukkan dari ketiga pengecualian itu,


nampaknya hukuman mati paling banyak menimbulkan pro dan kontra. Semakin
banyak orang menyatakan hukuman mati sebagai tindakan yang tidak etis, oleh
karenanya banyak kalangan mengajukan rekomendasi untuk menghapuskannya.
Sejalan dengan perkembangan paradigma kesehatan, terkait dengan fungsi

serta tugas dokter dan hak hidup pasien dalam beberapa dekade terakhir telah
berkembang fenomena dilematis persoalan pengecualian yang keempat yaitu
Physician assisted suicide ( bunuh diri yang diperkenankan ) dan merupakan salah

satu sebab terbesar terjadinya bunuh diri di Amerika Serikat.5


Istilah lain mengenai bunuh diri model ini adalah Euthanasia. Namun beberapa
kepustakaan menunjukkan bahwa sesungguhnya assisted suicide (bunuh diri
berbantuan) adalah perkembangan / perluasan dari euthanasia.5
Di beberapa negara kini mulai bermunculan organisasi yang memperjuangkan
keabsahan euthanasia (di Inggris bahkan telah berdiri organisasi sejenis ini sejak
tahun 1935). Organisasi ini dalam tahap bahkan internasional telah melakukan
kerjasama sejak tahun 1976 dalam International Federation of Right to Die Societis.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah fenomena euthanasia ini dapat diterima
secara logika dan moralitas hukum, mengingat di dalamnya terdapat aspek
pembunuhan atau penghilangan nyawa seseorang ?5
II. Pengertian Euthanasia
Bidang medis membagi proses kematian ke dalam tiga cara yaitu : pertama,
Orthothansia ialah proses kematian yang terjadi karena proses ilmiah atau secara
wajar, seperti proses ketuaan, penyakit dan sebagainya. Kedua, dysthanasia ialah
proses kematian yang terjadi secara tidak wajar, seperti pembunuhan, bunuh diri dan
lain-lain. Ketiga, euthanasia ialah proses kematian yang terjadi karena pertolongan
dokter.1
Euthanasia atau jenis kematian ketiga yang disebutkan diatas merupakan
jenis kematian yang hingga saat ini menimbulkan dilema bagi para petugas medis
khususnya dokter karena belum adanya ketetapan hukum. Karena tidak jarang pasien
yang menderita penyakit parah dan sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh
menginginkan dokter melakukan euthanasia terhadap dirinya atau pasien yang tidak
sadarkan diri selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sehingga keluarganya
tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh pasien tersebut sehingga keluarga
meminta kepada dokter untuk melakukan tindakan euthanasia. Baik itu dengan cara
menghentikan pengobatan, memberikan obat dengan dosis yang berlebihan (over
dosis), dan dengan berbagai macam cara lainnya.1

Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu Euthanatos. Eu berarti


baik, tanpa penderitaan dan Thanatos berarti mati. Jadi dapat disimpulkan bahwa
Euthanasia artinya mati dengan baik, atau mati dengan tanpa penderitaan atau 8 mati
cepat tanpa derita. Menurut kamus hukum, Euthanasia adalah menghilangkan nyawa
tanpa rasa sakit untuk meringankan sakaratul maut seorang penderita yang tak ada
kemungkinan sembuh lagi. Menurut pandangan dokter, Euthanasia adalah dengan
sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau
sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup
seorang pasien, dan dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri. Profesinya seorang
dokter tidak boleh melakukan penguguran kandungan (Abortus Provocatus),
mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak
mungkin akan sembuh lagi (euthanasia). Euthanasia dalam Oxford English
Dictionary dirumuskan sebagai kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan
terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan.
Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini.2,6
Sementara itu menurut Kamus Kedokteran euthanasia mengandung dua
pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua,
pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang
menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hatihati dan disengaja.2
Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban
tersendiri bagi aparat penegak hukum. Sebab, pada persoalan legalitas inilah
persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum positif
mengatur persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam
menyikapi persoalan tersebut. Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal
dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu
euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary
euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344
KUHP secara tegas menyatakan : Barang siapa merampas nyawa orang lain atas

permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.2
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa
pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya.
Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap
dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan melihat konteks hukum positif di
Indonesia maka tidak memungkinkan untuk melakukan euthanasia bahkan adanya
larangan pengakhiran hidup seseorang sekalipun atas permintaan orang itu sendiri.
Perbuatan tersebut tetap dianggap sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan
yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut sesuai
dengan peraturan yang berlaku yaitu KUHP.2
Berdasarkan beberapa defenisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
Euthanasia merupakan tindakan yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja
untuk mempermudah atau meringankan kematian seseorang pasien yang tingkat
kesembuhannya kecil agar tidak merasakan penderitaan yang berkepanjangan atau
untuk memperpanjang hidupnya dan hal ini dilakukan untuk kepentingan pasien itu
sendiri. Akan tetapi menurut Dr. Richard Lamerton, mantan direktur St. Josephs
Hospice Home Care Service, London, Inggris, istilah Euthanasia tersebut ditafsirkan
pada abad ke-20 sebagai pembunuhan belas kasihan (mercy killing) yang berasal
dari pembunuhan yang didasarkan hukum.2
Unsur-unsur euthanasia dilihat dari beberapa definisi di atas, antara lain :2
1.

Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

2.

Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup


pasien.

3.

Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.

4.

Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.

5.

Demi kepentingan pasien dan keluarganya.3

III. Jenis-Jenis Euthanasia


Euthanasia dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, sesuai dari mana sudut
pandangnya atau cara melihatnya.6
A. Euthanasia dilihat dari cara dilaksanakannya
Berdasarkan cara pelaksanaannya, Euthanasia dapat dibedakan menjadi :6
1.

Euthanasia pasif.
Euthanasia pasif adalah menghentikan atau mencabut segala tindakan
pengobatan yang sedang berlangsung untuk mempertahankan hidupnya. Menurut
kamus hukum, Euthanasia pasif adalah pihak dokter menghentikan segala obat
yang

diberikan

kepada

pasien,

kecuali

obat

untuk

mengurangi

atau

menghilangkan rasa sakit atas permintaan pasien. Berdasarkan kedua


pengertiandi atas maka dapat disimpulkan bahwa Euthanasia pasif adalah
tindakan mempercepat kematian pasien dengan cara menolak memberikan
pertolongan seperti menghentikan atau mencabut segala pengobatan yang
menunjang hidup si pasien. Hal ini sudah jelas, karena seorang pasien yang
sedang menjalani perawatan pastilah didukung oleh obat-obatan sebagai salah
satu tindakan medis yang dilakukan oleh petugas medis atau dokter demi
kesembuhan pasien. Apabila petugas medis/dokter membiarkan pasien meninggal
atau pasien menolak untuk diberikan pertolongan oleh dokter dengan cara
menghentikan

pemberian

obat-obatan

bagi

pasien,

misalnya

seperti

memberhentikan alat bantu pernapasan (alat respirator) maka secara otomatis


pasien meninggal. Cara yang dilakukan oleh dokter tersebut merupakan
euthanasia pasif.
2.

Euthanasia aktif.
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara
medis melalui intervensi atau tindakan aktif oleh seorang petugas medis (dokter),
bertujuan untuk mengakhiri hidup pasien. Dengan kata lain, Euthanasia aktif
sengaja dilakukan untuk membuat pasien yang bersangkutan meninggal, baik
dengan cara memberikan obat bertakaran tinggi (over dosis) atau menyuntikkan
obat dengan dosis atau cara lain yang dapat mengakibatkan kematian. Euthanasia

dibagi lagi menjadi euthanasia aktif langsung (direct) dan euthanasia aktif tidak
langsung (indirect). Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan
medik secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien atau
memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini biasa disebut 12
mercy killing. Contohnya, dokter memberikan suntikan zat yang dapat segera
mematikan pasien. Euthanasia aktif tidak langsung adalah keadaan dimana
dokter atau tenaga medis melakukan tindakan medik tidak secara langsung untuk
mengakhiri hidup pasien, namun mengetahui adanya resiko yang dapat
memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Contohnya, mencabut oksigen
atau alat bantu kehidupan lainnya.4
B. Ditinjau dari permintaan
Bagi pasien yang harapannya untuk sembuh sangat kecil biasanya mengajukan
permintaan kepada petugas medis untuk mengakhiri hidupnya agar pasien tersebut
tidak mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Berdasarkan hal tersebut, maka
Euthanasia dapat dibedakan menjadi :2,6
1.

Euthanasia voluntir
Euthanasia voluntir adalah euthanasia yang dilakukan oleh petugas medis
berdasarkan permintaan dari pasien sendiri. Permintaan ini dilakukan oleh pasien
dalam kondisi sadar dan berulang-ulang, tanpa tekanan dari siapapun. Dengan
kata lain, pasien menginginkan dilakukannya euthanasia secara sukarela karena
berdasarkan permintaannya sendiri dan tanpa adanya paksaan dari pihak
manapun.

2.

Euthanasia involuntir
Euthanasia involuntir ini dilakukan oleh petugas medis kepada pasien yang
sudah tidak sadar. Biasanya permintaan untuk dilakukannya euthanasia ini berasal
dari pihak ketiga yaitu keluarga pasien dengan berbagai alasan, antara lain : biaya
perawatan yang mahal sehingga tidak bisa ditanggung lagi oleh keluarga pasien,
kasihan terhadap penderitaan pasien, dan beberapa alasan lainnya.5

Menurut Leenen, seperti dikutip oleh Chrisdiono, terdapat beberapa kasus yang
disebut pseudo-euthanasia atau euthanasia semu, yang tidak dapat dimasukkan pada
larangan hukum pidana. Empat pseudo-euthanasia menurut Leneen adalah :
1) Pengakhiran perawatan medis karena gejala mati batang otak. Jantung masih
berdenyut, peredaran darah dan pernapasan masih berjalan, tetapi tidak ada
kesadaran karena otak seratus persen tidak berfungsi, misalnya akibat kecelakaan
berat.
2) Pasien menolak perawatan atau bantuan medis terhadap dirinya.
3) Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan
(force majure).
4) Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medis yang diketahui tidak ada
gunanya.
IV. Euthanasia di beberapa negara
1.

Perkembangan Euthanasia di Amerika Serikat


Di negara bagian Washington dulu berlaku larangan dilakukannya physician

assisted suicide. Namun setelah keputusan Ninth U.S. Circuit Court of Appeals sejak
1997 telah membatalkan larangan tentang Physician assisted suicide, maka kini hak
untuk mengakhiri hidup telah diperbolehkan. Komite ad hoc terpaksa dibentuk di
Harvard Medical School tahun 1969 dan menghasilkan rekomendasi mengenai
boleh / tidaknya mengakhiri hidup pasien penderita brain death, yaitu bila memenuhi
unsur unsur :1,2
Unreceptivity and unrespondesiveness (kehilangan daya tanggap/reaksi);
No spontaneous movements or breathing (tanpa gerak spontan dan nafas);
No reflexes (tanpa refleks);
a flat electroencephalogram / EEG (kerusakan otak).
Sebuah penelitian menunjukkan diAmerika Serikat pendapat masyarakat 60%,

(sementara di Cina 89 %) setuju dilakukannya euthanasia. Jawaban setuju di kalangan


responden di Amerika Serikat itu setidaknya dilandasi tujuh alasan berbeda untuk
mendukung pembunuhan atas dasar belas kasihan (euthanasia), yaitu :6
1) Tesis filosofis bahwa setiap pribadi rasional mempunyai hak yang tak dapat
dialihkan dan tak dapat dikurangi untuk membunuh dirinya;
Anggapan mengenai kepemilikan anggapan bahwa kehidupan seseorang
merupakan miliknya sendiri;

Fakta materiil, sejumlah penyakit dirasa membuat rasa amat menderita;

Keputusan yang mengakibatkan sejumlah kehidupan, kendatipun bukan karena


sakit, tidak mempunyai arti;
Pendapat bahwa ketergantungan pada perhatian orang orang lain itu
merendahkan dan tidak pantas;
Gagasan bahwa teknik medis modern memaksa kita untuk menerima
pembunuhan belas kasih dalam banyak kasus;
Teori filosofis mengenai tindakan dan kelalaian.
2.

Euthanasia di Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory sesungguhnya menjadi tempat

pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri


berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern
Territory menerima UU yang disebut Right of the terminally ill bill ( UU tentang hak
pasien terminal ). Penetapan ini membuat Bob Dent seorang penderita kanker prostat
orang pertama yang mengakhiri hidupnya dengan jalan euthanasia. Kamis 2 Januari
Janet Mills (52 th ) mengikuti jejak Bob melakukan euthanasia karena telah 3 tahun
lamanyamengidap penyakit mycosis fungoides. Penderitaan yang dialaminya berupa
gatal gatal diikuti rontoknya kulit, bau busuk, sprei yang dijadikan alas tidur penuh
Darah. Undang undang ini kemudian beberapa kali dipraktekkan, tetapi bulan Maret
1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.2,5

3.

Euthanasia di Belgia dan Belanda


Belgia menyetujui draf RUU euthanasia berdasarkan persetujuan dari

parlemen, untuk mengundangkan praktik itu. Kars Veling, anggota Senat dari Partai
Kristen Bersatu, mengakui kalangan agama tidak menyetujui undang- undang ini.
Euthanasia, kata Veling, bukanlah sesuatu yang dipaksakan pada orang, akan tetapi
hanyalah sebuah opsi, pilihan terakhir, bagi mereka yang secara medis sudah tidak
mempunyai harapan hidup lagi ( AFP / Reuters / sha Kompas, 12 April
2001 ). Suatu penelitian yang pernah dilakukan oleh Brian Pollard di Belanda
pada tahun 1991, menemukan sedikitnya 25.000 kali setiap tahun dilakukan
pembunuhan secara medis. Angka itu adalah 20 % dari seluruh kematian di Negeri
Belanda. 14.500 dari kematian medis di atas merupakan euthanasia yang diandaikan
atau dipaksakan. Pada tahun yang sama sebuah dewan Belanda mendapatkan bahwa
27 % dari seluruh dokter di Belanda pernah melakukan euthanasia tanpa permintaan
apapun dari pasien.2
Berhadapan dengan rekomendasi mengenai euthanasia di Belanda, yang
meskipun dilarang oleh hukum perundang undangan, namun hal ini dilindungi oleh
serangkaian keputusan pengadilan dan Mahkamah Agung, serta secara luas dianggap
legal, atau lebih tepat gedoeken. Gedoekan dinyatakan sebagai tindakan toleransi
sehingga dapat melindungi seorang dokter bila melakukan euthanasia, bila :2
Permintaan pasien harus bersifat sukarela;
Pasien berada dalam penderitaan yang tidak dapat ditolerir;
Semua alternatif untuk meringankan penderitaan yang bisa diterima oleh pasien,
telah dicoba;
Pasien mempunyai informasi lengkap/ cukup ( the right to die in dignity );
Dokter telah berkonsultasi dengan dokter kedua, yang penilaiannya diharapkan
independen.
4.

Euthanasia di Indonesia
Di Indonesia sendiri, pemberian bantuan kepada pasien dalam keadaan

terminal untuk diakhiri hidupnya (dengan berbagai cara, antara lain, menyuntikkan
obat yang membuat pasien mati), belum ada laporannya, sehingga sulit untuk
mengetahui apakah pernah dilaksanakan tindakan euthanasia. Yang seringkali terjadi
adalah penolakan pasien untuk diberikan bantuan / pertolongan pelayanan kesehatan,
sehingga pasien tersebut meninggal dunia. Dengan adanya TROS (hak manusia untuk
menentukan dirinya sendiri) maka dokter / Rumah Sakit tidak dapat memaksa pasien
untuk mendapatkan pertolongan kesehatan, meskipun kemungkinan pasien sembuh
sangat besar. Belum lama berselang masalah euthanasia di Indonesia begitu gencar
diperdebatkan, dan menjadi silang pendapat antara pro dan kontra ketika Panca
Satrya Hasan Kusuma menyatakan bahwa ia meminta istrinya mati demi anak. Ia
meminta agar istrinya, Agian Isna Nauli ( 33 th ), disuntik mati karena tidak bisa
sembuh lagi. Ny Agian sudah hampir tiga bulan lumpuh setelah melahirkan anak
keduanya, Rayge Atila Nurullah Kesuma, melalui operasi Caesar di Rumah Sakit
Islam Bogor. Ny Agian mengalami kerusakan otak permanen. Kerusakan itu terjadi
pada batang otak, syaraf otak, serta otak bagian kiri dan kanan. Saat operasi Caesar,
menurut Hasan, istrinya mengalami tekanan darah sangat rendah dan kemudian
dipompa agar tekanannya naik. Setelah operasi, Ny Agian mengalami koma selama
beberapa hari. Memang, bila ditelusuri hukum di Indonesia belum mengatur
euthanasia, tetapi mengingat kondisi tertentu pasien, bisa saja pengadilan mengambil
terobosan hukum baru atas kasus yang secara medik tidak bisa lagi disembuhkan dan
dokter sudah angkat tangan. Dengan alasan ini misalnya, bolehlah untuk direnungkan
bagaimana implikasinya terhadap kasus kasus tertentu. Meski dalam sejumlah kasus
lain berbagai alasan seperti moral, etika, maupun religius, ada kecenderungan
euthanasia dapat saja dinyatakan tetap tabu dan terlarang untuk dilakukan.2,6
V.

Euthanasia dan Kode Etik Kedokteran


Segala tindakan yang dilakukan oleh seorang dokter harus sesuai dengan

keahliannya yang diperoleh dari pendidikan kedokteran yang telah ditempuhnya serta
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2
Kode Etik Kedokteran, yaitu seorang dokter harus senantiasa berupaya

melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi. Standar


profesi tertinggi yang dimaksud adalah melakukan profesi sesuai dengan ilmu
pengetahuan kedokteran yang mutakhir atau sesuai dengan perkembangan IPTEK
kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama. Pendidikan kedokteran
mutakhir yang dimaksud di atas adalah sesuai dengan pasal 28 ayat (1) UndangUndang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yaitu setiap dokter atau
dokter gigi yang berpraktek wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran
atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan
lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi.
Selain itu, dalam Kode Etik Kedokteran yaitu pada Pasal 7c bahwa seorang dokter
harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan
lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien. Hak pasien yang dimaksud pada
Pasal tersebut salah satunya adalah hak untuk hidup dan hak atas tubuhnya sendiri.12
Maka berdasarkan Pasal 7c seorang dokter harus memenuhi permintaan pasien yang
ingin dieutahanasia sebab pasien tersebut berhak atas hidup dan tubuhnya sendiri.
Tetapi pada Pasal 7d menyatakan bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat
kewajiban melindungi hidup insani. Artinya, dalam tindakan medis yang dilakukan
oleh dokter bertujuan untuk memelihara kesehatan dan mempertahankan hidup
pasien. Sehingga dokter tidak boleh melakukan tindakan yang tidak memelihara atau
mempertahankan hidup pasien salah satunya adalah Euthanasia.4,5
Terjadi ketidakharmonisan antara Pasal 7c dengan Pasal 7d Kode Etik
Kedokteran Indonesia apabila dikaitkan dengan Euthanasia, yaitu berdasarkan Pasal
7c seorang dokter harus memenuhi permintaan pasien untuk dilakukan Euthanasia
sesuai dengan hak pasien atas hidup dan tubuhnya sendiri. Menurut Pasal 7d seorang
dokter harus memelihara kesehatan dan mempertahankan hidup seorang pasien.4,5
Euthanasia pada dasarnya masih dianggap tidak ada bedanya dengan
pembunuhan yang secara hukum dapat diancam pidana berdasarkan KUHPidana.
Pasal 344 : Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan yang tegas
dan sungguh sungguh dari orang lain itu sendiri dihukum dengan hukuman penjara

selama lamanya dua belas tahun. Ketentuan di atas dilakukan bila ataspermohonan
pasien atau keluarganya (melakukan euthanasia aktif). Namun bila dilakukan tanpa
permintaan pasien (dikategorikan euthanasia pasif ), ancamannya Pasal 338 dan 340
KUHPidana. Pasal 338 : Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang
lain, karena salah telah melakukan pembunuhan dihukum dengan hukuman penjara
selama lamanya lima belas tahun. Pasal 340 : Barangsiapa dengan sengaja dan
dengan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, karena salah
telah melakukan pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum dengan
hukuman mati atau dengan hukuman penjara seumur hidup atau dengan hukuman
penjara sementara selama lamanya dua puluh tahun. Padahal euthanasia pasif dapat
memiliki keterkaitan dengan hak hak pasien, antara lain hak atas informasi, hak
memberikan persetujuan, hak memilih dokter, hak memilih rumah sakit, hak atas
rahasia kedokteran, hak menolak pengobatan, hak menolak suatu tindakan medis
tertentu, hak untuk menghentikan pengobatan. Sedangkan dari sisi lain yaitu etika,
pandangan mengenai kesucian kehidupan dan penghargaan pengakuan hak untuk
hidup memungkinkan untuk melakukan euthanasia ini, karena adanya pengakuan hak
untuk hidup seyogyanya diperlakukan juga setara dengan adanya hak untuk mati.
Prinsip menghormati kehidupan adalah salah satu prinsip yang cukup penting dalam
etika medis.2,5,6
VI. Penutup
Mengingat kondisi demikian, yang dibutuhkan kemudian adalah perawatan dan
pendampingan, baik bagi si pasien maupun bagi pihak keluarga. Perhatian dan kasih
sayang sangat diperlukan bagi penderita sakit terminal, bukan lagi kebutuhan fisik,
tetapi lebih pada kebutuhan psikis dan emosional, sehingga baik secara langsung
maupun tidak kita dapat membantu pasien menyelesaikan persoalan-persoalan
pribadinya dan kemudian hari siap menerima kematian penuh penyerahan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimanapun si pasien adalah manusia yang masih hidup,
maka perlakuan yang seharusnya adalah perlakuan yang manusiawi kepadanya.
Memang euthanasia berbicara pengakhiran hidup, namun jangan lupa di dalamnya

terkait juga masalah quality of life. Dan sekiranya pun apabila dahulu pengadilan
akhirnya mengabulkan permohonan Panca, seorang dokter atas dasar belas kasihan
melakukan suntikan mati, apakah tindakan dokter ini telah dapat dinyatakan sesuai
dengan hak asasi manusia ?
Tampaknya dua kubu pro dan kontra terhadap euthanasia ini senantiasa akan
terjadi meski keduanya sama sama berlandaskan peri kemanusiaan dan asas
kehidupan yang asasi. Pro euthanasia bersandarkan kepada sudut pandang
penghilangan penderitaan ( tidak semata mata pembunuhan ) sedangkan kubu yang
menolak euthanasia beranggapan bahwa pada hakekatnya euthanasia justru adalah
pembunuhan itu sendiri. Memang, konteks euthanasia cenderung kepada konteks
medis, namum berimplikasi lebih luas kepada tatanan sosial lain termasuk hukum. Di
sinilah letak penting dilakukannya kajian secara komprehensif terutama batasan
pengertian apakah sesungguhnya makna kematian itu.
Dengan batasan yang jelas, maka dapat dihindari misunderstanding , meskipun
itu berarti akan memberikan kepastian atas hukum. Hukum (pidana) positif di
Indonesia jelas belum memberikan ruang bagi euthanasia, baik euthanasia aktif
maupun euthanasia pasif. Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan
persoalan euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap
diperhatikan dan dipertimbangkan sisi-sisi nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Ameln Fred. 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta : Grafikatama


Jaya.

2.

Chandrawila Wila. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung : Mandar Maju.

3.

Dahlan Sofwan. 2003. Hukum Kesehatan. Semarang : Badan Penerbit


Universitas Diponegoro.

4.

Fuady Munir. 2005. Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktek Dokter).


Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

5.

Guwandi J. 2005. Medical Error dan Hukum Medis. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.

6.

Suwarto, Euthanasia dan Perkembangannya dalam KUHP, Jurnal Hukum Pro Justicia,
Volume 27 No. 2 (Oktober, 2009), 174

7.

Wiranata I Gede A.B. 2004. Euthanasia (Pro dan Kontra), Masalah-masalah


Hukum. Majalah Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Vol. 33 No. 4.
Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai