SEMESTER (6D)
PRODI ILMU HUKUM
TAHUN AJARAN 2019-2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam penelitian ilmu hukum, beberapa orang mengemukakan bahwa selain
norma hukum, terdapat norma lain yang turut menjaga ketertiban masyarakat. Norma
hukum tidak dapat secara independen mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia.
Oleh karena itu, diperlukan ketertiban lain sebagai upaya menciptakan ketertiban dalam
masyarakat. Akibat logis dari situasi ini, kode etik berasal dari berbagai kelompok
profesi, yang dirumuskan dalam bentuk kode etik profesi yang bertujuan untuk melatih,
melindungi dan mengawasi anggota kelompok profesionalnya. Seperti halnya profesi
hukum, pembela, notaris dan profesi hukum lainnya juga telah merumuskan kode etiknya
sendiri. Proses perumusan kode etik oleh berbagai kalangan profesi tentunya dipengaruhi
oleh banyak faktor, yang belum optimal dari segi fungsi pelayanan.
Lahad meyakini bahwa tatanan sosial yang menjalin hubungan tetap dan tertib di
antara anggota masyarakat bukanlah konsep tunggal. Namun, ada beberapa sub-urutan
dalam urutan ini, termasuk adat istiadat, hukum, dan moralitas. Inti dari tatanan sekunder
yang santun / moral ini justru menekankan pada cita-cita yang harus tetap diwujudkan
dalam masyarakat. Cita-cita adalah kriteria untuk mengukur perilaku anggota
masyarakat. Oleh karena itu, satu-satunya perilaku yang dapat diterima untuk tatanan ini
adalah perilaku yang sesuai dengan cita-cita manusia.
Salah satu cara untuk melaksanakan kode etik dan regulasi terjadi dalam profesi
jaksa, dan jaksa berkewajiban menjalankan dan melaksanakan semua etika profesi yang
berlaku padanya. Menurut Saherodji, istilah jaksa berasal dari bahasa Sansekerta yang
artinya mengawasi atau mengontrol yaitu pembina urusan sosial. Jaksa adalah pejabat
fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang yang berfungsi sebagai penuntut
umum dan pelaksana putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan
kewenangan lain yang dijalankan sesuai dengan hukum. Jaksa adalah pejabat fungsional
instansi pemerintah, pengangkatan dan pemberhentian jaksa tidak dilakukan oleh kepala
negara, tetapi oleh ketua jaksa.
Kejaksaan merupakan lembaga negara yang bertugas menegakkan hukum atas
nama negara dan oleh karena itu berkewajiban untuk mentaati kode etik profesi. Dalam
menjalankan tugasnya kejaksaan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban
hukum, keadilan dan kebenaran yang berlandaskan hukum, serta berpegang pada norma
agama, tata krama dan keadilan dalam masyarakat. Dalam hal ini, jaksa dituntut untuk
berperan lebih besar dalam menegakkan supremasi hukum, melindungi kepentingan
umum, menegakkan HAM, dan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (selanjutnya
disebut KKN). Dalam undang-undang kejaksaan yang baru, Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan
harus secara mandiri menjalankan fungsi, tugas, dan kewenangannya tanpa terpengaruh
oleh kewenangan pemerintah dan kewenangan lainnya.
Selain itu, kejaksaan di Indonesia terdapat lima kode etik profesi yang dimana
semuanya itu mengatur bagaimana hukum itu ditegakkan sesuai dengan fakta
pelanggaran dan hukum yang berlaku. Kode etik ini juga sebagai barometer untuk
mengukur sejauh mana profesionalisme penegak hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana problematika penegakan etika profesi jaksa di Indonesia?
2. Bagaimana seharusnya penegakan kode etik jaksa di Indonesia yang ideal?
3. Apa bentuk tugas dan wewenang kementerian dalam menyelesaikan sebuah persoalan
kode etik jaksa?
C. Tujuan Pembahasan
Makalah ini bertujuan untuk menemukan penegakan hukum etika profesi jaksa di
Indonesia guna mengetahui problematika penegakan etika profesi jaksa di indonesia.
Sehingga manfaat makalah ini dapat meningkatkan kesadaran mulai dari mahasiswa,
masyarakat umum, jaksa, dan lain sebagainya dimana penerapan serta peraturan kode etik
jaksa sangatlah penting.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KESIMPULAN
Dalam rangka menciptakan ketertiban dalam masyarakat, setiap komponen
masyarakat harus mampu menaati berbagai nilai dan norma di masyarakat, tidak
terkecuali berlaku pada berbagai profesi yang dijalankan di masyarakat. Secara khusus
dalam ranah penegak hukum dari banyak komponen yang ada, profesi jaksa adalah salah
satu yang memiliki komponen aturan khusus yang mengatur bagaimana profesi ini
seharusnya dijalankan sesuai nilai dan norma atau yang dapat kita sebut sebagai etika
dalam profesi. Maka muncullah aturan kode etik khusus yang diterapkan pada profesi ini.
Pengaturan kode etik jaksa di Indonesia diwujudkan dengan berlakunya prinsip prinsip
seperti landasan Catur Asana, Doktrin Tri Krama Adhyaksa, serta prinsip-prinsip Tri
Atmaka.
Selain itu adanya peraturan dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor PER 014/A/JA/11/2012 mengenai kode perilaku jaksa yang memiliki 6 Bab dan
31 Pasal yang substansinya meliputi ketentuan umum, perilaku jaksa, tindakan
administratif, tata cara pemeriksaan dan penjatuhan tindakan administratif, ketentuan
lain-lain, dan ketentuan penutup.
Jaksa yang tidak mampu atau melanggar peraturan kode etik yang telah
ditetapkan akan dikenakan sanksi tindakan administratif yang mana tindakan ini tidak
mengesampingkan ketentuan hukum pidana dan hukuman disiplin berdasarkan peraturan
disiplin PNS apabila diketahui adanya pelanggaran ketentuan terkait. Dalam realitasnya
banyak pelanggaran yang terjadi pada kode etik profesi ini, seperti kasus Jaksa Pinangki
terkait suap dan pencucian uang yang secara jelas melanggar kode etik profesi jaksa
berdasarkan peraturan yang ada. Adapun beberapa faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya pelanggaran adalah pengaruh sifat kekeluargaan, jabatan, lemahnya
penegakkan hukum di Indonesia, lemahnya kontrol di masyarakat serta minimnya sarana
pengaduan pelanggaran. Dalam upaya menyikapi realitas ini ada beberapa hal yang dapat
dilakukan yaitu tindakan preventif dengan pendidikan karakter dan moral maupun
tindakan represif dengan pemberian sanksi. Pemberian sanksi yang dilakukan juga
memiliki pedoman khusus, yaitu Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER
014/A/JA/11/2012 pada pasal 12 hingga pasal 14 mengenai sanksi yang diberikan.
B. SARAN
Penulis berharap semua pelaku profesi hukum, baik kepolisian, dan lain-lain,
harus bisa mematuhi kode etik, sumpah, dll. Untuk kinerja profesi hukum khususnya
masyarakat dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat, karena
masyarakat memiliki perang penting dalam menyelesaikan suatu hal. Untuk menghindari
penyuapan, korupsi, dan lain-lain mudah-mudahan jaksa mampu tegas dan peduli
terhadap kepentingan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Mantan jaksa Pinangki divonis 10 tahun penjara, terbukti terima suap Rp7 miliar dan lakukan
Pelanggaran Kode Etik Jaksa Penyidik dalam Perkara Pinangki | Kawan Hukum Indonesia