Anda di halaman 1dari 135

MAGISTER HUKUM

UNIVERSITAS BOROBUDUR

BAHAN AJAR
HUKUM PERBANKAN
DISUSUN OLEH

Dr. Evita Isretno Israhadi. SH.MH. MSi.

Untuk Kalangan Sendiri

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS BOROBUDUR
Jakarta, Agustus 2019
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................................... 1
A. Pengertian Hukum Perbankan................................................................................... 1
B. Fungsi Utama Perbankan............................................................................................. 4
C. Sifat Dan Tujuan Pengaturan Hukum Perbankan....................................................... 17
D. Asas-Asas Hukum Perbankan.................................................................................... 25
E. Hukum Perbankan Sebagai Bagian Sistem Hukum Perbankan.................................. 40

BAB II . SISTEM KEUANGAN NASIONAL....................................................................... 43


A. Pengertian Sistem keuangan dan Keuangan Nasional............................................. 43
B.Sistem moneter Indonesia......................................................................................... 48
C. Sistem Perbankan Nasional...................................................................................... 48
1. Bank Umum........................................................................................................ 50
D. Sistem Lembaga Keuangan Bukan Bank................................................................ 60

BAB III. Uang ........................................................................................................................... 62


A. Pengertian Uang......................................................................................................... 62
B. Fungsi Uang.............................................................................................................. 63
C. Sejarah Penggunaan Uang......................................................................................... 64
D. Uang Beredar............................................................................................................. 67
E. Mekanisme Penciptaan Uang ................................................................................... 71
F. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Beredarnya Uang............................................. 74
G. Peranan Uang dalam Perekonomian........................................................................... 76

BAB IV. BANK INDONESIA................................................................................................. 86


A. Pengertian Bank Indonesia......................................................................................... 86
B. Sejarah Bank Indonesia............................................................................................... 86
C. Status Dan Kedudukan Bank Indonesia...................................................................... 87
D. Tujuan Dan Tugas Bank Indonesia............................................................................. 89
E. Pengaturan dan Pengawasan Bank.............................................................................. 89
F. Upaya Restrukturisasi Perbankan................................................................................ 90
G. Otorisasi Moneter Bank Indonesia.............................................................................. 90
H. Dewan Gubernur Bank Indonesia............................................................................... 93
I. Hubungan Antara BI dan OJK.................................................................................... 94

BAB V. RAHASIA BANK.................................................................................................... 109


A. Pengertian Rahasia Bank.......................................................................................... 109
B. Sifat Rahasia Bank.................................................................................................... 109
C. Rahasia Bank di Indonesia........................................................................................ 110

BAB VI. LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN………………………………………….. 112


A. Lembaga Penjamin Simpanan……………………………………………….…..… 112
B. Hubungan Kepercayaan antara Nasabah dan Bank………………………………... 113
C. Peran dan Fungsi LPS dalam Sistem Perbankan…………………………………… 117
D. Manfaat dan Tantangan Lembaga Penjamin Simpanan……………………………. 119
E. Praktik Penjamin Dana Nasabah di USA………………………………………….. 123

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………. 128


1

BAHAN AJAR/MODUL
HUKUM PERBANKAN
Program Pascasarjana Universitas Borobudur

Dr. Evita Isretno Israhadi. SH.MH.Msi.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pengertian Hukum Perbankan

Dalam buku The New Book of Knowledge, didefinisikan ”laws are rules that define

people’s rights and responsibilities toward society/ Laws are agreed on by society and made

official by governments” . Hukum adalah aturan-aturan yang membatasi hak dan kewajiban

orang-orang terhadap masyarakat, disepakati oleh masyarakat dan dibuat pegawai pemerintah.

“Perbankan” adalah bentuk kata benda berasal dari kata “bank”. Kata “bank” terambil dari

bahasa Itali, yakni banco yang berarti meja. Artinya bahwa mejalah yang digunakan untuk

melakukan kegiatan proses kerja bank sejak dahulu sampai sekarang masih, dan mungkin sampai

yang akan datang secara administratif, tetap dilaksanakan di atas meja. Dalam bahasa Arab bank

disebut dengan kata mashraf, yang berarti tempat berlangsungnya saling tukar menukar sesuatu,

baik dengan cara mengambil ataupun menyimpan, atau selainnya untuk melakukan muamalah.

Dalam bahasa Indonesia kata bank berarti lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan

kredit dan jasa lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Menurut UU Republik Indonesia

No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, pada ketentuan umum, pasal 1 ayat (2) Bank adalah

badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
2

menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka

meningkatkan taraf hidup rakyat. Sedangkan kata “perbankan” itu sendiri yang merupakan

bentuk kata benda “abstrak” mempunyai segala sesuatu yang berkenaan dengan bank, mencakup

kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses melaksanakan kegiatannya.

Menurut Djumhana, hukum perbankan adalah sebagai kumpulan peraturan hukum yang

mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi,

dan eksistensinya, serta hubungannya dengan bidang kehidupan yang lain.

Munir Fuady merumuskan hukum perbankan adalah seperangkat kaidah hukum dalam

bentuk peraturan perundang-undangan, yurisprudesi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum, yang

mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga dan aspek kegiatannya sehari-hari,

rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, prilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban,

tugas dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh

dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan, dan lain-lain yang berkenan dengan

dunia perbankan.

Hermansyah mengemukakan bahwa hukum perbankan adalah keseluruhan norma-norma

tertulis maupun norma-norma tidak tertulis yang mengatur tentang bank, mencakup

kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses melaksanakan kegiatannya.

Dikatakan lebih lanjut ruang lingkup dari pengaturan hukum perbankan itu meliputi:

1. Asas Hukum Perbankan

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan mengemukakan bahwa Asas

Hukum perbankan adalah Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan

demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Yang dmaksud dengan


3

demokrasi ekonomi adalah demokrasi ekonomi Pancasila sebagai dasar falsafah negara Republik

Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945.

Demokrasi ekonomi Pancasila memiliki karakteristik sebagai berikut; 1) dalam sistem

ekonomi pancasila bahwa koperasi sebagai sokoguru perekonomian, 2) digerakkan oleh

rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial yang bermoral dalam arti ekonomi yang tidak hanya

mementingkan keuntungan diri sendiri namun juga kepentingan masyarakat, 3) karena

berhubungan dengan ketuhanan, maka ekonomi Pancasila ini harus mencerminkan solidaritas

sosial, 4) jika dikaitkan dengan persatuan seperti tertuang dalam Pancasila, nasionalisme

menjiwai tiap kebijakn ekonmi, sedangkan perekonomian kapitalis pada dasarnya

kosmopolitanisme, sehingga dalam mengejar keuntungan tidak mengenal batas-batas negara, 5)

sistem perekonomian Pancasila tegas dan jelas adanya keseimbangan antara perencanaan sentral

dengan tekanan pada desentralisasi.

2.Para pelaku bidang perbankan, seperti dewan komisaris, direksi dan karyawan, maupun pihak

terafiliasi. Mengenai bentuk badan hukum pengelola, seperti PT Persero, Perusahaan Daerah, ko-

perasi atau perseroan terbatas. Mengenai bentuk kepemilikan, seperti milik pemerintah, swasta,

patungan dengan asing, atau bank asing;

3.Kaidah-kaidah perbankan yang khusus diperuntukkan untuk mengatur perlindungan

kepentingan umum dari tindakan perbankan, seperti pencegahan persaingan yang tidak sehat,

antitrust, perlindungan nasabah, dan lain-lain;

4. Yang menyangkut dengan struktur organisasi yang berhubungan dengan bidang perbankan,

seperti eksistensi dari Dewan Moneter, Bank Sentral, dan lain-lain;


4

5. Yang mengarah kepada pengamanan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh bisnisnya bank

tersebut, seperti pengadilan, sanksi, insentif, pengawasan, prudent banking,dan lain-lain

(Muhamad Djumhana, 1993: 10).

B. Fungsi Utama Perbankan

Fungsi utama perbankan Indonesia sebagai yang tercantum di dalam Nomor 10 Tahun

1998 tentang perbankan mengemukakan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia sebagai

penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dari ketentuan tersebut tercermin bahwa fungsi

bank sebagai intermediasi pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of funds) dengan

pihak-pihak yang kekurangan dana (lack of funds).

Sedangkan mengenai tujuan dari perbankan Indonesia tidak semata-mata berorientasi

ekonomi, tetapi juga berorientasi kepada hal-hal yang nonekonomis masalah menyangkut

stabilitas nasional yang mencakup antara lain stabilitas politik dan stabilitas sosial. Secara

lengkap mengenai hal ini diatur dalam ketentuan pasal 4 Undang-undang Perbankan yang

berbunyi, “Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam

rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah

peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.

a. SUMBER-SUMBER HUKUM PERBANKAN

Sumber hukum perbankan dapat dibedakan atas sumber hukum dalam arti formal dan

sumber hukum dalam arti material. Sumber hukum dalam arti material adalah sumber hukum

yang menentukan isi hukum itu sendiri, dan itu tergantung dari sudut mana dilakukan

peninjauannya, apakah dari sudut pandang ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dan lain

sebagainya. Seorang ahli perbankan akan cende- rung menyatakan, bahwa kebutuhan-kebutuhan

terhadap lembaga perbankan dalam suatu masyarakat itulah yang menimbulkan isi hukum yang
5

bersangkutan. Sumber hukum dalam arti material baru diperhatikan jika dianggap perlu untuk

diketahui akan asai usul hukum (Muhamad Djumhana, 1993: 14).

Adapun hukum dalam arti formal adalah tempat diketemukannya ketentuan hukum dan

perundang-undangan (tertulis) yang mengatur mengenai perbankan. Berbeda dengan hukum

perdata, hukum perbankan yang berlaku dewasa ini belum terkodifikasi seperti hukum perdata,

tetapi bersumber pada berbagai perundang-undangan yang mengatur masalah perbankan dan

kebanksentralan. Bahkan dalam masalah tertentu, juga bersumber atau merujuk kepada

perundang- undangan lainnya di luar peraturan perundang-undangan perbankan dan

kebanksentralan.

Di bawah ini disebutkan berbagai peraturan perundang-undangan yang secara khusus

mengatur atau yang berkaitan dengan masalah perbankan dan kebanksentralan, yang menjadi

sumber hukum perbankan yang berlaku dewasa ini, di antaranya yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (disebut Undang-Undang Perbankan yang Diubah);

1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah

diubah pertama dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan terakhir dengan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana telah ditetapkan

dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (disebut UUBI);

1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai

Tukar;

2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3


6

Tahun 2008 sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009

(disebut UULPS);

3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;

4. Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), terutama ketentuan dalam

Buku II dan Buku III mengenai jaminan kebendaan dan perjanjian;

5. Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), terutama ketentuan

dalam Buku I mengenai surat-surat berharga;

6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;

7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;

8. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yang kemudian

diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007;

9. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah;

10. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;

11. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.

Selain itu terdapat faktor-faktor lain yang membantu pembentukan hukum perbankan, di

antaranya perjanjian-perjanjian yang dibuat antara bank dan nasabah, ajaran hukum melalui

peradilan yang termuat dalam putusan hakim (yurisprudensi), doktrin-doktrin hukum dan

kebiasaan dan kelaziman yang berlaku dalam industri perbankan (bandingkan Muhamad

Djumhana, 1993: 17-21).

Undang-Undang Perbankan yang Diubah merupakan sumber pokok dari hukum

perbankan nasional di Indonesia. Oleh karena itu, segala ketentuan perbankan nasional di

Indonesia harus disesuaikan dengan Undang-Undang Perbankan yang Diubah ter-sebut. Dengan
7

berlakunya Undang-Undang Perbankan yang Diubah, selain menyatakan tidak berlaku lagi

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, juga menyatakan tidak

berlaku lagi peraturan lainnya, yaitu:

1) 1970 Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 tanggai 14 September 1929 tentang

Aturan-Aturan Mengenai Badan-Badan Kredit Desa dalam Provinsi-Provinsi di

Jawa dan Madura di Luar Wilayah Kotapraja- Kotapraja;

2) 1971 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1962 tentang Bank Pembangunan Swasta

(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor

2489);

3) 1972 Peraturan tentang Usaha Perkreditan yang Diselenggarakan oleh Kelurahan

di Daerah Kadipaten Paku Alaman (Rijksblaad dari Dae- rah Paku Alaman Tahun

1937 Nomor 9).

Peraturan-peraturan perbankan di atas, dinilai sudah tidak dapat mengikuti perkembangan

perekonomian nasional maupun interna- sional, karenanya perlu diganti dan disusun undang-

undang yang ba- ru yang mengatur masalah perbankan, yang kemudian mengalami perubahan

dan penambahan sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Pengakuan secara yuridis formal mengenai eksistensi perbankan sudah berlangsung lebih

kurang 39 tahun sejak dilahirkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-

Pokok Perbankan (Tan Kamello, 2006: 2). Pengaturan perbankan yang tertuang dalam Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1967 tidak terlepas dari jiwa dan makna Ketetapan MPRS Nomor

XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan yang

menghendaki untuk menilai kembali tata perbankan dalam rangka penyehatan tata perbankan
8

supaya dapat lebih dimanfaatkan bagi kepentingan perkembangan ekonomi dan moneter. Oleh

karena itu, maka pengaturan tata perbankan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1967 tersebut dilandaskan kepada hal-hal sebagai berikut:

1. tata perbankan harus merupakan suatu kesatuan sistem yang menjamin adanya kesatuan

pimpinan dalam mengatur seluruh perbankan di Indonesia serta mengawasi kebijaksanaan

moneter pemerintah di bidang perbankan;

2. memobilisasikan dan memperkembangkan seluruh potensi nasional yang bergerak di

bidang perbankan berdasarkan asas-asas demokrasi ekonomi;

3. membimbing dan memanfaatkan segala potensi tersebut di atas bagi kepentingan

perbaikan ekonomi rakyat.

Berdasarkan pemikiran dan landasan di atas, maka tata perbankan Indonesia menurut

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967, baik mengenai organisasi maupun struktumya dibentuk

sedemikian rupa, hingga Bank Indonesia sebagai bank sentral membimbing pelaksanaan

kebijaksanaan moneter dan mengoordinir, membina serta mengawasi semua perbankan. Bank-

bank baik milik negara ataupun swasta/ko- perasi membantu bank sentral dalam melaksanakan

tugasnya di bidang moneter.

Sesuai dengan dinamika perekonomian nasional dan intemasional yang diikuti perubahan

budaya yang bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks dan meluas, maka

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 perlu disusun kembali dengan mengadakan pembaruan

pada tataran idealistik hukum, sehingga mampu menyahuti realistik hukum. Pembaruan diawali

dengan adanya indikasi perubahan di bidang perbankan sejak tahun 1983 yang diikuti dengan

kebijakan baru di bidang moneter dan perbankan yang dikenal dengan tahap awai deregulasi.

Kebijakan selanjutnya diikuti dengan Paket Juni (Pakjun) 1983, disusul dengan Paket Oktober
9

(Pakto) 1988, Pakjun 1990, Paket Februari 1991, dan mencapai puncaknya pada tahun 1992

dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Tan Kamello,

2006: 2).

Sebagaimana diketahui, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 disusun pada situasi dan

kondisi perekonomian yang jauh berbeda dengan situasi dan kondisi perekonomian saat ini.

Perkembangan perekonomian nasional maupun internasional senantiasa bergerak cepat disertai

tantangan yang semakin luas, perlu selalu dapat diikuti secara tanggap oleh perbankan nasional

dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya, sehingga perbankan nasional perlu:

1. ditata dalam struktur kelembagaan yang lebih lugas, dengan lan- dasan yang lebih luas,

dan lebih jelas ruang geraknya;

2. diberi kesempatan untuk memperluas jangkauan pelayanannya di segala penjuru tanah

air, baik pelayanan sebagai perbankan umum yang menjangkau semua lapisan masyarakat

maupun perbankan perkreditan rakyat yang pelayanannya diperuntukkan ba- gi golongan

ekonomi lemah/pengusaha kecil;

3. diperkuat dengan landasan hukum yang dibutuhkan bagi terselenggaranya pembinaan dan

pengawasan yang mendukung peningkatan kemampuan perbankan dalam menjalankan fungsi-

nya secara sehat, wajar dan efisien, sekaligus memungkinkan perbankan Indonesia melakukan

penyesuaian yang diperlukan sejalan dengan berkembangnya norma-norma perbankan

intemasional.

Dengan dasar pemikiran tersebut, diadakan penggantian dan penyempurnaan terhadap

pengaturan hukum perbankan agar lebih se- suai dengan tuntutan pembangunan. Substansi dari

pengaturan hukum perbankan yang baru ini diharapkan dapat menyempurnakan tata perbankan

nasional di Indonesia, sehingga mengambil langkah- langkah antara lain:


10

1. penyederhanaan jenis bank, menjadi jenis Bank Umum dan jenis Bank Perkreditan

Rakyat, serta memperjelas ruang lingkup dan batas kegiartan yang dapat diselenggarakannya;

2. persyaratan pokok untuk mendirikan suatu bank diatur secara rinci, sehingga ketentuan

pelaksanaan yang berkaitan dengan kegiatan perbankan lebih jelas dan terarah;

3. peningkatan perlindungan dana masyarakat yang dipercayakan pada lembaga perbankan

melalui penerapan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatan bank;

4- peningkatan profesionalisme para pelaku di bidang perbankan;

2. perluasan kesempatan untuk menyelenggarakan kegiatan di bidang perbankan secara

sehat dan bertanggung jawab, sekaligus mencegah terjadinya praktik-praktik yang merugikan

kepentingan masyarakat luas.

Perubahan dan penyempurnaan pengaturan hukum perbankan yang termuat dalam

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 merupakan landasan perbankan nasional dalam

menghadapi perkembangan perekonomian nasional maupun internasional yang senantiasa

bergerak cepat disertai dengan tantangan-tantangan yang semakin luas. Di dalamnya diciptakan

satu lingkungan industri perbankan, tetapi juga membuat transformasi yang diakibatkan oleh

perkembangan industri perbankan dalam kancah perekonomian nasional maupun internasional,

sehingga mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, dibentuk tindakan langsung yang

ditujukan guna mempercepat proses modernisasi sektor industri perbankan. Juga digariskan

ketentuan tertib hubungan yang disepakati bersama dan yang diperlukan dalam industri

perbankan untuk menjalankan fungsi produktifnya (bandingkan Muhamad Djumhana, 1993: 30).

Pertama kalinya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tersebut diubah dengan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998. Jika kita mencermati konsiderans menimbang dari Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998, dapat diketahui dasar pemikiran dan latar belakang penyempurnaan
11

pengaturan hukum perbankan sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1992, di antaranya, yaitu sebagai berikut.

a. Dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa

bergerak cepat, kompetitif dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta

sistem keuangan yang semakin maju, maka diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang

ekonomi, termasuk perbankan. Penyempurnaan pengaturan hukum perbankan sebagaimana

termuat dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 ini agar lebih sesuai dengan per-

kembangan dan kebijakan di bidang ekonomi.

Sehubungan dengan pertimbangan tersebut, Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 antara lain menyatakan, bahwa:

Perkembangan ekonomi nasional dewasa ini menunjukkan arah yang semakin menyatu

dengan ekonomi regional dan internasional yang dapat menunjang sekaligus dapat berdampak

kurang menguntungkan. Sementara itu, perkembangan perekonomian nasional senantiasa

bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks. Oleh karena itu, diperlukan berbagai

penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi termasuk sektor Perbankan, sehingga diharapkan akan

dapat memperbaiki dan memperkukuh perekonomian nasional. Sektor Perbankan yang memiliki

potensi strategis sebagai lembaga inter- mediasi dan penunjang sistem pembayaran, merupakan

faktor yang sangat menentukan dalam proses penyesuaian dimaksud. Sehubungan dengan itu,

diperlukan penyempurnaan terhadap sistem Perbankan nasional yang bukan hanya mencakup

upaya penyehatan bank secara individual, melainkan juga penyehat-an sistem Perbankan secara

menyeluruh. Upaya penyehatan Perbankan nasional menjadi tang- gung jawab bersama antara

Pemerintah, bank-bank itu sendiri, dan masyarakat pengguna jasa bank. Adanya tanggung jawab
12

bersama tersebut dapat membantu memelihara tingkat kesehatan Perbankan nasional, sehingga

dapat berperan secara maksimal dalam perekonomian nasional.

b. Dalam memasuki era globalisasi dan dengan telah diratifikasinya beberapa perjanjian

intemasional di bidang perdagangan dan jasa, maka diperlukan penyesuaian terhadap peraturan-

peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian, khususnya sektor Perbankan.

Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 ini agar lebih sesuai dengan

perkembangan pengaturan hukum intemasional mengenai perdagangan barang dan/atau jasa di

era globalisasi.

Sehubungan dengan pertimbangan di atas, Penjelasan Umum atas Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 sebagai berikut:

Sejalan dengan perkembangan tersebut, dengan adanya komitmen Indonesia dalam

berbagai forum intemasional seperti World Trade Organization (WTO), Asia Pacific Economic

Cooperation (APEC), dan Association of South East Asiari Nations (ASEAN) diperlukan

berbagai penyesuaian dalam peraturan Perbankan nasional, termasuk pembukaan akses pasar dan

perlakuan nondiskriminasi terhadap pihak asing. Upaya liberalisasi di bidang Perbankan

dilakukan sedemikian rupa, sehingga dapat sekaligus meningkatkan kinerja

Perbankan nasional. Oleh karena itu, perlu diberikan kesempatan yang lebih besar kepada pihak

asing untuk berperan serta dalam memiliki bank nasional, sehingga tetap terjadi kemitraan

dengan pihak nasional.

Dengan demikian dapat disimpulkan, kalau penyempurnaan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1992 tersebut dimaksudkan agar peraturan perbankan lebih sesuai dengan perkembangan

dan kebijakan di bidang ekonomi dan perdagangan nasional maupun dunia. Selain itu, juga untuk
13

menyesuaikan dengan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan norma hukum

perbankan.

Penyempurnaan terhadap ketentuan perbankan yang termuat di dalam Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 dilakukan secara sub- stansial, yang mencerminkan pendapat masyarakat

mengenai perbankan dan program penyehatan perbankan yang telah, sedang, dan yang akan

dilakukan. Adapun beberapa penyempurnaan yang telah dilakukan terhadap Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, antara lain

meliputi:

a. peralihan kewenangan dalam pemberian izin pendirian bank kepada Bank Indonesia dari

Departemen Keuangan, dengan memberikan kewenangan penetapan oleh Bank Indonesia atas

beberapa ketentuan. Selain itu, DPR juga menekankan pentingnya fungsi penyehatan perbankan

dapat dilakukan oleh Bank Indonesia;

b. perlunya konsultasi kepada DPR dalam rangka pembentukan badan khusus yang bertugas

melakukan penyehatan perbankan nasional, mengingat adanya peran APBN dalam pendanaan

program penyehatan dan adanya pemberian kewenangan tertentu kepada badan khusus

dimaksud. Konsultasi dengan DPR perlu dilakukan untuk menilai apakah suatu keadaan telah

layak ditetapkan sebagai keadaan "yang membahayakan perekonomian nasional". Di samping

itu, DPR juga memberikan masukan perlunya program penyehatan perbankan dilakukan dengan

memperhatikan kesamaan kedudukan bagi seluruh pihak, dan sejalan dengan itu pelaksanaan

program penyehatan harus selalu didasarkan kepada kaidah-kaidah hukum;

c. peningkatan sanksi pidana atas pelanggaran ketentuan rahasia bank, yang merupakan

perubahan yang materiil terhadap konsep awai dan mencerminkan DPR dalam menjamin
14

kerahasiaan mengenai simpanan dan nasabah penyimpan, dengan tujuan untuk mempertahankan

dan meningkatkan kepercayaan nasabah penyimpan pada perbankan nasional;

d. peningkatan peranan Bank Umum dalam melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan

Prinsip Syariah dirumuskan dalam pendefinisian Prinsip Syariah dan Pembiayaan berdasarkan

Prinsip Syariah serta adanya kemudahan untuk pelaksanaan kegiatan Bank Umum secara

konvensional dengan kegiatan Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah;

e. dalam masalah pendirian dan kepemilikan bank, rekapitalisasi perbankan nasional dapat

dilakukan dengan memungkinkan kepemilikan pihak asing sebagai mitra strategis dan pemegang

saham Bank Umum, dan karenanya juga diharapkan dapat mendorong efisiensi perbankan

nasional;

f. peranan Badan Pemeriksa Keuangan dalam melakukan pemeriksaan terhadap bank yang

di dalamnya terdapat keuangan negara;

g. pendefinisian Lembaga Penjamin Simpanan dan pendapat DPR mengenai bentuk badan

hukum yang akan digunakan, di sam- ping dukungan nyata berupa persetujuan DPR bagi

pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan;

h. penegasan mengenai sifat sementara bagi badan khusus penyehatan perbankan nasional,

yang menunjukkan perlunya dihindar- kan duplikasi dalam pembinaan perbankan nasional;

i. pencantuman mengenai persyaratan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dalam

perjanjian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah bagi perusahaan berskala besar

dan/atau berisiko tinggi;

j. perubahan ancaman sanksi pidana berupa peningkatan ancaman hukuman dan pengenaan

hukuman yang bersifat minimum dan- maksimum (Rachmadi Usman, 2001: 10-12).
15

Prinsip-prinsip pokok penyempurnaan sistem hukum perbankan nasional tersebut, lebih

lanjut dijabarkan yang cakupan substansi atau ruang lingkupnya meliputi:

1. asas, fungsi, dan tujuan perbankan Indonesia;

2. jenis dan usaha bank;

3. perizinan, bentuk hukum, dan kepemilikan bank;

4. pembinaan dan pengawasan terhadap bank;

5. kepengurusan bank;

6. penggunaan tenaga asing pada bank;

7. rahasia bank;

8. ketentuan pidana dan sanksi administratif

Disamping itu, pengaturan hukum perbankan nasional yang termuat dalam Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1998 dilengkapi pula dengan Penjelasan Umum serta Penjelasan Pasal

demi Pasal, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Batang Tubuh Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nmor 10 Tahun 1998.

Penjabarannya dalam Undang-Undang Perbankan yang Diubah ada yang secara rinci dan

hanya menetapkan asas-asas dan soal-soal pokok dalam garis besarnya saja. Oleh karena itu,

substansi pengaturan hukum perbankan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dinilai terlalu

sumir, sederhana, umum, singkat, dan menetapkan pengecualian yang membatasi, sehingga

dalam implikasinya akan dapat menimbulkan perbedaan penafsiran. Ketentuan pelaksanaannya,


16

terdapat dalam berbagai peraturan per- undang-undangan yang sudah ada, sedang sebagian lagi

masih perlu ditetapkan oleh Bank Indonesia, berupa Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran

Bank Indonesia.

Dewasa ini kerangka hukum bank berdasarkan Prinsip Syariah telah diatur secara khusus

dan tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Pembentukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 ini didasarkan pada pertimbangan, bahwa

perlunya aturan spesifik atau khusus dalam suatu undang-undang tersendiri, yang mengatur

perbankan syariah, berhubung perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan

perbankan konvensional dan kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah

semakin meningkat. Sejalan dengan itu, sesuai dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia

untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, maka

dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan,

pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan Prinsip Syariah, dengan mengangkatnya ke

dalam sistem hukum nasional. Sebelum terbentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008,

operasionalisasi perbankan syariah berdasar kepada Undang-Undang Perbankan umum seba-

gaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 serta aturan yang dikeluarkan Bank Indonesia berupa

Peraturan dan Surat Edaran Bank Indonesia.

C. SIFAT DAN TUJUAN PENGATURAN HUKUM PERBANKAN

Dari sudut sifatnya, struktur kaidah hukum dapat dibedakan atas hukum imperatif

(hukum memaksa atau dwingend recht), dan hukum fakultatif (hukum mengatur atau hukum

pelengkap (regelend recht atau aanvullend recht)). Pembedaan ini didasarkan pada kekuatan
17

sank- sinya. Hukum memaksa itu hukum yang dalam keadaan konkret tidak dapat

dikesampingkan (disisihkan) oleh perjanjian (kontrak) yang dsibuat oleh kedua belah pihak

sendiri. Dengan kata lain, hukum yang dalam keadaan bagaimanapun juga harus ditaati, hukum

yang mempunyai paksaan mutlak (absolut). Adapun hukum mengatur ialah hukum yang dalam

keadaan konkret dapat disisihkan oleh perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak. Bilamana

kedua belah pihak dapat menyelesaikan soal mereka dengan membuat sendiri suatu peraturan,

maka peraturan hukum yang tercantum dalam pasal yang bersangkutan, tidak perlu dijalankan.

Hukum mengatur bia- sanya dijalankan, bilamana kedua belah pihak tidak membuat sendiri

suatu peraturan atau membuat sendiri suatu peraturan, tetapi tidak lengkap. Hukum mengatur

disebut juga hukum menambah (Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1980: 21-26 dan

E. Utrecht, 1983: 28-30).

Apabila dihubungkan dengan sifat hukum perbankan, maka sifat hukum perbankan

merupakan hukum memaksa, artinya bank dalam menjalankan kegiatan usaha harus tunduk dan

patuh terhadap rambu- rambu yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Apabila rambu-

rambu perbankan tadi dilanggar, maka Bank Indonesia berwenang untuk menindak bank yang

bersangkutan dengan menjatuhkan sanksi administratif, seperti mencabut izin usahanya.

Walaupun demikian, dalam rangka pengawasan intern, bank diperkenankan membuat ketentuan

intern bank sendiri (self regulation)dengan berpedoman kepada kebijakan umum yang ditetapkan

oleh Bank Indonesia. Ketentuan intern bank sendiri ini diadakan dimaksudkan sebagai stan- dar

atau ukuran yang jelas dan tegas dalam pengawasan intern bank, sehingga bank diharapkan dapat

melaksanakan kebijakannya sendiri dengan baik dan penuh tanggung jawab.

Pada dasamya usaha bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dengan

masyarakat nasabah bank. Bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan
18

pada bank atas dasar kepercayaan, sehingga setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya

dengan tetap memelihara dan sekaligus mempertahankan kepercayaan masyarakat padanya.

Kemauan masyarakat untuk menyimpan sebagian atau seluruh uangnya di bank, semata-mata

dilandasi oleh prinsip kepercayaan bahwa uangnya akan aman dan tetap akan dapat diperolehnya

kembali pada waktu yang diinginkan atau sesuai dengan yang diperjanjikan, dan disertai

pemberian imbalan. Apabila kepercayaan nasabah penyimpan dana terhadap suatu bank telah

berkurang, maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi rushterhadap dana yang disimpannya.

Berbagai faktor dapat menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat nasabah bank terhadap suatu

bank.

Adanya prinsip kehati-hatian bank dan kesehatan bank dalam kegiatan industri perbankan

juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat nasabah bank.

Hal ini mengingat sebagian besar sumber pendanaan perbankan berasal dari masyarakat nasabah,

di samping modal bank yang bersangkutan. Bank hanya akan dapat memobilasi dana dari

masyarakat, bila bank yang bersangkutan dapat dipercaya (prinsip kepercayaan) oleh ma-

syarakat. Dalam mengelola dana yang berasal dari masyarakat nasabah tadi, bank dengan

sendirinya harus bekerja secara hati-hati (prinsip kehati- hatian) agar banknya tetap dalam

keadaan sehat. Ini berarti bank harus melaksanakan prinsip kehati-hatian, yang secara tidak

langsung memberikan perlindungan hukum dan jaminan keamanan kepada masyarakat nasabah

bank.

Selain itu, perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan dunia

perbankan juga dilakukan secara konkret atau diatur melalui norma hukum, sebagai perwujudan

lebih lanjut dari prinsip-prinsip hukum yang melandasi kegiatan industri perbankan nasional

sebagaimana disebutkan di atas. Bahkan materi muatan norma hukum yang mengatur kegiatan
19

industri perbankan nasional, juga harus mencerminkan atau menjabarkan lebih lanjut prinsip-

prinsip yang melandasi dalam kegiatan industri perbankan nasional. Dengan diadakannya norma

hukum yang mengatur kegiatan industri perbankan nasional diharapkan dapat diketahui secara

jelas hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan industri perbankan nasional,

sehingga akan terjalin hubungan yang harmonis dan seimbang antara pihak-pihak terkait dalam

kegiatan industri perbankan nasional. Norma hukum yang mengatur kegiatan industri perbankan

nasional itu harus mampu melindungi kepentingan-kepentingan pihak-pihak terkait dalam

industri perbankan nasional.

Digunakan norma hukum untuk mengatur kepentingan-kepentingan pihak-pihak yang

terkait dalam kegiatan industri perbankan nasional tersebut, dikarenakan norma hukum memiliki

"legitimasi normatif " serta memberikan "efek penjera" bagi pelanggarnya. Dalam kaitan ini,

hukum dipandang sebagai statutory instrument, yang berfungsi sebagai alat mekanis, yaitu

sengaja secara sadar dipakai Untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakat dan

sekaligus menghasilkan hukum yang responsif terhadap kegiatan industri perbankan nasional.

Melalui sarana hukum, politik kegiatan industri perbankan nasional dapat diwujudkan. Politik

kegiatan industri perbankan nasional dengan sendirinya akan mendapatkan legitimasi dari hukum

dan sebaliknya dengan menggunakan sarana hukum, maka kepentingan-kepentingan pihak-pihak

terkait dalam kegiatan industri perbankan nasional dapat pula diwujudkan. Dengan demikian,

hukum merupakan instrumen yang berhasil guna dan berdaya guna yang dimiliki oleh negara

untuk mewujudkan berbagai politik kegiatan industri perbankan nasional dalam konteks mewu-

judkan sistem perbankan nasional yang sehat, kuat, dan efisien, guna menciptakan kestabilan

sistem keuangan nasional.


20

Pengaturan kegiatan industri perbankan nasional tidak hanya dimaksudkan untuk

melindungi kepentingan umum, dalam hal ini kepentingan negara, melainkan harus lebih banyak

memberikan perlindungan kepada kepentingan sosial masyarakat banyak pada umumnya, dan

kepentingan masyarakat pribadi, dalam hal ini nasabah bank dari perbuatan-perbuatan yang

dapat merugikan masyarakat banyak dan kegiatan industri perbankan nasional itu sendiri. Segala

tindakan dan perilaku pihak-pihak yang terkait dalam atau dengan kegiatan industri perbankan

nasional harus diatur secara normatif sebagai implementasi lebih lanjut dari prinsip-prinsip

hukum yang mengatur hubungan pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan industri perbankan

nasional. Tujuan utama pengaturan secara normatif kegiatan industri perbankan nasional tersebut

dalam rangka menjaga keamanan dan kesehatan bank dengan baik serta sekaligus kesehatan

sistem keuangan nasional secara keseluruhan, sehingga kegiatan industri perbankan nasional

diharapkan akan dapat melaksanakan praktik- praktik perbankan yang sehat dan mampu bersaing

secara sehat di antara sesama dalam kegiatan industri perbankan nasional. Selain itu, pengaturan

secara normatif kegiatan industri perbankan nasional ini, juga hendak melindungi dan menjamin

keamanan nasabah serta terhindarnya nasabah dari praktik-praktik perbankan yang tidak sehat,

yang kalau tidak diatur secara normatif pada gilirannya akan dapat merugikan masyarakat

banyak serta sekaligus mengganggu sistem keuangan nasional secara keseluruhan (Bandingkan

Heru Soe- praptomo, 1977: 1).

Dengan demikian, pengaturan secara normatif kegiatan industri perbankan nasional ini

diharapkan dapat mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan pruden serta kompetitif secara

wajar di tengah pasar domestik dan pasar global, sehingga visi dan sasaran Arsitektur Perbankan

Indonesia akan tercapai dengan baik.


21

Kegiatan perbankan juga selalu mengikuti kemajuan aneka kegiatan ekonomi dalam

pasar domestik maupun pasar global, sehingga fungsi perbankan itu sendiri makin bertambah

dan beraneka wama. Perkembangan ini tentu saja mengandung kemungkinan pertambahan risiko

yang akan mempengaruhi kesehatan perbankan. Apabila dahulu perbankan dapat tumbuh dan

berkembang berdasarkan kebiasaan praktik yang diakui oleh masyarakat sebagai norma hukum

tak tertulis, maka dengan semakin kompleks dan semakin tingginya risiko yang dihadapinya,

praktik perbankan harus diatur oleh suatu sistem perundangan yang modem pula (Gunardi

Suhardi, 2003: 5).

Sistem perundang-undangan merupakan bagian dari sistem hukum modern, yang

dibentuk atau dibuat oleh kekuasaan negara (badan legislatif) dengan didasari pada ideologi

tertentu. Pembentukan sistem peraturan perundang-undangan ini dipengaruhi oleh paradigma

yang dianut dan pilihan nilai dari otoritas politik yang membentuknya, sehingga sistem peraturan

perundang-undangan juga merupakan produk politik dan sekaligus sebagai instrumen ekonomi

dari kelas atau rezim yang berkuasa.

Kenyataan menunjukkan dimanapun kegiatan industri perbankan merupakan industri

yang paling banyak diatur pemerintah dibandingkan dengan kegiatan industri-industri lainnya.

Sebab karena kegiatan perbankan lebih banyak tergantung kepada dana masyarakat, sehingga

perlu dijamin kepastian keamanannya. Selain itu, penyaluran dana perbankan merupakan bisnis

berisiko tinggi, yang apabila tidak dikelola dengan baik dapat mengganggu tidak hanya kelang-

sungan usaha bank itu sendiri, namun juga sistem perbankan dan kestabilan moneter (Heru

Soepraptomo, 1997: 62).


22

Industri perbankan mempunyai karakteristik usaha yang berbeda apabila dibandingkan

dengan industri nonperbankan pada umum- nya. Perbedaan yang mendasar terutama terlihat dari

dua aspek, yaitu:

pertama, eksistensi lembaga keuangan sangat bergantung pada unsur kepercayaan dan kedua,

hubungan bank, masyarakat dan pemerintah merupakan wujud ikatan sosial dalam artian bahwa

masyarakat mengharapkan agar pemerintah dapat melindungi hak milik individu (Sen- tosa

Sembiring, 1993: 104).

Perlu juga disadari bahwa korelasi antara pengaturan dunia perbankan dengan kegiatan

perbankan itu sendiri sangatlah erat. Ingo Walter dalam High Performance Financial System:

Blueprint for Developmentmengatakan, bahwa small changes in financial regulation can bring

about truly massive changes in financial activity.Untuk itu pembuatan (drafting) dan perbaikan

(revision) peraturan perundang-undangan di sektor perbankan serta penegakannya harus

dilakukan secara hati- hati dengan memperhatikan akibat ekonominya serta dalam rangka

melindungi fungsi perbankan dalam perekonomian negara dan upaya untuk memantapkan

kepercayaan masyarakat pada industri perbankan (Hikmahanto Juwana, 2002: 4-5).

Demikian halnya dengan pengaturan hukum perbankan dan ke- banksentralan sebagai

bagian dari hukum ekonomi dalam sistem hukum perundang-undangan sudah tentu mempunyai

tujuan tertentu dalam rangka menopang kegiatan perbankan dan kebanksentralan. ;

Barry M. Mitnick dalam bukunya The Political Economy of Regulation,mengemukakan

empat teori kepentingan dalam regulasi (hukum) di bidang ekonomi, yaitu:

a. consumer protection theory(teori perlindungan konsumen), bahwa ) suatu peraturan

dibuat dengan tujuan untuk melindungi konsu- ' men dari suatu produk atau kegiatan konsumen;
23

b. industry protection theory (teori perlindungan kepentingan industri atau pelaku usaha),

bahwa suatu peraturan dibentuk dengan tuju- j an untuk melindungi kepentingan produsen dari
1
suatu produk } atau kegiatan. Dalam hal ini, industri dan perwakilan atau aso- siasinya

merupakan pihak yang berusaha membentuk peraturan perundang-undangan;

c. bureaucratic behavior theory(teori kepentingan birokrasi atau pemerintah). Teori ketiga

ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu maintanance theory,yang mempertahankan status

quopelayanan

birokrasi, dan expansion theory, yang merupakan bentuk pelayanan yang terbaik dari birokrasi

yaitu dengan memperluas wewenang dan mandat dalam pelayanan;

d. public interest theory(teori kepentingan publik), bahwa suatu peraturan perundang-

undangan dibuat untuk memperhatikan atau menjaga keseimbangan dan kepentingan masyarakat

secara keseluruhan. Termasuk dalam tujuan pembentukan peraturan adalah tujuan nasional untuk

pembangunan wilayah atau bidang tertentu untuk kepentingan masyarakat tertentu (Surya Iman

Wahyudi, 2003: 267-268).

Secara khusus Nicholas A. Lash mengemukakan ada lima tujuan pengaturan industri

perbankan, yaitu:

b. menjaga keamanan (safety) bank;

c. memungkinkan terciptanya iklim kompetesi yang sehat;

d. pemberian kredit untuk tujuan-tujuan khusus;

e. perlindungan terhadap nasabah; dan

f. menciptakan suasana yang kondusif bagi pengambilan kebijakan moneter (Nicholas A.

Lash, 1987: 22).


24

Tujuan menjaga keamanan bank dibutuhkan agar kegiatan industri perbankan tidak

mudah colaps berhubung kegiatan industri perbankan sangat rentan terhadap ketidakpercayaan

masyarakat. Adapun tujuan menciptakan iklim kompetensi, bahwa hukum perbankan harus

menciptakan suatu kondisi agar tidak terjadi dominasi oleh bank besar terhadap kegiatan industri

perbankan secara keseluruhan. Tujuan ketiga hukum perbankan bermaksud memastikan agar

bank dapat betul-betul menyalurkan kredit-kreditnya kepada mereka yang sangat memerlukan.

Selanjutnya pengaturan hukum perbankan bertujuan untuk melindungi nasabah sedapat mungkin

hukum perbankan dapat menjaga agar nasabah diperlakukan secara adil (fair play) oleh bank,

berhubung nasabah selalu dalam posisi tawar (bargaining position) yang lemah. Terakhir

pengaturan hukum perbankan bertujuan menciptakan suasana kondusif pengambil kebijakan mo-

neter dimaksudkan agar hukum perbankan dapat secara efisien menentukan lembaga-lembaga

yang harus mengambil kebijakan moneter (Nicholas A. Lash, 1987: 22).

Sementara itu secara khusus di Indonesia, pengaturan hukum perbankan memiliki tiga

fungsi utama, yaitu:

a. tujuan stabilitas moneter mengingat masih dominannya perbankan sebagai sumber

pembiayaan investasi;

b. fungsi pengawasan dalam rangka menjaga keamanan dan kesehatan maupun sistem

keuangan keseluruhan, agar tercipta praktik perbankan dan persaingan antarbank yang

sehat. Selain itu, untuk melindungi nasabah dan menjaga stabilitas pasar uang, mendo-

rong sistem perbankan yang efisien dan kompetitif dan tanggap terhadap kebutuhan

masyarakat akan jasa keuangan yang berkualitas dengan biaya yang wajar; dan

c. tujuan pencapaian program-program pembangunan, khususnya ikut mengatasi masalah-

masalah ekonomi. Bank-bank kita mengemban peran sebagai agen pembangunan (agent
25

of development) dan diharapkan dapat memberikan kontribusi pada usaha-usaha

peningkatan tabungan, menumbuhkan kegiatan usaha serta meningkatkan alokasi

sumber-sumber perekonomian (Heru Soe- praptomo, 1997: 62).

Dalam kacamata sistem hukum nasional, hukum perbankan telah berkembang menjadi

hukum sektoral dan fungsional. Oleh karena itu, hukum perbankan, dalam kajiannya meniadakan

pembedaan an- tara hukum publik dan hukum privat, sehingga bentang ruang ling- kupnya

sangat luas. Kalau mau dirinci, bentang ruang lingkup hukum. perbankan itu mencakup beberapa

bidang hukum, seperti hukum administrasi, hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana dan

hukum internasional (Rachmadi Usman, 2001: 4).

D. ASAS-ASAS HUKUM PERBANKAN

Untuk mempelajari norma hukum, maka kita harus mengetahui asas- asas hukum yang

menyertainya. Karena norma hukum itu lahir tidak dengan sendiri. Norma hukum lahir

dilatarbelakangi oleh dasar-dasar yuridis filosofi tertentu. Itulah yang dinamakan dengan asas

hukum.

Semakin tinggi tingkatannya, maka asas hukum itu semakin abstrak dan umum sifatnya

serta mempunyai jangkauan kerja yang lebih luas untuk memayungi norma hukumnya. Dengan

demikian asas hukum itu merupakan dasar atau ratio legis dari dibentuknya suatu norma hukum,

demikian pula sebaliknya, norma hukum itu harus dapat dikembalikan kepada asas hukumnya.

Jangan sampai lahir norma hukum yang bertentangan dengan asas hukumnya. Norma hukum

tidak lain perwujudan dari asas hukumnya.

Satjipto menyatakan, bahwa barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan asas hukum

ini merupakan "jantung-nya" peraturan hukum. Karena ia merupakan landasan yang paling luas

bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti, bahwa peraturan-peraturan itu pada akhirnya
26

bisa dikembalikan kepada asas-asas hukum tersebut. Kecuali disebut landasan, asas hukum ini

layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari per-

aturan hukum. Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suiatu peraturan

hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya

(Satjipto Ra- hardjo, 1996: 45).

Dikatakan lagi oleh Satjipto Rahardjo, bahwa asas hukum ini sebagai suatu sarana yang

membuat hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang dan ia juga menunjukkan, bahwa hukum itu

bukan sekadar kumpulan dari peraturan-peraturan belaka. Hal ini disebabkan karena asas hukum

itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis, yang merupakan jembatan antara

peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya. Apabila

kita membaca suatu peraturan hukum, mungkin kita tidak menemukan pertimbangan etis di situ.

Tetapi asas hukum menunjukkan adanya tuntutan etis yang demikian itu, atau setidak-tidaknya

kita bisa merasakan adanya petunjuk ke arah itu (Satjipto Rahardjo, 1996: 45).

Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa asas hukum bukan peraturan hukum,

namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di

dalamnya. Oleh karena itu, untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik-baiknya tidak

bisa hanya melihat pada peraturan-peraturan hukumnya saja, melainkan harus menggalinya

sampai kepada asas-asas hukumnya. Asas hukum inilah yang memberi makna etis kepada

peraturan-peraturan hukum serta tata hukum (Satjipto Rahardjo, 1996: 47).

Dalam kegiatan dunia perbankan Indonesia, terdapat pihak-pihak yang berkepentingan,

yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam dunia perbankan. Pihak-pihak yang

terlibat dalam dunia perbankan tersebut, meliputi pihak pemerintah c.q. negara yang diwakili

oleh Bank Indonesia, pihak bank pelaksana (Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat), dan
27

pihak nasabah bank (baik nasabah penyimpan dana (nasabah kreditor) maupun nasabah

peminjam dana (debitur).

Salah satu ciri sistem perbankan yang sehat dan efisien dapat memelihara kepentingan

masyarakat nasabah dengan baik, yang merupakan pilar kegiatan industri perbankan di samping

negara dalam hal ini diwakili Bank Indonesia, dan pemilik bank dalam hal ini diwakili oleh

pemegang saham.

Kehadiran negara dalam hal ini menyangkut kepentingan dalam rangka membiayai

pembangunan sekaligus mengendalikan lalu lintas moneter. Sedangkan kehadiran pemilik bank

dan masyarakat nasabah dalam industri perbankan tersebut didasari keinginan untuk mencari

keuntungan, di mana lembaga bank ini dipandang tidak ubahnya seperti "perusahaan produsen

barang". Sebagai produsen barang, bank harus dapat memanfaatkan sumber atau faktor-faktor

produksi yang dimiliki (yaitu deposito dan tabungan yang didapatkan dari masyarakat) untuk

menghasilkan output (kredit), di samping itu juga menjadi perantara yang mampu menjembati

serta menjadi media transaksi antarpihak yang lebih dengan pihak yang lain yang kurang. Oleh

karena itulah, ia harus memberikan jaminan agar proses itu berjalan seperti apa yang diharapkan.

Ini berarti bank sebagai lembaga keuangan, di samping untuk mencari keuntungan, bank juga

harus dapat memuaskan masyarakat nasabahnya (Insukindro, 1992: 4).

Hubungan hukum antara pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan industri perbankan

nasional ini, yaitu Bank Indonesia, bank pelaksana, dan nasabah bank didasarkan pada prinsip-

prinsip pergaulan kegiatan industri perbankan, yang berfungsi sebagai pedoman bagi pihak-pihak

yang terkait dalam pergaulan dan kehidupan kegiatan industri perbankan, sehingga dapat

mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan pruden(prudential banking system). Bank

Indonesia, selain bertindak sebagai pengawas dan pembina bank, juga sekaligus berkewajiban
28

memberikan perlindungan hukum terhadap nasabah bank dari praktik-praktik bank yang

merugikan kepentingan masyarakat luas dalam rangka mengayomi masyarakat luas. Sementara

itu, bank pelaksana dapat mengadakan hubungan perbankan dengan nasabah bank, baik itu

berupa usaha memobilisasi dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan maupun usaha

menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-ben- tuk lainnya,

yang kesemuanya dilakukan dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Prinsip-prinsip pergaulan kegiatan industri perbankan nasional yang menjadi pedoman bagi

pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan industri perbankan nasional tersebut dapat dilihat

dalam Gambar 1.1 sebagaimana di bawah ini:


29

Bank Indonesia dalam melaksanakan hubungan perbankan dengan bank pelaksana dan

nasabah bank harus dilandasi oleh prinsip pengayoman dan hubungan perbankan antara bank

pelaksana dengan nasabah bank harus dilandasi prinsip kemitraan (kesejajaran), yang dijabarkan

lebih lanjut melalui prinsip kepercayaan (fiduciary principle),prinsip kehati-hatian (prudential

principle),dan prinsip kerahasiaan (confidential principle),serta prinsip mengenal nasabah (know

your customer principle).Pelaksanaan prinsip kemitraan antara bank pelaksana dan nasabah bank

dilakukan dalam rangka tercip- tanya sistem perbankan yang sehat dan pruden dan serta

berkemampuan melindungi secara baik dana yang dititipkan masyarakat kepadanya, serta

memiliki kemampuan dalam menyalurkan dana masyarakat ke bidang-bidang yang produktif

bagi pencapaian sasaran pembangunan di bidang ekonomi.

Hubungan antara bank dan nasabah penyimpan dana merupakan hubungan kontraktual

antara debitur dan kreditor yang dilandasi oleh prinsip kehati-hatian dengan tujuan agar bank

yang menggunakan uang nasabah tersebut akan mampu membayar kembali dana masyarakat

yang disimpan kepadanya apabila ditagih oleh para penyimpannya (Ronny Sautma Hotma Bako,

1995: 51 dan 154).

Dengan adanya prinsip kehati-hatian ini, maka bank dalam melakukan kegiatan usaha

menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat diwajibkan untuk

bertindak secara hati-hati, cermat, teliti, dan bijaksana atau tidak ceroboh dengan memi-

nimalisir kemungkinan risiko yang akan terjadinya sebagai akibat dari kegiatan usaha

menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat, yang kesemuanya

itu pada gilirannya dalam rangka memberikan perlindungan terhadap dana masyarakat yang

dipercayakan kepada lembaga perbankan.


30

Tujuan diberlakukannya prinsip kehati-hatian tidak lain agar bank selalu dalam keadaan

sehat, dengan kata lain agar selalu dalam keadaan likuiddan solvent.Dengan diberlakukannya

prinsip kehati-hatian, diharapkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap tinggi,

sehingga masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank (Sutan Remy

Sjahdeini, 1994: 13-14).

Prinsip kehati-hatian ini harus dijalankan oleh bank bukan hanya karena dihubungkan

dengan kewajiban bank agar tidak merugikan kepentingan nasabah yang mempercayakan

dananya kepada masyarakat, tetapi juga karena kedudukan bank yang istimewa dalam masya-

rakat, yaitu sebagai bagian dari sistem moneter yang menyangkut kepentingan semua anggota

masyarakat yang bukan hanya nasabah penyimpan dana dari bank itu saja (Sutan Remy

Sjahdeini, 1993: 175).

Dengan demikian, penerapan prinsip kehati-hatian dalam industri perbankan nasional

bertujuan agar bank menjalankan usahanya secara baik dan benar dengan mematuhi ketentuan-

ketentuan dan norma- norma hukum yang berlaku dalam industri perbankan nasional, sehingga

bank yang bersangkutan selalu dalam keadaan sehat dan solvent. Dalam keadaan demikian,

masyarakat akan semakin mempercayainya, yang pada gilirannya akan mewujudkan sistem

perbankan yang sehat, tangguh dan efisien, dalam arti dapat memelihara kepentingan masyarakat

nasabah bank dengan baik, dapat berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perkembangan

ekonomi nasional. Oleh karena itu, prinsip kehati-hatian ini harus dipegang teguh dan perlu

dijabarkan lebih lanjut dalam rambu-rambu dan ketentuan perbankan, termasuk dalam

pengaturan penjaminan perbankan nasional, yang merupakan suatu kewajiban atau keharusan

bagi industri perbankan nasional untuk memperhatikan, mengindahkan dan melaksanakan

sebagaimana mestinya.
31

Prinsip kehati-hatian perbankan di sini hendak dilihat dalam ke- rangka pikir untuk

menjaga kepercayaan masyarakat penyimpan dana. Untuk itu diperlukan adanya kondisi bank

yang sehat, sebab dengan kondisi bank yang sehat akan dapat mewujudkan kepercayaan

masyarakat. Dengan kata lain, penerapan prinsip kehati-hatian dalam industri perbankan nasional

ini dimaksudkan untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan sekaligus menciptakan perbankan

yang sehat. Dalam kerangka demikian inilah, maka prinsip kesehatan bank mempunyai kaitan

dengan prinsip kehati-hatian, yang sama-sama dapat dijadikan sebagai tolok ukur memberikan

perlindungan hukum kepada masyarakat nasabah bank, termasuk nasabah penyimpan dana bank.

Moch. Isnaeni menyatakan bahwa prinsip kehati-hatian menjadi benang merah yang

sangat perlu diperhatikan mengingat dana yang dikelola berasal dari kocek masyarakat luas.

Pihak bank yang telah berhasil menarik dana masyarakat, wajib mengelola dana tersebut dengan

manajemen yang cermat. Untuk itulah masalah kesehatan bank menjadi tolok ukur untuk

menetapkan upaya pengelolaan bank itu sudah dijalankan secara benar (Moch. Isnaeni, 1997)

Tingkat kesehatan suatu bank merupakan kepentingan semua pihak yang terkait, baik

pemilik dan pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank maupun Bank Indonesia sebagai

pengawas dan pembina bank. Sesuai dengan tanggung jawabnya, maka masing-ma- sing pihak

tersebut terikat dan secara bersama-sama harus selalu berupaya untuk mewujudkan bank yang

sehat agar tetap dipercaya oleh masyarakat pengguna jasa bank. Adanya ketentuan tingkat ke-

sehatan bank ini dimaksudkan untuk dapat digunakan sebagai tolok ukur bagi manajemen bank

untuk menilai apakah pengelolaan bank telah dilakukan sejalan dengan prinsip-prinsip perbankan

yang sehat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Selain itu, bagi Bank Indonesia

dengan adanya ketentuan tingkat kesehatan bank ini, maka dapat dijadikan sebagai tolok ukur
32

untuk menetapkan arah pembinaan dan pengembangan bank baik secara individual maupun in-

dustri perbankan nasional secara keseluruhan.

Pentingnya kesehatan lembaga keuangan, khususnya perbankan, dalam penciptaan sistem

keuangan yang sehat mempunyai beberapa alasan, di antaranya:

1. keunikan karakteristik perbankan yang rentan terhadap serbuan masyarakat yang menarik

dana secara besar-besaran (bank runs), sehingga berpotensi merugikan deposan dan

kreditor bank;

2. penyebaran kerugian di antara bank-bank sangat cepat melalui contagion effect,sehingga

berpotensi menimbulkan system problem;

3. proses penyelesaian bank-bank bermasalah membutuhkan dana dalam jumlah yang tidak

sedikit;

4. hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sebagai lembaga intermediasi

akan menimbulkan tekanan-tekanan dalam sektor keuangan (financial distress); dan

5. ketidakstabilan sektor keuangan akan berdampak pada kondisi makroekonomi,

khususnya dikaitkan dengan tidak efektifnya transmisi kebijakan moneter (Anwar

Nasution, 2003: 355).

Sutan Remy Sjahdeini menyatakan, bahwa hubungan antara bank dan nasabah

penyimpan dana adalah hukum pinjam meminjam uang antara debitur (bank) dan kreditor

(nasabah penyimpan dana) yang dilandasi oleh asas kepercayaan. Dengan kata lain, bahwa

menurut Undang-Undang Perbankan yang Diubah, hubungan antara bank dan nasabah

penyimpan dana bukan sekadar hubungan kontraktual biasa antara debitur dan kreditor yang

diliputi oleh asas-asas umum dari hukum perjanjian, tetapi juga hubungan kepercayaan yang dili-

puti asas kepercayaan. Secara eksplisit undang-undang mengakui bahwa hubungan antara bank
33

dan nasabah penyimpan dana adalah hubungan kepercayaan, yang membawa konsekuensi bank

tidak boleh hanya memperhatikan kepentingan sendiri semata-mata, tetapi juga harus

memperhatikan kepentingan nasabah penyimpan dana (Sutan Remy Sjahdeini, 1993: 167).

Lebih lanjut dikatakan oleh Sutan Remy Sjahdeini, bahwa demikian pula hubungan

antara bank dan nasabah debitur, mempunyai sifat sebagai hubungan kepercayaan yang

membebankan kewajiban- kewajiban kepercayaan (fiduciary obligations) kepada bank terhadap

nasabahnya, maka masyarakat bisnis dan perbankan Indonesia telah melihat pula bahwa

hubungan antara bank dan nasabah debitur adalah hubungan kepercayaan. Dari pengertian kredit,

hubungan antara bank dan nasabah debitur bukan sekadar hubungan kontraktual belaka, tetapi

juga merupakan hubungan kepercayaan. Di dalam bisnis yang diberikan atau yang diterima

sebagai penukar uang, barang atau jasa adalah kepercayaan. Karena bank hanya bersedia

memberikan kredit kepada nasabah debitur atas kepercayaan bahwa nasabah debitur mampu dan

mau membayar kembali kreditnya tersebut, maka juga hubungan perjanjian kredit, bukanlah

sekadar hubungan kontraktual biasa antara kreditor dan debitur, tetapi juga hubungan

kepercayaan (Sutan Remy Sjahdeini, 1993: 167-168).

Prinsip rahasia bank menjadi sangat penting dijaga dalam industri perbankan, karena

prinsip tersebut merupakan jiwa dari industri perbankan (Nindyo Pramono, 2006: 245). Prinsip

rahasia bank adalah suatu prinsip yang mengharuskan atau mewajibkan bank untuk

merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan, dan lain-lain, dari nasabah

bank yang menurut kelaziman dunia perbankan (wajib) dirahasiakan. Kerahasiaan bank ini

diperlukan untuk kepentingan bank sendiri, yang memerlukan kepercayaan masyarakat yang

menyimpan uangnya di bank. Masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya pada bank atau

memanfaatkan jasa bank apabila dari bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang
34

simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak akan disalahgunakan. Oleh karena itulah, maka

bank harus memegang teguh prinsip rahasia bank.

Stabilitas sistem keuangan akan dapat goyah jika bank tidak menganut prinsip

kerahasiaan ini. Jika identitas atau keberadaan nasabah dan simpanannya atau rekeningnya tanpa

alasan hukum yang kuat begitu mudah diterobos oleh pihak yang tidak berkepentingan dengan

rekening atau dibocorkan kepada pihak yang tidak berkepentingan, dampaknya sudah dapat

dipastikan bahwa pemilik rekening akan merasa privasinya terganggu. Dapat dipastikan jika

nasabah tersebut merasa tidak aman lagi berkaitan dengan harta milik yang disimpan di suatu

bank tertentu. Ia akan memindahkannya ke sarana investasi atau sarana penyimpanan lain yang

dirasa lebih menjanjikan keamanan dan kerahasiaannya (Nindyo Pramono, 2006: 245).

Dampak selanjutnya dari keadaan tersebut akan dapat mengancam perekonomian dan

sistem perbankan nasional. Kepercayaan masyarakat akan goyah, rushakan terjadi dan

multiplierefeknya akan dapat menular ke industri bank yang lain, bahkan pada sistem per-

ekonomian negara. Adapun tujuan utama bank bekerja dengan menggunakan prinsip rahasia

bank adalah agar nasabah memperoleh tingkat perlindungan dan penjaminan hukum yang

memadai atas kepercayaan nasabah yang diberikan kepada bank untuk mengelola dana yang

disimpannya tersebut. Nasabah akan merasakan memperoleh jaminan perlindungan hukum

bahwa dana yang dipercayakan kepada bank tersebut tidak akan disalahgunakan untuk hal-hal

yang sangat mengganggu privasi dari nasabah (Nindyo Pramono, 2006: 246).

Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, yang wa- jib dirahasiakan bank

meliputi keadaan keuangan nasabah penyimpan dana (kreditor) dan nasabah peminjam dana

(debitur), di mana kedua nasabah bank ini mendapatkan perlindungan dan penjaminan hukum

kerahasiaan bank. Sementara Undang-Undang Perbankan yang Diubah, membatasi yang wajib
35

dirahasiakan bank hanya keadaan keuangan nasabah penyimpan dana saja. Ketentuan dalam

Pasal 40 Undang-Undang Perbankan yang Diubah menetapkan, bahwa bank wajib merahasiakan

keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Ketentuan rahasia bank ini dapat

dikecualikan dalam hal tertentu. Artinya tidak seluruh aspek yang ditatausahakan bank akan

menjadi hal-hal yang wajib dirahasiakan oleh bank yang bersangkutan. Kendatipun demikian,

prinsip rahasia bank merupakan salah satu unsur yang harus dimiliki oleh setiap bank sebagai

lembaga kepercayaan masyarakat yang berfungsi mengelola dana masyarakat.

Keterkaitan bank akan ketentuan atau kewajiban merahasiakan keadaan keuangan

nasabahnya itu menunjukkan bahwa hubungan antara bank dan nasabah penyimpan dana,

dilandasi oleh asas kerahasiaan. Oleh karena itu, hubungan antara bank dan nasabah penyimpan

adalah hubungan kerahasiaan (bandingkan Sutan Remy Sjahdeini, j 1993: 173).

Untuk mengurangi risiko usaha, bank diwajibkan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian

dalam menjalankan kegiatan usahanya. Salah satu upaya melaksanakan prinsip kehati-hatian itu

adalah penerapan prinsip mengenal nasabah (know your customer). Ketidakcukup- an penerapan

prinsip mengenal nasabah dapat memperbesar risiko yang dihadapi bank, dan dapat

mengakibatkan kerugian keuangan yang signifikan bagi bank, baik dari sisi aktiva maupun

pasiva bank. Sesuai dengan rekomendasi dari Basel Committee on Banking Supervision dalam

Core Principles for Effective Banking Supervision,bahwa penerapan prinsip mengenal nasabah

merupakan factor yang penting dalam melindungi kesehatan bank. Di samping itu, sebagaimana

dikemuka- kan oleh The Financial Action Task Force on Money Laundering, prinsip mengenal

nasabah merupakan upaya untuk mencegah industri perbankan digunakan sebagai sarana atau

sasaran kejahatan, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh pelaku

usaha.
36

Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui

identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah, termasuk pelaporan transaksi yang

mencurigakan. Tujuan penerapan prinsip mengenal nasabah di sini, dimaksudkan untuk

mengenal profil transaksi, mengenal profil dan karakteristik nasabah, serta mengenal profil usaha

nasabah bank yang bersangkutan.

Dengan penerapan prinsip mengenal nasabah diharapkan secara dini bank dapat

mengindentifikasikan transaksi yang diduga mencurigakan, untuk meminimalisir berbagai risiko

seperti risiko operasional (operational risk),risiko hukum (legal risk),risiko terkonsentrasinya

transaksi (concentration risk), dan risiko reputasi (reputational risk) (Nindyo Pramono, 2006:

218).

Prinsip mengenal nasabah tidak sekadar berarti mengenal nasabah secara harfiah.

Bagaimana mungkin karyawan bank tidak mengenal nasabah atau calon nasabahnya. Prinsip

mengenal nasabah mengi- nginkan lebih dari sekadar mengenal nasabah secara harfiah. Prinsip

mengenal nasabah menginginkan informasi lebih menyeluruh di samping jati diri atau identitas

nasabah, juga hal-hal yang berkaitan dengan profil dan karakter transaksi nasabah, yang

dilakukan melalui jasa perbankan (Nindyo Pramono, 2006: 218-219).

Selain dilandasi kepada prinsip kehati-hatian, bank dalam menjalankan fungsi dan

usahanya juga diharuskan berlandaskan kepada asas demokrasi ekonomi. Disebutkan dalam

ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perbankan yang Diubah, bahwa perbankan Indonesia dalam

melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-

hatian. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 ini, berarti fungsi dan usaha perbankan Indonesia

diarahkan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam demokrasi ekonomi yang
37

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Mengenai hal ini, Penjelasan Umum

atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 antara lain menyatakan:

Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, kesinambungan dan peningkatan pelaksanaan

pembangunan nasional yang berasaskan kekeluargaan, perlu senantiasa dipelihara dengan baik.

Guna mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaan pembangunan ekonomi harus lebih

memperhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan unsur-unsur pemerataan

pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional. Salah satu yang mempunyai peran

strategis dalam menyerasikan dan menyeimbangkan masing-masing unsur dari Trilogi

Pembangunan adalah perbankan. Peran yang strategis tersebut terutama disebabkan oleh fungsi

utama bank sebagai suatu wahana efektif dan efisien, yang dengan berasaskan demokrasi

ekonomi mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan

pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, ke

arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.

Dengan demikian jelaslah, bahwa perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsi dan

usahanya harus memperhatikan dan menerapkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam asas

demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk

pertama kalinya sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal

1. dan Pasal 7 Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1996 tentang Pembaruan

Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, telah ditafsirkan perumusan

ciri-ciri demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, baik ciri-

ciri positif maupun ciri-ciri negatif demokrasi ekonomi. Selanjutnya diperkembangkan dan
38

diperbarui melalui Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagaimana telah ditetapkan secara

berturut-turut dalam:

1) Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara;

2) Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara;

3) Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara;

4) Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara;

5) Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara; dan

6) Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.

Disebutkan demokrasi ekonomi yang menjadi dasar politik dan sistem perekonomian nasional

memiliki ciri-ciri positif sebagai berikut:

1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;

2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang

banyak dikuasai oleh negara;

3) bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-pokok

kemakmuran rakyat dikuasai oleh negara, dan digunakan sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat;

4) sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan permufakatan lembaga

perwakilan rakyat, dan pengawasan terha dap kebijaksanaannya ada pada lembaga

perwakilan rakyat pula;

5) perekonomian daerah dikembangkan secara serasi dan seimbang antardaerah dalam satu

kesatuan perekonomian nasional dengan mendayagunakan potensi dan peran serta daerah

secara optimal dalam rangka perwujudan wawasan nusantara dan ketahanan nasional;
39

6) warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta

mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;

7) hak milik perseorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan

kepentingan masyarakat;

8) potensi, inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya

dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.

Demikian pula dirumuskan ciri-ciri negatif dari demokrasi ekonomi yang harus dihindarkan,

yaitu:

1. sistem free fight liberalismyang menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa

lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan dan mempertahankan

kelemahan struktu- ra; ekonomi nasional dan posisi Indonesia dalam perekonomian

dunia;

2. sistem etatisme dalam arti bahwa negara beserta aparatur ekonomi negara bersifat

dominan, mendesak dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi di luar

sektor negara;

3. persaingan tidak sehat serta pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam

berbagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan bertentangan

dengan cita-cita keadilan.

Pembaruan kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan yang ditetapkan dalam

Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966, jelas bertujuan untuk mengimplementasikan

prinsip kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Bahkan, dapat dikatakan kebijakan Pemerintah

Orde Baru ini cenderung bersifat merombak secara mendasar kebijakan ekonomi Orde Lama. Ini

terlihat dalam rumusan GBHN yang ditetapkan sejak tahun 1973. Gagasan demokrasi ekonomi
40

secara konsisten dirumuskan dalam serangkaian GBHN. Konsistensi ini menunjukkan, secara

formal, gagasan kedaulatan rakyat selama pe- riode Demokrasi Pancasila sangat diwarnai

keinginan yang kuat untuk mengembangkan demokrasi ekonomi (Jimly Asshiddiqie, 1994:201

dan 203).

E. HUKUM PERBANKAN SEBAGAI BAGIAN SISTEM HUKUM PERDATA

Seperti diketahui fungsi perbankan sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat,

karenanya melahirkan hubungan hukum bersifat perdata antara bank dan nasabahnya, yang

sudah tentu tunduk kepada pengaturan hukum perdata. Dari hubungan hukum yang bersifat

perdata tadi lahirlah akibat hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban, baik bagi bank

maupun nasabahnya, yang diliputi hukum perdata. Oleh karena itu, pertanggungjawaban dan

penyelesaian hukum bank dan nasabah dalam transaksi perbankan harus tunduk kepada kaidah-

kaidah hukum perdata. Hal ini menunjukkan, bahwa hukum perbankan merupakan bagian dari

sistem hukum perdata.

Fungsi perbankan sebagai salah satu norma hukum merupakan bagian tidak terpisahkan

dari hukum perdata. Sebagai subsistem hukum perdata, fungsi perbankan melalui hubungan

hukum antara bank dengan nasabah tunduk pada pengaturan hukum perdata. Hubungan hukum

tersebut dapat dikualifikasikan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu pertama, hubungan hukum antara

bank dengan nasabah penyimpan disebut perjanjian simpanan, dan kedua, hubungan hukum

antara bank dengan nasabah debitur disebut perjanjian kredit bank. Kedua bentuk hubungan

hukum tersebut sangat erat kaitannya dengan jaminan sebagai unsur pengaman. Dalam bentuk

hubungan hukum yang pertama, dana yang disimpan oleh nasabah penyimpan harus dapat

dijamin keamanannya oleh bank. Bentuk jaminan untuk melindungi dana nasabah penyimpan

diatur dalam Lembaga penjaminan Simpanan, sedangkan bentuk jaminan untuk melindungi bank
41

sebagai pemberi kredit adalah lembaga jaminan kebendaan dan jaminan perorangan (Tan

Kamello, 2006: 7).

Sementara itu, hubungan antara nasabah penyimpan dana dengan nasabah debitur tidak

dapat dikualifikasikan sebagai hubungan hukum, melainkan hubungan moral. Sebagai hubungan

moral, maka pertanggungjawabannya lebih tinggi di mata hukum. Moral menjadi sumber dan

sekaligus jembatan etis dalam tonggak hukum perbankan. Dengan demikian dalam pelaksanaan

fungsi perbankan terdapat dua hubungan hukum dan satu hubungan moral (Tan Kamello, 2006)

Berdasarkan bangunan hukum dan moral tersebut, maka seorang nasabah debitur yang

telah memperoleh pinjaman kredit dari bank pada hakikatnya bukan saja bertanggung jawab

terhadap bank sebagai pemberi kredit, tetapi juga memiliki tanggung jawab moral terhadap

nasabah penyimpan dana. Di sini terletak makna harus diinsafi oleh para nasabah debitur,

sehingga penggunaan dana secara benar dan tepat dalam bentuk-bentuk yang produktif memiliki

peran dan memberikan andil dalam pembangunan sektor ekonomi serta dapat meningkatkan taraf

hidup rakyat. Kegagalan pengelolaan dana pinjaman kredit secara langsung dapat merugikan

bank yang bersangkutan dan secara tidak langsung dapat pula merugikan kepentingan nasabah

penyimpan. Oleh karena itu, hubungan tidak langsung ini dapat saja digunakan oleh nasabah

penyimpan sebagai alasan untuk menuntut nasabah debitur dan bank karena telah melakukan

perbuatan melawan hukum karena tidak bersikap hati-hati menggunakan dana, sehingga

merugikan nasabah penyimpan (Tan Kamello, 2006: 8).

Pengalaman krisis ekonomi beberapa tahun yang lalu ketika terjadinya bank

collapse,nasabah penyimpan tidak memperoleh perlindungan hukum (rechtsbescherming, legal

protection)yang sempurna, karena pembentuk Undang-Undang Perbankan sebelumnya tidak

mengaturnya sehingga tidak terdapat adanya kepastian hukum. Dengan perkataan lain, hak
42

perdata nasabah penyimpan kurang mendapat pengaturan hukum yang memadai (Tan Kamello,

2006: 8).

Keadaan dari peristiwa hukum (rechtsfeit) tersebut menimbulkan persoalan tersendiri

dalam bidang hukum perdata. Solusi hukum yang dilakukan oleh pemerintah pada waktu itu

adalah dengan menge-^ luarkan Surat Keputusan Nomor 26 Tahun 1998, yang berisikan penja-

minan pembayaran kepada nasabah penyimpan dana yaitu para deposan. Lahirnya Surat

Keputusan tersebut bukan berarti tidak menimbulkan masalah hukum. Kritik hukum yang

muncul dan mendasar adalah mengapa pemerintah harus menanggung beban dari perbuatan

hukum para bankir dengan menetapkan jumlah maksi- mum pembayaran yang diberikan kepada

nasabah penyimpan. Dalam tataran normatif, pemerintah tidak seharusnya memberikan jaminan

dengan beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara karena lembaga yang lebih berhak adalah

Dewan Perwakilan Rakyat. Surat Keputusan Presiden tersebut lebih bernuansa sebagai produk

kebijakan (policy) dalam ranah politik dan bukan sebagai bagian dari rangkaian hukum perdata.

Oleh karena itu, sifatnya hanya sementara. Seharusnya pertanggungjawaban bank dan nasabah

(debitur dan penyimpan) diselesaikan dalam kerangka sistem hukum perdata (Tan Kamello,

2006:

Berdasarkan uraian di atas jelas, bahwa di samping sebagai bagian hukum ekonomi atau

hukum bisnis, ternyata hukum perbankan juga merupakan bagian dari sistem hukum perdata,

karena subjek dan objek yang diatumya berkenaan dengan hubungan hukum yang bersifat

perdata antara bank dan nasabah. Untuk itu tidak salah pula bilamana ketentuan hukum

perbankan bersentuhan atau masuk dalam ituang lingkup pengaturan hukum perdata.
43

BAB II

SISTEM KEUANGAN NASIONAL

A. PENGERTIAN SISTEM KEUANGAN DAN SISTEM KEUANGAN INDONESIA

Sistem keuangan pada dasamya adalah tatanan dalam perekonomian suatu negara yang

memiliki peran terutama dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa di bidang keuangan oleh

lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-lembaga penunjang lainnya. Sistem keuangan

Indonesia pada prinsipnya dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu sistem perbankan dan sistem

lembaga keuangan bukan bank. Lembaga keuangan yang masuk dalam sistem perbankan, yaitu

lembaga keuangan yang berdasarkan peraturan perundangan dapat menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk

kredit atau bentuk-bentuk lainnya dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas

pembayaran. Karena lembaga keuangan ini dapat menerima simpanan dari masyarakat, maka

juga disebut depository financial institutions, yang terdiri atas Bank Umum dan Bank

Perkreditan Rakyat. Adapun lembaga keuangan bukan bank adalah lembaga keuangan selain dari

bank yang dalam kegiatan usahanya tidak diperkenankan menghimpun dana secara langsung dari

masyarakat dalam bentuk simpanan. Lembaga keuangan bukan bank disebut non depository

financial institutions (Dahlan Siamat, 2000: 21).

Sistem keuangan dapat didefinisikan secara berbeda tergantung kepada apa yang hendak

ditekankan. Apabila kita ingin melihatnya dari sudut moneter, sistem keuangan didefinisikan

sebagai suatu sistem yang terdiri atas sistem moneter dan di luar sistem moneter. Sistem moneter

terdiri atas otoritas moneter, yang mempunyai kemampuan- untuk menciptakan uang primer, dan

bank-bank pencipta uang giral, sedangkan lembaga-lembaga keuangan lainnya termasuk dalam

ke- lompok di luar sistem moneter (Achwan, Harry Tjahjono, dan Totok Subjakto, 1993: 1-2).
44

Penjelasan yang lain memberikan penekanan pada pembedaan lembaga keuangan

menjadi dua, yaitu pertama, lembaga keuangan bank (bank financial intermediary) dan

kedua,lembaga keuangan bukan bank (non bank financial intermediary) (Achwan, Harry

Tjahjono dan Totok Subjakto, 1993: 2). Lembaga-lembaga keuangan bank merupakan bagian

dari sistem moneter, sedangkan lembaga-lembaga keuangan lainnya berada di luar sistem

moneter.

Pendapat lainnya memberikan cakupan pada sistem keuangan yang lebih luas dan jelas,

karena mendefinisikan sistem keuangan sebagai suatu sistem yang terdiri atas:

1) lembaga-lembaga keuangan yang merupakan lembaga-lembaga intermediasi yang

menghubungkan unit yang surplus dan unit yang defisit dalam suatu ekonomi,

2) instrumen-instrumen keuangan yang dikeluarkan oleh lembaga- lembaga tersebut, dan

3) pasar tempat instrumen-instrumen tersebut diperdagangkan (Achwan, Harry Tjahjono

dan Totok Subjakto, 1993: 3).

Pada dasamya sistem keuangan Indonesia, terdiri atas:

a. sistem moneter;

b. sistem perbankan;

c. sistem lembaga keuangan bukan bank; dan

d. sistem lembaga pembiayaan (bandingkan Dahlan Siamat, 1993: 45 dan Sunaryo, 2008).

Secara ringkas sistem keuangan Indonesia dapat dilihat dalam Gambar 2.1 di bawah ini.
45

Sistem keuangan memainkan peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan

kesehatan perekonomian suatu negara secara berkelanjutan dan seimbang. Sistem keuangan

berfungsi sebagai fasilitator perdagangan domestik dan internasional, memobilisasi simpanan

menjadi berbagai instrumen investasi dan menjadi perantara antara penabung dan investor.

Stabilitas dan pengembangan sistem keuangan sangat penting agar masyarakat meyakini bahwa

sistem keuangan Indonesia aman, stabil, dan dapat memenuhi kebutuhan pengguna jasa

keuangan (Bank Indonesia, 2008: 2004).

Sistem keuangan Indonesia dikendalikan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter

dan perbankan, Departemen Keuangan sebagai otoritas Lembaga Keuangan Bukan Bank dan
46

Lembaga Pembia- yaan dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) sebagai otoritas pengawas

pasar modal.

Semula, kewenangan dan tanggung jawab mengenai perizinan bank berada di tangan

Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia. Namun, kini dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menjadi berada pada Pimpinan Bank Indonesia,

sehingga Bank Indonesia memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang utuh untuk

menetapkan perizinan, pembinaan, dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap bank

yang tidak mematuhi peraturan perbankan yang berlaku. Dengan sendirinya tidak terjadi lagi

dualisme selaku pemegang otoritas perbankan. Sementara lembaga keuangan lainnya, otoritas

yang memberi izin usaha, membina dan mengawasinya berada pada Menteri Keuangan. Khusus

untuk pengawasan lembaga pembiayaan, kecuali perusahaan modal ventura, dilakukan oleh

Departemen Keuangan dengan dibantu oleh Bank Indonesia. Akan tetapi dengan lahirnya UUBI

tugas mengawasi bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya akan dilakukan

oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undang-

undang. Namun sepanjang lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dimaksud belum dibentuk,

tugas pengaturan dan pengawasan bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Artinya untuk masa

mendatang, otoritas yang memberi izin dan membina dipisahkan dari otoritas yang mengawasi

bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya serta badan- badan lain yang

menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.

B. SISTEM MONETER INDONESIA

Sistem keuangan Indonesia terdiri atas sistem moneter dan sistem lembaga keuangan

bukan bank, yang dijalankan oleh otoritas moneter, perbankan dan lembaga keuangan bukan
47

bank serta lembaga pembiayaan. Sistem moneter terdiri atas bank-bank dan lembaga keuangan

pencipta uang giral.

Fungsi pokok dari sistem moneter ini, yaitu:

1. menyelenggarakan mekanisme lalu lintas pembayaran yang efisien;

2. melakukan fungsi intermediasi antara unit defisit (ultimate borrower)dengan unit surplus

(ultimate lender); dan

3. menjaga kestabilan tingkat bunga yang dilakukan oleh otoritas moneter (Dahlan Siamat,

1995: 45).

Fungsi-fungsi tersebut merupakan satu kesatuan, artinya fungsi tersebut pada prinsipnya

dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya karena yang satu tidak dapat

dilaksanakan tanpa dibantu yang lain. Di samping itu, otoritas moneter melakukan fungsi

pengeluaran uang kertas dan logam, menciptakan uang primer (reserve money),mengawasi

sistem moneter dan mengelola cadangan devisa (Dahlan Siamat, 1995: 45-46).

Penciptaan uang giral dan uang kuasi oleh bank-bank dapat dilakukan karena sebagian

besar jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, dan tabungan

disalurkan kembali kepada masyarakat berupa kredit setelah sebelumnya dikurangi dengan

sejumlah alat-alat likuid yang terdiri atas uang kas dan saldo giro pada Bank Sentral dalam

rangka memenuhi ketentuan likuiditas wajib minimum. Selanjutnya, jumlah kredit yang

diberikan tersebut akan masuk kembali ke bank-bank sebagai uang simpanan. Simpanan tersebut

setelah dikurangi likuiditas wajib dipinjamkan kembali kepada nasabah debitur. Dari transaksi

tersebut akan menciptakan suatu efek multiplydi mana uang disimpan pertama akan berlipat

sampai dengan jumlah tertentu (Dahlan Siamat, 1995: 46-47).


48

Bank Indonesia, selaku otoritas moneter dan perbankan mempunyai wewenang

menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dalam rangka mencapai dan memelihara

kestabilan nilai rupiah. Di samping itu, Bank Indonesia dapat membantu bank-bank yang meng-

alami kesulitan likuiditas dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai lender of the last

resort.Sementara itu, hanya Bank Umum saja yang diperkenankan menghimpun simpanan dalam

bentuk giro. Oleh karena itulah, Bank Umum dikatakan sebagai bank yang menciptakan uang

giral.

C. SISTEM PERBANKAN NASIONAL

Sistem perbankan mengalami perubahan yang cukup prinsipil terutama setelah

diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1967, yang memang sudah sangat tidak memadai lagi menampung permasalahan dan

kompleksitas yang timbul dari industri perbankan sejalan dengan pesatnya perkembangan sektor

perbankan mengikuti tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap jasa-jasa perbankan di samping

kuatnya pengaruh arus globalisasi. Di samping itu, dari sisi pelaksanaan kebijakan moneter dan

perbankan, agar dapat lebih efektif maka undang- undang perbankan dituntut untuk selalu

akomodatif (bandingkan Dahlan Siamat, 2000: 23).

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah menyederhanakan sistem perbankan dengan

menghilangkan perbedaan fungsi- fungsi operasional bank secara struktural sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 yang membedakan antara Bank Umum, Bank

Pembangunan, Bank Tabungan, Bank Koperasi dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Kegiatan

usaha bank yang dipisahkan berdasarkan fungsinya tersebut sebenarnya sudah tidak tepat karena
49

pada dasamya semua jenis bank dapat beroperasi sebagai Bank Umum, kecuali BPR. Oleh

karena itu, sistem perbankan Indonesia pasca Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 hanya dikenal (dua)

jenis bank dilihat dari fungsinya yaitu Bank Umum dan BPR. Di samping itu dari sudut

operasionalnya diperkenankan pula suatu sistem perbankan yang berdasarkan Prinsip Bagi Hasil,

Prinsip Syariah atau Sistem Perbankan Syariah yang dapat dilakukan baik, oleh Bank Umum

maupun BPR. Dengan kata lain, kegiatan usaha Bank Umum dan BPR dapat dikelola secara

konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah atau bagi hasil (bandingkan Dahlan Siamat,

2000: 23).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, opera- sionalisasi perbankan nasional dapat didasarkan

kepada "sistem bunga" (konvensional) dan/atau "sistem syariah" (prinsip syariah), yang

kepengelolaannya bisa dilaksanakan oleh bank konvensional atau bank syariah, apakah itu Bank

Umum ataukah Bank Perkeditan Rakyat. Khusus Bank Umum konvensional diperkenankan

menganut dual banking systemsekaligus. Ketentuan ini dilarang dalam Peraturan pemerintah

Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Bagi Hasil.

Lahirnya bank berdasarkan prinsip syariah ini telah menambah semarak khasanah hukum

dan mempertegas visi kehidupan perbankan Indonesia. Karena sebagian besar bangsa Indonesia

beragama Islam, maka kehadiran bank berdasarkan prinsip syariah yang notabene dilandasi

unsur-unsur syariat Islam, benar-benar seperti gayung bersambut (Munir Fuady, 1999: 167).

Bank Pemerintah yang didirikan dengan undang-undang tersendiri yang sebelumnya

telah ditentukan masing-masing misi dan tugas- nya untuk mengembangkan sektor-sektor

ekonomi tertentu yang diatur dalam undang-undang pendiriannya sudah tidak lagi diberlakukan.
50

Sejak memasuki era deregulasi pada prinsipnya tugas dan misi khusus yang diemban oleh

masing-masing bank pemerintah tersebut dapat dikatakan sudah tidak lagi efektif atau sudah

ditinggalkan dan beralih kepada orientasi pasar dan keuntungan, sehingga dengan demikian

persaingan antarbank pemerintah tidak dapat terhindari (Dahlan Siamat, 2000: 23).

I. Bank Umum

Dilihat dari segi kepemilikannya, Bank Umum dapat dibedakan lebih lanjut sebagai berikut.

a. Bank Umum Milik Negara.

b. Bank Pembangunan Daerah.

c. Bank Umum Koperasi.

d. Bank Umum Swasta Nasional.

e. Bank Umum Asing.

f. Bank Campuran.

1) Bank Umum Milik Negara

Bank Umum Milik Negara didirikan dengan undang-undang, di mana seluruh modalnya

merupakan kekayaan negara. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, telah didirikan be-

berapa Bank Umum milik negara/pemerintah, yaitu:

a) Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1960;

b) Bank Negara Indonesia 1946 (BNI 1946), yang didirikan dengan Undang-Undang Nomor

17 Tahun 1968;
51

c) Bank Dagang Negara (BDN), yang didirikan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun

1968;

d) Bank Bumi Daya (BBD), yang didirikan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1968;

e) Bank Tabungan Negara (BTN), yang didirikan dengan Undang- Undang Nomor 20

Tahun 1968;

f) Bank Rakyat Indonesia (BRI), yang didirikan dengan Undang- Undang Nomor 21 Tahun

1968;

g) Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim), yang didirikan dengan Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1968.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, yang kemudian diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bentuk hukum dari Bank-bank Umum milik negara itu

diharuskan untuk menyesuaikan diri dengan bentuk hukum bank yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998. Penyesuaian bentuk hukum Bank Umum milik negara itu menjadi Perusahaan

Persero (PT Persero) dilakukan dengan Peraturan Pemerintah, yaitu:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank

Negara Indonesia 1946 menjadi Perusahaan Perseroan (Persero);

2) peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank

Dagang Negara menjadi Perusahaan Perseroan (Persero);

3) peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank

Rakyat Indonesia menjadi Perusahaan Perseroan (Persero);

4) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank

Ekspor Impor Indonesia menjadi Perusahaan Perseroan (Persero);


52

5) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank

Bumi Daya menjadi Perusahaan Perseroan (Persero);

6) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank

Tabungan Negara menjadi Perusahaan Perseroan (Persero);

7) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank

Pembangunan Indonesia menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).

Kemudian sejak tahun 1999, dari ketujuh Bank Umum milik negara ini, empat bank,

yakni Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia, Bank Bumi Daya, dan Bank

Pembangunan Indonesia telah menggabungkan diri menjadi PT Bank Mandiri (Persero), yang

total aset seluruhnya hampir mencapai Rpl60,5 triliun. Sedangkan Bank Negara Indonesia 1946,

Bank Rakyat Indonesia dan Bank Tabungan Negara tetap berdiri sendiri menjadi PT Bank

Negara Indonesia 1946 (Persero), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), dan PT Bank Tabungan

Negara (Persero). Dahulu terdengar kabar kalau Bank Tabungan Negara akan diakuisisi oleh

Bank Negara Indonesia 1946. Penggabungan atau pendirian PT Bank Mandiri (Persero) tersebut

merupakan salah satu pelaksanaan butir Letter of Intentantara pemerintah dengan IMF beberapa

waktu lalu.

Kegiatan usaha yang dijalankan bank-bank plat merah ini adalah Menjalankan usaha di

bidang perbankan dalam arti yang seluas-lu- asnya dan usaha-usaha lainnya yang menunjang

kegiatan usahanya sebagai Bank Umum. Bank-bank plat merah ini dalam menjalankan kegiatan

usahanya tidak mendapatkan perlakuan yang istimewa dibandingkan dengan Bank-bank Umum

swasta nasional, kecuali menyangkut pengangkatan Direksi dan Dewan Komisaris Bank. Di-

tetapkan, bahwa pengangkatan yang pertama, Direksi dan Dewan Komisaris pada saat pendirian

PT Persero dari bank yang bersangkutan dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku pendiri setelah
53

mendapat persetujuan Presiden. Pengangkatan berikutnya dilakukan oleh Rapat Umum

Pemegang Saham dari calon-calon yang diajukan oleh Menteri Keuangan selaku pemegang

saham setelah mendapat persetujuan Presiden.

2) Bank Pembangunan Daerah

Bank Pembangunan Daerah (BPD) merupakan Bank Umum milik Daerah yang didirikan

menurut ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah. Sehubungan dengan berlakunya

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, BPD diwajibkan pula untuk menyesuaikan bentuk

hukumnya menjadi Perusahaan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962

tentang Perusahaan Daerah. Penyesuaian bentuk hukum BPD menjadi Perusahaan Daerah

dilakukan dengan Peraturan Daerah Provinsi (dahulu Daerah Tingkat I) masing-masing. Kini di

setiap provinsi di Indonesia telah berdiri BPD.

Sebagai tindak lanjut penyesuaian bentuk hukum BPD, lahirlah Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 8 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Peraturan Pendirian Bank Pembangunan

daerah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

3) Bank Umum Koper asi

Bank Umum Koperasi adalah bank yang modalnya berasal dari simpanan anggota atau

badan hukum koperasi. Pendiriannya selain mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998, juga mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor

25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.


54

Saat ini hanya ada satu Bank Umum yang berbentuk hukum koperasi, yang kemudian

mengganti bentuk hukumnya menjadi PT, yakni PT Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin).

4) Bank Umum Swasta Nasional

Bank Umum Swasta Nasional adalah bank yang didirikan dan dimiliki oleh warga negara

Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. Bentuk hukum Bank Umum swasta nasional ini

pada umumnya berbentuk Perseroan Terbatas. Bank Umum swasta nasional ini dapat menjadi

bank devisa (foreign exchange bank)setelah bank yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat

sebagai bank devisa antara lain:

1) bank yang tergolong sehat dan selebihnya sekurang-kurangnya tergolong cukup sehat;

2) jumlah modal bank menurut perhitungan kebutuhan modal yang cukup (capital

adequacy)tergolong sehat dan selebihnya seku- rang-kurangnya cukup sehat;

3) volume usaha bank minimal mencapai jumlah tertentu;

4) kemampuan memobilisasi dana pihak ketiga bank minimal mencapai jumlah tertentu;

5) memiliki tenaga kerja yang ahli dan berpengalaman dalam bidang valuta asing.

6) penunjukan sebagai bank devisa dilakukan oleh Bank Indonesia dan dapat dicabut

kembali apabila tingkat kesehatan bank devisa menurun menjadi kurang sehat atau tidak

sehat, dan tidak dapat ditingkatkan menjadi cukup sehat.

5) Bank Umum Asing (Bank Asing)

Bank asing adalah bank yang didirikan dan dimiliki warga negara asing dan/atau badan

hukum asing sebagai cabang, cabang pembantu, dan perwakilan dari suatu bank yang

berkedudukan di luar negeri. Sebelum paket kebijaksanaan 27 Oktober 1988 (Pakto, 1988), bank

asing hanya boleh membuka cabangnya di Jakarta saja, baru kemu- dian diperkenankan pula
55

membuka Kantor Cabang Pembantu, baik di Jakarta maupun di enam kota besar lainnya diluar

Jakarta, yakni Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, dan Ujung pandang.

Bank asing yang boleh membuka Kantor Cabang Pembantunya hanyalah bank asing yang

telah ada dan tergolong sehat termasuk permodalannya. Setelah 12 bulan sejak dibukanya Kantor

Cabang Pembantunya, posisi kredit ekspor dari Kantor Cabang Pembantu tersebut harus

mencapai sekurang-kurangnya 50% dari kredit yang diberikan.

Kini pembukaan kantor bank asing izinya diberikan Pimpinan Bank Indonesia dengan

memperhatikan:

1) tingkat kesehatan bank;

2) persaingan yang sehat antarbank; dan

3) tingkat kejenuhan jumlah kantor bank dalam suatu wilayah tertentu serta pemerataan

pembangunan ekonomi nasional.

Seiring dengan itu, bank asing diperkenankan menyelenggarakan tabungan sesuai dengan

prosedur yang berlaku.

6). Bank Campuran

Bank campuran (joint venture bank)adalah Bank Umum yang didirikan bersama oleh satu

atau lebih Bank Umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga negara

Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga negara In-

donesia, dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri. Pendirian dan

kepemilikan bank campuran tersebut dilandasi oleh kemitraan antara pihak asing dengan pihak

nasional.

Sebelumnya dengan Pakto, 1988, dibuka kemungkinan untuk mendirikan bank campuran

dengan syarat didirikan bersama oleh satu atau lebih bank nasional Indonesia dan satu atau lebih
56

bank asing di luar negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan di Indonesia. Sasaran yang hendak

dicapai dalam pendirian bank campuran adalah untuk peningkatan ekspor non migas, karenanya

bank campuran tersebut setelah 12 bulan sejak didirikan harus menunjukkan posisi ekspor

mencapai sekurang-kurangnya 50% dari kredit yang diberikannya. Bank campuran tersebut

dapat memilih tempat kedudukan di salah satu dari kota Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya,

Medan, Ujung Pandang dan Denpasar.

Kegiatan operasional bank campuran ini umumnya hanya melakukan wholesaleatau

corporate banking,yaitu kegiatan yang hanya melayani nasabah-nasabah relatif besar saja. Di

samping itu, nasabah- nasabah mereka umumnya nasabah yang telah memiliki hubungan bisnis

dengan bank partner asing di negara asai atau negara asing lain. Bank campuran tersebut

melakukan fungsi sebagai sumber informasi terutama bagi partner asing di samping

menjalankan fungsi pengawasan atau usaha nasabah yang bersangkutan (Dahlan Siamat, 1995:

55).

7) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Perbankan di banyak negara pada umumnya tidak ditujukan untuk melayani masyarakat

kecil. Tata letak perkantoran, struktur organisasi, program pendidikan, falsafah perusahaan,

manajemen dan sistem administrasi, cara dan prosedur pelayanannya, semua ditujukan untuk

melayani orang-orang yang mapan dan berada. Namun di Indonesia, sudah sejak lama ada

sejenis bank yang khusus melayani masyarakat kecil, yaitu BPR. Tugasnya memberikan bantuan

kepada masyarakat kecil yang membutuhkan bantuan dana di pasar-pasar dan di desa- desa.

Selain itu, tugasnya menghimpun dana tabungan masyarakat berupa deposito berjangka (Pandu

Suharto, dalam Djuhaendah Hasan, 1996: 191-192).


57

Dengan dikeluarkannya Pakto 1988, di Indonesia terdapat dua jenis BPR, yaitu BPR gaya

lama (BPR yang telah memperoleh izin sebelum Pakto 1988), dan BPR gaya baru (BPR yang

memperoleh izin usaha setelah Pakto 1988). BPR gaya lama ini terdiri atas Bank Desa, Lumbung

Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari, Lembaga Perkreditan Desa, Badan

Kredit Desa, Badan Kredit Kecamatan, Kredit Usaha Rakyat Kecil, Lembaga Perkreditan

Kecamatan, Bank Karya Produksi Desa dan lembaga-lembaga lain yang dipersamakan dengan

itu. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 41 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1967, status dan

tugas dari BPR gaya lama ditetapkan dalam undang-undang. Namun sambil menunggu dike-

luarkannya undang-undang dimaksud, pengaturannya diadakan dalam Keputusan Presiden

Nomor 38 Tahun 1988 tentang Bank Perkreditan Rakyat. Disebutkan bahwa bank-bank desa

sebagaimana di atas semuanya menjadi Bank Perkreditan Rakyat.

Dasar hukum pendirian BPR gaya lama ini adalah Staatsblad, Peraturan Daerah,

Keputusan Gubemur masing-masing Provinsi. Pemilikannya bisa Pemerintah Daerah atau

masyarakat setempat. Adapun bentuk hukumnya berupa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah,

Koperasi atau Maskapai Andil Indonesia, namun beberapa di antara- nya bahkan masih belum

memiliki bentuk hukum (Dahlan Siamat, 1995: 57).

BPR gaya lama ini tetap dapat melanjutkan usahanya di tempat semula dengan ketentuan

tidak diperkenankan menerima simpanan dalam bentuk giro, tidak diizinkan pindah tempat ke

luar wilayah Kecamatan tempat kedudukannya, tidak diperkenankan membuka Kantor Cabang

dan tidak perlu menyesuaikan modalnya dengan modal minimum BPR gaya baru. Di samping

itu, BPR gaya lama ini dapat meningkatkan kemampuannya dengan diberi keleluasaan untuk me-

lakukan merger dengan Bank Umum dan Bank Pembangunan atau merger antar-BPR gaya lama

untuk ditingkatkan menjadi Bank Umum.


58

BPR gaya baru hanya dapat didirikan dan menjalankan usaha di Kecamatan dan di desa-

desa di luar ibukota negara, ibukota provinsi dan ibukota kota/kabupaten. Kemudian BPR gaya

baru boleh pula membuka cabang di Kecamatan tempat kedudukan bank yang bersangkutan atau

kantor lain di Kecamatan lain yang berbatasan dengan Kecamatan tempat kedudukan bank yang

bersangkutan. Bentuk hukum BPR gaya baru ini bisa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah,

atau Koperasi. Usahanya dapat menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito,

dan tabungan. Pemberian kre- ditnya terutama diperuntukkan bagi pengusaha kecil dan/atau ma-

syarakat pedesaan.

Sama halnya dengan BPR gaya lama, BPR gaya baru juga dapat melakukan merger

dengan bank lain, yakni Bank Umum atau Bank Pembangunan yang memenuhi persyaratan

untuk membuka Kantor

Cabang. Peleburan atau penggabungan usaha antar-BPR untuk ditingkatkan menjadi Bank

Umum atau Bank Pembangunan dengan ditetapkan dalam undang-undang. Namun sambil

menunggu dikeluarkannya undang-undang dimaksud, pengaturannya diadakan dalam Keputusan

Presiden Nomor 38 Tahun 1988 tentang Bank Perkreditan Rakyat. Disebutkan bahwa bank-bank

desa sebagaimana di atas semuanya menjadi Bank Perkreditan Rakyat.

Dasar hukum pendirian BPR gaya lama ini adalah Staatsblad, Peraturan Daerah,

Keputusan Gubemur masing-masing Provinsi. Pemilikannya bisa Pemerintah Daerah atau

masyarakat setempat. Adapun bentuk hukumnya berupa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah,

Koperasi atau Maskapai Andil Indonesia, namun beberapa di antara- nya bahkan masih belum

memiliki bentuk hukum (Dahlan Siamat, 1995: 57).

BPR gaya lama ini tetap dapat melanjutkan usahanya di tempat semula dengan ketentuan

tidak diperkenankan menerima simpanan dalam bentuk giro, tidak diizinkan pindah tempat ke
59

luar wilayah Kecamatan tempat kedudukannya, tidak diperkenankan membuka Kantor Cabang

dan tidak perlu menyesuaikan modalnya dengan modal minimum BPR gaya baru. Di samping

itu, BPR gaya lama ini dapat meningkatkan kemampuannya dengan diberi keleluasaan untuk me-

lakukan merger dengan Bank Umum dan Bank Pembangunan atau merger antar-BPR gaya lama

untuk ditingkatkan menjadi Bank Umum.

BPR gaya baru hanya dapat didirikan dan menjalankan usaha di Kecamatan dan di desa-

desa di luar ibukota negara, ibukota provinsi dan ibukota kota/kabupaten. Kemudian BPR gaya

baru boleh pula membuka cabang di Kecamatan tempat kedudukan bank yang bersangkutan atau

kantor lain di Kecamatan lain yang berbatasan dengan Kecamatan tempat kedudukan bank yang

bersangkutan. Bentuk hukum BPR gaya baru ini bisa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah,

atau Koperasi. Usahanya dapat menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito,

dan tabungan. Pemberian kre- ditnya terutama diperuntukkan bagi pengusaha kecil dan/atau ma-

syarakat pedesaan.

Sama halnya dengan BPR gaya lama, BPR gaya baru juga dapat melakukan merger

dengan bank lain, yakni Bank Umum atau Bank Pembangunan yang memenuhi persyaratan

untuk membuka Kantor

Cabang. Peleburan atau penggabungan usaha antar-BPR untuk ditingkatkan menjadi Bank

Umum atau Bank Pembangunan dengan maksud agar satu atau lebih di antaranya akan menjadi

Kantor Cabang atau jenis kantor lainnya, hanya dapat dilakukan dengan memenuhi syarat

pendirian Bank Umum dan Bank Pembangunan baru bagi masing-masing BPR gaya baru.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, yang kemudian diubah

dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bank-bank desa dan yang dipersamakan dengan

itu diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan undang-undang dengan
60

memenuhi persyaratan dan tata cara yang akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini

mengingat lembaga-lembaga dimaksud telah tumbuh dan berkembang dari lingkungan

masyarakat Indonesia, serta masih diperlukan oleh masyarakat Indonesia, maka keberadaan

lembaga dimaksud tetap diakui. Karenanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, yang

kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 memberikan kejelasan status

dari lembaga-lembaga keuangan desa dimaksud. Untuk menjamin kesatuan dan keseragaman

dalam pembinaan dan pengawasan, maka dengan Peraturan Pemerintah telah ditetapkan

persyaratan dan tata cara pemberian status lembaga-lembaga dimaksud sebagai Bank Perkreditan

Rakyat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank

Perkreditan Raky

D. SISTEM LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK

Pada prinsipnya lembaga-lembaga keuangan bukan bank tidak dapat digolongkan ke

dalam sistem moneter dan perbankan. Oleh karena itu, lembaga keuangan bukan bank ini sering

pula disebut sebagai lembaga keuangan sektor nonmoneter (nonmonetary sector) (Dahlan

Siamat, 1995: 60).

Dalam perkembangan sistem keuangan Indonesia pernah dikenal suatu jenis lembaga

keuangan yang disebut Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) (Nonbank Financial

Institution)(Sunaryo, 2008: 11).

Pada tahun 1970, demi kelancaran pembangunan, pemerintah memberi kesempatan usaha

kepada lembaga-lembaga keuangan yang menghimpun dan menyalurkan dana-dana jangka

menengah dan pan- jang, terutama dengan jalan mengeluarkan kertas berharga serta yang dapat

mengembangkan pasar uang dan modal. Untuk itulah pada tanggai 7 Desember 1970,

dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor KEP-792/MK/IV/12/1970 tentang


61

Lembaga Keuangan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Surat Keputusan Menteri

Keuangan Nomor KEP-38/MK/IV/1/1972 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor

280/MK.01/1989, yang mengatur mengenai persyaratan dan perizinan Lembaga Keuangan.

Dinyatakan bahwa LKBB adalah semua badan usaha yang melakukan kegiatan-kegiatan

di bidang keuangan, secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana, terutama dengan

mengeluarkan kertas berharga dan menyalurkannya kepada masyarakat, terutama guna

membiayai investasi perusahaan-perusahaan. Dalam pengertian ini tidak termasuk sebagai

"lembaga keuangan" ialah lembaga-lem- baga perbankan, lembaga-lembaga perasuransian dan

lembaga-lem- baga keuangan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-un- dangan lain.

Dapat disimpulkan bahwa LKBB adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang

keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan cara

mengeluarkan kertas berharga dan menyalurkannya kepada masyarakat guna membiayai

investasi perusahaan-perusahaan. Dalam hal ini LKBB tidak diperkenankan menerima dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan, baik itu berupa giro, tabungan maupun deposito. Namun,

berdasarkan kebijakan Pakto 27, 1988, LKBB dapat menerbitkan sertifikat deposito sebagai

sumber dana dan dapat mendirikan kantor- kantor cabang di daerah-daerah. Pada dasamya

pendirian LKBB ini dimaksudkan untuk mendorong pengembangan pasar uang dan pasar modal

serta menyalurkan pembiayaan kepada perusahaan. Dengan demikian kegiatan usaha LKBB,

terutama dalam menghimpun dana dengan cara menerbitkan surat berharga, termasuk

menerbitkan sertifikat deposito, dan tidak diperkenankan menerima simpanan, baik dalam bentuk

giro, deposito maupun tabungan, dan selanjutnya disalurkan kembali kepad amasyarakat untuk

membiayai pembangunan investasi, perumahan dan lain-lain di bidang keuangan.


62

BAB III

UANG

A. Pengertian Uang

Uang telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu dan merupakan salah satu temuan

manusia yang paling menakjubkan sehingga mempunyai sejarah yang sangat panjang dan telah

mengalami berbagai perubahan. Dengan demikian, tidak mudah untuk menjelaskan atau

mendefinisikan uang secara singkat, jelas dan tepat. Namun, kenyataannya dalam masyarakat

modern saat ini tidak ada orang yang tidak mengenal uang. Dengan demikian, apakah

sebenarnya yang dapat disebut dengan uang? Pertanyaan tersebut dengan mudah dijawab; orang

awam akan memperlihatkan uang pecahan kertas dan logam yang berlaku yang dipegangnya

sebagai uang. Namun demikian, apakah setiap orang akan mempunyai persepsi yang sama

tentang uang tersebut? Karena orang mungkin akan lebih senang bila dapat memegang dan

menggunakan uang yang berasal dari daerahnya atau negaranya sendiri dibandingkan dengan

mata uang yang berasal dari daerah atau negara lain. Pertanyaan selanjutnya kenapa orang

bersedia memegang, memilih, dan menggunakan uang kertas atau uang logam tersebut sebagai

uang, bukan benda lainnya, misalnya kulit binatang, batu permata sebagai uang?

Dari uraian di atas bahwa ternyata sulit juga mendefinisikan uang, baik menurut bentuk

secara fisik, maupun menurut ciri uang yang banyak variasinya. Oleh karena itu, untuk

mempermudah dan menyederhanakan pemahamannya, pengertian uang di sini dilihat

sebagaimana uang yang ada dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dilihat dari kegunaan atau

fungsinya bagi manusia.


63

Uang adalah suatu benda yang dapat dipertukarkan dengan benda lain; dapat digunakan

untuk menilai benda lain atau sebagai alat hitung; dan dapat digunakan sebagai alat penyimpan

kekayaan. Selanjutnya, jangan lupa bahwa uang dapat juga digunakan untuk membayar utang di

waktu yang akan datang.

B. Fungsi Uang

Pada awalnya uang hanya berfungsi sebagai alat penukar saja, tetapi sejalan perkembangan

peradaban manusia dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, fungsi uang tersebut telah berkem-

bang dan bertambah sehingga fungsinya menjadi seperti yang dirasakan seperti pada saat ini.

Fungsi uang tersebut, yaitu sebagai berikut.

1. Uang sebagai alat tukar (medium of exchange)

Dapat dibayangkan betapa sulitnya hidup di dalam perekonomian modern ini tanpa adanya benda

yang dapat digunakan sebagai alat tukar. Apabila tidak ada uang, transaksi hanya dilakukan

dengan cara tukar-menukar (atau dikenal juga dengan barter) antara barang yang satu dengan

barang yang lain.

2. Uang sebagai alat penyimpan nilai (store of value)

Barang-barang berharga yang dimiliki berupa tanah, rumah, permata, dan benda berharga lain-

nya. Walaupun kekayaan yang dapat disimpan beragam bentuknya, tidak dapat dipungkiri bahwa

uang merupakan salah saw pilihan untuk menyimpan kekayaan.

3. Uang sebagai satuan hitung (unit of account)

Apabila tidak ada satuan hitung yang diperankan oleh uang, dapat dibayangkan kesulitan yang

dialami dalam menilai suatu barang. Tanpa adanya satuan hitung, seseorang mungkin akan

kesulitan menilai seekor sapi sama dengan dua ekor kambing dan sebaliknya. Dengan adanya

uang, tukar-menukar dan penilaiari terhadap suatu barang akan lebih mudah dilakukan. Selain
64

itu, dengan uang, pertukaran antara dua barang yang berbeda secara fisik juga dapat dilakukan

tanpa menghadapi halangan.

4. Uang sebagai ukuran pembayaran yang tertunda (standard for deffered payment)

Fungsi uang ini teikait dengan transaksi pinjam-meminjam; uang merupakan salah satu cara

untuk menghitung jumlah pembayaran pinjaman tersebut. Jika meminjamkan uang sebesar satu

juta rupiah selama lima tahun, nilai uang akan lebih berkembang daripada meminjamkan satu

ekor kambing dalam waktu yang sama mengingat keadaan kambing dalam lima tahun mendatang

akan berbeda dengan keadaan kambing pada saat meminjam.

C. Sejarah Penggunaan Uang

Awalnya masyarakat primitif yang hidup secara berkelompok dan memenuhi kebutuhan

sendiri (self suffident) belum mengenal atau membutuhkan benda yang disebut uang, dan setelah

suatu kelompok dan beradaptasi dengan kelompok lain atau dengan masyarakat lain mulai tidak

dapat lagi memenuhi kebutuhan sendiri, timbullah kebutuhan untuk melakukan pertukaran

antarkelompok masyarakat ataupun antarindividu.

Pada awalnya pertukaran barang antarkelompok atau antarindividu tersebut dilakukan

dengan cara menukarkan barang yang saw dengan barang lainnya. Sistem pertukaran barang

dengan barang ini selanjutnya dikenal dengan istilah barter (meskipun di zaman modern masih

ada juga yang melakukan barter, seperti Indonesia melakukan barter dengan Pemerintah

Malaysia, dengan menukarkan pesawat terbang yang diproduksi PT Nurtanio (ketika itu) dengan

sejumlah mobil merek Proton Saga (buatan Malaysia) untuk taksi Citra, demikian pula dengan

Thailand yang menukarnya dengan beras ketan. Perlu diperhatikan, sistem barter harus

memenuhi suatu kondisi kebetuian ganda (double coincidence). Maksudnya adalah:


65

- Kebetulan yang pertama adalah seseorang bertemu dengan orang lain yang akan

menukarkan barangnya dan

- kebetulan yang kedua adalah bahwa barang tersebut merupakan barang yang saling

dibutuhkan. Betapa sulitnya terjadi pertukaran antarsatu barang dengan barang lain

karena masing-masing individu dengan kebutuhan yang berbeda, tetapi memiliki barang

berbeda yang masing-masing tidak membutuhkan barang yang ingin dipertukarkan

tersebut.

Di sinilah penggunaan benda-benda sebagai alat penukar (yang disebut dengan uang) mulai

dibutuhkan, Suatu benda hanya dapat digunakan sebagai alat tukar harus disepakati secara umum

oleh masyarakat tersebut, yaitu setiap orang harus mau menerima benda tersebut untuk

membayar barang-barang yang diperdagangkan. Benda tersebut dapat berupa kulit binatang,

permata, telur, garam, beras, binatang atau benda lainnya. Benda yang digunakan dan dapat

diterima sebagai alat bayar dalam sistem perekonomian yang sangat sederhana tersebut

umumnya adalah benda yang dianggap berharga dan sering kali juga mempunyai kegunaan

untuk dikonsumsi atau keperluan proluksi. Benda yang digunakan sebagai uang tersebut

umumnya mudah dibawa dan tidak mudah rusak serta tahan lama.

Berkaitan dengan penggunaan logam sebagai uang, dikenal uang logam emas dan perak sebagai

alat tukar yang banyak dipakai, meskipun dalam penggunaannya sebagai alat bayar mengalami

pasang surut, antara lain sebagai akibat terbatasnya stok atau mahalnya biaya produksinya.

Dalam perkembangan kedua logam tersebut, tembaga yang banyak diminati, karena lebih mudah

diperoleh sehingga lebih murah harganya. Keberadaan logam tersebut secara bersamaan di

tengah masyarakat menimbulkan konsekuensi logis, yaitu semakin diminatinya uang dengan

kualitas rendah (tembaga) dibandingkan dengan uang kualitas baik (emas dan perak). Apabila
66

keadaan ini terns berlanjut, dapat menyebabkan hilangnya uang dengan kualitas balk dari

peredaran.

Penggunaan uang seperti diuraikan di atas pada dasarnya terbatas hanya pad alingkup

pengertian uang dalam bentuk fisiknya, yaitu uang tunai berupa uang kertas dan logam yang

beredar di masyarakat. Lalu bagaimana dengan penggunaan uang tidak tunai? Dalam

perkembangannya, penggunaan uang tidak tunai dalam transaksi ekonomi sudah dikenal secara

terbatas pada abad ke-18, saat dimulainya evolusi sistem perbankan, proses giralisasi, yaitu

penyimpanan dalam bentuk rekening giro (demand deposit) yang baru dikenal secara luas pada

awal pertengahan abad ke-20. Dengan demikian, masyarakat leluasa untuk menggunakan, baik

warkat perintah penarikan, maupun cek untuk melakukan transaksi. Ketika itu simpanan giro

demikian populer sehingga jumlahnya melebihi jumlah uang kertas dan logam yang digunakan

saat itu. Selanjutnya mulailah dikenal simpanan tabungan (savings deposit). Bahkan- tahun

1950-an, telah mendorong semakin besarnya jumlah simpanan tabungan dibandingkan dengan

simpanan giro.

Perkembangan selanjutnya, adalah semakin pesatnya temuan sistem perbankan yang

mengarah pada penggunaan uang sebagai suatu komoditi yang tidak berbentuk secara konkret

(intangible money). Sejak tahun 1990-an, masyarakat mulai cenderung menggunakan "uang

elektronik", seperti internet banking, debit cards, dan Automatic Teller Machine (ATM).

Selanjutnya, "uang elektronik" juga muncul dalam bentuk smart cards, yaitu penggunaan chips

pada sebuah kartu. Penggunaan smart cards sangat praktis, yaitu "mengisi" chips dengan

sejumlah uang tertentu yang dikehendaki, setelah itu, smart card tersebut dapat digunakan untuk

melakukan transaksi. Pengisian dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui

transfer bank, mesin ATM, atau pembetian secara tunai.


67

Dengan demikian, hampir tiap negara di dunia memiliki lembaga yang bertugas untuk

melaksanakan fungsi otoritas moneter, yang salah satunya adalah mengeluarkan dan

mengedarkan uang (uang primer). Di Indonesia fungsi tersebut sesuai dengan undang-undang

dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Republik Indonesia. Fungsi otoritas

moneter di berbagai negara pada umumnya juga diiaksanakan oleh bank sentral negara yang

bersangkutan, seperti: di Malaysia dilakukan oleh Bank Negara Malaysia, di Thailand dilakukan

oleh Bank of Thailand, dan di Inggris dilakukan oleh Bank of England (masing-masing otoritas

moneter di berbagai negara tersebut mempunyai wewenang dan tanggung jawab yang tidak

sama). Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa saat ini di beberapa negara ada lembaga lain

selain bank sentral yang juga mempunyai wewenang dalam melaksanakan fungsi otoritas

moneter. Di Amerika Serikat, selain Bank Sentral (the Federal Reserve), Departemen Keuangan

(Treasury Department) juga mempunyai wewenang untuk menciptakan uang dengan pecahan

logam tertentu.

D. Uang Beredar

1. Pengertian Uang Beredar

Sebelum sampai pada pengertian atau konsep uang beredar, perlu dipahami terlebih

dahulu mengenai penggunaan uang dalam praktik kehidupan sehari-hari. Masyarakat pada

umumnya lebih mengenal istilah uang tunai yang terdiri dari uang kertas dan uang logam. Uang

tunai adalah uang yang ada di tangan masyarakat (di luar sistem perbankan) dan siap digunakan

setiap saat, terutama untuk pembayaran-pembayaran dalam jumlah yang tidak terlalu besar.

Uang tunai tersebut juga sering pula disebut sebagai uang kartal. Di Indonesia, uang kartal

adalah uang kertas dan logam yang beredar di masyarakat yang dikeluarkan serta diedarkan oleh

Bank Indonesia.
68

Apakah pembayaran tunai hanya dapat dilakukan dengan uang tunai? Tentu saja tidak.

Untuk melakukan pembayaran tunai dalam jumiah yang besar, tentunya tidak praktis kalau harus

membawa uang tunai. Selain berat, tentunya risikonya pun tinggi sehingga relatif kurang arnan.

Pembayaran tunai juga dapat dilakukan dengan menggunakan cek dan bilyet giro. Sebagaimana

diketahui, cek juga dianggap sebagai alat pembayaran tunai. Satu hal yang harus diingat ialah

bahwa seseorang yang ingin melakukan pembayaran dengan cek sebelumnya harus mempunyai

simpanan dalam bentuk rekening giro di suatu bank umum (demand deposits). Rekening giro

adalah suatu rekening simpanan di bank umum yang penarikannya dapat dilakukan sewaktu-

waktu. Mempunyai rekening giro sebenarnya artinya sama dengan mempunyai uang tunai.

Perbedaannya adalah kalau akan membayar dengan uang, yang dilakukan cukup dengan

memberikan uang tunai, sedangkan apabila melakukan pembayaran dari uang yang telah

disimpan dalam rekening giro, perlu satu langkah lagi yang harus dilakukan, yaitu menulis

jumlah permbayaran yang diinginkan pada selembar cek. Uang yang berada dalam rekening giro

di bank umum tersebut sering disebut juga sebagai uang giral. Berdasarkan uraian tersebut,

terlihat 1 jelas bahwa bank umum merupakan lembaga keuangan yang dapat menciptakan uang,

yaitu uang 1 giral. Oleh karena itu, bank umum juga dikenal sebagal Bank Pencipta Uang Giral

(BPUG).

Selain dapat menggunakan cek untuk sekali transaksi pembayaran, dapat pula

menggunakan kartu kredit atau kartu debet karena membayar dengan kartu kredit atau kartu

debet artinya sama dengan membayar tunai, sepanjang kartu kredit tersebut dapat diakses ke

bank penerbit kartu kredit.

Dengan uang kartal dan uang giral, masyarakat dapat melakukan pembayaran tunai

secara langsung, demikian pula dengan kartu kredit atau kartu debet. Pertanyaannya adalah
69

bagaimana dengan simpanan uang tunai dalam bentuk deposito berjangka (time deposits) di

bank? Sebagaimana diketahui, penarikan simpanan berupa deposito berjangka tidak dapat

dilakukan sewaktu-waktu. Lazimnya, penarikan rekening deposito berjangka dapat dilakukan

sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan antara deposan dengan bank, misalnya dalam

jangka waktu satu bulan atau tiga bulan. Karena penarilcannya tidak dapat dilakukan sewaktu-

waktu, pemilik rekening deposito berjangka tersebut untuk sementara tidak dapat melakukan

pembayaran secara langsung karena harus menunggu sampai rekening deposito berjangka

tersebut jatuk tempo. Uang yang disimpan dalam rekening deposito n berjangka tersebut disebut

sebagai uang kuasip

Terdapat dua perbedaan pokok dari ketiga jenis uang tersebut, yaitu: pertama, bila dilihat

dari lembaga yang mengeluarkan dan mengedarkan, terlihat bahwa uang kartal dikeluarkan dan

diedarkan bank sentral, sementara uang giral dan uang kuasi diciptakan dan diedarkan oleh bank

umum. Kedua, bila dilihat dari penggunaannya, uang kartal dan uang giral dapat digunakan

langsung sebagai alat pembayaran, sedangkan uang kuasi tidak dapat langsung sebagai alat

pembayaran. Dengan demikian, uang kartal dan uang giral lebih likuid dibandingkan dengan

uang kuasi.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa otoritas moneter (bank sentral) dan bank

umum adalah menciptakan uang. Bank sentral mengeluarkan dan mengedarkan uang kartal,

sedangkan bank umum mengeluarkan dan mengedarkan uang giral serta uang kuasi. Kedua

lembaga ini disebut sebagai lembaga yang termasuk dalarn sistem moneter karena kedua

lembaga keuangan tersebut mempunyai fungsi moneter, yaitu antara lain dapat menciptakan

uang.

2. Jenis Uang Beredar


70

Tiap negara menggunakan uang beredar dengan jenis yang beragam. Jenis-jenis uang beredar

tersebut didefinisikan berdasarkan komponen yang tercakup di dalamnya. Komponen tersebut

pada umumnya adalah ketiga jenis uang yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu uang kartal,

uang giral, dan uang kuasi. Sesuai dengan cakupan uang beredar yang beragam, jenis uang

beredar pun beragam, mulai dari pengertiah atau definisi yang paling sempit sampai yang paling

luas. Uang kartal atau uang tunai seperti yang telah diuraikan di atas sebenarnya merupakan jenis

uang beredar dalam pengertian yang paling sempit.

Di Indonesia saat ini dikenal hanya dua macam uang yang beredar, yaitu sebagai berikut.

a. Uang beredar dalam arti sempit, yang sering diberi simbol Ml, didefinisikan sebagai

kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik yang terdiri dari uang kartal (C)

dan uang giral (D).

b. Uang beredar dalain arti luas, yang sering juga disebut sebagai likuiditas perekonomian dan

diberi simbol M2, didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta

domestik yang terdiri dari uang kartal (C), uang giral (D), dan uang kuasi (T). Dengan kata

lain, M2 adalah M1 ditambah dengan uang kuasi (T).

Sementara itu, pengertian uang beredar di berbagai negara dapat berbeda dan bervariasi sesuai

dengan kondisi sektor keuangan dan perbankan, serta kebutuhan otoritas moneter negara

tersebut. Definisi uang beredar di Amerika Serikat, misalnya: definisi uang beredar tidak hanya

mengenal istilah Ml dan M2 saja, tetapi juga M3.

3. Perkembangan Pengertian Uang Beredar

Awalnya, yang dimaksud dengan uang adalah uang yang dikeivarkan dan diedarkan oleh

penguasa (otoritas moneter) pada waktu tersebut dan merupakan uang kartal saja.
71

Pada pertengahan abad ke-19, yang saat tahap awal perkembangan bank umum komersial 1)&11,

simpanan dalam bentuk rekening giro (uang giral) masih baru dan hanya dikenal oleh orang-

orang kaya atau pedagang saja; masyarakat tuns belum mengenal dan menggunakannya.

Salah satu isu yang terjadi dalam perekonomian Indonesia adalah tentang keberadaan tabungan

(savings deposits) dalam M2. Kebanyakan jenis tabungan yang ditawarkan perbankan dewasa ini

adalah jenis tabungan yang dapat ditarik sewaktu-waktu, yang disertai dengan kemudahan

pencairan, yaitu dengan menggunakan kartu ATM, sifat tabungan dinilai sama dengan simpanan

giral, bahkan hampir sama dengan uang tunai. Dengan demikian, jenis tabungan tersebut

seharusnya digolongkan ke dalam jenis uang MI, dan bukan M2. Bahkan saat ini semakin

berkembang, karena telah berkembang produk-produk baru di bidang keuangan dan perbankan,

seperti credit card, debit cards, dan Internet banking. Contoh Amerika Serikat dalam

menghitung jumlah uang beredar tidak hanya menggunakan jenis pengelompokan Ml dan M2

saja, tetapi juga M3. Inggris menggunakan jenis pengelompokan Ml, M2, dan M3. Sementara

itu, kanada menggunakan jenis pengelompokan yang lebih rind lagi, yaitu Ml, M2, M2+,

adjusted M2+, dan M3.

E. Mekanisme Penciptaan Uang

Bagaimana uang beredar itu diciptakan? Untuk menjelaskan hal tersebut, perlu dijelaskan

terlebih dahulu siapa saja pelaku penciptaan uang. Berdasarkan pengelompokan peranannya,

secara umum dikenal tiga pelaku utama, yaitu: (1) otoritas moneter; (2) bank umum; dan (3)

masyarakat atau sektor swasta domestik. Pada dasarnya, ketiga pelaku tersebut berinteraksi

sedemikian rupa se hinggapenyediaan (penawaran) uang oleh otoritas moneter dan bank sesuai

dengan kebutuhan (permintaan) masyarakat akan uang tersebut. Secara sederhana dapat

diuraikan: otoritas moneter menciptakan uang kartal, sementara bank umum menciptakan uang
72

giral dan uang kuasi, sedangkan masyarakat akan menggunakan uang yang diciptakan oleh

otoritas moneter dan bank umum tersebut untuk melaksanakan kegiatan ekonomi.

1. Penciptaan Uang Primer oleh Otoritas Moneter


Sejalan dengan perkembangan sistem ekonomi dan sistem perbankan, konsep otoritas moneter

atau bank sentral juga mulai dikenal. Sebagai pelaksana fungsi otoritas moneter, bank sentral

berwenang mengeluarkan dan mengedarkan uang kartal yang terdiri dari uang kertas dan uang

logam. Bank sentral juga menerima simpanan giro bank umum. Uang kartal dan simpanan giro

bank umum di bank sentral tersebut selanjutnya disebut sebagai Uang Primer atau Uang Inti

karena jenis uang ini merupakan inti atau "biarig" dalam proses penciptaan uang beredar yang

sudah dikenal dari uraian sebelumnya yaitu uang kartal, uang giral dan uang kuasi.

2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Uang Primer


Untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi uang primer, perlu diketahui terlebih dahulu

neraca otoritas moneter. Di Indonesia neraca tersebut secara garis besar dapat digambarkan

sebagai berikut.

Aktiva Passiva
Aktiva Luar Negeri Bersih Uang kartal (C)

(ALNB)  Di masyarakat

Aktiva Daiam Negeri Bersih  Di bank umum


MO MO
(ADNB) Saldo giro (R)

Secara garis
Tagihan
besar, sisibersih pada
pasiva (kewajiban)  Milik
neraca bank umum
otoritas moneter memuat komponen uang

primer, pemerintah dari: (1) uang kartal yang beredar


yang terdiripusat Milik masyarakat
di masyarakat maupun uang kartal yang

ada di kasTagihan pada sektor


bank umum; swasta
dan (2) saldo rekening giro atau cadangan milik bank umum dan

domestik
masyarakat di Bank Indonesia.

 Taguhan pada bank umum

 Aktiva lainnya bersih


73

Sementara itu, sisi aktiva (kekayaan) neraca otoritas moneter memuat faktor-faktor yang

memengaruhi perubahan uang primer, yaitu sebagai berikut.

a. Aktiva Luar Negeri Bersih (netforeign assets)

Faktor ini timbul sebagai akibat terjadinya transaksi luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah,

misalnya penarikan dan pelunasan pinjaman luar negeri.

b. Aktiva Dalam Negeri Bersih (net domestic assets)

Faktor ini bersumber dari transaksi dalam bentuk mata uang domestik yang dilakukan oleh

pemerintah, sektor swasta domestik, dan bank umum. Transaksi oleh pemerintah antara lain

berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang tercermin dalam Anggaran

Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Sementara itu, tagihan kepada sektor swasta domestik

dan bank umum antara lain berkaitan dengan pernberian bantuan likuiditas dalam rangka

pelaksanaan fungsi lender of last resort.

c. Aktiva Lainnya Bersih (net other items)

Faktor ini merupakan pos yang disediakan untuk menampung berbagai pos yang tidak dima-

sukkan ke dalam kelompok-kelompok yang telah disebutkan sebelumnya. Salah satu contohnya

adalah pos modal dan cadangan.

3. Penciptaan Uang oleh Bank Umum

Penciptaan uang giral dan uang kuasi secara umum dapat melalui, yaitu:

a. Substitusi, melalui proses ini seseorang dapat menyetorkan uang kartal ke bank umum untuk

dimasukkan ke dalam simpanan giro, simpanan tabungan, atau sebagai doeposito.

b. Transformasi, melalui proses transformasi bank umum dapat membeli surat-surat berharga,

kemudian membukukannya ke dalam simpanan giro atas nama yang bersangkutan atau

membukukan ke dalam simpanan tabungan atau deposito.


74

c. Pemberian kredit, melalui proses ini, bank umum dapat memberikan kredit kepada nasabahnya

dan membukukan ke rekening giro atas nama debitur yang menerima kredit tersebut.

Dalam proses susbstitusi dan transformasi, ada kemungkinan terjadinya perpindahan bentuk dari

uang giral ke uang kuasi melalui pemindahbukuan. Pergeseran tersebut tergantung pada daya

tank simpanan dalam bentuk tabungan atau deposito berjangka dibandingkan dengan simpanan

dalam bentuk giro.

4. Hubungan Uang Primer dengan Uang Beredar

Seperti telah dikemukakan di atas, proses penciptaan uang, baik oleh bank umum, maupun

otoritas moneter dan telah mengenal uang primer (Mo), uang beredar dalam arti sempit (Ml), dan

uang beredar dalam arti luas (M2), pada bagian ini akan dibahas hubungan antara Mo dengan Ml

dan Mo dengan M2.

Uang primer atau Mo merupakan "inti" dalam proses penciptaan uang beredar. Sementara itu,

bank sentral mempunyai kemampuan untuk mengendalikan uang primer yang berada pada sisi

pasiva neraca otoritas moneter. Apakah dengan demikian otoritas moneter dapat sepenuhnya

mengendalikan uang beredar? Tentu tidak semudah itu, mengingat kemampuan otoritas moneter

dalam mengatur jumlah uang beredar sangat tergantung pada berbagai faktor dan terutama

karena bank umum juga mempunyai peranan dan kemampuan untuk menciptakan uang giral dan

uang kuasi. Sementara itu, uang beredar juga dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dalam

membelanjakan uangriya.

F. Faktor-faktor yang Memengaruhi Uang Beredar

Faktor yang memengaruhi uang beredar dapat dikelompokkan, yaitu sebagai berikut.

1. Faktor yang memengaruhi angka pelipat ganda uang


75

Faktor ini adaiah faktor yang memengaruhi determinan uang primer itu sendiri, yaitu antara lain

biaya penggunaan uang giral, kenyamanan dan keamanan, biaya relatif (opportunity cost) - yaitu

suku bunga, pendapatan masyarakat, kemajuan layanan sektor perbankan, ketentuan otoritas

moneter, dan keperluan bank akan likuiditas jangka pendek.

2. Faktor yang memengaruhi perubahan uang primer

Faktor ini terkait dengan perubahan transaksi keuangan oleh masyarakat yang tercermin pada

pos-pos neraca otoritas moneter, balk dari sisi penggunaan uang primer maupun faktor yang

memengaruhi uang primer.

Pada komponen penggunaan, perubahan uang primer dipengaruhi oleh perilaku

masyarakat dalam menggunakan uang kartal yang umurnnya terkait dengan tingkat kemajuan

perekonomian suatu negara, khususnya sektor keuangannya. Sementara itu, penentuan besarnya

cadangan bank yang disimpan di bank sentral dan perubahan yang terjadi pada transaksi

keuangan pada sisi aktiva neraca otoritas moneter lebih terkait dengan struktur dan

perkembangan ekonomi negara yang bersangkutan.

Dari faktor-faktor yang memengaruhi, perubahan uang primer terkait-dengan beberapa

faktor utama, seperti: pola transaksi masyarakat dengan luar negeri, perkembangan dan

mekanisme di bidang perkreditan, serta manajemen keuangan pemerintah yang tercermin pada

struktur APBN. Faktor tersebut dipengaruhi oleh kekuatan struktur dan perkembangan ekonomi

suatu negara.

Dengan demikian, secara garis besar dapat disimpulkan faktor yang dapat memengaruhi uang

beredar, antara lain adalah: tingkat pendapataan masyarakat, suku bunga, kebijakan yang

dikeluarkan oleh pemerintah dan otoritas moneter, dan faktor lain yang mencerminkan kekuatan

struktur dan perkembangan ekonomi suatu negara.


76

G. Peranan Uang dalam Perekonomian

Banyak yang beranggapan bahwa jumlah uang beredar yang terlalu banyak akan

menjadikan kegiatan ekonomi berkembang dengan pesat. Bila keadaan ini berlangsung terus,

akan berbahaya karena harga barang akan meningkat tajam. Sebaliknya bila uang beredar sedikit,

kegiatan ekonomi menjadi terhambat. Demikian pula bila uang beredar terlalu banyak, suku

bunga akan cenderung turun, atau sebaliknya. Hal yang menjadi masalah di sun apakah pendapat

di atas sesuai dengan faktanya? Apakah uang beredar berperan dan berkaitan erat dengan

kegiatan perekonomian? Di Indonesia?. Bagaimana faktanya yang terjadi?

1. Perekonomian Uang tanpa Uang

Dalam dunia usaha, perekonomian uang maupun tanpa uang bukanlah hal yang baru. Umumn'im

manusia melakukan transaksi dengan menggunakan uang, tetapi untuk beberapa kegiatan khusus,

sexing pula transaksi tidalc menggunakan uang. Hal ini dikenal dengan barter. Barter adalah

pertukaran baring dengan barang.

Suatu perekonomian tanpa uang tetap memiliki kesulitan. Setiap sistem yang digunakan dalam

kegiatan apa pun pasti memiliki titik lemah. Hal ini berlaku pula bagi sistem perdagangan tukar-

menukar barang atau jasa. Ada beberapa kesulitan yang menjadi titik lemah sistem tukar-

menukar barang atau jasa antara lain seperti dijelaskan berikut ini.

a. Pertukaran sulk dilaksanakan karena harus ada dua pihak yang saling menginginkan barang

atau jasa yang akan dipertukarkan dan masing-masing pihak harus mempunyai penilaian

yang sama atas barang atau jasa yang dipertukarkan.

b. Penilaian seseorang atas suatu barang hanya bisa dinyatakan dalam unit barang lainnya,

sedangkan barang lainnya tersebut mempunyai nilai yang berbeda pula bagi tiap-tiap orang.
77

c. Tabungan hanya dapat dilakukan dalam bentuk barang sehingga selain memerlukan tempat

penyimpanan juga menghadapi risiko rusak, susut, hilang, kebakaran dan lain sebagainya.

d. Pinjam-meminjam hanya dalam bentuk barang. Dalam situasi dan kondisi ini, pihak yang

ingin meminjam suatu barang harus mencari dan berhubungan dengan orang yang memiliki

barang tersebut.

2. Uang dan Kegiatan Ekonomi

Peranan dan keterkaitan yang erat antara uang dengan kegiatan suatu perekonomian dapat di-

nggap sebagai suatu hal yang bersifat alami karena semua kegiatan perekonomian modern,

misalnya roduksi, investasi, dan konsumsi, selalu melibatkan uang. Bahkan dalam

perkembangannya, uang dak hanya digunakan untuk mempermudah transaksi perdagangan di

pasar barang, namun uang iga menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan di pasar uang.

Dengan kondisi tersebut, sulit ibayangkan apabila tidak ada benda yang namanya uang.

Bagaimana melihat peran uang? Salah satu caranya adalah dengan rnemahami bagaimana aliran

tau arus perputaran barang dan uang terjadi dalam suatu perekonomian. Periu diketahui bahwa

erkembangan kegiatan suatu perekonomian pada dasarnya dapat dilihat dari dua sektor yang

saling erkaitan, yaitu sektor riil (barang dan jasa) dan sektor moneter (uang). Sektor riil dan

sektor moneter .dak hanya berkaitan erat. Kedua sektor tersebut seperti dua sisi mata uang di

mana sisi yang satu :dak dapat dipisahkan dengan sisi yang lain. Misalnya: pembeli memiliki

uang, tetapi tidak memiliki arang, sementara itu, penjual memiliki barang, tetapi tidak memiliki

uang. Dengan demikian, apaila transaksi tersebut dilakukan, nilai transaksi jual bell barang dan

jasa harus sama dengan nilai ang diserahterimakan.

Sebagaimana diketahui, dalam setiap kegiatan ekonomi selalu terdapat dua macam aliran, yaitu

liran barang dan aliran uang atau dana. Dalam proses tersebut perusahaan akan membeli bahan
78

aku dan menyewa tenaga (keahlian) dari masyarakat sehingga akan terjadi aliran barang dan jasa

erupa bahan baku dan tenaga kerja dad masyarakat. Pada saat.yang sama juga terjadi aliran uang

ari perusahaan untuk pembayaran bahan baku yang dibeli. tersebut. Aliran uang keluar tersebut

agi perusahaan akan menjadi pos biaya, sementara hagi masyarakat, aliran uang masuk tersebut

aerupalcan pos pendapatan. Sementara itu, setelah perusahaan menghasilkan suatu produk dan

menialnya ke masyarakat akan terjadi aliran uang keluar dari masyarakat dan sebaliknya terjadi

aliran ang masuk yang merupakan pendapatan perusahaan. Mekanisme yang serupa juga terjadi

pada kegitan investasi dan kegiatan ekonomi tainnya. Berdasarkan contoh tersebut, dapat

disimpulkan bahwa alam suatu perekonomian aliran uang akan sebanding dengan aliran barang

dan jasa.

Ada beberapa keuntungan yang menjadi kekuatan sistem perekonomian dengan menggunakan lat

tukar uang, antara lain yaitu sebagai berikut.

- Uang pertukaran dapat dipecahkan menjadi dua transaksi, yaitu pembelian dan penjualan.

Kedua transaksi ini tidak perlu dilakukan pada saat yang sama dengan orang yang sama. Hal ini

akan memperlancar pertukaran dan mendorong spesialisasi kerja. Di sini uang berfungsi sebagai

alat tukar-menukar

- Penilaian atas barang atau jasa dapat dinyatakan dalam satuan uang sehingga dapat memper-

mudah perbandingan nilai dad berbagai macam dan jumlah barang atau jasa. Dalam hal ini uang

berfungsi sebagai satuan hitting.

- Uang mempermudah keinginan untuk menabung. Dengan demikian, orang tidak perlu lagi

menumpuk barang-barang yang menimbulkan masalah tempat penyimpanan dan risiko. Oleh

karena itu, uang dapat dipakai sebagai penyimpanan kekayaan.


79

- Uang memajukan transaksi pinjam-meminjam antara orang yang penghasilannya nielebihi

pengeluarannya (untuk konsumsi atau investasi) dengan orang yang pengeluarannya melebihi

penghasilannya, yaitu antara surplus unit dengan defisit unit. Dalam hal ini uang berfungsi seba-

gai alat penyelesaian utang piutang.

3. Uang dan Suku Bunga

Sesuai dengan hukum permintaan pasar, apabila jumlah uang yang disediakan melebihi jumlah

uang yang diminta, maka akan terjadi kelebihan penyediaan uang yang pada akhirnya dapat

mengakibatkan penurunan harga uang atau suku bunga. Dalam ilmu ekonomi moneter, salah satu

teori yang menjelaskan keterkaitan antara suku bunga dengan permintaan/penyediaan dana

(uang) adalah teori dana yang dapat dipinjamkan (the Loanable Fund Theory). Sebaliknya,

apabila jumlah uang yang diminta melebihi jumlah yang disediakan, maka akan dapat

mengakibatkan kenaikan harga uang atau suku bunga. Perlu dijelaskan bahwa suku bunga yang

dimaksud adalah suku bunga keseimbangan pasar, yaitu suku bunga yang mencerminkan

kesesuaian antara suku bunga bunga simpanan (sisi penawaran uang) dan suku bunga pinjaman

(sisi permintaan uang).

Dengan demikian perubahan suku bunga dapat terjadi sebagai akibat adanya perubahan jumlah

uang beredar yang mencerminkan interaksi antara sisi permintaan dan sisi penawaran.

Bagaimana hubungan antara uang dan suku bunga yang terjadi pada perekonomian Indonesia?

Dalam hal ini, pada saat uang beredar berkembang pesat suku bunga mengalami penurunan.

Sebagai contoh pada periode 1999-2000, saat krisis melanda perekonomian Indonesia, hubungan

yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu perkembangan uang beredar yang pesat disertai dengan

suku bunga yang juga tinggi. Mengapa hal ini bisa terjadi? Sebagai contoh: ketika terjadi krisis

ekonomi mencapai puncaknya pada tahun 1998 terjadi kelangkaan dana pada perbankan dalam
80

jumlah besar sebagai akibat penarikan dana oleh masyarakat. Ditambah dengan melemahnya

nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, kepercayaan masyakarat terhadap rupiah semakin

melemah. Untuk menanggulangi keadaan ini, bank-bank umum menaikkan suku bunga secara

drastis untuk menarik dana dari masyarakat. Semakin memburuknya kondisi perekonomian

mendorong pemerintah (Bank Indonesia) untuk menyuntik dana ke pasar dalam jumlah yang

sangat besar, yang menyebabkan peningkatan jumlah uang beredar secara drastis.

4. Uang dan Kegiatan Ekonomi Sektor Riil

Masyarakat pada umumya membutuhkan uang atau dana untuk membiayai kegiatan ekonominya

di sektor riil, seperti produksi, investasi, dan konsumsi. Lalu, apa yang terjadi apabila jumlah

uang yang tersedia sangat terbatas sehingga tidak dapat membiayai kegiatan ekonomi tersebut

sepenuhnya? Mau sebaliknya, apa yang terjadi apabila jumlah uang yang tersedia melimpah,

sementara kegiatan ekonorni relatif kecil untuk dibiayai? Pertanyaan tersebut pada dasarnya

mengarah pada pemahaman bahwa terdapat keterkaitan yang erat antara uang dan kegiatan

ekonomi di sektor riil, seperti yang telah disinggung pada awal subbab ini. Keterkaitan antara

uang dan kegiatan ekonomi paling tidak terjadi dalam jangka pendek. Pengaruh uang terhadap

kegiatan ekonomi di sektor MI pada dasarnya dapat bersifat langsung atau tidak langsung.

Pengaruh tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap perkembangan suku bunga. Apabila

terjadi penambahan jumlah uang beredar, suku bunga akan cenderung turun. Penurunan suku

bunga tersebut akan menurunkan biaya pendanaan kegiatan investasi, yang selanjutnya

mendorong kegiatan investasi dan kegiatan ekonomi pada umumnya.

5. Uang dan Harga

Idealnya, permintaan agregat harus sama dengan penawaran agregat. Bagaimana apabila tidak?

Apabila permintaan agregat tidak sama dengan penawaran agregat, diperlukan penyesuaian
81

kegiatan ekonomi agar terjadi kesesuaian (keseimbangan), yang pada akhirnya dapat

mengakibatkan perubahan harga barang dan jasa. Dalam hal ini, peningkatan permintaan agregat

yang melebihi penawaran agregat akan mendorong kenaikan harga barang dan jasa.

Dengan demikian, mengingat perubahan jumlah uang beredar dapat memengaruhi perkembangan

permintaan agregat, dapat disimpulkan bahwa perubahan jumlah uang beredar dapat

memengaruhi perkembangan harga. Salah satu implikasi Teori Kuantitas Klasik yang terpenting

ialah bahwa dalam jangka pendek tingkat harga umum berubah secara proporsional dengan

perubahan uang yang diedarkan oleh pemerintah. Hal ini berarti bahwa kecenderungan kenaikan

harga umum secara terus-menerus (inflasi) dapat terjadi apabila penambahan jumlah uang

beredar melebihi kebutuhan yang sebenarnya. Dapat dinyatakan secara sederhana bahwa "jumlah

uang beredar bertambah, harga barang-barang naik". Dalam kasus ini, mengingat inflasi sangat

dipengaruhi oleh perkembangan uang beredar, inflasi dikenal sebagai fenomena moneter.

Dalam kasus lain, inflasi yang tinggi dapat beriangsung dalam jangka waktu yang lama, walau-

pun perkembangan jumlah uang beredar relatif rendah. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui

teori Strukturalis yang menyatakan bahwa inflasi dalam jangka waktu panjang lebih disebabkan

oleh adanya kekakuan (ketidakelastisan) struktur perekonomian di negara berkembang, terutama

pada struktur penerimaan ekspor dan produksi bahan makanan dalam negeri. Dengan demikian,

tekanan inflasi akan muncul apabila pertumbuhan sektor ekspor sangat lamban dibandingkan

dengan sektor-sektor lainnya, ataupun produksi bahan makanan dalam negeri kurang memadai.

Pendapat tersebut menempatkan inflasi sebagai fenorriena struktural.

Bagaimana dengan inflasi di Indonesia? Apakah inflasi di Indonesia merupakan fenomena

moneter atau fenornena struktural? Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Mungkin lebih

mudah jika bertanya: sejauh mana fenomena-fenomena tersebut terjadi di Indonesia? Walaupun
82

sulit untuk memilih kedua fenomena tersebut, jawaban atas pertanyaan tersebut dapat diarahkan

pada suatu kesimpulan dengan mencermati beberapa contoh sebagai berikut.

a. Krisis ekonomi yang puncaknya terjadi pada tahun 1998 yang lalu, ketika itu terjadi

kelangkaan dana di perbankan Sebagai akibat penarikan dana oleh masyarakat yang sangat

besar. Diperberat lagi dengan semakin melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap

rupiah. Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah (Bank Indonesia) menyuntik dana ke

pasar dalam jumlah yang sangat besar dalam beberapa waktu, yang selanjutnya berakibat

melonjaknya inflasi beberapa saat kemudian. Demikian pula selanjutnya, pertumbuhan uang

beredar mereda, inflasi juga kembali melemah.

b. Pelonjakan harga-harga barang secara langsung sesaat setelah Pemerintah mengumumkan

beberapa kebijakan, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik,

tarif angkutan. Kebijakan lain yang ditempuh adalah menaikkan gaji pegawai negeri sipil

(PNS) dan upah minimum regional (UMR) juga turut berpengaruh terhadap kenaikan harga

barang-barang di masyarakat. Ditarnbah lagi kenaikan harga makanan sebagai akibat banjir

yang melanda di mana-mana, yang mengakibatkan tersendatnya pasokan kebutuhan bahan

pokok ke daerah tertentu, dan keadaan ini berlangsung setiap tahun.

Berdasarkan beberapa contoh di atas, secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa inflasi di

Indonesia merupakan fenomena moneter. Namun, dapat pula dikatakan berdasarkan kedua

contoh di atas bahwa inflasi di Indonesia merupakan fenomena struktural. Dengan demikian,

kedua fenomena yang terjadi merupakan kasus perekonomian di Indonesia.

6. Pengaruh Penting dari Penggunaan Uang

Pengaruh penting penggunaan uang dalam perekonomian, yaitu sebagai berikut.


83

a. Penggunaan uang melancarkan pertukaran memajukan spesialisasi kerja, mendorong

tabungan, maupun investasi. Maka adanya uang menaikkan pendapatan nasional yang berarti

jumlah barangatau jasa yang dapat dihasilkan masyarakat menjadi lebih besar. Ini juga berarti

bahwa untuk tingkat pendapatan nasional tertentu diperlukan adanya jumlah uang beredar

tertentu dan penambahan jumlah uang beredar sampai suatu tingkat tertentu yang akan

menaikkan pendapatan

b. Penggunaan uang sebagai satuan hitung untuk menyatakan nilai barang, menciptakan harga

di pasar barang atau jasa. Di samping tingkat pendapatan nasional, jumlah uang beredar

juga memengaruhi tingkat harga. Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap perubahan

jumlah uang dalam perekonomian cenderung untuk memengaruhi tingkat pendapatan

nasional dan harga

c. Dengan majunya transaksi pinjam-meminjam antara surplus units dengan defisit units, uang

sebagai suatu financial assets yang paling likuid, timbul financial aspect lainnya yang.

merupakan utang atau financial liabilities.

7. Pengendalian Jumlah Uang Beredar

Pengendalian jumlah uang beredar pada dasarnya merupakan salah satu bagian dari kerangka

kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh otoritas moneter. Sesuai dengan tujuan kebijakan mo-

neter, pengendalian jumlah uang beredar pada umumnya ditujukan untuk menjaga kestabilan

nilai uang dan mendorong kegiatan ekonomi. Adapun yang dimaksud dengan pengendalian di

sini adalah upaya otoritas moneter, baik untuk menambah jumlah uang beredar (kebijakan

ekspansi moneter), maupun mengurangi jumlah uang yang beredar (kebijakan konstraksi

moneter). Pengendalian jumlah uang beredar tersebut juga mempunyai peranan yang sangat

strategis dalam kerangka kebijakan ekonomi makro. Hal ini disebabkan oleh keterkaitani yang
84

erat antara uang dengan variabel-variabel ekonomi lainnya, seperti suku bunga, output, dan

harga. Dengan mengendalikan jumlah uang beredar tersebut, otoritas moneter akan dapat

memengaruhi nilai uang sedemikian rupa sehingga perkembangannya akan mampu mendorong

perekonomian ke arah yang diinginkan sesuai dengan sasaran akhir yang ditetapkan, seperti

inflasi yang rendah dan atau pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Berkaitan dengan hal di atas, bagaimana 4onya, dengan pengendalian jumlah uang beredar di

Indonesia? Sesuai dengan UU No 23 Tahuri 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia

meriipalcan otoritas moneter yang mempunyai taps menetapkan dan melaksanakan kebijakan

moneter, antara lain mengendalikan jumlah uang beredar. Pengendalian jumlah uang beredar

dianggap cukup relevan, terutama bila dikaitkan dengan_arah baru penerapan kebijakan moneter

di Indonesia yang menelcankan pada pencapaian sasaran tunggkyaitu kestabilan nilai rupiah

(harga).Praktiknya, pengendalian jumlah uang beredar yang optimal sangatlah sulit dilakukan.

Namun demikian setidaknya, terdapat tiga faktor yang menyebabkan sulitnya pengendalian

jumlah uang beredar tersebut. Faktor pertama adalah adanya unsur-unsur yang bersifat

kontradiktif pada pencapaian sasaran kebijakan. Misalnya, Bank Inrjneelakukan kebijakan

ekspansi moneter untuk mendorong kegiatan ekonomi yang sedang lesu—ritbdakan bid biasanya

berdampak pada meningkatnya inflasi. Sebahknya, apabila diambil kebijaanSkisi moneter untuk

meredam laju inflasi tersebut, perkembangan kegiatan ekonomi diperkla Akan terhambat. Faktor

kedua adalah sulitnya memprediksi dan mengendalikan permintaan uang masyarakat. Seperti

yang telah dijelaslcan sebelumnya, perilaku permintaan uang masyarakat tergantung pada

beberapa motif yang beragam. Sejalan dengan pesatnya perkembangan dan inovasi sektor

keuangan dan keterbukaan perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, perilaku

tersebut cenderung tidak stabil sehingga sulk untuk diprediksi dan dilcendalikan. Faktor ketiga
85

adatalt sulitnya memprediksi perilaku angica pelipat ganda uang. Sebagaimana perkembangan

prmintaan-aang; perilaku angka pelipat ganda uang juga cenderung tidak stabil sehingga sulit

untuk diperhitungkan.
86

BAB IV

BANK INDONESIA

A. Pengertian BANK INDONESIA

Bank Indonesia (BI, dulu disebut De Javasche Bank) adalah bank sentral Republik

Indonesia. Sebagai bank sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan

memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu

kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara

lain.

Untuk mencapai tujuan tersebut BI didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang

tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,

mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan

di Indonesia. Ketiganya perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan

nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien. Setelah tugas mengatur dan mengawasi

perbankan dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, tugas BI dalam mengatur dan mengawasi

perbankan tetap berlaku, namun difokuskan pada aspek makroprudensial sistem perbankan

secara makro. BI juga menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki hak untuk

mengedarkan uang di Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya BI dipimpin oleh

Dewan Gubernur. Sejak 2013, Agus Martowardojo menjabat sebagai Gubernur

BI menggantikan Darmin Nasution.

B. Sejarah Bank Indonesia

Pada 1828 De Javasche Bank didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bank

sirkulasi yang bertugas mencetak dan mengedarkan uang. Tahun 1953, Undang-Undang Pokok

Bank Indonesia menetapkan pendirian Bank Indonesia untuk menggantikan fungsi De Javasche
87

Bank sebagai bank sentral, dengan tiga tugas utama di bidang moneter, perbankan, dan sistem

pembayaran. Di samping itu, Bank Indonesia diberi tugas penting lain dalam hubungannya

dengan Pemerintah dan melanjutkan fungsi bank komersial yang dilakukan oleh DJB

sebelumnya.

Pada tahun 1968 diterbitkan Undang-Undang Bank Sentral yang mengatur kedudukan

dan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral, terpisah dari bank-bank lain yang melakukan

fungsi komersial. Selain tiga tugas pokok bank sentral, Bank Indonesia juga bertugas membantu

Pemerintah sebagai agen pembangunan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta

memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.

Tahun 1999 merupakan Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia, sesuai dengan UU

No.23/1999 yang menetapkan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara

kestabilan nilai rupiah.

Pada tahun 2004, Undang-Undang Bank Indonesia diamandemen dengan fokus pada

aspek penting yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia, termasuk

penguatan governance. Pada tahun 2008, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang No.2 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang

No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas sistem

keuangan. Amandemen dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan perbankan nasional dalam

menghadapi krisis global melalui peningkatan akses perbankan terhadap Fasilitas Pembiayaan

Jangka Pendek dari Bank Indonesia.

C. Status dan Kedudukan Bank Indonesia

1) Sebagai Lembaga Negara yang Independen


88

Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dimulai

ketika sebuah undang-undang baru, yaitu Undang-Undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia,

dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999. Undang-undang ini memberikan status dan

kedudukan sebagai suatu lembaga negara independen dan bebas dari campur

tangan pemerintah ataupun pihak lainnya. Sebagai suatu lembaga negara yang independen, Bank

Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan

wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak

dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga

berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak

manapun juga. Untuk lebih menjamin independensi tersebut, undang-undang ini telah

memberikan kedudukan khusus kepada Bank Indonesia dalam struktur ketatanegaraan Republik

Indonesia. Sebagai Lembaga negara yang independen kedudukan Bank Indonesia tidak sejajar

dengan Lembaga Tinggi Negara. Disamping itu, kedudukan Bank Indonesia juga tidak sama

dengan Departemen, karena kedudukan Bank Indonesia berada di luar Pemerintah. Status dan

kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan

fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien.

2) Sebagai Badan Hukum

Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan

hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik Bank Indonesia

berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-

undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai

badan hukum perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam

maupun di luar pengadilan.


89

D. Tujuan dan Tugas Bank Indonesia

Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan

tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini

mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta

kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama tercermin pada perkembangan

laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap

mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran

yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian,

tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.

Tiga Pilar Utama

Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga

bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah:

 Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.

 Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta

 Mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia.

E. Pengaturan dan Pengawasan Bank

Dalam rangka tugas mengatur dan mengawasi perbankan, Bank Indonesia menetapkan

peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari

bank, melaksanakan pengawasan atas bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pelaksanaan tugas ini, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-

ketentuan perbankan dengan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian.


90

Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, selain memberikan dan mencabut izin usaha

bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan

kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, serta

memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.

Di bidang pengawasan, Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung maupun tidak

langsung. Pengawasan langsung dilakukan baik dalam bentuk pemeriksaan secara berkala

maupun sewaktu-waktu bila diperlukan. Pengawasan tidak langsung dilakukan melalui

penelitian, analisis dan evaluasi terhadap laporan yang disampaikan oleh bank.

F. Upaya Restrukturisasi Perbankan

Sebagai upaya membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan

dan perekonomian Indonesia, Bank Indonesia telah menempuh

langkah restrukturisasi perbankan yang komprehensif. Langkah ini mutlak diperlukan guna

memfungsikan kembali perbankan sebagai lembaga perantara yang akan mendorong

pertumbuhan ekonomi, disamping sekaligus meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan

moneter. Restrukturisasi perbankan tersebut dilakukan melalui upaya memulihkan kepercayaan

masyarakat, program rekapitalisasi, program restrukturisasi kredit, penyempurnaan ketentuan

perbankan, dan peningkatan fungsi pengawasan bank.

G. Otoritas Moneter BI

Sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai wewenang untuk memutuskan dan

melaksanakan kebijakan moneter yang tepat. Kebijakan itu bisa berupa Open Market

Operation, Discount Policy, Sanering, danSelective Credit.

Sistem Pembayaran
91

Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah adalah tujuan Bank Indonesia sebagaimana

diamanatkan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Untuk menjaga

stabilitas rupiah itu perlu disokong pengaturan dan pengelolaan akan kelancaran Sistem

Pembayaran Nasional (SPN). Kelancaran SPN ini juga perlu didukung oleh infrastruktur yang

handal (robust). Jadi, semakin lancar dan hadal SPN, maka akan semakin lancar

pula transmisi kebijakan moneter yang bersifat time critical. Bila kebijakan moneter berjalan

lancar maka muaranya adalah stabilitas nilai tukar.

BI adalah lembaga yang mengatur dan menjaga kelancaran SPN. Sebagai otoritas

moneter, bank sentral berhak menetapkan dan memberlakukan kebijakan SPN. Selain itu, BI

juga memiliki kewenangan memeberikan persetujuan dan perizinan serta melakukan pengawasan

(oversight) atas SPN. Menyadari kelancaran SPN yang bersifat penting secara sistem

(systemically important), bank sentral memandang perlu menyelenggarakan

sistem settlement antar bank melalui infrastruktur BI-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).

Selain itu masih ada tugas BI dalam SPN, misalnya, peran sebagai penyelenggara

sistem kliring antarbank untuk jenis alat-alat pembayaran tertentu. Bank sentral juga adalah satu-

satunya lembaga yang berhak mengeluarkan dan mengedarkan alat pembayaran tunai seperti

uang rupiah. BI juga berhak mencabut, menarik hingga memusnahkan uang rupiah yang sudah

tak berlaku dari peredaran.

Berbekal kewenangan itu, BI pun menetapkan sejumlah kebijakan dari komponen SPN

ini. Misalnya, alat pembayaran apa yang boleh dipergunakan di Indonesia. BI juga menentukan

standar alat-alat pembayaran tadi serta pihak-pihak yang dapat menerbitkan dan/atau memproses

alat-alat pembayaran tersebut. BI juga berhak menetapkan lembaga-lembaga yang dapat

menyelenggarakan sistem pembayaran. Ambil contoh, sistem kliring atau transfer dana, baik
92

suatu sistem utuh atau hanya bagian dari sistem saja. Bank sentral juga memiliki kewenangan

menunjuk lembaga yang bisa menyelenggarakan sistem settlement. Pada akhirnya BI juga mesti

menetapkan kebijakan terkait pengendalian risiko, efisiensi serta tata kelola (governance) SPN.

Di sisi alat pembayaran tunai, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang

untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan

uang dari peredaran. Terkait dengan peran BI dalam mengeluarkan dan mengedarkan uang, Bank

Indonesia senantiasa berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan uang kartal di masyarakat baik

dalam nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang

layak edar (clean money policy). Untuk mewujudkan clean money policy tersebut, pengelolaan

pengedaran uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dilakukan mulai dari pengeluaran uang,

pengedaran uang, pencabutan dan penarikan uang sampai dengan pemusnahan uang.

Sebelum melakukan pengeluaran uang Rupiah, terlebih dahulu dilakukan perencanaan

agar uang yang dikeluarkan memiliki kualitas yang baik sehingga kepercayaan masyarakat tetap

terjaga. Perencanaan yang dilakukan Bank Indonesia meliputi perencanaan

pengeluaran emisi baru dengan mempertimbangkan tingkat pemalsuan, nilai intrinsik serta masa

edar uang. Selain itu dilakukan pula perencanaan terhadap jumlah serta komposisi pecahan

uang yang akan dicetak selama satu tahun kedepan. Berdasarkan perencanaan tersebut kemudian

dilakukan pengadaan uang baik untuk pengeluaran uang emisi baru maupun pencetakan rutin

terhadap uang emisi lama yang telah dikeluarkan.

Uang Rupiah yang telah dikeluarkan tadi kemudian didistribusikan atau diedarkan di

seluruh wilayah melalui Kantor Bank Indonesia. Kebutuhan uang Rupiah di setiap kantor Bank

Indonesia didasarkan pada jumlah persediaan, keperluan pembayaran, penukaran dan

penggantian uang selama jangka waktu tertentu. Kegitan distribusi dilakukan melalui
93

sarana angkutan darat, laut dan udara. Untuk menjamin keamanan jalur distribusi senantiasa

dilakukan baik melalui pengawalan yang memadai maupun dengan peningkatan sarana sistem

monitoring.

Kegiatan pengedaran uang juga dilakukan melalui pelayanan kas kepada bank umum

maupun masyarakat umum. Layanan kas kepada bank umum dilakukan melalui

penerimaan setoran dan pembayaran uang Rupiah. Sedangkan kepada masyarakat dilakukan

melalui penukaran secara langsung melalui loket-loket penukaran di seluruh kantor Bank

Indonesia atau melalui kerjasama dengan perusahaan yang menyediakan jasa penukaran uang

kecil.

Lebih lanjut, kegiatan pengelolaan uang Rupiah yang dilakukan Bank Indonesia adalah

pencabutan uang terhadap suatu pecahan dengan tahun emisi tertentu yang tidak lagi berlaku

sebagai alat pembayaran yang sah. Pencabutan uang dari peredaran dimaksudkan untuk

mencegah dan meminimalisasi peredaran uang palsu serta menyederhanakan komposisi dan

emisi pecahan. Uang Rupiah yang dicabut tersebut dapat ditarik dengan cara menukarkan ke

Bank Indonesia atau pihak lain yang telah ditunjuk oleh Bank Indonesia.

Sementara itu untuk menjaga menjaga kualitas uang Rupiah dalam kondisi yang layak edar di

masyarakat, Bank Indonesia melakukan kegiatan pemusnahan uang. Uang yang dimusnahkan

tersebut adalah uang yang sudah dicabut dan ditarik dari peredaran, uang hasil cetak kurang

sempurna dan uang yang sudah tidak layak edar. Kegiatan pemusnahan uang diatur melalui

prosedur dan dilaksanakan oleh jasa pihak ketiga yang dengan pengawasan oleh tim Bank

Indonesia (BI).

H. Dewan Gubernur BI
94

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan

Gubernur. Dewan ini terdiri atas seorang Gubernur sebagai pemimpin, dibantu oleh seorang

Deputi Gubernur Senior sebagai wakil, dan sekurang-kurangnya empat atau sebanyak-banyaknya

tujuh Deputi Gubernur. Masa jabatan Gubernur dan Deputi Gubernur selama-lamanya lima

tahun, dan mereka hanya dapat dipilih untuk sebanyak-banyaknya dua kali masa tugas.

Pengangkatan dan Pemberhentian Dewan Gubernur

Gubernur dan Deputi Gubernur Senior diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan

persetujuan DPR. Sementara Deputi Gubernur diusulkan oleh Gubernur dan diangkat

oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia tidak dapat

diberhentikan oleh Presiden, kecuali bila mengundurkan diri, berhalangan tetap, atau melakukan

tindak pidana kejahatan.

Pengangkatan dan Pemberhentian Dewan Gubernur

Gubernur dan Deputi Gubernur Senior diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan

persetujuan DPR. Sementara Deputi Gubernur diusulkan oleh Gubernur dan diangkat

oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia tidak dapat

diberhentikan oleh Presiden, kecuali bila mengundurkan diri, berhalangan tetap, atau melakukan

tindak pidana kejahatan.

I. Hubungan hukum antara OJK dengan BI

Adanya OJK, fungsi pengawasan lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank akan

diambil alih OJK. Sementara Bank Indonesia sebagai Bank Sentral hanya berperan sebagai

regulator kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas moneter. Dengan demikian pembentukan

OJK akan berdampak pada perubahan atas empat peraturan perundang-undangan terkait dengan
95

asuransi, pasar modal, perbankan, serta Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan

lainnya. Secara substansi keberadaan OJK harus dapat menjembatani kepentingan setiap

regulator pengawasan saat ini.

Tugas OJK sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK

yaitu : Melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di

sektor perbankan; kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; kegiatan jasa keuangan di

sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah, yang dapat diartikan bahwa OJK tidak

menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya

unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya OJK merupakan otoritas di sektor

jasa keuangan yang mempunyai relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal

ini otoritas fiskal (Menteri Keuangan) dan otoritas moneter (Bank Indonesia).

Berdasarkan ketentuan Pasal 69 ayat (1) huruf (a) UU No. 21 Tahun 2011 menegaskan

bahwa tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank yang dialihkan ke OJK

adalah tugas pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan microprudential, sedangkan

Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan perbankan terkait macroprudential. Berkaitan

dengan hal tersebut, tugas pengaturan perbankan tidak sepenuhnya dilaksanakan secara

independen oleh OJK, karena pengaturan microprudential danmacroprudential akan sangat

berkaitan. Dengan demikian dapat dilihat bahwa OJK masih memiliki ”hubungan khusus”

dengan Bank Indonesia terutama dalam pengaturan dan pengawasan perbankan.

Amanat pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia secara jelas telah

disebutkan dalam Undang-Undang Bank Indonesia yang merupakan Undang-Undang Organik

sebagai pelaksanaan dari Pasal 23 D UUD 1945, sehingga nampak terdapat materi sisipan untuk
96

pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (sekarang disebut dengan Otoritas Jasa

Keuangan). Hal tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dimana OJK memiliki kewenangan terhadap

beberapa sektor penting penunjang perekonomian Indonesia antara lain : Lembaga perbankan;

Pasar Modal; Perasuransian; dana pensiun dan lembaga pembiayaan.

Selanjutnya OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa

keuangan :

a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel;

b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan

c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Apabila dilihat dari sistematika Undang-Undang Bank Indonesia, Pasal 34 Undang-

Undang Bank Indonesia berada dalam lingkup Bab VI tentang Tugas Mengatur dan Mengawasi

Bank, sementara lingkup OJK tidak hanya dibatasi untuk melakukan pengawasan terhadap bank,

namun juga pengawasan terhadap lembaga keuangan lain yang bukan merupakan kewenangan

Bank Indonesia seperti lembaga asuransi, dana pensiun, sekuritas (pasar modal), modal ventura,

dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana

masyarakat. Berdasarkan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia terdapat

pembagian tugas dalam melaksanakan pengawasan perbankan, yaitu tugas mengatur bank

dilaksanakan oleh Bank Indonesia, sementara tugas mengawasi bank dilaksanakan oleh OJK.

Namun praktiknya, pada saat pemerintah mengajukan RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan

(OJK) terlihat jelas bahwa OJK mempunyai kewenangan lebih luas, yaitu tidak semata-

mata hanya kewenangan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 Undang-Undang Bank

Indonesia, namun meliputi seluruh tugas Bank Indonesia terkait pengaturan dan pengawasan
97

bank sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 8 huruf (c) Undang-Undang Bank Indonesia akan

beralih kepada OJK.

Adanya OJK, fungsi pengawasan lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank akan

diambil alih OJK. Sementara Bank Indonesia sebagai Bank Sentral hanya berperan sebagai

regulator kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas moneter. Apabila ditinjau dari sejarah,

Undang-Undang No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral menyatakan bahwa Bank Sentral

berkewajiban untuk membina dan mengawasi perbankan di Indonesia, baik dari sudut ekonomi

perusahaan terutama dengan jalan pengaturan dan penjagaan likuiditas dan solvabilitas bank,

maupun dari sudut moneter dengan jalan pengaturan dan pengawasan terhadap pemberian kredit

bank.Sementara itu, pengawasan terhadap lembaga keuangan non bank dilakukan oleh

Departemen Keuangan.

Lembaga keuangan di Indonesia, selain perbankan terdapat Lembaga Keuangan Bukan

Bank (LKBB). Sebagaimana diketahui definisi LKBB berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Keuangan No.792 Tahun 1990 adalah semua badan yang memiliki kegiatan di bidang keuangan

berupa penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama untuk membiayai

investasi perusahaan. Pembinaan dan pengawasan serta kebijakan perizinan terhadap LKBB

dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini dilakukan oleh Departemen Keuangan.

Kegiatan utama lembaga keuangan adalah menghimpun dan menyalurkan dana, namun

dengan berjalannya waktu, berkembang pula kegiatan yang dilakukan oleh LKBB tidak hanya

melakukan kegiatan berupa pembiayaan investasi perusahaan, namun telah berkembang menjadi

pembiayaan untuk antara lain kegiatan konsumsi dan distribusi barang dan jasa. LKBB di

Indonesia antara lain adalah pasar modal, asuransi, pegadaian, perusahaan pembiayaan, dan dana

pensiun.
98

Adanya LKBB yang semakin berkembang, maka kebijakan moneter yang akan

diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter menghadapi tantangan yang berat

karena berbagai faktor yang mendukung kebijakan moneter mengalami perkembangan yang luar

biasa antara lain makin kompleksnya sistem keuangan, yaitu lembaga keuangan baru terutama

terkait dengan berkembangnya pasar modal sebagai sumber pendanaan alternatif bagi

perusahaan.

Dalam hal pendanaan bagi masyarakat, hubungan antara perbankan dan pasar modal

sangat erat. Apabila masyarakat menghadapi kesulitan dalam pengambilan kredit di bank, karena

misalnya persyaratan yang ketat, maka masyarakat dapat mencari alternatif salah satunya dengan

mengambil dana dari pasar modal. Perkembangan pasar modal yang sangat pesat akan berimbas

pada sektor moneter, oleh karenanya perlu pengaturan yang jelas antara perbankan dan pasar

modal.

Koordinasi antara kebijakan moneter dengan pasar modal akan mempengaruhi kebijakan

moneter. Dalam hal ini, apabila perbankan mengalami kesulitan likuiditas, maka Bank Indonesia

berperan sebagai LoLR (sumber pemberi pinjaman terakhir), namun dalam pasar modal tidak ada

badan yang berperan sebagai LoLR (sumber pemberi pinjaman terakhir).

Harapan ke depan terdapat pembagian tugas untuk badan yang berperan sebagai sumber

dana atau LoLR (sumber pemberi pinjaman terakhir), yaitu pasar modal diharapkan bertindak

sebagai sumber dana investasi jangka panjang bagi perusahaan, sementara perbankan berperan

sebagai sumber dana menengah dan jangka pendek.

Setelah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral diganti dengan

Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, maka tugas Bank Indonesia adalah

menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha
99

tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan. Bahkan secara tegas disebutkan pula bahwa dalam

rangka pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan bank, Bank Indonesia diberikan

wewenang untuk menetapkan peraturan dan perizinan bagi kelembagaan dan kegiatan usaha

bank serta mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank

Indonesia telah mengamanatkan bahwa tugas pengawasan dan pengaturan diserahkan kepada

Bank Indonesia. Apabila tugas pengaturan dan pengawasan diserahkan kepada dua lembaga yang

berbeda akan mengakibatkan suatu kerancuan, karena pada prinsipnya adalah lembaga yang

mengatur adalah juga merupakan lembaga yang mengawasi.

Dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 (Undang-Undang Perbankan) disebutkan bahwa

tugas mengatur diartikan dengan pembinaan yang merupakan upaya menciptakan peraturan yang

menyangkut aspek kelembagaan, kepemilikan, kepengurusan, kegiatan usaha, pelaporan, serta

aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional bank.

Pendapat dari Pengamat Ekonomi Aviliani menilai bahwa pemberlakuan OJK saat ini belum

diperlukan, karena berdasarkan pengalaman di beberapa Negara, penerapan OJK tidaklah terlalu

efektif atau bahkan gagal, sehingga kebijakan sektor keuangan seharusnya tetap ditangani oleh

otoritas moneter, Bank Indonesia, apabila pihak lain yang menangani, maka kebijakan akan

semakin lambat.

Hal senada dikemukakan oleh Ryan Kiryanto, pengamat perbankan,yang menilai

pengawasan perbankan di bawah Bank Indonesia justru lebih baik apabila seluruh kegiatan di
100

sektor perbankan dipegang oleh OJK, sebab kondisi perbankan sangat dekat dengan kebijakan

moneter yang menjadi otoritasnya Bank Indonesia. Lebih lanjut dikemukakan bahwa OJK yang

diterapkan di Inggris dan Hongaria terbukti gagal, bahkan di Australia yang sebagian

pengawasan dilakukan Bank Sentral dan sebagian lagi dilakukan oleh OJK, tetap juga gagal,

sehingga perlu tidaknya OJK harus dibahas lebih dalam lagi. Apabila OJK tetap direalisasikan,

maka lembaga ini akan terkesan superbodi, sebab lembaga tersebut tidak hanya mengawasi bank,

tetapi juga mengawasi lembaga keuangan yang jumlahnya sangat banyak.

Hal senada ditambahkan oleh Aviliani, yang menegaskan penolakan atas pembentukan

OJK, sebab dikhawatirkan laporan dari bank akan lama dikelola OJK, karena lembaga OJK tidak

hanya mengawasi perbankan, tapi seluruh lembaga keuangan, sehingga sistem pengawasan

menjadi tidak fokus. Dalam rangka memperbaiki pengawasan perbankan, tidak perlu dibentuk

OJK, namun Bank Indonesia harus melakukan berbagai perubahan, seperti mendorong bank-

bank untuk go public, mengintegrasikan pengawasan bank dan anak-anak usahanya, dan

melarang beroperasi bank milik keluarga.

Pendapat serupa disampaikan oleh Darmin Nasution, Gubernur Bank Indonesia, yang

menyampaikan bahwa di semua Negara dalam aspek stabilitas keuangan, pengawasan bank

berada di Bank Sentral, dengan pertimbangan bahwa yang paling siap untuk bertindak ketika ada

ancaman stabilitas sistem keuangan adalah Bank Sentral.

Sementara itu, Bank Indonesia mempunyai prinsip bahwa model pengawasan bank yang

paling cocok adalah oleh Bank Sentral. Namun, apabila OJK tetap dibentuk dan sistem

pengawasan bank sudah menjadi kewenangan OJK sepenuhnya, maka Bank Indonesia tetap

memiliki keleluasaan mengakses data perbankan secara cepat dan akurat. Hal tersebut sangat

penting untuk mendukung fungsi Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan mata uang rupiah
101

dan sebagai LoLR (sumber pemberi pinjaman terakhir) dalam rangka menyelamatkan sistem

keuangan.

Bank Indonesia memerlukan informasi yang memadai terhadap lembaga keuangan yang

sistemik, untuk mempercepat penyaluran likuiditas, mengingat faktor kecepatan dan ketepatan

dalam pemberian bantuan kepada bank yang tengah menghadapi krisis likuiditas sangat penting

dan transaksi pembayaran antar bank terjadi dalam hitungan detik. Untuk itu maka dengan

adanya pemisahan fungsi pengawasan bank dari Bank Indonesia, dapat saja berdampak pada

kurang optimalnya peran Bank Indonesia dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelaksana

kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan.

Hal berbeda dikemukan oleh Novri Irza Hidayattullah, praktisi perbankan, yang

mengemukakan bahwa idealnya fungsi pengawasan harus lepas dari Bank Indonesia, sehingga

Bank Indonesia akan fokus pada pemegang otoritas moneter termasuk menjaga stabilitas nilai

tukar dan inflasi yang sesuai bagi perekonomian.

Terlepas dari beberapa pendapat tersebut di atas, pembentukan OJK tersebut yang pasti

akan berdampak pada perubahan atas empat peraturan perundang-undangan terkait dengan

asuransi, pasar modal, perbankan, serta Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan

lainnya. Secara substansi keberadaan OJK harus dapat menjembatani kepentingan setiap

regulator pengawasan saat ini.

Tugas OJK sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK yaitu :

Melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap :

a. Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan;

b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal;


102

c. Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan

lembaga jasa keuangan lainnya.

Secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah, yang dapat diartikan bahwa OJK

tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan

adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya OJK merupakan otoritas di

sektor jasa keuangan yang mempunyai relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain,

dalam hal ini otoritas fiskal (Menteri Keuangan) dan otoritas moneter (Bank Indonesia).

Disadari bahwa berbagai krisis ekonomi dan kemudian pada akhirnya terjadi krisis global

yang menerpa Indonesia, telah memberikan pelajaran penting terkait dengan fungsi pengawasan

bank pada Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.

Kegagalan di bidang pengawasan perbankan tersebut dijadikan sebagai tolok ukur untuk

membentuk lembaga pengawasan bank.

Dalam rangka memperkuat pengawasan sektor keuangan tersebut kemudian dibentuk

OJK, dengan harapan pengawasan terhadap lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank

menjadi lebih baik. Adapun pembentukan OJK disesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 34

Undang-Undang Bank Indonesia, akibatnya model OJK yang tidak sesuai dengan ketentuan

Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia akan dianggap melanggar Undang-Undang.

Konsep dibentuknya lembaga pengawasan di Indonesia yang dipilih adalah otoritas

penuh. Kewenangan pengawasan terhadap perbankan, pasar modal, dan LKBB berada dalam

satu lembaga, sehingga tiga otoritas pengawasan yaitu pasar modal, perbankan, dan LKBB akan

bergabung menjadi satu otoritas yang bersifat independen. Artinya Bank Sentral hanya memiliki

kebijakan moneter tanpa berwenang melakukan pengawasan bank. Agar Bank Sentral tetap

mendapatkan informasi mengenai kondisi bank, maka Bank Sentral berkoordinasi dengan
103

otoritas pengawasan tersebut dengan cara Bank Sentral menempatkan pejabatnya secara ex

officio sebagai anggota Dewan Komisioner otoritas pengawasan sekaligus sebagai Chief

Supervisory Officer (CSO).

Saat ini dirasakan kebutuhan atas sistem pengawasan satu pintu menjadi penting, baik

terhadap lembaga keuangan bank maupun LKBB, mengingat banyak produk dari LKBB

dipasarkan melalui industri perbankan, sehingga akan memudahkan dalam pemeriksaannya.

Namun demikian, pembentukan OJK sebagai lembaga pengawasan tersebut harus merupakan

lembaga yang independen tidak berada di bawah Pemerintah, untuk menjamin lembaga tersebut

bebas dari intervensi politik atau kepentingan.

Selain itu, untuk menghindarkan adanya conflict of interest, mengingat Pemerintah

memiliki pula saham di beberapa bank di Indonesia. Sesuai dengan amanat Pasal 34 Undang-

Undang Bank Indonesia, maka untuk mewujudkan independensi sebagaimana diamanatkan

dalam Undang-Undang Bank Indonesia, maka lembaga pengawasan tersebut harus independen,

sehingga harus bertanggung jawab kepada DPR bukan kepada Presiden. Pemisahan fungsi

pengawasan perbankan dari Bank Indonesia harus pula didukung dengan sistem hukum yang

baik untuk menjamin adanya koordinasi antara otoritas perbankan dan otoritas moneter.

Pasal 39 UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, mengatur bahwa OJK berkoordinasi

dengan Bank Indonesia dalam menyusun pengaturan tertentu terkait dengan pengawasan di

bidang perbankan. Kemudian, Pasal 40 UU No. 21 Tahun 2011 lebih lanjut mengatur bahwa

untuk melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, misalnya dalam rangka penyusunan

peraturan pengawasan, Bank Indonesia tetap berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap

bank dengan menyampaikan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.


104

Selanjutnya Pasal 69 ayat (1) huruf (a) UU No. 21 Tahun 2011 menegaskan bahwa tugas

Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank yang dialihkan ke OJK adalah tugas

pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan microprudential, sedangkan Bank Indonesia

tetap memiliki tugas pengaturan perbankan terkait macroprudential. Berkaitan dengan hal

tersebut, jelas bahwa tugas pengaturan perbankan tidak sepenuhnya dilaksanakan secara

independen oleh OJK, karena pengaturan microprudential dan macroprudential akan sangat

berkaitan.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa OJK masih memiliki ”hubungan khusus” dengan

Bank Indonesia terutama dalam pengaturan dan pengawasan perbankan. Dapat dijelaskan bahwa

bagaimanapun Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, dimana sebelum keluarnya UU OJK dan

pengalihan pada akhir bulan Desember Tahun 2013 yang akan datang, Bank Indonesia masih

mengemban dan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank dan memiliki

pengalaman lebih lama dalam mengatur dan mengawasi perbankan sehingga masukan

pengaturan yang disampaikan oleh Bank Indonesia akan memliki pengaruh yang besar dalam

pengaturan yang dilakukan oleh OJK.

Selain itu, ”hubungan khusus” antara OJK dengan Bank Indonesia lainnya dapat dilihat

dalam Pasal 41 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011, dimana OJK menginformasikan kepada Bank

Indonesia untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan terkait dengan kesulitan likuiditas

atau memburuknya kesehatan pada bank. Adapun yang dimaksud dengan langkah-langkah

tersebut yaitu pemberian fasilitas pembiayaan jangka pendek dalam menjalankan fungsi Bank

Indonesia sebagai ”lender of the last resort” (LoLR).

Berdasarkan hal tersebut, maka apabila bank mengalami kesulitan likuiditas atau

memburuknya kesehatan bank, maka Bank Indonesia dapat memberikan kredit kepada bank
105

dengan jaminan agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Dengan demikian, tidak dapat

dipungkiri bahwa keberadaan Bank Indonesia sebagai LoLR masih sangat diperlukan disektor

perbankan dan OJK nantinya masih akan bergantung kepada Bank Indonesia khususnya yang

terkait dengan penyelamatan bank.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikaji bahwa Independensi OJK secara

kelembagaan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, khususnya dalam sektor

perbankan harus dilaksanakan dengan lebih optimal, karena masih terdapat hubungan yang

sangat erat antara OJK dengan Bank Indonesia. Dengan demikian

meskipun pengawasan perbankan telah beralih kepada OJK sebaga lembaga

pengawasan, namun Bank Indonesia tetap memiliki kewenangan dan akses terhadap data dan

informasi dari lembaga-lembaga perbankan.

Oleh karena itu Undang-Undang Bank Indonesia perlu diamandemen, khususnya terkait

dengan (1) kewajiban bank untuk menyampaikan laporan-laporan kepada Bank Indonesia terkait

dengan kelancaran pelaksanaan tugas di bidang kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan

stabilitas sistem keuangan, (2) pengaturan fungsi Bank Indonesia di bidang stabilitas sistem

keuangan termasuk kewenangan untuk memantau (surveilance), memeriksa bank dalam rangka

pelaksanaan tugas moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan.

Pembentukan otoritas pengawasan haruslah menjadi solusi permasalahan sistem keuangan

selama ini, bukan sebaliknya, justru menjadi permasalahan baru. Dewasa ini, perkembangan

lembaga keuangan sangat pesat dan menjadikan permasalahan dalam sistem keuangan semakin

kompleks karena semakin terintegrasinya antara sub sistem pasar uang, pasar modal, pasar

saham, pasar komoditas, berikut derivasi produknya, semuanya ini memerlukan lembaga
106

pengawas yang andal, transparan, akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan), dan kredibel

(dipercaya).

Konsep ke depan, dengan belajar dari pengalaman kasus Bank Century sebagai pelajaran

berharga, pengalaman saat krisis moneter Tahun 1997 – 1998, dan krisis keuangan global yang

meruntuhkan lembaga-lembaga keuangan terkemuka di dunia, serta pengalaman Negara maju

dalam mengatasi krisis keuangannya, maka yang harus dilakukan adalah merespons persoalan

krisis yang dihadapi karena ke depan yang diperlukan adalah penguatan koordinasi, bukan hanya

mengambil alih tugas pengawasan bank yang telah ada yang dirasakan masih kurang efektif

untuk menjaga kelangsungan usaha individual bank ataupun merespon pencegahan krisis atau

meminimalkan dampak krisis.

Sektor keuangan, khususnya perbankan, dapat diibaratkan sebagai organ jantung dalam

tubuh, sehingga apabila perbankan terganggu, maka organ tubuh lainnya dapat ikut terganggu.

Sebagaimana diketahui bahwa untuk jangka menengah dan panjang, perbankan masih

mendominasi sistem keuangan di Indonesia, sementara konglomerasi atau universal

banking yang merupakan awal dari pertimbangan pendirian OJK menjadi sesungguhnya menjadi

tidak relevan, karena konglomerasi atau universal bankingbelum berkembang di Indonesia.

Selanjutnya, koordinasi antara pengaturan dan pengawasan, otoritas perbankan dan

moneter dengan otoritas fiskal untuk memperkuat deteksi dini tentang arah dan kecenderungan di

pasar keuangan juga menjadi sangat penting. Dapat dilihat dari perjalanan Bank Indonesia pasca

keluarnya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang independen, bahwa pengawasan

bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia saat ini lebih efektif dibandingkan sebelum

independensi Bank Indonesia, sehingga dalam beberapa tahun terakhir ini sistem perbankan lebih
107

stabil dengan kecenderungan menguat. Bank Indonesia saat ini sudah menerapkan pengawasan

bank secara konsolidasi.

Untuk itu, integrasi pengawasan jasa keuangan pada saat ini diperlukan dalam rangka

peningkatan efektivitas pengawasan jasa keuangan, karena akan memperkuat perumusan dan

pengendalian kebijakan moneter dan memperkokoh stabilitas ekonomi makro. Selain itu, apabila

dilihat dari kesiapan, Bank Indonesia telah memiliki infrastruktur yang memadai untuk

pengawasan lembaga jasa keuangan.

Kesimpulan

1. Pembentukan OJK akan berdampak pada perubahan atas empat peraturan perundang-

undangan terkait dengan asuransi, pasar modal, perbankan, serta Badan Pengawas Pasar

Modal dan Lembaga Keuangan lainnya. Secara substansi keberadaan OJK harus dapat

menjembatani kepentingan setiap regulator pengawasan di Indonesia.

2. Secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah, yang dapat diartikan bahwa OJK

tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi tidak menutup

kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya OJK

merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang mempunyai hubungan koordinasi dan

keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal (Menteri

Keuangan) dan otoritas moneter (Bank Indonesia).

3. Independensi OJK secara kelembagaan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya,

khususnya dalam sektor perbankan harus dilaksanakan dengan lebih optimal, karena

masih terdapat hubungan yang sangat erat antara OJK dengan Bank Indonesia. Dengan

demikian meskipun pengawasan perbankan telah beralih kepada OJK

sebaga lembaga pengawasan, namun Bank Indonesia tetap memiliki kewenangan dan
108

akses terhadap data dan informasi dari lembaga-lembaga perbankan. Untuk itu sistem

integrasi sistem keuangan di Indonesia dapat berjalan dengan maksimal yang didasarkan

pada legal framework yang jelas dan regulasi yang efektif.


109

BAB V

RAHASIA BANK

A. PENGERTIAN RAHASIA BANK

 Pasal 1 angka 16 UU No. 7 thn 1992 ttg Perbankan:

” Rahasia bank adalah segala sesuatu yg berhub dg keuangan, dan hal-hal lain dari nasabah bank

yg menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan”.

 Pasal 1 angka 28 UU No. 10 thn 1998

” Rahasia bank adalah segala sesuatu yg berhub dg keterangan mengenai nasabah penyimpan

dan simpanannya.”

Ketentuan Rahasia Bank

 Ketentuan Rahasia Bank dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan diatur dlm

Pasal 40 s.d Pasal 45.

 Menurut UU No. 10 tahun 1998, ketentuan rahasia bank mengalami perubahan dan

penambahan. Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan

simpanannya kecuali dlm hal sebagaimana dimaksud dlm Pasal 41, 41A,42, 43, 44 dan

44A.

B. SIFAT RAHASIA BANK

 Bersifat mutlak, bank berkewajiban menyimpan rahasia nasabah yg diketahui oleh bank

krn kegiatan usahanya dalam keadaan apapun, biasa atau keadaan luar biasa. Terlalu

mementingkan individu, shg kepentingan negara dan masy terabaikan (Swiss).

 Bersifat nisbi atau relatif, bank diperbolehkan membuk


110

 rahasia nasabahnya, bila untuk suatu kepentingan mendesak, misalnya kepentingan

negara.

C. Rahasia Bank di Indonesia

Rahasia bank di Indonesia bersifat nisbi atau relatif. Dengan demikian, pemberian data,

informasi yg menyangkut kerahasiaan bank kepada pihak lain dimungkinkan. Adapun mengenai

kemungkinan pembukaan kerahasiaan bank dapat dilakukan, apabila adanya suatu kepentingan

umum.

Kepentingan umum pembukaan rahasia bank, berupa:

1. Perpajakan.

2. Penyelesaian Piutang yg ditangani oleh BUPLN/PUPN (Badan Urusan Piutang dan

Lelang Negara/ Panitia Urusan Piutang Negara)

3. Peradilan baik untuk perkara pidana maupun perdata.

4. Kepentingan kelancaran dan keamanan kegiatan usaha bank, termasuk di dalamnya

permintaan pembukaan rahasia berdasarkan kuasa dari nasabah penyimpan itu sendiri

atau permintaan ahli warisnya.

Mekanisme Dan Prosedur Permintaan Untuk Pembukaan Rahasia Bank

1. Permohonan ditujukan kepada Pimpinan Bank Indonesia up. Urusan Hukum BI.

2. Atas permintaan ini BI membahasnya dan kemudian memberikan keputusannya apakah

memberikan atau menolaknya.

3. Apabila permohonan tsb tdk memenuhi persyaratan akan ditolak. Sebaliknya bl telah

memenuhi persyaratan maka diijinkan pembukaan rahasia bank tsb.

4. Kepentingan Perpajakan, Pimpinan BI atas permintaan Menteri Keuangan berwenang

mengeluarkan perintah tertulis kpd bank.


111

5. Kepentingan Penyelesaian Piutang Negara, Pimpinan BI memberi ijin kpd pejabat

BUPLN/PUPN utk memperoleh ket dr bank mengenai simpanan nasabah debitur.

6. Kepentingan Peradilan,
112

BAB IV

LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

A. Lembaga Penjamin Simpanan

Untuk menciptakan perbankan sehat harus dilakukan pendekatan yang terdiri dari tiga

pilar utama, yaitu pengawasan, internal governance dan disiplin pasar. Pendekatan ini harus

dilakukan karena pengawasan tidak akan mampu berpacu dengan kecepatan liberalisasi,

globalisasi dan kemajuan teknologi pada instrument keuangan. Dengan demikian pengawasan

harus dilengkapi dengan disiplin internal dan eksternal dari perbankan. Dengan melibatkan

internal governance, pendekatan pengawasan memasukkan pandangan bahwa perbankan sendiri

merupakan tempat terbaik untuk mengatur dan memelihara praktik manajemen yang sehat.

Pengikutsertaan disiplin pasar mencerminkan fakta bahwa tanpa pasar yang kompetitif

dan punitive atas kegagalan bersaing di pasar maka tidak cukup insentif bagi pemilik bank,

pengurus dan nasabah untuk melakukan keputusan keuangan yang tepat. Untuk melaksanakan

ketiga pendekatan di atas, maka menurut penulis harus dilakukan penyempurnaan terhadap

peraturan perbankan.

Banyak negara sepakat bahwa salah satu pendekatan yang diperlukan untuk membangun

suatu sistim perbankan yang sehat dan kuat adalah dengan memberikan jaminan yang eksplisit

bagi nasabah penyimpan. Akan tetapi sebelum pembentukansuatu lembaga penjamin yang

permanen, diperlukan langkah-langkah pembaruan sistem perbankan sebagai prasyarat agar

sistem tersebut dapat berjalan efektif. Alasan dasar (rationale) bagi pemerintah untuk

memfasilitasi pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah kepercayaan pada industri

perbankan sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pada sistem perbankan yang diawasi

secara baik dapat meminimalkan terjadinya kebangkrutan bank, dan kebangkrutan itu sendiri
113

dapat diprediksi dan merupakan kejadian yang dapat dicegah. Selain itu, kesetaraansosial juga

merupakan pertimbangan. Perlindungan nasabah kecil dari bankir yang tidak bertanggungjawab

merupakan suatu pendekatan yang adil dan tepat. Ditambah dengan fungsi bank sentral sebagai

lender of last resort yang menyediakan likuiditas apabila diperlukan, maka bank runs akan

hilang dan tinggal sejarah. Dalam kondisi seperti itu bank dapat beroperasi secara konsisten dan

dipercaya untuk menyediakan kredit dalam jumlah cukup untuk kesehatan perekonomian.

B. Hubungan Kepercayaan antara Nasabah dan Bank

Pentingnya kepercayaan masyarakat terhadap bank telah menciptakan hubungan

kepercayaan antara bank dengan nasabahnya menjadi penting. Hal ini terjadi karena bank

memiliki status yang unik ditengah masyarakat - selain bank sebagai sandaran suatu kepercayaan

ia juga menempati posisi khusus sebagai tempat yang aman. Di samping itu, dalam menjalankan

kegiatan usahanya bank juga terlibat dengan masalah-masalah internal perusahaan dan individu

sehingga peranan bank telah melampaui hubungan tradisional antara debitur dan kreditur.

Dengan karakteristik demikian itu, maka hubungan antara bank dengan nasabah adalah

hubungan kepercayaan. Hal ini lebih dipertegas lagi dalam praktik perbankan modern yang

melibatkan struktur yang sangat kompleks dan seringkali menyebabkan bank berperan sebagai

penasehat keuangan (financial adviser) bagi nasabahnya sehingga menciptakan hubungan

kepercayaan dan kerahasiaan (confidentiality) yang pada gilirannya menghasilkan suatu

fiduciary duty terhadap bank ke yang pada gilirannya menghasilkan suatu fiduciary duty terhadap

bank ketika berurusan dengan nasabahnya. Dengan hubungan yang demikian itu, maka bank

memiliki kewajiban untuk mengungkapkan (a duty to disclose) seluruh fakta material kepada

nasabahnya, apabila bank memiliki pengetahuan yang mungkin sangat penting bagi nasabah.

Berdasarkan prinsip fiducia yang baru, kewajiban bank menjadi lebih berat dan potensi kerugian
114

diluar kontrak timbul apabila salah satu pihak dalam kontrak lemah dan tergantung, sedang pihak

lainnya memiliki kekuasaan sehingga pihak yang memberikan kepercayaan tidak lagi mampu

untuk melindungi dirinya sendiri, dan kekuasaan telah diterima dan dilaksanakan oleh pihak

lainnya. Pada dasarnya apabila suatu pihak menerima kepercayaan ini, pihak tersebut telah

menerima risiko yang apabila dilanggar atau dikhianati dapat diminta pertanggungjawabannya

atas dasar kerugian karena extracontractual. Prinsip fiducia yang baru memberikan suatu

landasan untuk meminta pertanggungjawaban dan membayar ganti rugi atas kerugian yang

disebabkan bukan karena wanprestasi.

Suatu hubungan fiducia melibatkan konsekuensi tertentu sebagai transaksi diantara pihak

yang mengalir secara otomatis sebagai masalah hukum dari hubungan tersebut. Perbedaan kunci

antara hubungan kerahasiaan dan hubungan fiducia dapat dipusatkan dalam suatu pertanyaan,

apakah suatu pihak yang meminta ganti rugi harus membuktikan bahwa dia tergantung pada

pihak lainnya? Suatu hubungan menjadi hubungan kepercayaan apabila satu pihak secara nyata

tergantung atau percaya pada pihak lainnya. Suatu pihak dalam hubungan kepercayaan berhak

yakin pada pemegang fiducia secara hukum, tanpa perlu membuktikan bahwa yangbersangkutan

sebenarnya memberikan kepercayaan kepada pemegang fiducia.

Kewajiban untuk menunjukan bahwa hubungan kerahasiaan terjadi adalah pada orang

yang menuduh telah dilanggarnya hubungan tersebut. Sedangkan pada hubungan kepercayaan,

pemegang fiducialah yang harus membuktikan bahwa transaksi yang digugat dilakukan secara

fair. Dasar dari kewajiban fiducia adalah kewajiban untuk loyal (duty of loyality) yang berarti

bahwa seorang pemegang fiducia tidak dibenarkan mengorbankan kepentingan pemberi fiducia

(benefeciary) dengan mendahulukan kepentingannya sendiri. Pemegang fiducia wajib

melaksanakan duty of care. Kegagalan untuk melaksanakan duty of care tersebut dengan
115

sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan apakah

perbuatan tersebut sebenarnya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia. Standar ganti rugi

untuk pelanggaran fiduciary duty adalah pengambilalihan (disgorgement) keuntungan yang

diperoleh, yang dilakukan melalui penegakan kepercayaan konstruktif (constructive trust), suatu

kepercayaan yang diwajibkan oleh hukum, bukan oleh maksud individu. Pihak yang mendapat

keuntungan, berdasarkan keadilan harus menyerahkan keuntungan tersebut kepada pihak lain

dengan alasan menyerahkan keuntungan tersebut kepada pihak lain dengan alasan apabila hal itu

tidak dilakukan, maka orang ini berarti telah memperoleh keuntungan secara tidak adil (unjustly

enrichment). Di samping itu, pelanggar fiduciary duty dapat dikenakan punitive damage, dengan

alasan pihak yang telah memberikan kepercayaan telah mengambil posisi dimana dia tidak lagi

memiliki pilihan lain kecuali percaya pada pihak yang telah diberikan kepercayaan tersebut.

Shepherd mendefinisikan hubungan fiducia sebagai suatu hubungan yang terjadi apabila

seseorang menerima kuasa dengan syarat yang bersangkutan akan melaksanakan kuasa tersebut

untuk kepentingan terbaik pihak yang memberikan kekuasaan. Dalam kaitannya dengan

fiduciary duty dapat dijelaskan bahwa nasabah bank secara keuangan umumnya lemah,

menyimpan uang di bawah bantal misalnya tidaklah aman, sehingga mereka harus

mempercayakan kekayaannya tersebut kepada bank. Dalam situasi apa saja, apabila bank salah

mengusahakan atau menggunakan dana nasabah tersebut, tidak perduli nasabah dimaksud kaya,

miskin likuid atau tidak likuid, nasabah tidak berdaya untuk melindungi kerugian atau

kehilangan dananya. Nasabah tentunya dapat menggugat bank karena wanprestasi, tetapi biaya

transaksi dan biaya berperkara menghambat nasabah untuk melakukannya. Nasabah dengan

demikian menyerahkan dirinya ketangan bank pada saat dia mempercayakan hartanya. Bank baik

secara tegas atau implisit, menerima penyerahan kekuasaan tersebut. Hal inilah yang membuat
116

lembaga perbankan harus dikelola secara jujur sehingga bank disebut lembaga trust, security

atau guarantee. Keharusan mengelola bank secara jujur dan hati-hati telah diputuskan oleh

Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1891 dalam Briggs v. Spaulding. Mahkamah

Agung berpendapat bahwa “directors must exercise ordinary care and prudence in the

administration of affairs of a bank.” Keputusan Mahkamah Agung ini diterima oleh banyak

pengadilan dan kalangan ahli sebagai sumber penerapan prinsip duty of care bagi pengurus bank.

Pada tahun 1991, Kongres Amerika Serikat mewajibkan seluruh lembaga perbankan federal

untuk menerapkan ketentuan yang merumuskan standar safety and soundness dalam tiga bidang

yaitu: pertama, operasi dan manajemen; kedua, kualitas aset, pendapatan dan penilaian saham;

dan ketiga, kompensasi karyawan. Penerapan prinsip ini memiliki keinginan untuk melindungi

penyimpan meskipun penyimpan sudah dilindungi oleh asuransi simpanan, harus dikawal pula

terhadap ancaman kebangkrutan bank. Di Amerika Serikat, untuk memulihkan kerugian yang

dialami bank, FDIC dapat menggugat bekas pengurus bank dengan dasar melanggar fiduciary

duty yang mereka emban terhadap bank. Pengurus bank dianggap telah memenuhi kewajibannya

menjalankan prinsip duty of care apabila mereka telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

(1) membuat keputusanbisnis yang tidak ada unsur kepentingan pribadi, berdasarkan informasi

yang merekapercaya didasari oleh keadaan yang tepat, dan (2) secara rasional mempercayai

bahwakeputusan bisnis tersebut dibuat untuk kepentingan terbaik bagi perusahaan.Salah satu

tolok ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian disebabkan oleh keputusan bisnis (business

judment) tidak tepat sehingga dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care adalah: (1)

memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut

benar; (2) tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan iktikad baik;
117

dan (3) memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang

terbaik bagi perusahaan.

C. Peran dan Fungsi LPS dalam Sistem Perbankan

Pasal 37 B Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No.

7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengamanatkan untuk mendirikan lembaga penjamin

simpanan (LPS) di Indonesia. Amanat tersebut timbul sebagai jawaban atas krisis berat yang

dialami oleh industri perbankan pada pertengahan tahun 1997. Ketika ijin usaha 16 bank dicabut

dan dilikuidasi pada 1 November 1997, industri perbankan mengalami rush sebagai konsekuensi

dari runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, dan tidak adanya peraturan

yang cukup untuk mengatur perlindungan dana nasabah penyimpan pada saat bank dilikuidasi

telah mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.

Pendirian lembaga penjamin simpanan pada dasarnya dilakukan sebagai upaya

memberikan perlindungan terhadap dua risiko yaitu irrational run terhadap bank dan systemic

risk. Dalam menjalankan usaha bank biasanya hanya menyisakan sebagian kecil dari simpanan

yang diterimanya untuk berjaga-jaga apabila ada penarikan dana oleh nasabah. Sementara,

bagian terbesar dari simpanan yang ada dialokasikan untuk pemberian kredit. Keadaan ini

menyebabkan perbankan tidak dapat memenuhi permintaan dalam jumlah besar dengan segera

atas simpanan nasabah yang dikelolanya, bila terjadi penarikan secara tiba-tiba dan dalam jumlah

besar. Keterbatasan dalam penyediaan dana cash ini adalah karena bank tidak dapat menarik

segera pinjaman yang telah disalurkannya. Bila bank tidak dapat memenuhi permintaan

penarikan simpanan oleh nasabahnya, nasabah biasanya menjadi panic dan akan menutup

rekeningnya pada bank dimaksud, sekalipun bank tersebut sebenarnya sehat. Sedangkan risiko

sistemik terjadi apabila kebangkrutan satu bank berakibat buruk terhadap bank lain, sehingga
118

menghancurkan sekmen terbesar dari sistem perbankan. Lembaga penjamin simpanan (LPS)

dapat berfungsi untuk mengatur keamanan dan kesehatan bank secara umum. Di samping itu

LPS juga dapat berfungsi sebagai pengawas yang dilakukan dengan cara memantau neraca,

praktik pemberian pinjaman dan strategi investasi dengan maksud untuk melihat tanda-tanda

financial distress yang mengarah kepada kebangkrutan bank. Oleh sebab itulah keberadaan LPS

sebagai bagian dari sistem perbankan menjadi penting guna mencegah kepanikan nasabah

dengan jalan menyakinkan nasabah tentang keamanan simpanan sekalipun kondisi keuangan

bank memburuk.

Dimensi lain dari pentingnya peran LPS dalam sistem perbankan didasarkan

pada beberapa pertimbangan:

a. Dalam pertumbuhan perekonomian suatu negara, peranan sektor finansial yang stabil

sangat penting dan inti kestabilan sektor finansial adalah stabilitas sistem perbankan

domestik. Peranan penting sektor perbankan itu dapat dilihat dalam aspek sistem

pembayaran yang memungkinkan terjadinya transaksi perdagangan. Di samping itu,

bank melakukan penghimpunan dana secara lebih efisien dan untuk seterusnya

disalurkan kepada masyarakat. Sebaliknya, dana masyarakat yang disimpan di bank

sangat menentukan eksistensi dan keuntungan suatu bank.

b. Untuk mencegah terjadinya erosi kepercayaan masyarakat terhadap bank yang dapat

mengakibatkan terjadinya rush yang sudah tentu dapat membahayakan bank secara

individual dan sistem perbankan secara keseluruhan.

c. Dalam era globalisasi dengan kemajuan teknologi informasi dan komputer telah

mengakibatkan terjadinya global market pada sektor keuangan. Dalam global market

dana bebas bergerak dari satu negara ke negara lain. Kalau pemilik dana kurang percaya
119

pada sistem perbankan nasional, maka ia dapat menanamkan dananya di luar negeri

(capital flight) yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya kekuatan yang

produktif dari suatu negara.

Menilik pengalaman Amerika Serikat, pembentukan lembaga penjamin simpanan yang

dilakukan telah berhasil mencapai tujuan utama dari reformasi perbankan untuk paling tidak

selama satu abad yaitu guna mencegah terjadinya banking panic. Dengan adanya skim penjamin

simpanan, pengumuman informasi negatif mengenai bank tertentu misalnya tidak berpengaruh

terhadap bank lain sehingga tidak menyebabkan terjadinya kekacauan umum karena pasar telah

mampu membedakan masalah keuangan yang dialami oleh perusahaan tertentu dan akibatnya

kepada individual bank tersebut maupun terhadap indistri bank secara keseluruhan. Keberadaan

penjamin simpanan juga sebagai upaya mempermudah penyelesaian bank bermasalah, misalnya

akibat pencabutan ijin usaha suatu bank. Sehingga dampak merosotnya kepercayaan nasabah

yang pada gilirannya dapat menimbulkan bank panic dapat dicegah sesegera mungkin. Alasan

dan kondisi di ataslah yang menjadi latar belakang didirikannya Lembaga Penjamin Simpanan

(LPS) dengan diberlakukannya UU No. 24 tahun 2004 tentang Pendirian LPS.

D. Manfaat dan Tantangan Lembaga Penjamin Simpanan

Sistem perlindungan nasabah, banyak menghasilkan manfaat – meski juga mengandung

kelemahan, seperti timbulnya kemunduran dalam disiplin pasar (moral hazard). Untuk itu,

pengawasan dan pengaturan yang efektif merupakan elemen penting dari financial safety net

dalam mengendalikan masalah moral hazard. Secara empiris, hal ini didukung oleh penelitian

yang dilakukan oleh Demirguc-Kunt dan Detragiarche (antara tahun 1980-1997) dengan sample

61 negara berkembang (emerging) dan maju. Dalam temuannya terlihat bahwa ketiadaan sistem
120

peraturan kehati-hatian (prudential regulation) dan pengawasan yang efektif meningkatkan krisis

perbankan, apalagi dengan adanya sistem penjaminan nasabah seperti skim asuransi simpanan.18

Pembentukan lembaga penjamin simpanan dapat menimbulkan moral hazard, Sehingga harus

dilakukan dengan tepat dan hati-hati. LPS bukanlah “panacea” tetapi tidak juga ada pilihan lain

yang dapat menyediakan “panacea.” Singkat kata, LPS merupakan sesuatu yang diperlukan

tetapi tidak cukup (necessary but not enough) dalam memecahkan persoalan-persoalan

perbankan. Pengawas bank harus berani bertindak tegas terhadap pengurus bank yang mengelola

banknya secara sembrono. Fit and Proper test terhadap pengurus dan eksekutif bank juga harus

dilakukan dengan ketat agar mencegah masuknya individu yang tidak bermutu ke dalam industri

perbankan.

Perkara Stanley R. Hendrickson v. Federal Deposit Insurance Corporation19 dapat

dijadikan pedoman mengenai ketegasan yang harus dimiliki pengawas bank. Dalam perkara ini,

FDIC digugat oleh pengurus bank yang diberhentikannya. Permasalahannya berkaitan dengan

Pasal 6050I Internal Revenue Code yang mewajibkan setiap pelaku usaha (businesses) mengisi

dokumen yang dikenal dengan Form 8300 apabila menerima uang tunai lebih dari USD 10.000

untuk satu transaksi. Pada tahun 1993 Stanley Hendrickson, presiden Randolph County Bank of

Winchester, Indiana (Bank) dinyatakan bersalah karena dengan sengaja tidak mengisi form 8300

pada waktu bekerja pada perusahaan saudaranya, Silver Towne. Pada tahun 1992 Hendrickson

berhenti bekerja pada Silver Towne dan menjadi presiden Bank, tempat dimana Hendrickson

sebelumnya bekerja yaitu dari tahun 1962 sampai tahun 1985. Pada tahun 1996, Dewan Direktur

FDIC (Dewan) memerintahkan Hendrickson berhenti sebagai presiden dan melarang

Hendrickson terlibat dalam kegiatan perbankan. Keputusan tersebut diperkuat oleh pengadilan.
121

Pada waktu bekerja pada Silver Towne, Hendrickson alpa tidak mengisi form 8300. Untuk

menutupi kealpaannya Hendrikson mengisi form 8300 dengan tanggal mundur dan menyimpan

fotokopi form 8300 tersebut pada pembukuan Silver Towne agar terlihat seolah-oleh form

aslinya telah disampaikam kepada IRS. Tindakan ini kemudian terungkap dalam pemeriksaan

yang dilakukan oleh IRS. Hendrickson mengajukan bantahan terhadap keputusan

pemberhentiannya dengan dasar ketentuan internal FDIC menetapkan bahwa Dewan harus

memberikan keputusan dalam waktu 90 hari terhitung sejak diajukannya permasalahan kepada

Dewan. Dalam kaitan ini, Dewan telah terlambat mengambil keputusan tentang permasalahan

Hendrickson. Dengan demikian, keputusan Dewan adalah batal. Pengadilan berpendapat bahwa

pelanggaran terhadap batas waktu sebagaimana diatur dalam peraturan internal FDIC tidak

menyebabkan FDIC kehilangan jurisdiksi atas permasalahan yang diajukan kepadanya kecuali

peraturan internal tersebut secara tegas menentukan akibat tidak dipenuhinya batas waktu

tersebut. Hendrickson juga mengajukan bantahan yang menyatakan bahwa perbuatannya tidak

mengisi form 8300 bukan merupakan perbuatan “involves personal dishonest” atau demonstrates

willful or continuing disregard...for the safety or soundness of such business institution” yang

merupakan persyaratan untuk tidak boleh menjalankan kegiatan perbankan sebagaimana diatur

dalam 12 U.S.C. §1818 (e)(1)(C).

Pengadilan berpendapat bahwatindakan mengisi formulir dengan tanggal mundur

merupakan perbuatan involves personal dishonest. Pengadilan Circuit sependapat dengan

keputusan yang diambil oleh Pengadilan Distrik. Mungkin, tindakan tegas yang diambil oleh

otoritas perbankan terhadap Bank Dagang Bali dan Bank Asiatic serta Bank Global beberapa

waktu lalu dapat dijadikan modal dalam menciptakan pengawas bank yang kondusif
122

sebagaimana tercermin dari perkara Stanley di atas. Ketegasan tindakan otoritas perbankan

sangat dibutuhkan karena apabila dilihat dari krisis yang lalu, penyebab utama kegagalan bank di

Indonesia adalah karena kelalaian, penipuan dan penggelapan oleh pengurus bank yang nasabah

sangat sulit untuk mendeteksinya (market discipline). Fred Galves mengatakan “the best way to

rob a bank is to own one.” Hal ini dapat dilihat dari praktik perbankan Indonesia dengan

besarnya kredit yang disalurkan kepada kelompok usahanya sendiri. Pemberian kredit kepada

kelompok usaha sendiri tersebut sering kali tidak diiringi dengan penyediaan jaminan yang

memadai. Di Amerika Serikat pemberian kredit yang tidak dijamin secara cukup dikategorikan

sebagai penipuan. Pengawasan dan pengaturan adalah instrumen penting untuk menekan bank

dalam pengambilan risiko – bila hal ini tidak dijalankan sebagaimana mestinya akan dapat

mengancam stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Dengan demikian, maka sistem

perlindungan nasabah (deposit protection system) seperti LPS yang dilengkapi dengan

pengaturan dan pengawasan effektif dapat mengurangi risiko sistemik meskipun tidak dapat

menghilangkannya sama sekali. Pendirian LPS dapat lebih berhasil apabila sistem perbankan

berjalan baik. Kehadiran LPS yang efektif dapat memberikan kontribusi terhadap stabilitas

sistem keuangan suatu negara terlebih bila sistem yang ada merupakan bagian dari suatu jaring

pengaman keuangan yang disusun secara baik.

E. Praktik Penjaminan Dana Nasabah Di Amerika Serikat

Sebagai perbandingan dengan sistem penjaminan dana nasabah bank di Indonesia yang

diselenggarakan oleh LPS, berikut diuraikan sistem asuransi simpanan yang diterapkan di

Amerika Serikat oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC). Sistem asuransi simpanan

yang diterapkan Amerika Serikat merupakan sistem tertua di dunia dan telah menjadi model

untuk negara-negara lain. Sistem ini telah terbukti berhasil dalam pengembalian kepercayaan
123

masyarakat pada sistem perbankan. Selama tiga generasi selanjutnya, sistem ini telah

melaksanakan tugasnya dalam membantu mencegah bank bermasalah menjadi bank panic. Pada

1980an, ketika ratusan bank dan thrifts bangkrut, asuransi simpanan telah bertindak sebagai

jangkar kepercayaan publik pada sistem perbankan. Amerika Serikat menggunakan sistem

perlindungan langsung melalui skim asuransi simpanan yang diselenggarakan oleh Federal

Deposit Insurance Corporation (FDIC), suatu lembaga yang berfungsi mengganti dana yang

disimpan oleh nasabah pada bank yang dilikuidasi. Hal ini dilakukan sebagai salah satu jawaban

terhadap krisis perbankan yang melanda negara tersebut pada tahun 1930an. FDIC didirikan

dengan tujuan:

(1) menghentikan kontraksi lebih dalam pada sistem perbankan;

(2) mengaktifkan kembali pemberian kredit oleh perbankan; dan

(3) melindungi bank-bank kecil.

Dengan memberikan jaminan kepada nasabah penyimpan melalui FDIC, maka dapat

dicegah timbulnya bank panic, sehingga dapat menghentikan efek domino yang pada saat itu

melanda perbankan Amerika Serikat. Penerapan skim asuransi simpanan oleh Amerika Serikat

pada dasarnya telah berhasil mengurangi jumlah bank yang bangkrut. Saat ini, setiap simpanan

nasabah sampai dengan jumlah USD 100,000 wajib diasuransikan kepada FDIC. FDIC didirikan

dengan Banking Act of 1933 sebagai jawaban terhadap meluasnya kegagalan bank selama tiga

tahun di Amerika Serikat. Pada waktu itu, masyarakat Amerika Serikat yang khawatir akan

simpanannya di bank menarik dananya untuk disimpan dalam bentuk uang tunai (hoarding).

Pada periode 1930 sampai 1932 sekitar 5.100 bank mengalami kebangkrutan. Banyaknya bank

yang bangkrut mengakibatkan kerugian pada penyimpan dana, pemegang saham dan dunia

usaha. Fenomena ini disebut banking panic. Peranan penting yang telah dimainkan oleh FDIC
124

adalah kemampuannya dalam mengatasi banking panic, yakni pencegahan "penyerbuan bank"

(bank run) dengan memberikan keyakinan dan jaminan kepada penyimpan dana, bahwa

simpanannya pasti akan kembali.

Peran FDIC kemudian berkembang bukan saja sebagai lembaga penjaminsimpanan, tetapi

juga merupakan lembaga yang mengatur dan memeriksa bank yang berada di bawah

jurisdiksinya. FDIC dipimpin oleh suatu Dewan yang terdiri dari tiga orang yang salah satu di

antaranya berasal dari the Comptroller of the Currency. Sebagian besar, yaitu sekitar 13.300

bank di Amerika menjadi anggota FDIC. FDIC dianggap sebagai suatu lembaga yang berhasil

dan batas maksimum coverage asuransinya terus ditingkatkan mulai pertama kali dari $5.000.

(1934), menjadi US.$10.000 (1950), US.$15.000 (1966), US.$20.000 (1969) dan pada saat ini

US.$100.000. Batas US$100.000 ditetapkan dalam Depository Institutions Deregulation and

Monetary Control Act of 1980. Apabila ada suatu bank yang bangkrut, FDIC ditunjuk sebagai

kurator (receiver) dan memiliki beberapa pilihan dalam menangani bank tersebut. FDIC dapat

melakukan likuidasi, menjual sebagian atau seluruh bank kepada bank lain, mengatur merjer atau

dalam beberapa kasus memberikan bantuan agar bank dapat tetap hidup. bangkrut. Saat ini,

setiap simpanan nasabah sampai dengan jumlah USD 100,000 wajib diasuransikan kepada FDIC.

FDIC didirikan dengan Banking Act of 1933 sebagai jawaban terhadap meluasnya kegagalan

bank selama tiga tahun di Amerika Serikat. Pada waktu itu, masyarakat Amerika Serikat yang

khawatir akan simpanannya di bank menarik dananya untuk disimpan dalam bentuk uang tunai

(hoarding). Pada periode 1930 sampai 1932 sekitar 5.100 bank mengalami kebangkrutan.

Banyaknya bank yang bangkrut mengakibatkan kerugian pada penyimpan dana, pemegang

saham dan dunia usaha. Fenomena ini disebut banking panic. Peranan penting yang telah

dimainkan oleh FDIC adalah kemampuannya dalam mengatasi banking panic, yakni pencegahan
125

"penyerbuan bank" (bank run) dengan memberikan keyakinan dan jaminan kepada penyimpan

dana, bahwa simpanannya pasti akan kembali.

Peran FDIC kemudian berkembang bukan saja sebagai lembaga penjamin simpanan,

tetapi juga merupakan lembaga yang mengatur dan memeriksa bank yang berada di bawah

jurisdiksinya. FDIC dipimpin oleh suatu Dewan yang terdiri dari tiga orang yang salah satu di

antaranya berasal dari the Comptroller of the Currency. Sebagian besar, yaitu sekitar 13.300

bank di Amerika menjadi anggota FDIC. FDIC dianggap sebagai suatu lembaga yang berhasil

dan batas maksimum coverage asuransinya terus ditingkatkan mulai pertama kali dari $5.000.

(1934), menjadi US.$10.000 (1950), US.$15.000 (1966), US.$20.000 (1969) dan pada saat ini

US.$100.000. Batas US$100.000 ditetapkan dalam Depository InstitutionsDeregulation and

Monetary Control Act of 1980.

Apabila ada suatu bank yang bangkrut, FDIC ditunjuk sebagai kurator (receiver) dan

memiliki beberapa pilihan dalam menangani bank tersebut. FDIC dapat melakukan likuidasi,

menjual sebagian atau seluruh bank kepada bank lain, mengatur merjer atau dalam beberapa

kasus memberikan bantuan agar bank dapat tetap hidup. Bank atau lembaga yang mengambilalih

bank insolven atau dihentikan kegiatan usahanya dapat dilakukan dengan cara merger atau

mengakuisisi bank yang bermasalah adalah bank yang sehat. FDIC juga harus mengadakan cost

test untuk membuktikan bahwa tindakan FDIC ini lebih murah dibandingkan dengan tindakan

paying off. Penggunaan kewenangan inipun merupakan kewenangan tunggal FDIC berdasarkan

syarat-syarat yang ditetapkannya. Dalam hal terjadi penutupan bank, FDIC membayar seluruh

dana nasabah penyimpan yang diasuransikan. Nasabah penyimpan yang dijamin mendapat

prioritas untuk segera menerima pengembalian simpanannya dalam waktu beberapa hari, dan

bank diletakkan di bawah pengampuan FDIC.


126

Sejak tahun 1960, FDIC menangani bank bermasalah dengan cara menjual sebagaian atau

seluruh aset bank tersebut melalui purchace and assumption (P&A) transactions. Melalui

transaksi ini, FDIC menjual aset bank bermasalah kepada suatu bank yang sehat dan bank

pembeli simpanan tersebut mengambil alih kewajiban bank bermasalah tersebut. P&A tergolong

jenis transaksi yang signifikan karena secara umum melindungi seluruh nasabah penyimpan dari

kerugian baik nasabah yang dijamin asuransi maupun yang tidak. Perlindungan yang demikian

tersebut dapat terlaksana karena seluruh kewajiban instutusi bermasalah diambil alih oleh

lembaga lain dengan bantuan FDIC.

Keputusan tentang jenis penyelesaian apa yang akan dipergunakan untuk menyelesaikan

bank bermasalah bergantung pada pertimbangan biaya (cost test) yang dilakukan oleh FDIC.

FDIC akan menggunakan metode P&A apabila hal tersebut merupakan cara yang termurah

dibandingkan dengan likuidasi. Namun demikian FDIC dapat menghindari test cost apabila hal

tersebut dilakukan untuk melindungi seluruh pemegang kewajiban bank yang merupakan suatu

hal penting dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. P&A merupakan kebijakan favorit

FDIC dan digunakan dalam menyelesaikan 73,5% dari 1.617 kebangkrutan bank selama periode

1980-1994. Bagi FDIC, P&A sangat menguntungkan karena hanya menggunakan uang tunai

yang sedikit dari dana asuransi dibandingkan dengan kebutuhan membayar seluruh tagihan

nasabah yang dijamin. Dalam menjalankan tugasnya FDIC memiliki kewenangan dan kekuasaan

tertentu terutama dalam menagih piutang bank yang diambil alih atau di bawah kewenagan

FDIC. Kewenangan FDIC ini dikuatkan dalam putusan Mahkahmah Agung AS dalamD’Oench,

Duhme & Co. v. FDIC. 28 Pada kasus ini hakim memutuskan bahwa suatu perjanjian tambahan

(side agreement) yang tidak tercatat pada catatan bank, tidak dapat dipergunakan sebagai

bantahan terhadap gugatan yang diajukan oleh FDIC. Pada kasus ini penggugat (pettioner)
127

sebuah perusahaan sekuritas (securities dealer) wan prestasi atas obligasi yang dijualnya kepada

Belleville Bank & Trust Company. Pada saat bank tersebut bangkrut, FDIC meminta agar utang

tersebut dibayar. Penggugat menyatakan bahwa terdapat side agreement dengan bank yang

menyatakan bahwa obligasi tersebuttidak perlu dibayar kepada bank.

Kontroversi hukum muncul ketika FDIC harus segera mengalihkan aset dari bank yang

bangkrut kepada pihak lain, sementara proses persidangan sedang berlangsung tentang status aset

tersebut. Pengadilan mendukung tindakan FDIC ini dengan alasan bahwa menjual aset dari bank

bangkrut dengan segera berarti melindungi dana asuransi sehingga pembayar pajak tidak

dibebani kewajiban dari bank yang bangkrut. Mengalihkan aset kepada pihak swasta adalah “in

the public interest.”


128

DAFTAR LITERATURE

George Hempel, Commercial Bank Management: Text and Cases, (New York: John

Wiley & Sons, 2002

Hamdani, Seluk Beluk Perdagangan Ekspor Impor, Jakarta : Yayasan Bina Usaha Niaga

Indonesia, 2003.

Indonesia Biro Kredit, Procecing Diskusi Terfokus dan Seminar Nasional Lembaga

Penjamin Kredit Pemberdayaan Lembaga Penjaminnan Kredit Dalam Rangka Mendukung

Sektor Riil Melalui UKM November 2003, Jakarta.

Koch Timothy W AND S. Scott Macdonald, Bank Management (South Western:

Thomson, 2003).

Rose Peter S, Commercial Bank Management, Producing and Selling Financial Servisces

(Boston: McGraw-Hill, 2003.

Abdulkadir Muhammad, dkk, 2000, Lembaga Keuangan dan Pembiayaan , Bandung: PT

Citra Aditya Bakti.

Ahmad M. Ramli, 2004, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia,

Bandung: PT Refika Aditama.

Arie S. Hutagalung dk, 2012. Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, Universitas

Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Gronongen, Edisi ke-1, Denpasar: Pustaka Larasan.

Bambang Sutiyoso dkk, 2005, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di

Indonesia, Yogyakarta: UII Press.

Etto Sunaryanto dkk, 2006, Panduan Lelang PUPN, Jakarta : Tanpa Penerbit.
129

Friedrich, Carl Joachim, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Hitoris, Bandung: Nuansa dan

Nusamedia.

Hermansyah, 2009, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta:

Kencana.

Ivida Dewi Amrih Suci dan Herowati Poesoko, 2009, Hak Kreditur Separatis dalam

Mengakses Benda Jaminan Kreditur Pailit, Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia Edisi Revisi,

Jakarta: Konstitusi Press.

Kelsen Hans, 2011, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul

Muttaqien, Bandung: Nusa Media.

Munir Fuady, 2002, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Munir Fuady, 2002, Hukum Pengkreditan Kontemporer, Bandung, Citra Aditya Bakti.

Salim H.S, 2001, Pengantar HukumPerdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika.

Ridwan Khairandy, 2003, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Cetakan ke-1,

Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakulats Hukum Universitas Indonesia, Depok.

Romli Atmasasmita, 2003, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Preanada Media,

Jakarta: JuLi.

Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta:

PT.Gramedia Pustaka Utama.sutarno, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank,

Bandung: Alfabeta.

Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta: Sinar Grafika.

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,

2008.
130

Muhamad Djumhana, Asas-asas Hukum Perbankan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2008.

Hasanuddin Rahman Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi The Bankers

Handbook, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Credit Management Teori, Konsep,

Prosedur dan Aplikasi Panduan Praktis Mahasiswa, Bankir, dan Nasabah, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2006.

Bank Indonesia, Arsitektur Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, Jakarta, 2006.

Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012.

Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah, dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press,

Jakarta, 2001.

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad dalam Fiqih

Muamalat, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.

Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terikat: BMI &

Takaful Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. 2002.

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya,

PT. Jayakarta Agung Offset, Jakarta, 2010.

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

2007.

Miller, Jonathan R. & Elizabeth H. Garrett, “Market Discipline by Depositors: A

Summary of the

Theoretical and Emperical Arguments,” Yale Journal on Regulation, (Winter 1988).


131

Sabado, Nicole, “Adopting a Jurisdictional Approach to the Rights of Asset Purchasers

From the FDIC,” Fordham Law Review, (Vol. 69, 2000).

Scallen, Eileen A., “Promises Broken vs. Promises Betrayed: Methaphor, Analogy, and

the New Fiduciary Principle,” University of Illinois Law Review, (1993).

Schooner, Heidi Mandanis, “Fiduciary Duties’ Demanding Cousin: Bank Director

Liability for Unsafe or Unsound Banking Practices,” George Washington Law Review, (Januari

1995).

Sitompul, Zulkarnain, Problematika Perbankan. Bandung: Books Terrace & Library,

2005.

Sutalaksana, M. Dahlan, “The Importance of A Deposit Protection Scheme,” ASEAN

Conference on Deposit Protection System, (Desember 1993).

Symons, Edward L., Jr., “The Bank-Customer Relation: Part I The Relevance of Contract

Doctrine,” Banking Law Journal, (1991). United States General Accounting Office (GAO)

Report to the Chairman, Committee on Banking, Housing and Urban Affairs, US Senate, and the

Chairman, Committee on Banking, Finance and Urbank

Affairs, House of Representatives, “Deposit Insurance A Strategy for Reform,” (March

1991).

Vagts, Detlev F., Basic Corporation Law Materials-CasesText. New York: The

Foundation Press, Inc.

1989.

Walker, Anna Kuzmik, “Harnessing the Free Market: Reinsurance Models for FDIC

Deposit Insurance Pricing,” Harvard Journal of Law and Public Policy, (Summer 1995).
132

Stanley R. Hendrickson v. FDIC, US Court of Appeals, Seventh Circuit, No.96-3098, 7

Mei 1997.

D’Oench, Duhme & Co., Inc. v. FDIC, 315 U.S. 447, (1942).

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral.

UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian sebagian pasal-

pasalnya telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian sebagian

pasal-pasalnya telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan

terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang kemudian

Undang-Undang tersebut terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Sumber Lain :

http://economy.okezone.com/read/2010/01/26/20/297903/20/ojk-dinilai-belum-diperlukan,

http://library/cyberlib/storage/klipingberita/224466/investor%20daily%20160210.pdf.

http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/info/detailinfo.asp?NewsID=N157500121

http://library/cyberlib/storage/klipingberita/224466/investor%20daily%20160210.pdf.

Anda mungkin juga menyukai