1) Faktor personal, termasuk di dalamnya faktor biologis (umur, jenis kelamin, keadaan
mental, dan lain-lain) dan psikologis (agresivitas, kecerobohan, dan keterasingan);
2) Faktor situasi, seperti situasi konflik, faktor tempat dan waktu.
Kriminologi bukanlah bagian dari ilmu hukum pidana. Sering terjadi kesalahan
persepsi tentang bidang ilmu pengetahuan kriminologi. Sebagian besar orang yang pertama
kali mendengar kata kriminologi akan mengaitkannya dengan pendidikan hukum karena kata
kriminologi memang berkaitan dengan masalah kejahatan sehingga serta merta orang
menghubungkan dengan kejahatan dalam artian pelanggaran hukum pidana. Ada juga orang
yang mengaitkan kriminologi dengan pekerjaan detektif atau reserse karena tugas mereka
memang mengungkap suatu peristiwa kejahatan dan menangkap pelakunya. Persepsi ini tidak
sepenuhnya salah, tetapi juga tidak benar. Kriminologi juga bukanlah cabang sosiologi atau
cabang dari studi peradilan pidana (criminal justice), seperti yang diyakini oleh beberapa
orang. Kriminologi dapat dikaitkan dengan pergeseran intelektual yang telah terjadi selama
300 tahun. Sebagai contoh, akarnya yang paling awal dapat dilacak pada filsafat dan ideologi
politik dan bukan ilmu sosial. Kriminologi biasanya menunjuk pada tulisan-tulisan seorang
sarjana Italia, Cesare Beccaria (1738- 1794), sebagai salah satu upaya pertama untuk
mengembangkan pemahaman sistematis tentang mengapa orang melakukan kejahatan.
Dalam buku klasiknya tahun 1764, dei delitti e delle pene (on crimes and
punishment), Beccaria menawarkan pendekatan utilitarian untuk menjelaskan mengapa orang
melakukan pendekatan utilitarian untuk menjelaskan mengapa orang melakukan kejahatan:
aktivitas kriminal menjanjikan untuk membawa kekayaan, prestise, dan hadiah lainnya
dengan upaya minimal. Ada kerugian yang harus dipertimbangkan oleh para calon penjahat,
yaitu ancaman hukuman pidana. kejahatan hanya akan terjadi ketika orang sampai pada
kesimpulan (setelah melakukan perhitungan singkat) bahwa pelanggaran hukum yang mereka
lakukan akan membawa akibat suatu hukuman. Oleh karena itu, kejahatan merupakan akibat
yang akan terjadi apabila hukuman pidana itu lama dijatuhkan, lambat dan tidak efektif.
Kebanyakan orang tidak melakukan kejahatan karena mereka takut akan konsekuensinya,
yaitu hukuman.
Perkembangan kriminologi dapat dibedakan dalam 3 (fase), yaitu pra kriminologi,
kriminologi dan pada era globalisasi saat ini, yaitu:
1. Pra Kriminologi
Kriminologi sebagai ilmu baru lahir pada abad XIX, yaitu pada tahun 1830 dengan
dipelopori oleh Adolphe dari kota Quetelet, Perancis. Lahirnya kriminologi bersamaan
dengan sosiologi. Walaupun demikian, pada dasarnya semua Ilmu pengetahuan yang ada
saat ini sudah ada pada zaman Yunani Kuno, demikian juga dengan kriminologi walaupun
kajiannya tidak dapat dikatakan sebagai kajian kriminologi. Hal ini terlihat dari pendapat
yang dikemukakan oleh Plato (427 347 SM), seorang filsuf pada zaman Yunani, yang dalam
bukunya Republik mengatakan bahwa emas merupakan sumber dari banyak kejahatan.
Makin tinggi kekayaan dalam pandangan manusia maka akan semakin merosot
penghargaannya terhadap kesusilaan. Demikian juga dengan Aristoteles (384-322 SM) yang
merupakan murid Plato dalam bukunya Politik, mengemukakan pendapatnya bahwa terdapat
hubungan yang erat antara kejahatan dengan masyarakat, bahwa kemiskinan menimbulkan
kejahatan dan pemberontakan. Plato dan Aristoteles saat itu sudah berbicara mengenai
kejahatan dan faktor penyebab kejahatan yang merupakan kajian dalam kriminologi.
2. Kriminologi
Pada abad ke-19, sosiologi kriminal (kriminologi) timbul akibat berkembangnya
sosiologi dan statistik kriminal sehingga ilmu mengenai tindak pidana dan pelaku tindak
pidana sudah mulai dipelajari dengan sungguh-sungguh. Adolphe Quetelet 1796-1874
seorang Belgia ahli ilmu hukum pasti dan sosiologi, Guerry 1802-1866 seorang Perancis dan
Mayhew di Inggris mempelajari dan memetakan penyebaran tindak pidana dalam studinya
yang pertama-tama menggunakan statistik sosial. Kriminologi pertengahan abad XX telah
membawa perubahan pandangan dari semua kriminologi menyelidiki kausa kejahatan dalam
masyarakat, kemudian mengalihkan pandangannya kepada proses pembentukan perundang-
undangan yang berasal dari kekuasaan (negara) sebagai penyebab munculnya kejahatan dan
para penjahat baru dalam masyarakat.
Kriminologi yang memandang bahwa kekuasaan (negara) adalah penyebab dari
kejahatan dan seharusnya bertanggung jawab atas maraknya kejahatan dalam masyarakat
yang dikenal sebagai aliran kriminologi kritis. Aliran ini menyebar luas ke Amerika Serikat
dan melahirkan aliran New Criminology. Beberapa studi tentang kejahatan dan aliran
klasik ) abad XVIII), aliran positivis dan aliran sosiologis (abad XIX) dan aliran social
defense (abad XX) merupakan perkembangan studi kejahatan yang berkisar pada peranan
hubungan individu dan masyarakat, terlepas dari peranan hubungan antara negara dan
masyarakatnya. Aliran kriminologi kritis telah berusaha membalikkan sejarah dan arah
perkembangan studi kejahatan dengan menegaskan bahwa perundang-undanganlah yang
mengakibatkan munculnya kejahatan.
Pendapat aliran kriminologi kritis tersebut harus diartikan bahwa dalam
perkembangan kejahatan maka peranan negara yang notabene pengatur ketertiban dan
keamanan dalam masyarakat, sangat besar sehingga setiap proses pembentukan perundang-
undangan (pidana) serta langsung atau tidak langsung merupakan proses kriminalisasi
(baru). Pandangan aliran ini bertolak belakang dengan tujuan kita hidup bernegara antara
lain mendambakan ketertiban, keamanan dan kesejahteraan sosial. Sehingga pandangan ini
menimbulkan pertanyaan tentang siapa yang harus dilindungi oleh siapa karena negara
sendiri sebagai penyebab kejahatan. Kebenaran pandangan ini sesungguhnya berkaitan
dengan proses stigmatisasi yang melekat terhadap siapa saja yang terbukti sebagai pelaku
kejahatan terlepas dari status sosial, ekonomi dan status hukum yang dimilikinya.
3. Perkembangan Kriminologi pada Era Globalisasi
Era global yang sudah dimulai sekitar tahun 1970 yang sering disebut era globalisasi
merupakan dampak yang sangat besar dari kemajuan teknologi transportasi, komunikasi,
teknologi dan sebagainya pada segala aspek kehidupan manusia, termasuk ekonomi, sosial
budaya, politik, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Kriminologi sebagai suatu ilmu di era
globalisasi memperluas cakrawala dengan mengkaji berbagai kejahatan modern yang
memerlukan pencegahan dan penanggulangannya secara modern pula. Ketentuan hukum
yang Sesuai dan berlaku serta penegakkan hukum atas terjadinya kejahatan menjadi sorotan
pula dalam kriminologi. Penjelasan kriminologi pada era globalisasi memerlukan pendekatan
baru yang berbeda dengan pendekatan di masa lalu, misalnya perkembangan kejahatan
money laundering, terorisme, insider trading, penyuapan terhadap pejabat publik dan lain-
lain. Pendekatan baru tersebut hanya dapat dilakukan dengan pendekatan sosiologi ekonomi
makro yang mengakui bahwa kejahatan tipe baru terkait dengan perkembangan ekonomi
global.
Sebelum era globalisasi perdagangan bebas, di Indonesia tidak dikenal kejahatan
money laundering, insider trading, manipulasi pasar dan kejahatan siber. Tekanan
masyarakat internasional di bidang perdagangan dan perekonomian menambah buruk
keadaan ekonomi nasional sehingga banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan terkait dengan bidang ekonomi, keuangan dan perbankan,
sehingga munculah pelaku kejahatan tipe baru. Problem yang dihadapi oleh negara
berkembang adalah daya saing yang lemah dan tidak kompetitif yang mengakibatkan
menurunnya kesejahteraan sosial. Teori-teori kriminologi yang semula mencari pemahaman
tentang hubungan “segitiga” (basic triangle of relations), yaitu pelaku, negara dan korban,
selanjutnya berubah menjadi “hubungan segi empat” (the square of crime), yaitu pelaku dan
korban (sebagai actor) serta negara dan masyarakat madani (sebagai reaktor).