Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KELOMPOK KEJAKSAAN

“ANALISIS TENTANG KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN


TINDAK PIDANA KORUPSI”

DOSEN PEMBIMBING : RAENDHI RAHMADI, SH.,M.Kn.

DISUSUN OLEH KELOMPOK :

Aulya Marsanabila 1802010114


Indah Purnama Dewi 1802010099
Laura Shifa Bazhlina 1802010095
Muthya Khaerunisa 1802010121
Yunita 1802010079

SEMESTER 7D
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SYEKH-YUSUF TANGERANG
FAKULTAS HUKUM
2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta
hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah mata kuliah Studi Kasus Hukum Pidana Dan Bisnis yang berjudul
“ANALISIS TENTANG KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KORUPSI” ini. Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan
kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-
Qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia. Makalah ini merupakan salah satu tugas
mata kuliah Studi Kasus Hukum Pidana Dan Bisnis di program studi Ilmu Hukum, Fakultas
Hukum pada Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang. Selanjutnya penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak RAENDHI RAHMADI, SH.,M.Kn.
Selaku dosen pembimbing mata kuliah Studi Kasus Hukum Pidana Dan Bisnis dan kepada
segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam


penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif
dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Terima kasih, dan semoga makalah ini
bisa memberikan manfaat positif bagi kita semua.

Amin!

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………….............................................................................. 1

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………..… 2

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………..… 3

BAB I : PENDAHULUAN ……………………………………………………..…. 4

I. Latar Belakang …………………………………………………...…. 4


II. Rumusan Masalah ……………………………………………...…… 9
III. Tujuan Penulisan ……………………………………………………. 9
IV. Manfaat Penulisan ………………………………………………...… 9

BAB II : PEMBAHASAN ……………................................................................... 10

“ANALISIS TENTANG KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM


PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI”

A. Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi ……………………... 10


B. Kasus Posisi ……………………………………………………………. 11
C. Analisis Kasus PT ABSARI …………………………………………… 13

BAB III : PENUTUP ………………………………………………………………. 18

➢ Kesimpulan …………………………………………………………….. 18
➢ Saran ………………………………………………………………….... 19

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………...... 20

3
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Proses penyidikan merupakan apakah suatu peristiwa yang terjadi cukup bukti
dan merupakan tindak pidana atau bukan, apakah delik tersebut memenuhi
unsurunsur ketentuan pidana atau tidak, sehingga putusan akhir atau vonis hakim
juga dipengaruhi oleh proses pengumpulan bukti pada tahap penyidikan, karena
itu professional penyidik menjadi penting, karena kesalahan penerapan pasal akan
berakibat fatal bagi proses penegakkan hukum selanjutnya dan ketidakmampuan
untuk menerapkan aturan normatif hukum pidana pada peristiwa hukum hukum
konkret yang terjadi akan berdampak pada tumpulnya penegakkan hukum atau
merajalelanya kejahatan, sehingga impian tentang tegaknya hukum akan jauh dari
harapan.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa penelitian terhadap sistem hukum
pidana khususnya dalam penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi
dirasakan sangat serius. Munculnya kembali pemberitaan mengenai berbagai
kasus korupsi di media massa pusat maupun daerah, nampaknya berawal dari
lemahnya sanksi hukuman yang dijatuhkan oleh badan yudikatif terhadap para
koruptor. Jika diamati sejak tahun 1957 telah dilakukan usaha membasmi koruptor
dengan membuat peraturan yang kemudian diperbaiki agar lebih sempurna. Tetapi
hasilnya belum mencapai sasaran, bahkan ternyata korupsi berlangsung terus.
Pemberantasan tindak pidana korupsi dikaitkan dengan kondisi tren kejahatan
tindak pidana korupsi di Indonesia yang tetap meningkat dan masih menduduki
peringkat kedua asia dan keenam dunia.
Terdapat lembaga instansi yang mengatur penegakkan hukum yang menangani
korupsi seperti: Jaksa, yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya. Khususnya tindak pidana korupsi yang terjadi diberbagai kesenjangan
dunia termasuk di Indonesia, sehingga diperlukan lembaga kejaksaan untuk dapat
menangani tindak pidana korupsi sesuai undang-undang serta aturan-aturan yang
berlaku di Indonesia. Jadi penyidikan pada pokoknya bertujuan untuk membuat

4
terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Apakah
memang jaksa memiliki kewenangan dalam penyidikan tindak pidana korupsi ,
sedangkan ada pula jaksa yang terlibat dalam melakukan hal tindak pidana
korupsi. Tetapi tidak semua jaksa melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam berlakunya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
diatur dalam pasal 30 ayat (1) huruf d menyebutkan : Tugas dan Kewenangan
adalah “melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang.” Akan tetapi yang jelas sampai saat ini masalah korupsi di
Indonesia belum dapat diselesaikan secara tuntas, namun berbagai harapan agar
supaya bangsa Indonesia terbebas dari kasus korupsidan tekad baru disertai nilai
baik para pejabat penegak hukum khususnya Jaksa akan berusaha melakukan
tugas wewenangnya menindak korupsi secara lebih tegas dan adil.
Berkembangnya korupsi sampai saat ini sudah merupakan akibat dari sistem
penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertata secara tertib dan tidak terawasi
secara baik, karena adanya landasan hukum yang dipergunakan juga mengandung
banyak kelemahan dalam implementasinya. Artinya, sistem “check and balances”
yang lemah diantara Ketiga kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif
menyebabkan korupsi sudah melembaga dan mendekati suatu budaya yang
hampir sulit dihapuskan.
Sebagai ilustrasi, hampir seluruh anggota masyarakat tidak dapat menghindar
diri dari “kewajiban” memberikan upeti (hadiah) manakala berhadapan dengan
pejabat pemerintahan terutama di bidang pelayanan publik. Tampaknya tidak akan
memberikan sesuatu hadiah (graft) adalah merupakan perbuatan dosa bagi mereka
yang berkepentingan dengan utusan pemerintah.
Di berbagai belahan dunia, korupsi mendapatkan perhatian yang lebih
dibandingkan dengan kasus-kasus pidana lainnya. Fenomena seperti ini dapat
dimaklumi mengingat adanya dampak negatif yang timbul dengan adanya tindak
pidana korupsi. Dalam hal ini, korupsi merupakan permasalahan yang sangat
serius, bahkan korupsi juga dapat membahayakan stabilitas dan juga sistem
politik, serta dapat juga merusak nilai demokrasi dan moral sehingga lambat laun
perbuatan ini seakan-akan menandai sebuah budaya. Bahkan korupsi kerap
menjadi ancaman terhadap masyarakat yang adil dan makmur.
Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis
multidimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, maka korupsi dapat
5
disebut sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-
sungguh. Langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan potensi yang
ada di dalam masyarakat, khususnya pemerintah serta aparat penegak hukum.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh kasus korupsi yang melibatkan
pejabat publik. Sebut saja misalnya Kasus PT Asabri, sebagai berikut :
Kasus korupsi PT. Asabri dengan tersangka Mantan Direktur Utama PT.
Asabri Subarda Midjaja dan salah seorang pengusaha bernama Henry Leo telah
resmi menjadi tersangka kasus korupsi dana deposito milik PT Asabri sebesar Rp.
410 Miliar. Sementara dalam kasus korupsi yang lain, sering terjadi dalam tubuh
Komisi yudisial dan Komisi pemberantasan korupsi. Dalam hal ini, wakil ketua
Komisi yudisial Thahir Saimima, diperiksa kurang dari empat jam oleh tim
penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Thahir Saimima diperiksa terkait kasus
dugaan suap kepada anggota non-aktif Komisi Yudisial, Irawady Joenoes, KPK
telah meminta keterangan dari Komisioner Komisi Yudisial, Busyro Muqoddis
(Ketua KY), Soekotjo Soeparto, Mustafa Abdullah, serta Sekjen KY, Muzzayin
Mahbub. Sesuai pemeriksaan, Thahir Saimima dipanggil sebagai saksi dalam
kasus dugaan suap Irawadi Joenoes, bahwa dirinya tidak dipanggil dalam kasus
pengadaan tanah untuk gedung Komisi Yudisial. Thahir juga ditanya tentang
kronologis –pengadaan tanah, karena tanah itu milik direktur PT. Persada
Sembada Fredy Santoso di jalan Kramat Raya No. 57, Jakarta Pusat. Selain itu
Thahir Saimima juga ditanya mengenai surat tanah yang dijadikan agunan di Bank
Mandiri. Thahir mengaku mengetahui bahwa surat tanah itu diagunkan setelah
diberi tahu Mussaqin Mahbub.
Sehubungan dengan penjelasan di atas, bahwa tindak pidana korupsi bisa
terjadi dalam tubuh lembaga-lembaga negara, yang tugasnya untuk memberantas
praktik-praktik tindak pidana korupsi. Bahwa Komisi pemberantasan korupsi
memeriksa anggota-anggota Komisi yudisial yang terkait dugaan suap kepada
Irawady Joenoes. Yang pada saat ini telah di nonaktifkan sebagai anggota Komisi
Yudisial (KY).
Berdasarkan uraian di atas, kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit
diungkapkan, karena para pelakunya menggunakan suatu peralatan yang canggih
serta biasanya dilakukan lebih dari satu orang dalam keadaan yang terselubung
dan terorganisasi. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi ini sering disebut “White
collar crime” atau kejahatan kerah putih.
6
Korupsi di Indonesia sudah meluas dan terjadi pada masyarakat, baik dari
jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas
tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki
seluruh aspek di kehidupan masyarakat. Sementara itu dalam hal lain, faktor-
faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral dan
intelektual para pemimpin masyarakat. Keadaan moral dan intelektual dalam
konfigurasi kondisi-kondisi yang lain. adapun beberapa faktor yang dapat
menjinakkan korupsi, walaupun tidak akan memberantasnya adalah sebagai
berikut:
1) Keterikatan positif pada pemerintahan dan keterlibatan spiritual serta
tugas kemajuan;
2) Administrasi yang efisien serta penyesuaian struktural yang layak dari
mesin dan aturan pemerintah sehingga menghindari penciptaan
sumbersumber korupsi;
3) Kondisi sejarah dan sosiologis yang menguntungkan;
4) Berfungsinya suatu sistem anti korupsi;
5) Kepemimpinan yang berpengaruh dengan standar moral dan
intelektual yang tinggi.

Pemberantasan korupsi kini sudah menjadi agenda masyarakat Internasional


sekaligus juga telah disepakati ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang
pembentukan suatu lembaga anti korupsi yang independen, mekanisme pengembalian
aset hasil korupsi di negara lain melalui “Mutual Legal Assistance”, Transfer of
Proceedings dan kewajiban pelaporan tahunan kepada “lembaga international” yang
disebut “Conference of The Parties”. Dan dalam hal ini korupsi bukan lagi dinamakan
sebagai kejahatan biasa, melainkan kejahatan luar biasa. Di mana yang melakukan
suatu tindak pidana korupsi adalah pejabat yang berada dalam suatu lembaga negara.

Dalam melaksanakan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,


yang perlu dipelihara adalah konsistensi dan kepastian hukum dalam memberantas
korupsi. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh pimpinan Komisi yang memiliki integritas
dan kemampuan memadai dalam menangani perkara korupsi. Pemberian wewenang
yang luar biasa dan bersifat “powerful” bukanlah jaminan keberhasilan Komisi ini,
akan tetapi kesungguhan jauh dan menjadi popularitas tanpa makna kejujuran dan
tidak bersifat korupsi. Baik karena kepentingan pribadi, golongan, suku, atau

7
keturunan maupun untuk kepentingan partai. Keahlian dalam bidang yang berkaitan
dengan masalah keuangan dan perbankan. Pengalaman dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, serta penuntut perkara-perkara korupsi, merupakan faktor-
faktor yang signifikan dan menentukan keberhasilannya. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) merupakan sarana hukum dan lembaga terakhir harapan bangsa
Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi dan tidak adanya alasan sekecil
apapun untuk menjustifikasi kegagalan Komisi ini dalam pemberantasan korupsi.
Kecuali tidak adanya komitmen politik yang kuat dari petinggi di negara Indonesia.

Semakin meningkatnya tindak pidana korupsi yang seringkali terjadi di negara


ini, maka lahirnya Undang-undang Nomor 31 tahun 1999, diharapkan maupun untuk
memenuhi dan mengantisipasi perkembangan masyarakat dalam mencegah dan
memberantas secara lebih efektif bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang sangat
merugikan keuangan negara dan perekonomian negara. Bahkan, korupsi sudah
menyebar ke seluruh negara Indonesia. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi harus
segera dimusnahkan di negeri ini.

8
II. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang dapat dirumuskan
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kewenangan Kejaksaan dalam penanggulangan tindak pidana
korupsi ?
2. Bagaimana analisis tentang kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan
tindak pidana korupsi yang terjadi dengan PT Asabri ?

III. Tujuan Penulisan


Melalui analisa studi kasus ini diharapkan tujuan makalah adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui wewenang Kejaksaan dalam penanggulangan tindak
pidana korupsi.
2. Untuk mengetahui secara rinci tentang kewenangan Kejaksaan dalam
penyidikan tindak pidana korupsi yang terjadi dengan PT Asabri.

IV. Manfaat Penulisan


Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan, khususnya
ilmu hukum pidana.
2. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Kejaksaan dan
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam rangka melakukan suatu penegakan
hukum terhadap penuntutan tindak pidana korupsi.

9
BAB II

PEMBAHASAN

ANALISIS TENTANG KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN


TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi


Pada tahun 1998 merupakan kewenangan intitusi Kepolisian, dan institusi
Kejaksaanyang diatur oleh undang-undang dan diberikan kewenangan untuk
melakukan penyidikan perkara tindak pidana korupsi. Keberadaan Kejaksaan RI
mempunyai fungsi strategis dalam penegakan hukum di Indonesia, tidak lepas dari
keberadaannya sebagai salah satu sub sistem dari sitem hukum dan Pada saat
berlakunya Undang Undang No.15 tahun 1951 Tentang Kejaksaan.
Kedudukan Kejaksaan dinyatakan sebagai alat negara penegak hukum yang
terutama bertugas sebagai penuntut umum. Penegasan ini mengandung makna bahwa
bila dilihat dari penamaannya sekalipun kejaksaan dikaitkan dengan ketentuan pasal 5
ayat 1 huruf a dan b Undang-Undang ini bahwa penyelenggaraan tugas departemen
Kejaksaan diatur dengan keputusan Presiden. Dalam penanganan tindak pidana
korupsi oleh jaksa sebagai penyidik adalah berkaitan dengan kekuatan alat-alat bukti
yang sah berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang
menjadi dasar untuk melanjutkan suatu perkara tindak pidana korupsi ketahap
penunututan dipengadilan.
Kewenangan Jaksa sebagai penyidik dalam Pasal 284 ayat (2) jo Pasal 17
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 yang menyebutkan bahwa jaksa
mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
(menurut ketentuan khusus berdasarkan peraturan perundang-undangan).
Kewenangan jaksa sebagai Penyidik juga diatur menurut Pasal 30 ayat (1) Undang-
undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.
Bahwa kewenangan jaksa sebagai penyidik dalam tindak pidana khusus perkara
korupsi memang telah mempunyai kekuatan hukum yang sah. Dan diatur secara
khusus, dimana kewenangan jaksa sebagai penyidik diatur dalam banyak peraturan
lain seperti Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun2001, Undang-undang Nomor16 Tahun
2004, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun1983, Peraturan Presiden RI Nomor 38

10
Tahun 2010 dan PERJA Nomor PER. 009/A/JA/2011, PERJA Nomor PERJA-
039/A/JA/2010, Putusan MK Nomor 16/P/ UU-X/2012. Dengan begitu mengaskan
bahwa sampai saat ini Jaksa mempunyai kewenangan dalam melakukan penyidikan
tindak pidana korupsi. Hambatan yang Kejaksaan alami dalam melakukan penyidikan
adalah kurang kooperatifnya pihak-pihak yang terkait dalam memberikan keterangan
untuk mencari barang bukti dan alat bukti, menginggat pelaku korupsi biasanya
bersama-sama dan menutupi, tidak ada laporan dari kban langung sehingga
menyulitkan penyidik dalam melakukukan penyidikan.
Penyidikan merupakan salah satu tahap dalam proses penengakkan hukum pidana
dan merupakan tahap awal dalam proses peradilan pidana, oleh karena itu proses
penyidikan ini menjadi sentral dan merupakan tahap kunci dalam upaya penegakkan
aturan-aturan hukum pidana terhadap berbagai peristiwa yang terjadi. Karena itu
profesional penyidik menjadi penting. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa
penelitian terhadap sistem hukum pidana khususnya penegakkan hukum terhadap
tindak pidana korupsi dirasakan sangat serius. Sehingga diperlukan lembaga
kejaksaan untuk dapat menangani tindak pidana korupsi sesuai dengan undang-
undang serta aturan-aturan yang berlaku di Indonesia.
Yang menjadi dasar untuk jaksa dalam melakukan penyidikan terhadap kasus
korupsi terdapat dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
diatur dalam pasal 30 ayat (1) huruf d menyebutkan : Tugas dan Kewenangan Jaksa
adalah “melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-
undang”. Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang adalah diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

B. Kasus Posisi
Kasus pengelolaan keuangan dan dana investasi oleh PT Asuransi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) memasuki babak baru. Kejaksaan Agung
(Kejagung) menetapkan delapan tersangka dalam kasus korupsi PT Asabri. Dua di
antaranya merupakan mantan Dirut Asabri Adam Rachmat Damiri dan Sonny
Widjaja. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer
Simanjuntak kemudian membeberkan kronologi kasus dugaan korupsi dalam
11
pengelolaan keuangan dan dana investasi oleh PT Asabri. Dia menyebut kasus dugaan
korupsi Asabri ini merugikan keuangan negara sebesar Rp 23,7 triliun. Melansir
laman Antara, dia menyebutkan jika pada 2012 hingga 2019, Direktur Utama,
Direktur Investasi dan Keuangan serta Kadiv Investasi Asabri bersepakat dengan
pihak di luar Asabri yang bukan merupakan konsultan investasi ataupun manajer
investasi. Pihak dimaksud yaitu Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro dan Lukman
Purnomosidi untuk membeli atau menukar saham dalam portofolio Asabri dengan
saham-saham milik Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro dan Lukman dengan harga
yang telah dimanipulasi menjadi tinggi dengan tujuan agar kinerja portofolio Asabri
terlihat seolah-olah baik.
Setelah saham-saham tersebut menjadi milik Asabri, kemudian saham-saham
tersebut ditransaksikan atau dikendalikan Heru, Benny dan Lukman berdasarkan
kesepakatan bersama dengan Direksi Asabri sehingga seolah-olah saham tersebut
bernilai tinggi dan likuid. Padahal transaksi-transaksi yang dilakukan hanya transaksi
semu dan menguntungkan Heru, Benny dan Lukman serta merugikan investasi
Asabri, karena Asabri menjual saham-saham dalam portofolionya dengan harga
dibawah harga perolehan saham-saham tersebut. Untuk menghindari kerugian
investasi Asabri, maka saham-saham yang telah dijual di bawah harga perolehan,
dibeli kembali dengan nomine Heru, Benny dan Lukman serta dibeli lagi oleh Asabri
melalui underlying reksadana yang dikelola oleh manajer investasi yang dikendalikan
Heru dan Benny. Diketahui jika seluruh kegiatan investasi Asabri pada 2012 sampai
2019 tidak dikendalikan oleh Asabri, namun seluruhnya dikendalikan oleh Heru,
Benny dan Lukman.
Delapan tersangka tersebut adalah mantan Direktur Utama PT Asabri periode
tahun 2011 - Maret 2016 (Purn) Mayjen Adam Rachmat Damiri, mantan Direktur
Utama PT Asabri periode Maret 2016 - Juli 2020 (Purn) Letjen Sonny Widjaja, eks
Direktur Keuangan PT Asabri periode Oktober 2008-Juni 2014 Bachtiar Effendi,
mantan Direktur Asabri periode 2013 - 2014 dan 2015 - 2019 Hari Setiono, Kepala
Divisi Investasi PT Asabri Juli 2012 - Januari 2017 Ilham W. Siregar dan Direktur
Utama PT Prima Jaringan Lukman Purnomosidi. Kemudian Dirut PT Hanson
International Tbk Benny Tjokrosaputro dan Komisaris PT Trada Alam Minera Heru
Hidayat. Baik Benny maupun Heru merupakan tersangka dalam kasus korupsi di PT
Asuransi Jiwasraya.

12
Atas perbuatannya, para tersangka dikenakan pasal sangkaan primer yakni Pasal 2
ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana
Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP serta subsidair Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke
1 KUHP, demikian Leonard Eben Ezer Simanjuntak.

C. Analisis Kasus PT. ABSARI


KUHAP menentukan bahwa Jaksa dalam penanganan perkara pidana memiliki
wewenang untuk melakukan penuntutan, hal tersebut diatur dalam Pasal 1 butir ke-6
dan ke-7. Sedangkan mengenai wewenang penyidikan dijelaskan dalam Pasal 6 ayat
(1) dimana wewenang tersebut dimiliki oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
dan Pejabat Polri Republik Indonesia. Telah dijelaskan dalam bab sebelumnya,
bahwa diferensiasi fungsional wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
dalam KUHAP bertujuan untuk membatasi penggunaan tindakan dan upaya paksa
yang dimiliki lembaga penegak hukum agar tidak menyinggung hak asasi manusia.
Prinsip diferensiasi fungsional dalam KUHAP menimbulkan suatu bentuk koordinasi
dan kerjasama antar lembaga penegak hukum. Koordinasi dan kerjasama tersebut
membentuk hukum acara pidana menjadi sebuah sistem yang dikenal dengan Sistem
Peradilan Pidana Terpadu atau Integrated Criminal Justice System. Analisis
wewenang, wewenang tersebut akan dilihat dari prinsip diferensiasi fungsional yang
diterapkan di dalam KUHAP.
Dalam diferensiasi fungsional pada KUHAP, Legislator, polisi dan jaksa menjadi
komponen-komponen penting yang membentuk sistem tersebut. Antara komponen-
komponen tersebut harus terbentuk suatu kerjasama dan koordinasi yang baik agar
sistem peradilan yang diinginkan dapat tercapai. Legislatif merupakan lembaga
pembuat legislasi atau peraturan menjadi komponen utama dalam membentuk suatu
sistem. Suatu sistem tidak akan dapat berjalan tanpa adanya suatu aturan yang
membatasi pergerakan sistem tersebut, untuk itu legislator membentuk undang-
undang yang memberikan arahan kemana sistem itu berjalan. Dengan demikian,
legislatif menjalankan fungsi Law Making atau pembuatan hukum yang di dalam
13
ketatanegaraan Indonesia dilaksanakan oleh lembaga legislatif yaitu DPR dan
Pemerintah. Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal ini melaksanakan fungsi penegakan
hukum (Law Enforcement) yang akan lebih berwenang dalam melakukan
pemeriksaan perkara pidana dengan batasan batasan yang diberikan oleh undang-
undang. Diharapkan pada fungsi ini bahwa undang-undang bersifat fleksibel atau
tidak kaku yang dapat disesuaikan dengan keadaan sosial masyarakat. Dengan
melihat bahwa suatu sistem peradilan pidana yang berpatokan pada undang-undang
maka dapat dikatakan bahwa sistem tersebut mengutamakan prinsip due process of
law. Inti dari due process of law adalah bahwa setiap penegakan dan penerapan
hukum harus sesuai dengan persyaratan konstitusional serta harus menaati hukum.
Diferensiasi fungsional pada Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam KUHAP
menimbulkan suatu mekanisme check and balances yang memuat unsur pengawasan
atas tindakan-tindakan penegak hukum yang diberikan undang undang. Unsur
pengawasan adalah keterpaduan atau kebersamaan dalam koordinasi, maka hubungan
antara Kejaksaan dan penegak hukum yang terkait dapat berupa pertukaran
informasi, diskusi pemecahan masalah yang memerlukan penanganan bersama.
Contoh koordinasi dan kerjasama penyidik dan penuntut umum yang dicantumkan
dalam KUHAP misalnya pada Pasal 109 ayat (1), yaitu kewajiban penyidik untuk
memberitahu dimulainya penyidikan kepada penuntut umum.
Menjadi pertanyaan adalah apakah wewenang kejaksaan dalam tindak pidana
khusus membuat diferensiasi fungsional yang diletakkan oleh KUHAP sia-sia dan
mengeruhkan sistem peradilan pidana Indonesia. Inti dari diferensiasi fungsional
KUHAP tidak terbatas pada pemisahan, namun memberikan penekanan pada
koordinasi dan kerjasama antara lembaga penegak hukum. Tindakan penyidik
merupakan satu rangkaian dengan tindak penyelidikan, artinya wewenang menyidik
yang dimiliki Kejaksaan berarti bahwa sebelumnya sudah harus dilakukan
penyelidikan yang dapat dilakukan oleh Kejaksaan pula. Walaupun demikian, tidak
serta merta bahwa penyelidikan tindak pidana korupsi hanya dapat dilakukan oleh
Kejaksaan, dengan tidak diaturnya penyelidikan tindak pidana korupsi pada UU No.
31 tahun 1999 maka Polisi tetap berwenang untuk melakukan penyelidikan dengan
koordinasi bersama dengan Kejaksaan sebagai penyidik sebagaimana diatur didalam
KUHAP. Wewenang Kejaksaan untuk menyidik juga timbul atas kemungkinan yang
memang dapat terjadi demi mengembangkan sistem peradilan pidana terpadu. Muladi
mengatakan bahwa: “Sistem peradilan pidana tidak hanya merupakan sistem fisik
14
berupa kerjasama terpadu antar pelbagai subsistem untuk mencapai tujuan tertentu,
atau abstract system yang penuh dengan nuansa-nuansa pandangan, sikap ideologi,
nilai bahkan filosofi, tetapi juga merupakan sistem terbuka yang keberhasilannya
sebagai organisasi sosial penuh dengan kemungkinan.”
Dapat dikatakan bahwa dalam rangka perbaikan sistem peradilan pidana, semua
lembaga hukum melakukan evaluasi, menerima saran dan masukan demi
pembaharuan hukum. Berarti bahwa memang dimungkinkan untuk muncul suatu
wewenang baru dalam komponen penegak hukum yang lama demi perkembangan
sistem peradilan pidana. Dalam hal ini adalah munculnya wewenang penyidik pada
Kejaksaan dalam menangani tindak pidana korupsi.
Disebutkan bahwa, yang diharapkan dalam fungsi Law Making pada Sistem
Peradilan Pidana Terpadu Indonesia adalah undang-undang yang fleksibel (tidak
kaku). Maksudnya adalah, undang-undang yang dibentuk disesuaikan dengan
keadaan dan kondisi masyarakat. Dengan demikian, ketika tindak pidana korupsi
menjadi perhatian utama dalam pemberantasannya maka undang-undang pun harus
dapat mengakomodir keadaan tersebut. Wewenang penyidikan dalam tindak pidana
korupsi diberikan pada Kejaksaan pada waktu itu adalah karena kurangnya
kemampuan Polisi untuk menyidik tindak pidana korupsi. Yang diharapkan bukanlah
suatu monopoli kewenangan melainkan kerjasama antara Kejaksaan dan Kepolisian
dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Hal tersebut sebagaimana
diharapkan oleh Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang menekankan prinsip
diferensiasi fungsional sekaligus koordinasi dan kerjasama antar instansi penegak
hukum untuk menciptakan mekanisme pengawasan dan check and balances.
Pasal 284 KUHAP yang sering dijadikan dasar untuk Jaksa melakukan
penyidikan bukanlah suatu peraturan yang dapat berlaku secara terus menerus
mengingat ketentuan tersebut adalah ketentuan peralihan. Dengan Pasal 284 ayat (2),
yang terjadi adalah pada perkara-perkara korupsi, kekuasaan jaksa bertambah besar
tanpa diiringi oleh pengawasan apapun. Hal tersebut jelas menyimpang dengan
prinsip koordinasi dan kerjasama yang ditekankan pada Sistem Peradilan Pidana
Terpadu. Kemungkinan munculnya wewenang baru pada suatu Sistem Peradilan
Pidana sebagaimana dijelaskan diatas tetap harus bersandar pada prinsip koordinasi
dan kerjasama.
Dengan adanya konsepsi pendekatan due process of law dalam Sistem Peradilan
Pidana, suatu tindakan hukum harus berdasarkan pada aturan hukum yang semestinya
15
atau sesuai dengan apa yang diatur di dalam undang-undang. Penyidikan yang
dilakukan oleh Kejaksaan RI bukan dilakukan tanpa dasar hukum, tertulis dengan
jelas di dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d bahwa Kejaksaan memiliki wewenang
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu. Yang dimaksud dengan tindak
pidana tertentu dalam undang-undang tersebut adalah: “Tindak pidana yang
dimaksud adalah tindak pidana yang diatur dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001
dan UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”
Pasal 3 UU No. 3 tahun 1971 menentukan bahwa “penyidikan tindak pidana
korupsi dijalankan menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku sekadar tidak
ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Sedangkan Pasal 26 UU tersebut
menentukan bahwa “penyidikan tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum
acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Pada
kedua pasal tersebut, ketentuan yang tercantum mempunyai isi yang sama. Dapat
disimpulkan bahwa karena ketentuan Pasal 26 dan Pasal 3 UU No. 3 tahun 1971
adalah sama, maka jaksa tetap atau memang mempunyai wewenang untuk melakukan
penyidikan tindak pidana korupsi yang dimaksud oleh UU No. 31 tahun 1999 yang
diubah dengan UU No. 20 tahun 2001. Dalam permohonan diatas yang diputus “tidak
dapat diterima” oleh Mahkamah Konstitusi berakhir dengan kesalahan dalam
pengajuan dalil permohonan dimana kesalahan tersebut terdapat didalam penafsiran
nebis in idem. Hal tersebut tidak akan dibahas lebih lanjut, tetapi yang dipersoalkan
adalah mengenai dalil dimana Pasal 30 ayat (1) huruf d dianggap bertentangan
dengan Pasal 28D UUD 1945.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum.” Pemohon pengujian UU Kejaksaan tersebut
menyatakan bahwa dengan adanya wewenang penyidikan pada Lembaga Kejaksaan
RI dapat menimbulkan suatu ketidakpastian dalam hukum. Due process of law juga
mensyaratkan agar suatu tindakan hukum harus konstitusional. Disinilah fungsi
Mahkamah Konstitusi, yaitu untuk memberikan penegasan atas konstitusionalitas
suatu undang-undang. Untuk mendapatkan suatu kepastian hukum yang dicita-citakan
oleh UUD 1945, maka peraturan tersebut harus memiliki dasar pembentukannya dan
jelas dalam materi yang dikandungnya. Wewenang Kejaksaan untuk melakukan
16
penyidikan adalah berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan diatas,
maka tidak dapat dikatakan bahwa wewenang penyidikan Kejaksaan timbul tanpa
adanya suatu peraturan perundang-undangan yang mendasarinya. Alasan lain adalah
bahwa tugas dan fungsi hukum acara pidana itu sendiri adalah:
1. Untuk mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran;
2. Mengadakan penuntutan hukum dengan tepat;
3. Menerapkan hukum dengan keputusan berdasarkan keadilan;
4. Melaksanakan keputusan secara adil.

Pada butir pertama disebutkan bahwa hukum acara pidana bertugas untuk
mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran. Tindak pidana korupsi telah
dikenal sebagai tindak pidana yang sulit dalam penyelidikan dan penyidikannya
karena tindak pidana tersebut seringkali dilakukan dengan menggunakan berbagai
fasilitas atau perangkat-perangkat berteknologi tinggi dan alat-alat digital. Untuk itu
memang diperlukan suatu kerjasama khusus antara Kepolisian dan Kejaksaan untuk
melakukan penyelidikan maupun penyidikan sehingga akan tercipta keefektifan
dalam menemukan fakta dibalik suatu kasus pidana korupsi.

17
BAB II

PENUTUP

➢ Kesimpulan
PT Asabri (Persero) adalah sebuah BUMN yang bergerak dibidang Asuransi
Sosial dan pembayaran pensiun khusus untuk prajurit TNI, Anggota Porli, PNS
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dan PORLI. Belakangan ini PT Asabri
terjerat kasus dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp, 23,7
triliun. Kejaksaan agung telah menelusuri aset yang dimiliki para tersangka korupsi.
Huru Hidayat, Benny Tjokrosaputro dan Lukman Purnomosidi membeli atau menukar
saham dalam portofolio Asabri dengan saham saham milik Heru Hidayat, Benny
Tjokrosaputro dan Lukman dengan harga yang telah dimanipulasi menjadi tinggi
dengan tujuan agar kinerja portofolio Asabri terlihat seolah olah baik. Diketahui jika
seluruh kegiatan investasi Asabri pada 2012 sampai 2019 tidak dikendalakan oleh
Asabri, namun seluruhnya dikendalikan oleh Heru, Benny dan Lukman.
Dalam kasus tersebut, apabila disangkut pautkan dengan materi, para
tersangka telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan
keuntungan materil dalam menjalankan tugas nya sebagai pemimpin. Material benefit
merupakan penyimpanan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan meterial baik
begi dirinya sendiri maupun oranglain. Korupsi pada level ini merupakan tingkat
paling membahayakan karena melibatkan kekuasaan dan keutungan material. Hal
yang dilakukan Heru,Benny dan Lukman merupakan salah satu bentuk penggunaan
kekuasaan salah satu untuk mendapatkan keuntungan meterial.
Tersangka Heru, Benny, dan Lukman juga telah melanggar prinsip anti
korupsi yaitu transparasi. Transparasi merupakan prinsip yang mengharuskan semua
proses kebijakan dilakukan secara terbuka, sehingga segala bentuk penyimpangan
dapat diketahui oleh publik. Namun pada kasus ini, tersangka menjalankan rencana
alias skenario secara diam diam dengan menukar dan membeli saham Asabri dengan
pribadinya, hal ini menjelaskan jika tersangka sudah melanggar prinsip anti korupsi.
Selain transparan, prinsip lain yang dilanggar oleh para tersangka adalah
prinsip fairness. Prinsip fairness ditujukan untuk mencegah terjadinya manipulasi
(ketidakwajaran) dalam pelanggaran, baik dalam bentuk ketidakwajaran lainnya.
Namun dalam kasus tersebut telah terjadi manipulasi material yang membuat kerugian

18
uang negara sebanyak Rp. 23,7 triliun. Hal ini jelas membuktikan jika para tersangka
telah melakukan manipulasi dan juga melanggar prinsip anti korupsi.
Penyelesaian kasus Atas perbuatannya, para tersangka dikenakan pasal
sangkaan primer yakni Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah
dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP serta
subsidair Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP

➢ Saran
Maka bagi penegak hukum khususnya bagi Kejaksaan harus.
• Dalam berperannya Jaksa sebagai penyidik sekaligus sebagai penuntut umum
dalam tindak pidana korupsi, maka perlu ditingkatkan koordinasi antara
sesama penegak hukum,
• Dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara
sungguh-sungguh guna mendapatkan bukti-bukti yang kuat sehingga dapat
dilimpahkan ke pengadilan,
• Dalam proses penuntutan, Jaksa menuntut terdakwa harus sesuai berdasarkan
aturan undang-undang yang berlaku.

19
DAFTAR PUSTAKA

http://www2.kompas.com-/kompas-cetak/0503/10/opini/1594209.htm (Diakses
Tangal 23 November 2021)

http://e-journal.uajy.ac.id/8114/2/HK110743.pdf (Diakses Tanggal 23 November


2021).

https://id.scribd.com/document/501064619/Tugas-Analisis-Kasus-Korupsi
(Diakses Tanggal 24 November 2021)

https://www.beritasatu.com/nasional/726769/ini-latar-belakang-perjalanan-korupsi-
asabri (Diakses Tanggal 24 November 2021)

https://www.merdeka.com/uang/kronologi-terkuaknya-kasus-korupsi-asabri-
terbesar-sepanjang-sejarah-indonesia.html (Diakses Tanggal 24 November
2021)

20

Anda mungkin juga menyukai