Anda di halaman 1dari 8

kelompok : 2

Moh.Heri
Riza Vanisa
Andinie Desliana
Nanda Anisa Bella
Ramdani Husein Renngur
Ananda Nafrah Fadma Merukh

PELANGGARAN KODE ETIK JAKSA


Kasus Posisi
Kode Etik Jaksa adalah Tata Krama Adhyaksa dimana dalam melaksanakan tugas Jaksa sebagai pengemban tugas dan wewenang Kejaksaan
adalah insani yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berasaskan satu dan tidak terpisah-pisahkan, bertindak
berdasarkan hukum dan sumpah jabatan dengan mengidahkan norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan dan keadilan yang hidup dalam
masyarakat berpedoman kepada Doktrin Tata Krama Adhyaksa. Dengan adanya Kode Etik maka akan memperkuat sistem pengawasan terhadap
Jaksa, karena disamping ada peraturan perundang-undangan yang dilanggar juga ada kode etik yang dilanggar.Maka dari itu kami akan
menganalisis kasus terkait dengan pelanggaran kode etik oleh jaksa.
Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung menemukan adanya dugaan pelanggaran etika profesi yang
dilakukan jaksa Farizal yang bertugas di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumbar. Farizal dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
sebagai tersangka dugaan penerimaan suap untuk mengurus perkara Direktur Utama CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto yang
diadili di Pengadilan Negeri Padang. Xaveriandy tersangdung kasus peredaran gula tanpa label Standar Indonesia (SNI) dengan barang
bukti sebanyak 30 ton Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan Kejaksaan Agung telah memeriksa sejumlah pihak terkait dugaan
pelanggaran etika profesi jaksa ini. Mereka yang diperiksa antara lain Asisten Kepala Kejati Sumbar, Asisten Pidana Khusus, Asisten
Pidana Umum di Kejati Sumbar, rekan sesama jaksa dalam tim Farizal Dari pemeriksaan itu, ditemukan sejumlah fakta yang mengin-
dikasikan bahwa Farizal memang melanggar etik profesi jaksa. Berdasarkan keterangan yang diambil dari pejabat Kejati Sumbar dan
pengakuan Farizal, hasilnya menyerupai dengan apa yang dituduhkan KPK kepadanya.
Sementara itu Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Muhammad Rum mengatakan, ada indikasi sejumlah penyimpangan
perilaku Farizal. Pertama, Farizal tidak pernah sekalipun mengikuti sidang perkara di mana Xaveriandy menjadi terdakwa. Padahal, ia
merupakan jaksa penuntut umum dalam kasus terkait distribusi gula yang diimpor tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI) itu.
“Memang Farizal ini salah satu penuntut umum yang menyidangkan kasus Xaveriandy di PN Padang. Dia juga sebagai ketua tim jaksa
tapi tidak pernah menghadiri sidang,” ujar Rum di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta seperti dilansir kompas.com.

Farizal juga disebut tidak informatif kepada sesama anggota tim jaksa penuntut umum dalam kasus itu,
sehingga mereka berjalan tanpa koordinasi dengan Farizal. Selain itu, Farizal juga membantu Xaveriandy
dalam menyusun eksepsi. Perbuatan tersebut dianggap melampaui kewenangannya sebagai jaksa penuntut
umum karena semestinya yang menyusun eksepsi adalah terdakwa bersama penasihat hukum.
Hal lain yang diakui oleh Farizal yaitu penerimaan sejumlah uang dari Sutanto. Rum mengatakan, Farizal
mengaku menerima uang Rp 60 juta dari terdakwa. “Sementara dia baru terima Rp 60 juta dalam empat kali
penerimaan. Tapi ini belum final, mesih terus dikembangkan,” kata Rum. Padahal, KPK menuding Farizal
menerima Rp 365 juta dari Sutanto untuk membantu perkara pidana yang disidangkan di Pengadilan Negeri
Padang. Kejanggalan sudah dirasakan sebelum perkara Xaveriandy disidangkan. Sejak di tingkat penyidikan
hingga persidangan, Xaveriandy hanya menjadi tahanan kota oleh Kejaksaan Tinggi Sumbar. Ia tidak
diamankan di balik jeruji besi oleh kepolisian di Padang. Rum mengatakan, kewenangan penetapan seseorang
bisa menjadi tahanan kota oleh Kejati Sumbar. “Itu materi pemeriksaan kita kenapa bisa keluar dari kota.
Harusnya tetap di kota dan harus minta izin,” kata Rum. Tak hanya itu, berdasarkan pengakuan salah satu pihak
yang diperiksa Jamwas, terungkap bahwa jaksa penuntut umum tidak mencermati berkas perkara di tingkat
penyidikan untuk dilimpahkan ke persidangan
Analisis Kasus
 Tanggung jawab moral
Pada hakikatnya moral adalah sesuatu yang menyangkut tentang baik dan buruknya manusia sebagai manusia.
Sedangkan moralitas adalah keseluruhan norma, nilai, dan sikap moral seseorang atau suatu masyarakat, dengan begitu
yang dilihat perilaku baik dari manusia keseluruhan baik ia sebagai manusia itu sendiri maupun dalam menjalankan
profesi sehingga sehingga menjadi satu keutuhan yang dimaksud (nilaimoral) moral. Sehingga Penyalahgunaan profesi
hukum Dalam kasus diatas jelas telah terjadi pelanggran kode etik profesi jaksa dimana jaksa farizal diduga menerima
suap sebesar Rp 440 juta untuk tidak menahan Xaveriandy Sutanto. Selain itu ia juga tidak melakukan tugas dan
kewajibannya sebagai jaksa dengan semestinya dimana ia Farizal tidak pernah sekalipun mengikuti sidang perkara di
mana Sutanto menjadi terdakwa. Padahal, ia merupakan jaksa penuntut umum dalam kasus terkait distribusi gula yang
diimpor tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI) itu, Farizal juga disebut tidak informatif kepada sesama anggota tim
jaksa penuntut umum dalam kasus itu, sehingga mereka berjalan tanpa koordinasi dengan Farizal. Selain itu, Farizal juga
membantu Sutanto dalam menyusun eksepsi atas surat dakwaan agar mendapatkan hukuman yang ringan. Perbuatan
tersebut dianggap melampaui kewenangannya sebagai jaksa penuntut umum karena semestinya yang menyusun eksepsi
adalah terdakwa bersama penasihat hukum. Pelangaran koode etik jaksa yang dilakukan oleh jaksa farizal menunjukan
bahwa dalam melaksanakan tugas sebagia penegak hukum tidak adanya tanggung jawab moral sebagai seorang jaksa
karena tidak adanya rasah bersalah terhadap apa yang dia perbuat yang akibatnya dapat menjatuhkan marwah harkat dan
martabat lembaga kejaksaan.
 Tanggung jawab teknis profesi
Untuk kode etik profesi jaksa di Indonesia telah Dari wacana diatas dapat dilihat adanya kode etik profesi yang
menyalahi aturan, yaitu penyalahgunaan diatur dalam peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia nomor : PER-
067/A/JA/07/2007 tentang kode etik jaksa. Dimana dalam Pasal 4 , Dalam melaksanakan tugas profesi, Jaksa dilarang:
1. menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain;
2. merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara;
3. menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan penekanan secara fisik dan/atau psikis;
4. meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan serta melarang keluarganya meminta dan/atau menerima
hadiah dan/atau keuntungan sehubungan dengan jabatannya;
5. menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau
finansial atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung atau tidak langsung;
6. bertindak diskriminatif dalam bentuk apapun;
7. membentuk opini publik yang dapat merugikan kepentingan penegakan hukum;
8. memberikan keterangan kepada publik kecuali terbatas pada hal-hal teknis perkara yang ditangani.
Dalam kasus Jaksa Farizal juga melanggar kode etik jaksa dalam pasal 1 dan 4, dimana Jaksa farizal menerima uang
dari tersangka korupsi dalam kasus yang ditanganinya dan tidak menjalankan tugas nya sebagimana di amanatkan dalam
undang-undang.
Sanksi
Faizal telah terbukti melakukan tindak penyuapan, dan dapat dikenai sanksi administratif. Apabila kita melihat
PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-014/A/JA/11/2012 pasal 13 ayat (1) yang
berisi :
a) pembebasan dari tugas-tugas Jaksa, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama (1) satu tahun; dan/atau
b) pengalihtugasan pada satuan kerja yang lain, paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun.
Dan sanksi administratif yang tepat untuk dijatuhkan kepada Faizal adalah pembebasan dari tugas-tugas jaksa,
paling singkat 3 bulan dan paling lama 1 tahun. Lalu bagaimana jika setelah dikenai sanksi administratif, jaksa
melakukan suatu pelanggaran kode etik yang sama ? jawabannya bisa kita lihat didalam pasal 27 ayat (2) intinya
mengatakan, bahwa apabila seorang jaksa yang telah terbukti melakukan suatu pelanggaran kode etik kemudian
melakukan pelanggaran kode etik yang sama, maka dapat dijatuhi sanksi administratif yang lebih berat
Kesimpulan

Kasus di atas merupakan salah satu contoh perilaku profesi hukum atau dalam hal ini yang kelompok kami bahas adalah
jaksa, sebagai mana yang telah dibacakan tadi dalam kasus tersebut jaksa telah menggunakan kekuatan nya untuk melakukan
tindakan yang tidak terpuji. Jaksa tersebut menggunakan kewenangan nya untuk menguntungkan diri nya sendiri dan orang
lain, yang mana telah melanggar kode etik jaksa. Padahal jelas-jelas dalam kode etik jaksa pasal 10 ayat 2, dimana jaksa telah
bersumpah untuk setia kepada Negara dengan cara menjunjung tinggi dan menegakkan hukum yang ada di Indonesia. Itu
sangat disayangkan ketika ada jaksa yang melanggar kode etik yang seharusnya dia tahu sebagai orang hukum bahwa hukum
dibuat untuk dipatuhi bukan untuk dilanggar.

Faizal telah terbukti melakukan tindak penyuapan, dan dapat dikenai sanksi administratif, Dan sanksi administratif yang
tepat untuk dijatuhkan kepada Faizal adalah pembebasan dari tugas-tugas jaksa, paling singkat 3 bulan dan paling lama 1 tahun.
tinggal sekarang bagaimana agar kasus diatas tersebut tidak sampai terulang kembali yang akan mencoreng nama hukum dan
membuat masyarakat semakin tidak percaya terhadap hukum yang ada di Indonesia. Salah satu bentuk sebagai pencegahan agar
kasus ini tidak terulang adalah dengan memberikan sebuah pendidikan karakter yang lebih baik dari yang sebelumnya dan
mengadakan pelatihan atau semacam seminar bagi jaksa-jaksa muda agar tindakan diatas tidak dilakukan oleh jaksa-jaksa
lainnya, serta diharapkan agar Komisi Kejaksaan bertindak lebih tegas dalam menangani Jaksa – Jaksa yang terbukti
melakukan pelanggaran kode etik.
Saran
Dengan semakin maraknya kasus pelanggaran kode etik yang terjadi secara
massif makan saran kami dalam hal ini adalah melalui 2 teori yaitu preventive
dan Represic, Secara Preventif yaitu dengan cara memberikan pendidikan
karakter kepada seluruh warga Kejaksaan mengenai pentingnya kode etik jaksa
dalam menjalankan tugasnya, tidak hanya dibekali Technical Aspect
(Pertanggung jawaban secara ilmiah) tetapi juga Ethical Aspect (Pertanggung
jawaban lahiriah), karena seorang Penegak Hukum haruslah mempunyai dua
aspek penting tersebut. Hal itu perlu dilakukan agar semua warga kejaksaan
tetap berpegang kepada kode etik jaksa ketika ia bertugas. Kemudian secara
represif yaitu Komisi Kejaksaan harus aktif dalam menindak Jaksa-Jaksa yang
terbukti melanggar kode etik, berilah mereka hukuman yang setimpal dengan
apa yang telah mereka perbuat. Dengan dua cara tersebut diharapkan bahwa
kedepannya Warga Kejaksaan tidak lagi melakukan pelanggaran kode etik

Anda mungkin juga menyukai