Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KELOMPOK ETIKA PROFESI

KODE ETIK SEBAGAI JAKSA


Dosen : DIPPO ALAM, S.H,. M.H.

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4 :

ABIBURRAHMAN BRP 1802010088


AJENG CINTYA RAHMANI 1802010115
AULYA MARSHANABILA 1802010114
IMELDA CANIA 1802010131
INDAH PURNAMA DEWI 1802010099
LAURA SHIFA BAZHLINA 1802010095
MUTHIYA KHAERUNISA 1802010121
YUNITA 1802010079

SEMESTER (6D)
PRODI ILMU HUKUM
TAHUN AJARAN 2019-2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dalam penelitian ilmu hukum, beberapa orang mengemukakan bahwa selain
norma hukum, terdapat norma lain yang turut menjaga ketertiban masyarakat. Norma
hukum tidak dapat secara independen mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia.
Oleh karena itu, diperlukan ketertiban lain sebagai upaya menciptakan ketertiban dalam
masyarakat. Akibat logis dari situasi ini, kode etik berasal dari berbagai kelompok
profesi, yang dirumuskan dalam bentuk kode etik profesi yang bertujuan untuk melatih,
melindungi dan mengawasi anggota kelompok profesionalnya. Seperti halnya profesi
hukum, pembela, notaris dan profesi hukum lainnya juga telah merumuskan kode etiknya
sendiri. Proses perumusan kode etik oleh berbagai kalangan profesi tentunya dipengaruhi
oleh banyak faktor, yang belum optimal dari segi fungsi pelayanan.
Lahad meyakini bahwa tatanan sosial yang menjalin hubungan tetap dan tertib di
antara anggota masyarakat bukanlah konsep tunggal. Namun, ada beberapa sub-urutan
dalam urutan ini, termasuk adat istiadat, hukum, dan moralitas. Inti dari tatanan sekunder
yang santun / moral ini justru menekankan pada cita-cita yang harus tetap diwujudkan
dalam masyarakat. Cita-cita adalah kriteria untuk mengukur perilaku anggota
masyarakat. Oleh karena itu, satu-satunya perilaku yang dapat diterima untuk tatanan ini
adalah perilaku yang sesuai dengan cita-cita manusia.
Salah satu cara untuk melaksanakan kode etik dan regulasi terjadi dalam profesi
jaksa, dan jaksa berkewajiban menjalankan dan melaksanakan semua etika profesi yang
berlaku padanya. Menurut Saherodji, istilah jaksa berasal dari bahasa Sansekerta yang
artinya mengawasi atau mengontrol yaitu pembina urusan sosial. Jaksa adalah pejabat
fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang yang berfungsi sebagai penuntut
umum dan pelaksana putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan
kewenangan lain yang dijalankan sesuai dengan hukum. Jaksa adalah pejabat fungsional
instansi pemerintah, pengangkatan dan pemberhentian jaksa tidak dilakukan oleh kepala
negara, tetapi oleh ketua jaksa.
Kejaksaan merupakan lembaga negara yang bertugas menegakkan hukum atas
nama negara dan oleh karena itu berkewajiban untuk mentaati kode etik profesi. Dalam
menjalankan tugasnya kejaksaan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban
hukum, keadilan dan kebenaran yang berlandaskan hukum, serta berpegang pada norma
agama, tata krama dan keadilan dalam masyarakat. Dalam hal ini, jaksa dituntut untuk
berperan lebih besar dalam menegakkan supremasi hukum, melindungi kepentingan
umum, menegakkan HAM, dan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (selanjutnya
disebut KKN). Dalam undang-undang kejaksaan yang baru, Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan
harus secara mandiri menjalankan fungsi, tugas, dan kewenangannya tanpa terpengaruh
oleh kewenangan pemerintah dan kewenangan lainnya.
Selain itu, kejaksaan di Indonesia terdapat lima kode etik profesi yang dimana
semuanya itu mengatur bagaimana hukum itu ditegakkan sesuai dengan fakta
pelanggaran dan hukum yang berlaku. Kode etik ini juga sebagai barometer untuk
mengukur sejauh mana profesionalisme penegak hukum.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana problematika penegakan etika profesi jaksa di Indonesia?
2. Bagaimana seharusnya penegakan kode etik jaksa di Indonesia yang ideal?
3. Apa bentuk tugas dan wewenang kementerian dalam menyelesaikan sebuah persoalan
kode etik jaksa?

C. Tujuan Pembahasan
Makalah ini bertujuan untuk menemukan penegakan hukum etika profesi jaksa di
Indonesia guna mengetahui problematika penegakan etika profesi jaksa di indonesia.
Sehingga manfaat makalah ini dapat meningkatkan kesadaran mulai dari mahasiswa,
masyarakat umum, jaksa, dan lain sebagainya dimana penerapan serta peraturan kode etik
jaksa sangatlah penting.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Problematika Penegakan Etika Profesi Jaksa Di Indonesia


1. Pengaturan kode etik jaksa di Indonesia
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga negara yang menjalankan fungsi
penuntunan umum memiliki tugas dan kewajiban dibidang penegakan hukum serta
memainkan peran penting dalam penyelenggaraan ketertiban umum disamping
mandat tugas yang diberikan oleh Pemerintah. Sehingga, dalam menguatkan peranan
dan fungsinya, Kejaksaan berlandaskan pada Catur Asana. Catur Asana ialah empat
landasan yang menjadi dasar eksistensi, wewenang, peran, serta tindakan Jaksa dalam
rangka mengemban tugasnya, antara lain Pancasila yang merupakan landasan idiil,
UUD NRI Tahun 1945 yang berkedudukan sebagai landasan konstitusional, Undang-
Undang Kejaksaan sebagai suatu landasan struktural, serta peraturan perundang-
undangan lainnya sebagai landasan operasionalnya.
Jaksa sebagai suatu profesi memiliki kode etik yang diatur berdasarkan
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-014/A/JA/11/2012 tentang
Kode Perilaku Jaksa. Keberadaan kode etik dalam profesi ini berfungsi sebagai
petunjuk atau arahan kepada anggota profesi tersebut mengenai perilaku dan
menjamin mutu moral profesi tersebut di masyarakat, dalam hal ini kode etik Jaksa
digunakan sebagai suatu arahan atau petunjuk perilaku untuk mewujudkan Jaksa yang
memiliki integritas, bertanggung jawab, dan menjamin mutu moral Jaksa di
masyarakat demi mewujudkan suatu birokrasi yang efektif, efisien, bersih, transparan
dan akuntabel yang berlandaskan Tri Krama Adhyaksa.
Doktrin Tri Krama Adhyaksa merupakan doktrin Kejaksaan Indonesia yang
terdiri dari Satya, Adhi, dan Wicaksana. Satya memiliki makna kesetiaan yang
bersumber dari rasa jujur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri pribadi, keluarga,
maupun sesama manusia. Adhi memiliki arti kesempurnaan dalam menjalankan tugas
dan berunsur utama rasa tanggung jawab baik kepada Tuhan Yang Maha Esa,
keluarga, maupun sesama manusia. Wicaksana memiliki makna bijaksana dalam tutur
kata dan tingkah laku, khususnya dalam pengetrapan kekuasaan dan kewenangannya.
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-014/A/JA/11/2012
tentang Kode Perilaku Jaksa memiliki 6 Bab dan 31 Pasal yang substansinya meliputi
ketentuan umum, perilaku jaksa, tindakan administratif, tata cara pemeriksaan dan
penjatuhan tindakan administratif, ketentuan lain-lain, dan ketentuan penutup.
Peraturan mengenai perilaku jaksa ini memuat tentang kewajiban-kewajiban jaksa,
peraturan tentang integritas, kemandirian, ketidakberpihakan, dan perlindungan.
Kewajiban Jaksa sebagaimana termuat dalam Pasal 3 hingga 6, terbagi
menjadi empat yang meliputi: kewajiban kepada negara, kewajiban kepada institusi,
kewajiban kepada profesi jaksa, dan kewajiban kepada masyarakat. Selanjutnya
peraturan mengenai integritas sebagaimana diatur dalam Pasal 7 yang berisi mengenai
larangan-larangan Jaksa dalam menjalankan profesinya. Adapun peraturan terkait
kemandirian sebagaimana diakomodasi dalam Pasal 8, yang mana Jaksa dalam
melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya secara mandiri terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah maupun kekuasaan lainnya, serta tidak pula
terpengaruh kepentingan individu maupun kelompok dan tekanan publik maupun
media. Dalam hal ini, Jaksa dapat menolak perintah atasannya apabila perintah
tersebut melanggar norma hukum dan berkaitan dengan penolakannya, Jaksa tersebut
memperoleh perlindungan hukum.
Selain itu, kode perilaku Jaksa juga menegaskan ketidakberpihakan Jaksa
dalam menjalankan tugasnya sebagaimana termaktub pada Pasal 9, sehingga Jaksa
dilarang melakukan tindakan diskriminasi, merangkap jabatan menjadi pengusaha,
pengurus atau karyawan baik BUMN/BUMD maupun badan usaha swasta, pengurus
atau anggota suatu partai politik, advokat, serta dilarang memberikan dukungan
terhadap hal-hal politik sebagaimana Pasal 9 huruf c. Adapun demi menjamin
kelancaran menjalankan tugas dan fungsi profesinya, Jaksa juga memperoleh
perlindungan dari tindakan sewenang-wenang sebagaimana Pasal 10, serta memiliki
hak-hak sebagaimana termuat dalam Pasal 11.
Kode etik Jaksa tersebut tidak lepas dari adanya prinsip-prinsip Tri Atmaka.
Prinsip ini merupakan ciri yang dimiliki oleh Jaksa dan terdiri dari ketunggalan
profesi, kemandirian, dan mumpuni. Pertama, prinsip ketunggalan profesi berarti
bahwa profesi jaksa dalam menjalankan tugasnya ada kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Kedua, prinsip kemandirian merupakan prinsip yang
menerangkan bahwa dalam menjalankan tugasnya selaku penuntut umum, jaksa
adalah satu-satunya instansi yang berwenang untuk melakukan penuntutan, sehingga
tidak ada badan lain yang dapat mempengaruhi jaksa di bidang penuntutan ini.
Ketiga, prinsip mumpuni yang mana korps kejaksaan dianggap mumpuni dalam
menjalankan tugasnya, sehingga profesi ini harus banyak berinisiatif dalam
menjalankan tugasnya disamping selalu bekerja sama dengan penegak hukum
lainnya, seperti hakim, polisi, maupun advokat.
Adapun Jaksa dalam menjalankan profesinya wajib mematuhi dan
menghormati kode etik sebagaimana diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Republik
Indonesia tentang Kode Perilaku Jaksa tersebut. Sehingga, apabila ada oknum Jaksa
terbukti melakukan pelanggaran, maka akan diberikan sanksi berupa tindakan
administratif. Sanksi tersebut diberlakukan kumulatif dengan sanksi ketentuan pidana
maupun hukuman disiplin berdasarkan peraturan disiplin PNS apabila terdapat
ketentuan terkait yang dilanggar, sehingga sifat sanksi tindakan administratif ini tidak
mengesampingkan sanksi pidana maupun hukuman disiplin tersebut. Sanksi tindakan
administratif bagi Jaksa ini dapat berupa pembebasan dari tugas-tugas Jaksa dengan
durasi paling singkat tiga bulan dan paling lama satu tahun; dan/atau pengalihtugasan
ke satuan kerja lain, dengan durasi paling singkat satu tahun dan paling lama dua
tahun.
Pihak yang berwenang menangani pemeriksaan terhadap pelanggaran kode
etik oleh Jaksa adalah Majelis Kode Perilaku yang terdiri dari ketua merangkap
anggota, yaitu pejabat yang berwenang membentuk Majelis Kode Perilaku atau
pejabat yang ditunjuk, sekretaris merangkap anggota, serta seorang anggota dari
unsur PJI dengan jenjang kepangkatannya tidak lebih rendah dari oknum Jaksa yang
akan diperiksa. Pemeriksaan terhadap pelanggaran tersebut harus diselesaikan dalam
kurun waktu 30 hari. Selanjutnya apabila terbukti melakukan pelanggaran kode etik,
maka Majelis Kode Perilaku akan mengeluarkan Putusan Majelis Kode Perilaku.
Adapun terhadap pelapor dugaan pelanggaran hukum di lingkup Kejaksaan
memperoleh perlindungan berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penanganan Laporan dan Perlindungan terhadap
Pelapor Pelanggaran Hukum (Whistleblowing System) di Kejaksaan Republik
Indonesia. Dalam hal ini pelanggaran hukum yang dimaksud termasuk pula
pelanggaran kode perilaku oleh Jaksa sebagaimana uraian Pasal 3 peraturan tersebut.
Perlindungan terhadap pelapor dugaan pelanggaran kode perilaku Jaksa ini
dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (3), yaitu: (a)
merahasiakan dan menyamarkan identitas pelapor; (b) perlindungan dari perlakuan
yang bersifat diskriminasi; (c) perlindungan atas catatan yang merugikan dalam arsip
data kepegawaian; dan/atau (d) merahasiakan isi laporan, laporan hasil telaah UPP
dan tindak lanjut bidang pengawasan. Namun perlindungan berupa merahasiakan
identitas ini tidak berlaku apabila dalam proses penegakan hukumnya, identitas
pelapor harus dinyatakan dengan jelas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Adapun selain empat bentuk perlindungan tersebut, pelapor berdasarkan
Pasal 12 ayat (5) dapat pula memperoleh perlindungan sebagaimana ketentuan
peraturan perundang undangan, yaitu perlindungan dari ancaman, perlindungan
terhadap harta, dan pemberian keterangan tidak dihadapan terlapor.
2. Kasus Pelanggaran Kode Etik Jaksa
Adapun beberapa polemik yang terjadi di Indonesia tentang pelanggaran kode
etik profesi hukum sering kali dijumpai di berita manapun baik dari media cetak
maupun media elektronik. Kasus mengenai pelanggaran kode etik jaksa yang masih
hangat di tahun 2020 dan dan seringkali diperbincangkan yaitu tentang kasus jaksa
pinangki. Menurut berita yang telah beredar bahwa kasus jaksa pinangki merupakan
contoh dari pelanggaran kode etik profesi hukum yaitu sebagai seorang jaksa. Jaksa
sebagai salah satu penegak hukum Indonesia yang bertugas untuk menerapkan sistem
hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kasus
jaksa pinangki yang masih berlangsung bisa dijadikan suatu bahan analisis dalam
mengenai pelanggaran kode etik profesi hukum.
Jaksa Pinangki Sirna Malasari didakwa menerima suap sebesar US$ 500
ribu atau sekitar Rp 7 miliar dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Jaksa
Pinangki selain didakwa tindak pidana suap juga didakwa Pasal 3 Undang-Undang
No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang karena Jaksa Pinangki diduga mempergunakan uang suap tersebut untuk
kepentingan sendiri dengan total lebih dari Rp4,7 miliar. Selain itu, Jaksa Pinangki
diduga melakukan permufakatan jahat dengan dakwaan Pasal 15 juncto Pasal 5 ayat
(1) huruf a dan/atau Pasal 15 juncto Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Mengenai kasus dari jaksa pinangki sebagai contoh dari pelanggaran kode etik
profesi hukum jaksa bisa dijadikan suatu bahan analisis bahwa tindakan yang
dilakukan oleh jaksa pinangki telah melanggar beberapa kode etik jaksa berdasarkan
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-014/A/JA/11/2012 tentang
Kode Perilaku Jaksa, khususnya larangan untuk seorang jaksa yang termuat dalam
pasal 7 PERJA tersebut. Perilaku yang telah dilakukan oleh jaksa pinangki tidak
mencerminkan sama sekali tentang kode etik profesi hukum dikarenakan perbuatan
tersebut telah melanggar norma ataupun kaidah hukum yang berlaku. Perbuatan jaksa
pinangki yang telah melakukan penyuapan dan pencucian uang termasuk kedalam
tindak pidana khusus atau extraordinary crime, maka dari itulah dalam menangani
perkara tersebut perlu dilakukan secara khusus baik dari proses penyidikan sampai
pengadilan khusus. Berdasarkan kasus jaksa pinangki tersebut telah melanggar kode
etik jaksa yang termuat dalam PERJA Nomor PER 014/A/JA/11/2012 pasal 7.
Adapun jaksa dalam melaksanakan tugasnya juga memiliki larangan sebagai
kode etik profesinya, larangan tersebut merupakan bagian dari integritas yang diatur
dalam pasal 7 dan terdiri atas beberapa hal, dalam kaitannya kasus tersebut larangan
yang yang telah dilanggar yaitu :
a. Jaksa dilarang memberikan atau menjanjikan sesuatu yang dapat
memberikan keuntungan pribadi secara langsung maupun tidak langsung
bagi diri sendiri maupun orang lain dengan menggunakan nama atau cara
apapun.
b. Jaksa dilarang meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan
dalam bentuk apapun dari siapapun yang memiliki kepentingan baik
langsung maupun tidak langsung.
Dari penjelasan kasus jaksa pinangki tersebut bahwa perbuatan jaksa
pinangki telah melanggar dan tidak sesuai dengan kode etik PERJA Nomor PER-
014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa pasal 7 pada poin a dan b.
Mengartikan bahwasannya tindakan suap dan tindakan pencucian uang tersebut telah
dilarang secara tegas dalam PERJA tersebut. Untuk itulah jaksa pinangki dikenakan
dakwaan sesuai apa yang telah dilanggar sesuai ketentuan undang-undang TIPIKOR
dan TPPU. Kasus jaksa pinangki bisa dijadikan suatu pembelajaran bagi profesi
hukum lainnya bahwa sebagai penegak hukum dan sebagai profesi hukum memiliki
kode etik yang harus dijaga, ditaati, dan dijunjung tinggi oleh pihak siapapun yang
memiliki profesi hukum. Hal ini dikarenakan sebagai penegak hukum harus bisa
memberikan cerminan yang baik kepada masyarakat Indonesia, dan menjadikan
proyeksi bahwa penegak hukum di Indonesia mempunyai suatu kehormatan yang
tinggi.

B. Penyelesaian Permasalahan Penegakan Kode Etik Jaksa Yang Ideal Di Indonesia


1. Penyebab Pelanggaran Kode Etik Jaksa
Pelanggaran dari sebuah kode etik profesi ini adalah suatu tindakan
pelanggaran yang dapat dikerjakan oleh segelintir oknum maupun sekelompok orang
dari profesi tersebut yang disertai oleh sifat yang tidak mencerminkan tentang
bagaimana seharusnya seorang Jaksa dalam menjalankan profesinya sebagaimana
martabat profesi tersebut dan sekaligus menjaga mutu dari profesi tersebut di tengah
masyarakat. Dibawah ini merupakan Tujuan dari Kode Etik Profesi:
a. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi tersebut.
b. Untuk meningkatkan mutu dari profesi tersebut.
c. Untuk menjaga serta memelihara kesejahteraan dari para anggotanya.
d. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota dari profesi tersebut.
e. Agar mempunyai suatu kesatuan organisasi profesional yang kuat dan
terjalin secara erat.
f. Agar meningkatkan serta mendahului kepentingan layanan publik diatas
kepentingan pribadi.
Kode etik lahir sebagai untuk membatasi seorang profesional dalam sikap
moral agar sesuai dengan standar operasional yang telah disepakati bersama. Akan
tetapi, tetap saja masih banyak orang yang melanggar kode etik tersebut. Berikut
adalah faktor-faktor penyebab pelanggaran kode etik antara lain:
a. Pengaruh Sifat Kekeluargaan
Acapkali kode etik tersebut berhubungan dan berbenturan dengan
hubungan kekeluargaan ataupun kekerabatan. Sifat tidak enak akan
menolak hal tersebut menimbulkan hal sedemikian rupa mulai dari
pelanggaran kode etik sampai nepotisme. Seseorang yang profesional harus
bisa membedakan antara sikap profesional dan kekeluargaan.
b. Pengaruh Jabatan
Dalam kenyataan yang terjadi, tidak semua keputusan yang bermakna
positif akan menghasilkan sesuatu yang positif juga. Apabila berada di luar
kode etik, terkadang menimbulkan permasalahan yang baru. Seseorang
cenderung mengambil suatu tindakan dengan hanya memperhatikan efek
positifnya saja tanpa memperhatikan efek negatifnya dengan menghiraukan
kode etik yang ada.
c. Lemahnya Penegakan Hukum di Indonesia
Merupakan salah satu faktor yang terbilang klasik dikarenakan
penegakan akan ketaatan terhadap kode etik itu sendiri cenderung lemah.
Setiap kali ada sebuah celah, dapat dimanfaatkan oleh pihak yang
berkepentingan untuk menyimpang dari kode etik yang telah ada untuk
memenuhi kepentingan pribadinya.
d. Lemahnya Kontrol dari Masyarakat
Masyarakat dalam hal ini harus sebagai pilar utama dalam penegakan
hukum di Indonesia sesuai dengan kaidah “Social Control” ataupun “Social
Engineering”. Fungsi dari Masyarakat untuk mengawasi secara penuh
tentang bagaimana roda pemerintahan berjalan demi mewujudkan cita-cita
bersama dari bangsa dan negara.
e. Kurangnya Sarana Untuk Menyampaikan Keluhan Masyarakat
Untuk mengantisipasi pelanggaran kode etik di kemudian hari,
sebaiknya memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya mengenai pelayanan yang
ada. Agar harapannya terdapat ulasan positif yang baik dari masyarakat,
sehingga dapat meminimalisir terjadinya pelanggaran-pelanggaran kode
etik yang pernah ada.
2. Cara Menyikapi Pelanggaran Kode Etik Jaksa
“Kode etik profesi hukum sangat dekat kaitannya dengan apa yang disebut
dengan integrated criminal justice system yaitu sistem perkara pidana secara
terpadu”.
Jaksa sendiri merupakan sebuah profesi yang ditugaskan sebagai perwakilan
negara dalam rangka menegakkan keadilan dimuka hukum. Jaksa diwajibkan mampu
berfikir secara rasional disamping tugas fungsional utamanya adalah tuntutan
terhadap sebuah kasus yang ditangani. Tugas fungsional seorang jaksa pun pada
akhirnya memberikan kesempatan untuk seorang jaksa agar mampu memberikan
keuntungan pribadi bagi mereka sendiri, misalnya dengan menerima suapan yang
diberikan dari kasus – kasus yang mereka tangani. Maka dari itu penekanan terhadap
profesi jaksa dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat dan harus menjunjung tinggi martabat profesi nya karena jika
seorang jaksa bisa mengindahkan nilai-nilai dan menjunjung tinggi martabat profesi
jaksa akan ada timbal baliknya dengan institusi jaksa itu sendiri dan nama baik
profesi jaksa terjaga. Cara menyikapi pelanggaran kode etik jaksa memiliki dua cara
khusus yaitu:
a. dengan cara pendidikan karakter dari pendidikan karakter ini
diharapkan agar jaksa bisa berperilaku sesuai kode etik jaksa dan
melaksanakan kewajiban nya sebagai aparat penegak hukum yang
menjunjung tinggi nilai profesionalitas dalam bertugas.
b. Selanjutnya, dengan cara memberikan hukuman kepada jaksa yang
tidak profesional dalam menjalankan tugasnya.
Pedoman penyikapan pelanggaran kode etik oleh jaksa melalui cara represif
diatur dalam Peraturan Jaksa Agung mengenai Kode Perilaku Jaksa. Yang tertuang
pada pasal 3 hingga 5 yaitu mengenai kewajiban jaksa sebagai profesi, pasal 7
mengenai pelarangan, dan pasal 12 hingga pasal 14 mengenai sanksi yang diberikan.
Tentunya pelanggaran profesi jaksa ini disamping mendapatkan sanksi administratif
melalui peraturan Jaksa agung, juga mendapatkan sanksi hukum lainnya
menyesuaikan dengan pelanggaran seperti apa yang dilakukan oleh seorang jaksa.
Peran Komisi Kejaksaan ini dalam menyikapi pelanggaran kode etik jaksa disini
sangat penting karena Komisi Kejaksaan memiliki tugas salah satunya adalah
mengawasi dan menilai kinerja seorang jaksa dalam melakukan tugas dinasnya.
Dengan adanya kehadiran komisi kejaksaan diharapkan dapat membuat para jaksa ini
mematuhi kode etik jaksa dan komisi kejaksaan mempunyai wewenang yaitu,
menerima aduan masyarakat mengenai perilaku jaksa yang tidak sesuai dengan kode
etik jaksa. Dengan adanya peran serta masyarakat yang dapat melaporkan perilaku
jaksa yang tidak sesuai dengan kode etik jaksa maka dapat langsung dilaporkan ke
komisi kejaksaan sebagai lembaga pengawas eksternal lalu dilanjutkan kepada unit
pengawas internal kejaksaan untuk di proses.
Tetapi komisi kejaksaan ini mempunyai hambatan dalam menyikapi
pelanggaran kode etik jaksa yaitu Komisi Kejaksaan tidak mempunyai kekuatan
untuk menghukum para jaksa yang melanggar kode etik jaksa, terbatas nya manusia
yang ada di dalam komisi kejaksaan sehingga memperlambat penegakan pelanggaran
kode etik jaksa, alokasi anggaran yang sedikit kepada Komisi Kejaksaan sehingga
tidak dapat melakukan tugasnya dengan baik karena terbatas dengan anggaran-nya,
dan yang terakhir ialah aduan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap seorang
jaksa tidak berdasar sehingga sulit untuk ditindaklanjuti oleh komisi kejaksaan
karena tidak ada bukti dalam aduannya.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dalam rangka menciptakan ketertiban dalam masyarakat, setiap komponen
masyarakat harus mampu menaati berbagai nilai dan norma di masyarakat, tidak
terkecuali berlaku pada berbagai profesi yang dijalankan di masyarakat. Secara khusus
dalam ranah penegak hukum dari banyak komponen yang ada, profesi jaksa adalah salah
satu yang memiliki komponen aturan khusus yang mengatur bagaimana profesi ini
seharusnya dijalankan sesuai nilai dan norma atau yang dapat kita sebut sebagai etika
dalam profesi. Maka muncullah aturan kode etik khusus yang diterapkan pada profesi ini.
Pengaturan kode etik jaksa di Indonesia diwujudkan dengan berlakunya prinsip prinsip
seperti landasan Catur Asana, Doktrin Tri Krama Adhyaksa, serta prinsip-prinsip Tri
Atmaka.
Selain itu adanya peraturan dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor PER 014/A/JA/11/2012 mengenai kode perilaku jaksa yang memiliki 6 Bab dan
31 Pasal yang substansinya meliputi ketentuan umum, perilaku jaksa, tindakan
administratif, tata cara pemeriksaan dan penjatuhan tindakan administratif, ketentuan
lain-lain, dan ketentuan penutup.
Jaksa yang tidak mampu atau melanggar peraturan kode etik yang telah
ditetapkan akan dikenakan sanksi tindakan administratif yang mana tindakan ini tidak
mengesampingkan ketentuan hukum pidana dan hukuman disiplin berdasarkan peraturan
disiplin PNS apabila diketahui adanya pelanggaran ketentuan terkait. Dalam realitasnya
banyak pelanggaran yang terjadi pada kode etik profesi ini, seperti kasus Jaksa Pinangki
terkait suap dan pencucian uang yang secara jelas melanggar kode etik profesi jaksa
berdasarkan peraturan yang ada. Adapun beberapa faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya pelanggaran adalah pengaruh sifat kekeluargaan, jabatan, lemahnya
penegakkan hukum di Indonesia, lemahnya kontrol di masyarakat serta minimnya sarana
pengaduan pelanggaran. Dalam upaya menyikapi realitas ini ada beberapa hal yang dapat
dilakukan yaitu tindakan preventif dengan pendidikan karakter dan moral maupun
tindakan represif dengan pemberian sanksi. Pemberian sanksi yang dilakukan juga
memiliki pedoman khusus, yaitu Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER
014/A/JA/11/2012 pada pasal 12 hingga pasal 14 mengenai sanksi yang diberikan.

B. SARAN
Penulis berharap semua pelaku profesi hukum, baik kepolisian, dan lain-lain,
harus bisa mematuhi kode etik, sumpah, dll. Untuk kinerja profesi hukum khususnya
masyarakat dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat, karena
masyarakat memiliki perang penting dalam menyelesaikan suatu hal. Untuk menghindari
penyuapan, korupsi, dan lain-lain mudah-mudahan jaksa mampu tegas dan peduli
terhadap kepentingan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Mantan jaksa Pinangki divonis 10 tahun penjara, terbukti terima suap Rp7 miliar dan lakukan

pemufakatan jahat untuk bebaskan Djoko Tjandra - BBC News Indonesia

Tri Krama Adhyaksa - Kejaksaan Negeri Tanah Laut (kejari-tanahlaut.go.id)

Kode Etik Jaksa atau Kode Perilaku Jaksa (boyyendratamin.com)

Pelanggaran kode etik Jaksa Pinangki diserahkan ke Komjak (alinea.id)

Pelanggaran Kode Etik Jaksa Penyidik dalam Perkara Pinangki | Kawan Hukum Indonesia

Tata Cara Sidang Kode Perilaku Jaksa - Hukumonline.com

Anda mungkin juga menyukai