UNIVERSITAS BOROBUDUR
BAHAN AJAR
HUKUM PERBANKAN
DISUSUN OLEH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS BOROBUDUR
Jakarta, Agustus 2019
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................................... 1
A. Pengertian Hukum Perbankan................................................................................... 1
B. Fungsi Utama Perbankan............................................................................................. 4
C. Sifat Dan Tujuan Pengaturan Hukum Perbankan....................................................... 17
D. Asas-Asas Hukum Perbankan.................................................................................... 25
E. Hukum Perbankan Sebagai Bagian Sistem Hukum Perbankan.................................. 40
BAHAN AJAR/MODUL
HUKUM PERBANKAN
Program Pascasarjana Universitas Borobudur
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam buku The New Book of Knowledge, didefinisikan ”laws are rules that define
people’s rights and responsibilities toward society/ Laws are agreed on by society and made
official by governments” . Hukum adalah aturan-aturan yang membatasi hak dan kewajiban
orang-orang terhadap masyarakat, disepakati oleh masyarakat dan dibuat pegawai pemerintah.
“Perbankan” adalah bentuk kata benda berasal dari kata “bank”. Kata “bank” terambil dari
bahasa Itali, yakni banco yang berarti meja. Artinya bahwa mejalah yang digunakan untuk
melakukan kegiatan proses kerja bank sejak dahulu sampai sekarang masih, dan mungkin sampai
yang akan datang secara administratif, tetap dilaksanakan di atas meja. Dalam bahasa Arab bank
disebut dengan kata mashraf, yang berarti tempat berlangsungnya saling tukar menukar sesuatu,
baik dengan cara mengambil ataupun menyimpan, atau selainnya untuk melakukan muamalah.
Dalam bahasa Indonesia kata bank berarti lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan
kredit dan jasa lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Menurut UU Republik Indonesia
No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, pada ketentuan umum, pasal 1 ayat (2) Bank adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
2
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat. Sedangkan kata “perbankan” itu sendiri yang merupakan
bentuk kata benda “abstrak” mempunyai segala sesuatu yang berkenaan dengan bank, mencakup
Menurut Djumhana, hukum perbankan adalah sebagai kumpulan peraturan hukum yang
mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi,
Munir Fuady merumuskan hukum perbankan adalah seperangkat kaidah hukum dalam
bentuk peraturan perundang-undangan, yurisprudesi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum, yang
rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, prilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban,
tugas dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh
dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan, dan lain-lain yang berkenan dengan
dunia perbankan.
tertulis maupun norma-norma tidak tertulis yang mengatur tentang bank, mencakup
Dikatakan lebih lanjut ruang lingkup dari pengaturan hukum perbankan itu meliputi:
demokrasi ekonomi adalah demokrasi ekonomi Pancasila sebagai dasar falsafah negara Republik
rangsangan-rangsangan ekonomi, sosial yang bermoral dalam arti ekonomi yang tidak hanya
berhubungan dengan ketuhanan, maka ekonomi Pancasila ini harus mencerminkan solidaritas
sosial, 4) jika dikaitkan dengan persatuan seperti tertuang dalam Pancasila, nasionalisme
sistem perekonomian Pancasila tegas dan jelas adanya keseimbangan antara perencanaan sentral
2.Para pelaku bidang perbankan, seperti dewan komisaris, direksi dan karyawan, maupun pihak
terafiliasi. Mengenai bentuk badan hukum pengelola, seperti PT Persero, Perusahaan Daerah, ko-
perasi atau perseroan terbatas. Mengenai bentuk kepemilikan, seperti milik pemerintah, swasta,
kepentingan umum dari tindakan perbankan, seperti pencegahan persaingan yang tidak sehat,
4. Yang menyangkut dengan struktur organisasi yang berhubungan dengan bidang perbankan,
5. Yang mengarah kepada pengamanan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh bisnisnya bank
Fungsi utama perbankan Indonesia sebagai yang tercantum di dalam Nomor 10 Tahun
1998 tentang perbankan mengemukakan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia sebagai
penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dari ketentuan tersebut tercermin bahwa fungsi
bank sebagai intermediasi pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of funds) dengan
ekonomi, tetapi juga berorientasi kepada hal-hal yang nonekonomis masalah menyangkut
stabilitas nasional yang mencakup antara lain stabilitas politik dan stabilitas sosial. Secara
lengkap mengenai hal ini diatur dalam ketentuan pasal 4 Undang-undang Perbankan yang
Sumber hukum perbankan dapat dibedakan atas sumber hukum dalam arti formal dan
sumber hukum dalam arti material. Sumber hukum dalam arti material adalah sumber hukum
yang menentukan isi hukum itu sendiri, dan itu tergantung dari sudut mana dilakukan
peninjauannya, apakah dari sudut pandang ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dan lain
sebagainya. Seorang ahli perbankan akan cende- rung menyatakan, bahwa kebutuhan-kebutuhan
terhadap lembaga perbankan dalam suatu masyarakat itulah yang menimbulkan isi hukum yang
5
bersangkutan. Sumber hukum dalam arti material baru diperhatikan jika dianggap perlu untuk
Adapun hukum dalam arti formal adalah tempat diketemukannya ketentuan hukum dan
perdata, hukum perbankan yang berlaku dewasa ini belum terkodifikasi seperti hukum perdata,
tetapi bersumber pada berbagai perundang-undangan yang mengatur masalah perbankan dan
kebanksentralan. Bahkan dalam masalah tertentu, juga bersumber atau merujuk kepada
kebanksentralan.
mengatur atau yang berkaitan dengan masalah perbankan dan kebanksentralan, yang menjadi
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
diubah pertama dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan terakhir dengan Peraturan
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai
Tukar;
Tahun 2008 sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009
(disebut UULPS);
9. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Selain itu terdapat faktor-faktor lain yang membantu pembentukan hukum perbankan, di
antaranya perjanjian-perjanjian yang dibuat antara bank dan nasabah, ajaran hukum melalui
peradilan yang termuat dalam putusan hakim (yurisprudensi), doktrin-doktrin hukum dan
kebiasaan dan kelaziman yang berlaku dalam industri perbankan (bandingkan Muhamad
perbankan nasional di Indonesia. Oleh karena itu, segala ketentuan perbankan nasional di
Indonesia harus disesuaikan dengan Undang-Undang Perbankan yang Diubah ter-sebut. Dengan
7
berlakunya Undang-Undang Perbankan yang Diubah, selain menyatakan tidak berlaku lagi
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, juga menyatakan tidak
1) 1970 Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 tanggai 14 September 1929 tentang
(Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2489);
di Daerah Kadipaten Paku Alaman (Rijksblaad dari Dae- rah Paku Alaman Tahun
perekonomian nasional maupun interna- sional, karenanya perlu diganti dan disusun undang-
undang yang ba- ru yang mengatur masalah perbankan, yang kemudian mengalami perubahan
dan penambahan sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Pengakuan secara yuridis formal mengenai eksistensi perbankan sudah berlangsung lebih
kurang 39 tahun sejak dilahirkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-
Pokok Perbankan (Tan Kamello, 2006: 2). Pengaturan perbankan yang tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1967 tidak terlepas dari jiwa dan makna Ketetapan MPRS Nomor
menghendaki untuk menilai kembali tata perbankan dalam rangka penyehatan tata perbankan
8
supaya dapat lebih dimanfaatkan bagi kepentingan perkembangan ekonomi dan moneter. Oleh
karena itu, maka pengaturan tata perbankan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang
1. tata perbankan harus merupakan suatu kesatuan sistem yang menjamin adanya kesatuan
Berdasarkan pemikiran dan landasan di atas, maka tata perbankan Indonesia menurut
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967, baik mengenai organisasi maupun struktumya dibentuk
sedemikian rupa, hingga Bank Indonesia sebagai bank sentral membimbing pelaksanaan
kebijaksanaan moneter dan mengoordinir, membina serta mengawasi semua perbankan. Bank-
bank baik milik negara ataupun swasta/ko- perasi membantu bank sentral dalam melaksanakan
Sesuai dengan dinamika perekonomian nasional dan intemasional yang diikuti perubahan
budaya yang bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks dan meluas, maka
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 perlu disusun kembali dengan mengadakan pembaruan
pada tataran idealistik hukum, sehingga mampu menyahuti realistik hukum. Pembaruan diawali
dengan adanya indikasi perubahan di bidang perbankan sejak tahun 1983 yang diikuti dengan
kebijakan baru di bidang moneter dan perbankan yang dikenal dengan tahap awai deregulasi.
Kebijakan selanjutnya diikuti dengan Paket Juni (Pakjun) 1983, disusul dengan Paket Oktober
9
(Pakto) 1988, Pakjun 1990, Paket Februari 1991, dan mencapai puncaknya pada tahun 1992
dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Tan Kamello,
2006: 2).
Sebagaimana diketahui, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 disusun pada situasi dan
kondisi perekonomian yang jauh berbeda dengan situasi dan kondisi perekonomian saat ini.
tantangan yang semakin luas, perlu selalu dapat diikuti secara tanggap oleh perbankan nasional
dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya, sehingga perbankan nasional perlu:
1. ditata dalam struktur kelembagaan yang lebih lugas, dengan lan- dasan yang lebih luas,
air, baik pelayanan sebagai perbankan umum yang menjangkau semua lapisan masyarakat
3. diperkuat dengan landasan hukum yang dibutuhkan bagi terselenggaranya pembinaan dan
nya secara sehat, wajar dan efisien, sekaligus memungkinkan perbankan Indonesia melakukan
intemasional.
pengaturan hukum perbankan agar lebih se- suai dengan tuntutan pembangunan. Substansi dari
pengaturan hukum perbankan yang baru ini diharapkan dapat menyempurnakan tata perbankan
1. penyederhanaan jenis bank, menjadi jenis Bank Umum dan jenis Bank Perkreditan
Rakyat, serta memperjelas ruang lingkup dan batas kegiartan yang dapat diselenggarakannya;
2. persyaratan pokok untuk mendirikan suatu bank diatur secara rinci, sehingga ketentuan
pelaksanaan yang berkaitan dengan kegiatan perbankan lebih jelas dan terarah;
melalui penerapan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatan bank;
sehat dan bertanggung jawab, sekaligus mencegah terjadinya praktik-praktik yang merugikan
bergerak cepat disertai dengan tantangan-tantangan yang semakin luas. Di dalamnya diciptakan
satu lingkungan industri perbankan, tetapi juga membuat transformasi yang diakibatkan oleh
sehingga mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, dibentuk tindakan langsung yang
ditujukan guna mempercepat proses modernisasi sektor industri perbankan. Juga digariskan
ketentuan tertib hubungan yang disepakati bersama dan yang diperlukan dalam industri
perbankan untuk menjalankan fungsi produktifnya (bandingkan Muhamad Djumhana, 1993: 30).
Pertama kalinya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tersebut diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998. Jika kita mencermati konsiderans menimbang dari Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998, dapat diketahui dasar pemikiran dan latar belakang penyempurnaan
11
bergerak cepat, kompetitif dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta
sistem keuangan yang semakin maju, maka diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang
termuat dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 ini agar lebih sesuai dengan per-
Perkembangan ekonomi nasional dewasa ini menunjukkan arah yang semakin menyatu
dengan ekonomi regional dan internasional yang dapat menunjang sekaligus dapat berdampak
bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks. Oleh karena itu, diperlukan berbagai
penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi termasuk sektor Perbankan, sehingga diharapkan akan
dapat memperbaiki dan memperkukuh perekonomian nasional. Sektor Perbankan yang memiliki
potensi strategis sebagai lembaga inter- mediasi dan penunjang sistem pembayaran, merupakan
faktor yang sangat menentukan dalam proses penyesuaian dimaksud. Sehubungan dengan itu,
diperlukan penyempurnaan terhadap sistem Perbankan nasional yang bukan hanya mencakup
upaya penyehatan bank secara individual, melainkan juga penyehat-an sistem Perbankan secara
menyeluruh. Upaya penyehatan Perbankan nasional menjadi tang- gung jawab bersama antara
Pemerintah, bank-bank itu sendiri, dan masyarakat pengguna jasa bank. Adanya tanggung jawab
12
bersama tersebut dapat membantu memelihara tingkat kesehatan Perbankan nasional, sehingga
b. Dalam memasuki era globalisasi dan dengan telah diratifikasinya beberapa perjanjian
intemasional di bidang perdagangan dan jasa, maka diperlukan penyesuaian terhadap peraturan-
Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 ini agar lebih sesuai dengan
era globalisasi.
berbagai forum intemasional seperti World Trade Organization (WTO), Asia Pacific Economic
Cooperation (APEC), dan Association of South East Asiari Nations (ASEAN) diperlukan
berbagai penyesuaian dalam peraturan Perbankan nasional, termasuk pembukaan akses pasar dan
Perbankan nasional. Oleh karena itu, perlu diberikan kesempatan yang lebih besar kepada pihak
asing untuk berperan serta dalam memiliki bank nasional, sehingga tetap terjadi kemitraan
Tahun 1992 tersebut dimaksudkan agar peraturan perbankan lebih sesuai dengan perkembangan
dan kebijakan di bidang ekonomi dan perdagangan nasional maupun dunia. Selain itu, juga untuk
13
menyesuaikan dengan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan norma hukum
perbankan.
Nomor 7 Tahun 1992 dilakukan secara sub- stansial, yang mencerminkan pendapat masyarakat
mengenai perbankan dan program penyehatan perbankan yang telah, sedang, dan yang akan
Nomor 7 Tahun 1992 melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, antara lain
meliputi:
a. peralihan kewenangan dalam pemberian izin pendirian bank kepada Bank Indonesia dari
Departemen Keuangan, dengan memberikan kewenangan penetapan oleh Bank Indonesia atas
beberapa ketentuan. Selain itu, DPR juga menekankan pentingnya fungsi penyehatan perbankan
b. perlunya konsultasi kepada DPR dalam rangka pembentukan badan khusus yang bertugas
melakukan penyehatan perbankan nasional, mengingat adanya peran APBN dalam pendanaan
program penyehatan dan adanya pemberian kewenangan tertentu kepada badan khusus
dimaksud. Konsultasi dengan DPR perlu dilakukan untuk menilai apakah suatu keadaan telah
itu, DPR juga memberikan masukan perlunya program penyehatan perbankan dilakukan dengan
memperhatikan kesamaan kedudukan bagi seluruh pihak, dan sejalan dengan itu pelaksanaan
c. peningkatan sanksi pidana atas pelanggaran ketentuan rahasia bank, yang merupakan
perubahan yang materiil terhadap konsep awai dan mencerminkan DPR dalam menjamin
14
kerahasiaan mengenai simpanan dan nasabah penyimpan, dengan tujuan untuk mempertahankan
Prinsip Syariah dirumuskan dalam pendefinisian Prinsip Syariah dan Pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah serta adanya kemudahan untuk pelaksanaan kegiatan Bank Umum secara
e. dalam masalah pendirian dan kepemilikan bank, rekapitalisasi perbankan nasional dapat
dilakukan dengan memungkinkan kepemilikan pihak asing sebagai mitra strategis dan pemegang
saham Bank Umum, dan karenanya juga diharapkan dapat mendorong efisiensi perbankan
nasional;
f. peranan Badan Pemeriksa Keuangan dalam melakukan pemeriksaan terhadap bank yang
g. pendefinisian Lembaga Penjamin Simpanan dan pendapat DPR mengenai bentuk badan
hukum yang akan digunakan, di sam- ping dukungan nyata berupa persetujuan DPR bagi
h. penegasan mengenai sifat sementara bagi badan khusus penyehatan perbankan nasional,
yang menunjukkan perlunya dihindar- kan duplikasi dalam pembinaan perbankan nasional;
perjanjian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah bagi perusahaan berskala besar
j. perubahan ancaman sanksi pidana berupa peningkatan ancaman hukuman dan pengenaan
hukuman yang bersifat minimum dan- maksimum (Rachmadi Usman, 2001: 10-12).
15
5. kepengurusan bank;
7. rahasia bank;
Disamping itu, pengaturan hukum perbankan nasional yang termuat dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 dilengkapi pula dengan Penjelasan Umum serta Penjelasan Pasal
demi Pasal, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Batang Tubuh Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Penjabarannya dalam Undang-Undang Perbankan yang Diubah ada yang secara rinci dan
hanya menetapkan asas-asas dan soal-soal pokok dalam garis besarnya saja. Oleh karena itu,
substansi pengaturan hukum perbankan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dinilai terlalu
sumir, sederhana, umum, singkat, dan menetapkan pengecualian yang membatasi, sehingga
terdapat dalam berbagai peraturan per- undang-undangan yang sudah ada, sedang sebagian lagi
masih perlu ditetapkan oleh Bank Indonesia, berupa Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran
Bank Indonesia.
Dewasa ini kerangka hukum bank berdasarkan Prinsip Syariah telah diatur secara khusus
dan tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Pembentukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 ini didasarkan pada pertimbangan, bahwa
perlunya aturan spesifik atau khusus dalam suatu undang-undang tersendiri, yang mengatur
perbankan konvensional dan kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah
semakin meningkat. Sejalan dengan itu, sesuai dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia
untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, maka
pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan Prinsip Syariah, dengan mengangkatnya ke
dalam sistem hukum nasional. Sebelum terbentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008,
gaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 serta aturan yang dikeluarkan Bank Indonesia berupa
Dari sudut sifatnya, struktur kaidah hukum dapat dibedakan atas hukum imperatif
(hukum memaksa atau dwingend recht), dan hukum fakultatif (hukum mengatur atau hukum
pelengkap (regelend recht atau aanvullend recht)). Pembedaan ini didasarkan pada kekuatan
17
sank- sinya. Hukum memaksa itu hukum yang dalam keadaan konkret tidak dapat
dikesampingkan (disisihkan) oleh perjanjian (kontrak) yang dsibuat oleh kedua belah pihak
sendiri. Dengan kata lain, hukum yang dalam keadaan bagaimanapun juga harus ditaati, hukum
yang mempunyai paksaan mutlak (absolut). Adapun hukum mengatur ialah hukum yang dalam
keadaan konkret dapat disisihkan oleh perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak. Bilamana
kedua belah pihak dapat menyelesaikan soal mereka dengan membuat sendiri suatu peraturan,
maka peraturan hukum yang tercantum dalam pasal yang bersangkutan, tidak perlu dijalankan.
Hukum mengatur bia- sanya dijalankan, bilamana kedua belah pihak tidak membuat sendiri
suatu peraturan atau membuat sendiri suatu peraturan, tetapi tidak lengkap. Hukum mengatur
disebut juga hukum menambah (Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1980: 21-26 dan
Apabila dihubungkan dengan sifat hukum perbankan, maka sifat hukum perbankan
merupakan hukum memaksa, artinya bank dalam menjalankan kegiatan usaha harus tunduk dan
patuh terhadap rambu- rambu yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Apabila rambu-
rambu perbankan tadi dilanggar, maka Bank Indonesia berwenang untuk menindak bank yang
Walaupun demikian, dalam rangka pengawasan intern, bank diperkenankan membuat ketentuan
intern bank sendiri (self regulation)dengan berpedoman kepada kebijakan umum yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia. Ketentuan intern bank sendiri ini diadakan dimaksudkan sebagai stan- dar
atau ukuran yang jelas dan tegas dalam pengawasan intern bank, sehingga bank diharapkan dapat
Pada dasamya usaha bank dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dengan
masyarakat nasabah bank. Bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan
18
pada bank atas dasar kepercayaan, sehingga setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya
Kemauan masyarakat untuk menyimpan sebagian atau seluruh uangnya di bank, semata-mata
dilandasi oleh prinsip kepercayaan bahwa uangnya akan aman dan tetap akan dapat diperolehnya
kembali pada waktu yang diinginkan atau sesuai dengan yang diperjanjikan, dan disertai
pemberian imbalan. Apabila kepercayaan nasabah penyimpan dana terhadap suatu bank telah
berkurang, maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi rushterhadap dana yang disimpannya.
Berbagai faktor dapat menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat nasabah bank terhadap suatu
bank.
Adanya prinsip kehati-hatian bank dan kesehatan bank dalam kegiatan industri perbankan
juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat nasabah bank.
Hal ini mengingat sebagian besar sumber pendanaan perbankan berasal dari masyarakat nasabah,
di samping modal bank yang bersangkutan. Bank hanya akan dapat memobilasi dana dari
masyarakat, bila bank yang bersangkutan dapat dipercaya (prinsip kepercayaan) oleh ma-
syarakat. Dalam mengelola dana yang berasal dari masyarakat nasabah tadi, bank dengan
sendirinya harus bekerja secara hati-hati (prinsip kehati- hatian) agar banknya tetap dalam
keadaan sehat. Ini berarti bank harus melaksanakan prinsip kehati-hatian, yang secara tidak
langsung memberikan perlindungan hukum dan jaminan keamanan kepada masyarakat nasabah
bank.
Selain itu, perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan dunia
perbankan juga dilakukan secara konkret atau diatur melalui norma hukum, sebagai perwujudan
lebih lanjut dari prinsip-prinsip hukum yang melandasi kegiatan industri perbankan nasional
sebagaimana disebutkan di atas. Bahkan materi muatan norma hukum yang mengatur kegiatan
19
industri perbankan nasional, juga harus mencerminkan atau menjabarkan lebih lanjut prinsip-
prinsip yang melandasi dalam kegiatan industri perbankan nasional. Dengan diadakannya norma
hukum yang mengatur kegiatan industri perbankan nasional diharapkan dapat diketahui secara
jelas hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan industri perbankan nasional,
sehingga akan terjalin hubungan yang harmonis dan seimbang antara pihak-pihak terkait dalam
kegiatan industri perbankan nasional. Norma hukum yang mengatur kegiatan industri perbankan
terkait dalam kegiatan industri perbankan nasional tersebut, dikarenakan norma hukum memiliki
"legitimasi normatif " serta memberikan "efek penjera" bagi pelanggarnya. Dalam kaitan ini,
hukum dipandang sebagai statutory instrument, yang berfungsi sebagai alat mekanis, yaitu
sengaja secara sadar dipakai Untuk mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakat dan
sekaligus menghasilkan hukum yang responsif terhadap kegiatan industri perbankan nasional.
Melalui sarana hukum, politik kegiatan industri perbankan nasional dapat diwujudkan. Politik
kegiatan industri perbankan nasional dengan sendirinya akan mendapatkan legitimasi dari hukum
terkait dalam kegiatan industri perbankan nasional dapat pula diwujudkan. Dengan demikian,
hukum merupakan instrumen yang berhasil guna dan berdaya guna yang dimiliki oleh negara
untuk mewujudkan berbagai politik kegiatan industri perbankan nasional dalam konteks mewu-
judkan sistem perbankan nasional yang sehat, kuat, dan efisien, guna menciptakan kestabilan
melindungi kepentingan umum, dalam hal ini kepentingan negara, melainkan harus lebih banyak
memberikan perlindungan kepada kepentingan sosial masyarakat banyak pada umumnya, dan
kepentingan masyarakat pribadi, dalam hal ini nasabah bank dari perbuatan-perbuatan yang
dapat merugikan masyarakat banyak dan kegiatan industri perbankan nasional itu sendiri. Segala
tindakan dan perilaku pihak-pihak yang terkait dalam atau dengan kegiatan industri perbankan
nasional harus diatur secara normatif sebagai implementasi lebih lanjut dari prinsip-prinsip
hukum yang mengatur hubungan pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan industri perbankan
nasional. Tujuan utama pengaturan secara normatif kegiatan industri perbankan nasional tersebut
dalam rangka menjaga keamanan dan kesehatan bank dengan baik serta sekaligus kesehatan
sistem keuangan nasional secara keseluruhan, sehingga kegiatan industri perbankan nasional
diharapkan akan dapat melaksanakan praktik- praktik perbankan yang sehat dan mampu bersaing
secara sehat di antara sesama dalam kegiatan industri perbankan nasional. Selain itu, pengaturan
secara normatif kegiatan industri perbankan nasional ini, juga hendak melindungi dan menjamin
keamanan nasabah serta terhindarnya nasabah dari praktik-praktik perbankan yang tidak sehat,
yang kalau tidak diatur secara normatif pada gilirannya akan dapat merugikan masyarakat
banyak serta sekaligus mengganggu sistem keuangan nasional secara keseluruhan (Bandingkan
Dengan demikian, pengaturan secara normatif kegiatan industri perbankan nasional ini
diharapkan dapat mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan pruden serta kompetitif secara
wajar di tengah pasar domestik dan pasar global, sehingga visi dan sasaran Arsitektur Perbankan
Kegiatan perbankan juga selalu mengikuti kemajuan aneka kegiatan ekonomi dalam
pasar domestik maupun pasar global, sehingga fungsi perbankan itu sendiri makin bertambah
dan beraneka wama. Perkembangan ini tentu saja mengandung kemungkinan pertambahan risiko
yang akan mempengaruhi kesehatan perbankan. Apabila dahulu perbankan dapat tumbuh dan
berkembang berdasarkan kebiasaan praktik yang diakui oleh masyarakat sebagai norma hukum
tak tertulis, maka dengan semakin kompleks dan semakin tingginya risiko yang dihadapinya,
praktik perbankan harus diatur oleh suatu sistem perundangan yang modem pula (Gunardi
dibentuk atau dibuat oleh kekuasaan negara (badan legislatif) dengan didasari pada ideologi
yang dianut dan pilihan nilai dari otoritas politik yang membentuknya, sehingga sistem peraturan
perundang-undangan juga merupakan produk politik dan sekaligus sebagai instrumen ekonomi
yang paling banyak diatur pemerintah dibandingkan dengan kegiatan industri-industri lainnya.
Sebab karena kegiatan perbankan lebih banyak tergantung kepada dana masyarakat, sehingga
perlu dijamin kepastian keamanannya. Selain itu, penyaluran dana perbankan merupakan bisnis
berisiko tinggi, yang apabila tidak dikelola dengan baik dapat mengganggu tidak hanya kelang-
sungan usaha bank itu sendiri, namun juga sistem perbankan dan kestabilan moneter (Heru
dengan industri nonperbankan pada umum- nya. Perbedaan yang mendasar terutama terlihat dari
pertama, eksistensi lembaga keuangan sangat bergantung pada unsur kepercayaan dan kedua,
hubungan bank, masyarakat dan pemerintah merupakan wujud ikatan sosial dalam artian bahwa
masyarakat mengharapkan agar pemerintah dapat melindungi hak milik individu (Sen- tosa
Perlu juga disadari bahwa korelasi antara pengaturan dunia perbankan dengan kegiatan
perbankan itu sendiri sangatlah erat. Ingo Walter dalam High Performance Financial System:
Blueprint for Developmentmengatakan, bahwa small changes in financial regulation can bring
about truly massive changes in financial activity.Untuk itu pembuatan (drafting) dan perbaikan
dilakukan secara hati- hati dengan memperhatikan akibat ekonominya serta dalam rangka
melindungi fungsi perbankan dalam perekonomian negara dan upaya untuk memantapkan
Demikian halnya dengan pengaturan hukum perbankan dan ke- banksentralan sebagai
bagian dari hukum ekonomi dalam sistem hukum perundang-undangan sudah tentu mempunyai
dibuat dengan tujuan untuk melindungi konsu- ' men dari suatu produk atau kegiatan konsumen;
23
b. industry protection theory (teori perlindungan kepentingan industri atau pelaku usaha),
bahwa suatu peraturan dibentuk dengan tuju- j an untuk melindungi kepentingan produsen dari
1
suatu produk } atau kegiatan. Dalam hal ini, industri dan perwakilan atau aso- siasinya
quopelayanan
birokrasi, dan expansion theory, yang merupakan bentuk pelayanan yang terbaik dari birokrasi
undangan dibuat untuk memperhatikan atau menjaga keseimbangan dan kepentingan masyarakat
secara keseluruhan. Termasuk dalam tujuan pembentukan peraturan adalah tujuan nasional untuk
pembangunan wilayah atau bidang tertentu untuk kepentingan masyarakat tertentu (Surya Iman
Secara khusus Nicholas A. Lash mengemukakan ada lima tujuan pengaturan industri
perbankan, yaitu:
Tujuan menjaga keamanan bank dibutuhkan agar kegiatan industri perbankan tidak
mudah colaps berhubung kegiatan industri perbankan sangat rentan terhadap ketidakpercayaan
masyarakat. Adapun tujuan menciptakan iklim kompetensi, bahwa hukum perbankan harus
menciptakan suatu kondisi agar tidak terjadi dominasi oleh bank besar terhadap kegiatan industri
perbankan secara keseluruhan. Tujuan ketiga hukum perbankan bermaksud memastikan agar
bank dapat betul-betul menyalurkan kredit-kreditnya kepada mereka yang sangat memerlukan.
Selanjutnya pengaturan hukum perbankan bertujuan untuk melindungi nasabah sedapat mungkin
hukum perbankan dapat menjaga agar nasabah diperlakukan secara adil (fair play) oleh bank,
berhubung nasabah selalu dalam posisi tawar (bargaining position) yang lemah. Terakhir
pengaturan hukum perbankan bertujuan menciptakan suasana kondusif pengambil kebijakan mo-
neter dimaksudkan agar hukum perbankan dapat secara efisien menentukan lembaga-lembaga
Sementara itu secara khusus di Indonesia, pengaturan hukum perbankan memiliki tiga
pembiayaan investasi;
b. fungsi pengawasan dalam rangka menjaga keamanan dan kesehatan maupun sistem
keuangan keseluruhan, agar tercipta praktik perbankan dan persaingan antarbank yang
sehat. Selain itu, untuk melindungi nasabah dan menjaga stabilitas pasar uang, mendo-
rong sistem perbankan yang efisien dan kompetitif dan tanggap terhadap kebutuhan
masyarakat akan jasa keuangan yang berkualitas dengan biaya yang wajar; dan
masalah ekonomi. Bank-bank kita mengemban peran sebagai agen pembangunan (agent
25
Dalam kacamata sistem hukum nasional, hukum perbankan telah berkembang menjadi
hukum sektoral dan fungsional. Oleh karena itu, hukum perbankan, dalam kajiannya meniadakan
pembedaan an- tara hukum publik dan hukum privat, sehingga bentang ruang ling- kupnya
sangat luas. Kalau mau dirinci, bentang ruang lingkup hukum. perbankan itu mencakup beberapa
bidang hukum, seperti hukum administrasi, hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana dan
Untuk mempelajari norma hukum, maka kita harus mengetahui asas- asas hukum yang
menyertainya. Karena norma hukum itu lahir tidak dengan sendiri. Norma hukum lahir
dilatarbelakangi oleh dasar-dasar yuridis filosofi tertentu. Itulah yang dinamakan dengan asas
hukum.
Semakin tinggi tingkatannya, maka asas hukum itu semakin abstrak dan umum sifatnya
serta mempunyai jangkauan kerja yang lebih luas untuk memayungi norma hukumnya. Dengan
demikian asas hukum itu merupakan dasar atau ratio legis dari dibentuknya suatu norma hukum,
demikian pula sebaliknya, norma hukum itu harus dapat dikembalikan kepada asas hukumnya.
Jangan sampai lahir norma hukum yang bertentangan dengan asas hukumnya. Norma hukum
Satjipto menyatakan, bahwa barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan asas hukum
ini merupakan "jantung-nya" peraturan hukum. Karena ia merupakan landasan yang paling luas
bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti, bahwa peraturan-peraturan itu pada akhirnya
26
bisa dikembalikan kepada asas-asas hukum tersebut. Kecuali disebut landasan, asas hukum ini
layak disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari per-
aturan hukum. Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suiatu peraturan
hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya
Dikatakan lagi oleh Satjipto Rahardjo, bahwa asas hukum ini sebagai suatu sarana yang
membuat hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang dan ia juga menunjukkan, bahwa hukum itu
bukan sekadar kumpulan dari peraturan-peraturan belaka. Hal ini disebabkan karena asas hukum
itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis, yang merupakan jembatan antara
peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya. Apabila
kita membaca suatu peraturan hukum, mungkin kita tidak menemukan pertimbangan etis di situ.
Tetapi asas hukum menunjukkan adanya tuntutan etis yang demikian itu, atau setidak-tidaknya
kita bisa merasakan adanya petunjuk ke arah itu (Satjipto Rahardjo, 1996: 45).
Lebih lanjut Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa asas hukum bukan peraturan hukum,
namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di
dalamnya. Oleh karena itu, untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik-baiknya tidak
bisa hanya melihat pada peraturan-peraturan hukumnya saja, melainkan harus menggalinya
sampai kepada asas-asas hukumnya. Asas hukum inilah yang memberi makna etis kepada
yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam dunia perbankan. Pihak-pihak yang
terlibat dalam dunia perbankan tersebut, meliputi pihak pemerintah c.q. negara yang diwakili
oleh Bank Indonesia, pihak bank pelaksana (Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat), dan
27
pihak nasabah bank (baik nasabah penyimpan dana (nasabah kreditor) maupun nasabah
Salah satu ciri sistem perbankan yang sehat dan efisien dapat memelihara kepentingan
masyarakat nasabah dengan baik, yang merupakan pilar kegiatan industri perbankan di samping
negara dalam hal ini diwakili Bank Indonesia, dan pemilik bank dalam hal ini diwakili oleh
pemegang saham.
Kehadiran negara dalam hal ini menyangkut kepentingan dalam rangka membiayai
pembangunan sekaligus mengendalikan lalu lintas moneter. Sedangkan kehadiran pemilik bank
dan masyarakat nasabah dalam industri perbankan tersebut didasari keinginan untuk mencari
keuntungan, di mana lembaga bank ini dipandang tidak ubahnya seperti "perusahaan produsen
barang". Sebagai produsen barang, bank harus dapat memanfaatkan sumber atau faktor-faktor
produksi yang dimiliki (yaitu deposito dan tabungan yang didapatkan dari masyarakat) untuk
menghasilkan output (kredit), di samping itu juga menjadi perantara yang mampu menjembati
serta menjadi media transaksi antarpihak yang lebih dengan pihak yang lain yang kurang. Oleh
karena itulah, ia harus memberikan jaminan agar proses itu berjalan seperti apa yang diharapkan.
Ini berarti bank sebagai lembaga keuangan, di samping untuk mencari keuntungan, bank juga
Hubungan hukum antara pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan industri perbankan
nasional ini, yaitu Bank Indonesia, bank pelaksana, dan nasabah bank didasarkan pada prinsip-
prinsip pergaulan kegiatan industri perbankan, yang berfungsi sebagai pedoman bagi pihak-pihak
yang terkait dalam pergaulan dan kehidupan kegiatan industri perbankan, sehingga dapat
mewujudkan sistem perbankan yang sehat dan pruden(prudential banking system). Bank
Indonesia, selain bertindak sebagai pengawas dan pembina bank, juga sekaligus berkewajiban
28
memberikan perlindungan hukum terhadap nasabah bank dari praktik-praktik bank yang
merugikan kepentingan masyarakat luas dalam rangka mengayomi masyarakat luas. Sementara
itu, bank pelaksana dapat mengadakan hubungan perbankan dengan nasabah bank, baik itu
berupa usaha memobilisasi dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan maupun usaha
menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-ben- tuk lainnya,
yang kesemuanya dilakukan dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Prinsip-prinsip pergaulan kegiatan industri perbankan nasional yang menjadi pedoman bagi
pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan industri perbankan nasional tersebut dapat dilihat
Bank Indonesia dalam melaksanakan hubungan perbankan dengan bank pelaksana dan
nasabah bank harus dilandasi oleh prinsip pengayoman dan hubungan perbankan antara bank
pelaksana dengan nasabah bank harus dilandasi prinsip kemitraan (kesejajaran), yang dijabarkan
your customer principle).Pelaksanaan prinsip kemitraan antara bank pelaksana dan nasabah bank
dilakukan dalam rangka tercip- tanya sistem perbankan yang sehat dan pruden dan serta
berkemampuan melindungi secara baik dana yang dititipkan masyarakat kepadanya, serta
Hubungan antara bank dan nasabah penyimpan dana merupakan hubungan kontraktual
antara debitur dan kreditor yang dilandasi oleh prinsip kehati-hatian dengan tujuan agar bank
yang menggunakan uang nasabah tersebut akan mampu membayar kembali dana masyarakat
yang disimpan kepadanya apabila ditagih oleh para penyimpannya (Ronny Sautma Hotma Bako,
Dengan adanya prinsip kehati-hatian ini, maka bank dalam melakukan kegiatan usaha
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat diwajibkan untuk
bertindak secara hati-hati, cermat, teliti, dan bijaksana atau tidak ceroboh dengan memi-
nimalisir kemungkinan risiko yang akan terjadinya sebagai akibat dari kegiatan usaha
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat, yang kesemuanya
itu pada gilirannya dalam rangka memberikan perlindungan terhadap dana masyarakat yang
Tujuan diberlakukannya prinsip kehati-hatian tidak lain agar bank selalu dalam keadaan
sehat, dengan kata lain agar selalu dalam keadaan likuiddan solvent.Dengan diberlakukannya
prinsip kehati-hatian, diharapkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap tinggi,
sehingga masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu menyimpan dananya di bank (Sutan Remy
Prinsip kehati-hatian ini harus dijalankan oleh bank bukan hanya karena dihubungkan
dengan kewajiban bank agar tidak merugikan kepentingan nasabah yang mempercayakan
dananya kepada masyarakat, tetapi juga karena kedudukan bank yang istimewa dalam masya-
rakat, yaitu sebagai bagian dari sistem moneter yang menyangkut kepentingan semua anggota
masyarakat yang bukan hanya nasabah penyimpan dana dari bank itu saja (Sutan Remy
bertujuan agar bank menjalankan usahanya secara baik dan benar dengan mematuhi ketentuan-
ketentuan dan norma- norma hukum yang berlaku dalam industri perbankan nasional, sehingga
bank yang bersangkutan selalu dalam keadaan sehat dan solvent. Dalam keadaan demikian,
masyarakat akan semakin mempercayainya, yang pada gilirannya akan mewujudkan sistem
perbankan yang sehat, tangguh dan efisien, dalam arti dapat memelihara kepentingan masyarakat
nasabah bank dengan baik, dapat berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perkembangan
ekonomi nasional. Oleh karena itu, prinsip kehati-hatian ini harus dipegang teguh dan perlu
dijabarkan lebih lanjut dalam rambu-rambu dan ketentuan perbankan, termasuk dalam
pengaturan penjaminan perbankan nasional, yang merupakan suatu kewajiban atau keharusan
sebagaimana mestinya.
31
Prinsip kehati-hatian perbankan di sini hendak dilihat dalam ke- rangka pikir untuk
menjaga kepercayaan masyarakat penyimpan dana. Untuk itu diperlukan adanya kondisi bank
yang sehat, sebab dengan kondisi bank yang sehat akan dapat mewujudkan kepercayaan
masyarakat. Dengan kata lain, penerapan prinsip kehati-hatian dalam industri perbankan nasional
ini dimaksudkan untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan sekaligus menciptakan perbankan
yang sehat. Dalam kerangka demikian inilah, maka prinsip kesehatan bank mempunyai kaitan
dengan prinsip kehati-hatian, yang sama-sama dapat dijadikan sebagai tolok ukur memberikan
perlindungan hukum kepada masyarakat nasabah bank, termasuk nasabah penyimpan dana bank.
Moch. Isnaeni menyatakan bahwa prinsip kehati-hatian menjadi benang merah yang
sangat perlu diperhatikan mengingat dana yang dikelola berasal dari kocek masyarakat luas.
Pihak bank yang telah berhasil menarik dana masyarakat, wajib mengelola dana tersebut dengan
manajemen yang cermat. Untuk itulah masalah kesehatan bank menjadi tolok ukur untuk
menetapkan upaya pengelolaan bank itu sudah dijalankan secara benar (Moch. Isnaeni, 1997)
Tingkat kesehatan suatu bank merupakan kepentingan semua pihak yang terkait, baik
pemilik dan pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank maupun Bank Indonesia sebagai
pengawas dan pembina bank. Sesuai dengan tanggung jawabnya, maka masing-ma- sing pihak
tersebut terikat dan secara bersama-sama harus selalu berupaya untuk mewujudkan bank yang
sehat agar tetap dipercaya oleh masyarakat pengguna jasa bank. Adanya ketentuan tingkat ke-
sehatan bank ini dimaksudkan untuk dapat digunakan sebagai tolok ukur bagi manajemen bank
untuk menilai apakah pengelolaan bank telah dilakukan sejalan dengan prinsip-prinsip perbankan
yang sehat dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Selain itu, bagi Bank Indonesia
dengan adanya ketentuan tingkat kesehatan bank ini, maka dapat dijadikan sebagai tolok ukur
32
untuk menetapkan arah pembinaan dan pengembangan bank baik secara individual maupun in-
1. keunikan karakteristik perbankan yang rentan terhadap serbuan masyarakat yang menarik
dana secara besar-besaran (bank runs), sehingga berpotensi merugikan deposan dan
kreditor bank;
3. proses penyelesaian bank-bank bermasalah membutuhkan dana dalam jumlah yang tidak
sedikit;
Sutan Remy Sjahdeini menyatakan, bahwa hubungan antara bank dan nasabah
penyimpan dana adalah hukum pinjam meminjam uang antara debitur (bank) dan kreditor
(nasabah penyimpan dana) yang dilandasi oleh asas kepercayaan. Dengan kata lain, bahwa
menurut Undang-Undang Perbankan yang Diubah, hubungan antara bank dan nasabah
penyimpan dana bukan sekadar hubungan kontraktual biasa antara debitur dan kreditor yang
diliputi oleh asas-asas umum dari hukum perjanjian, tetapi juga hubungan kepercayaan yang dili-
puti asas kepercayaan. Secara eksplisit undang-undang mengakui bahwa hubungan antara bank
33
dan nasabah penyimpan dana adalah hubungan kepercayaan, yang membawa konsekuensi bank
tidak boleh hanya memperhatikan kepentingan sendiri semata-mata, tetapi juga harus
memperhatikan kepentingan nasabah penyimpan dana (Sutan Remy Sjahdeini, 1993: 167).
Lebih lanjut dikatakan oleh Sutan Remy Sjahdeini, bahwa demikian pula hubungan
antara bank dan nasabah debitur, mempunyai sifat sebagai hubungan kepercayaan yang
nasabahnya, maka masyarakat bisnis dan perbankan Indonesia telah melihat pula bahwa
hubungan antara bank dan nasabah debitur adalah hubungan kepercayaan. Dari pengertian kredit,
hubungan antara bank dan nasabah debitur bukan sekadar hubungan kontraktual belaka, tetapi
juga merupakan hubungan kepercayaan. Di dalam bisnis yang diberikan atau yang diterima
sebagai penukar uang, barang atau jasa adalah kepercayaan. Karena bank hanya bersedia
memberikan kredit kepada nasabah debitur atas kepercayaan bahwa nasabah debitur mampu dan
mau membayar kembali kreditnya tersebut, maka juga hubungan perjanjian kredit, bukanlah
sekadar hubungan kontraktual biasa antara kreditor dan debitur, tetapi juga hubungan
Prinsip rahasia bank menjadi sangat penting dijaga dalam industri perbankan, karena
prinsip tersebut merupakan jiwa dari industri perbankan (Nindyo Pramono, 2006: 245). Prinsip
rahasia bank adalah suatu prinsip yang mengharuskan atau mewajibkan bank untuk
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan, dan lain-lain, dari nasabah
bank yang menurut kelaziman dunia perbankan (wajib) dirahasiakan. Kerahasiaan bank ini
diperlukan untuk kepentingan bank sendiri, yang memerlukan kepercayaan masyarakat yang
menyimpan uangnya di bank. Masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya pada bank atau
memanfaatkan jasa bank apabila dari bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang
34
simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak akan disalahgunakan. Oleh karena itulah, maka
Stabilitas sistem keuangan akan dapat goyah jika bank tidak menganut prinsip
kerahasiaan ini. Jika identitas atau keberadaan nasabah dan simpanannya atau rekeningnya tanpa
alasan hukum yang kuat begitu mudah diterobos oleh pihak yang tidak berkepentingan dengan
rekening atau dibocorkan kepada pihak yang tidak berkepentingan, dampaknya sudah dapat
dipastikan bahwa pemilik rekening akan merasa privasinya terganggu. Dapat dipastikan jika
nasabah tersebut merasa tidak aman lagi berkaitan dengan harta milik yang disimpan di suatu
bank tertentu. Ia akan memindahkannya ke sarana investasi atau sarana penyimpanan lain yang
dirasa lebih menjanjikan keamanan dan kerahasiaannya (Nindyo Pramono, 2006: 245).
Dampak selanjutnya dari keadaan tersebut akan dapat mengancam perekonomian dan
sistem perbankan nasional. Kepercayaan masyarakat akan goyah, rushakan terjadi dan
multiplierefeknya akan dapat menular ke industri bank yang lain, bahkan pada sistem per-
ekonomian negara. Adapun tujuan utama bank bekerja dengan menggunakan prinsip rahasia
bank adalah agar nasabah memperoleh tingkat perlindungan dan penjaminan hukum yang
memadai atas kepercayaan nasabah yang diberikan kepada bank untuk mengelola dana yang
bahwa dana yang dipercayakan kepada bank tersebut tidak akan disalahgunakan untuk hal-hal
yang sangat mengganggu privasi dari nasabah (Nindyo Pramono, 2006: 246).
Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, yang wa- jib dirahasiakan bank
meliputi keadaan keuangan nasabah penyimpan dana (kreditor) dan nasabah peminjam dana
(debitur), di mana kedua nasabah bank ini mendapatkan perlindungan dan penjaminan hukum
kerahasiaan bank. Sementara Undang-Undang Perbankan yang Diubah, membatasi yang wajib
35
dirahasiakan bank hanya keadaan keuangan nasabah penyimpan dana saja. Ketentuan dalam
Pasal 40 Undang-Undang Perbankan yang Diubah menetapkan, bahwa bank wajib merahasiakan
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Ketentuan rahasia bank ini dapat
dikecualikan dalam hal tertentu. Artinya tidak seluruh aspek yang ditatausahakan bank akan
menjadi hal-hal yang wajib dirahasiakan oleh bank yang bersangkutan. Kendatipun demikian,
prinsip rahasia bank merupakan salah satu unsur yang harus dimiliki oleh setiap bank sebagai
nasabahnya itu menunjukkan bahwa hubungan antara bank dan nasabah penyimpan dana,
dilandasi oleh asas kerahasiaan. Oleh karena itu, hubungan antara bank dan nasabah penyimpan
Untuk mengurangi risiko usaha, bank diwajibkan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian
dalam menjalankan kegiatan usahanya. Salah satu upaya melaksanakan prinsip kehati-hatian itu
adalah penerapan prinsip mengenal nasabah (know your customer). Ketidakcukup- an penerapan
prinsip mengenal nasabah dapat memperbesar risiko yang dihadapi bank, dan dapat
mengakibatkan kerugian keuangan yang signifikan bagi bank, baik dari sisi aktiva maupun
pasiva bank. Sesuai dengan rekomendasi dari Basel Committee on Banking Supervision dalam
Core Principles for Effective Banking Supervision,bahwa penerapan prinsip mengenal nasabah
merupakan factor yang penting dalam melindungi kesehatan bank. Di samping itu, sebagaimana
dikemuka- kan oleh The Financial Action Task Force on Money Laundering, prinsip mengenal
nasabah merupakan upaya untuk mencegah industri perbankan digunakan sebagai sarana atau
sasaran kejahatan, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh pelaku
usaha.
36
Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui
identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah, termasuk pelaporan transaksi yang
mengenal profil transaksi, mengenal profil dan karakteristik nasabah, serta mengenal profil usaha
Dengan penerapan prinsip mengenal nasabah diharapkan secara dini bank dapat
transaksi (concentration risk), dan risiko reputasi (reputational risk) (Nindyo Pramono, 2006:
218).
Prinsip mengenal nasabah tidak sekadar berarti mengenal nasabah secara harfiah.
Bagaimana mungkin karyawan bank tidak mengenal nasabah atau calon nasabahnya. Prinsip
mengenal nasabah mengi- nginkan lebih dari sekadar mengenal nasabah secara harfiah. Prinsip
mengenal nasabah menginginkan informasi lebih menyeluruh di samping jati diri atau identitas
nasabah, juga hal-hal yang berkaitan dengan profil dan karakter transaksi nasabah, yang
Selain dilandasi kepada prinsip kehati-hatian, bank dalam menjalankan fungsi dan
usahanya juga diharuskan berlandaskan kepada asas demokrasi ekonomi. Disebutkan dalam
ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perbankan yang Diubah, bahwa perbankan Indonesia dalam
hatian. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 ini, berarti fungsi dan usaha perbankan Indonesia
diarahkan untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam demokrasi ekonomi yang
37
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Mengenai hal ini, Penjelasan Umum
Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan
pembangunan nasional yang berasaskan kekeluargaan, perlu senantiasa dipelihara dengan baik.
Guna mencapai tujuan tersebut, maka pelaksanaan pembangunan ekonomi harus lebih
pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional. Salah satu yang mempunyai peran
Pembangunan adalah perbankan. Peran yang strategis tersebut terutama disebabkan oleh fungsi
utama bank sebagai suatu wahana efektif dan efisien, yang dengan berasaskan demokrasi
Dengan demikian jelaslah, bahwa perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsi dan
usahanya harus memperhatikan dan menerapkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam asas
demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk
ciri-ciri demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, baik ciri-
ciri positif maupun ciri-ciri negatif demokrasi ekonomi. Selanjutnya diperkembangkan dan
38
diperbarui melalui Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagaimana telah ditetapkan secara
berturut-turut dalam:
5) Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara; dan
Disebutkan demokrasi ekonomi yang menjadi dasar politik dan sistem perekonomian nasional
2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
3) bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-pokok
kemakmuran rakyat;
perwakilan rakyat, dan pengawasan terha dap kebijaksanaannya ada pada lembaga
5) perekonomian daerah dikembangkan secara serasi dan seimbang antardaerah dalam satu
kesatuan perekonomian nasional dengan mendayagunakan potensi dan peran serta daerah
secara optimal dalam rangka perwujudan wawasan nusantara dan ketahanan nasional;
39
6) warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta
mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;
7) hak milik perseorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan masyarakat;
8) potensi, inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya
Demikian pula dirumuskan ciri-ciri negatif dari demokrasi ekonomi yang harus dihindarkan,
yaitu:
1. sistem free fight liberalismyang menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa
kelemahan struktu- ra; ekonomi nasional dan posisi Indonesia dalam perekonomian
dunia;
2. sistem etatisme dalam arti bahwa negara beserta aparatur ekonomi negara bersifat
dominan, mendesak dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi di luar
sektor negara;
3. persaingan tidak sehat serta pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok dalam
berbagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat dan bertentangan
prinsip kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Bahkan, dapat dikatakan kebijakan Pemerintah
Orde Baru ini cenderung bersifat merombak secara mendasar kebijakan ekonomi Orde Lama. Ini
terlihat dalam rumusan GBHN yang ditetapkan sejak tahun 1973. Gagasan demokrasi ekonomi
40
secara konsisten dirumuskan dalam serangkaian GBHN. Konsistensi ini menunjukkan, secara
formal, gagasan kedaulatan rakyat selama pe- riode Demokrasi Pancasila sangat diwarnai
keinginan yang kuat untuk mengembangkan demokrasi ekonomi (Jimly Asshiddiqie, 1994:201
dan 203).
Seperti diketahui fungsi perbankan sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat,
karenanya melahirkan hubungan hukum bersifat perdata antara bank dan nasabahnya, yang
sudah tentu tunduk kepada pengaturan hukum perdata. Dari hubungan hukum yang bersifat
perdata tadi lahirlah akibat hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban, baik bagi bank
maupun nasabahnya, yang diliputi hukum perdata. Oleh karena itu, pertanggungjawaban dan
penyelesaian hukum bank dan nasabah dalam transaksi perbankan harus tunduk kepada kaidah-
kaidah hukum perdata. Hal ini menunjukkan, bahwa hukum perbankan merupakan bagian dari
Fungsi perbankan sebagai salah satu norma hukum merupakan bagian tidak terpisahkan
dari hukum perdata. Sebagai subsistem hukum perdata, fungsi perbankan melalui hubungan
hukum antara bank dengan nasabah tunduk pada pengaturan hukum perdata. Hubungan hukum
tersebut dapat dikualifikasikan dalam 2 (dua) bentuk, yaitu pertama, hubungan hukum antara
bank dengan nasabah penyimpan disebut perjanjian simpanan, dan kedua, hubungan hukum
antara bank dengan nasabah debitur disebut perjanjian kredit bank. Kedua bentuk hubungan
hukum tersebut sangat erat kaitannya dengan jaminan sebagai unsur pengaman. Dalam bentuk
hubungan hukum yang pertama, dana yang disimpan oleh nasabah penyimpan harus dapat
dijamin keamanannya oleh bank. Bentuk jaminan untuk melindungi dana nasabah penyimpan
diatur dalam Lembaga penjaminan Simpanan, sedangkan bentuk jaminan untuk melindungi bank
41
sebagai pemberi kredit adalah lembaga jaminan kebendaan dan jaminan perorangan (Tan
Sementara itu, hubungan antara nasabah penyimpan dana dengan nasabah debitur tidak
dapat dikualifikasikan sebagai hubungan hukum, melainkan hubungan moral. Sebagai hubungan
moral, maka pertanggungjawabannya lebih tinggi di mata hukum. Moral menjadi sumber dan
sekaligus jembatan etis dalam tonggak hukum perbankan. Dengan demikian dalam pelaksanaan
fungsi perbankan terdapat dua hubungan hukum dan satu hubungan moral (Tan Kamello, 2006)
Berdasarkan bangunan hukum dan moral tersebut, maka seorang nasabah debitur yang
telah memperoleh pinjaman kredit dari bank pada hakikatnya bukan saja bertanggung jawab
terhadap bank sebagai pemberi kredit, tetapi juga memiliki tanggung jawab moral terhadap
nasabah penyimpan dana. Di sini terletak makna harus diinsafi oleh para nasabah debitur,
sehingga penggunaan dana secara benar dan tepat dalam bentuk-bentuk yang produktif memiliki
peran dan memberikan andil dalam pembangunan sektor ekonomi serta dapat meningkatkan taraf
hidup rakyat. Kegagalan pengelolaan dana pinjaman kredit secara langsung dapat merugikan
bank yang bersangkutan dan secara tidak langsung dapat pula merugikan kepentingan nasabah
penyimpan. Oleh karena itu, hubungan tidak langsung ini dapat saja digunakan oleh nasabah
penyimpan sebagai alasan untuk menuntut nasabah debitur dan bank karena telah melakukan
perbuatan melawan hukum karena tidak bersikap hati-hati menggunakan dana, sehingga
Pengalaman krisis ekonomi beberapa tahun yang lalu ketika terjadinya bank
mengaturnya sehingga tidak terdapat adanya kepastian hukum. Dengan perkataan lain, hak
42
perdata nasabah penyimpan kurang mendapat pengaturan hukum yang memadai (Tan Kamello,
2006: 8).
dalam bidang hukum perdata. Solusi hukum yang dilakukan oleh pemerintah pada waktu itu
adalah dengan menge-^ luarkan Surat Keputusan Nomor 26 Tahun 1998, yang berisikan penja-
minan pembayaran kepada nasabah penyimpan dana yaitu para deposan. Lahirnya Surat
Keputusan tersebut bukan berarti tidak menimbulkan masalah hukum. Kritik hukum yang
muncul dan mendasar adalah mengapa pemerintah harus menanggung beban dari perbuatan
hukum para bankir dengan menetapkan jumlah maksi- mum pembayaran yang diberikan kepada
nasabah penyimpan. Dalam tataran normatif, pemerintah tidak seharusnya memberikan jaminan
dengan beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara karena lembaga yang lebih berhak adalah
Dewan Perwakilan Rakyat. Surat Keputusan Presiden tersebut lebih bernuansa sebagai produk
kebijakan (policy) dalam ranah politik dan bukan sebagai bagian dari rangkaian hukum perdata.
Oleh karena itu, sifatnya hanya sementara. Seharusnya pertanggungjawaban bank dan nasabah
(debitur dan penyimpan) diselesaikan dalam kerangka sistem hukum perdata (Tan Kamello,
2006:
Berdasarkan uraian di atas jelas, bahwa di samping sebagai bagian hukum ekonomi atau
hukum bisnis, ternyata hukum perbankan juga merupakan bagian dari sistem hukum perdata,
karena subjek dan objek yang diatumya berkenaan dengan hubungan hukum yang bersifat
perdata antara bank dan nasabah. Untuk itu tidak salah pula bilamana ketentuan hukum
perbankan bersentuhan atau masuk dalam ituang lingkup pengaturan hukum perdata.
43
BAB II
Sistem keuangan pada dasamya adalah tatanan dalam perekonomian suatu negara yang
memiliki peran terutama dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa di bidang keuangan oleh
Indonesia pada prinsipnya dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu sistem perbankan dan sistem
lembaga keuangan bukan bank. Lembaga keuangan yang masuk dalam sistem perbankan, yaitu
lembaga keuangan yang berdasarkan peraturan perundangan dapat menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit atau bentuk-bentuk lainnya dan dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Karena lembaga keuangan ini dapat menerima simpanan dari masyarakat, maka
juga disebut depository financial institutions, yang terdiri atas Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat. Adapun lembaga keuangan bukan bank adalah lembaga keuangan selain dari
bank yang dalam kegiatan usahanya tidak diperkenankan menghimpun dana secara langsung dari
masyarakat dalam bentuk simpanan. Lembaga keuangan bukan bank disebut non depository
Sistem keuangan dapat didefinisikan secara berbeda tergantung kepada apa yang hendak
ditekankan. Apabila kita ingin melihatnya dari sudut moneter, sistem keuangan didefinisikan
sebagai suatu sistem yang terdiri atas sistem moneter dan di luar sistem moneter. Sistem moneter
terdiri atas otoritas moneter, yang mempunyai kemampuan- untuk menciptakan uang primer, dan
bank-bank pencipta uang giral, sedangkan lembaga-lembaga keuangan lainnya termasuk dalam
ke- lompok di luar sistem moneter (Achwan, Harry Tjahjono, dan Totok Subjakto, 1993: 1-2).
44
menjadi dua, yaitu pertama, lembaga keuangan bank (bank financial intermediary) dan
kedua,lembaga keuangan bukan bank (non bank financial intermediary) (Achwan, Harry
Tjahjono dan Totok Subjakto, 1993: 2). Lembaga-lembaga keuangan bank merupakan bagian
dari sistem moneter, sedangkan lembaga-lembaga keuangan lainnya berada di luar sistem
moneter.
Pendapat lainnya memberikan cakupan pada sistem keuangan yang lebih luas dan jelas,
karena mendefinisikan sistem keuangan sebagai suatu sistem yang terdiri atas:
menghubungkan unit yang surplus dan unit yang defisit dalam suatu ekonomi,
a. sistem moneter;
b. sistem perbankan;
d. sistem lembaga pembiayaan (bandingkan Dahlan Siamat, 1993: 45 dan Sunaryo, 2008).
Secara ringkas sistem keuangan Indonesia dapat dilihat dalam Gambar 2.1 di bawah ini.
45
kesehatan perekonomian suatu negara secara berkelanjutan dan seimbang. Sistem keuangan
menjadi berbagai instrumen investasi dan menjadi perantara antara penabung dan investor.
Stabilitas dan pengembangan sistem keuangan sangat penting agar masyarakat meyakini bahwa
sistem keuangan Indonesia aman, stabil, dan dapat memenuhi kebutuhan pengguna jasa
Sistem keuangan Indonesia dikendalikan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter
dan perbankan, Departemen Keuangan sebagai otoritas Lembaga Keuangan Bukan Bank dan
46
Lembaga Pembia- yaan dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) sebagai otoritas pengawas
pasar modal.
Semula, kewenangan dan tanggung jawab mengenai perizinan bank berada di tangan
Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia. Namun, kini dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menjadi berada pada Pimpinan Bank Indonesia,
sehingga Bank Indonesia memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang utuh untuk
menetapkan perizinan, pembinaan, dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap bank
yang tidak mematuhi peraturan perbankan yang berlaku. Dengan sendirinya tidak terjadi lagi
dualisme selaku pemegang otoritas perbankan. Sementara lembaga keuangan lainnya, otoritas
yang memberi izin usaha, membina dan mengawasinya berada pada Menteri Keuangan. Khusus
untuk pengawasan lembaga pembiayaan, kecuali perusahaan modal ventura, dilakukan oleh
Departemen Keuangan dengan dibantu oleh Bank Indonesia. Akan tetapi dengan lahirnya UUBI
tugas mengawasi bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya akan dilakukan
oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan undang-
undang. Namun sepanjang lembaga pengawasan sektor jasa keuangan dimaksud belum dibentuk,
tugas pengaturan dan pengawasan bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Artinya untuk masa
mendatang, otoritas yang memberi izin dan membina dipisahkan dari otoritas yang mengawasi
bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya serta badan- badan lain yang
Sistem keuangan Indonesia terdiri atas sistem moneter dan sistem lembaga keuangan
bukan bank, yang dijalankan oleh otoritas moneter, perbankan dan lembaga keuangan bukan
47
bank serta lembaga pembiayaan. Sistem moneter terdiri atas bank-bank dan lembaga keuangan
2. melakukan fungsi intermediasi antara unit defisit (ultimate borrower)dengan unit surplus
3. menjaga kestabilan tingkat bunga yang dilakukan oleh otoritas moneter (Dahlan Siamat,
1995: 45).
Fungsi-fungsi tersebut merupakan satu kesatuan, artinya fungsi tersebut pada prinsipnya
dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya karena yang satu tidak dapat
dilaksanakan tanpa dibantu yang lain. Di samping itu, otoritas moneter melakukan fungsi
pengeluaran uang kertas dan logam, menciptakan uang primer (reserve money),mengawasi
sistem moneter dan mengelola cadangan devisa (Dahlan Siamat, 1995: 45-46).
Penciptaan uang giral dan uang kuasi oleh bank-bank dapat dilakukan karena sebagian
besar jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, dan tabungan
disalurkan kembali kepada masyarakat berupa kredit setelah sebelumnya dikurangi dengan
sejumlah alat-alat likuid yang terdiri atas uang kas dan saldo giro pada Bank Sentral dalam
rangka memenuhi ketentuan likuiditas wajib minimum. Selanjutnya, jumlah kredit yang
diberikan tersebut akan masuk kembali ke bank-bank sebagai uang simpanan. Simpanan tersebut
setelah dikurangi likuiditas wajib dipinjamkan kembali kepada nasabah debitur. Dari transaksi
tersebut akan menciptakan suatu efek multiplydi mana uang disimpan pertama akan berlipat
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dalam rangka mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Di samping itu, Bank Indonesia dapat membantu bank-bank yang meng-
alami kesulitan likuiditas dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagai lender of the last
resort.Sementara itu, hanya Bank Umum saja yang diperkenankan menghimpun simpanan dalam
bentuk giro. Oleh karena itulah, Bank Umum dikatakan sebagai bank yang menciptakan uang
giral.
1967, yang memang sudah sangat tidak memadai lagi menampung permasalahan dan
kompleksitas yang timbul dari industri perbankan sejalan dengan pesatnya perkembangan sektor
kuatnya pengaruh arus globalisasi. Di samping itu, dari sisi pelaksanaan kebijakan moneter dan
perbankan, agar dapat lebih efektif maka undang- undang perbankan dituntut untuk selalu
menghilangkan perbedaan fungsi- fungsi operasional bank secara struktural sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 yang membedakan antara Bank Umum, Bank
Pembangunan, Bank Tabungan, Bank Koperasi dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Kegiatan
usaha bank yang dipisahkan berdasarkan fungsinya tersebut sebenarnya sudah tidak tepat karena
49
pada dasamya semua jenis bank dapat beroperasi sebagai Bank Umum, kecuali BPR. Oleh
karena itu, sistem perbankan Indonesia pasca Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 hanya dikenal (dua)
jenis bank dilihat dari fungsinya yaitu Bank Umum dan BPR. Di samping itu dari sudut
operasionalnya diperkenankan pula suatu sistem perbankan yang berdasarkan Prinsip Bagi Hasil,
Prinsip Syariah atau Sistem Perbankan Syariah yang dapat dilakukan baik, oleh Bank Umum
maupun BPR. Dengan kata lain, kegiatan usaha Bank Umum dan BPR dapat dikelola secara
konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah atau bagi hasil (bandingkan Dahlan Siamat,
2000: 23).
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, opera- sionalisasi perbankan nasional dapat didasarkan
kepada "sistem bunga" (konvensional) dan/atau "sistem syariah" (prinsip syariah), yang
kepengelolaannya bisa dilaksanakan oleh bank konvensional atau bank syariah, apakah itu Bank
Umum ataukah Bank Perkeditan Rakyat. Khusus Bank Umum konvensional diperkenankan
menganut dual banking systemsekaligus. Ketentuan ini dilarang dalam Peraturan pemerintah
Lahirnya bank berdasarkan prinsip syariah ini telah menambah semarak khasanah hukum
dan mempertegas visi kehidupan perbankan Indonesia. Karena sebagian besar bangsa Indonesia
beragama Islam, maka kehadiran bank berdasarkan prinsip syariah yang notabene dilandasi
unsur-unsur syariat Islam, benar-benar seperti gayung bersambut (Munir Fuady, 1999: 167).
telah ditentukan masing-masing misi dan tugas- nya untuk mengembangkan sektor-sektor
ekonomi tertentu yang diatur dalam undang-undang pendiriannya sudah tidak lagi diberlakukan.
50
Sejak memasuki era deregulasi pada prinsipnya tugas dan misi khusus yang diemban oleh
masing-masing bank pemerintah tersebut dapat dikatakan sudah tidak lagi efektif atau sudah
ditinggalkan dan beralih kepada orientasi pasar dan keuntungan, sehingga dengan demikian
persaingan antarbank pemerintah tidak dapat terhindari (Dahlan Siamat, 2000: 23).
I. Bank Umum
Dilihat dari segi kepemilikannya, Bank Umum dapat dibedakan lebih lanjut sebagai berikut.
f. Bank Campuran.
Bank Umum Milik Negara didirikan dengan undang-undang, di mana seluruh modalnya
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, telah didirikan be-
b) Bank Negara Indonesia 1946 (BNI 1946), yang didirikan dengan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 1968;
51
c) Bank Dagang Negara (BDN), yang didirikan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1968;
d) Bank Bumi Daya (BBD), yang didirikan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1968;
e) Bank Tabungan Negara (BTN), yang didirikan dengan Undang- Undang Nomor 20
Tahun 1968;
f) Bank Rakyat Indonesia (BRI), yang didirikan dengan Undang- Undang Nomor 21 Tahun
1968;
g) Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim), yang didirikan dengan Undang-Undang
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, yang kemudian diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bentuk hukum dari Bank-bank Umum milik negara itu
diharuskan untuk menyesuaikan diri dengan bentuk hukum bank yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998. Penyesuaian bentuk hukum Bank Umum milik negara itu menjadi Perusahaan
1) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank
2) peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank
3) peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank
4) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank
5) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank
6) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank
7) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Bentuk Hukum Bank
Kemudian sejak tahun 1999, dari ketujuh Bank Umum milik negara ini, empat bank,
yakni Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia, Bank Bumi Daya, dan Bank
Pembangunan Indonesia telah menggabungkan diri menjadi PT Bank Mandiri (Persero), yang
total aset seluruhnya hampir mencapai Rpl60,5 triliun. Sedangkan Bank Negara Indonesia 1946,
Bank Rakyat Indonesia dan Bank Tabungan Negara tetap berdiri sendiri menjadi PT Bank
Negara Indonesia 1946 (Persero), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), dan PT Bank Tabungan
Negara (Persero). Dahulu terdengar kabar kalau Bank Tabungan Negara akan diakuisisi oleh
Bank Negara Indonesia 1946. Penggabungan atau pendirian PT Bank Mandiri (Persero) tersebut
merupakan salah satu pelaksanaan butir Letter of Intentantara pemerintah dengan IMF beberapa
waktu lalu.
Kegiatan usaha yang dijalankan bank-bank plat merah ini adalah Menjalankan usaha di
bidang perbankan dalam arti yang seluas-lu- asnya dan usaha-usaha lainnya yang menunjang
kegiatan usahanya sebagai Bank Umum. Bank-bank plat merah ini dalam menjalankan kegiatan
usahanya tidak mendapatkan perlakuan yang istimewa dibandingkan dengan Bank-bank Umum
swasta nasional, kecuali menyangkut pengangkatan Direksi dan Dewan Komisaris Bank. Di-
tetapkan, bahwa pengangkatan yang pertama, Direksi dan Dewan Komisaris pada saat pendirian
PT Persero dari bank yang bersangkutan dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku pendiri setelah
53
Pemegang Saham dari calon-calon yang diajukan oleh Menteri Keuangan selaku pemegang
Bank Pembangunan Daerah (BPD) merupakan Bank Umum milik Daerah yang didirikan
menurut ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, BPD diwajibkan pula untuk menyesuaikan bentuk
tentang Perusahaan Daerah. Penyesuaian bentuk hukum BPD menjadi Perusahaan Daerah
dilakukan dengan Peraturan Daerah Provinsi (dahulu Daerah Tingkat I) masing-masing. Kini di
Sebagai tindak lanjut penyesuaian bentuk hukum BPD, lahirlah Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 8 Tahun 1992 tentang Penyesuaian Peraturan Pendirian Bank Pembangunan
Bank Umum Koperasi adalah bank yang modalnya berasal dari simpanan anggota atau
badan hukum koperasi. Pendiriannya selain mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Undang-
Nomor 10 Tahun 1998, juga mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor
Saat ini hanya ada satu Bank Umum yang berbentuk hukum koperasi, yang kemudian
mengganti bentuk hukumnya menjadi PT, yakni PT Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin).
Bank Umum Swasta Nasional adalah bank yang didirikan dan dimiliki oleh warga negara
Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. Bentuk hukum Bank Umum swasta nasional ini
pada umumnya berbentuk Perseroan Terbatas. Bank Umum swasta nasional ini dapat menjadi
bank devisa (foreign exchange bank)setelah bank yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat
1) bank yang tergolong sehat dan selebihnya sekurang-kurangnya tergolong cukup sehat;
2) jumlah modal bank menurut perhitungan kebutuhan modal yang cukup (capital
4) kemampuan memobilisasi dana pihak ketiga bank minimal mencapai jumlah tertentu;
5) memiliki tenaga kerja yang ahli dan berpengalaman dalam bidang valuta asing.
6) penunjukan sebagai bank devisa dilakukan oleh Bank Indonesia dan dapat dicabut
kembali apabila tingkat kesehatan bank devisa menurun menjadi kurang sehat atau tidak
Bank asing adalah bank yang didirikan dan dimiliki warga negara asing dan/atau badan
hukum asing sebagai cabang, cabang pembantu, dan perwakilan dari suatu bank yang
berkedudukan di luar negeri. Sebelum paket kebijaksanaan 27 Oktober 1988 (Pakto, 1988), bank
asing hanya boleh membuka cabangnya di Jakarta saja, baru kemu- dian diperkenankan pula
55
membuka Kantor Cabang Pembantu, baik di Jakarta maupun di enam kota besar lainnya diluar
Jakarta, yakni Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, dan Ujung pandang.
Bank asing yang boleh membuka Kantor Cabang Pembantunya hanyalah bank asing yang
telah ada dan tergolong sehat termasuk permodalannya. Setelah 12 bulan sejak dibukanya Kantor
Cabang Pembantunya, posisi kredit ekspor dari Kantor Cabang Pembantu tersebut harus
Kini pembukaan kantor bank asing izinya diberikan Pimpinan Bank Indonesia dengan
memperhatikan:
3) tingkat kejenuhan jumlah kantor bank dalam suatu wilayah tertentu serta pemerataan
Seiring dengan itu, bank asing diperkenankan menyelenggarakan tabungan sesuai dengan
Bank campuran (joint venture bank)adalah Bank Umum yang didirikan bersama oleh satu
atau lebih Bank Umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga negara
Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga negara In-
donesia, dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri. Pendirian dan
kepemilikan bank campuran tersebut dilandasi oleh kemitraan antara pihak asing dengan pihak
nasional.
Sebelumnya dengan Pakto, 1988, dibuka kemungkinan untuk mendirikan bank campuran
dengan syarat didirikan bersama oleh satu atau lebih bank nasional Indonesia dan satu atau lebih
56
bank asing di luar negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan di Indonesia. Sasaran yang hendak
dicapai dalam pendirian bank campuran adalah untuk peningkatan ekspor non migas, karenanya
bank campuran tersebut setelah 12 bulan sejak didirikan harus menunjukkan posisi ekspor
mencapai sekurang-kurangnya 50% dari kredit yang diberikannya. Bank campuran tersebut
dapat memilih tempat kedudukan di salah satu dari kota Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya,
corporate banking,yaitu kegiatan yang hanya melayani nasabah-nasabah relatif besar saja. Di
samping itu, nasabah- nasabah mereka umumnya nasabah yang telah memiliki hubungan bisnis
dengan bank partner asing di negara asai atau negara asing lain. Bank campuran tersebut
melakukan fungsi sebagai sumber informasi terutama bagi partner asing di samping
menjalankan fungsi pengawasan atau usaha nasabah yang bersangkutan (Dahlan Siamat, 1995:
55).
Perbankan di banyak negara pada umumnya tidak ditujukan untuk melayani masyarakat
kecil. Tata letak perkantoran, struktur organisasi, program pendidikan, falsafah perusahaan,
manajemen dan sistem administrasi, cara dan prosedur pelayanannya, semua ditujukan untuk
melayani orang-orang yang mapan dan berada. Namun di Indonesia, sudah sejak lama ada
sejenis bank yang khusus melayani masyarakat kecil, yaitu BPR. Tugasnya memberikan bantuan
kepada masyarakat kecil yang membutuhkan bantuan dana di pasar-pasar dan di desa- desa.
Selain itu, tugasnya menghimpun dana tabungan masyarakat berupa deposito berjangka (Pandu
Dengan dikeluarkannya Pakto 1988, di Indonesia terdapat dua jenis BPR, yaitu BPR gaya
lama (BPR yang telah memperoleh izin sebelum Pakto 1988), dan BPR gaya baru (BPR yang
memperoleh izin usaha setelah Pakto 1988). BPR gaya lama ini terdiri atas Bank Desa, Lumbung
Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari, Lembaga Perkreditan Desa, Badan
Kredit Desa, Badan Kredit Kecamatan, Kredit Usaha Rakyat Kecil, Lembaga Perkreditan
Kecamatan, Bank Karya Produksi Desa dan lembaga-lembaga lain yang dipersamakan dengan
itu. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 41 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1967, status dan
tugas dari BPR gaya lama ditetapkan dalam undang-undang. Namun sambil menunggu dike-
Nomor 38 Tahun 1988 tentang Bank Perkreditan Rakyat. Disebutkan bahwa bank-bank desa
Dasar hukum pendirian BPR gaya lama ini adalah Staatsblad, Peraturan Daerah,
masyarakat setempat. Adapun bentuk hukumnya berupa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah,
Koperasi atau Maskapai Andil Indonesia, namun beberapa di antara- nya bahkan masih belum
BPR gaya lama ini tetap dapat melanjutkan usahanya di tempat semula dengan ketentuan
tidak diperkenankan menerima simpanan dalam bentuk giro, tidak diizinkan pindah tempat ke
luar wilayah Kecamatan tempat kedudukannya, tidak diperkenankan membuka Kantor Cabang
dan tidak perlu menyesuaikan modalnya dengan modal minimum BPR gaya baru. Di samping
itu, BPR gaya lama ini dapat meningkatkan kemampuannya dengan diberi keleluasaan untuk me-
lakukan merger dengan Bank Umum dan Bank Pembangunan atau merger antar-BPR gaya lama
BPR gaya baru hanya dapat didirikan dan menjalankan usaha di Kecamatan dan di desa-
desa di luar ibukota negara, ibukota provinsi dan ibukota kota/kabupaten. Kemudian BPR gaya
baru boleh pula membuka cabang di Kecamatan tempat kedudukan bank yang bersangkutan atau
kantor lain di Kecamatan lain yang berbatasan dengan Kecamatan tempat kedudukan bank yang
bersangkutan. Bentuk hukum BPR gaya baru ini bisa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah,
atau Koperasi. Usahanya dapat menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito,
dan tabungan. Pemberian kre- ditnya terutama diperuntukkan bagi pengusaha kecil dan/atau ma-
syarakat pedesaan.
Sama halnya dengan BPR gaya lama, BPR gaya baru juga dapat melakukan merger
dengan bank lain, yakni Bank Umum atau Bank Pembangunan yang memenuhi persyaratan
Cabang. Peleburan atau penggabungan usaha antar-BPR untuk ditingkatkan menjadi Bank
Umum atau Bank Pembangunan dengan ditetapkan dalam undang-undang. Namun sambil
Presiden Nomor 38 Tahun 1988 tentang Bank Perkreditan Rakyat. Disebutkan bahwa bank-bank
Dasar hukum pendirian BPR gaya lama ini adalah Staatsblad, Peraturan Daerah,
masyarakat setempat. Adapun bentuk hukumnya berupa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah,
Koperasi atau Maskapai Andil Indonesia, namun beberapa di antara- nya bahkan masih belum
BPR gaya lama ini tetap dapat melanjutkan usahanya di tempat semula dengan ketentuan
tidak diperkenankan menerima simpanan dalam bentuk giro, tidak diizinkan pindah tempat ke
59
luar wilayah Kecamatan tempat kedudukannya, tidak diperkenankan membuka Kantor Cabang
dan tidak perlu menyesuaikan modalnya dengan modal minimum BPR gaya baru. Di samping
itu, BPR gaya lama ini dapat meningkatkan kemampuannya dengan diberi keleluasaan untuk me-
lakukan merger dengan Bank Umum dan Bank Pembangunan atau merger antar-BPR gaya lama
BPR gaya baru hanya dapat didirikan dan menjalankan usaha di Kecamatan dan di desa-
desa di luar ibukota negara, ibukota provinsi dan ibukota kota/kabupaten. Kemudian BPR gaya
baru boleh pula membuka cabang di Kecamatan tempat kedudukan bank yang bersangkutan atau
kantor lain di Kecamatan lain yang berbatasan dengan Kecamatan tempat kedudukan bank yang
bersangkutan. Bentuk hukum BPR gaya baru ini bisa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah,
atau Koperasi. Usahanya dapat menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito,
dan tabungan. Pemberian kre- ditnya terutama diperuntukkan bagi pengusaha kecil dan/atau ma-
syarakat pedesaan.
Sama halnya dengan BPR gaya lama, BPR gaya baru juga dapat melakukan merger
dengan bank lain, yakni Bank Umum atau Bank Pembangunan yang memenuhi persyaratan
Cabang. Peleburan atau penggabungan usaha antar-BPR untuk ditingkatkan menjadi Bank
Umum atau Bank Pembangunan dengan maksud agar satu atau lebih di antaranya akan menjadi
Kantor Cabang atau jenis kantor lainnya, hanya dapat dilakukan dengan memenuhi syarat
pendirian Bank Umum dan Bank Pembangunan baru bagi masing-masing BPR gaya baru.
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bank-bank desa dan yang dipersamakan dengan
itu diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan undang-undang dengan
60
memenuhi persyaratan dan tata cara yang akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini
masyarakat Indonesia, serta masih diperlukan oleh masyarakat Indonesia, maka keberadaan
lembaga dimaksud tetap diakui. Karenanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, yang
kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 memberikan kejelasan status
dari lembaga-lembaga keuangan desa dimaksud. Untuk menjamin kesatuan dan keseragaman
dalam pembinaan dan pengawasan, maka dengan Peraturan Pemerintah telah ditetapkan
persyaratan dan tata cara pemberian status lembaga-lembaga dimaksud sebagai Bank Perkreditan
Rakyat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank
Perkreditan Raky
dalam sistem moneter dan perbankan. Oleh karena itu, lembaga keuangan bukan bank ini sering
pula disebut sebagai lembaga keuangan sektor nonmoneter (nonmonetary sector) (Dahlan
Dalam perkembangan sistem keuangan Indonesia pernah dikenal suatu jenis lembaga
keuangan yang disebut Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) (Nonbank Financial
Pada tahun 1970, demi kelancaran pembangunan, pemerintah memberi kesempatan usaha
menengah dan pan- jang, terutama dengan jalan mengeluarkan kertas berharga serta yang dapat
mengembangkan pasar uang dan modal. Untuk itulah pada tanggai 7 Desember 1970,
Lembaga Keuangan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Surat Keputusan Menteri
Dinyatakan bahwa LKBB adalah semua badan usaha yang melakukan kegiatan-kegiatan
di bidang keuangan, secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana, terutama dengan
lembaga-lem- baga keuangan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-un- dangan lain.
Dapat disimpulkan bahwa LKBB adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang
keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan cara
investasi perusahaan-perusahaan. Dalam hal ini LKBB tidak diperkenankan menerima dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan, baik itu berupa giro, tabungan maupun deposito. Namun,
berdasarkan kebijakan Pakto 27, 1988, LKBB dapat menerbitkan sertifikat deposito sebagai
sumber dana dan dapat mendirikan kantor- kantor cabang di daerah-daerah. Pada dasamya
pendirian LKBB ini dimaksudkan untuk mendorong pengembangan pasar uang dan pasar modal
serta menyalurkan pembiayaan kepada perusahaan. Dengan demikian kegiatan usaha LKBB,
terutama dalam menghimpun dana dengan cara menerbitkan surat berharga, termasuk
menerbitkan sertifikat deposito, dan tidak diperkenankan menerima simpanan, baik dalam bentuk
giro, deposito maupun tabungan, dan selanjutnya disalurkan kembali kepad amasyarakat untuk
BAB III
UANG
A. Pengertian Uang
Uang telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu dan merupakan salah satu temuan
manusia yang paling menakjubkan sehingga mempunyai sejarah yang sangat panjang dan telah
mengalami berbagai perubahan. Dengan demikian, tidak mudah untuk menjelaskan atau
mendefinisikan uang secara singkat, jelas dan tepat. Namun, kenyataannya dalam masyarakat
modern saat ini tidak ada orang yang tidak mengenal uang. Dengan demikian, apakah
sebenarnya yang dapat disebut dengan uang? Pertanyaan tersebut dengan mudah dijawab; orang
awam akan memperlihatkan uang pecahan kertas dan logam yang berlaku yang dipegangnya
sebagai uang. Namun demikian, apakah setiap orang akan mempunyai persepsi yang sama
tentang uang tersebut? Karena orang mungkin akan lebih senang bila dapat memegang dan
menggunakan uang yang berasal dari daerahnya atau negaranya sendiri dibandingkan dengan
mata uang yang berasal dari daerah atau negara lain. Pertanyaan selanjutnya kenapa orang
bersedia memegang, memilih, dan menggunakan uang kertas atau uang logam tersebut sebagai
uang, bukan benda lainnya, misalnya kulit binatang, batu permata sebagai uang?
Dari uraian di atas bahwa ternyata sulit juga mendefinisikan uang, baik menurut bentuk
secara fisik, maupun menurut ciri uang yang banyak variasinya. Oleh karena itu, untuk
sebagaimana uang yang ada dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dilihat dari kegunaan atau
Uang adalah suatu benda yang dapat dipertukarkan dengan benda lain; dapat digunakan
untuk menilai benda lain atau sebagai alat hitung; dan dapat digunakan sebagai alat penyimpan
kekayaan. Selanjutnya, jangan lupa bahwa uang dapat juga digunakan untuk membayar utang di
B. Fungsi Uang
Pada awalnya uang hanya berfungsi sebagai alat penukar saja, tetapi sejalan perkembangan
peradaban manusia dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, fungsi uang tersebut telah berkem-
bang dan bertambah sehingga fungsinya menjadi seperti yang dirasakan seperti pada saat ini.
Dapat dibayangkan betapa sulitnya hidup di dalam perekonomian modern ini tanpa adanya benda
yang dapat digunakan sebagai alat tukar. Apabila tidak ada uang, transaksi hanya dilakukan
dengan cara tukar-menukar (atau dikenal juga dengan barter) antara barang yang satu dengan
Barang-barang berharga yang dimiliki berupa tanah, rumah, permata, dan benda berharga lain-
nya. Walaupun kekayaan yang dapat disimpan beragam bentuknya, tidak dapat dipungkiri bahwa
Apabila tidak ada satuan hitung yang diperankan oleh uang, dapat dibayangkan kesulitan yang
dialami dalam menilai suatu barang. Tanpa adanya satuan hitung, seseorang mungkin akan
kesulitan menilai seekor sapi sama dengan dua ekor kambing dan sebaliknya. Dengan adanya
uang, tukar-menukar dan penilaiari terhadap suatu barang akan lebih mudah dilakukan. Selain
64
itu, dengan uang, pertukaran antara dua barang yang berbeda secara fisik juga dapat dilakukan
4. Uang sebagai ukuran pembayaran yang tertunda (standard for deffered payment)
Fungsi uang ini teikait dengan transaksi pinjam-meminjam; uang merupakan salah satu cara
untuk menghitung jumlah pembayaran pinjaman tersebut. Jika meminjamkan uang sebesar satu
juta rupiah selama lima tahun, nilai uang akan lebih berkembang daripada meminjamkan satu
ekor kambing dalam waktu yang sama mengingat keadaan kambing dalam lima tahun mendatang
Awalnya masyarakat primitif yang hidup secara berkelompok dan memenuhi kebutuhan
sendiri (self suffident) belum mengenal atau membutuhkan benda yang disebut uang, dan setelah
suatu kelompok dan beradaptasi dengan kelompok lain atau dengan masyarakat lain mulai tidak
dapat lagi memenuhi kebutuhan sendiri, timbullah kebutuhan untuk melakukan pertukaran
dengan cara menukarkan barang yang saw dengan barang lainnya. Sistem pertukaran barang
dengan barang ini selanjutnya dikenal dengan istilah barter (meskipun di zaman modern masih
ada juga yang melakukan barter, seperti Indonesia melakukan barter dengan Pemerintah
Malaysia, dengan menukarkan pesawat terbang yang diproduksi PT Nurtanio (ketika itu) dengan
sejumlah mobil merek Proton Saga (buatan Malaysia) untuk taksi Citra, demikian pula dengan
Thailand yang menukarnya dengan beras ketan. Perlu diperhatikan, sistem barter harus
- Kebetulan yang pertama adalah seseorang bertemu dengan orang lain yang akan
- kebetulan yang kedua adalah bahwa barang tersebut merupakan barang yang saling
dibutuhkan. Betapa sulitnya terjadi pertukaran antarsatu barang dengan barang lain
karena masing-masing individu dengan kebutuhan yang berbeda, tetapi memiliki barang
tersebut.
Di sinilah penggunaan benda-benda sebagai alat penukar (yang disebut dengan uang) mulai
dibutuhkan, Suatu benda hanya dapat digunakan sebagai alat tukar harus disepakati secara umum
oleh masyarakat tersebut, yaitu setiap orang harus mau menerima benda tersebut untuk
membayar barang-barang yang diperdagangkan. Benda tersebut dapat berupa kulit binatang,
permata, telur, garam, beras, binatang atau benda lainnya. Benda yang digunakan dan dapat
diterima sebagai alat bayar dalam sistem perekonomian yang sangat sederhana tersebut
umumnya adalah benda yang dianggap berharga dan sering kali juga mempunyai kegunaan
untuk dikonsumsi atau keperluan proluksi. Benda yang digunakan sebagai uang tersebut
umumnya mudah dibawa dan tidak mudah rusak serta tahan lama.
Berkaitan dengan penggunaan logam sebagai uang, dikenal uang logam emas dan perak sebagai
alat tukar yang banyak dipakai, meskipun dalam penggunaannya sebagai alat bayar mengalami
pasang surut, antara lain sebagai akibat terbatasnya stok atau mahalnya biaya produksinya.
Dalam perkembangan kedua logam tersebut, tembaga yang banyak diminati, karena lebih mudah
diperoleh sehingga lebih murah harganya. Keberadaan logam tersebut secara bersamaan di
tengah masyarakat menimbulkan konsekuensi logis, yaitu semakin diminatinya uang dengan
kualitas rendah (tembaga) dibandingkan dengan uang kualitas baik (emas dan perak). Apabila
66
keadaan ini terns berlanjut, dapat menyebabkan hilangnya uang dengan kualitas balk dari
peredaran.
Penggunaan uang seperti diuraikan di atas pada dasarnya terbatas hanya pad alingkup
pengertian uang dalam bentuk fisiknya, yaitu uang tunai berupa uang kertas dan logam yang
beredar di masyarakat. Lalu bagaimana dengan penggunaan uang tidak tunai? Dalam
perkembangannya, penggunaan uang tidak tunai dalam transaksi ekonomi sudah dikenal secara
terbatas pada abad ke-18, saat dimulainya evolusi sistem perbankan, proses giralisasi, yaitu
penyimpanan dalam bentuk rekening giro (demand deposit) yang baru dikenal secara luas pada
awal pertengahan abad ke-20. Dengan demikian, masyarakat leluasa untuk menggunakan, baik
warkat perintah penarikan, maupun cek untuk melakukan transaksi. Ketika itu simpanan giro
demikian populer sehingga jumlahnya melebihi jumlah uang kertas dan logam yang digunakan
saat itu. Selanjutnya mulailah dikenal simpanan tabungan (savings deposit). Bahkan- tahun
1950-an, telah mendorong semakin besarnya jumlah simpanan tabungan dibandingkan dengan
simpanan giro.
mengarah pada penggunaan uang sebagai suatu komoditi yang tidak berbentuk secara konkret
(intangible money). Sejak tahun 1990-an, masyarakat mulai cenderung menggunakan "uang
elektronik", seperti internet banking, debit cards, dan Automatic Teller Machine (ATM).
Selanjutnya, "uang elektronik" juga muncul dalam bentuk smart cards, yaitu penggunaan chips
pada sebuah kartu. Penggunaan smart cards sangat praktis, yaitu "mengisi" chips dengan
sejumlah uang tertentu yang dikehendaki, setelah itu, smart card tersebut dapat digunakan untuk
melakukan transaksi. Pengisian dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui
Dengan demikian, hampir tiap negara di dunia memiliki lembaga yang bertugas untuk
melaksanakan fungsi otoritas moneter, yang salah satunya adalah mengeluarkan dan
mengedarkan uang (uang primer). Di Indonesia fungsi tersebut sesuai dengan undang-undang
dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Republik Indonesia. Fungsi otoritas
moneter di berbagai negara pada umumnya juga diiaksanakan oleh bank sentral negara yang
bersangkutan, seperti: di Malaysia dilakukan oleh Bank Negara Malaysia, di Thailand dilakukan
oleh Bank of Thailand, dan di Inggris dilakukan oleh Bank of England (masing-masing otoritas
moneter di berbagai negara tersebut mempunyai wewenang dan tanggung jawab yang tidak
sama). Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa saat ini di beberapa negara ada lembaga lain
selain bank sentral yang juga mempunyai wewenang dalam melaksanakan fungsi otoritas
moneter. Di Amerika Serikat, selain Bank Sentral (the Federal Reserve), Departemen Keuangan
(Treasury Department) juga mempunyai wewenang untuk menciptakan uang dengan pecahan
logam tertentu.
D. Uang Beredar
Sebelum sampai pada pengertian atau konsep uang beredar, perlu dipahami terlebih
dahulu mengenai penggunaan uang dalam praktik kehidupan sehari-hari. Masyarakat pada
umumnya lebih mengenal istilah uang tunai yang terdiri dari uang kertas dan uang logam. Uang
tunai adalah uang yang ada di tangan masyarakat (di luar sistem perbankan) dan siap digunakan
setiap saat, terutama untuk pembayaran-pembayaran dalam jumlah yang tidak terlalu besar.
Uang tunai tersebut juga sering pula disebut sebagai uang kartal. Di Indonesia, uang kartal
adalah uang kertas dan logam yang beredar di masyarakat yang dikeluarkan serta diedarkan oleh
Bank Indonesia.
68
Apakah pembayaran tunai hanya dapat dilakukan dengan uang tunai? Tentu saja tidak.
Untuk melakukan pembayaran tunai dalam jumiah yang besar, tentunya tidak praktis kalau harus
membawa uang tunai. Selain berat, tentunya risikonya pun tinggi sehingga relatif kurang arnan.
Pembayaran tunai juga dapat dilakukan dengan menggunakan cek dan bilyet giro. Sebagaimana
diketahui, cek juga dianggap sebagai alat pembayaran tunai. Satu hal yang harus diingat ialah
bahwa seseorang yang ingin melakukan pembayaran dengan cek sebelumnya harus mempunyai
simpanan dalam bentuk rekening giro di suatu bank umum (demand deposits). Rekening giro
adalah suatu rekening simpanan di bank umum yang penarikannya dapat dilakukan sewaktu-
waktu. Mempunyai rekening giro sebenarnya artinya sama dengan mempunyai uang tunai.
Perbedaannya adalah kalau akan membayar dengan uang, yang dilakukan cukup dengan
memberikan uang tunai, sedangkan apabila melakukan pembayaran dari uang yang telah
disimpan dalam rekening giro, perlu satu langkah lagi yang harus dilakukan, yaitu menulis
jumlah permbayaran yang diinginkan pada selembar cek. Uang yang berada dalam rekening giro
di bank umum tersebut sering disebut juga sebagai uang giral. Berdasarkan uraian tersebut,
terlihat 1 jelas bahwa bank umum merupakan lembaga keuangan yang dapat menciptakan uang,
yaitu uang 1 giral. Oleh karena itu, bank umum juga dikenal sebagal Bank Pencipta Uang Giral
(BPUG).
Selain dapat menggunakan cek untuk sekali transaksi pembayaran, dapat pula
menggunakan kartu kredit atau kartu debet karena membayar dengan kartu kredit atau kartu
debet artinya sama dengan membayar tunai, sepanjang kartu kredit tersebut dapat diakses ke
Dengan uang kartal dan uang giral, masyarakat dapat melakukan pembayaran tunai
secara langsung, demikian pula dengan kartu kredit atau kartu debet. Pertanyaannya adalah
69
bagaimana dengan simpanan uang tunai dalam bentuk deposito berjangka (time deposits) di
bank? Sebagaimana diketahui, penarikan simpanan berupa deposito berjangka tidak dapat
sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan antara deposan dengan bank, misalnya dalam
jangka waktu satu bulan atau tiga bulan. Karena penarilcannya tidak dapat dilakukan sewaktu-
waktu, pemilik rekening deposito berjangka tersebut untuk sementara tidak dapat melakukan
pembayaran secara langsung karena harus menunggu sampai rekening deposito berjangka
tersebut jatuk tempo. Uang yang disimpan dalam rekening deposito n berjangka tersebut disebut
Terdapat dua perbedaan pokok dari ketiga jenis uang tersebut, yaitu: pertama, bila dilihat
dari lembaga yang mengeluarkan dan mengedarkan, terlihat bahwa uang kartal dikeluarkan dan
diedarkan bank sentral, sementara uang giral dan uang kuasi diciptakan dan diedarkan oleh bank
umum. Kedua, bila dilihat dari penggunaannya, uang kartal dan uang giral dapat digunakan
langsung sebagai alat pembayaran, sedangkan uang kuasi tidak dapat langsung sebagai alat
pembayaran. Dengan demikian, uang kartal dan uang giral lebih likuid dibandingkan dengan
uang kuasi.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa otoritas moneter (bank sentral) dan bank
umum adalah menciptakan uang. Bank sentral mengeluarkan dan mengedarkan uang kartal,
sedangkan bank umum mengeluarkan dan mengedarkan uang giral serta uang kuasi. Kedua
lembaga ini disebut sebagai lembaga yang termasuk dalarn sistem moneter karena kedua
lembaga keuangan tersebut mempunyai fungsi moneter, yaitu antara lain dapat menciptakan
uang.
Tiap negara menggunakan uang beredar dengan jenis yang beragam. Jenis-jenis uang beredar
pada umumnya adalah ketiga jenis uang yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu uang kartal,
uang giral, dan uang kuasi. Sesuai dengan cakupan uang beredar yang beragam, jenis uang
beredar pun beragam, mulai dari pengertiah atau definisi yang paling sempit sampai yang paling
luas. Uang kartal atau uang tunai seperti yang telah diuraikan di atas sebenarnya merupakan jenis
Di Indonesia saat ini dikenal hanya dua macam uang yang beredar, yaitu sebagai berikut.
a. Uang beredar dalam arti sempit, yang sering diberi simbol Ml, didefinisikan sebagai
kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta domestik yang terdiri dari uang kartal (C)
b. Uang beredar dalain arti luas, yang sering juga disebut sebagai likuiditas perekonomian dan
diberi simbol M2, didefinisikan sebagai kewajiban sistem moneter terhadap sektor swasta
domestik yang terdiri dari uang kartal (C), uang giral (D), dan uang kuasi (T). Dengan kata
Sementara itu, pengertian uang beredar di berbagai negara dapat berbeda dan bervariasi sesuai
dengan kondisi sektor keuangan dan perbankan, serta kebutuhan otoritas moneter negara
tersebut. Definisi uang beredar di Amerika Serikat, misalnya: definisi uang beredar tidak hanya
Awalnya, yang dimaksud dengan uang adalah uang yang dikeivarkan dan diedarkan oleh
penguasa (otoritas moneter) pada waktu tersebut dan merupakan uang kartal saja.
71
Pada pertengahan abad ke-19, yang saat tahap awal perkembangan bank umum komersial 1)&11,
simpanan dalam bentuk rekening giro (uang giral) masih baru dan hanya dikenal oleh orang-
orang kaya atau pedagang saja; masyarakat tuns belum mengenal dan menggunakannya.
Salah satu isu yang terjadi dalam perekonomian Indonesia adalah tentang keberadaan tabungan
(savings deposits) dalam M2. Kebanyakan jenis tabungan yang ditawarkan perbankan dewasa ini
adalah jenis tabungan yang dapat ditarik sewaktu-waktu, yang disertai dengan kemudahan
pencairan, yaitu dengan menggunakan kartu ATM, sifat tabungan dinilai sama dengan simpanan
giral, bahkan hampir sama dengan uang tunai. Dengan demikian, jenis tabungan tersebut
seharusnya digolongkan ke dalam jenis uang MI, dan bukan M2. Bahkan saat ini semakin
berkembang, karena telah berkembang produk-produk baru di bidang keuangan dan perbankan,
seperti credit card, debit cards, dan Internet banking. Contoh Amerika Serikat dalam
menghitung jumlah uang beredar tidak hanya menggunakan jenis pengelompokan Ml dan M2
saja, tetapi juga M3. Inggris menggunakan jenis pengelompokan Ml, M2, dan M3. Sementara
itu, kanada menggunakan jenis pengelompokan yang lebih rind lagi, yaitu Ml, M2, M2+,
Bagaimana uang beredar itu diciptakan? Untuk menjelaskan hal tersebut, perlu dijelaskan
terlebih dahulu siapa saja pelaku penciptaan uang. Berdasarkan pengelompokan peranannya,
secara umum dikenal tiga pelaku utama, yaitu: (1) otoritas moneter; (2) bank umum; dan (3)
masyarakat atau sektor swasta domestik. Pada dasarnya, ketiga pelaku tersebut berinteraksi
sedemikian rupa se hinggapenyediaan (penawaran) uang oleh otoritas moneter dan bank sesuai
dengan kebutuhan (permintaan) masyarakat akan uang tersebut. Secara sederhana dapat
diuraikan: otoritas moneter menciptakan uang kartal, sementara bank umum menciptakan uang
72
giral dan uang kuasi, sedangkan masyarakat akan menggunakan uang yang diciptakan oleh
otoritas moneter dan bank umum tersebut untuk melaksanakan kegiatan ekonomi.
atau bank sentral juga mulai dikenal. Sebagai pelaksana fungsi otoritas moneter, bank sentral
berwenang mengeluarkan dan mengedarkan uang kartal yang terdiri dari uang kertas dan uang
logam. Bank sentral juga menerima simpanan giro bank umum. Uang kartal dan simpanan giro
bank umum di bank sentral tersebut selanjutnya disebut sebagai Uang Primer atau Uang Inti
karena jenis uang ini merupakan inti atau "biarig" dalam proses penciptaan uang beredar yang
sudah dikenal dari uraian sebelumnya yaitu uang kartal, uang giral dan uang kuasi.
neraca otoritas moneter. Di Indonesia neraca tersebut secara garis besar dapat digambarkan
sebagai berikut.
Aktiva Passiva
Aktiva Luar Negeri Bersih Uang kartal (C)
(ALNB) Di masyarakat
Secara garis
Tagihan
besar, sisibersih pada
pasiva (kewajiban) Milik
neraca bank umum
otoritas moneter memuat komponen uang
domestik
masyarakat di Bank Indonesia.
Sementara itu, sisi aktiva (kekayaan) neraca otoritas moneter memuat faktor-faktor yang
Faktor ini timbul sebagai akibat terjadinya transaksi luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah,
Faktor ini bersumber dari transaksi dalam bentuk mata uang domestik yang dilakukan oleh
pemerintah, sektor swasta domestik, dan bank umum. Transaksi oleh pemerintah antara lain
berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang tercermin dalam Anggaran
Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Sementara itu, tagihan kepada sektor swasta domestik
dan bank umum antara lain berkaitan dengan pernberian bantuan likuiditas dalam rangka
Faktor ini merupakan pos yang disediakan untuk menampung berbagai pos yang tidak dima-
sukkan ke dalam kelompok-kelompok yang telah disebutkan sebelumnya. Salah satu contohnya
Penciptaan uang giral dan uang kuasi secara umum dapat melalui, yaitu:
a. Substitusi, melalui proses ini seseorang dapat menyetorkan uang kartal ke bank umum untuk
b. Transformasi, melalui proses transformasi bank umum dapat membeli surat-surat berharga,
kemudian membukukannya ke dalam simpanan giro atas nama yang bersangkutan atau
c. Pemberian kredit, melalui proses ini, bank umum dapat memberikan kredit kepada nasabahnya
dan membukukan ke rekening giro atas nama debitur yang menerima kredit tersebut.
Dalam proses susbstitusi dan transformasi, ada kemungkinan terjadinya perpindahan bentuk dari
uang giral ke uang kuasi melalui pemindahbukuan. Pergeseran tersebut tergantung pada daya
tank simpanan dalam bentuk tabungan atau deposito berjangka dibandingkan dengan simpanan
Seperti telah dikemukakan di atas, proses penciptaan uang, baik oleh bank umum, maupun
otoritas moneter dan telah mengenal uang primer (Mo), uang beredar dalam arti sempit (Ml), dan
uang beredar dalam arti luas (M2), pada bagian ini akan dibahas hubungan antara Mo dengan Ml
Uang primer atau Mo merupakan "inti" dalam proses penciptaan uang beredar. Sementara itu,
bank sentral mempunyai kemampuan untuk mengendalikan uang primer yang berada pada sisi
pasiva neraca otoritas moneter. Apakah dengan demikian otoritas moneter dapat sepenuhnya
mengendalikan uang beredar? Tentu tidak semudah itu, mengingat kemampuan otoritas moneter
dalam mengatur jumlah uang beredar sangat tergantung pada berbagai faktor dan terutama
karena bank umum juga mempunyai peranan dan kemampuan untuk menciptakan uang giral dan
uang kuasi. Sementara itu, uang beredar juga dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dalam
membelanjakan uangriya.
Faktor yang memengaruhi uang beredar dapat dikelompokkan, yaitu sebagai berikut.
Faktor ini adaiah faktor yang memengaruhi determinan uang primer itu sendiri, yaitu antara lain
biaya penggunaan uang giral, kenyamanan dan keamanan, biaya relatif (opportunity cost) - yaitu
suku bunga, pendapatan masyarakat, kemajuan layanan sektor perbankan, ketentuan otoritas
Faktor ini terkait dengan perubahan transaksi keuangan oleh masyarakat yang tercermin pada
pos-pos neraca otoritas moneter, balk dari sisi penggunaan uang primer maupun faktor yang
masyarakat dalam menggunakan uang kartal yang umurnnya terkait dengan tingkat kemajuan
perekonomian suatu negara, khususnya sektor keuangannya. Sementara itu, penentuan besarnya
cadangan bank yang disimpan di bank sentral dan perubahan yang terjadi pada transaksi
keuangan pada sisi aktiva neraca otoritas moneter lebih terkait dengan struktur dan
faktor utama, seperti: pola transaksi masyarakat dengan luar negeri, perkembangan dan
mekanisme di bidang perkreditan, serta manajemen keuangan pemerintah yang tercermin pada
struktur APBN. Faktor tersebut dipengaruhi oleh kekuatan struktur dan perkembangan ekonomi
suatu negara.
Dengan demikian, secara garis besar dapat disimpulkan faktor yang dapat memengaruhi uang
beredar, antara lain adalah: tingkat pendapataan masyarakat, suku bunga, kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah dan otoritas moneter, dan faktor lain yang mencerminkan kekuatan
Banyak yang beranggapan bahwa jumlah uang beredar yang terlalu banyak akan
menjadikan kegiatan ekonomi berkembang dengan pesat. Bila keadaan ini berlangsung terus,
akan berbahaya karena harga barang akan meningkat tajam. Sebaliknya bila uang beredar sedikit,
kegiatan ekonomi menjadi terhambat. Demikian pula bila uang beredar terlalu banyak, suku
bunga akan cenderung turun, atau sebaliknya. Hal yang menjadi masalah di sun apakah pendapat
di atas sesuai dengan faktanya? Apakah uang beredar berperan dan berkaitan erat dengan
Dalam dunia usaha, perekonomian uang maupun tanpa uang bukanlah hal yang baru. Umumn'im
manusia melakukan transaksi dengan menggunakan uang, tetapi untuk beberapa kegiatan khusus,
sexing pula transaksi tidalc menggunakan uang. Hal ini dikenal dengan barter. Barter adalah
Suatu perekonomian tanpa uang tetap memiliki kesulitan. Setiap sistem yang digunakan dalam
kegiatan apa pun pasti memiliki titik lemah. Hal ini berlaku pula bagi sistem perdagangan tukar-
menukar barang atau jasa. Ada beberapa kesulitan yang menjadi titik lemah sistem tukar-
menukar barang atau jasa antara lain seperti dijelaskan berikut ini.
a. Pertukaran sulk dilaksanakan karena harus ada dua pihak yang saling menginginkan barang
atau jasa yang akan dipertukarkan dan masing-masing pihak harus mempunyai penilaian
b. Penilaian seseorang atas suatu barang hanya bisa dinyatakan dalam unit barang lainnya,
sedangkan barang lainnya tersebut mempunyai nilai yang berbeda pula bagi tiap-tiap orang.
77
c. Tabungan hanya dapat dilakukan dalam bentuk barang sehingga selain memerlukan tempat
penyimpanan juga menghadapi risiko rusak, susut, hilang, kebakaran dan lain sebagainya.
d. Pinjam-meminjam hanya dalam bentuk barang. Dalam situasi dan kondisi ini, pihak yang
ingin meminjam suatu barang harus mencari dan berhubungan dengan orang yang memiliki
barang tersebut.
Peranan dan keterkaitan yang erat antara uang dengan kegiatan suatu perekonomian dapat di-
nggap sebagai suatu hal yang bersifat alami karena semua kegiatan perekonomian modern,
misalnya roduksi, investasi, dan konsumsi, selalu melibatkan uang. Bahkan dalam
pasar barang, namun uang iga menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan di pasar uang.
Dengan kondisi tersebut, sulit ibayangkan apabila tidak ada benda yang namanya uang.
Bagaimana melihat peran uang? Salah satu caranya adalah dengan rnemahami bagaimana aliran
tau arus perputaran barang dan uang terjadi dalam suatu perekonomian. Periu diketahui bahwa
erkembangan kegiatan suatu perekonomian pada dasarnya dapat dilihat dari dua sektor yang
saling erkaitan, yaitu sektor riil (barang dan jasa) dan sektor moneter (uang). Sektor riil dan
sektor moneter .dak hanya berkaitan erat. Kedua sektor tersebut seperti dua sisi mata uang di
mana sisi yang satu :dak dapat dipisahkan dengan sisi yang lain. Misalnya: pembeli memiliki
uang, tetapi tidak memiliki arang, sementara itu, penjual memiliki barang, tetapi tidak memiliki
uang. Dengan demikian, apaila transaksi tersebut dilakukan, nilai transaksi jual bell barang dan
Sebagaimana diketahui, dalam setiap kegiatan ekonomi selalu terdapat dua macam aliran, yaitu
liran barang dan aliran uang atau dana. Dalam proses tersebut perusahaan akan membeli bahan
78
aku dan menyewa tenaga (keahlian) dari masyarakat sehingga akan terjadi aliran barang dan jasa
erupa bahan baku dan tenaga kerja dad masyarakat. Pada saat.yang sama juga terjadi aliran uang
ari perusahaan untuk pembayaran bahan baku yang dibeli. tersebut. Aliran uang keluar tersebut
agi perusahaan akan menjadi pos biaya, sementara hagi masyarakat, aliran uang masuk tersebut
aerupalcan pos pendapatan. Sementara itu, setelah perusahaan menghasilkan suatu produk dan
menialnya ke masyarakat akan terjadi aliran uang keluar dari masyarakat dan sebaliknya terjadi
aliran ang masuk yang merupakan pendapatan perusahaan. Mekanisme yang serupa juga terjadi
pada kegitan investasi dan kegiatan ekonomi tainnya. Berdasarkan contoh tersebut, dapat
disimpulkan bahwa alam suatu perekonomian aliran uang akan sebanding dengan aliran barang
dan jasa.
Ada beberapa keuntungan yang menjadi kekuatan sistem perekonomian dengan menggunakan lat
- Uang pertukaran dapat dipecahkan menjadi dua transaksi, yaitu pembelian dan penjualan.
Kedua transaksi ini tidak perlu dilakukan pada saat yang sama dengan orang yang sama. Hal ini
akan memperlancar pertukaran dan mendorong spesialisasi kerja. Di sini uang berfungsi sebagai
alat tukar-menukar
- Penilaian atas barang atau jasa dapat dinyatakan dalam satuan uang sehingga dapat memper-
mudah perbandingan nilai dad berbagai macam dan jumlah barang atau jasa. Dalam hal ini uang
- Uang mempermudah keinginan untuk menabung. Dengan demikian, orang tidak perlu lagi
menumpuk barang-barang yang menimbulkan masalah tempat penyimpanan dan risiko. Oleh
pengeluarannya (untuk konsumsi atau investasi) dengan orang yang pengeluarannya melebihi
penghasilannya, yaitu antara surplus unit dengan defisit unit. Dalam hal ini uang berfungsi seba-
Sesuai dengan hukum permintaan pasar, apabila jumlah uang yang disediakan melebihi jumlah
uang yang diminta, maka akan terjadi kelebihan penyediaan uang yang pada akhirnya dapat
mengakibatkan penurunan harga uang atau suku bunga. Dalam ilmu ekonomi moneter, salah satu
teori yang menjelaskan keterkaitan antara suku bunga dengan permintaan/penyediaan dana
(uang) adalah teori dana yang dapat dipinjamkan (the Loanable Fund Theory). Sebaliknya,
apabila jumlah uang yang diminta melebihi jumlah yang disediakan, maka akan dapat
mengakibatkan kenaikan harga uang atau suku bunga. Perlu dijelaskan bahwa suku bunga yang
dimaksud adalah suku bunga keseimbangan pasar, yaitu suku bunga yang mencerminkan
kesesuaian antara suku bunga bunga simpanan (sisi penawaran uang) dan suku bunga pinjaman
Dengan demikian perubahan suku bunga dapat terjadi sebagai akibat adanya perubahan jumlah
uang beredar yang mencerminkan interaksi antara sisi permintaan dan sisi penawaran.
Bagaimana hubungan antara uang dan suku bunga yang terjadi pada perekonomian Indonesia?
Dalam hal ini, pada saat uang beredar berkembang pesat suku bunga mengalami penurunan.
Sebagai contoh pada periode 1999-2000, saat krisis melanda perekonomian Indonesia, hubungan
yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu perkembangan uang beredar yang pesat disertai dengan
suku bunga yang juga tinggi. Mengapa hal ini bisa terjadi? Sebagai contoh: ketika terjadi krisis
ekonomi mencapai puncaknya pada tahun 1998 terjadi kelangkaan dana pada perbankan dalam
80
jumlah besar sebagai akibat penarikan dana oleh masyarakat. Ditambah dengan melemahnya
nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, kepercayaan masyakarat terhadap rupiah semakin
melemah. Untuk menanggulangi keadaan ini, bank-bank umum menaikkan suku bunga secara
drastis untuk menarik dana dari masyarakat. Semakin memburuknya kondisi perekonomian
mendorong pemerintah (Bank Indonesia) untuk menyuntik dana ke pasar dalam jumlah yang
sangat besar, yang menyebabkan peningkatan jumlah uang beredar secara drastis.
Masyarakat pada umumya membutuhkan uang atau dana untuk membiayai kegiatan ekonominya
di sektor riil, seperti produksi, investasi, dan konsumsi. Lalu, apa yang terjadi apabila jumlah
uang yang tersedia sangat terbatas sehingga tidak dapat membiayai kegiatan ekonomi tersebut
sepenuhnya? Mau sebaliknya, apa yang terjadi apabila jumlah uang yang tersedia melimpah,
sementara kegiatan ekonorni relatif kecil untuk dibiayai? Pertanyaan tersebut pada dasarnya
mengarah pada pemahaman bahwa terdapat keterkaitan yang erat antara uang dan kegiatan
ekonomi di sektor riil, seperti yang telah disinggung pada awal subbab ini. Keterkaitan antara
uang dan kegiatan ekonomi paling tidak terjadi dalam jangka pendek. Pengaruh uang terhadap
kegiatan ekonomi di sektor MI pada dasarnya dapat bersifat langsung atau tidak langsung.
Pengaruh tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap perkembangan suku bunga. Apabila
terjadi penambahan jumlah uang beredar, suku bunga akan cenderung turun. Penurunan suku
bunga tersebut akan menurunkan biaya pendanaan kegiatan investasi, yang selanjutnya
Idealnya, permintaan agregat harus sama dengan penawaran agregat. Bagaimana apabila tidak?
Apabila permintaan agregat tidak sama dengan penawaran agregat, diperlukan penyesuaian
81
kegiatan ekonomi agar terjadi kesesuaian (keseimbangan), yang pada akhirnya dapat
mengakibatkan perubahan harga barang dan jasa. Dalam hal ini, peningkatan permintaan agregat
yang melebihi penawaran agregat akan mendorong kenaikan harga barang dan jasa.
Dengan demikian, mengingat perubahan jumlah uang beredar dapat memengaruhi perkembangan
permintaan agregat, dapat disimpulkan bahwa perubahan jumlah uang beredar dapat
memengaruhi perkembangan harga. Salah satu implikasi Teori Kuantitas Klasik yang terpenting
ialah bahwa dalam jangka pendek tingkat harga umum berubah secara proporsional dengan
perubahan uang yang diedarkan oleh pemerintah. Hal ini berarti bahwa kecenderungan kenaikan
harga umum secara terus-menerus (inflasi) dapat terjadi apabila penambahan jumlah uang
beredar melebihi kebutuhan yang sebenarnya. Dapat dinyatakan secara sederhana bahwa "jumlah
uang beredar bertambah, harga barang-barang naik". Dalam kasus ini, mengingat inflasi sangat
dipengaruhi oleh perkembangan uang beredar, inflasi dikenal sebagai fenomena moneter.
Dalam kasus lain, inflasi yang tinggi dapat beriangsung dalam jangka waktu yang lama, walau-
pun perkembangan jumlah uang beredar relatif rendah. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui
teori Strukturalis yang menyatakan bahwa inflasi dalam jangka waktu panjang lebih disebabkan
pada struktur penerimaan ekspor dan produksi bahan makanan dalam negeri. Dengan demikian,
tekanan inflasi akan muncul apabila pertumbuhan sektor ekspor sangat lamban dibandingkan
dengan sektor-sektor lainnya, ataupun produksi bahan makanan dalam negeri kurang memadai.
moneter atau fenornena struktural? Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Mungkin lebih
mudah jika bertanya: sejauh mana fenomena-fenomena tersebut terjadi di Indonesia? Walaupun
82
sulit untuk memilih kedua fenomena tersebut, jawaban atas pertanyaan tersebut dapat diarahkan
a. Krisis ekonomi yang puncaknya terjadi pada tahun 1998 yang lalu, ketika itu terjadi
kelangkaan dana di perbankan Sebagai akibat penarikan dana oleh masyarakat yang sangat
rupiah. Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah (Bank Indonesia) menyuntik dana ke
pasar dalam jumlah yang sangat besar dalam beberapa waktu, yang selanjutnya berakibat
melonjaknya inflasi beberapa saat kemudian. Demikian pula selanjutnya, pertumbuhan uang
beberapa kebijakan, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik,
tarif angkutan. Kebijakan lain yang ditempuh adalah menaikkan gaji pegawai negeri sipil
(PNS) dan upah minimum regional (UMR) juga turut berpengaruh terhadap kenaikan harga
barang-barang di masyarakat. Ditarnbah lagi kenaikan harga makanan sebagai akibat banjir
Berdasarkan beberapa contoh di atas, secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa inflasi di
Indonesia merupakan fenomena moneter. Namun, dapat pula dikatakan berdasarkan kedua
contoh di atas bahwa inflasi di Indonesia merupakan fenomena struktural. Dengan demikian,
tabungan, maupun investasi. Maka adanya uang menaikkan pendapatan nasional yang berarti
jumlah barangatau jasa yang dapat dihasilkan masyarakat menjadi lebih besar. Ini juga berarti
bahwa untuk tingkat pendapatan nasional tertentu diperlukan adanya jumlah uang beredar
tertentu dan penambahan jumlah uang beredar sampai suatu tingkat tertentu yang akan
menaikkan pendapatan
b. Penggunaan uang sebagai satuan hitung untuk menyatakan nilai barang, menciptakan harga
di pasar barang atau jasa. Di samping tingkat pendapatan nasional, jumlah uang beredar
juga memengaruhi tingkat harga. Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap perubahan
c. Dengan majunya transaksi pinjam-meminjam antara surplus units dengan defisit units, uang
sebagai suatu financial assets yang paling likuid, timbul financial aspect lainnya yang.
Pengendalian jumlah uang beredar pada dasarnya merupakan salah satu bagian dari kerangka
kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh otoritas moneter. Sesuai dengan tujuan kebijakan mo-
neter, pengendalian jumlah uang beredar pada umumnya ditujukan untuk menjaga kestabilan
nilai uang dan mendorong kegiatan ekonomi. Adapun yang dimaksud dengan pengendalian di
sini adalah upaya otoritas moneter, baik untuk menambah jumlah uang beredar (kebijakan
ekspansi moneter), maupun mengurangi jumlah uang yang beredar (kebijakan konstraksi
moneter). Pengendalian jumlah uang beredar tersebut juga mempunyai peranan yang sangat
strategis dalam kerangka kebijakan ekonomi makro. Hal ini disebabkan oleh keterkaitani yang
84
erat antara uang dengan variabel-variabel ekonomi lainnya, seperti suku bunga, output, dan
harga. Dengan mengendalikan jumlah uang beredar tersebut, otoritas moneter akan dapat
memengaruhi nilai uang sedemikian rupa sehingga perkembangannya akan mampu mendorong
perekonomian ke arah yang diinginkan sesuai dengan sasaran akhir yang ditetapkan, seperti
Berkaitan dengan hal di atas, bagaimana 4onya, dengan pengendalian jumlah uang beredar di
Indonesia? Sesuai dengan UU No 23 Tahuri 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia
meriipalcan otoritas moneter yang mempunyai taps menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter, antara lain mengendalikan jumlah uang beredar. Pengendalian jumlah uang beredar
dianggap cukup relevan, terutama bila dikaitkan dengan_arah baru penerapan kebijakan moneter
di Indonesia yang menelcankan pada pencapaian sasaran tunggkyaitu kestabilan nilai rupiah
(harga).Praktiknya, pengendalian jumlah uang beredar yang optimal sangatlah sulit dilakukan.
Namun demikian setidaknya, terdapat tiga faktor yang menyebabkan sulitnya pengendalian
jumlah uang beredar tersebut. Faktor pertama adalah adanya unsur-unsur yang bersifat
ekspansi moneter untuk mendorong kegiatan ekonomi yang sedang lesu—ritbdakan bid biasanya
berdampak pada meningkatnya inflasi. Sebahknya, apabila diambil kebijaanSkisi moneter untuk
meredam laju inflasi tersebut, perkembangan kegiatan ekonomi diperkla Akan terhambat. Faktor
kedua adalah sulitnya memprediksi dan mengendalikan permintaan uang masyarakat. Seperti
yang telah dijelaslcan sebelumnya, perilaku permintaan uang masyarakat tergantung pada
beberapa motif yang beragam. Sejalan dengan pesatnya perkembangan dan inovasi sektor
keuangan dan keterbukaan perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, perilaku
tersebut cenderung tidak stabil sehingga sulk untuk diprediksi dan dilcendalikan. Faktor ketiga
85
adatalt sulitnya memprediksi perilaku angica pelipat ganda uang. Sebagaimana perkembangan
prmintaan-aang; perilaku angka pelipat ganda uang juga cenderung tidak stabil sehingga sulit
untuk diperhitungkan.
86
BAB IV
BANK INDONESIA
Bank Indonesia (BI, dulu disebut De Javasche Bank) adalah bank sentral Republik
Indonesia. Sebagai bank sentral, BI mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu
kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara
lain.
Untuk mencapai tujuan tersebut BI didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang
tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi perbankan
di Indonesia. Ketiganya perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien. Setelah tugas mengatur dan mengawasi
perbankan dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan, tugas BI dalam mengatur dan mengawasi
perbankan tetap berlaku, namun difokuskan pada aspek makroprudensial sistem perbankan
secara makro. BI juga menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki hak untuk
mengedarkan uang di Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya BI dipimpin oleh
Pada 1828 De Javasche Bank didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bank
sirkulasi yang bertugas mencetak dan mengedarkan uang. Tahun 1953, Undang-Undang Pokok
Bank Indonesia menetapkan pendirian Bank Indonesia untuk menggantikan fungsi De Javasche
87
Bank sebagai bank sentral, dengan tiga tugas utama di bidang moneter, perbankan, dan sistem
pembayaran. Di samping itu, Bank Indonesia diberi tugas penting lain dalam hubungannya
dengan Pemerintah dan melanjutkan fungsi bank komersial yang dilakukan oleh DJB
sebelumnya.
Pada tahun 1968 diterbitkan Undang-Undang Bank Sentral yang mengatur kedudukan
dan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral, terpisah dari bank-bank lain yang melakukan
fungsi komersial. Selain tiga tugas pokok bank sentral, Bank Indonesia juga bertugas membantu
Pemerintah sebagai agen pembangunan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta
Tahun 1999 merupakan Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia, sesuai dengan UU
No.23/1999 yang menetapkan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara
Pada tahun 2004, Undang-Undang Bank Indonesia diamandemen dengan fokus pada
aspek penting yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia, termasuk
Pengganti Undang-Undang No.2 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas sistem
menghadapi krisis global melalui peningkatan akses perbankan terhadap Fasilitas Pembiayaan
Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dimulai
ketika sebuah undang-undang baru, yaitu Undang-Undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia,
dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999. Undang-undang ini memberikan status dan
kedudukan sebagai suatu lembaga negara independen dan bebas dari campur
tangan pemerintah ataupun pihak lainnya. Sebagai suatu lembaga negara yang independen, Bank
Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan
dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga
berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak
manapun juga. Untuk lebih menjamin independensi tersebut, undang-undang ini telah
memberikan kedudukan khusus kepada Bank Indonesia dalam struktur ketatanegaraan Republik
Indonesia. Sebagai Lembaga negara yang independen kedudukan Bank Indonesia tidak sejajar
dengan Lembaga Tinggi Negara. Disamping itu, kedudukan Bank Indonesia juga tidak sama
dengan Departemen, karena kedudukan Bank Indonesia berada di luar Pemerintah. Status dan
kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan
Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan
hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik Bank Indonesia
undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai
badan hukum perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam
Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan
tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini
mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta
kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama tercermin pada perkembangan
laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap
mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran
yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian,
tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga
Dalam rangka tugas mengatur dan mengawasi perbankan, Bank Indonesia menetapkan
peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari
bank, melaksanakan pengawasan atas bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan
Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, selain memberikan dan mencabut izin usaha
bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan
kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, serta
langsung. Pengawasan langsung dilakukan baik dalam bentuk pemeriksaan secara berkala
penelitian, analisis dan evaluasi terhadap laporan yang disampaikan oleh bank.
langkah restrukturisasi perbankan yang komprehensif. Langkah ini mutlak diperlukan guna
G. Otoritas Moneter BI
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai wewenang untuk memutuskan dan
melaksanakan kebijakan moneter yang tepat. Kebijakan itu bisa berupa Open Market
Sistem Pembayaran
91
Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah adalah tujuan Bank Indonesia sebagaimana
diamanatkan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Untuk menjaga
stabilitas rupiah itu perlu disokong pengaturan dan pengelolaan akan kelancaran Sistem
Pembayaran Nasional (SPN). Kelancaran SPN ini juga perlu didukung oleh infrastruktur yang
handal (robust). Jadi, semakin lancar dan hadal SPN, maka akan semakin lancar
pula transmisi kebijakan moneter yang bersifat time critical. Bila kebijakan moneter berjalan
BI adalah lembaga yang mengatur dan menjaga kelancaran SPN. Sebagai otoritas
moneter, bank sentral berhak menetapkan dan memberlakukan kebijakan SPN. Selain itu, BI
juga memiliki kewenangan memeberikan persetujuan dan perizinan serta melakukan pengawasan
(oversight) atas SPN. Menyadari kelancaran SPN yang bersifat penting secara sistem
sistem settlement antar bank melalui infrastruktur BI-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).
Selain itu masih ada tugas BI dalam SPN, misalnya, peran sebagai penyelenggara
sistem kliring antarbank untuk jenis alat-alat pembayaran tertentu. Bank sentral juga adalah satu-
satunya lembaga yang berhak mengeluarkan dan mengedarkan alat pembayaran tunai seperti
uang rupiah. BI juga berhak mencabut, menarik hingga memusnahkan uang rupiah yang sudah
Berbekal kewenangan itu, BI pun menetapkan sejumlah kebijakan dari komponen SPN
ini. Misalnya, alat pembayaran apa yang boleh dipergunakan di Indonesia. BI juga menentukan
standar alat-alat pembayaran tadi serta pihak-pihak yang dapat menerbitkan dan/atau memproses
menyelenggarakan sistem pembayaran. Ambil contoh, sistem kliring atau transfer dana, baik
92
suatu sistem utuh atau hanya bagian dari sistem saja. Bank sentral juga memiliki kewenangan
menunjuk lembaga yang bisa menyelenggarakan sistem settlement. Pada akhirnya BI juga mesti
menetapkan kebijakan terkait pengendalian risiko, efisiensi serta tata kelola (governance) SPN.
Di sisi alat pembayaran tunai, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang
untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan
uang dari peredaran. Terkait dengan peran BI dalam mengeluarkan dan mengedarkan uang, Bank
Indonesia senantiasa berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan uang kartal di masyarakat baik
dalam nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang
layak edar (clean money policy). Untuk mewujudkan clean money policy tersebut, pengelolaan
pengedaran uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dilakukan mulai dari pengeluaran uang,
pengedaran uang, pencabutan dan penarikan uang sampai dengan pemusnahan uang.
agar uang yang dikeluarkan memiliki kualitas yang baik sehingga kepercayaan masyarakat tetap
pengeluaran emisi baru dengan mempertimbangkan tingkat pemalsuan, nilai intrinsik serta masa
edar uang. Selain itu dilakukan pula perencanaan terhadap jumlah serta komposisi pecahan
uang yang akan dicetak selama satu tahun kedepan. Berdasarkan perencanaan tersebut kemudian
dilakukan pengadaan uang baik untuk pengeluaran uang emisi baru maupun pencetakan rutin
Uang Rupiah yang telah dikeluarkan tadi kemudian didistribusikan atau diedarkan di
seluruh wilayah melalui Kantor Bank Indonesia. Kebutuhan uang Rupiah di setiap kantor Bank
penggantian uang selama jangka waktu tertentu. Kegitan distribusi dilakukan melalui
93
sarana angkutan darat, laut dan udara. Untuk menjamin keamanan jalur distribusi senantiasa
dilakukan baik melalui pengawalan yang memadai maupun dengan peningkatan sarana sistem
monitoring.
Kegiatan pengedaran uang juga dilakukan melalui pelayanan kas kepada bank umum
maupun masyarakat umum. Layanan kas kepada bank umum dilakukan melalui
penerimaan setoran dan pembayaran uang Rupiah. Sedangkan kepada masyarakat dilakukan
melalui penukaran secara langsung melalui loket-loket penukaran di seluruh kantor Bank
Indonesia atau melalui kerjasama dengan perusahaan yang menyediakan jasa penukaran uang
kecil.
Lebih lanjut, kegiatan pengelolaan uang Rupiah yang dilakukan Bank Indonesia adalah
pencabutan uang terhadap suatu pecahan dengan tahun emisi tertentu yang tidak lagi berlaku
sebagai alat pembayaran yang sah. Pencabutan uang dari peredaran dimaksudkan untuk
mencegah dan meminimalisasi peredaran uang palsu serta menyederhanakan komposisi dan
emisi pecahan. Uang Rupiah yang dicabut tersebut dapat ditarik dengan cara menukarkan ke
Bank Indonesia atau pihak lain yang telah ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Sementara itu untuk menjaga menjaga kualitas uang Rupiah dalam kondisi yang layak edar di
masyarakat, Bank Indonesia melakukan kegiatan pemusnahan uang. Uang yang dimusnahkan
tersebut adalah uang yang sudah dicabut dan ditarik dari peredaran, uang hasil cetak kurang
sempurna dan uang yang sudah tidak layak edar. Kegiatan pemusnahan uang diatur melalui
prosedur dan dilaksanakan oleh jasa pihak ketiga yang dengan pengawasan oleh tim Bank
Indonesia (BI).
H. Dewan Gubernur BI
94
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan
Gubernur. Dewan ini terdiri atas seorang Gubernur sebagai pemimpin, dibantu oleh seorang
Deputi Gubernur Senior sebagai wakil, dan sekurang-kurangnya empat atau sebanyak-banyaknya
tujuh Deputi Gubernur. Masa jabatan Gubernur dan Deputi Gubernur selama-lamanya lima
tahun, dan mereka hanya dapat dipilih untuk sebanyak-banyaknya dua kali masa tugas.
Gubernur dan Deputi Gubernur Senior diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan
persetujuan DPR. Sementara Deputi Gubernur diusulkan oleh Gubernur dan diangkat
oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia tidak dapat
diberhentikan oleh Presiden, kecuali bila mengundurkan diri, berhalangan tetap, atau melakukan
Gubernur dan Deputi Gubernur Senior diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan
persetujuan DPR. Sementara Deputi Gubernur diusulkan oleh Gubernur dan diangkat
oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia tidak dapat
diberhentikan oleh Presiden, kecuali bila mengundurkan diri, berhalangan tetap, atau melakukan
Adanya OJK, fungsi pengawasan lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank akan
diambil alih OJK. Sementara Bank Indonesia sebagai Bank Sentral hanya berperan sebagai
regulator kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas moneter. Dengan demikian pembentukan
OJK akan berdampak pada perubahan atas empat peraturan perundang-undangan terkait dengan
95
asuransi, pasar modal, perbankan, serta Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
lainnya. Secara substansi keberadaan OJK harus dapat menjembatani kepentingan setiap
Tugas OJK sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK
yaitu : Melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di
sektor perbankan; kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; kegiatan jasa keuangan di
sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah, yang dapat diartikan bahwa OJK tidak
menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya
unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya OJK merupakan otoritas di sektor
jasa keuangan yang mempunyai relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal
ini otoritas fiskal (Menteri Keuangan) dan otoritas moneter (Bank Indonesia).
Berdasarkan ketentuan Pasal 69 ayat (1) huruf (a) UU No. 21 Tahun 2011 menegaskan
bahwa tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank yang dialihkan ke OJK
adalah tugas pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan microprudential, sedangkan
Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan perbankan terkait macroprudential. Berkaitan
dengan hal tersebut, tugas pengaturan perbankan tidak sepenuhnya dilaksanakan secara
berkaitan. Dengan demikian dapat dilihat bahwa OJK masih memiliki ”hubungan khusus”
Amanat pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia secara jelas telah
sebagai pelaksanaan dari Pasal 23 D UUD 1945, sehingga nampak terdapat materi sisipan untuk
96
pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (sekarang disebut dengan Otoritas Jasa
Keuangan). Hal tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dimana OJK memiliki kewenangan terhadap
beberapa sektor penting penunjang perekonomian Indonesia antara lain : Lembaga perbankan;
Selanjutnya OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan :
b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
Undang Bank Indonesia berada dalam lingkup Bab VI tentang Tugas Mengatur dan Mengawasi
Bank, sementara lingkup OJK tidak hanya dibatasi untuk melakukan pengawasan terhadap bank,
namun juga pengawasan terhadap lembaga keuangan lain yang bukan merupakan kewenangan
Bank Indonesia seperti lembaga asuransi, dana pensiun, sekuritas (pasar modal), modal ventura,
dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana
pembagian tugas dalam melaksanakan pengawasan perbankan, yaitu tugas mengatur bank
dilaksanakan oleh Bank Indonesia, sementara tugas mengawasi bank dilaksanakan oleh OJK.
Namun praktiknya, pada saat pemerintah mengajukan RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) terlihat jelas bahwa OJK mempunyai kewenangan lebih luas, yaitu tidak semata-
Indonesia, namun meliputi seluruh tugas Bank Indonesia terkait pengaturan dan pengawasan
97
bank sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 8 huruf (c) Undang-Undang Bank Indonesia akan
Adanya OJK, fungsi pengawasan lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank akan
diambil alih OJK. Sementara Bank Indonesia sebagai Bank Sentral hanya berperan sebagai
regulator kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas moneter. Apabila ditinjau dari sejarah,
Undang-Undang No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral menyatakan bahwa Bank Sentral
berkewajiban untuk membina dan mengawasi perbankan di Indonesia, baik dari sudut ekonomi
perusahaan terutama dengan jalan pengaturan dan penjagaan likuiditas dan solvabilitas bank,
maupun dari sudut moneter dengan jalan pengaturan dan pengawasan terhadap pemberian kredit
bank.Sementara itu, pengawasan terhadap lembaga keuangan non bank dilakukan oleh
Departemen Keuangan.
Bank (LKBB). Sebagaimana diketahui definisi LKBB berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Keuangan No.792 Tahun 1990 adalah semua badan yang memiliki kegiatan di bidang keuangan
berupa penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama untuk membiayai
investasi perusahaan. Pembinaan dan pengawasan serta kebijakan perizinan terhadap LKBB
dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini dilakukan oleh Departemen Keuangan.
Kegiatan utama lembaga keuangan adalah menghimpun dan menyalurkan dana, namun
dengan berjalannya waktu, berkembang pula kegiatan yang dilakukan oleh LKBB tidak hanya
melakukan kegiatan berupa pembiayaan investasi perusahaan, namun telah berkembang menjadi
pembiayaan untuk antara lain kegiatan konsumsi dan distribusi barang dan jasa. LKBB di
Indonesia antara lain adalah pasar modal, asuransi, pegadaian, perusahaan pembiayaan, dan dana
pensiun.
98
Adanya LKBB yang semakin berkembang, maka kebijakan moneter yang akan
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter menghadapi tantangan yang berat
karena berbagai faktor yang mendukung kebijakan moneter mengalami perkembangan yang luar
biasa antara lain makin kompleksnya sistem keuangan, yaitu lembaga keuangan baru terutama
terkait dengan berkembangnya pasar modal sebagai sumber pendanaan alternatif bagi
perusahaan.
Dalam hal pendanaan bagi masyarakat, hubungan antara perbankan dan pasar modal
sangat erat. Apabila masyarakat menghadapi kesulitan dalam pengambilan kredit di bank, karena
misalnya persyaratan yang ketat, maka masyarakat dapat mencari alternatif salah satunya dengan
mengambil dana dari pasar modal. Perkembangan pasar modal yang sangat pesat akan berimbas
pada sektor moneter, oleh karenanya perlu pengaturan yang jelas antara perbankan dan pasar
modal.
Koordinasi antara kebijakan moneter dengan pasar modal akan mempengaruhi kebijakan
moneter. Dalam hal ini, apabila perbankan mengalami kesulitan likuiditas, maka Bank Indonesia
berperan sebagai LoLR (sumber pemberi pinjaman terakhir), namun dalam pasar modal tidak ada
Harapan ke depan terdapat pembagian tugas untuk badan yang berperan sebagai sumber
dana atau LoLR (sumber pemberi pinjaman terakhir), yaitu pasar modal diharapkan bertindak
sebagai sumber dana investasi jangka panjang bagi perusahaan, sementara perbankan berperan
Setelah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral diganti dengan
Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, maka tugas Bank Indonesia adalah
menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha
99
tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan. Bahkan secara tegas disebutkan pula bahwa dalam
rangka pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan bank, Bank Indonesia diberikan
wewenang untuk menetapkan peraturan dan perizinan bagi kelembagaan dan kegiatan usaha
bank serta mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia telah mengamanatkan bahwa tugas pengawasan dan pengaturan diserahkan kepada
Bank Indonesia. Apabila tugas pengaturan dan pengawasan diserahkan kepada dua lembaga yang
berbeda akan mengakibatkan suatu kerancuan, karena pada prinsipnya adalah lembaga yang
Dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
tugas mengatur diartikan dengan pembinaan yang merupakan upaya menciptakan peraturan yang
Pendapat dari Pengamat Ekonomi Aviliani menilai bahwa pemberlakuan OJK saat ini belum
diperlukan, karena berdasarkan pengalaman di beberapa Negara, penerapan OJK tidaklah terlalu
efektif atau bahkan gagal, sehingga kebijakan sektor keuangan seharusnya tetap ditangani oleh
otoritas moneter, Bank Indonesia, apabila pihak lain yang menangani, maka kebijakan akan
semakin lambat.
pengawasan perbankan di bawah Bank Indonesia justru lebih baik apabila seluruh kegiatan di
100
sektor perbankan dipegang oleh OJK, sebab kondisi perbankan sangat dekat dengan kebijakan
moneter yang menjadi otoritasnya Bank Indonesia. Lebih lanjut dikemukakan bahwa OJK yang
diterapkan di Inggris dan Hongaria terbukti gagal, bahkan di Australia yang sebagian
pengawasan dilakukan Bank Sentral dan sebagian lagi dilakukan oleh OJK, tetap juga gagal,
sehingga perlu tidaknya OJK harus dibahas lebih dalam lagi. Apabila OJK tetap direalisasikan,
maka lembaga ini akan terkesan superbodi, sebab lembaga tersebut tidak hanya mengawasi bank,
Hal senada ditambahkan oleh Aviliani, yang menegaskan penolakan atas pembentukan
OJK, sebab dikhawatirkan laporan dari bank akan lama dikelola OJK, karena lembaga OJK tidak
hanya mengawasi perbankan, tapi seluruh lembaga keuangan, sehingga sistem pengawasan
menjadi tidak fokus. Dalam rangka memperbaiki pengawasan perbankan, tidak perlu dibentuk
OJK, namun Bank Indonesia harus melakukan berbagai perubahan, seperti mendorong bank-
bank untuk go public, mengintegrasikan pengawasan bank dan anak-anak usahanya, dan
Pendapat serupa disampaikan oleh Darmin Nasution, Gubernur Bank Indonesia, yang
menyampaikan bahwa di semua Negara dalam aspek stabilitas keuangan, pengawasan bank
berada di Bank Sentral, dengan pertimbangan bahwa yang paling siap untuk bertindak ketika ada
Sementara itu, Bank Indonesia mempunyai prinsip bahwa model pengawasan bank yang
paling cocok adalah oleh Bank Sentral. Namun, apabila OJK tetap dibentuk dan sistem
pengawasan bank sudah menjadi kewenangan OJK sepenuhnya, maka Bank Indonesia tetap
memiliki keleluasaan mengakses data perbankan secara cepat dan akurat. Hal tersebut sangat
penting untuk mendukung fungsi Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan mata uang rupiah
101
dan sebagai LoLR (sumber pemberi pinjaman terakhir) dalam rangka menyelamatkan sistem
keuangan.
Bank Indonesia memerlukan informasi yang memadai terhadap lembaga keuangan yang
sistemik, untuk mempercepat penyaluran likuiditas, mengingat faktor kecepatan dan ketepatan
dalam pemberian bantuan kepada bank yang tengah menghadapi krisis likuiditas sangat penting
dan transaksi pembayaran antar bank terjadi dalam hitungan detik. Untuk itu maka dengan
adanya pemisahan fungsi pengawasan bank dari Bank Indonesia, dapat saja berdampak pada
kurang optimalnya peran Bank Indonesia dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelaksana
Hal berbeda dikemukan oleh Novri Irza Hidayattullah, praktisi perbankan, yang
mengemukakan bahwa idealnya fungsi pengawasan harus lepas dari Bank Indonesia, sehingga
Bank Indonesia akan fokus pada pemegang otoritas moneter termasuk menjaga stabilitas nilai
Terlepas dari beberapa pendapat tersebut di atas, pembentukan OJK tersebut yang pasti
akan berdampak pada perubahan atas empat peraturan perundang-undangan terkait dengan
asuransi, pasar modal, perbankan, serta Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
lainnya. Secara substansi keberadaan OJK harus dapat menjembatani kepentingan setiap
Tugas OJK sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK yaitu :
c. Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan
Secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah, yang dapat diartikan bahwa OJK
tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan
adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya OJK merupakan otoritas di
sektor jasa keuangan yang mempunyai relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain,
dalam hal ini otoritas fiskal (Menteri Keuangan) dan otoritas moneter (Bank Indonesia).
Disadari bahwa berbagai krisis ekonomi dan kemudian pada akhirnya terjadi krisis global
yang menerpa Indonesia, telah memberikan pelajaran penting terkait dengan fungsi pengawasan
bank pada Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam menjaga stabilitas sistem keuangan.
Kegagalan di bidang pengawasan perbankan tersebut dijadikan sebagai tolok ukur untuk
OJK, dengan harapan pengawasan terhadap lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank
menjadi lebih baik. Adapun pembentukan OJK disesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 34
Undang-Undang Bank Indonesia, akibatnya model OJK yang tidak sesuai dengan ketentuan
penuh. Kewenangan pengawasan terhadap perbankan, pasar modal, dan LKBB berada dalam
satu lembaga, sehingga tiga otoritas pengawasan yaitu pasar modal, perbankan, dan LKBB akan
bergabung menjadi satu otoritas yang bersifat independen. Artinya Bank Sentral hanya memiliki
kebijakan moneter tanpa berwenang melakukan pengawasan bank. Agar Bank Sentral tetap
mendapatkan informasi mengenai kondisi bank, maka Bank Sentral berkoordinasi dengan
103
otoritas pengawasan tersebut dengan cara Bank Sentral menempatkan pejabatnya secara ex
officio sebagai anggota Dewan Komisioner otoritas pengawasan sekaligus sebagai Chief
Saat ini dirasakan kebutuhan atas sistem pengawasan satu pintu menjadi penting, baik
terhadap lembaga keuangan bank maupun LKBB, mengingat banyak produk dari LKBB
Namun demikian, pembentukan OJK sebagai lembaga pengawasan tersebut harus merupakan
lembaga yang independen tidak berada di bawah Pemerintah, untuk menjamin lembaga tersebut
memiliki pula saham di beberapa bank di Indonesia. Sesuai dengan amanat Pasal 34 Undang-
dalam Undang-Undang Bank Indonesia, maka lembaga pengawasan tersebut harus independen,
sehingga harus bertanggung jawab kepada DPR bukan kepada Presiden. Pemisahan fungsi
pengawasan perbankan dari Bank Indonesia harus pula didukung dengan sistem hukum yang
baik untuk menjamin adanya koordinasi antara otoritas perbankan dan otoritas moneter.
Pasal 39 UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, mengatur bahwa OJK berkoordinasi
dengan Bank Indonesia dalam menyusun pengaturan tertentu terkait dengan pengawasan di
bidang perbankan. Kemudian, Pasal 40 UU No. 21 Tahun 2011 lebih lanjut mengatur bahwa
untuk melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, misalnya dalam rangka penyusunan
peraturan pengawasan, Bank Indonesia tetap berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap
Selanjutnya Pasal 69 ayat (1) huruf (a) UU No. 21 Tahun 2011 menegaskan bahwa tugas
Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank yang dialihkan ke OJK adalah tugas
pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan microprudential, sedangkan Bank Indonesia
tetap memiliki tugas pengaturan perbankan terkait macroprudential. Berkaitan dengan hal
tersebut, jelas bahwa tugas pengaturan perbankan tidak sepenuhnya dilaksanakan secara
independen oleh OJK, karena pengaturan microprudential dan macroprudential akan sangat
berkaitan.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa OJK masih memiliki ”hubungan khusus” dengan
Bank Indonesia terutama dalam pengaturan dan pengawasan perbankan. Dapat dijelaskan bahwa
bagaimanapun Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, dimana sebelum keluarnya UU OJK dan
pengalihan pada akhir bulan Desember Tahun 2013 yang akan datang, Bank Indonesia masih
mengemban dan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank dan memiliki
pengalaman lebih lama dalam mengatur dan mengawasi perbankan sehingga masukan
pengaturan yang disampaikan oleh Bank Indonesia akan memliki pengaruh yang besar dalam
Selain itu, ”hubungan khusus” antara OJK dengan Bank Indonesia lainnya dapat dilihat
dalam Pasal 41 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011, dimana OJK menginformasikan kepada Bank
Indonesia untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan terkait dengan kesulitan likuiditas
atau memburuknya kesehatan pada bank. Adapun yang dimaksud dengan langkah-langkah
tersebut yaitu pemberian fasilitas pembiayaan jangka pendek dalam menjalankan fungsi Bank
Berdasarkan hal tersebut, maka apabila bank mengalami kesulitan likuiditas atau
memburuknya kesehatan bank, maka Bank Indonesia dapat memberikan kredit kepada bank
105
dengan jaminan agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Dengan demikian, tidak dapat
dipungkiri bahwa keberadaan Bank Indonesia sebagai LoLR masih sangat diperlukan disektor
perbankan dan OJK nantinya masih akan bergantung kepada Bank Indonesia khususnya yang
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikaji bahwa Independensi OJK secara
perbankan harus dilaksanakan dengan lebih optimal, karena masih terdapat hubungan yang
pengawasan, namun Bank Indonesia tetap memiliki kewenangan dan akses terhadap data dan
Oleh karena itu Undang-Undang Bank Indonesia perlu diamandemen, khususnya terkait
dengan (1) kewajiban bank untuk menyampaikan laporan-laporan kepada Bank Indonesia terkait
dengan kelancaran pelaksanaan tugas di bidang kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan
stabilitas sistem keuangan, (2) pengaturan fungsi Bank Indonesia di bidang stabilitas sistem
keuangan termasuk kewenangan untuk memantau (surveilance), memeriksa bank dalam rangka
selama ini, bukan sebaliknya, justru menjadi permasalahan baru. Dewasa ini, perkembangan
lembaga keuangan sangat pesat dan menjadikan permasalahan dalam sistem keuangan semakin
kompleks karena semakin terintegrasinya antara sub sistem pasar uang, pasar modal, pasar
saham, pasar komoditas, berikut derivasi produknya, semuanya ini memerlukan lembaga
106
(dipercaya).
Konsep ke depan, dengan belajar dari pengalaman kasus Bank Century sebagai pelajaran
berharga, pengalaman saat krisis moneter Tahun 1997 – 1998, dan krisis keuangan global yang
dalam mengatasi krisis keuangannya, maka yang harus dilakukan adalah merespons persoalan
krisis yang dihadapi karena ke depan yang diperlukan adalah penguatan koordinasi, bukan hanya
mengambil alih tugas pengawasan bank yang telah ada yang dirasakan masih kurang efektif
untuk menjaga kelangsungan usaha individual bank ataupun merespon pencegahan krisis atau
Sektor keuangan, khususnya perbankan, dapat diibaratkan sebagai organ jantung dalam
tubuh, sehingga apabila perbankan terganggu, maka organ tubuh lainnya dapat ikut terganggu.
Sebagaimana diketahui bahwa untuk jangka menengah dan panjang, perbankan masih
banking yang merupakan awal dari pertimbangan pendirian OJK menjadi sesungguhnya menjadi
moneter dengan otoritas fiskal untuk memperkuat deteksi dini tentang arah dan kecenderungan di
pasar keuangan juga menjadi sangat penting. Dapat dilihat dari perjalanan Bank Indonesia pasca
keluarnya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang independen, bahwa pengawasan
bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia saat ini lebih efektif dibandingkan sebelum
independensi Bank Indonesia, sehingga dalam beberapa tahun terakhir ini sistem perbankan lebih
107
stabil dengan kecenderungan menguat. Bank Indonesia saat ini sudah menerapkan pengawasan
Untuk itu, integrasi pengawasan jasa keuangan pada saat ini diperlukan dalam rangka
peningkatan efektivitas pengawasan jasa keuangan, karena akan memperkuat perumusan dan
pengendalian kebijakan moneter dan memperkokoh stabilitas ekonomi makro. Selain itu, apabila
dilihat dari kesiapan, Bank Indonesia telah memiliki infrastruktur yang memadai untuk
Kesimpulan
1. Pembentukan OJK akan berdampak pada perubahan atas empat peraturan perundang-
undangan terkait dengan asuransi, pasar modal, perbankan, serta Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan lainnya. Secara substansi keberadaan OJK harus dapat
2. Secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah, yang dapat diartikan bahwa OJK
tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi tidak menutup
merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang mempunyai hubungan koordinasi dan
keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal (Menteri
khususnya dalam sektor perbankan harus dilaksanakan dengan lebih optimal, karena
masih terdapat hubungan yang sangat erat antara OJK dengan Bank Indonesia. Dengan
sebaga lembaga pengawasan, namun Bank Indonesia tetap memiliki kewenangan dan
108
akses terhadap data dan informasi dari lembaga-lembaga perbankan. Untuk itu sistem
integrasi sistem keuangan di Indonesia dapat berjalan dengan maksimal yang didasarkan
BAB V
RAHASIA BANK
” Rahasia bank adalah segala sesuatu yg berhub dg keuangan, dan hal-hal lain dari nasabah bank
” Rahasia bank adalah segala sesuatu yg berhub dg keterangan mengenai nasabah penyimpan
dan simpanannya.”
Ketentuan Rahasia Bank dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan diatur dlm
Menurut UU No. 10 tahun 1998, ketentuan rahasia bank mengalami perubahan dan
simpanannya kecuali dlm hal sebagaimana dimaksud dlm Pasal 41, 41A,42, 43, 44 dan
44A.
Bersifat mutlak, bank berkewajiban menyimpan rahasia nasabah yg diketahui oleh bank
krn kegiatan usahanya dalam keadaan apapun, biasa atau keadaan luar biasa. Terlalu
negara.
Rahasia bank di Indonesia bersifat nisbi atau relatif. Dengan demikian, pemberian data,
informasi yg menyangkut kerahasiaan bank kepada pihak lain dimungkinkan. Adapun mengenai
kemungkinan pembukaan kerahasiaan bank dapat dilakukan, apabila adanya suatu kepentingan
umum.
1. Perpajakan.
permintaan pembukaan rahasia berdasarkan kuasa dari nasabah penyimpan itu sendiri
1. Permohonan ditujukan kepada Pimpinan Bank Indonesia up. Urusan Hukum BI.
3. Apabila permohonan tsb tdk memenuhi persyaratan akan ditolak. Sebaliknya bl telah
6. Kepentingan Peradilan,
112
BAB IV
Untuk menciptakan perbankan sehat harus dilakukan pendekatan yang terdiri dari tiga
pilar utama, yaitu pengawasan, internal governance dan disiplin pasar. Pendekatan ini harus
dilakukan karena pengawasan tidak akan mampu berpacu dengan kecepatan liberalisasi,
globalisasi dan kemajuan teknologi pada instrument keuangan. Dengan demikian pengawasan
harus dilengkapi dengan disiplin internal dan eksternal dari perbankan. Dengan melibatkan
merupakan tempat terbaik untuk mengatur dan memelihara praktik manajemen yang sehat.
Pengikutsertaan disiplin pasar mencerminkan fakta bahwa tanpa pasar yang kompetitif
dan punitive atas kegagalan bersaing di pasar maka tidak cukup insentif bagi pemilik bank,
pengurus dan nasabah untuk melakukan keputusan keuangan yang tepat. Untuk melaksanakan
ketiga pendekatan di atas, maka menurut penulis harus dilakukan penyempurnaan terhadap
peraturan perbankan.
Banyak negara sepakat bahwa salah satu pendekatan yang diperlukan untuk membangun
suatu sistim perbankan yang sehat dan kuat adalah dengan memberikan jaminan yang eksplisit
bagi nasabah penyimpan. Akan tetapi sebelum pembentukansuatu lembaga penjamin yang
sistem tersebut dapat berjalan efektif. Alasan dasar (rationale) bagi pemerintah untuk
memfasilitasi pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah kepercayaan pada industri
perbankan sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pada sistem perbankan yang diawasi
secara baik dapat meminimalkan terjadinya kebangkrutan bank, dan kebangkrutan itu sendiri
113
dapat diprediksi dan merupakan kejadian yang dapat dicegah. Selain itu, kesetaraansosial juga
merupakan pertimbangan. Perlindungan nasabah kecil dari bankir yang tidak bertanggungjawab
merupakan suatu pendekatan yang adil dan tepat. Ditambah dengan fungsi bank sentral sebagai
lender of last resort yang menyediakan likuiditas apabila diperlukan, maka bank runs akan
hilang dan tinggal sejarah. Dalam kondisi seperti itu bank dapat beroperasi secara konsisten dan
dipercaya untuk menyediakan kredit dalam jumlah cukup untuk kesehatan perekonomian.
kepercayaan antara bank dengan nasabahnya menjadi penting. Hal ini terjadi karena bank
memiliki status yang unik ditengah masyarakat - selain bank sebagai sandaran suatu kepercayaan
ia juga menempati posisi khusus sebagai tempat yang aman. Di samping itu, dalam menjalankan
kegiatan usahanya bank juga terlibat dengan masalah-masalah internal perusahaan dan individu
sehingga peranan bank telah melampaui hubungan tradisional antara debitur dan kreditur.
Dengan karakteristik demikian itu, maka hubungan antara bank dengan nasabah adalah
hubungan kepercayaan. Hal ini lebih dipertegas lagi dalam praktik perbankan modern yang
melibatkan struktur yang sangat kompleks dan seringkali menyebabkan bank berperan sebagai
fiduciary duty terhadap bank ke yang pada gilirannya menghasilkan suatu fiduciary duty terhadap
bank ketika berurusan dengan nasabahnya. Dengan hubungan yang demikian itu, maka bank
memiliki kewajiban untuk mengungkapkan (a duty to disclose) seluruh fakta material kepada
nasabahnya, apabila bank memiliki pengetahuan yang mungkin sangat penting bagi nasabah.
Berdasarkan prinsip fiducia yang baru, kewajiban bank menjadi lebih berat dan potensi kerugian
114
diluar kontrak timbul apabila salah satu pihak dalam kontrak lemah dan tergantung, sedang pihak
lainnya memiliki kekuasaan sehingga pihak yang memberikan kepercayaan tidak lagi mampu
untuk melindungi dirinya sendiri, dan kekuasaan telah diterima dan dilaksanakan oleh pihak
lainnya. Pada dasarnya apabila suatu pihak menerima kepercayaan ini, pihak tersebut telah
menerima risiko yang apabila dilanggar atau dikhianati dapat diminta pertanggungjawabannya
atas dasar kerugian karena extracontractual. Prinsip fiducia yang baru memberikan suatu
landasan untuk meminta pertanggungjawaban dan membayar ganti rugi atas kerugian yang
Suatu hubungan fiducia melibatkan konsekuensi tertentu sebagai transaksi diantara pihak
yang mengalir secara otomatis sebagai masalah hukum dari hubungan tersebut. Perbedaan kunci
antara hubungan kerahasiaan dan hubungan fiducia dapat dipusatkan dalam suatu pertanyaan,
apakah suatu pihak yang meminta ganti rugi harus membuktikan bahwa dia tergantung pada
pihak lainnya? Suatu hubungan menjadi hubungan kepercayaan apabila satu pihak secara nyata
tergantung atau percaya pada pihak lainnya. Suatu pihak dalam hubungan kepercayaan berhak
yakin pada pemegang fiducia secara hukum, tanpa perlu membuktikan bahwa yangbersangkutan
Kewajiban untuk menunjukan bahwa hubungan kerahasiaan terjadi adalah pada orang
yang menuduh telah dilanggarnya hubungan tersebut. Sedangkan pada hubungan kepercayaan,
pemegang fiducialah yang harus membuktikan bahwa transaksi yang digugat dilakukan secara
fair. Dasar dari kewajiban fiducia adalah kewajiban untuk loyal (duty of loyality) yang berarti
bahwa seorang pemegang fiducia tidak dibenarkan mengorbankan kepentingan pemberi fiducia
melaksanakan duty of care. Kegagalan untuk melaksanakan duty of care tersebut dengan
115
perbuatan tersebut sebenarnya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia. Standar ganti rugi
diperoleh, yang dilakukan melalui penegakan kepercayaan konstruktif (constructive trust), suatu
kepercayaan yang diwajibkan oleh hukum, bukan oleh maksud individu. Pihak yang mendapat
keuntungan, berdasarkan keadilan harus menyerahkan keuntungan tersebut kepada pihak lain
dengan alasan menyerahkan keuntungan tersebut kepada pihak lain dengan alasan apabila hal itu
tidak dilakukan, maka orang ini berarti telah memperoleh keuntungan secara tidak adil (unjustly
enrichment). Di samping itu, pelanggar fiduciary duty dapat dikenakan punitive damage, dengan
alasan pihak yang telah memberikan kepercayaan telah mengambil posisi dimana dia tidak lagi
memiliki pilihan lain kecuali percaya pada pihak yang telah diberikan kepercayaan tersebut.
Shepherd mendefinisikan hubungan fiducia sebagai suatu hubungan yang terjadi apabila
seseorang menerima kuasa dengan syarat yang bersangkutan akan melaksanakan kuasa tersebut
untuk kepentingan terbaik pihak yang memberikan kekuasaan. Dalam kaitannya dengan
fiduciary duty dapat dijelaskan bahwa nasabah bank secara keuangan umumnya lemah,
menyimpan uang di bawah bantal misalnya tidaklah aman, sehingga mereka harus
mempercayakan kekayaannya tersebut kepada bank. Dalam situasi apa saja, apabila bank salah
mengusahakan atau menggunakan dana nasabah tersebut, tidak perduli nasabah dimaksud kaya,
miskin likuid atau tidak likuid, nasabah tidak berdaya untuk melindungi kerugian atau
kehilangan dananya. Nasabah tentunya dapat menggugat bank karena wanprestasi, tetapi biaya
transaksi dan biaya berperkara menghambat nasabah untuk melakukannya. Nasabah dengan
demikian menyerahkan dirinya ketangan bank pada saat dia mempercayakan hartanya. Bank baik
secara tegas atau implisit, menerima penyerahan kekuasaan tersebut. Hal inilah yang membuat
116
lembaga perbankan harus dikelola secara jujur sehingga bank disebut lembaga trust, security
atau guarantee. Keharusan mengelola bank secara jujur dan hati-hati telah diputuskan oleh
Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1891 dalam Briggs v. Spaulding. Mahkamah
Agung berpendapat bahwa “directors must exercise ordinary care and prudence in the
administration of affairs of a bank.” Keputusan Mahkamah Agung ini diterima oleh banyak
pengadilan dan kalangan ahli sebagai sumber penerapan prinsip duty of care bagi pengurus bank.
Pada tahun 1991, Kongres Amerika Serikat mewajibkan seluruh lembaga perbankan federal
untuk menerapkan ketentuan yang merumuskan standar safety and soundness dalam tiga bidang
yaitu: pertama, operasi dan manajemen; kedua, kualitas aset, pendapatan dan penilaian saham;
dan ketiga, kompensasi karyawan. Penerapan prinsip ini memiliki keinginan untuk melindungi
penyimpan meskipun penyimpan sudah dilindungi oleh asuransi simpanan, harus dikawal pula
terhadap ancaman kebangkrutan bank. Di Amerika Serikat, untuk memulihkan kerugian yang
dialami bank, FDIC dapat menggugat bekas pengurus bank dengan dasar melanggar fiduciary
duty yang mereka emban terhadap bank. Pengurus bank dianggap telah memenuhi kewajibannya
menjalankan prinsip duty of care apabila mereka telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
(1) membuat keputusanbisnis yang tidak ada unsur kepentingan pribadi, berdasarkan informasi
yang merekapercaya didasari oleh keadaan yang tepat, dan (2) secara rasional mempercayai
bahwakeputusan bisnis tersebut dibuat untuk kepentingan terbaik bagi perusahaan.Salah satu
tolok ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian disebabkan oleh keputusan bisnis (business
judment) tidak tepat sehingga dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care adalah: (1)
memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut
benar; (2) tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan iktikad baik;
117
dan (3) memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang
simpanan (LPS) di Indonesia. Amanat tersebut timbul sebagai jawaban atas krisis berat yang
dialami oleh industri perbankan pada pertengahan tahun 1997. Ketika ijin usaha 16 bank dicabut
dan dilikuidasi pada 1 November 1997, industri perbankan mengalami rush sebagai konsekuensi
dari runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional, dan tidak adanya peraturan
yang cukup untuk mengatur perlindungan dana nasabah penyimpan pada saat bank dilikuidasi
memberikan perlindungan terhadap dua risiko yaitu irrational run terhadap bank dan systemic
risk. Dalam menjalankan usaha bank biasanya hanya menyisakan sebagian kecil dari simpanan
yang diterimanya untuk berjaga-jaga apabila ada penarikan dana oleh nasabah. Sementara,
bagian terbesar dari simpanan yang ada dialokasikan untuk pemberian kredit. Keadaan ini
menyebabkan perbankan tidak dapat memenuhi permintaan dalam jumlah besar dengan segera
atas simpanan nasabah yang dikelolanya, bila terjadi penarikan secara tiba-tiba dan dalam jumlah
besar. Keterbatasan dalam penyediaan dana cash ini adalah karena bank tidak dapat menarik
segera pinjaman yang telah disalurkannya. Bila bank tidak dapat memenuhi permintaan
penarikan simpanan oleh nasabahnya, nasabah biasanya menjadi panic dan akan menutup
rekeningnya pada bank dimaksud, sekalipun bank tersebut sebenarnya sehat. Sedangkan risiko
sistemik terjadi apabila kebangkrutan satu bank berakibat buruk terhadap bank lain, sehingga
118
menghancurkan sekmen terbesar dari sistem perbankan. Lembaga penjamin simpanan (LPS)
dapat berfungsi untuk mengatur keamanan dan kesehatan bank secara umum. Di samping itu
LPS juga dapat berfungsi sebagai pengawas yang dilakukan dengan cara memantau neraca,
praktik pemberian pinjaman dan strategi investasi dengan maksud untuk melihat tanda-tanda
financial distress yang mengarah kepada kebangkrutan bank. Oleh sebab itulah keberadaan LPS
sebagai bagian dari sistem perbankan menjadi penting guna mencegah kepanikan nasabah
dengan jalan menyakinkan nasabah tentang keamanan simpanan sekalipun kondisi keuangan
bank memburuk.
Dimensi lain dari pentingnya peran LPS dalam sistem perbankan didasarkan
a. Dalam pertumbuhan perekonomian suatu negara, peranan sektor finansial yang stabil
sangat penting dan inti kestabilan sektor finansial adalah stabilitas sistem perbankan
domestik. Peranan penting sektor perbankan itu dapat dilihat dalam aspek sistem
bank melakukan penghimpunan dana secara lebih efisien dan untuk seterusnya
b. Untuk mencegah terjadinya erosi kepercayaan masyarakat terhadap bank yang dapat
mengakibatkan terjadinya rush yang sudah tentu dapat membahayakan bank secara
c. Dalam era globalisasi dengan kemajuan teknologi informasi dan komputer telah
mengakibatkan terjadinya global market pada sektor keuangan. Dalam global market
dana bebas bergerak dari satu negara ke negara lain. Kalau pemilik dana kurang percaya
119
pada sistem perbankan nasional, maka ia dapat menanamkan dananya di luar negeri
(capital flight) yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya kekuatan yang
dilakukan telah berhasil mencapai tujuan utama dari reformasi perbankan untuk paling tidak
selama satu abad yaitu guna mencegah terjadinya banking panic. Dengan adanya skim penjamin
simpanan, pengumuman informasi negatif mengenai bank tertentu misalnya tidak berpengaruh
terhadap bank lain sehingga tidak menyebabkan terjadinya kekacauan umum karena pasar telah
mampu membedakan masalah keuangan yang dialami oleh perusahaan tertentu dan akibatnya
kepada individual bank tersebut maupun terhadap indistri bank secara keseluruhan. Keberadaan
penjamin simpanan juga sebagai upaya mempermudah penyelesaian bank bermasalah, misalnya
akibat pencabutan ijin usaha suatu bank. Sehingga dampak merosotnya kepercayaan nasabah
yang pada gilirannya dapat menimbulkan bank panic dapat dicegah sesegera mungkin. Alasan
dan kondisi di ataslah yang menjadi latar belakang didirikannya Lembaga Penjamin Simpanan
kelemahan, seperti timbulnya kemunduran dalam disiplin pasar (moral hazard). Untuk itu,
pengawasan dan pengaturan yang efektif merupakan elemen penting dari financial safety net
dalam mengendalikan masalah moral hazard. Secara empiris, hal ini didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Demirguc-Kunt dan Detragiarche (antara tahun 1980-1997) dengan sample
61 negara berkembang (emerging) dan maju. Dalam temuannya terlihat bahwa ketiadaan sistem
120
peraturan kehati-hatian (prudential regulation) dan pengawasan yang efektif meningkatkan krisis
perbankan, apalagi dengan adanya sistem penjaminan nasabah seperti skim asuransi simpanan.18
Pembentukan lembaga penjamin simpanan dapat menimbulkan moral hazard, Sehingga harus
dilakukan dengan tepat dan hati-hati. LPS bukanlah “panacea” tetapi tidak juga ada pilihan lain
yang dapat menyediakan “panacea.” Singkat kata, LPS merupakan sesuatu yang diperlukan
tetapi tidak cukup (necessary but not enough) dalam memecahkan persoalan-persoalan
perbankan. Pengawas bank harus berani bertindak tegas terhadap pengurus bank yang mengelola
banknya secara sembrono. Fit and Proper test terhadap pengurus dan eksekutif bank juga harus
dilakukan dengan ketat agar mencegah masuknya individu yang tidak bermutu ke dalam industri
perbankan.
dijadikan pedoman mengenai ketegasan yang harus dimiliki pengawas bank. Dalam perkara ini,
FDIC digugat oleh pengurus bank yang diberhentikannya. Permasalahannya berkaitan dengan
Pasal 6050I Internal Revenue Code yang mewajibkan setiap pelaku usaha (businesses) mengisi
dokumen yang dikenal dengan Form 8300 apabila menerima uang tunai lebih dari USD 10.000
untuk satu transaksi. Pada tahun 1993 Stanley Hendrickson, presiden Randolph County Bank of
Winchester, Indiana (Bank) dinyatakan bersalah karena dengan sengaja tidak mengisi form 8300
pada waktu bekerja pada perusahaan saudaranya, Silver Towne. Pada tahun 1992 Hendrickson
berhenti bekerja pada Silver Towne dan menjadi presiden Bank, tempat dimana Hendrickson
sebelumnya bekerja yaitu dari tahun 1962 sampai tahun 1985. Pada tahun 1996, Dewan Direktur
Hendrickson terlibat dalam kegiatan perbankan. Keputusan tersebut diperkuat oleh pengadilan.
121
Pada waktu bekerja pada Silver Towne, Hendrickson alpa tidak mengisi form 8300. Untuk
menutupi kealpaannya Hendrikson mengisi form 8300 dengan tanggal mundur dan menyimpan
fotokopi form 8300 tersebut pada pembukuan Silver Towne agar terlihat seolah-oleh form
aslinya telah disampaikam kepada IRS. Tindakan ini kemudian terungkap dalam pemeriksaan
pemberhentiannya dengan dasar ketentuan internal FDIC menetapkan bahwa Dewan harus
memberikan keputusan dalam waktu 90 hari terhitung sejak diajukannya permasalahan kepada
Dewan. Dalam kaitan ini, Dewan telah terlambat mengambil keputusan tentang permasalahan
Hendrickson. Dengan demikian, keputusan Dewan adalah batal. Pengadilan berpendapat bahwa
pelanggaran terhadap batas waktu sebagaimana diatur dalam peraturan internal FDIC tidak
menyebabkan FDIC kehilangan jurisdiksi atas permasalahan yang diajukan kepadanya kecuali
peraturan internal tersebut secara tegas menentukan akibat tidak dipenuhinya batas waktu
tersebut. Hendrickson juga mengajukan bantahan yang menyatakan bahwa perbuatannya tidak
mengisi form 8300 bukan merupakan perbuatan “involves personal dishonest” atau demonstrates
willful or continuing disregard...for the safety or soundness of such business institution” yang
merupakan persyaratan untuk tidak boleh menjalankan kegiatan perbankan sebagaimana diatur
keputusan yang diambil oleh Pengadilan Distrik. Mungkin, tindakan tegas yang diambil oleh
otoritas perbankan terhadap Bank Dagang Bali dan Bank Asiatic serta Bank Global beberapa
waktu lalu dapat dijadikan modal dalam menciptakan pengawas bank yang kondusif
122
sebagaimana tercermin dari perkara Stanley di atas. Ketegasan tindakan otoritas perbankan
sangat dibutuhkan karena apabila dilihat dari krisis yang lalu, penyebab utama kegagalan bank di
Indonesia adalah karena kelalaian, penipuan dan penggelapan oleh pengurus bank yang nasabah
sangat sulit untuk mendeteksinya (market discipline). Fred Galves mengatakan “the best way to
rob a bank is to own one.” Hal ini dapat dilihat dari praktik perbankan Indonesia dengan
besarnya kredit yang disalurkan kepada kelompok usahanya sendiri. Pemberian kredit kepada
kelompok usaha sendiri tersebut sering kali tidak diiringi dengan penyediaan jaminan yang
memadai. Di Amerika Serikat pemberian kredit yang tidak dijamin secara cukup dikategorikan
sebagai penipuan. Pengawasan dan pengaturan adalah instrumen penting untuk menekan bank
dalam pengambilan risiko – bila hal ini tidak dijalankan sebagaimana mestinya akan dapat
mengancam stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Dengan demikian, maka sistem
perlindungan nasabah (deposit protection system) seperti LPS yang dilengkapi dengan
pengaturan dan pengawasan effektif dapat mengurangi risiko sistemik meskipun tidak dapat
menghilangkannya sama sekali. Pendirian LPS dapat lebih berhasil apabila sistem perbankan
berjalan baik. Kehadiran LPS yang efektif dapat memberikan kontribusi terhadap stabilitas
sistem keuangan suatu negara terlebih bila sistem yang ada merupakan bagian dari suatu jaring
Sebagai perbandingan dengan sistem penjaminan dana nasabah bank di Indonesia yang
diselenggarakan oleh LPS, berikut diuraikan sistem asuransi simpanan yang diterapkan di
Amerika Serikat oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC). Sistem asuransi simpanan
yang diterapkan Amerika Serikat merupakan sistem tertua di dunia dan telah menjadi model
untuk negara-negara lain. Sistem ini telah terbukti berhasil dalam pengembalian kepercayaan
123
masyarakat pada sistem perbankan. Selama tiga generasi selanjutnya, sistem ini telah
melaksanakan tugasnya dalam membantu mencegah bank bermasalah menjadi bank panic. Pada
1980an, ketika ratusan bank dan thrifts bangkrut, asuransi simpanan telah bertindak sebagai
jangkar kepercayaan publik pada sistem perbankan. Amerika Serikat menggunakan sistem
perlindungan langsung melalui skim asuransi simpanan yang diselenggarakan oleh Federal
Deposit Insurance Corporation (FDIC), suatu lembaga yang berfungsi mengganti dana yang
disimpan oleh nasabah pada bank yang dilikuidasi. Hal ini dilakukan sebagai salah satu jawaban
terhadap krisis perbankan yang melanda negara tersebut pada tahun 1930an. FDIC didirikan
dengan tujuan:
Dengan memberikan jaminan kepada nasabah penyimpan melalui FDIC, maka dapat
dicegah timbulnya bank panic, sehingga dapat menghentikan efek domino yang pada saat itu
melanda perbankan Amerika Serikat. Penerapan skim asuransi simpanan oleh Amerika Serikat
pada dasarnya telah berhasil mengurangi jumlah bank yang bangkrut. Saat ini, setiap simpanan
nasabah sampai dengan jumlah USD 100,000 wajib diasuransikan kepada FDIC. FDIC didirikan
dengan Banking Act of 1933 sebagai jawaban terhadap meluasnya kegagalan bank selama tiga
tahun di Amerika Serikat. Pada waktu itu, masyarakat Amerika Serikat yang khawatir akan
simpanannya di bank menarik dananya untuk disimpan dalam bentuk uang tunai (hoarding).
Pada periode 1930 sampai 1932 sekitar 5.100 bank mengalami kebangkrutan. Banyaknya bank
yang bangkrut mengakibatkan kerugian pada penyimpan dana, pemegang saham dan dunia
usaha. Fenomena ini disebut banking panic. Peranan penting yang telah dimainkan oleh FDIC
124
adalah kemampuannya dalam mengatasi banking panic, yakni pencegahan "penyerbuan bank"
(bank run) dengan memberikan keyakinan dan jaminan kepada penyimpan dana, bahwa
Peran FDIC kemudian berkembang bukan saja sebagai lembaga penjaminsimpanan, tetapi
juga merupakan lembaga yang mengatur dan memeriksa bank yang berada di bawah
jurisdiksinya. FDIC dipimpin oleh suatu Dewan yang terdiri dari tiga orang yang salah satu di
antaranya berasal dari the Comptroller of the Currency. Sebagian besar, yaitu sekitar 13.300
bank di Amerika menjadi anggota FDIC. FDIC dianggap sebagai suatu lembaga yang berhasil
dan batas maksimum coverage asuransinya terus ditingkatkan mulai pertama kali dari $5.000.
(1934), menjadi US.$10.000 (1950), US.$15.000 (1966), US.$20.000 (1969) dan pada saat ini
Monetary Control Act of 1980. Apabila ada suatu bank yang bangkrut, FDIC ditunjuk sebagai
kurator (receiver) dan memiliki beberapa pilihan dalam menangani bank tersebut. FDIC dapat
melakukan likuidasi, menjual sebagian atau seluruh bank kepada bank lain, mengatur merjer atau
dalam beberapa kasus memberikan bantuan agar bank dapat tetap hidup. bangkrut. Saat ini,
setiap simpanan nasabah sampai dengan jumlah USD 100,000 wajib diasuransikan kepada FDIC.
FDIC didirikan dengan Banking Act of 1933 sebagai jawaban terhadap meluasnya kegagalan
bank selama tiga tahun di Amerika Serikat. Pada waktu itu, masyarakat Amerika Serikat yang
khawatir akan simpanannya di bank menarik dananya untuk disimpan dalam bentuk uang tunai
(hoarding). Pada periode 1930 sampai 1932 sekitar 5.100 bank mengalami kebangkrutan.
Banyaknya bank yang bangkrut mengakibatkan kerugian pada penyimpan dana, pemegang
saham dan dunia usaha. Fenomena ini disebut banking panic. Peranan penting yang telah
dimainkan oleh FDIC adalah kemampuannya dalam mengatasi banking panic, yakni pencegahan
125
"penyerbuan bank" (bank run) dengan memberikan keyakinan dan jaminan kepada penyimpan
Peran FDIC kemudian berkembang bukan saja sebagai lembaga penjamin simpanan,
tetapi juga merupakan lembaga yang mengatur dan memeriksa bank yang berada di bawah
jurisdiksinya. FDIC dipimpin oleh suatu Dewan yang terdiri dari tiga orang yang salah satu di
antaranya berasal dari the Comptroller of the Currency. Sebagian besar, yaitu sekitar 13.300
bank di Amerika menjadi anggota FDIC. FDIC dianggap sebagai suatu lembaga yang berhasil
dan batas maksimum coverage asuransinya terus ditingkatkan mulai pertama kali dari $5.000.
(1934), menjadi US.$10.000 (1950), US.$15.000 (1966), US.$20.000 (1969) dan pada saat ini
Apabila ada suatu bank yang bangkrut, FDIC ditunjuk sebagai kurator (receiver) dan
memiliki beberapa pilihan dalam menangani bank tersebut. FDIC dapat melakukan likuidasi,
menjual sebagian atau seluruh bank kepada bank lain, mengatur merjer atau dalam beberapa
kasus memberikan bantuan agar bank dapat tetap hidup. Bank atau lembaga yang mengambilalih
bank insolven atau dihentikan kegiatan usahanya dapat dilakukan dengan cara merger atau
mengakuisisi bank yang bermasalah adalah bank yang sehat. FDIC juga harus mengadakan cost
test untuk membuktikan bahwa tindakan FDIC ini lebih murah dibandingkan dengan tindakan
paying off. Penggunaan kewenangan inipun merupakan kewenangan tunggal FDIC berdasarkan
syarat-syarat yang ditetapkannya. Dalam hal terjadi penutupan bank, FDIC membayar seluruh
dana nasabah penyimpan yang diasuransikan. Nasabah penyimpan yang dijamin mendapat
prioritas untuk segera menerima pengembalian simpanannya dalam waktu beberapa hari, dan
Sejak tahun 1960, FDIC menangani bank bermasalah dengan cara menjual sebagaian atau
seluruh aset bank tersebut melalui purchace and assumption (P&A) transactions. Melalui
transaksi ini, FDIC menjual aset bank bermasalah kepada suatu bank yang sehat dan bank
pembeli simpanan tersebut mengambil alih kewajiban bank bermasalah tersebut. P&A tergolong
jenis transaksi yang signifikan karena secara umum melindungi seluruh nasabah penyimpan dari
kerugian baik nasabah yang dijamin asuransi maupun yang tidak. Perlindungan yang demikian
tersebut dapat terlaksana karena seluruh kewajiban instutusi bermasalah diambil alih oleh
Keputusan tentang jenis penyelesaian apa yang akan dipergunakan untuk menyelesaikan
bank bermasalah bergantung pada pertimbangan biaya (cost test) yang dilakukan oleh FDIC.
FDIC akan menggunakan metode P&A apabila hal tersebut merupakan cara yang termurah
dibandingkan dengan likuidasi. Namun demikian FDIC dapat menghindari test cost apabila hal
tersebut dilakukan untuk melindungi seluruh pemegang kewajiban bank yang merupakan suatu
hal penting dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. P&A merupakan kebijakan favorit
FDIC dan digunakan dalam menyelesaikan 73,5% dari 1.617 kebangkrutan bank selama periode
1980-1994. Bagi FDIC, P&A sangat menguntungkan karena hanya menggunakan uang tunai
yang sedikit dari dana asuransi dibandingkan dengan kebutuhan membayar seluruh tagihan
nasabah yang dijamin. Dalam menjalankan tugasnya FDIC memiliki kewenangan dan kekuasaan
tertentu terutama dalam menagih piutang bank yang diambil alih atau di bawah kewenagan
FDIC. Kewenangan FDIC ini dikuatkan dalam putusan Mahkahmah Agung AS dalamD’Oench,
Duhme & Co. v. FDIC. 28 Pada kasus ini hakim memutuskan bahwa suatu perjanjian tambahan
(side agreement) yang tidak tercatat pada catatan bank, tidak dapat dipergunakan sebagai
bantahan terhadap gugatan yang diajukan oleh FDIC. Pada kasus ini penggugat (pettioner)
127
sebuah perusahaan sekuritas (securities dealer) wan prestasi atas obligasi yang dijualnya kepada
Belleville Bank & Trust Company. Pada saat bank tersebut bangkrut, FDIC meminta agar utang
tersebut dibayar. Penggugat menyatakan bahwa terdapat side agreement dengan bank yang
Kontroversi hukum muncul ketika FDIC harus segera mengalihkan aset dari bank yang
bangkrut kepada pihak lain, sementara proses persidangan sedang berlangsung tentang status aset
tersebut. Pengadilan mendukung tindakan FDIC ini dengan alasan bahwa menjual aset dari bank
bangkrut dengan segera berarti melindungi dana asuransi sehingga pembayar pajak tidak
dibebani kewajiban dari bank yang bangkrut. Mengalihkan aset kepada pihak swasta adalah “in
DAFTAR LITERATURE
George Hempel, Commercial Bank Management: Text and Cases, (New York: John
Hamdani, Seluk Beluk Perdagangan Ekspor Impor, Jakarta : Yayasan Bina Usaha Niaga
Indonesia, 2003.
Indonesia Biro Kredit, Procecing Diskusi Terfokus dan Seminar Nasional Lembaga
Thomson, 2003).
Rose Peter S, Commercial Bank Management, Producing and Selling Financial Servisces
Ahmad M. Ramli, 2004, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia,
Arie S. Hutagalung dk, 2012. Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, Universitas
Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Gronongen, Edisi ke-1, Denpasar: Pustaka Larasan.
Etto Sunaryanto dkk, 2006, Panduan Lelang PUPN, Jakarta : Tanpa Penerbit.
129
Friedrich, Carl Joachim, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Hitoris, Bandung: Nuansa dan
Nusamedia.
Kencana.
Ivida Dewi Amrih Suci dan Herowati Poesoko, 2009, Hak Kreditur Separatis dalam
Kelsen Hans, 2011, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul
Munir Fuady, 2002, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Munir Fuady, 2002, Hukum Pengkreditan Kontemporer, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Salim H.S, 2001, Pengantar HukumPerdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika.
Ridwan Khairandy, 2003, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Cetakan ke-1,
Jakarta: JuLi.
Bandung: Alfabeta.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2008.
130
Muhamad Djumhana, Asas-asas Hukum Perbankan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2008.
Hasanuddin Rahman Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi The Bankers
Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Credit Management Teori, Konsep,
Prosedur dan Aplikasi Panduan Praktis Mahasiswa, Bankir, dan Nasabah, Raja Grafindo
Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2012.
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah, dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press,
Jakarta, 2001.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad dalam Fiqih
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terikat: BMI &
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2007.
Summary of the
Scallen, Eileen A., “Promises Broken vs. Promises Betrayed: Methaphor, Analogy, and
Liability for Unsafe or Unsound Banking Practices,” George Washington Law Review, (Januari
1995).
2005.
Symons, Edward L., Jr., “The Bank-Customer Relation: Part I The Relevance of Contract
Doctrine,” Banking Law Journal, (1991). United States General Accounting Office (GAO)
Report to the Chairman, Committee on Banking, Housing and Urban Affairs, US Senate, and the
1991).
Vagts, Detlev F., Basic Corporation Law Materials-CasesText. New York: The
1989.
Walker, Anna Kuzmik, “Harnessing the Free Market: Reinsurance Models for FDIC
Deposit Insurance Pricing,” Harvard Journal of Law and Public Policy, (Summer 1995).
132
Mei 1997.
D’Oench, Duhme & Co., Inc. v. FDIC, 315 U.S. 447, (1942).
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian sebagian pasal-
pasalnya telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian sebagian
pasal-pasalnya telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang kemudian
Undang-Undang tersebut terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009.
Sumber Lain :
http://economy.okezone.com/read/2010/01/26/20/297903/20/ojk-dinilai-belum-diperlukan,
http://library/cyberlib/storage/klipingberita/224466/investor%20daily%20160210.pdf.
http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/info/detailinfo.asp?NewsID=N157500121
http://library/cyberlib/storage/klipingberita/224466/investor%20daily%20160210.pdf.