Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN

A. Euthanasia

Euthanasia atau suntik mati adalah salah satu tindakan medis yang bertujuan dalam menghilangkan nyawa
seseorang. Umumnya, hal ini dilakukan untuk menghilangkan penderitaan seseorang, termasuk saat disebabkan
oleh penyakit yang sudah tidak bisa diobati. Maka menurut pengertian umum sekarang ini, Euthanasia dapat
diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupan penderita yang dianggap sebagai suatu
kesengsaraan bagi penderita. Jadi, dianggap bahwa kematian diatas dasar pilihan rasional seseorang yang dapat
dianggap meringankan beban penderita atau malah menghilangkan nyawa penderita tanpa persetujuan dari
penderita itu sendiri. Berikut adalah berbagai pengertian dari sudut pandang pihak-pihak tertentu.

a. Secara Etimologis
Euthanasia berasal dari kata yunani eu (baik) dan Thanamos (kematian). Secara etimologi, euthanasia
diartikan sebagai mati dengan baik, mati bahagia, mati senang, mati tenang, mati damai, mati tanpa
penderitaan. Euthanasia dipahami sebagai suatu tindakan yang dilakukan seseorang untuk membantu
orang lain mengakhiri hidupnya dengan sengaja, semata-mata untuk kepentingan dan keuntungan orang
tersebut. Entah atas permintaan yang bersangkutan maupun atas permintaan wali/keluarganya. Euthanasia
diartikan juga sebagai tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk mengakhiri hidup seseorang atas
permintaannya sendiri. Atau juga diartikan sebagai bantuan yang diberikan kepada seseorang untuk mati
dengan tenang atas permintaannya sendiri.
b. Menurut Para Ahli
Ada beberapa pengertian Euthanasia yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Diantaranya sebagai berikut:
1. Philo. Euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik.
2. Suetonis. Penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul “Vita Ceasarum” mengatakan bahwa
Euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”.
3. Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto. Euthanasia adalah suatu kematian yang terjadi dengan
pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.
c. Menurut Ilmu Kedokteran
Menurut ilmu kedokteran adalah :
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan
nama Allah dibibir.
2. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan
keluarganya.

d. Menurut Kamus Hukum


Munculnya pro dan kontra seputar persoalan Euthanasia menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum.
Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap
persoalan Euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-
lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang kegiatan ini. Patut menjadi
catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk
Euthanasia, yaitu Euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sebagaimana secara
eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan “Barang siapa merampas
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan sesungguhan hati diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul bahwa pembunuhan atas permintaan korban
sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di
Indonesia Euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks
hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun
atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu
sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Mengacu
pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan tindakan medis untuk mengakhiri
kehidupan yang muncul akhir-akhir perlu dicermati secara hukum. Secara yuridis formal kualifikasi kasus ini
adalah pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan berencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan,
“Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam,karena pembunuhan dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun”. Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan “Barang siapa
dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan
berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama
dua puluh tahun”.
Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku
Euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang
dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau
diminum”. Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304
dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan “Barang siapa dengan sengaja
menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak
tiga ratus rupiah”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan
tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”. Dua ketentuan terakhir tersebut di atas
memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu
ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya
euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia
e. Menurut Hukum Kesehatan
Hukum kesehatan merupakan seragkaian peraturan-peraturan yang secara langsung berkaitan dengan
perawatan kesehatan maupun penerapan hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi umum.
Sedangkan hukum kedokteran dirumuskan sebagai suatu studi tentang hubungan-hubungan hukum dalam
hubungan mana dokter (pelaksana profesi kesehatan) merupakan salah satu pihak dalam hubungan
tersebut(Koeswadji, 1992).
Apabila dikaji dari segi hukum kesehatan khususnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 maka dapat
dikatakan bahwa belum ada pengaturan secara tegas mengenai euthanasia. Dapat dikatakan bahwa
tindakan yang menyebabkan matinya seseorang sampai saat ini belum diterima secara hukum. Sejalan
dengan itu Declaratio de Euthanasia SC Pro Doctrine Fidei, tanggal 5 Mei 1980 menyebutkan bahwa “ Tak
seorangpun boleh minta tindakan yang mematikan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang dipercayakan
kepada tanggung jawabnya”. Demikian pula kode etik profesi menegaskan bahwa “ Betapapun kuatnya
keinginan pasien untuk mati, dokter tetap tidak boleh melakukan upaya aktif untuk memenuhi keinginan
pasien tersebut, maksudnya dokter tidak dibenarkan melakukan tindakan kedokteran yang bermaksud
membunuh pasien”.
Keadaan seperti ini, secara hukumdiperkuat lagi oleh Pasal 344 KUHP yang sama sekali tidak mendukung
pelaksanaan euthanasia di Indonesia. Oleh karena itu maka di masa mendatang perlu diperhatikan dan
diperhitungkan perkemangan serta kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan . Kematian janganlah dipandang
sebagai suatu fungsi terpisah dari konsepsi hidup sebagai suatu keseluruhan sehingga konsepsi hak untuk
hidup (the right to life) tidak dipisahkan begitu saja dengan hak untuk mati (the right to die)(Korowa, 2019).

1. Sejarah Euthanasia
Dari zaman Yunani kuno sudah dikenal tentang Euthanasia. Pada zaman Yunani Romawi, penekanan
Euthanasia ditekankan pada kehendak manusia untuk melepaskan diri dari penderitaan terutama yang
mengalami penyakit parah. Selain itu, ada kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya Euthanasia yaitu
tradisi kurban, alasannya yaitu motivasi pribadi untuk berkurban dan pribadi yang mau memberikan
dirinya untuk sesamanya. Tapi tidak semua pemikir zaman ini sepakat dengan Euthanasia seperti
Pytagoras yang melawan tindakan ini yang berpendapat bahwa hidup manusia mempunyai nilai
keabadian, dan Euthanasia merupakan tindakan yang tidak menanggapi arti hidup manusia. Sama halnya
dengan Aristoteles yang bertentangan dengan gurunya yang bersimpati terhadap Euthanasia dengan
alasan bahwa hidup manusia itu bernilai luhur.
Pada tahun 1920, ada sebuah buku yang sangat populer dengan judul “The Permision to Destroy Life
unworthy of life”. Ditulis oleh seorang psikiatri dari Freiburg bernama Alfredn Hoche dan seorang profesor
hukum dari Universitas Leipsig yang bernama Karl Binding. Mereka berpendapat bahwa tindakan
membantu seseorang yang mengalami kematian adalah masalah etika tingkat tinggi yang membutuhkan
pertimbangan yang tepat, yang merupakan solusi belas kasihan atas masalah penderitaan. Di Inggris pada
tahun 1935, seorang Dokter membentuk The Voluntary Euthanasia Legislation Society, untuk melegalisasi
Euthanasia bersama dengan dokter-dokter terkenal lainnya. Namun, rancangan ini kemudian ditolak oleh
Dewan Lord setelah melalui perdebatan di House Of Lord pada tahun 1936. Di Jerman, kekuasaan Adolf
Hitler memeritahkan untuk melalukan tindakan Mercy killing secara luas yang dikenal dengan “Action T4”
untuk menghapus kehidupan orang yang dianggap tak berarti dalam kehidupan (Life Under Worty of Life).
Di Australia tahun 1995, Australia Northem Territority menyetujui RUU Euthanasia dan berlaku pada
tahun 1996 dan dijatuhkan oleh parlemen Australia pada tahun 1997. Sedangkan di Oregon, negara
bagian AS mengeluarkan Death with Dignity Law satu undang-undang yang memperbolehkan dokter
menolong pasien yang dalam kondisi terminally ill untuk melakukan bunuh diri, sampai pada tahun 1998
sudah ada 100 orang mendapatkan Assisten Suicide. Hal ini terus diperdebatkan di Amerika dan pada
tahun 1998 Oregon melegalisis Asisten Suicide dan itu satu-satunya di negara bagian Amerika yang
melegalkan Euthanasia.
Di Belanda pada tahun 2000 melegalkan Euthanasia Aktif Voluntir ini mendapat berbagai sorotan dari
organisasi anti Euthanasia dan juga dari organisasi pro Euthanasia. Seperti Rita Marker dari ADIWIDIA edisi
Desember 2010 No. 1 “Internasional Againts Euthanasia task force” “apakah sekarang sebuah kejahatan
akan diganti dengan perawatan”, sedangkan Tamara Langley dari The UK voluntary Euthanasia Society
menganggap sebagai suatu perkembangan, orang-orang mengambil keputusan yang mereka buat sendiri.
Ebger dari Cristian union mengatakan bahwa undang undang ini adalah kesalahan sejarah.
Tahun 2002, giliran Belgia melegalisir Euthanasia seperti di Belanda. Di Belgia menetapkan kondisi pasien
yang ingin mengakhiri hidupnya harus dalam keadaan sadar. Saat penyataan itu dibuat dan
menanggulangi permintaan mereka untuk Euthanasia. Sedangkan di Swiss, Euthanasia masih ilegal tetapi
terdapat tiga organisasi yang mengurus permohonan tersebut dan menyediakan konseling dan obat-
obatan yang dapat mempercepat kematian. Di asia Jepang adalah satu-satunya negara yang melegalkan
Euthanasia Voluntir yang disahkan melalui keputusan pengadilan tinggi pada kasus Yamaguchi di tahun
1962. Namun setelah itu, karena faktor budaya yang kuat Euthanasia tidak pernah terjadi lagi di Jepang.

2. Jenis-Jenis Euthanasia
Euthanasia dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, sesuai dari mana sudut pandangnya atau cara
melihatnya.
a. Ditinjau dari cara dilaksanakannya
Berdasarkan cara pelaksanaannya, Euthanasia dapat dibedakan menjadi :
1. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah tindakan mempercepat kematian pasien dengan cara menolak
memberikan pertolongan seperti menghentikan atau mencabut segala pengobatan yang
menunjang hidup si pasien. Hal ini sudah jelas, karena seorang pasien yang sedang menjalani
perawatan pastilah didukung oleh obat-obatan sebagai salah satu tindakan medis yang dilakukan
oleh petugas medis atau dokter demi kesembuhan pasien.
Apabila petugas medis/dokter membiarkan pasien meninggal atau pasien menolak untuk
diberikan pertolongan oleh dokter dengan cara menghentikan pemberian obatobatan bagi
pasien, misalnya seperti memberhentikan alat bantu pernapasan (alat respirator) maka secara
otomatis pasien meninggal. Cara yang dilakukan oleh dokter tersebut merupakan euthanasia
pasif.
2. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara medis melalui
intervensi atau tindakan aktif oleh seorang petugas medis (dokter), bertujuan untuk mengakhiri
hidup pasien. Euthanasia aktif sengaja dilakukan untuk membuat pasien yang bersangkutan
meninggal, baik dengan cara memberikan obat bertakaran tinggi (over dosis) atau menyuntikkan
obat dengan dosis atau cara lain yang dapat mengakibatkan kematian. Euthanasia aktif dibagi lagi
menjadi euthanasia aktif langsung (direct) dan euthanasia aktif tidak langsung (indirect).
Euthanasia aktif langsung adalah dilakukannya tindakan medik secara terarah yang
diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien atau memperpendek hidup pasien. Jenis
euthanasia ini biasa disebut 12 mercy killing. Contohnya, dokter memberikan suntikan zat yang
dapat segera mematikan pasien. Euthanasia aktif tidak langsung adalah keadaan dimana dokter
atau tenaga medis melakukan tindakan medik tidak secara langsung untuk mengakhiri hidup
pasien, namun mengetahui adanya resiko yang dapat memperpendek atau mengakhiri hidup
pasien. Contohnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
b. Ditinjau dari permintaan
Bagi pasien yang harapannya untuk sembuh sangat kecil biasanya mengajukan permintaan kepada
petugas medis untuk mengakhiri hidupnya agar pasien tersebut tidak mengalami penderitaan yang
berkepanjangan. Berdasarkan hal tersebut, maka Euthanasia dapat dibedakan menjadi :
1. Euthanasia voluntir
Euthanasia voluntir adalah euthanasia yang dilakukan oleh petugas medis berdasarkan
permintaan dari pasien sendiri. Permintaan ini dilakukan oleh pasien dalam kondisi sadar dan
berulang-ulang, tanpa tekanan dari siapapun. Dengan kata lain, pasien menginginkan
dilakukannya euthanasia secara sukarela karena berdasarkan permintaannya sendiri dan tanpa
adanya paksaan dari pihak manapun.
2. Euthanasia involuntir
Euthanasia involuntir ini dilakukan oleh petugas medis kepada pasien yang sudah tidak sadar.
Biasanya permintaan untuk dilakukannya euthanasia ini berasal dari pihak ketiga yaitu keluarga
pasien dengan berbagai alasan, antara lain : biaya perawatan yang mahal sehingga tidak bisa
ditanggung lagi oleh keluarga pasien, kasihan terhadap penderitaan pasien, dan beberapa alasan
lainnya. Menurut Leenen terdapat beberapa kasus yang disebut pseudo-euthanasia atau
euthanasia semu, yang tidak dapat dimasukkan pada larangan hukum pidana.
Empat pseudo-euthanasia menurut Leneen adalah:
1) Pengakhiran perawatan medis karena gejala mati batang otak. Jantung masih berdenyut,
peredaran darah dan pernapasan masih berjalan, tetapi tidak ada kesadaran karena otak
seratus persen tidak berfungsi, misalnya akibat kecelakaan berat.
2) Pasien menolak perawatan atau bantuan medis terhadap dirinya.
3) Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan (force majure).
4) Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medis yang diketahui tidak ada gunanya

3. Penyebab Terjadinya Euthanasia


Setiap kegiatan Euthanasia pasti dilatarbelakangi oleh berbagai macam alasan atau penyebab. Alasan-
alasan ini muncul karena terdapat beberapa masalah yang dihadapi oleh orang yang akan di Euthanasia.
Berikut adalah beberapa penyebab atau alasan Euthanasia terjadi atau dilakukan:
a. Proses pembunuhan
Pasien yang mengalami penderitaan sakit yang sangat sering muncul rasa “putus asa” apalagi kalau ia
tahu bahwa sakitnya tidak bisa disembuhkan. Maka ia berpikir lebih baik “cepat mati” saja sehingga
penderitaannya berakhir dan tidak membebani keluarganya, ia akan “meminta” dokter supaya
disuntik mati saja. Jika yang meminta Euthanasia itu adalah pasiennya sendiri berarti yang dilakukan
adalah “tindakan bunuh diri”. Sedangkan bila pasiennya sudah tidak sadarkan diri dan koma dengan
waktu yang cukup lama, dan yang meminta Euthanasia itu keluarganya berarti yang dilakukan adalah
“membunuh”. Hal itu nampaknya sebagai “pertolongan” membebaskan penderitaan yang
menyakitkan. Tetapi Euthanasia adalah perbuatan “membunuh”, karena hak yang menentukan
kematian adalah Tuhan, bukan manusia, dan bukan pula dokter. Pasien atau keluarga yang meminta
dan dokter yang melakukan Euthanasia berarti ia yang “melakukan pembunuhan atau bunuh diri”.
b. Melanggar sumpah dokter
Dokter dalam sumpah pelantikannya adalah wajib berupaya untuk menolong dan menyembuhkan
pasien “semaksimal” mungkin, demi untuk “memperpanjang” hidupnya, bukan menghentikan hidup
pasiennya apapun alasannya. Panggilan dokter adalah “mengabdikan diri” kepada kelangsungan
kehidupan manusia. Terhadap permintaan Euthanasia, seorang dokter harus berani “menolaknya”
dengan tegas, tanpa perlu pertimbangan-pertimbangan rasa kasihan yang dapat membuat goyah
pendiriannya.
c. Kehabisan biaya
Sering kali permintaan Euthanasia bisa terjadi karena keluarganya sudah “kehabisan biaya”, harta dan
rumahnya sudah terjual semua, sedangkan kondisi pasiennya tidak ada kemajuan bahkan semakin
memburuk atau sudah koma. Permintaan Euthanasia bisa datang dari keluarga, karena pasien sudah
tidak sadar. Memang kelihatannya perbuatan Euthanasia adalah “perbuatan baik” yang menolong
seseorang dari penderitaan dan kesulitan biaya keluarganya, namun tetap itu adalah sebuah
“pembunuhan”.
d. Serahkan pada Tuhan
Bagi umat Kristen yang anggota keluarganya menjadi pasien terminal atau sakit yang sudah tidak
dapat disembuhkan. Di mana keluarganya mengalami kesulitan membiayai pengobatan di rumah
sakit, atau alasan lainnya. Maka yang dapat dilakukan orang percaya adalah bila keluarga sudah ikhlas
kalau pasien berpulang, maka undang gembalanya mengadakan ibadah bersama “doa penyerahan”
kepada Tuhan, mohon segera dipanggil pulang agar pasien terbebas dari penderitaannya, tetapi kalau
Tuhan kehendaki untuk tetap hidup, mohon bebaskanlah dengan segera dari penyakitnya, ya Tuhan
Yesus. Amin. Tuhan Yesus yang penuh kasih akan “menjawabnya”!

4. Syarat-Syarat dilakukannya Euthanasia


Perkembangan Euthanasia di Jepang dapat dilihat dari Yurisprudensi sebuahPengadilan Tinggi
di Nagoya yang mengajukan enam syarat untuk melakukanEuthanasia, yaitu:
a. Pasien atau calon korban harus masih dapat membuat keputusan dan mengajukanpermintaan
tersebut dengan serius.
b. Ia harus menderita suatu penyakit yang terobati pada stadium terakhir atau dekatdengan
kematiannya.
c. Tujuannya adalah sekedar untuk melepaskan diri dari rasa nyeri.
d. Ia harus menderita rasa nyeri yang tak tertahankan.
e. Dilakukan oleh dokter yang berwenang atau atas petunjuknya.
f. Kematian harus melalui cara kedokteran dan secara manusiawi

B. Euthanasia Menurut Sudut Pandang dan Etika Kristen

Pandangan iman kristen menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki kehendak atau pun kebebasan
dalam memilih dan memiliki tujuan dalam kehidupannya serta membutuhkan cara-cara untuk mencapainya.
Dengan demikian diperlukan keputusan-keputusan yang tepat secara etis untuk mencapai tujuan hidup dalam
pilihan kehendak dan kebebasannya.

Pada dasarnya, etika kristen mendasarkan teorinya atas hal-hal berikut:

a) Allah adalah sumber dan pusat dari semua yang baik. Artinya bahwa semua patokan moral tunduk
kepada ketentuanNy (Lukas 18:19)
b) Tanggapan kepada kasih Allah yag telah menyelamatkan kita. Sederhananya, etika adalah buah iman
(Yakobus 2:14-26)
c) Kebaikan Allah dinyatakan melalui Yesus Kristus, maka hidup seorang kristen harus sesuai dengan
teladan Kristus (Matius 11 :25-30)
d) Kasih merupakan ciri dari etika kristen. Sehingga setiap orang wajib untuk mengasihi oranglain dan
khususnya diri sendiri.
e) Semua keputusan etis didasarkan kepada Alkitab (2 Timotius 3 :16).
f) Dipraktikkan dalam komunitas kehidupan persekutuan.

Menjadi pertanyaan adalah, bagaimana etika kristen memandang euthanasia? Setujukah kekristenan dengan
praktik euthanasia? Bagaimana seharusnya seorang kristen menyikapi euthanasia?

Etika kristen adalah suatu etika yang berdasarkan kepada Yesus Kristus mencakup pribadiNya, ajaranNya, dan
juga teladanNya. Hal ini mencakup kepada semua aspek kehidupan manusia, termasuk didalamnya mengenai
hal hidup dan mati manusia. Hidup manusia adalah pemberian dan milik kepunyaan Allah, sehingga manusia
tidak berhak untuk merenggut nyawa orang lain. Selain dari itu, dalam Kejadian 1:26-27, dikatakan bahwa
manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Artinya adalah bahwa manusia diciptakan sebagai citra
Allah, maka manusia tidak boleh ataupun tidak memiliki hak untuk mencampuri proses kematian alamiah.

Sudah sangat jelas dalam keimanan kristen bahwa kehidupan dan kematian adalah milik Allah. Secara tegas
dikatakan dalam Alkitab bahwa Kematian adalah hak Tuhan (Ulangan 32:39; Ayub 1:21; Ibrani 9:27). Juga dalam
kesepuluh hukum, sangat jelas dalam hukumnya mengatakan “jangan membunuh” (Keluaran 20:13). Hal ini
menegaskan bahwa kekristenan tidak menyetujui datau pun mendukung praktik euthanasia, apa pun alasannya.

1. Pandangan Alkitab mengenai Euthanasia


Alkitab tidak mendukung adanya euthanasia, sekalipun dalam Alkitab ada tokoh yang melakukannya,
seperti: Saul, Raja pertama bangsa Israel (1 Samuel 31 :4) dan Abimelekh (Hakim-hakim 9 : 53-54). Namun
itu bukan karena Alkitab mendukung adanya tindakan tersebut. Dalam bagian yang lainnya, ada pula ayat
yang seolah mendukung tindakan euthanasia, seperti dalam Matius 18:6, Markus 9:42, Lukas 17:2. Yang
ketiga ayat tersebut memiliki isi yang dapat dikatakan sama, yakni untuk mengikatkan batu kilangan dan
melemparkan diri ke laut dengan alasan karena menyesatkan. Namun bukan berarti hal ini juga
mendukung euthanasia. Melainkan ayat ini memberikan peringatan agar tidak menyesatkan orang lain.
Sebab akan ada hukuman bagi yang melakukannya.
Kasih merupakan alasan bagi orang Kristen untuk mendasari segala sesuatu, tetapi bukan belas kasihan
yang menghalalkan segala cara demi orang yang kita kasihi. Menghentikan kehidupan demi alasan kasih
merupakan sebuah hal yang sangat keliru. Kasih menuntut agar orang yang sakitnya tidak
tersembuhkan diperlakukan dengan semua belas kasihan yang mungkin diberikan, tetapi bukan supaya
kita mengambil nyawa orang itu bahkan atas permintaannya sendiri. Belas kasihan menurut Alkitab
adalah menenangkan orang yang akan binasa dengan zat penenang atau minuman keras dan bukan
membantunya bunuh diri (Ams.31:6-7).
Dalam Alkitab, penderitaan mempunyai fungsi yang positif dan konstruktif dalam hidup manusia (Yakobus
1:2-4; Roma 5:3-4), penderitaan melahirkan ketekunan dan pengharapan dan kesempurnaan hidup. Jika
pro Euthanasia mengatakan bahwa mengakhiri penderitaan seseorang adalah sikap murah hati, berarti
penderitaan dijadikan sebagai alat pembenaran praktek. Walaupun Euthanasia dapat mengakhiri
penderitaan, Euthanasia tetaplah suatu pembunuhan. Kalau penderitaan diakhiri dengan Euthanasia, itu
sama artinya menghalalkan segala cara untuk tujuan tertentu. Hidup adalah pemberian Tuhan (Kejadian
2:7). Manusia menjadi makhluk hidup setelah Tuhan Allah menghembuskan napas kehidupan kepadanya
(band. Yehezkiel 37:9-10). Napas kehidupan diberikan Tuhan sehingga manusia memperoleh kehidupan.
Tugas manusia tidak lain kecuali memelihara kehidupan yang diberikan oleh Tuhan (band. Perumpamaan
dalam Efesus 5:29). Bukan hanya kehidupan yang sehat, tetapi juga hidup yang dirundung oleh
penderitaan, hidup yang sakit, harus dipelihara. Maka penderitaan harus dapat diterima sebagai bagian
kehidupan orang percaya (Roma 5:3) termasuk penderitaan karena sakit.
Manusia lebih berharga daripada materi. Maka, materi harus melayani kepentingan manusia (band.
Matius 6, tentang khotbah di Bukit). Maka melakukan Euthanasia demi untuk kepentingan apapun,
termasuk penghematan ekonomi tidak dibenarkan secara moral, terutama moral Kristen. Mencabut hidup
manusia memang secara moral adalah sangat keliru apapun motifnya. Apalagi membantu seseorang
untuk mengakhiri hidupnya, bagi orang Kristen memang itu adalah kesalahan yang melawan Hukum Allah,
tetapi tidak selalu salah untuk mengizinkan seseorang mati, khususnya jika ini merupakan kematian yang
wajar. Jika kita mengizinkan kematian seseorang berlangsung dengan menghentikan suplai makanan
atupun air, maka ini disebut pembunuhan. Akan tetapi, ketika menolak atau menghentikan alat-alat yang
tidak wajar seperi jantung buatan ataupun alat bantu ginjal itu tidak selalu salah, inilah yang disebut
dengan Euthanasia Pasif yang wajar.
Etika Kristen merupakan etika deontologi, yaitu suatu etika yang berpusat pada kewajiban sehingga dalam
hal ini Euthanasia yang dilakukan adalah mengacu pada kewajiban atau hukum yang lebih tinggi
berdasarkan peraturan-peraturan yang telah dipertimbangkan secara rasional. Kelahiran dan kematian
merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Orang yang menghendaki Euthanasia, walaupun
dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa
dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Demikian juga para dokter yang melakukan Euthanasia
bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan, yaitu memperpendek umur.
Berikut ini adalah contoh-contoh isi berbagai macam ayat alkitab atau penjelasan yang mengarah tentang
benar atau salahnya Euthanasia:
1. Tak ada orang yang mempunyai hak moral untuk membunuh manusia tak bersalah. Kata Alkitab,
“Jangan membunuh” (Kel. 20:30). “..dan seorang pun tidak ada yang dapat melepaskan dari tangan-
Ku” (Ul. 32:29). Ayub mengatakan, ”Tuhan memberi, Tuhan yang mengambil” (Ayb. 1:21) dan Dia saja
yang berhak mengambilnya (Ibr 9:27). Kesalahan Euthanasia Aktif adalah memainkan peranan
sebagai Allah dan bukan manusia. Bahkan Alkitab mengatakan bahwa kita bukanlah pencipta hidup
kita. Jadi, hidup kita bukanlah milik kita (Kis. 14:17; 17:24-25).
2. Bukan belas kasihan jika membunuh penderita. Membunuh bayi belum lahir sama saja dengan Child
Abuse. Membunuh bayi cacat atau kaum dewasa yang menderita bukan menghindarkan dari
kesengsaraan manusia, melainkan menyebabkan penderitaan kematian. Bahkan Alkitab mengatakan,
membunuh orang yang tak bersalah bukan perbuatan baik, melainkan kejahatan (Kel 20:13).
3. Jika Euthanasia memperbolehkan membunuh dengan tujuan yang baik, maka dengan membunuh
pendukung Euthanasia dan aborsi, jutaan nyawa bisa terselamatkan. Tetapi tidak akan ada
pendukung Euthanasia yang memperbolehkannya.
4. Dari penderitaan banyak dapat dipelajari. “Kita tahu bahwa kesengsaraan itu menimbulkan
ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji mienimbulkan pengharapan” (Rm.
5:3-4). Yakobus berkata, “..anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam
berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan
ketekunan”. Penderitaan membentuk karakter, “tiap-tiap pada waktu ia diberikan tidak
mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang
memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya” (Ibr. 12:11).
5. Tidak ada label harga pada hidup manusia. Yesus berkata, “ Apa gunanya seorang memperoleh
seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?” (Mrk. 8:36). Suatu nyawa manusia lebih berharga
daripada apapun di dunia ini (Mat. 6:26). Pandangan membunuh untuk menghemat uang adalah
materialistis.
6. Tujuan tidak membenarkan cara.
7. Manusia bukanlah hewan. “..sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri” (Kej.
9:6).

Salah satu contoh kasus dalam Perjanjian Lama yang hampir menjadi kasus Euthanasia adalah kasus Saul
yang meminta kepada pembawa senjatanya untuk menikamnya. Tetapi pembawa senjatanya tidak mau,
karena segan. Kemudian Saul mengambil pedang itu dan menjatuhkan dirinya ke atasnya (1 Samuel 31:4).
Raja Saul berada pada ambang keputus-asaan dan merasa sudah tidak ada jalan keluar selain mengakhiri
penderitaannya. Euthanasia diminta atau dilakukan karena alasan tidak tahan menderita, baik karena
penyakit (rasa sakit) maupun oleh penghinaan di medan perang (rasa malu). Kasus Saul mirip dengan
kasus Abimelekh (Hakim 9:54); takut disiksa dan dipermalukan adalah alasan melakukan Euthanasia.
Kasus euthanasia adalah kasus kematian yang dipaksakan, dan hal ini masuk dalam kategori
pembunuhan. Dalam Keluaran 20:13, dengan tegas firman Tuhan berkata “Jangan membunuh.” Dengan
demikian, tidak ada alasan moral apapun yang mengijinkan pembunuhan, dan manusia itu sendiri tidak
memiliki hak untuk menentukan kematiannya, karena kematian adalah hak Tuhan (Ulangan 32:39; Ayub
1:21; Ibrani 9:27). Jadi, dalam pedalaman alkitab sekalipun Euthanasia di pandang sebagai pembunuhan
yang di larang di alkitab dan di larang di dalam 10 perintah Allah.

C. Sikap dan Tanggung Jawab Perawat Terhadap Suntik Mati/Euthanasia

1. Pengertian Perawat
Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia, perawat memiliki arti tenaga kesehatan profesional yang
bertugas memberikan perawatan pada klien atau pasien baik berupa aspek biologis, psikologis, sosial, dan
spiritual dengan menggunakan proses keperawatan. Tetapi tugas utama perawat yaitu memberikan
asuhan pada individu, keluarga, dan kelompok dalam keadaan sakit maupun sehat sehingga dapat
mencapai, mempertahankan, atau memulihkan kesehatan yang optimal dan kualitas hidup dari lahir
sampai mati. Keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian
keseluruhan dari pelayanan kesehatan yang berdasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, bisa berbentuk
pelayanan bio, psiko, sosial dan spiritual yang menyeluruh.
Dalam praktiknya perawat melewati proses pendekatan. Biasanya keperawatan melakukan beberapa
tahapan dimulai dengan melakukan pengkajian sebagai upaya untuk mengumpulkan data dan informasi
yang akurat, menegakkan diagnosa keperawatan berdasarkan hasil analisis data, merencanakan intervensi
keperawatan sebagai upaya mengatasi masalah yang muncul dan membuat langkah pemecahan masalah,
melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana yang ada dan melakukan evaluasi
berdasarkan respons klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.

2. Definisi Etika
Istilah etika memiliki banyak variasi pengertian. Khususnya dalam penggunaan secara umum berdasarkan
beberapa tipe pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut persoalan-persoalan etis. Contoh dari pemakaian
istilah dari etika berkenaan dengan pertanyaan etis adalah pertanyaan tentang apa dan bagaimana kita
harus berkelakuan yang berkenaan dengan etika normatif dan moral. Kata etika sendiri berasal dari
beberapa kata dalam bahasa yunani, eqoj (ethos) yang berarti kebiasaan, adat. hqoj (ethos) yang diartikan
sebagai kesusilaan, perasaan batin, kecenderungan batin. Juga kata hqikos (ethikos) yang berarti
kecenderungan hati yang membuat seseorang melakukan perbuatan.
Sedangkan dalam kamus terbaru bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai suatu bidang ilmu yang
berkenaan tentang yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Hal ini berkenaan dengan suatu
penekanan pembelajaran tentang moral dan tata nilai serta pengambilan keputusan tentang yang baik
ataupun yang buruk. Selain daripada itu, hal akan etika menuntut adanya kesadaran moral dalam tatanan
masyarakat secara luas. Kesadaran tersebut termasuk apa yang dilakukan manusia. Kesadaran inilah yang
disebut sebagai kesadaran etis, yakni kesadaran akan norma-norma yang ada dalam diri manusia.
Berkenaan dengan arti definisi etika secara umum, lebih spesifik dalam etika kristen, Douma memberikan
definisi etika sebagai pertimbangan kelakuan atau tingkah laku yang bertanggungjawab terhadap Allah
dan terhadap sesama[4]. Titik tolak berpikir dalam etika kristen adalah iman kepada Tuhan yang telah
menyatakan diriNya melalui Tuhan Yesus Kristus[5]. Dengan kata lain, etika kristen merupakan tanggapan
akan kasih Allah yang telah menyelamatkan kehidupan kita.

3. Etika Keperawatan Pada Euthanasia

Etika Keperawatan pada Euthanasia:

a. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan martabatmanusia,


keunikan klien dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan,kesukuan, warna kulit,
umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianutserta kedudukan sosial.
b. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara suasanalingkungan
yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan kelangsunganhidup beragama klien.
c. Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan asuhankeperawatan.
d. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang dikehendaki sehubungan dengantugas yang
dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang berwenangsesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku.
e. Dalam menghadapi pasien dalam kondisi kritis yang mengharuskan euthanasia makasebagai seorang
perawat kita harus membimbing baik pasien maupun keluargadengan bimbingan baik moril
maupun spiritual
f. Memberikan pengetahuan tentang tindakan euthanasia kepada pihak keluarga.
g. Perawat tidak memiliki wewenang untuk melakukan tindakan euthanasia kecuali adaintruksi dari
dokter.

4. Prinsip Etika Keperawatan


Prinsip-Prinsip Etika Keperawatan:
a. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan mampu
membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat
sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain.
Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan
tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan
individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat perawat
menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
b. Beneficience (Berbuat baik)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan pencegahan dari
kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri
dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini
dengan otonom.
c. Nonmaleficience (Tidak merugikan)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien. Prinsip untuk
tidak melukai orang lain berbeda dan lebih keras daripada prinsip untuk melakukan yang terbaik.
Resiko fisik, psikologis, maupun sosial akibat tindakan dan pengobatan yang akan dilakukan
hendaknya seminimal mungkin.
d. Justice (Keadilan)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain yang menjunjung
prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek profesional ketika
perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar
untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
e. Moral Right
Moral right menyangkut apa yang benar dan salah pada perbuatan, sikap, dan sifat. Tanda utama
adanya masalah moral, adalah bisikan hati nurani atau timbulnya perasaan bersalah, malu, tidak
tenang, dan tidak damai dihati. Standar moral dipengaruhi oleh ajaran, agama, tradisi, norma
kelompok, atau masyarakat di mana ia dibesarkan.
f. Nilai dan Norma Masyarakat
Nilai-nilai (values) adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan terhadap suatu standar
atau pegangan yang mengarah pada sikap/perilaku seseorang. Sistem nilai dalam suatu organisasi
adalah rentang nilai-nilai yang dianggap penting dan sering diartikan sebagai perilaku personal.
Values (nilai-nilai) yang idealsatau idaman, konsep yang sangat berharga bagi seseorang yang dapat
memberikan arti dalam hidupnya.avlues merupakan sesuatu yang berharga bagi seseorang, dan bisa
mempengaruhi persepsi,motivasi,pilihan dan keputusannya. Salary dan McDonnel (1989),values yang
di sadari menjadi pengendali internal seseorang adn bertingkah, membuat pilihan dan keputusan.

5. Peran perawat dalam menghadapi masalah Eutanasia


Memberikan asuhan keperawatan seoptimal dan semaksimal mungkin dan tidak melakukan tindakan
yang mengarah kepada tindakaneuthanasia, seperti: melepas alat ventilator, melepas selang oksigen, dll.
DAFTAR PUSTAKA

Penerbit Gosyen Publishing Buku Undang – Undang Kesehatan 2010

Ir. Dr. Anwar Kurniadi, S.Kp., M.Kep Buku Etika dan Hukum Keperawatan

Hendrik, SH, M.Kes Buku Etika & Hukum Keperawatan

Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo Buku Etika & Hukum Kesehatan

Jessico Kaeng. 2019. Euthanasia (Pandangan Agama Kristen, Hukum, Dan Masyarakat) diakses
pada tanggal 5 September
https://www.kompasiana.com/siscopetra/5cf3bdfd95760e050f328fbb/euthanasia-
pandangan-agama-kristen-hukum-masyarakat

Titik Haryani. 2022. Pandangan Etika Kristen terhadap Tindakan Eutanasia pada pasien tahap
terminal. Vol 6, No. 1 diakses pada tanggal 5 September

https://www.stttorsina.ac.id/jurnal/index.php/epigraphe/article/view/367

Eutanasia dan kematian dibantu. 2009. Diakses pada tanggal 5 September https://www-bbc-co-
uk.translate.goog/religion/religions/christianity/christianethics/euthanasia_1.shtml?
_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc

Benny Suryadi. 2012. Euthanasia dan Perspektif Iman Kristen diakses pada tanggal 5 September

https://www.scribd.com/doc/97264940/Euthanasia-Dan-Perspektif-Iman-Kristen

Diah Novitasari, Lailatul Nasiroh, Zubaidah. 2017. Makalah memahami pandangan agama – agama
di Indonesia terhadap Tindakan medis kebidanan tentang euthanasia diakses pada tanggal
5 September https://www.scribd.com/document/355384391/MAKALAH-Euthanasia

Septian Tri Cahyono. 2019. EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF ETIKA KRISTEN euthanasia diakses
pada tanggal 5 September http://coretangichalm.blogspot.com/2019/09/euthanasia-
dalam-perspektif-etika.html?m=1
dr. Fadhli Rizal Makarim. 2022. “Euthanasia adalah tindakan yang dilarang untuk dilakukan di
Indonesia. Hal ini sudah diatur dalam hukum Undang-Undang dan juga Kode Etik dokter.”
diakses pada tanggal 5 September https://www.halodoc.com/artikel/disebut-suntik-mati-
ini-pengaturan-euthanasia-di-indonesia

Frengki Baganu. Makalah Euthanasia diakses pada tanggal 5 September


https://www.academia.edu/33692423/Makalah_Euthanasia_docx

Teuku Maulidin. Makalah Etuhanasia diakses pada tanggal 5 September


https://www.academia.edu/32939532/Makalah_euthanasia

Asih Dini Lestari, Elena Diah Saputri, Haniza Raraswati, Latinsa Nikmah Maula, Rita Amelia, Yulia
Rakhmatunnisa. 2022. Makalah Etika Keperawatan Penerapan Kasus Etika Keperawatan
“Euthanasia” diakses pada tanggal 5 September
https://www.studocu.com/id/document/poltekkes-kemenkes aceh/keperawatan/makalah-
euthanasia-eutanasia/38871108

Hensen Layguardo, Jiechinda Jesslyn Hugo, Michael Lie, Sisilia Tan, Michelle Angelina Chandra
Thimoty Dwi Putra , Windy Hosea. 2017. Makalah Euthanasia diakses pada tanggal 5
September
https://www.academia.edu/33023780/EUTHANASIA_MAKALAH_Disusun_untuk_memenuh
i_salah_satu_tugas_mata_pelajaran_Agama_XI_IPS_1

Patimah Rusli. Etika Keperawatan diakses pada tanggal 5 September


https://www.academia.edu/10188957/Etika_Keperawatan_Euthanasia_

Anda mungkin juga menyukai