I.
Pendahuluan
Euthanasia atau suntik mati oleh dokter terhadap seorang pasien yang sudah
Membunuh karena membela diri; membunuh orang yang menyerang, bila hal itu
perlu untuk membela diri. Dalam beberapa kasus seorang polisi misalnya, boleh
menembak mati penyandera yang mengancam kehidupan sanderanya;
2.
Membunuh dalam kondisi perang yang adil; seorang anggota angkatan bersenjata
boleh membunuh angkatan bersenjata musuh dalam aksi di medan perang.
Mereka ini disebut sebagai combatants;
3.
serta tugas dokter dan hak hidup pasien dalam beberapa dekade terakhir telah
berkembang fenomena dilematis persoalan pengecualian yang keempat yaitu
Physician assisted suicide ( bunuh diri yang diperkenankan ) dan merupakan salah
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.2
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa
pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya.
Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap
dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan melihat konteks hukum positif di
Indonesia maka tidak memungkinkan untuk melakukan euthanasia bahkan adanya
larangan pengakhiran hidup seseorang sekalipun atas permintaan orang itu sendiri.
Perbuatan tersebut tetap dianggap sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan
yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut sesuai
dengan peraturan yang berlaku yaitu KUHP.2
Berdasarkan beberapa defenisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
Euthanasia merupakan tindakan yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja
untuk mempermudah atau meringankan kematian seseorang pasien yang tingkat
kesembuhannya kecil agar tidak merasakan penderitaan yang berkepanjangan atau
untuk memperpanjang hidupnya dan hal ini dilakukan untuk kepentingan pasien itu
sendiri. Akan tetapi menurut Dr. Richard Lamerton, mantan direktur St. Josephs
Hospice Home Care Service, London, Inggris, istilah Euthanasia tersebut ditafsirkan
pada abad ke-20 sebagai pembunuhan belas kasihan (mercy killing) yang berasal
dari pembunuhan yang didasarkan hukum.2
Unsur-unsur euthanasia dilihat dari beberapa definisi di atas, antara lain :2
1.
2.
3.
4.
5.
Euthanasia pasif.
Euthanasia pasif adalah menghentikan atau mencabut segala tindakan
pengobatan yang sedang berlangsung untuk mempertahankan hidupnya. Menurut
kamus hukum, Euthanasia pasif adalah pihak dokter menghentikan segala obat
yang
diberikan
kepada
pasien,
kecuali
obat
untuk
mengurangi
atau
pemberian
obat-obatan
bagi
pasien,
misalnya
seperti
Euthanasia aktif.
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara
medis melalui intervensi atau tindakan aktif oleh seorang petugas medis (dokter),
bertujuan untuk mengakhiri hidup pasien. Dengan kata lain, Euthanasia aktif
sengaja dilakukan untuk membuat pasien yang bersangkutan meninggal, baik
dengan cara memberikan obat bertakaran tinggi (over dosis) atau menyuntikkan
obat dengan dosis atau cara lain yang dapat mengakibatkan kematian. Euthanasia
dibagi lagi menjadi euthanasia aktif langsung (direct) dan euthanasia aktif tidak
langsung (indirect). Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan
medik secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien atau
memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini biasa disebut 12
mercy killing. Contohnya, dokter memberikan suntikan zat yang dapat segera
mematikan pasien. Euthanasia aktif tidak langsung adalah keadaan dimana
dokter atau tenaga medis melakukan tindakan medik tidak secara langsung untuk
mengakhiri hidup pasien, namun mengetahui adanya resiko yang dapat
memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Contohnya, mencabut oksigen
atau alat bantu kehidupan lainnya.4
B. Ditinjau dari permintaan
Bagi pasien yang harapannya untuk sembuh sangat kecil biasanya mengajukan
permintaan kepada petugas medis untuk mengakhiri hidupnya agar pasien tersebut
tidak mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Berdasarkan hal tersebut, maka
Euthanasia dapat dibedakan menjadi :2,6
1.
Euthanasia voluntir
Euthanasia voluntir adalah euthanasia yang dilakukan oleh petugas medis
berdasarkan permintaan dari pasien sendiri. Permintaan ini dilakukan oleh pasien
dalam kondisi sadar dan berulang-ulang, tanpa tekanan dari siapapun. Dengan
kata lain, pasien menginginkan dilakukannya euthanasia secara sukarela karena
berdasarkan permintaannya sendiri dan tanpa adanya paksaan dari pihak
manapun.
2.
Euthanasia involuntir
Euthanasia involuntir ini dilakukan oleh petugas medis kepada pasien yang
sudah tidak sadar. Biasanya permintaan untuk dilakukannya euthanasia ini berasal
dari pihak ketiga yaitu keluarga pasien dengan berbagai alasan, antara lain : biaya
perawatan yang mahal sehingga tidak bisa ditanggung lagi oleh keluarga pasien,
kasihan terhadap penderitaan pasien, dan beberapa alasan lainnya.5
Menurut Leenen, seperti dikutip oleh Chrisdiono, terdapat beberapa kasus yang
disebut pseudo-euthanasia atau euthanasia semu, yang tidak dapat dimasukkan pada
larangan hukum pidana. Empat pseudo-euthanasia menurut Leneen adalah :
1) Pengakhiran perawatan medis karena gejala mati batang otak. Jantung masih
berdenyut, peredaran darah dan pernapasan masih berjalan, tetapi tidak ada
kesadaran karena otak seratus persen tidak berfungsi, misalnya akibat kecelakaan
berat.
2) Pasien menolak perawatan atau bantuan medis terhadap dirinya.
3) Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan
(force majure).
4) Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medis yang diketahui tidak ada
gunanya.
IV. Euthanasia di beberapa negara
1.
assisted suicide. Namun setelah keputusan Ninth U.S. Circuit Court of Appeals sejak
1997 telah membatalkan larangan tentang Physician assisted suicide, maka kini hak
untuk mengakhiri hidup telah diperbolehkan. Komite ad hoc terpaksa dibentuk di
Harvard Medical School tahun 1969 dan menghasilkan rekomendasi mengenai
boleh / tidaknya mengakhiri hidup pasien penderita brain death, yaitu bila memenuhi
unsur unsur :1,2
Unreceptivity and unrespondesiveness (kehilangan daya tanggap/reaksi);
No spontaneous movements or breathing (tanpa gerak spontan dan nafas);
No reflexes (tanpa refleks);
a flat electroencephalogram / EEG (kerusakan otak).
Sebuah penelitian menunjukkan diAmerika Serikat pendapat masyarakat 60%,
Euthanasia di Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory sesungguhnya menjadi tempat
3.
parlemen, untuk mengundangkan praktik itu. Kars Veling, anggota Senat dari Partai
Kristen Bersatu, mengakui kalangan agama tidak menyetujui undang- undang ini.
Euthanasia, kata Veling, bukanlah sesuatu yang dipaksakan pada orang, akan tetapi
hanyalah sebuah opsi, pilihan terakhir, bagi mereka yang secara medis sudah tidak
mempunyai harapan hidup lagi ( AFP / Reuters / sha Kompas, 12 April
2001 ). Suatu penelitian yang pernah dilakukan oleh Brian Pollard di Belanda
pada tahun 1991, menemukan sedikitnya 25.000 kali setiap tahun dilakukan
pembunuhan secara medis. Angka itu adalah 20 % dari seluruh kematian di Negeri
Belanda. 14.500 dari kematian medis di atas merupakan euthanasia yang diandaikan
atau dipaksakan. Pada tahun yang sama sebuah dewan Belanda mendapatkan bahwa
27 % dari seluruh dokter di Belanda pernah melakukan euthanasia tanpa permintaan
apapun dari pasien.2
Berhadapan dengan rekomendasi mengenai euthanasia di Belanda, yang
meskipun dilarang oleh hukum perundang undangan, namun hal ini dilindungi oleh
serangkaian keputusan pengadilan dan Mahkamah Agung, serta secara luas dianggap
legal, atau lebih tepat gedoeken. Gedoekan dinyatakan sebagai tindakan toleransi
sehingga dapat melindungi seorang dokter bila melakukan euthanasia, bila :2
Permintaan pasien harus bersifat sukarela;
Pasien berada dalam penderitaan yang tidak dapat ditolerir;
Semua alternatif untuk meringankan penderitaan yang bisa diterima oleh pasien,
telah dicoba;
Pasien mempunyai informasi lengkap/ cukup ( the right to die in dignity );
Dokter telah berkonsultasi dengan dokter kedua, yang penilaiannya diharapkan
independen.
4.
Euthanasia di Indonesia
Di Indonesia sendiri, pemberian bantuan kepada pasien dalam keadaan
terminal untuk diakhiri hidupnya (dengan berbagai cara, antara lain, menyuntikkan
obat yang membuat pasien mati), belum ada laporannya, sehingga sulit untuk
mengetahui apakah pernah dilaksanakan tindakan euthanasia. Yang seringkali terjadi
adalah penolakan pasien untuk diberikan bantuan / pertolongan pelayanan kesehatan,
sehingga pasien tersebut meninggal dunia. Dengan adanya TROS (hak manusia untuk
menentukan dirinya sendiri) maka dokter / Rumah Sakit tidak dapat memaksa pasien
untuk mendapatkan pertolongan kesehatan, meskipun kemungkinan pasien sembuh
sangat besar. Belum lama berselang masalah euthanasia di Indonesia begitu gencar
diperdebatkan, dan menjadi silang pendapat antara pro dan kontra ketika Panca
Satrya Hasan Kusuma menyatakan bahwa ia meminta istrinya mati demi anak. Ia
meminta agar istrinya, Agian Isna Nauli ( 33 th ), disuntik mati karena tidak bisa
sembuh lagi. Ny Agian sudah hampir tiga bulan lumpuh setelah melahirkan anak
keduanya, Rayge Atila Nurullah Kesuma, melalui operasi Caesar di Rumah Sakit
Islam Bogor. Ny Agian mengalami kerusakan otak permanen. Kerusakan itu terjadi
pada batang otak, syaraf otak, serta otak bagian kiri dan kanan. Saat operasi Caesar,
menurut Hasan, istrinya mengalami tekanan darah sangat rendah dan kemudian
dipompa agar tekanannya naik. Setelah operasi, Ny Agian mengalami koma selama
beberapa hari. Memang, bila ditelusuri hukum di Indonesia belum mengatur
euthanasia, tetapi mengingat kondisi tertentu pasien, bisa saja pengadilan mengambil
terobosan hukum baru atas kasus yang secara medik tidak bisa lagi disembuhkan dan
dokter sudah angkat tangan. Dengan alasan ini misalnya, bolehlah untuk direnungkan
bagaimana implikasinya terhadap kasus kasus tertentu. Meski dalam sejumlah kasus
lain berbagai alasan seperti moral, etika, maupun religius, ada kecenderungan
euthanasia dapat saja dinyatakan tetap tabu dan terlarang untuk dilakukan.2,6
V.
keahliannya yang diperoleh dari pendidikan kedokteran yang telah ditempuhnya serta
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2
Kode Etik Kedokteran, yaitu seorang dokter harus senantiasa berupaya
selama lamanya dua belas tahun. Ketentuan di atas dilakukan bila ataspermohonan
pasien atau keluarganya (melakukan euthanasia aktif). Namun bila dilakukan tanpa
permintaan pasien (dikategorikan euthanasia pasif ), ancamannya Pasal 338 dan 340
KUHPidana. Pasal 338 : Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang
lain, karena salah telah melakukan pembunuhan dihukum dengan hukuman penjara
selama lamanya lima belas tahun. Pasal 340 : Barangsiapa dengan sengaja dan
dengan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, karena salah
telah melakukan pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum dengan
hukuman mati atau dengan hukuman penjara seumur hidup atau dengan hukuman
penjara sementara selama lamanya dua puluh tahun. Padahal euthanasia pasif dapat
memiliki keterkaitan dengan hak hak pasien, antara lain hak atas informasi, hak
memberikan persetujuan, hak memilih dokter, hak memilih rumah sakit, hak atas
rahasia kedokteran, hak menolak pengobatan, hak menolak suatu tindakan medis
tertentu, hak untuk menghentikan pengobatan. Sedangkan dari sisi lain yaitu etika,
pandangan mengenai kesucian kehidupan dan penghargaan pengakuan hak untuk
hidup memungkinkan untuk melakukan euthanasia ini, karena adanya pengakuan hak
untuk hidup seyogyanya diperlakukan juga setara dengan adanya hak untuk mati.
Prinsip menghormati kehidupan adalah salah satu prinsip yang cukup penting dalam
etika medis.2,5,6
VI. Penutup
Mengingat kondisi demikian, yang dibutuhkan kemudian adalah perawatan dan
pendampingan, baik bagi si pasien maupun bagi pihak keluarga. Perhatian dan kasih
sayang sangat diperlukan bagi penderita sakit terminal, bukan lagi kebutuhan fisik,
tetapi lebih pada kebutuhan psikis dan emosional, sehingga baik secara langsung
maupun tidak kita dapat membantu pasien menyelesaikan persoalan-persoalan
pribadinya dan kemudian hari siap menerima kematian penuh penyerahan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimanapun si pasien adalah manusia yang masih hidup,
maka perlakuan yang seharusnya adalah perlakuan yang manusiawi kepadanya.
Memang euthanasia berbicara pengakhiran hidup, namun jangan lupa di dalamnya
terkait juga masalah quality of life. Dan sekiranya pun apabila dahulu pengadilan
akhirnya mengabulkan permohonan Panca, seorang dokter atas dasar belas kasihan
melakukan suntikan mati, apakah tindakan dokter ini telah dapat dinyatakan sesuai
dengan hak asasi manusia ?
Tampaknya dua kubu pro dan kontra terhadap euthanasia ini senantiasa akan
terjadi meski keduanya sama sama berlandaskan peri kemanusiaan dan asas
kehidupan yang asasi. Pro euthanasia bersandarkan kepada sudut pandang
penghilangan penderitaan ( tidak semata mata pembunuhan ) sedangkan kubu yang
menolak euthanasia beranggapan bahwa pada hakekatnya euthanasia justru adalah
pembunuhan itu sendiri. Memang, konteks euthanasia cenderung kepada konteks
medis, namum berimplikasi lebih luas kepada tatanan sosial lain termasuk hukum. Di
sinilah letak penting dilakukannya kajian secara komprehensif terutama batasan
pengertian apakah sesungguhnya makna kematian itu.
Dengan batasan yang jelas, maka dapat dihindari misunderstanding , meskipun
itu berarti akan memberikan kepastian atas hukum. Hukum (pidana) positif di
Indonesia jelas belum memberikan ruang bagi euthanasia, baik euthanasia aktif
maupun euthanasia pasif. Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan
persoalan euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap
diperhatikan dan dipertimbangkan sisi-sisi nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
Guwandi J. 2005. Medical Error dan Hukum Medis. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
6.
Suwarto, Euthanasia dan Perkembangannya dalam KUHP, Jurnal Hukum Pro Justicia,
Volume 27 No. 2 (Oktober, 2009), 174
7.