Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH Akuntansi forensik

dan audit investigasi


“ FRAUD DAN KORUPSI ”

Oleh Kelompok 4
SRI ULFA YANI (02320150220)
ROSTINA (02320150106)
NUR SUKMIATI MAFTUHA (02320150131)
WIWIN RAKHMAN MANRELY (02320150429)
SAHRINA (02320150139)

JURUSAN AKUNTANSI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017/2018
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu
tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun
mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah
Akuntansi Forensik dan Audit Investigasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Fraud
dan Korupsi” yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber
informasi, referensi, dan berita. Makalah ini disusun oleh penyusun dengan
berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang
dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah
akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa
Universitas Muslim Indonesia. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya
meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang
akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Makassar, 3 Maret 2018

TIM PENULIS

I
DAFTAR ISI

SAMPUL ..........................................................................................................
KATA PENGANTAR ..................................................................................... I
DAFTAR ISI .................................................................................................... II
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 4
A. FRAUD ................................................................................................. 4
B. KORUPSI .............................................................................................. 12
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 17
A. Kesimpulan ........................................................................................... 17
B. Saran ..................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 18

II
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Tindak kecurangan (fraud) adalah suatu salah saji dari suatu fakta
bersifat material yang diketahui tidak benar atau disajikan dengan
mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran, dengan maksud menipu terhadap
pihak lain dan mengakibatkan pihak lain tersebut dirugikan.
Timbulnya fraud pada umumnya merupakan gabungan antara motivasi
dan kesempatan. Motivasi dapat muncul dari adanya dorongan kebutuhan dan
kesempatan berasal dari lemahnya pengendalian intern dari lingkungan, yang
memberikan kesempatan terjadinya fraud. Semakin besar dorongan
kebutuhan ekonomi seseorang yang berada dalam lingkungan pengendalian
yang lemah, maka semakin kuat motivasinya untuk melakukan fraud.
Dengan demikian ada tiga unsur penting yang terkandung dalam fraud,
yaitu:
1. Niat/kesengajaan
2. Perbuatan tidak jujur
3. Keuntungan yang merugikan pihak lain
Salah satu contoh tindakan fraud yang terkenal di Indonesia yaitu
korupsi. Praktik korupsi di Indonesia seperti sudah menggurita menjadi
penyakit kronis bangsa. Hampir disemua lini pemerintahan terjadi prilaku
korupsi, dan bahkan orang sudah menganggap korupsi sebagai hal yang wajar
dan tanpa disadari telah menyebabkan keterpurukan bangsa yang membuat
rakyat menjadi menderita. Namun tidak sedikit orang berpesta pora
menikmati kekayaan, bergelimang harta diatas penderitaan orang lain. Tidak
mudah untuk menghentikan praktik korupsi dan menangkap seorang
koruptor, banyak yang disangka melakukan tindak pidana korupsi tetapi
kemudian dibebaskan karena tidak cukup bukti begitu pula yang berdasarkan
hasil audit seseorang dinyatakan melakukan korupsi namun tidak dikenakan
sanksi bahkan malah dilindungi.

2
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan
masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan fraud?
2. Bagaimana fraud dalam perundangan kita?
3. Bagaimana statistik kejahatan di indonesia?
4. Bagiamana fraud dalam KUHP?
5. Bagaimana fraud tree?
6. Bagaimana akuntan forensik dan jenis fraud?
7. Apa manfaat fraud tree?
8. Apa yang dimaksud korupsi?
9. Bagaimana pendekatan sosiologi korupsi?
10. Bagaimana tinjauan sosiologis korupsi?
11. Bagaimana tinjauan sosiologis korupsi menurut Aditjondro?

C. TUJUAN PENULISAN
Mengacu pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut :
1. Agar mengetahui yang dimaksud dengan fraud.
2. Agar mengetahui bagaimana fraud dalam perundangan kita.
3. Agar bagaimana statistik kejahatan di Indonesia.
4. Agar mengetahui bagaimana fraud dalam KUHP.
5. Agar mengetahui bagaimana fraud tree.
6. Agar mengetahui bagaimana akuntan forensik dan jenis fraud.
7. Agar mengetahui manfaat fraud tree.
8. Agar mengetahui yang dimaksud dengan korupsi.
9. Agar mengetahui bagaimana pendekatan sosiologi korupsi.
10. Agar mengetahui bagaimana tinjauan sosiologis korupsi.
11. Agar mengetahui bagaimana tinjauan sosiologis korupsi menurut
Aditjondro.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. FRAUD
1. Pengantar
Pertanyaan yang sering timbul, mengapa manusia melakukan fraud? Atau
dalam konteks Indonesia, mengapa pejabat penting dengan kedudukan dan
penghasilan tinggi (termasuk guru besar universitas ternama dan pimpinan
LSM yang mempunyai misi memberantas korupsi) justru terlibat dalam
tindakan korupsi?
Jawaban sederhana menjelaskan korupsi karena: ”corruption (atau fraud)
by need, by greed, and by opportunity” atau dalam bahasa Indonesia (Korupsi
karena kebutuhan, karena serakah dan karena ada peluang). Maka pada
pembahasan kali ini akan memanfaatkan hasil penelitian Donald R. Cressey
untuk menjawab pertanyaan tersebut.
2. Fraud dalam Perundangan Kita
Pengumpulan dan pelaporan statistik tentang kejahatan di suatu Negara
dapat dilakukan sesuai dengan klasifikasi kejahatan dan pelanggaran (tindak
pidana) menurut ketentuan perundang-undangan Negara tersebut. Dalam
Statistik Kejahatan Indonesia yang dilaporkan oleh BPS tidak selalu tersedia
dalam format yang sama, istilah kejahatan yang dipergunakan sering kali juga
tidak konsisten, dan tidak terlalu bermanfaat untuk pembahasan akuntansi
forensik.
Dalam membaca dan menggunakan statistik kejahatan di Indonesia, perlu
diingat bahwa masih rendahnya kesadaran untuk melaporkan kejahatan.
Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat enggan melaporkan kejahatan.
Di antaranya, tercermin dari ungkapan sehari-hari yang sederhana. Oleh
karena itu, beberapa kajian luar negeri tentang data kejahatan di Indonesia
memberi peringatan “crimes may be unreported”.

4
3. Fraud dalam KUHP
Beberapa pasal dalam KUHP yang mencakup pengertian Fraud :
a. Pasal 362 tentang pencurian (definisi KUHP: “mengambil barang sesuatu,
yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud
untuk dimiliki secara melawan hukum”);
b. Pasal 368 tentang Pemerasan dan pengancaman (definisi KUHP: “dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun
menghapuskan piutang”);
c. Pasal 372 tentang penggelapan (definisi KUHP: “dengan sengaja dan
melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan
karena kejahatan”);
d. Pasal 378 tentang perbuatan curang (definisi KUHP: “dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,
ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang
maupun menghapuskan piutang”);
e. Pasal 396 tentang merugikan pemberi piutang dalam keadaan pailit;
f. Pasal 406 tentng menghancurkan dan Merusak Barang (definisi KUHP:
“dengan sengaja atau melawan hukum menghancurkan, merusakkan,
membikin tak layak dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian barang orang lain”) ;
g. Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 yang
secara khusus diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 199).
Di samping KUHP juga ada ketentuan perundang-undangan lain yang
mengatur perbuatan melawan hukum yang termasuk dalam kategori fraud,
seperti undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan

5
berbagai undang-undang perpajakan yang mengatur tindak pidana
perpajakan.
4. Fraud Tree (Pohon Fraud)
Secara skematis, Assosiation of Certified Fraud Examiners (ACFE)
menggambarkan occupational fraud dalam bentuk fraud tree. Pohon ini
menggambarkan cabang-cabang dari fraud dalam hubungan kerja, beserta
ranting dan anak rantingnya.
Occupational fraud tree ini mempunyai tiga cabang utama, yakni
corruption, asset misappropriation, dan fraudulent statements.
a. Corruption
Istilah corruption disini serupa tetapi tidak sama dengan istilah korupsi
dalam ketentuan perundangan kita. Korupsi menurut UU No. 31 tahun
1999 meliputi 30 tindak pidana korupsi dan 4 bentuk dalam ranting-
ranting: conflicts of interest, bribery, illegal gratuities, economics
extortion.
Conflicts of interest atau benturan kepentingan diantaranya dapat
berupa bisnis plat merah atau bisnis pejabat dan keluarga serta kroni
mereka yang menjadi pemasok atau rekanan di lembaga-lembaga
pemerintah dan di dunia bisnis.
Bribery atau penyuapan merupakan bagian yang akrab dalam
kehidupan bisnis dan politik Indonesia.
Bid Rigging merupakan permainan tender, Illegal Gratuities adalah
pemberian atau hadiah yang merupakan bentuk terselubung dari
penyuapan.
b. Aset Misappropriation
Aset misappropriation atau “pengambilan” aset secara ilegal dalam
bahasa sehari-hari disebut mencuri. Di dalam istilah hukum, “mengambil”
aset secara ilegal (tidak sah, atau melawan hukum) yang dilakukan oleh
seseorang yang diberi wewenang untuk mengelola atau mengawasi aset
tersebut, disebut menggelapkan. Istilah pencurian, dalam fraud tree disebut
larceny. Istilah penggelapan dalam bahasa Inggris nya adalah
embezzlement.

6
Aset misappropriation dalam bentuk penjarahan kas atau cash
appropriation dilakukan dalam tiga bentuk: skimming, larceny, fraudulent
disbursements. Klasifikasi penjarahan kas dalam tiga bentuk disesuaikan
dengan arus uang masuk.
Dalam skimming, uang dijarah sebelum uang tersebut secara fisik
masuk ke perusahaan. Cara ini terlihat dalam dalam fraud yang sangat
dikenal para auditor, yakni lapping. Kalau uang sudah masuk kedalam
perusahaan dan kemudian baru dijarah, maka fraud ini disebut larceny atau
pencurian.
Larceny atau pencurian adalah bentuk penjarahan yang paling kuno dan
dikenal sejak awal peradaban manusia. Peluang untuk terjadinya
penjarahan jenis ini berkaitan erat dengan lemahnya sistem pengendalian
intern, khususnya yang berkenaan dengan perlindungan keselamatan aset
(safeguarding of assets).
Pencurian melalui pengeluaran yang tidak sah (fraudulent
disbursements) sebenarnya satu langkah lebih jauh dari pencurian.
Sebelum tahap pencurian, ada tahap perantara. Terdapat lima kolom (sub
ranting) pada fraudulent disbursements, yaitu: billing schemes, payroll
schemes, expense reinbursement schemes, check tampering, dan register
disbursements.
c. Fraudulent Statement
Cabang dan ranting yang menggambarkan fraud yang diberi label
“Fraudulent Statements” dapat dilihat di sisi kanan dari fraud tree. Jenis
fraud ini sangat dikenal oleh auditor yang melakukan general audit
(opinion audit).
Ranting pertama menggambarkan fraud dalam menyusun laporan
keuangan. Cabang dari ranting ini ada dua. Pertama, menyajikan aset atau
pendapatan lebih tinggi dari yang sebenarnya (aset/revenue
understatements). Kedua, menyajikan aset atau pendapatan lebih rendah
dari yang sebenarnya (aset/revenue understatements).
Ranting kedua menggambarkan fraud dalam menyusun laporan non-
keuangan.

7
5. Akuntan Forensik Dan Jenis Fraud
Dari tiga cabang fraud tree, yakni corruption, misappropriation of asset,
dan fraudulent statements. Akuntan forensik memusatkan perhatian pada dua
cabang pertama. Cabang fraudulent statements menjadi pusat perhatian dalam
audit atas laporan keuangan (general audit atau opinion audit).
Akuntan forensik atau audit investigatif hampir tidak pernah menyentuh
fraud yang menyebabkan laporan keuangan menjadi menyesatkan, dengan
dua pengecualian.Pertama, ketika “regulator” seperti Bapepam, Securities and
Exchange Commission, atau Financial Services Authority (OJK, Otoritas Jasa
Keuangan) mempunyai dugaan kuat bahwa laporan audit suatu kantor
akuntan publik mengandung kekeliruan yang serius (atau kantor akuntan
publik yang bersangkutan mengakui hal tersebut).
Kedua, ketika fraudulent statements dilakukan dengan pengolahan data
secara elektronis, terintegrasi, dan besar-besaran atau penggunaan komputer
yang dominan dalam penyiapan laporan. Selain pertimbangan penyelesaian
kasus di dalam atau diluar pengadilan, juga ada pertimbangan diperlukannya
keahlian khusus, yakni computer forensics.
6. Akuntan Forensik dan Jenis Fraud
Fraud tree yang dibuat ACFE sangat bermanfaat. Fraud tree memetakan
fraud dalam lingkungan kerja. Ada gejala-gejala “penyakit” fraud yang dalam
auditing dikenal sebagai red flags.
 Fraud Triangle
Bermula dari penelitian Donald R. Cressey yang tertarik pada embezzlers
yang disebutnya “trust violators” atau pelanggra kepercayaan, yakni
mereka yang melanggar kepercayaan atau amanah yang dititipkan kepada
mereka. Penelitiannya diterbitkan dengan judul Other People’s Money:
Study in the Social Psychology of Embezzlement.
7. Pressure
Penggelapan uang perusahaan oleh pelakunya bermula dari suatu tekanan
(pressure) yang menghimpitnya. Orang ini mempunyai kebutuhan keuangan
yang mendesak, yang tidak dapat diceritakannya kepada orang lain.

8
Cressey mencatat bahwa ada masalah non keuangan tertentu yang dapat
diselesaikan dengan mencuri uang atau asset lainnya, jadi dengan melanggar
kepercayaan yang terkait dengan kedudukannya. Dari penelitiannya, Cressey
menemukan bahwa non-shareable problem timbul dari situasi yang dapat
dibagi dalam enam kelompok:
a. violation of ascribed obligation
Suatu kedudukan atau jabatan dengan tanggung jawab keuangan,
membawa konsekuensi tertentu bagi yang bersangkutan dan juga menjadi
harapan atasan atau majikannya. Di samping harus jujur, ia dianggap perlu
memiliki perilaku tertentu.
b. problems resulting from personal failure
Kegagalan pribadi juga merupakan situasi yang dipersepsikan oleh
orang yang mempunyai kedudukan serta dipercaya dalam bidang
keuangan, sebagai kesalahan nya menggunakan akal sehatnya, dan karena
itu menjadi tanggungjawab pribadinya.
c. business reversals
Cressey menyimpulkan bahwa kegagalan bisnis merupakan kelompok
situasi yang juga mengarah kepada non-shareable problem. Masalah ini
berbeda dari kegagalan pribadi yang dijelaskan diatas, karena pelakunya
merasa bahwa kegagalan itu berasal dari luar dirinya atau luar kendalinya.
d. physical isolation
Situasi ini dapat diterjemahkan sebagai keterpurukan dalam
kesendirian. Dalam situasi ini, orang itu bukan tidak mau berbagi keluhan
dengan orang lain. Ia tidak mempunyai orang lain tempat ia berkeluh dan
mengungkapkan masalahnya.
e. status gaining
Situasi ini tidak lain dari kebiasaan buruk untuk tidak mau kalah dengan
“tetangga”. Orang lain punya harta tertentu, ia juga harus seperti itu atau
lebih dari itu. Orang lain punya jabatan tertentu, ia juga harus punya
jabatan seperti itu atau bahkan lebih baik. Dalam situasi yang dibahas di
atas, pelaku berusaha mempertahankan status. Di sini, pelaku bersedia
meningkatkan statusnya.

9
Cressy mencatat, “masalahnya menjadi non-shareable ketika orang itu
menyadari bahwa ia tidak mampu secara financial untuk naik ke status itu,
untuk menikmati simbol-simbol keistimewaan yang dijanjikan status itu
secara wajar dan sah, dan pada saat yang sama ia tidak bisa menerima
kenyataan untuk tetap berada dalam status itu, apalagi kalau harus turun
status.”
f. employer-employee relation
Situasi ini mencerminkan kekesalan (atau kebencian) seorang pegawai
yang menduduki jabatan yang dipegangnya sekarang, tetapi pada saat yang
sama ia merasa tidak ada pilihan baginya, yakni ia tetap harus menjalankan
apa yang dikerjakannya sekarang.
Menurut Cressey, masalah yang diahadapi orang menjadi non-shareable
karena kalau ia mengusulkan solusi untuk masalah yang dihadapinya, ia
khawatir statusnya di organisasi itu menjadi terancam.

Keenam kelompok situasi tersebut, pada dasarnya berkaitan dengan


upaya memperoleh status lebih tinggi atau mempertahankan status yang
sekarang dipunyai.
8. Perceived Opportunity
Cressey berpendapat, ada dua komponen dari persepsi tentang peluang.
Pertama, general information, yang merupakan pengetahuan bahwa
kedudukan yang mengandung trust atau kepercayaan, dapat dilanggar tanpa
konsekuensi. Kedua, technical sklill atau keahlian/ketrampilan yang
dibutuhkan untuk melaksanakan kejahatan tersebut.
Kejahatan Kerah Putih
Kejahatan kerah putih adalah terjemahan untuk istilah yang sangat
dikenal dalam bahasa Inggris, yakni white-collar crime. Istilah ini dikenalkan
oleh Edwin H. Sutherland. Kejahatan kerah putih merupakan kejahatan kelas
atas, kelas manusia berkerah putih yang terdiri atas orang-orang bisnis dan
profesional terhormat, atau paling tidak, dihormati. Kamus terbitan the
Federal Bureau of Justice Statistics (Dictionary of Criminal Justice Data
Terminology) mendefinisikan white-collar crime sebagai:

10
"Kejahatan tanpa kekerasan demi keuntungan keuangan yang dilakukan
dengan penipuan oleh orang yang pekerjaannya adalah wiraswasta,
profesional atau semi profesional dan yang memanfaatkan keahlian dan
peluang yang diberikan oleh jabatannya; juga kejahatan tanpa kekerasan demi
keuntungan keuangan yang dilakukan dengan penipuan oleh orang yang
mempunyai keahlian khusus dan pengetahuan profesional mengenai bisnis
dan pemerintahan, meskipun ia tidak terkait dengan pekerjaannya."
Ada suatu definisi lain juga yang diusulkan oleh Albert J. Reiss, Jr. dan
Albert Biderman, yaitu:
"Pelanggaran kerah putih adalah pelanggaran terhadap hukum yang
terkena sanksi tertentu dan yang meliputi pemanfaatan kedudukan pelakunya
yang mempunyai kekuasaan ekonomi, pengaruh, atau kepercayaan dalam
lembaga-lembaga yang sebenarnya mempunyai legitimasi ekonomi dan
politik namun disalahgunakan untuk keuntungan ilegal atau untuk melakukan
kegiatan ilegal demi keuntungan pribadi atau organisasi."
9. Report To The Nation
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) secara berkala
menerbitkan kajiannya mengenai fraud di Amerika Serikat. Laporan ACFE
terakhir mengenai hal ini dikenal dengan nama Report to the Nation on
Occupational Fraud and Abuse. Meskipun Report to the Nation adalah untuk,
dari, dan berkenaan dengan Amerika Serikat, Namun di dalamnya ada
informasi tertentu yang bermanfaat bagi akuntan forensik (fraud examiners).
Sebagai bagian dari survey, responden di minta untuk menyajikan sebuah
naratif yang detail tentang kasus fraud yang terbesar yang pernah mereka
tangani/ investigasi dalam kurun waktu tertentu, Kasus tersebut harus
memenuhi 4 kriteria yaitu :
a. Kasus dan investigasi yang dilakukan oleh CFEs haruslah terjadi dalam
kurun waktu survey.
b. Investigasi dari kasus tersebut haruslah sudah selesai pada kurun waktu
survey.
c. CFEs haruslah telah yakin dengan pelaku kejahatan yang telah di
identifikasi.

11
B. KORUPSI
1. Pengantar
Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea :
1951) atau “corruptus” (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya
dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa
Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah
Inggris: corruption, corrupt; Perancis: corruption dan Belanda: corruptive,
korruptie.
2. Pendekatan Sosiologi
Dalam pendekatan sosiologi, definisi korupsi yang lazim dipergunakan
adalah “penyalahgunaan wewenang pejabat untuk keuntungan pribadi” (“the
abuse of public power for private gain”)
Korupsi merupakan masalah yang berkenaan dengan sistem
perekonomian dan kelembagaan. Sistem perekonomian dan kelembagaan
tertentu mendorong bahkan memberikan ganjaran (reward) untuk perbuatan
korupsi.
Lingkungan perekonomian dan kelembagaan menentukan lingkup
korupsi dan insentif untuk melakukan korupsi. Sistem perekonomian dan
kelembagaan yang meningkatkan manfaat atau “keuntungan” korupsi
cenderung memiliki empat ciri :
a. Individu pejabat mempunyai kekuasaan mutlak (substantial monopoly
power) atas pengambilan keputusan
b. Pejabat yang bersangkutan mempunyai kelonggaran wewenang
(discretion) yang besar
c. Mereka tidak perlu mempertanggungjawabkan (tidak accountable
terhadap) tindakan mereka
d. Mereka beroperasi dalam lingkungan yang rendah tingkat keterbukaannya.
Keempat ciri di atas melahirkan rumus atau persamaan:

Di mana:
C = corruption (korupsi)
MP = monopoly power (kekuasaan mutlak)
D = discretion (kelonggaran wewenang)
A = accountability (akuntabilitas)

12
Tdm = transparency of decision – making (keterbukaan dalam pengambilan
keputusan)
3. Delapan Pertanyaan Tentang Korupsi
Bagian ini disarikan dari tulisan Jakob Svensson, seorang senior
economist pada Development Research Group, Word Bank. Sevensson
mengajukan dan membahas delapan pertanyaan mengenai korupsi sebagai
berikut:
a. Pertanyaan Pertama
What is corruption? Apa sesungguhnya korupsi itu? Korupsi umumnya
didefinisi adalah penyalahgunaan jabatan di sektor pemerintahan (misuse
of public office) untuk keuntungan pribadi. Korupsi yang didefinisikan
seperti itu meliputi, misanya, penjualan kekayaan negara secara tidak sah
oleh pejabat, kickbacks dalam pengadaan di sektor pemerintahan,
penyuapan, dan “pencurian” (embezzlement) dana-dana pemerintah.
b. Pertanyaan Kedua
Negara – negara mana yang paling korup? Bagaimana kita mengukur
korupsi sedemikian rupa sehingga kita memperoleh gambaran antar-
negara. Kajian mengenai pengukuran korupsi antar-negara oleh Knack dan
Keefer (1995) dan Mauro (1995) didasarkan atas indikator korupsi yang
dihimpun oleh perusahaan-perusahaan yang berkecimpung dalam usaha
mengukur risiko (private risk-assesment firms).
c. Pertanyaan Ketiga
Apa ciri-ciri umum negara yang mempunyai tingkat korupsi yang
tinggi? Ada teori-teori yang melihat ciri-ciri umum negara korup dari
peranan lembaga-lembaga (institutional theories). Teori-teori ini dapat
dipilah dalam dua kelompok besar.
Kelompok toeri pertama memandang mutu lembaga dan karenanya juga
korupsi dibentuk oleh faktor-faktor ekonomi. Secara singkat,
perkembangan lembaga-lembaga merupakan respons terhadap tingkat
pendapatan negara. (Lipset, 1960; Demsetz, 1967). Pandangan yang terkait
diberikan oleh human capital theory, yang melihat perkembangan dalam
human capital dan penghasilan menyebabkan perkembangan dalam

13
kelembagaan (Lipset, 1960; Glaeser, La Porta, Lopez-de Silanes dan
Shleifer, 2004).
Kelompok institusional theories kedua menekankan peran lembaga-
lembaga secara lebih langsung. Teori-teori ini sering kali memandang
lembaga-lembaga sebagai pantang menyerah (persistent) dan bawaan
(inherited).
d. Pertanyaan Keempat
Berapa besarnya korupsi? Peringkat negara-negara berdasarkan persepsi
tingkat korupsi bersifat subjektif. Kesimpulan diambil bukan dari
penelitian yang mendalam melainkan atas dasar kesan, dan pengamatan
sekilas (anecdotal).
e. Pertanyaan Kelima
Apakah gaji lebih tinggi untuk para birokrat akan menekan korupsi?
Bukti sistematis yang menunjukkan hubungan antara kenaikan gaji dan
tingkat korupsi memang meragukan. Rauch dan Evans (2000) menemukan
tidak ada bukti kuat mengenai hubungan antara kenaikan gaji dan turunnya
tingkat korupsi. Sebaliknya, Van Rijckeghem dan Weder (2001)
menunjukkan sebaliknya.
f. Pertanyaan Keenam
Apakah persaingan dapat menekan korupsi? Pertanyaannya mengenai
apakah persaingan dapat menekan korupsi, berkaitan dengan pendekatan
untuk menekan korupsi melalui peningkatan persaingan. Jalan pikirannya
adalah, ketika persaingan yang kuat, peserta tender akan berusaha
menekan harga jual mereka sekuat mungkin. Sehingga tidak tersedia dana
untuk menyogok pejabat. Dalam kenyataannya, hubungan antara laba
perusahaan dan korupsi sangatlah kompleks, dan secara analitis tidaklah
selalu jelas.
g. Pertanyaan Ketujuh
Mengapa (akhir-akhir ini) begitu sedikit upaya yang berhasil
memerangi korupsi? Di banyak negara, termasuk indonesia,
pemberantasan korupsi dilakukan melalui gebrakan-gebrakan oleh
lembaga atau aparat (penegak) hukum dan keuangan (para pemeriksa,
seperti auditor dan investigator).

14
h. Pertanyaan Kedelapan
Apakah korupsi berdampak negatif terhadap pertumbuhan? Di era order
baru, ada pakar dan pengamat yang berargumentasi bahwa korupsi justru
mendorong pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka, dengan penyuapan
perusahaan bisa melicinkan usaha mereka yang tersendat oleh birokrasi
yang tidak efisien. Argumen ini didokumentasikan oleh Leff,1964 dan
Huntington,1968). Dalam kebanyakan teori yang menghubungkan korupsi
dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat, tindakan korup itu sendiri
bukanlah biaya sosial terbesar.
4. Korupsi – Tinjauan Sosiologi
Prof. Syed Hussein Alatas, guru besar pada jurusan Kajian Melayu,
Universitas Nasional Singapura merupakan penulis perintis mengenai
masalah korupsi di kawasan ini. Beberapa bukunya telah diterjemahkan ke
dalam bahasa indonesia oleh LP3ES.
Dari kasus – kasus korupsi sekitaran tahun 1970 – 1980-an yang
dilaporkan Prof. Alatas, dapat disimpulkan antara lain berikut ini:
Tipologi korupsinya tidak banyak berubah. Beberapa di antaranya
merupakan penyakit kekanak – kanakan alias mencuri terang – terangan.
Bahkan “pemain”-nya masih yang itu-itu juga (meskipun sudah berganti
nama) seperti bank – bank BUMN yang menjadi Bank Mandiri atau Bank
BNI, Pertamina, distributor pupuk, ABRI (sekarang TNI), dan lain-lain.
5. Korupsi – Tinjauan Sosiologi Aditjondro
Geogre Junus Aditjondro adalah pengajar dan peneliti mengenai
sosiologi korupsi di Universitas New Castle, Jurusan Sosiologi dan
Antropologi. Ia pernah menerima penghargaan lingkungan hidup, Kalpataru,
dari (pada waktu itu Presiden) Soeharto. Sepuluh tahun kemudian
penghargaan itu dikembalikannya sebagai protes atas pelanggaran HAM dan
lingkungan oleh rezim soeharto. Tulisan – tulisannya tercecer mengenai
korupsi oleh para mantan presiden, keluarga dan kroninya dibukukan dengan
judul “Korupsi Kepresidenan”.
Ada beberapa kesimpulan yang dibuat Aditjoro mengenai korupsi
kepresidenan di Indonesia, yang perlu diketahui akuntan forensik:

15
a. Bentuk oligarki berkaki tiga (Istana, Tangsi, dan Partai penguasa) yang
melanggengkan dan mewariskan korupsi kepada pemerintahan penerus.
b. Oligarki yang dipimpin oleh istri (Nyonya Tien Soeharto) atau suami
(Taufiq Kiemas) presiden atau spouse-led oligarchi. Aditjoro
menambahkan bahwa itulah sebabnya sejumlah penulis mengingatkan
Taufiq Kiemas, suami Megawati Soekarnoputri, untuk menarik pelajaran
dari kasus Mike Arroyo (suami Gloria Macapagal Arroyo) dan dari Asif
Zardari (suami Benazir Bhutto).
c. Oligarki dan jejaring bisnis dan politik yang membentengi keperntingan
mantan penguasa dengan segala cara “pemindahan kekayaan?”
Pertanyaan bagi akuntan forensik tentang kasus soeharto yaitu:
a. Ada atau tidak alternatif penyelesaian secara hukum yang dapat
menyimpulkan bersalah atau tidaknya Soeharto? Pertanyaan ini terlepas
dari apakah pemerintahan yang berkuasa akan memberikan pengampunan.
b. Apa pun bentuk penyelesaian terhadap soeharto, apakah penuntutan
terhadap pejabat lain atau kroninya dapat dilakukan? Pertanyaan ini timbul
karena kesan yang ingin diberikan, khususnya dalam kasus tujuh yayasan
(Dharmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana
Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora), bahwa segala sesuatunya hanyalah
tanggung jawab soeharto, sedang orang lain hanyalah pelaksana yang
mengikuti perintahnya.
b. Apakah keputusan yang akan diambil (secara hukum atau non-hukum)
akan mengamankan secara hukum proses pemulihan harta yang diduga
hasil jarahan, baik yang berada di dalam maupun di luar negeri.
c. Bagaimana menembus upaya-upaya soeharto, keluarganya, kroninya dan
jaringan bisnis dan politiknya untuk mengamankan kekayaan yang diduga
berasal dari korupsi dari sentuhan hukum seperti yang dibahas Aditjoro?
d. Kalau terjadi kegagalan (sebagian atau sepenuhnya) dalam kasus korupsi
soeharto, apa dampak negatif dari upaya hukum terhadap keluarga,
penguasa/pejabat lain di era soeharto dan penguasa – penguasa sesudah
Soerharo

16
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Timbulnya fraud pada umumnya merupakan gabungan antara motivasi
dan kesempatan. Audit investigatif sering digunakan dalam menyelesaikan
suatu kasus fraud terkait tindakan korupsi yang kompleks. Audit investigatif
lebih kepada kegiatan untuk mendapatkan bukti-bukti yang mendukung
sangkaan awal mengenai terjadi tidaknya tindakan fraud. Dalam audit
investigatif, seorang auditor memulai suatu audit dengan praduga/ indikasi
akan adanya kemungkinan kecurangan dan kejahatan yang akan diidentifikasi
dan diungkap melalui audit yang akan dilaksanakan. Seorang auditor
investigatif perlu mempunyai pemahaman yang cukup tentang hal-hal yang
akan diaudit terutama menyangkut peraturan yang berlaku serta proses bisnis
yang berkaitan dengan hal-hal yang akan diaudit.
Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” (Fockema Andrea
: 1951) atau “corruptus” (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya
dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa
Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah
“corruption, corrupt” (Inggris), “corruption” (Perancis) dan
corruptie/korruptie” (Belanda).
Bentuk – bentuk korupsi menurut KPK yaitu Kerugian Keuangan
Negara, Suap Menyuap, Penggelapan dalam Jabatan, Pemerasan, Perbuatan
Curang, Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan, Gratifikasi.

B. SARAN
Adapun saran yang dapat kami berikan adalah sebagai berikut:
1. Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak dini.Dan
pencegahan korupsi dapat dimulai dari hal yang kecil.
2. Sikap kejujuran sejak dini harus ditanamkan kepada anak agar terhindar
dari fraud

17
DAFTAR PUSTAKA

Theodorus M. Tuanakotta, 2010. Akuntansi Forensik Dan Audit Investigatif.


Bogor:Salemba Empat

http://roejha.blogspot.co.id/2016/10/bab-6-fraud.html

http://dokumentasiilmu90.blogspot.co.id/2017/02/resume-bab-6-
fraudkecurangan.html

http://roejha.blogspot.co.id/2016/12/chapter-7-korupsi.html

18

Anda mungkin juga menyukai