Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan
dimulai

dari

proses

pembuahan,

kelahiran,

kehidupan

di

dunia

yang

dengan berbagai

permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian. Dari proses siklus kehidupan tersebut,
kematian

merupakan

salah

satu

yang masih

mengandung

misteri

besar

dan ilmu

pengetahuan belum berhasil menguaknya. Untuk dapat menentukan kematian seseorang


sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan.
Tak

seorangpun

kematian.

Tetapi

yang

berhak

bagaimana

menundanya
dengan

hak

sedetikpun,
pasien

termasuk mempercepat waktu

untuk

mati guna

menghentikan

penderitaannya. Hal itulah yang masih menjadi pembahasan hangat di Indonesia.


Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah
kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi bahan perdebatan,
terutama jika terjadi kasus - kasus menarik.
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik, kehidupan seorang
pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter dihadapkan pada sebuah
dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan jika sudah terlanjur diberikan bolehkah
untuk dihentikan.
Aturan hukum mengenai masalah ini sangat berbeda-beda di seluruh dunia dan seringkali
berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya dan tersedianya perawatan atau
tindakan medis. Di beberapa negara, tindakan ini dianggap legal, sedangkan di negara-negara
lainnya dianggap melanggar hukum. Karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang
ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.
Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia.
Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendiri sama dengan
perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada

beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang
euthanasia.
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah
bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas dari
perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya di Indonesia tindakan euthanasia termasuk dalam
perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP).

BAB II
KASUS
Di negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat
tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh negara Jepang. Tentunya dalam
melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus
dipenuhi agar Praktik-praktik euthanasia pernah yang dilaporkan dalam berbagai tindakan
masyarakat :
1. Di India pernah dipraktikkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke
dalam sungai Gangga
2. Di Sardinia, orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya.
3. Uruguay mencantumkan kebebasan praktik euthanasia dalam undang-undang yang telah
berlaku sejak tahun 1933
4. Di beberapa negara Eropa, praktik euthanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia
yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus
5. Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian, euthanasia dikategorikan sebagai
kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di
Amerika Serikat.
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara
yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan
mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis.
Kasus yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia, yaitu seorang suami
melakukan permohonan kepada dokter di Rumah Sakit Bogor untuk melakukan suntik mati
( euthanasia ) untuk istrinya 50 tahun, karena sang istri sudah hampir 4 tahun dirawat karena
koma di Rumah Sakit dengan

kondisi yang sangat tergantung pada alat-alat yang dapat

memperpanjang hidupnya, tanpa ada perkembangan.

BAB III
PENATALAKSAAN
Di dalam Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Mentri Kesehatan Nomor:
434/Men.Kes./SK/X/1983 disebutkan pada pasal 10: Setiap dokter harus senantiasa mengingat
akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani. Kemudian di dalam penjelasan pasal 10
itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa,
termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan tugas seorang
dokter. Dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani, berarti
bahwa baik menurut agama dan undang-undang Negara, maupun menurut Etika Kedokteran,
seorang dokter tidak dibolehkan:

Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)

Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak

mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).


Jadi sangat tegas, para dokter di Indonesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode
etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan segala
kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup
manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam
suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan
bahwa : Eutanasia atau pembunuhan tanpa penderitaan hingga saat ini belum dapat diterima
dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Eutanasia hingga saat ini
tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih
berlaku yakni KUHP (Wikipedia, 2012).
Utomo (2009) mengutarakan bahwa dalam prakteknya, para dokter tidak mudah
melakukan eutanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya eutanasia dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan
Deklarasi Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif
untuk memenuhi keinginan pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal,

pertama, karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak
dokter dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain
menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua,
tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan tindak pidana,
yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undang-undang.
Selain itu ada beberapa aspek tentang hak-hak

yang dapat dijadikan sebagai

pertimbangan, yaitu
1.

Aspek Hak Asasi


Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak

tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan
dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang
cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk
hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati,
apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih tegas lagi dari
segala penderitaan yang hebat.
2.

Aspek Ilmu Pengetahuan


Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya

tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila
secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun
pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak
diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat
dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga
yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
3.

Aspek Hukum dan Etika


Undang-undang Hukum pidana mengatur seseorang dapat dipidana atau dihukum jika ia

menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati. Ketentuan
pelanggaran yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif di Indonesia, yaitu euthanasia yang

dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara
eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa perintah, beberapa pasal yang berhubungan
adalah :
Pasal 344 KUHP : Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang
itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain pasal
1313 KUH Perdata : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dan pada Pasal 1314 , 1315, dan
1319 KUH Perdata.
Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum
karena maker mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP : Barang siapa dengan sengaja den direncanakan lebih dahulu menghilangkan
jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau
penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359 KUHP : Barang siapa kerena salah menyebabkan matinya orang dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan
kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia :
Pasal 345 KUHP : Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum
penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap Penganiayaan yang dilakukan dengan
memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum.
Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304
dan Pasal 306 (2).

Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, Jika mengakibatkan kematian,
perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun.
Pasal 356 (3) dan pasal 306 (2) terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam
konteks hukum aktif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi
sebagai tindak pidana.
Ditegaskan pula dalam Surat Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang menyatakan sebagai
berikut: Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya
adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan euthanasia aktif .
Namun demikian di negara kita belum ada hukum yang jelas mengenai euthanasia ini. Dasar atas
tindakan boleh tidaknya dilakukan euthanasia yaitu Surat Edaran No.702/PB/H.2/09/2004
tentang euthanasia yang dikeluarkan oleh Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia. Dalam
pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan mengijinkan.
Dari sudut pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar, UU RI No. 39 tahun 1999 tentang
HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359.
Bertolak dari ketentuan semua Pasal-pasal tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas
permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam
konteks hukum aktif di Indonesia, euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang,
tidak dimungkinkan dilakukan pengakhiran hidup seseorang sekalipun atas permintaan orang
itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan
yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.

BAB IV
PEMBAHASAN
Kata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa Yunani eu (baik) dan thnatos
(kematian). Jadi secara harafiah euthanasia berarti mati yang layak atau mati yang baik (good
death) atau kematian yang lembut. Beberapa kata lain yang berdasar pada gabungan dua kata
tersebut misalnya: Euthanatio: aku menjalani kematian yang layak, atau euthanatos (kata sifat)
yang berarti mati dengan mudah, mati dengan baik atau kematian yang baik. (K. Bertens,
2001)
Eutanasia adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang
dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya
dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. (Ensiklopedia bebas, 2012)
Euthanasia adalah berbuat atau tidak berbuat yang dalam perbuatan itu sendiri atau dalam
intensi menyebabkan kematian agar dengan cara ini semua penderitaan dapat dihilangkan.
Konsepsi Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai kematian
yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan
tak tersembuhkan. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah
mercy killing. Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland euthanasia mengandung dua
pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan
dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak
dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.
Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian ke dalam tiga
jenis, yaitu:
1
2
3

Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah


Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar
Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan
dokter

Macam-macam euthanasia yaitu sebagai berikut :


1. Dari sudut cara atau bentuk, euthanasia dapat dibedakan dalam tiga hal :
8

a. Euthanasia aktif, artinya mengambil keputusan untuk melaksanakan dengan tujuan


menghentikan kehidupan. Tindakan ini secara sengaja dilakukan oleh dokter atau
tenaga kesehatan lainnya untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien.
b.

Misalnya, melakukan injeksi dengan obat tertentu agar pasien terminal meninggal.
Euthanasia pasif, artinya memutuskan untuk tidak mengambil tindakan atau tidak
melakukan terapi. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)
memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup kepada pasien.
Misalnya, terapi dihentikan atau tidak dilanjutkan karena tidak ada biaya, tidak ada
alat ataupun terapi tidak berguna lagi. Pokoknya menghentikan terapi yang telah

dimulai dan sedang berlangsung.


c. Auto-euthanasia, artinya seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk
menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek
atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil
(pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif
atas permintaan.
2. Dari sudut maksud, euthanasia dapat dibedakan:
a. Euthanasia langsung (direct), artinya tujuan tindakan diarahkan langsung pada
kematian.
b. Euthanasia tidak langsung (indirect), artinya tujuan tindakan tidak langsung
untuk kematian tetapi untuk maksud lain misalnya meringankan penderitaan.
3. Dari sudut otonomi penderita euthanasia dapat dilihat dalam tiga jenis:
a. Penderita sadar dan dapat menyatakan kehendak atau tak sadar dan tidak dapat
menyatakan kehendak (incompetent)
b. Penderita tidak sadar tetapi pernah menyatakan kehendak dan diwakili oleh orang
c.

lain (transmitted judgement)


Penderita tidak sadar tetapi kehendaknya diduga oleh orang lain (substituted

judgement).
4. Dari Sudut Motif dan Prakarsa, euthanasia dibedakan menjadi dua:
a. Prakarsa dari penderita sendiri, artinya penderita sendiri yang meminta agar
hidupnya dihentikan entah karena penyakit yang tak tersembuhkan atau karena
sebab lain
b. Prakarsa dari pihak luar, artinya orang lain yang meminta agar seorang pasien
dihentikan kehidupannya karena berbagai sebab. Pihak lain itu misalnya
keluarganya dengan motivasi untuk menghentikan beban atau belas kasih. Bisa

juga, prakarsa itu datang dari pemerintah karena ideologi tertentu atau
kepentingan yang lain.
Tindakan Euthanasia
Tindakan euthanasia dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni:
1. Langsung dan sukarela : memberi jalan kematian dengan cara yang dipilih pasien.
Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri
2. Sukarela tetapi tidak langsung : pasien diberitahu bahwa harapan untuk hidup kecil sekali
sehingga pasien ini berusaha agar ada orang lain yang dapat mengakhiri penderitaan dan
hidupnya
3. Langsung tetapi tidak sukarela : dilakukan tanpa sepengetahuan pasien, misalnya dengan
memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat
4. Tidak langsung dan tidak sukarela : merupakan tindakan euthanasia pasif yang dianggap
paling mendekati moral.

BAB V
KESIMPULAN

10

Euthanasia merupakan menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendiri.


Aturan mengenai masalah ini berbeda- beda di tiap- tiap Negara dan seringkali berubah seiring
dengan perubahan norma- norma budaya. Di beberapa Negara euthanasia dianggap legal tetapi di
Indonesia tindakan euthanasia tetap dilarang karena tidak ada dasar hukum yang jelas.
Euthanasia ini ditentang untuk dilakukan atas dasar etika, agama, moral dan legal dan
juga pandangan bahwa apabila dilegalisir euthanasia dapat disalahgunakan.
Peran dokter atau tenaga medis yaitu :
Memberikan perlindungan dan membela pasien tersebut untuk hidup dan menyelamatkan
jiwanya dari ancaman kematian
Mampu memberikan pengarahan dan penjelasan kepada keluarga atau suami pasien
bahwa pasien berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal dan tidak
melakukan euthanasia
Menyarankan kepada keluarga / suami untuk mencari alternative jalan keluar dalam hal
mencari sumber biaya yang lain, menjadi jembatan penghubung diantara dokter, tenaga
kesehatan lain dan keluarga sehingga keluarga akan mendapatkan informasi yang sejelasjelasnya tentang kondisi pasien, seberapa besar kemungkinan untuk sembuh dan berapa
besar biaya yang telah dan akan dikeluarkan
Memberikan pertimbangan- pertimbangan yang positif pada keluarga atau suami dalam
hal pengambilan keputusan untuk membawa pulang pasien
Dokter tetap memberikan perawatan pada pasien, pemenuhan kebutuhan dasar pasien
selama perawatan dirumah serta membantu keluarga dalam hal permohonan atau
peringanan biaya perawatan

BAB VI
SARAN
1. Bagi keluarga
11

Keluarga sebaiknya memikirkan kembali keputusan untuk mengajukan euthanasia. Dan


permasalahan biaya agar mencari alternatif keringanan biaya melalui BPJS dll.
2. Bagi Petugas (perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya)
Tetap memberikan perawatan terbaik kepada pasien selama dirawat, memberikan perlindungan
kepada pasien sebagai advokat.
3. Bagi Pemerintah
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu
materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai etika, sosial
maupun moral.

DAFTAR PUSTAKA
Wikipedia, 2016. https://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia. 10 Agustus 2016

12

Marasabessy MA, 2014. Eutanasia Bertentangan dengan UUD 1945, HAM, dan Pancasila.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53ec87bad54c6/eutanasia-bertentangan-dengan-uud1945--ham--dan-pancasila-broleh--muhammad-aris-marasabessy--sh--mh-. Kamis, 14 Agustus
2014.

13

Anda mungkin juga menyukai