PENDAHULUAN
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan
dimulai
dari
proses
pembuahan,
kelahiran,
kehidupan
di
dunia
yang
dengan berbagai
permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian. Dari proses siklus kehidupan tersebut,
kematian
merupakan
salah
satu
yang masih
mengandung
misteri
besar
dan ilmu
seorangpun
kematian.
Tetapi
yang
berhak
bagaimana
menundanya
dengan
hak
sedetikpun,
pasien
untuk
mati guna
menghentikan
beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang
euthanasia.
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah
bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas dari
perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya di Indonesia tindakan euthanasia termasuk dalam
perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP).
BAB II
KASUS
Di negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat
tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh negara Jepang. Tentunya dalam
melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus
dipenuhi agar Praktik-praktik euthanasia pernah yang dilaporkan dalam berbagai tindakan
masyarakat :
1. Di India pernah dipraktikkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke
dalam sungai Gangga
2. Di Sardinia, orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya.
3. Uruguay mencantumkan kebebasan praktik euthanasia dalam undang-undang yang telah
berlaku sejak tahun 1933
4. Di beberapa negara Eropa, praktik euthanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia
yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus
5. Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian, euthanasia dikategorikan sebagai
kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di
Amerika Serikat.
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara
yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan
mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis.
Kasus yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia, yaitu seorang suami
melakukan permohonan kepada dokter di Rumah Sakit Bogor untuk melakukan suntik mati
( euthanasia ) untuk istrinya 50 tahun, karena sang istri sudah hampir 4 tahun dirawat karena
koma di Rumah Sakit dengan
BAB III
PENATALAKSAAN
Di dalam Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Mentri Kesehatan Nomor:
434/Men.Kes./SK/X/1983 disebutkan pada pasal 10: Setiap dokter harus senantiasa mengingat
akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani. Kemudian di dalam penjelasan pasal 10
itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa,
termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan tugas seorang
dokter. Dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani, berarti
bahwa baik menurut agama dan undang-undang Negara, maupun menurut Etika Kedokteran,
seorang dokter tidak dibolehkan:
Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak
pertama, karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak
dokter dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain
menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua,
tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan tindak pidana,
yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undang-undang.
Selain itu ada beberapa aspek tentang hak-hak
pertimbangan, yaitu
1.
tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan
dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang
cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk
hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati,
apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih tegas lagi dari
segala penderitaan yang hebat.
2.
tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila
secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun
pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak
diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat
dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga
yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
3.
menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati. Ketentuan
pelanggaran yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif di Indonesia, yaitu euthanasia yang
dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara
eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa perintah, beberapa pasal yang berhubungan
adalah :
Pasal 344 KUHP : Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang
itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain pasal
1313 KUH Perdata : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dan pada Pasal 1314 , 1315, dan
1319 KUH Perdata.
Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum
karena maker mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP : Barang siapa dengan sengaja den direncanakan lebih dahulu menghilangkan
jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau
penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359 KUHP : Barang siapa kerena salah menyebabkan matinya orang dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan
kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia :
Pasal 345 KUHP : Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum
penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap Penganiayaan yang dilakukan dengan
memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum.
Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304
dan Pasal 306 (2).
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, Jika mengakibatkan kematian,
perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun.
Pasal 356 (3) dan pasal 306 (2) terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam
konteks hukum aktif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi
sebagai tindak pidana.
Ditegaskan pula dalam Surat Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang menyatakan sebagai
berikut: Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya
adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan euthanasia aktif .
Namun demikian di negara kita belum ada hukum yang jelas mengenai euthanasia ini. Dasar atas
tindakan boleh tidaknya dilakukan euthanasia yaitu Surat Edaran No.702/PB/H.2/09/2004
tentang euthanasia yang dikeluarkan oleh Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia. Dalam
pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan mengijinkan.
Dari sudut pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar, UU RI No. 39 tahun 1999 tentang
HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359.
Bertolak dari ketentuan semua Pasal-pasal tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas
permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam
konteks hukum aktif di Indonesia, euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang,
tidak dimungkinkan dilakukan pengakhiran hidup seseorang sekalipun atas permintaan orang
itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan
yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
BAB IV
PEMBAHASAN
Kata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa Yunani eu (baik) dan thnatos
(kematian). Jadi secara harafiah euthanasia berarti mati yang layak atau mati yang baik (good
death) atau kematian yang lembut. Beberapa kata lain yang berdasar pada gabungan dua kata
tersebut misalnya: Euthanatio: aku menjalani kematian yang layak, atau euthanatos (kata sifat)
yang berarti mati dengan mudah, mati dengan baik atau kematian yang baik. (K. Bertens,
2001)
Eutanasia adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang
dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya
dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. (Ensiklopedia bebas, 2012)
Euthanasia adalah berbuat atau tidak berbuat yang dalam perbuatan itu sendiri atau dalam
intensi menyebabkan kematian agar dengan cara ini semua penderitaan dapat dihilangkan.
Konsepsi Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai kematian
yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan
tak tersembuhkan. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah
mercy killing. Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland euthanasia mengandung dua
pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan
dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak
dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.
Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian ke dalam tiga
jenis, yaitu:
1
2
3
Misalnya, melakukan injeksi dengan obat tertentu agar pasien terminal meninggal.
Euthanasia pasif, artinya memutuskan untuk tidak mengambil tindakan atau tidak
melakukan terapi. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)
memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup kepada pasien.
Misalnya, terapi dihentikan atau tidak dilanjutkan karena tidak ada biaya, tidak ada
alat ataupun terapi tidak berguna lagi. Pokoknya menghentikan terapi yang telah
judgement).
4. Dari Sudut Motif dan Prakarsa, euthanasia dibedakan menjadi dua:
a. Prakarsa dari penderita sendiri, artinya penderita sendiri yang meminta agar
hidupnya dihentikan entah karena penyakit yang tak tersembuhkan atau karena
sebab lain
b. Prakarsa dari pihak luar, artinya orang lain yang meminta agar seorang pasien
dihentikan kehidupannya karena berbagai sebab. Pihak lain itu misalnya
keluarganya dengan motivasi untuk menghentikan beban atau belas kasih. Bisa
juga, prakarsa itu datang dari pemerintah karena ideologi tertentu atau
kepentingan yang lain.
Tindakan Euthanasia
Tindakan euthanasia dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni:
1. Langsung dan sukarela : memberi jalan kematian dengan cara yang dipilih pasien.
Tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri
2. Sukarela tetapi tidak langsung : pasien diberitahu bahwa harapan untuk hidup kecil sekali
sehingga pasien ini berusaha agar ada orang lain yang dapat mengakhiri penderitaan dan
hidupnya
3. Langsung tetapi tidak sukarela : dilakukan tanpa sepengetahuan pasien, misalnya dengan
memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat
4. Tidak langsung dan tidak sukarela : merupakan tindakan euthanasia pasif yang dianggap
paling mendekati moral.
BAB V
KESIMPULAN
10
BAB VI
SARAN
1. Bagi keluarga
11
DAFTAR PUSTAKA
Wikipedia, 2016. https://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia. 10 Agustus 2016
12
Marasabessy MA, 2014. Eutanasia Bertentangan dengan UUD 1945, HAM, dan Pancasila.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53ec87bad54c6/eutanasia-bertentangan-dengan-uud1945--ham--dan-pancasila-broleh--muhammad-aris-marasabessy--sh--mh-. Kamis, 14 Agustus
2014.
13